bab ii kajian pustaka - sinta.unud.ac.id ii.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan...

18
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Mata Kering (MK) Mata Kering (MK) merupakan penyakit multifaktorial air mata dan permukaan okular yang ditandai dengan penglihatan tidak nyaman, penglihatan kabur dan instabilitas lapisan air mata, yang berpotensi menimbulkan kerusakan pada permukaan okular (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). MK juga ditandai dengan peningkatan osmolaritas lapisan air mata dan peradangan pada permukaan mata yang mengakibatkan kerusakan permukaan kornea (Smith, dkk., 2007). Mata Kering (MK) juga dikenal dengan gangguan Lacrimal Functional Unit (LFU), yaitu sistem terintegrasi yang meliputi kelenjar lakrimal, permukaan okular, kelopak mata, saraf sensoris dan motoris. LFU berperan mengatur regulasi air mata dan berespon terhadap berbagai faktor antara lain, lingkungan, endokrin dan saraf (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). Stabilitas LFU terganggu apabila terjadi ketidakseimbangan antara sekresi, pembersihan dan perubahan komposisi air mata sehingga mengakibatkan terjadinya inflamasi pada permukaan okular. Inflamasi pada permukaan okular dapat menyebabkan disfungsi sekretoris kronis, penurunan sensasi kornea, dan penurunan respon refleks. Gangguan LFU diketahui memegang peranan penting dari perkembangan berbagai bentuk MK (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 6

Upload: truongminh

Post on 24-Jul-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Mata Kering (MK)

Mata Kering (MK) merupakan penyakit multifaktorial air mata dan

permukaan okular yang ditandai dengan penglihatan tidak nyaman, penglihatan

kabur dan instabilitas lapisan air mata, yang berpotensi menimbulkan kerusakan

pada permukaan okular (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). MK

juga ditandai dengan peningkatan osmolaritas lapisan air mata dan peradangan

pada permukaan mata yang mengakibatkan kerusakan permukaan kornea (Smith,

dkk., 2007).

Mata Kering (MK) juga dikenal dengan gangguan Lacrimal Functional

Unit (LFU), yaitu sistem terintegrasi yang meliputi kelenjar lakrimal, permukaan

okular, kelopak mata, saraf sensoris dan motoris. LFU berperan mengatur regulasi

air mata dan berespon terhadap berbagai faktor antara lain, lingkungan, endokrin

dan saraf (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).

Stabilitas LFU terganggu apabila terjadi ketidakseimbangan antara sekresi,

pembersihan dan perubahan komposisi air mata sehingga mengakibatkan

terjadinya inflamasi pada permukaan okular. Inflamasi pada permukaan okular

dapat menyebabkan disfungsi sekretoris kronis, penurunan sensasi kornea, dan

penurunan respon refleks. Gangguan LFU diketahui memegang peranan penting

dari perkembangan berbagai bentuk MK (American Academy of Ophthalmology,

2014-2015).

6

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1

Memahami komposisi molekular lapisan air mata dan kontribusi kelenjar

meibom terhadap lapisan air mata merupakan hal yang penting untuk bisa

memahami MK. Menjaga lapisan air mata sangat vital untuk fungsi kornea

normal. Lapisan air mata terdiri dari tiga lapis, yaitu: Lapisan lipid yang

dihasilkan oleh kelenjar meibom, lapisan akuos yang dihasilkan kelenjar lakrimal,

dan lapisan musin yang dihasilkan sel goblet konjungtiva (gambar 2.1).

