bab ii kajian pustaka, konsep, dan kerangka teori ii.pdffrekuensi pemakaian gaya bahasa dengan tabel...
TRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan, terdapat beberapa hasil
penelitian yang relevan digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini, sebagai
berikut :
Iku (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Pemakaian Gaya Bahasa Iklan
Provider Telepon Seluler dalam Surat Kabar Kompas Terbitan Agustus-Oktober
2011”. Aspek yang dikaji dalam penelitiannya mengenai jenis-jenis gaya bahasa,
gaya bahasa yang dominan digunakan, dan makna bahasa iklan yang terdapat
dalam bahasa iklan provider telepon seluler dengan menggunakan teori gaya
bahasa menurut Keraf (2004) dan menggunakan teori makna tindak tutur menurut
Chaer (1994). Metode dan teknik analisis data yang digunakan adalah metode
analisis kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian Iku menunjukkan adanya gaya
bahasa pada iklan provider telepon seluler dalam surat kabar Kompas yang terdiri
dari, personifikasi 4 data, hiperbola 8 data, litotes 1 data, klimaks 3 data, anafora 5
data, mesodiplosis 4 data, epizeuksis 4 data, epistrofa 1 data dan paralelisme 3
data. Setelah dikaji lebih mendalam gaya bahasa yang paling dominan digunakan
adalah hiperbola yaitu sekitar 24,24% dan makna yang digunakan lebih
menekankan pada makna ilokusi.
Penelitian Iku bermanfaat memberikan sumbangan informasi untuk
memahami tahapan-tahapan mengenai analisis gaya bahasa dan makna dari
11
penggunaan gaya bahasa tersebut. Adapun persamaan penelitian Iku dan
penelitian ini mengacu pada analisis jenis-jenis gaya bahasa dan makna. Namun,
penelitian Iku dan penelitian ini berbeda dari segi penggunaan teori sumber data,
dan fokus penelitian. Iku berfokus pada jenis-jenis gaya bahasa dan makna yang
digunakan pada iklan provider telepon seluler dalam surat kabar Kompas,
sedangkan pada penelitian ini lebih berfokus pada jenis-jenis gaya bahasa dan
makna dalam novel Kaze no Uta wo Kike karya Haruki Murakami dengan
menggunakan teori retorika menurut Seto (2003) dan makna kontekstual menurut
Pateda (2010) sehingga akan menghasilkan hasil analisis yang berbeda. Iku
menganalisis jenis gaya dengan sangat detail, menggunakan perbandingan
frekuensi pemakaian gaya bahasa dengan tabel dalam menganalisisnya sehingga
hal inilah yang menjadi kelebihan dalam penelitian Iku.
Ardianti (2011) dalam tesisnya yang berjudul “Pandangan Gender Pria dan
Wanita dalam Kotowaza (Pribahasa Jepang): Sebuah Interpretasi”. Adapun aspek
dalam penelitiannya membahas mengenai peran gender pria dan wanita dalam
kotowaza (peribahasa Jepang) yang dijadikan sebuah representasi kultural untuk
menemukan persepsi orang Jepang terhadap pandangan peran gender pria dan
wanita yang tergambar dalam kotowaza tersebut. Metode dan teknik analisis data
yang digunakan dalam penelitian Ardianti adalah metode studi pustaka dan teknik
analisis isi (content analysis). Hasil penelitian Ardianti menunjukan bahwa
ditemukan 36 data kotowaza yang menggambarkan peran gender pria dan wanita
serta 36 data mengenai interpretasi hermeneutik dalam kotowaza yang
menggambarkan peran gender pria dan wanita di Jepang. Dari 36 data tersebut
12
dijabarkan mengenai jenis-jenis gaya bahasa yang digunakan terdiri dari, metafora
9 data, hiperbola 2 data, simile 3 data, repetisi 1 data, paradoks 2 data, antitesis 1
data, alegori 2 data, zeugma 1 data dan metonimia 1 data.
Adapun persamaan penelitian Ardianti dengan penelitian ini, yaitu
terdapat pada penggunaan teori retorika yang dikemukakan oleh Seto (2003).
Perbedaannya terletak pada penggunaan teori pendukung, fokus penelitian, dan
sumber data yang digunakan. Ardianti menggunakan teori retorika untuk
membuktikan penggunaan gaya bahasa dalam kotowaza yang di dukung dengan
dengan teori jenis-jenis kotowaza menurut Okutsu (2011) untuk menganalisis
kotowaza dalam kamus yang terdiri dari Proverbs Koji Jiten, Jitsuyou Kotowaza
Kanyouku Jiten, dan Shoujiten serta menggunakan pendekatan hermeneutik untuk
menganalisis interpretasi hermeneutik menggambarkan peran gender pria dan
wanita dalam kotowaza Jepang. Sedangkan pada penelitian ini menggunakan teori
retorika dari Seto (2003) dan teori makna dari Pateda (2010) untuk menganalisis
jenis-jenis retorika dan makna dalam novel berjudul Kaze no Uta wo Kike karya
Haruki Murakami sehingga akan menghasilkan penelitian berbeda. Manfaat dari
penelitian Ardianti untuk memberikan sumbangan informasi dan sebagai acuan
untuk menganalisis mengenai jenis-jenis gaya bahasa. Penelitian Ardianti
menjelaskan analisisnya dengan menggunakan tabel yang dibagi menjadi tiga
yaitu menjabarkan arti literal dari kotowaza, interpretasi hermeneutik dan peranan
gender agar lebih mudah dipahami pembaca, kemudian menjabarkan peranan
tersebut menjadi dua kelompok antara peranan pria dan wanita, sehingga inilah
yang menjadi kelebihan penelitian Ardianti, tetapi pada penelitiannya, ia tidak
13
menjelaskan mengenai makna dan rentan waktu saat kotowaza itu digunakan
dalam kehidupan sehari-hari.
Indrayani (2011) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Penggunaan
Gaya Bahasa Dalam Novelet Kappa Karya Akutagawa Ryunosuke”. Dalam
penelitiannya, Indrayani membahas mengenai penggunaan gaya bahasa pada
novel Kappa yang terdiri dari bentuk-bentuk dan tujuan penggunaan gaya bahasa
yang terdapat dalam dialog dan narasi pada novel. Metode dan teknik yang
digunakan untuk menganalisis data adalah metode kualitatif dengan teknik isi.
Kesimpulan dari hasil penelitian Indrayani ditemukan metafora terdiri dari 5 data,
simile 17 data, hiperbola 3 data, eupizeukis 4 data, personifikasi 2 data, tautologi,
ironi dan anagram berjumlah masing-masing 1 data sedangkan penggunaan gaya
bahasa dalam novelet Kappa berfungsi sebagai sarana penyampaian pesan dan
penekanan pada suatu objek atau keadaan dalam cerita.
Adapun persamaan penelitian Indrayani dengan penelitian ini, yaitu
terdapat pada fokus penelitian mengenai gaya bahasa dengan menggunakan teori
retorika dari Seto (2002), tetapi Indrayani juga menggunakan teori gaya bahasa
menurut Inagaki (2008) dan menggunakan teori gaya bahasa menurut Tarigan
(2009) sebagai pendukung untuk menganalisis gaya bahasa dalam novelet Kappa
serta menganalisis tujuan dari penggunaan gaya bahasa. Sedangkan dalam
penelitian ini menggunakan teori makna menurut Pateda (2010) sebagai
pendukung untuk menganalisis makna berdasarkan konteks tertentu dalam kalimat
sehingga akan menghasilkan hasil analisis yang berbeda. Metode dan teknik
penelitian yang digunakanpun berbeda, pada penelitian Indrayani menggunakan
14
metode dan teknik analisis isi menurut Ratna (2010), sedangkan dalam penelitian
ini menggunakan metode deskriptif analisis menurut Sudaryanto (1993).
Penelitian Indrayani bermanfaat sebagai acuan dan memberikan
sumbangan informasi dan acuan untuk memahami tahapan-tahapan mengenai
analisis gaya bahasa. Karena pada penelitiannya, Indrayani menjabarkan analisis
frasa per frasa dan menggunakan tabel dalam menganalisis tujuan dari
penggunaan gaya bahasa sehingga lebih mudah untuk dipahami pembaca, hal
inilah yang menjadi kelebihan dari penelitian indrayani. Namun, penelitian
Indrayani hanya menerangkan mengenai jenis-jenis gaya bahasa tersebut tetapi
tidak dibahas mengenai makna secara mendalam dari gaya bahasa tersebut.
Marini (2010) dalam tesisnya “Analisis Stilistika Novel Laskar Pelangi
Karya Andrea Hirata”. Dalam penelitiannya, Marini membahas mengenai
keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata, kekhususan aspek morfologis dan
sintaksis, pemakaian gaya bahasa figuratif yang meliputi idiom, arti kiasan,
konotasi, metafora, metonimia, simile, personifikasi, hiperbola, yang terdapat
dalam novel Laskar Pelangi. Metode dan teknik analisis data yang digunakan
yaitu dengan menggunakan metode distribusional yang dijabarkan lewat teknik
substitusi dan teknik pelesapan menurut Subroto (1992). Adapun hasil analisis
yang di dapatkan dari penelitian Marini mengenai keunikan pemilihan dan
pemakaian kosakata dari novel Laskar Pelangi yaitu: pemilihan dan pemakaian
leksikon bahasa Asing, bahasa Jawa, ilmu pengetahuan, kata sapaan dan judul.
Serta membahas kekhususan aspek (morfologis dan sintaksis) dan jenis-jenis
bahasa figuratif yang digunakan dalam novel Laskar pelangi terdiri dari:
15
penggunaan idiom 45 data, arti kiasan 33 data, konotasi 56 data, metafora 24 data,
metonimia 15 data, simile 54 data dengan kata pembanding seperti, seumpama,
laksana, selayaknya, personifikasi 8 data dan hiperbola 25 data.
Dalam penelitiannya, Marini menggunakan teori stilistika sebagai pisau
pembedah berdasarkan ciri-ciri linguistiknya yang di dukung dengan teori
morfologi yang terdiri dari afiksasi, reduplikasi dan permajemukan. Kemudian
dilanjutkan dengan penggunaan teori sintaksis dan teori bahasa figuratif (gaya
bahasa). Penelitian Marini digunakan sebagai sumber informasi untuk
menganalisis gaya bahasa, karena Marini menjelaskan analisisnya dengan sangat
detail yang membaginya dengan beberapa kelompok sesuai kategorinya dan
dianalisis menjadi satu ditandai dengan simbol-simbol dan penomoran sehingga
hal inilah yang menjadi kelebihan dari penelitian Marini.
Terdapat perbedaan antara penelitian Marini dengan penelitian ini, yaitu
dari sumber data, dan fokus penelitian. Penelitian Marini menggunakan novel
Laskar Pelangi sebagai sumber data, dan fokus penelitian Marini secara
menyeluruh menganalisis keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata dari novel
Laskar Pelangi mengenai pemilihan dan pemakaian leksikon bahasa Asing,
bahasa Jawa, ilmu pengetahuan, kata sapaan dan judul. Serta membahas
kekhususan aspek (morfologis dan sintaksis) serta jenis-jenis bahasa figuratif.
Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan novel Kaze no Uta wo Kike karya
Haruki Murakami dengan fokus penelitian menggunakan teori retorika menurut
Seto (2003) untuk menganalisis jenis-jenis gaya bahasa dan menggunakan teori
16
makna kontekstual menurut Pateda (2010) untuk menganalisis makna berdasarkan
konteksnya dalam novel tersebut sehingga akan menghasilkan penelitian berbeda.
2.2 Konsep
Dalam penelitian ini terdapat beberapa konsep yang digunakan untuk
proses penelitian. Konsep-konsep tersebut dijelaskan sebagai berikut:
2.2.1 Retorika
Retorika adalah teknik pemakaian bahasa sebagai seni, baik lisan maupun
tertulis, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik (Keraf,
2004:3). Retorika bertujuan menerangkan kaidah-kaidah yang menjadi landasan
dari tulisan yang bersifat prosa atau wacana lisan yang berbentuk pidato atau
ceramah untuk mempengaruhi sikap dan perasaan orang (Keraf, 2004:3). Retorika
lebih dengan masalah penggunaan bahasa, tetapi lebih menekankan akibat atau
tujuan penggunaan suatu tuturan (Junus, 1989:39-41). Tujuan atau akibat
penggunaan metafora, repetisi, ironi, metonimia, hiperbola, personifikasi dan
sebagainya dalam konteks ini, retorika mungkin sama dengan stilistika. Paling
tidak, ada kajian stilistika yang memiliki data yang sama dengan retorika (Junus,
1898:xx). Dalam retorika modern akan tetap bertolak dari beberapa macam
prinsip. Adapun prinsip-prinsip dasar retorika modern antara lain sebagai berikut :
1. Penguasaan secara aktif sejumlah besar kosakata bahasa yang dikuasainya.
Semakin besar jumlah kosakata yang dikuasai secara aktif, semakin
mampu memilih kata-kata yang tepat untuk menyampaikan pikiran.
17
2. Penguasaan secara aktif kaidah-kaidah ketatabahasaan yang
memungkinkan penulis mempergunakan bermacam-macam bentuk kata
dengan nuansa dan konotasi yang berbeda-beda. Kaidah-kaidah ini
meliputi bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis.
3. Mengenal dan menguasai bermacam-macam gaya bahasa, dan mampu
menciptakan gaya yang hidup dan baru untuk lebih memudahkan
penyampaian pikiran penulis.
4. Memiliki kemampuan penalaran yang baik, sehingga pikiran penulis dapat
disajikan dalam suatu urutan yang teratur dan logis.
5. Mengenal ketentuan-ketentuan teknis penyusunan komposisi tertulis,
sehingga mudah dibaca dan dipahami, disamping bentuknya dapat menarik
pembaca. Ketentuan teknis disini dimaksudkan dengan masalah
pengetikan/pencetakan, cara penyusunan bibliografi, cara mengutip, dan
sebagainya.
Prinsip (1), (2) dan (3) dapat disamakan dengan bagian ketiga dari seni
retorika klasik yaitu menjalinnya dengan kata-kata atau style. Sedangkan masalah
atau prinsip yang ke-(4) dan ke-(5) dapat disamakan dengan bagian kedua dari
seni retorika yaitu menyusun pidato (Keraf, 2004:18-19).
Dalam retorika modern terdapat pencorakan komposisi, meliputi bentuk
karangan yang disebut: eksposisi, argumentasi, deskripsi dan narasi. Eksposisi
adalah suatu bentuk retorika yang tujuannya adalah memperluas pengetahuan
pembaca, agar pembaca tahu mengenai hal yang diuraikan. Sebaliknya
argumentasi berusaha mengubah dan mempengaruhi sikap pembaca. Sikap
18
pembaca hanya dapat diubah jika penulis mengemukakan fakta dalam suatu
rangkaian hubungan yang masuk akal. Deskripsi menggambarkan objek uraian
sedemikian rupa sehingga barang atau hal tersebut seolah-olah berada di depan
mata pembaca dan narasi berusaha mengisahkan kejadian yang ingin disampaikan
penulis, sehingga pembaca merasakan seolah olah ia sendiri yang mengalami
peristiwa tersebut (Keraf, 2004:19-20).