Gambar 2.1 Tiga komponen lapisan air mata (Morgan, 2008)

Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur sekresi lapisan akuos air

mata adalah dengan tes Schirmer. Tes Schirmer dapat dilakukan dengan atau

tanpa anestesi topikal. Tes Schirmer I dilakukan tanpa didahului pemberian tetes

mata anestesi. Tes ini menggunakan strip kertas filter 35 mm x 5 mm yang

berisikan ukuran yang distandardisasi. Kertas diletakkan pada palpebra bawah

sampai ke cul-de-sac, biasanya pada sepertiga temporal palpebra lateral. Pasien

dianjurkan menutup mata selama 5 menit. Panjang dari kertas yang basah karena

air mata diukur. Nilai panjang kertas yang basah lebih dari 10 mm berarti tes

Schirmer negatif yaitu produksi air mata normal. Nilai dibawah 5,5 mm

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1

merupakan diagnostik dari aqueous tear deficiency (ATD) (American Academy of

Ophthalmology, 2014-2015; Lemp, dkk., 2007; Javadi dan Feizi, 2011).

Tes Schirmer II dilakukan sama dengan tes Schirmer I, namun setelah

dipasang kertas filter kemudian dilakukan rangsangan pada mukosa nasal dengan

kapas. Nilai normalnya adalah di atas 15 mm selama 5 menit (American Academy

of Ophthalmology, 2014-2015).

Tear Breakup merupakan pengukuran fungsi stabilitas air mata dan pada

MGD stabilitas air mata terganggu, menyebabkan Tear Break-up Time (TBUT)

yang cepat. Setelah konjungtiva diberikan tetes fluorescein, lapisan air mata

kemudian dievaluasi menggunakan slit lamp dengan filter biru. Perhitungan waktu

diukur antara kedipan terakhir dan pertama kali munculnya dry spot pada kornea.

Munculnya dry spot kurang dari 10 detik dikatakan abnormal (American

Academy of Ophthalmology, 2014-2015; Javadi dan Feizi, 2011).

Penampakan klinis pada Meibom Gland Disfunction (MGD) meliputi busa

pada meniskus air mata sepanjang kelopak mata bawah, injeksi konjungtiva bulbi

dan tarsus, reaksi papil pada inferior tarsus, pewarnaan berbentuk garis sepanjang

konjungtiva dan kornea inferior, episkleritis, epitel marginal dan infiltrat

subepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea

(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).

2.1.1 Epidemiologi mata kering (MK)

Mata Kering (MK) meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Angka

kejadian MK rata-rata 10% pada usia 30 sampai 60 tahun. Sedangkan usia di atas

65 tahun angka kejadian MK meningkat menjadi 15% (Smith, dkk., 2007).

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian MK cenderung lebih

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1

tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki dan tidak berbeda bermakna baik

dari faktor ras dan etnik (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).

Penelitian di Thailand tahun 2006 memperoleh angka kejadian MK

sebesar 14,2% dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada usia lebih dari 45

tahun (Kasetsuwan, dkk., 2012). Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Lee

dan kawan-kawan tahun 2007 memperoleh angka kejadian MK tertinggi antara

usia 40 sampai 49 tahun dan lebih tinggi ditemukan pada laki-laki. Berdasarkan

data Women’s health Study (WHS) dan Physician’s Health Study (PHS) tahun

2009 diperoleh sebesar 3,23 juta perempuan dan 1,68 juta laki-laki di Amerika

Serikat usia di atas 50 tahun menderita MK (Smith, dkk., 2007).

Sekitar sepuluh dari satu juta orang di dunia memiliki gejala yang berat

dan cenderung bermanifestasi secara episodik pada MK. Setelah dilakukan

analisis lanjutan untuk mencari penyebab, diperoleh adanya faktor kelembaban

yang kurang dan penggunaan lensa kontak sebagai dua faktor risiko tertinggi

(Smith, dkk., 2007). Angka kejadian MK cenderung mengalami peningkatan

sepanjang tahun, penelitian Ellwein memperoleh angka kejadian MK tahun 1991

sebesar 1,33% kasus kemudian tahun 1998 meningkat menjadi 1,92% (Smith,

dkk., 2007).

2.1.2 Faktor risiko dan klasifikasi mata kering (MK)

Berbagai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya Mata Kering (MK)

telah teridentifikasi pada berbagai studi, antara lain: usia, jenis kelamin, terapi

estrogen, nutrisi, penggunaan obat antihistamin, riwayat pembedahan kornea, dan

penggunaan lensa kontak yang lama (Lemp, dkk., 2007; Gayton, 2009).