2.2.2 Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa secara imajinatif, bukan
dalam pengertian yang benar-benar secara alamian (Warigner, 1977 dalam
Tarigan, 1986:5). Gaya bahasa merupakan bentuk retorika, yakni penggunaan
kata-kata dalam berbicara dan penulis untuk mempengaruhi pembaca dan
pendengar (Tarigan, 1986:5). Gaya bahasa juga berkaitan dengan situasi atau
suasana karangan, artinya gaya bahasa menciptakan suasana hati tertentu,
misalnya kesan baik atau kesan buruk, senang, tidak enak, yang diterima karena
pelukisan tempat, peristiwa dan keadaan tertentu (Ahmadi dalam Amiludin,
1990:169).
Gaya bahasa juga merupakan salah satu unsur yang digunakan untuk
menentukan keindahan sebuah kalimat baik dari segi makna maupun dari segi
bunyi, biasanya ditandai dengan ciri-ciri bahasa yang formal seperti pilihan kata,
struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain.
Gaya bahasa dapat bermacam-macam sifatnya tergantung konteks gaya bahasa itu
digunakan atau tergantung selera dari pengguna bahasa dan harus dilihat dari
tujuan penuturan itu sendiri.
19
2.2.3 Makna
Pateda (2010:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-
kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada
tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam Pateda, 2010:82)
mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian.
Sedangkan Djadjasudarma (2009:7) menyatakan bahwa makna adalah kajian kata
yang berkenaan dengan hubungan-hubungan makna yang membuat kata tersebut
berbeda dari kata-kata yang lain. Artinya, dalam hal ini menyangkut kata leksikal
yang cenderung terdapat di dalam kamus sebagai leksikon. Jadi, dapat
disimpulkan makna adalah maksud atau arti yang terdapat dari sebuah kata
maupun kalimat memiliki hubungan dengan pengertian lain.
Makna merupakan gejala ujaran yang dimaksudnya banyak digunakan
dalam bentuk-bentuk ujaran yang disebut metafora, ironi, litotes, dan bentuk-
bentuk gaya bahasa lain dapat disebut sebagai persoalan bahasa. Makna sebagai
penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan para
pemakainya sehingga dapat saling dimengerti. Makna mempunyai tiga
keberadaan, yakni :
1. Makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan.
2. Makna menjadi isi dari suatu kebahasaan.
3. Makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi
tertentu.
20
Pada tingkat pertama dan kedua makna dilihat dari segi hubungan dengan
penutur, sedangkan pada tingkat ketiga makna dalam komunikasi (Djajasudarma,
2009:7-8).
2.3 Kerangka Teori
Dalam melakukan sebuah penelitian harus didasari dengan suatu teori.
Teori dapat dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk yang dapat mengarahkan
penelitian dengan baik. Teori yang digunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
2.3.1 Retorika
Seto (2003) dalam bukunya 日本語のレトリック “Nihongo no
Retoriku”, berpendapat bahwa bentuk-bentuk retorika dibagi ke dalam tiga
kelompok besar yaitu, 意味のレトリック“imi no retorikku” berarti retorika
makna, 形のレトリック“katachi no retorikku” berarti retorika bentuk, dan 構造
のレトリック“kouzou no retorikku” berarti retorika struktur. Dari tiga kelompok
retorika tersebut, secara garis besar, Seto (2003) merumuskan 30 jenis retorika
yang ada yaitu sebagai berikut:
1. 意味のレトリック “imi no retorikku” (retotika makna)
Menurut Seto (2003) retorika makna atau (imi no retorikku) terdiri dari 16
jenis gaya bahasa, adapun sebagai berikut :
a. 隠喩“Inyu” (Metafora)
Metafora adalah semacam gaya bahasa atau ungkapan yang membandingkan
dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk singkat. Metafora sebagai
21
perbandingan langsung tidak perlu menggunakan kata seperti, bak, bagai,
bagaikan, dan sebagainya sehingga pokok pertama langsung digabungkan
dengan pokok kedua. Hal ini diungkapkan lebih mendalam oleh Seto,
(2003:200) yaitu :
類似性にもとづく比喩である。「人生」を「旅」に喩えるように、典
型的には抽象的な具象的物に見立てて表現する。
(日本語のレトリック、2003:200)
Ruijisei ni motodzuku hiyudearu. [Jinsei] wo [tabi] ni tatoeru youni, tenkeiteki
ni wa chūshōtekina gushō-teki mono ni mitatete hyougen suru. (NNR, 2003:200)
Metafora adalah ungkapan yang digunakan berdasarkan kesamaan. Hal ini
dapat dibandingkan dengan [kehidupan] dan [perjalanan], yang biasanya di
nyatakan menyerupai suatu hal yang abstrak. (NNR, 2003:200)
Contoh : 人生は旅だ。
Jinsei wa tabida. Hidup adalah perjalanan.
(NNR, 2003:200)
b. 直喩 “Chokuyu” (Simile)
Simile adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat eksplisit. Kalimat yang
dimaksud adalah langsung menyatakan sesuatu yang sama dengan hal yang
lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya secara eksplisif menunjukan kesamaan
dengan kata-kata yaitu : seperti, sama, sebagai, bagaikan laksana dan
sebagainya. Hal ini dijelaskan secara mendalam oleh Seto, (2003:200) yaitu:
「~のよう」などによって類似性を直接示す比喩。しばしばどの点で
ているのかも明示する。
(日本語のレトリック、2003:200)
[~ No you] nado ni yotte ruijisei wo chokusetsu shimesu hiyu. Shibashiba dono
ten de nite iru no kamo meiji suru. (NNR, 2003:200)
22
Ungkapan yang menunjukan persamaan secara langsung yang ditunjukan pada
kalimat [seperti] akan sering kali ada di setiap titik. (NNR, 2003:200)
Contoh : ヤツはスッポンのようだ。
Yatsu wa suppon no youda.
Dia tampak seperti kura-kura (NNR, 2003: 200)
Dalam bahasa Jepang, (Nakamura, 2008) menjelaskan selain penggunaan kata
~よう dalam gaya bahasa simile, untuk mengibaratkan atau membandingkan
sesuatu secara jelas dengan hal yang lain menggunakan kata-kata sepeti : あた
かも、さながら、まるで、ごとし、ようだ、みたいだ、ような、よう
に.
c. 擬人法 “Gijinhou” (Personifikasi)
Personifikasi adalah ungkapan yang memperlakukan benda mati atau barang-
barang yang tidak bernyawa sebagai benda yang memiliki jiwa atau nyawa
yang dapat bergerak dan berekspresi seperti layaknya manusia/memiliki sifat-
sifat kemanusiaan. Hal ini dijelaskan lebih mendetail oleh Seto (2003:200)
yang menyatakan bahwa:
擬人法は人間でないものを人間にたとえるレトリックです。つまり、
本当なら人間ではないものを人間っぽく扱うというものです。
(日本語のレトリック、2003:200)
Gijinhou wa ningendenai mono wo ningen ni tatoeru retorikkudesu. Tsumari,
hontounara ningende wanai mono wo ningenppoku atsukau to iu monodesu. (NNR, 2003:200)
Personifikasi adalah gaya bahasa yang mengumpamakan benda mati
seperti manusia, memperlakukan benda layaknya manusia. (NNR, 2003:200)
Contoh : 社会が病んでいる。
Jikai ga yandeiru.
Masyarakat yang sakit.
23
母なる大他。
Haha naru daihoka
Ibu besar lainnya (NNR, 2003:200)
d. 共感覚法 “Kyoukangakuhou” (Sinestesia)
Sinestesia adalah ungkapan atau gaya bahasa yang mengungkapkan salah satu
dari lima panca indera yang terdiri dari indera penglihatan, indera pengecap,
indera peraba, indera pendengaran, dan indera perasa. Hai ini dijelaskan lebih
mendalam oleh Seto (2003:200) yaitu:
触覚、味覚、嗅覚、視覚、聴覚の五感の間で表現をやり取りする表現
法。表現を貨す側と借りる側との間で、一定の組み合わせがある。 (日本語のレトリック、2003:200)
mikaku, kyūkaku, shikaku, chōkaku no gokan no ma de hyougen wo yaritori
suru hyougenhou. Hyougen wo kasugawa gawa to kariru gawa to no ma de,
ittei no kumiawase ga aru. (NNR, 2003:200)
Sebuah teknik yang menggunakan salah satu dari lima panca indera yaitu:
indera penglihatan, pengecap, peraba, pendengaran, dan indera perasa.
Digunakan untuk mengungkapkan satu sisi kebenaran dengan
mengkombinasikannya menggunakan panca indra. (NNR, 2003:200)
Contoh : 深い味。
Fukai aji
Rasa yang dalam
大きな音。
Ookina oto
Suara yang besar
暖かい色。
Atatakai iro
Warna yang hangat (NNR, 2003:200)
e. くびき法 “Kubikihou” (Zeugma)
Zeugma adalah ungkapan atau gaya bahasa yang menggunakan dua konstruksi
rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang
sebenarnya hanya salah satunya mempunyai dengan hubungan dengan kata
24
pertama. Seto (2003:200) menjelaskan lebih mendalam mengenai Zeugma,
bahwa:
一本のくびきでに頭の牛をつなぐように、一つの表現を二つの意味で
使う表現法。多義語の異なった意義を利用する。 (日本語のレトリック、2003:200)
Ippon no kubiki de ni atama no ushi wo tsunagu youni, hitotsu no hyougen wo
futatsu no imi de tsukau hyougenhou. Tagi go no kotonatta igi wo riyou suru. (NNR, 2003:200)
Sebuah bahasa untuk mengungkapkan sesuatu dengan dua makna, untuk
makna yang berbeda dengan tagigo/polisemi. Seperti contoh ippon no kubiki de
nitou no ushi wo tsunagu. (seutas tali mengikat dua kepala sapi). (NNR, 2003:200)
Contoh : ばったも痛いが、ピッチャも痛かった。
Batta- mo itaiga, piccha mo itakatta.
Baik batter maupun pitcher samasama kesakitan (NNR, 2003:200)
f. 換喩 “Kanyu” (Metonimia)
Metonimia adalah ungkapan yang mempergunakan sebuah kata untuk
menyatakan sesuatu hal lain, karena memiliki pertalian yang sangat dekat. Hal
itu berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki,
akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya dan
sebagainya. Hai ini dikemukakan lebih mendalam oleh Seto (2003:201) yaitu:
「赤スキン」が「赤すきんちゃん」を指す用に、世界の中でのものと
ものの隣接関係にもとづいて指示を横すべりさせる表現法。 (日本語のレトリック、2003:201)
[Akasukin] ga [aka sukinchan] wo sasu youni, sekai no naka de no mono to
mono no rinsetsu kankei ni motodzuite shiji wo yokosuberi saseru hyougenhou.
(NNR, 2003:201)
Ungkapan atau metode dasar untuk menunjuk pada hubungan yang berdekatan
dengan hal-hal di dunia merujuk pada seseorang. (NNR, 2003:201)
Contoh : なべが煮える
Nabe ga nieru
Panci mendidih
25
春雨や物語行くみのとかさ。
Harusame ya monogatari yuku mino to kasa.
Hujan musim semi, mino dan payung saling berbicara. (NNR, 2003:201)
g. 低喩 “Teiyu” (Sinekdok)
Sinekdok adalah suatu ungkapan atau semacam bahasa figuratif yang
mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau
memepergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Hal ini
dikemukakan lebih mendalam oleh Seto (2003:201) yaitu:
「天気」で「いい天気」を意味する場合があるように、類と種の間の
関係にもとづいて意味範囲を伸縮される表現法。 (日本語のレトリック、2003:201)
[Tenki de ii tenki]wo imi suru baai ga aru you ni, rui to tane no ma no kankei
ni motodzuite imi han i wo shinshuku sareru hyougenhou.
(NNR, 2003:201)
Ungkapan atau metode yang digunakan sebagai perluasan/peregangan arti
berdasarkan hubungan jenis dan karakteristik seperti contoh antara [cuaca] dan
[cuaca baik]. (NNR, 2003:201)
Contoh : 熱がある。
Netsu ga aru.
Panas
焼き鳥。
Yakitori.
Sate
花見に行く。
Hanami ni iku.
Pergi untuk melihat sakura. (NNR, 2003:201)
h. 誇張法“Kochouhou” (Hiperbola)
Hiperbola adalah ungkapan atau gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara
berlebih-lebihan dengan membesar-besarkan sesuatu hal/topik yang
dibicarakan. Pengertian ini dijelaskan lebih mendalam oleh Seto (2003:201)
yaitu :
26
事実以上に大げさな言いまわし。「描の額」のように事実を過小に表
する場合もあるが、これも大けさな表現法の一種。 (日本語のレトリック、 2003:201)
Jijitsu ijou ni oogesana imawashi. [byou no gaku] no youni jijitsu wo kashou
ni hyougen suru baai mo aru ga, kore mo daikesana hyōgenhou no isshu. (NNR, 2003:201)
Ungkapan yang mengatakan sesuatu berlebihan daripada kenyataan. Dalam hal
ini, merupakan jenis dari metode untuk membesar-besarkan dari fakta. (NNR, 2003:201)
Contoh: 一日千秋の思い。
Ichijitsusenshuu no omoi.
Perasaan seribu musim gugur dalam sehari.
白髪三千丈。
Shiragamichijyou.
Panjang tiga ribu uban. (NNR, 2003:201)
i. 緩叙法 “Kanjyohou” (Meiosis)
Meiosis adalah sebuah ungkapan atau gaya bahasa yang digunakan untuk
menunjukkan derajat dari suatu ungkapan. Hal ini digunakan untuk
menunjukkan makna yang kuat dari sebuah kalimat, seperti penggunaan kata
chotto. (Seto, 2003:201) mengatakan pengertiannya yaitu:
表現の程度をひかえることによって、かえって強い意味を示す法ひか
えめな言葉を使うか、「ちょっと」示などを添える。 (日本語のレトリック、2003:201)
Hyougen no teido wo hikaeru koto ni yotte, kaette tsuyoi imi wo shimesuhou
hikae-mena kotoba wo tsukau ka,`chotto' shimesu nado wo soeru (NNR, 2003:201)
Sebuah ungkapan yang bertujuan untuk menunjukkan derajat dari suatu
ungkapan, untuk menunjukkan makna yang kuat, seperti digunakannya kata
chotto dalam kalimat. (NNR, 2003:201)
Contoh : 好意を持っています
Koui wo motteimasu.
Memiliki kegemaran.
ちょっとうれしい
Chotto ureshii.