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1

Secara umum terdapat dua penyebab MK yaitu penurunan cairan aqueus

dan peningkatan evaporasi air mata (American Academy of Ophthalmology,

2014-2015; Gayton, 2009). Penurunan produksi cairan aqueus dapat disebabkan

oleh Sindroma Sjogren dan bukan Sindroma Sjogren. Pada penyebab bukan

Sindroma Sjogren, terjadinya penurunan cairan akuos disebabkan oleh karena

gangguan produksi lakrimalis, obstruksi saluran lakrimalis, hambatan reflek

kelenjar, dan penggunaan obat-obatan sistemik. Peningkatan evaporasi disebabkan

oleh dua faktor yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi penurunan

produksi kelenjar minyak meibom, kelainan bentuk kelopak mata, penurunan

reflek berkedip, dan obat-obatan. Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi penurunan

vitamin A, pemakaian lensak kontak, penyakit permukaan mata (gambar 2.2)

(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).

Gambar 2.2 Klasifikasi Mata Kering (MK)

(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015)

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1

2.1.3 Patogenesis mata kering (MK)

Mata Kering (MK) terjadi akibat adanya berbagai faktor risiko MK yang

mengakibatkan hiperosmolaritas dan atau ketidakstabilan lapisan air mata.

Adanya hiperosmolaritas air mata menyebabkan kerusakan permukaan epitel

konjungtiva melalui aktivasi inflamasi dan pelepasan mediator inflamasi ke dalam

air mata. Kerusakan epitel yang terjadi berupa apoptosis sel, kehilangan sel goblet

dan gangguan ekspresi musin. Adanya kerusakan epitel tersebut mengakibatkan

ketidakstabilan lapisan air mata. Kerusakan epitel yang terjadi dapat merangsang

ujung-ujung saraf kornea sehingga menimbulkan keluhan tidak nyaman pada mata

dan sering mengedipkan kelopak mata. Kehilangan musin pada permukaan okular

akan meningkatkan gesekan antara konjungtiva bulbaris dengan bola mata.

Adanya gesekan tersebut menyebabkan inflamasi neurogenik pada kelenjar

lakrimalis. Inflamasi neurugenik tersebut mengakibatkan penurunan dan

hiperosmolaritas sekresi kelenjar lakrimalis (American Academy of

Ophthalmology, 2014-2015).

Kelembaban yang rendah dan aliran udara yang tinggi mengakibatkan

peningkatkan evaporasi lapisan air mata. Peningkatan evaporasi ini berdampak

pada ketidakstabilan komponen lemak air mata sehingga mengakibatkan

hiperosmolaritas air mata. Selain itu, berkurangnya aliran air mata oleh karena

adanya gangguan aliran cairan lakrimal ke dalam sakus lakrimalis mengakibatkan

penurunan produksi dan sekresi air mata. Gangguan aliran air mata tersebut sering

disebabkan oleh karena sikatrik pada konjungtiva dan gangguan reflek kelenjar

lakrimal (gambar 2.3) (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1

Gambar 2.3 Patogenesis Mata Kering (MK)

(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015)

2.1.4 Derajat mata kering (MK)

Berdasarkan The definition and classification of dry eye disease: report of

the definition and Clasification subcommittrr of the international dry eye

workshop (2007), MK diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit

menjadi derajat 0,1,2,3, dan 4. Hal-hal yang dinilai antara lain tingkat

kenyamanan, berat dan frekuensi, gejala yang mempengaruhi penglihatan, injeksi

konjungtiva, pewarnaan pada konjungtiva dan kornea, tanda pada kornea, kondisi

kelenjar meibom, TBUT, dan nilai tes schirmer. Ditunjukkan dalam tabel 2.1.

Dikatakan sebagai MK marginal atau derajat 0 jika tingkat kenyamanan, berat dan

frekuensi ringan; gejala yang mempengaruhi penglihatan tidak ada; injeksi

konjungtiva tidak ada, pewarnaan pada konjungtiva dan kornea normal, tanda

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1

pada kornea tidak ada, kondisi kelenjar meibom baik, TBUT ≥ 10 detik; dan nilai

tes schirmer ≥ 10 mm/5 menit (Henderson dan Madden, 2013).