Sedikit senang. (NNR, 2003:201)
27
j. 曲言法 “Kyokugenhou” (Litotes)
Litotes adalah ungkapan yang digunakan untuk menyatakan sesuatu dengan
tujuan merendahkan diri, suatu hal yang kurang dari keadaan sebenarnya atau
suatu pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya. Hal ini
diungkapkan lebih mendalam oleh Seto (2003:201) mengatakan pendapatnya
yaitu:
伝えたい意味の反対の表現を否定することによって、伝えたい意味を
かえって強く表現する方法。 (日本語のレトリック、 2003:201)
Tsutaetai imi no hantai no hyougen wo hitei suru koto ni yotte, tsutaetai imi wo
kaette tsuyoku hyougen suru houhou.
(NNR, 2003:201) Cara yang kuat untuk mengungkapkan makna yang ingin disampaikan, dengan
menyangkal kebalikan dari representasi makna yang ada. (NNR, 2002:201)
Contoh : 悪くない。
Warukunai.
Tidak enak badan.
安い買い物ではなかった。
Yasui kaimono dewanakatta.
Itu bukan barang belanjaan yang murah.
(NNR, 2003:201)
k. 同語反復 “Dougohanpuku” (Tautologi)
Tautologi adalah ungkapan atau gaya bahasa yang mengkonfirmasikan dan
menegaskan arti yang sejenis secara positif bahkan tidak ada kejelasan
terhadap pengulangan ungkapan yang sama. Hal ini dikemukakan lebih
mendalam oleh (Seto, 2003:201) yaitu:
まったく同じ表現を結びつけることによって、なおかつ意味をなす表
現法。言葉の慣習的を再確認される。 (日本語のレトリック、2003:201)
28
Mattaku onaji hyougen wo musubitsukeru koto ni yotte, naokatsu imiwonasu
hyougenhou. Kotoba no kanshūteki wo sai kakunin sareru. (NNR, 2003:201)
Ungkapan yang sama persis digunakan secara berulang-ulang. Kata yang
digunakan dan dikonfirmasi berulang kali. (NNR, 2003:201)
Contoh : 殺人は殺人だ。
Satsujin wa satsujin da.
Pembunuhan adalah pembunuhan
男の子は男の子だ。
Otoko no ko ha otoko no ko da.
Anak laki-laki adalah anak laki-laki (NNR, 2003:201)
l. 執着法 “Shuchakuhou/Taigiketsugou” (Oksimiron)
Oksimiron adalah ungkapan atau gaya bahasa yang berusaha untuk
menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek bertentangan atau
mempergunakan kata-kata yang bertentangan dalam frasa yang sama dan sebab
itu sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks. Hal ini senada dengan
pendapat (Seto, 2003:202) yaitu:
正反対の意味を組み合わせて、なおかつ矛盾に陥らすに意味をなす表
現法。「反対物の一致」を体現する。 (日本語のレトリック、2003:202)
Seihantai no imi wo kumiawasete, naokatsu mujun ni ochiira su ni imi wo nasu
hyougenhou. `Hantai-mono no itchi' wo taigen suru (NNR, 2003:202)
Ungkapan yang menggunakan makna untuk membentuk oposisi makna dengan
menggabungkan arti berlawanan, namun dapat direprentasikan dengan masuk
akal dan tidak menimbulkan kontradiksi/konflik. (NNR, 2003:202)
Contoh : 公然の秘密。
Kouzen no himitsu
Rahasia terbuka (umum).
暗黒の輝き。
Ankoku no kagayaki.
Sinar kegelapan
29
無知の地。
Muchi no chi.
Pengetahuan yang tidak tahu. (NNR, 2003:202)
m. 婉曲法 “Enkyokuhou” (Eufimisme)
Eufimisme adalah suatu ungkapan atau gaya bahasa yang mempergunakan
kata-kata dengan arti yang baik ataau dengan tujuan yang baik. Ungkapan ini
digunakan agar tidak menyinggung perasaan orang, menggantikan acuan-acuan
yang mungkin dirasakan menghina, dan tidak menimbulkan kesan tidak
mengenakkan. Hal ini dijelaskan lebih mendalam oleh Seto (2003:202) yaitu:
直接言いにくいことばを婉曲的に口当たりよく表現する方法。白魔術
的な善意のものと黒魔術悪徳のものとがある。 (日本語のレトリック、 2003:202)
Chokusetsu ii nikui kotoba wo enkyokuteki ni kuchiatari yoku hyougen suru
houhou. Shiro majutsutekina zen'i no mono to kokumajutsu akutoku no mono to
ga aru. (NNR, 2003:202)
Sebuah ungkapan yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu hal yang
tadinya sulit atau tabu untuk dikatakan kemudian digantikan agar terkesan
tidak kasar. Seperti orang-orang yang memiliki ilmu putih memiliki etikat baik
dan orang yang memiliki ilmu hitam tidak bermoral. (NNR, 2003:202)
Contoh : 化粧室
Keshoushitsu
Toilet
生命封建
Seimei houken
Perlindungan jiwa/asuransi jiwa. (NNR, 2003:202)
n. 逆現法 “Gyakugenhou” (Paralepsis)
Paralepsis adalah ungkapan atau gaya bahasa yang berusaha mencapai
kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi
yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Hal ini dijelaskan lebih
mendalam oleh Seto (2003:202) yang menyatakan bahwa:
30
言わないといって実際には言う表現法。慣用的なものから滑稽なもの
まである。不定の逆説的な用い方。 (日本語のレトリック、 2003:202)
Iwanai to itte jissai ni wa iu hyōgen-hō. Kanyoutekina mono kara kokkeina
mono made aru. Futei no gyakusetsu-tekina mochii-kata. (NNR, 2003:202)
Sebuah ungkapan yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang tidak
akan dikatakan tetapi sebenarnya dikatakan. Dari ungkapan hingga lelucon pun
ada. Cara penggunaan bersifat penolakan/negasi. (NNR, 2003:202)
Contoh : 言うまでも泣く。
Iumademo naku.
Tak sampai dikatakan pun/ tak perlu dikatakan pun.
お礼の言葉もありません。
Orei no kotoba mo arimasen.
Saya tidak tahu bagaimana mengungkapkan terima kasih... (NNR, 2003:202)
o. 修辞的疑問法 “Shuujiteki Gimonhou” (Retorical Question)
Retorical Question (Pertanyaan Retorikal) adalah suatu ungkapan atau gaya
bahasa yang bentuk kalimatnya adalah pertanyaan, dengan tujuan mencapai
efek yang lebih mendalam, penekanan yang wajar dan sama sekali tidak
menghendaki adanya suatu jawaban. Hal ini dijelaskan lebih mendalam oleh
Seto (2003:202) yaitu:
形は疑間文で意味は平叙文という表現法。文章に変化を与えるだけで
なく、読者・聞き手に訴えかけるダイアローグ的特質をもつ。 (日本語のレトリック、2003:202)
Katachi wa utagukan bun de imi wa heijo bun to iu hyougenhou. Bunshou ni
henkawoataeru dakedenaku, dokusha kikite ni uttae kakeru daiarouguteki
tokushitsu wo motsu (NNR, 2003:202)
Sebuah ungkapan yang bentuk kalimatnya adalah pertanyaan, tetapi maknanya
adalah berbentuk pernyataan (berbentuk deklaratif). Tidak hanya memberikan
perubahan pada karangan, tetapi juga memiliki sifat/karakteristik dialog yang
menarik bagi pendengar atau pembaca. (NNR, 2003:202)
Contoh : いったい疑問の余地はあるのだろうか?
Ittai gimon no yochi wa aru no darouka.
Apakah ada ruang untuk bertanya? (NNR, 2003:202)
31
p. 含意法 “Ganihou” (Implikasi)
Implikasi adalah sebuah teknik atau ungkapan yang tidak disampaikan secara
langsung makna yang dituju, tetapi menggunakan makna alasan yang
bermakna tidak langsung serta memunculkan implikasi dari penentangan
intensi pada tata tertib percakapan. (Seto, 2003:202) mengungkapkan
pendapatnya lebih lengkap mengenai implikasi, yaitu:
伝えたい意味を直接言うのではなく、ある表現から推論される意味に
よって間接的に伝える方法。会話のルールの意図的な違反によって含
意が生じる。 (日本語のレトリック、 2003:202)
Tsutaetai imi wo chokusetsu iu node wa naku, aru hyougen kara suiron sareru
imi ni yotte kansetsuteki ni tsutaeru houhou. Kaiwa no ruuru no itotekina ihan
ni yotte gan'i ga shoujiru. (NNR, 2003:202)
Sebuah ungkapan yang tidak menyampaikan secara langsung makna yang
dituju, tetapi menggunakan makna alasan yang bermakna tidak langsung
(memiliki makna tersendiri). Memunculkan implikasi dari penentangan intensi
pada tata tertib percakapan. (NNR, 2003:202)
Contoh : 髪をぬらす。
Kami wo nurasu.
Menenggelamkan Tuhan.
ちょっとこの部屋蒸すねえ。
Chotto kono heya musu nee.
Agak panas kamar ini. (NNR, 2003:202)
2. 形のレトリック “Katachi no retorikku” (retorika bentuk)
Seto (2003) menyatakan bahwa retorika bentuk (Katachi no retorikku)
terdiri dari 8 jenis gaya bahasa, adapun bagian-bagiannya dapat dijabarkan
sebagai berikut :
32
a. 反復法 “Hanpukuhou” (Repetisi/Pengulangan)
Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau kalimat yang dianggap
penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Hal ini
dijelaskan lebih mendalam oleh Seto (2003:202) yaitu :
同じ表現を繰り返すことによって、意味の連続、リズム、強調を表す
法。詩歌で用いられるものリフリーンと呼ばれる。 (日本語のレトリック、 2003:202)
Onaji hyougen wo kurikaesu koto ni yotte, imi no renzoku, rizumu,kyouchou wo
arawasuhou. Shiika de mochii rareru mono rifurīn to yobareru.
(NNR, 2003:202)
Ungkapan yang digunakan untuk mengulangi kata-kata yang sama. Hal ini
mewakili kesinambungan makna, irama dan penekanan. Hal ini disebut Rifurin
yang digunakan dalam puisi. (NNR, 2003:202)
Contoh : えんやとっと。えんやとっと。
Enyatotto. Enyatotto. (NNR, 2003:202)
b. 挿入法 “Sounyuuhou” (Parenthesis)
Parenthesis adalah ungkapan atau gaya bahasa yang memasukkan bentuk
berbeda dalam suatu jenis karangan dengan menggunakan tanda kurung atau
dash. Seto (2003:203) berpendapat mengenai parenthesis lebih lengkap yaitu:
カツコやダッシュなどの使用によって、文章の主流とは異なる言葉を
挿入する表現法。ときに「脱線」ともなる。 (日本語のレトリック、2003:203)
Katsuko ya dasshu nado no shiyou ni yotte, bunshou no shuryuu to wa
kotonaru kotoba wo sounyuu suru hyougenhou. Toki ni „dassen‟ to mo naru. (NNR, 2003:203)
Sebuah ungkapan yang memasukkan bentuk kata berbeda dalam suatu jenis
karangan (kalimat utama) dengan menggunakan tanda kurung atau dash. (NNR, 2003:203)
Contoh : 文は人なり(人は文なりというべき)
Bun wa hito nari (hito wa bun nari to iu beki )
Karangan menjadikan manusia
(sebaiknya dikatakan manusia menjadi karangan) (NNR, 2003:203)
33
c. 省略法 “Syouryakuhou” (Elipsis)
Elipsis adalah suatu gaya bahasa yang berwujud menghilangkan suatu unsur
kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca
atau pendengar sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola
yang berlaku. Hal ini dijelaskan lebih mendalam oleh Seto (2003:203) yang
menyatakan bahwa:
文脈から復元できる要素を省略し、簡潔で余韻のある表現を生む方法。
日本語ではこの技法が発達している。 (日本語のレトリック、2003:203)
Bunmyaku kara fukugen dekiru youso wo shouryakushi, kanketsu de yoin no
aru hyougen wo umu houhou. Nihongo de wa kono gihou ga hattatsu shiteiru (NNR, 2003:203)
Ungkapan yang digunakan untuk menghilangkan dari konteks semula, agar
menghasilkan representasi ringkas (bisa di representasikan sendiri). Di dalam bahasa jepang, teknik ini mulai dikembangkan.
(NNR, 2003:203)
Contoh : これはどうも。
Kore wa doumo.
Ini terima kasih.
それはそれは。
Sore wa sore wa.
Itu apa itu apa. (NNR, 2003:203)
d. 黙説法 “Mokusetsuhou” (Reticence)
Reticence adalah suatu ungkapan atau gaya bahasa yang digunakan untuk
mengungkapkan reaksi, ungkapan ragu-ragu yang kuat terhadap lawan bicara
dengan tiba-tiba menginterupsi di tengah pembicaraan. Ada pula yang
menyatakan sikap diam sejak awal pembicaraan. Seto (2003:203) menjelaskan
pendapatnya lebih mendalam mengenai reticence, yaitu:
34
途中で急に話を途絶することによって、内心のためらいや感動、相手
への強い働きかけを表す。はじめから沈黙することもある。 (日本語のレトリック、2003:203)
Tochuu de kyuu ni hanashi wo tozetsu suru koto ni yotte, naishin no tamerai ya
kandou, aite he no tsuyoi hatarakikake wo arawasu. Hajime kara chinmoku
suru koto mo aru. (NNR, 2003:203)
Mengungkapkan reaksi, ungkapan keragu-raguan yang kuat terhadap lawan
bicara dengan tiba-tiba menginterupsi di tengah pembicaraan. Ada pula yang
menyatakan sikap diam dari awal dimulainya pembicaraan. (NNR, 2003:203)
Contoh : Dengan penggunaan simbol-simbol
「…………」
「------------」 (NNR, 2003:203)
e. 倒置法 “Touchihou” (Inversi)
Inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan
susunan kata yang biasa dalam kalimat. Hal ini dijelaskan secara lebih
mendalam oleh Seto (2003:203) yang menjelaskan bahwa:
感情の起伏や力点の置き所を調整するために、通常の語順を逆転され
る表現法。ふつう後置された要素に力点が置かれる。 (日本語のレトリック、2003: 203)
Kanjou no kifuku ya rikiten no okisho wo chousei suru tame ni, tsuujou no
gojun wo gyakuten sareru hyougenhou. Futsuu koochi sareta youso ni rikiten
ga okareru. (NNR, 2003:203)
Sebuah ungkapan yang digunakan untuk membalikan urutan kata yang lazim
untuk menekankan posisi kata yang mengandung penekanan dan perasaan (titik
emosi). (NNR, 2003:203)
Contoh : うまいね、このコーヒーは。
Umai ne, kono kouhii wa.