Tabel 2.1

Skema derajat beratnya Mata Kering (MK)

Derajat

Kriteria 1 2 3 4

ketidaknyamanan,

berat, dan

frekuensi

ringan

dan/atau

episodik;

terjadi

dalam

stress

lingkungan

episodik

sedang atau

kronis,

stress atau

tanpa stress

frekuensi

berat atau

tetap tanpa

stress

berat dan/atau

tidak aktif dan

tetap

Gejala

penglihatan

tidak ada

atau

episodik

ringan

episodik

mengganggu

dan/atau

membatasi

aktifitas

mengganggu,

kronik

dan/atau

konstan,

membatasi

aktifitas

konstan

dan/atau tidak

aktif

Injeksi

konjungtiva

tidak ada

atau ringan

tidak ada

atau ringan

+/- +/++

pewarnaan

konjungtiva

tidak ada

atau ringan

bervariasi sedang hingga

jelas

jelas

Pewarnaan

kornea

tidak ada

atau ringan

bervariasi jelas di sentral erosi pungtata

berat

Tanda pada

kornea/ air mata

tidak ada

atau ringan

debris

ringan,

meniskus

menurun

keratitis

filamentosa,

penggumpalan

mucus,

peningkatan

debris air

mata

keratitis

filamentosa,

penggumpalan

mucus,

peningkatan

debris air

mata, ulkus

Kelenjar meibom

MGD

bervariasi

MGD

bervariasi

sering trikiasis,

keratinisasi,

simblefaron

TBUT (detik)

bervariasi ≤ 10 ≤ 5 Segera

Nilai tes schirmer

(mm/5 menit)

bervariasi ≤ 10 ≤ 5 ≤ 2

(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015)

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1

2.2 Superoxide Dismutase (SOD)

Superoxide Dismutase (SOD) merupakan enzim pengkatalis radikal bebas

superoksida menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Dalam aktivitasnya, SOD

memerlukan berbagai mineral sebagai katalisator enzimatisnya, antara lain

Mangan (Mn), Seng (Zn) dan Tembaga (Cu) (Kovacic and Jacintho, 2001;

Cemelli, dkk., 2009).

Jenis SOD ditentukan berdasarkan atas mineral pengkatalisnya, seperti

Copper-Zinc-SOD (Cu-Zn-SOD) terdapat di dalam sitosol lisosom dan nukleus,

Manganese-SOD (Mn-SOD) terdapat di dalam mitokondria, Iron-SOD (Fe-SOD)

dan Nikel SOD (Ni-SOD) yang terdapat di dalam sitosol lisosom (Chakraborty

dkk., 2007; Cemelli dkk., 2009).

Superoxide Dismutase [Cu-Zn] yang juga dikenal dengan Superoxide

Dismutase 1 (SOD1) merupakan enzim pada manusia yang berlokasi di

kromosom 21. Peran dari stress oksidatif ditemukan pada patogenesis terjadinya

MK, yaitu mempengaruhi fungsi air mata, permukaan okular dan kelenjar

lakrimal baik secara kuantitatif dan kualitatif (Wakamatsu, dkk., 2008).

2.2.1 Struktur superoxide dismutase (SOD)

Superoxide Dismutase (SOD) merupakan suatu glikoprotein dengan berat

molekul dan bentuk bervariasi tergantung dari mana enzim tersebut berasal. Pada

manusia SOD memiliki bentuk tetramerik glikopeptida dengan berat molekul

sebesar 28.300 Kilo Dalton (KDa). Struktur SOD memiliki gugus Cu dan Zn

sebagai katalisatornya berperan penting dalam menstabilkan radikal bebas. Gugus

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1

Cu dan Zn masing-masing berada pada ikatan 6-histidine dan 1-aspartat. Selain

itu, struktur SOD juga memiliki ikatan disulfida, N-asetilsistein dan ikatan N-

asetilalanin pada ujung terminalnya yang berperan mengikat target radikal bebas

(gambar 2.4) (Kovacic and Jacintho, 2001).