Enak, ya, kopi ini. (NNR, 2003:203)
f. 対句法 “Tsuikuhou” (Antitesis)
Antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang
bertentangan, dengan menggunakan kata-kata atau kelompok kata yang
35
berlawanan. Hal ini dikemukakan Seto (2003:203) lebih mendalam mengenai
antitesis, yaitu :
同じ構文形式のなかで意味的なコントラストを際だたせる表現法。対
照的ないみが互いを照らしだす。 (日本語のレトリック、2003:203)
Onaji koubun keishiki no naka de imi tekina kontorasuto wo kiwadata seru
hyougenhou. Taishou tekina imi ga tagai wo terashi dasu. (NNR, 2003:203)
Ungkapan yang digunakan untuk menonjolkan bentuk struktur kalimat
(sintakis) yang sama, terdapat makna (semantik) yang kontras. Makna yang
dikontraskan saling menonjolkan satu sama lain. (NNR, 2003:203)
Contoh : 春は曙、冬はつとめて。
Haru wa akebono, fuyu wa tsutomete.
Musim semi adalah fajar, musim dingin adalah subuh. (NNR, 2003:203)
g. 声喩 “Seiyu” (Onomatope)
Onomatope adalah sebuah ungkapan atau gaya bahasa yang paling banyak
menunjukkan teknik ungkapan (hyougenhou) pembentukan ide atau pikiran
dalam makna yang diungkapkan dengan bunyi (onomatope). Seto (2003:203)
menjelaskan pendapatnya mengenai onomatope lebih mendalam, yaitu :
音が表現する意味に創意工夫を凝らす表現法一般を指す。凝音語・凝
態語はその例のひとつ。頭韻や脚韻もここに含まれる。 (日本語のレトリック、 2003:203)
Oto ga hyougen suru imi ni sou i kufuu wokorasu hyougenhou ippan wo sasu.
Gyouongo, Gyoutaigo wa sono rei no hitotsu. Touin ya kyakuin mo koko ni
fukumareru. (NNR, 2003:203)
Ungkapan yang memiliki pembentukan ide atau pikiran dalam makna yang
diungkapkan dengan bunyi (onomatope). Termasuk di dalamnya giongo,
gitaigo, touin (aliterasi), dan kyokuin (rima/sajak). (NNR, 2003:203)
Contoh : かっぱらっぱかっぱらった。
Kapparappa kapparatta.
Pencuri telah mencuri. (NNR, 2003:203)
36
h. 漸層法 “Zenshouhou” (Klimaks)
Klimaks adalah ungkapan atau gaya bahasa yang mengungkapkan membentuk
puncak dari adanya penumpukkan secara satu per satu. Seto (2003:204)
mengemukakan pendapatnya lebih mendalam mengenai klimaks, yaitu :
したいに盛り上げてピークを形成する表現法。一つの分のテクスト全
体のなかでも可能である。 (日本語のレトリック、2003:204)
Shitai ni moriagete piiku wo keisei suru hyougenhou. Hitotsu no bun no
tekusuto zentai no naka demo kanoudearu. (NNR, 2003:204)
Sebuah ungkapan yang digunakan untuk mengungkapkan membentuk puncak
dari adanya penumpukkan secara satu per satu. (NNR, 2003:204)
Contoh : 一度でも、一度でも、一度でも。。。
Ichido demo, ichido demo, ichido demo,
satu kali, satu kali, satu kali... (NNR, 2003:204)
3. 構造のレトリック “Kouzou no retorikku” (retorika struktur)
Seto (2003) retorika struktur (Kouzou no retorikku) dibagi ke dalam 6
jenis gaya bahasa. Adapun bagian-bagiannya dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. 逆説 “Gyakusetsu” (Paradoks)
Paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung sebuah hal pertentangan yang
nyata dengan fakta-fakta yang ada, hanya mewakili satu sisi kebenaran. Hal ini
dikemukakan lebih mendalam oleh Seto (2003:204) yaitu:
逆説は一般に真実だと想定されていることの逆を述べて、そこにも真
実が含まれていることを伝える表現法。 (日本語のレトリック、2003:204)
Gyakusetsu wa ippan ni shinjitsuda to soutei sarete iru koto no gyaku wo
nobete, soko ni mo shinjitsu ga fukumarete iru koto wo tsuteru hyougenhou. (NNR, 2003:204)
Paradoks adalah sebuah ungkapan yang digunakan untuk menyatakan
kebalikan dari pada yang sudah ada pada umumnya dan hanya mewakili satu
hal dari kebenaran. (NNR, 2003:204)
37
Contoh : アキレスは亀を追いぬくことはできない。 Akiresu wa kame wo oiiku koto wa dekinai
Achilles tidak bisa melewati seekor kura-kura (NNR, 2003:204)
b. 諷喩 “Fuyuu” (Alegori)
Alegori adalah majas yang mengganti hal yang sebenarnya ingin disampaikan
dengan hal yang mirip, sebenarnya makna yang ingin disampaikan berada
dibalik perkataan itu. Hal ini dikemukakan lebih mendalam oleh Seto
(2003:204) yaitu:
諷喩は一貫したメタファーの連続からなる文章(テクスト)。動物な
どを懝人化した寓話(Fable)は、その一種である。 (日本語のレトリック、 2003:204)
Fuuyu wa ikkan shita metafaa no renzoku kara naru bunshou (tekusuto).
Doubutsu nado wo gaijinka shita gūwa (feiburu) wa sono ichishudearu.
(NNR, 2003:204)
Alegori terdiri dari serangkaian kalimat metafora yang konsisten (berbentuk
teks). Jenisnya dapat digambarkan seperti binatang dalam sebuah mitos atau
dongeng. (NNR, 2003:204)
Contoh: 女の髪の毛には大象も繋がる。
Onna no kami no ke ni wa taizou mo tsunagaru.
Rambut wanita pun dapat mengikat kuat gajah besar. (Ardianti, 2009:98)
行く河の流れは絶えずして。 Iku kawa no nagare wa taezushite
Aliran sungai deras terus-menerus (NNR, 2003:204)
c. 反語法 “Hangohou/hinniku” (Ironi)
Ironi adalah sebuah ungkapan atau gaya bahasa yang ingin mengatakan sesuatu
dengan makna atau maksud yang berlainan dari yang terkandung dalam
rangkaian kata-katanya. Ironi biasanya menggunakan sindiran-sindiran untuk
mengungkapkan maksud yang ingin disampaikan. Hai ini dijelaskan lebih
mendalam oleh Seto (2003:203) yaitu:
38
相手のことばを引用してそれとなく批を加える表現法。まだ、意味を
反転させて皮肉るもの反語である。 (日本語のレトリック、2003:204)
Aite no kotoba wo inyou shite soretonaku hi wo kuwaeru hyougenhou. Mada,
imi wo hanten sasete hinikuru mono hangodearu. (NNR, 2003:204)
Ungkapan yang menambahkan adanya penilaian yang (palsu) tidak sebenarnya
ada dengan mengutip kata-kata lawan bicara. Sindiran yang menjadi ironi yang
membalikkan makna sebenarnya. (NNR, 2003:204)
Contoh : (0点に対して)本当いい点数ねえ。
(0 ten ni taishite) hontou ii tensuu nee.
(melihat kertas nilai 0), nilai yang sangat bagus, ya... (NNR, 2003:204)
d. 引喩 “Inyu” (Alusi)
Alusi adalah sebuah ungkapan atau gaya bahasa yang digunakan untuk
mensugestikan antara orang, tempat atau peristiwa. Biasanya berupa suatu
referensi yang ekspilisit atau impilisit kepada peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh,
atau tempat-tempat di kehidupan nyata, mitologi atau dalam karya sastra
terkenal. Hal ini dikemukakan lebih mendalam oleh Seto (2003:203) yaitu:
有名な一節を喑に引用しながら独自の意味を加えることによって、重
層的な意味をかもし出す法。本歌取りはその一例。 (日本語のレトリック、2003:204)
Yuumeina issetsu wo an ni inyou shite shinagara dokuji no imi wo kuwaeru
koto ni yotte, jūsoutekina imi wo kamoshidasuhou. (NNR, 2003:204)
Ungkapan atau pola, yang memiliki makna berlapis-lapis untuk menambah arti
sementara pada kalimat itu sendiri dengan implisit dan mengutip bagian yang
terkenal. (NNR, 2003:204)
Contoh : 盗めでも、盗めでも、わが暮らし楽にならざる。
Nusumedomo, nusumedomo, waga kurashi raku ni narazaru.
Mencuri dan muncuri, hidup kita tidak akan tenang. (NNR, 2003:204)
39
e. もじり “Mojiri” (Parodi)
Parodi adalah teknik mengutip sambil menjadikan karangan yang terkenal dan
pola-pola tetap teks menjadi sebuah guyonan/lelucon. Seto (2003:203)
mengungkapkan pendapatnya mengenai parodi lebih mendalam, yaitu:
元の有名な文章や定型パタンを茶化しながら引用する法。内容を換骨
奪胎して、批判・おかしみなどを伝える。 (日本語のレトリック、2003:204)
Gen no yuumeina bunshou ya teikei patan wo chakashinagara inyou suru hou.
Naiyou wo kankotsudattai shite, hihan okashimi nado wo tsutaeru. (NNR, 2003:204)
Sebuah ungkapan yang digunakan untuk mengutip kemudian menjadikan
karangan yang terkenal dan pola-pola tetap agar teks menjadi sebuah guyonan/
lelucon. Menyampaikan lelucon, penilaian dengan mengadaptasi isi. (NNR, 2003:204)
Contoh : サラダ記念日。
Sarada kinenbi.
Hari peringatan selada
体記念日。
Karada kinenbi.
Hari kebugaran tubuh (NNR, 2003:204)
f. 文体模写法 “Buntai moshahou” (Pastiche)
Pastiche adalah teknik memasukkan isi/niat pribadi dengan meniru bentuk
karangan atau gaya pengarang tertentu. Seto (2003:205) menyatakan
pendapatnya secara lebih mendalam mengenai pastiche, yaitu :
特定の作家、作者の文体をまわることによって、独自の内容を盛り込
む去。文体模写は文体のみを借用する。 (日本語のレトリック、2003:205)
Tokutei no sakka, sakusha no buntai wo mawaru koto ni yotte, dokuji no
naiyou wo morikomu sa. Buntai mosha wa buntai nomi wo shakuyou suru. (NNR, 2002:205)
Sebuah ungkapan yang digunakan untuk mengungkapkan isi/niat pribadi
dengan meniru bentuk karangan atau gaya pengarang tertentu. Buntai mousha
hanya mengadopsi bentuk karangan saja. (NNR, 2003:205)
40
Contoh : 例文省略。
Reibun shoryaku.
Contoh kalimat yang dikutip/disingkat. (NNR, 2003:205)
Dalam penelitian ini teori retorika digunakan untuk menganalisis jenis-
jenis retorika yang dibagi menjadi tiga kategori yaitu retorika makna, retorika
struktur dan retorika bentuk dari novel Kaze no Uta wo Kike karya Haruki
Murakami.
2.3.2 Makna Kontekstual
Pateda (2010:116) menyatakan bahwa makna kontekstual (contextual
meaning) atau makna situasional (situational meaning) adalah makna yang
muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dan konteks.
Konteks yang dimaksud dalam hal ini adalah:
1) Konteks Orangan adalah konteks yang memaksa pembicara untuk mencari
kata-kata yang maknanya dapat dipahami oleh lawan berbicara sesuai
dengan jenis kelamin, latar belakang sosial ekonomi dan latar belakang
pendidikan. Sulit bagi kita mengharapkan pemahaman tentang kata dekorasi
bagi seseorang yang berpendidikan SD.
2) Konteks Situasi adalah kontek yang memaksa pembicara mencari kata yang
maknanya berkaitan dengan situasi. Misalnya situasi kedudukan akan
memaksa orang untuk mencari kata yang maknanya berkaitan dengan situasi
itu.
3) Konteks Tujuan, misalnya tujuannya untuk meminta, maka orang akan
mencari kata-kata yang maknanya meminta. Itu sebabnya orang akan
berkata “saya minta roti”
41
4) Konteks Formal/Tidaknya Pembicaraan memaksa orang harus mencari kata
yang bermakna sesuai dengan keformalan/tidaknya pembicaraan.
5) Konteks Suasana Hati Pembicara/Pendengar turut mempengaruhi kata yang
berakibat pula pada makna. Misalya suasana hati yang jengkel akan
memungkinkan kata-kata yang bermakna jengkel pula. Itu sebabnya akan
muncul kata-kata anjing kau.
6) Konteks Waktu, misalnya waktu tidur, waktu saat-saat orang akan
bersantap. Jika seseorang bertamu pada waktu seseorang akan beristirahat,
maka lawan berbicara akan kesal. Itu akan terlihat dari makna kata-kata
yang digunakan. Misalnya ia berkata “Persoalan ini akan kita bicarakan lagi,
ya?” Atau, “Saudara kembali dulu”. Urutan kata akan kita bicarakan lagi,
saudara kembali dulu menyatakan makna kejengkelan.
7) Konteks Tempat, misalnya di pasar, di depan bioskop, semuanya akan turut
mempengaruhi kata yang digunakan atau turut mempengaruhi makna yang
akan digunakan. Di tempat-tempat itu orang akan mencari kata yang
bermakna bisa-biasa, misalnya yang maknanya berkaitan dengan ekonomi.
8) Konteks Objek yang mengacu kepada fokus pembicaraan akan turut
mempengaruhi makna kata yang digunakan. Misalnya fokus pembicaraan
adalah soal ekonomi orang akan mencari kata-kata yang berkaitan dengan
ekonomi.
9) Konteks Kelengkapan Alat Bicara/Dengar akan turut mempengaruhi makna
kata yang digunakan. Misalnya orang yang tidak normal saat berbicara
melapalkan suatu kata, namun kata yang diucapkan tersebut tidak dapat
42
dilafalkan dengan baik oleh pembicara sehingga lawan bicara yang
mendengarkan kata tersebut akan salah mengartikan maknanya.
10) Konteks Kebahasaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan
kaidah bahasa yang bersangkutan akan turut mempengaruhi makna secara
keseluruhan. Dalam hal kedua belah pihak (pembicara maupun lawan
bicara) harus mengerti dan menguasai bahasa yang digunakan untuk
berkomunikasi.
11) Konteks Kesamaan Bahasa adalah konteks yang mempengaruhi makna
secara keseluruhan. Dalam hal ini kedua pihak harus menguasai bahasa
yang digunakan.
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan diatas, dapat disimpulkan
bahwa sebuah kata tidak terlepas dari sebuah konteks dalam kalimat. Setiap kata
memiliki makna berbeda-beda tergantung konteks yang digunakan baik dari
konteks waktu, konteks tempat, objek dan konteks berbahasa itu sendiri. Pada
penelitian ini, makna kontekstual digunakan untuk menganalisis makna yang
terdapat dalam novel Kaze no Uta wo Kike karya Haruki Murakami.