Gambar 2.4 Struktur Superoxide Dismutase (SOD) (Nicholls and Budd, 2000)

2.2.2 Peran superoxide dismutase (SOD)

Superoxide Dismutase (SOD) berperan melindungi sel terhadap paparan

radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki satu elektron

tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Elektron yang tidak berpasangan

mengakibatkan molekul menjadi tidak stabil dan bereaksi dengan zat kimia

organik dan atau anorganik lainnya. Adanya reaksi tersebut mengakibatkan

kerusakan sel terutama asam nukleat dan membran sel (Mitchel dan Contran,

2008).

Sel yang normal memiliki sistem pertahanan terhadap radikal bebas, salah

satunya adalah antioksidan SOD. SOD melindungi sel terhadap metabolisme

oksigen dan akan mengubah radikal bebas yang berbahaya menjadi molekul yang

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1

stabil yaitu H2O. Peran SOD sebagai enzim antioksidan intraseluler dalam

menstabilkan radikal bebas superokside (O2-) melalui mekanisme reduksi dan

oksidasi sebagai berikut: Secara umum semua SOD, ion metal (M) mengkatalisa

dismutasi O2- melalui mekanisme oksidasi reduksi seperti dibawah:

M3+

+ O2- M

2+ + O2

M2+

+ O2- + 2H

+ M

3+ + H2O2

SOD menetralisir O2-

menjadi oksigen (O2) dan hidrogen peroksida

(H2O2). Selanjutnya H2O2 diubah menjadi molekul air (H2O) oleh enzim katalase

dan peroksidase. Salah satu enzim peroksidase yang penting adalah glutation

peroksidase. Sehingga secara lengkap mekanisme enzimatis tersebut adalah

sebagai berikut (Kovacic dan Jacintho, 2001):

2O2- + 2H

+ O2 + H2O2 (oleh SOD)

2H2O2 2H2O + O2 (oleh Katalase)

2GSH + H2O2 GSSG + 2H2O (oleh Glutation Peroksidase)

Mekanisme SOD dalam mempertahankan integritas sel dapat dilihat pada

gambar 2.5. Radikal bebas berasal dari reaksi oksigen yang terjadi di dalam sel,

seperti metabolisme quionon dan xenobiotik yang melibatkan enzim peroksisomal

β-oksidasi dan sitokrom P450. Radikal bebas superoksida (O2-) yang terbentuk

selanjutnya akan dimetabolisme oleh SOD menjadi molekul hidrogen peroksida

(H2O2) dan oksigen (O2). Hidrogen peroksida kemudian dimetabolisme oleh

enzim katalase dan atau glutation peroksidase menjadi molekul air (H2O). Namun

apabila terjadi gangguan metabolisme SOD akan terjadi akumulasi radikal bebas

O2- yang mengakibatkan kerusakan membran lipid, protein esensial dan DNA sel

(Kohen dan Nyska, 2002).

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1

Gambar 2.5 Mekanisme Kerja Superoxide Dismutase (SOD) dalam

Melindungi Kerusakan Sel (Nicholls and Budd, 2000)

2.2.3 Pemeriksaan superoxide dismutase (SOD)

Pemeriksaan enzim Superoxide Dismutase (SOD) dikerjakan dengan

menggunakan teknik Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA).

Pemeriksaan ELISA menggunakan prinsip ikatan antigen-antibodi yang spesifik.

Adanya ikatan antara antigen dan antibodi yang spesifik akan menimbulkan

perubahan warna yang dinilai secara kuantitatif atau kualitatif (Winarsi, 2007;

Rajkumar dkk., 2008).

Penilaian ELISA secara kualitatif akan memberikan hasil positif atau

negatif, dimana cut off point antara positif dan negatif ditentukan oleh analis dan

atau statistik. Pada penilaian ELISA secara kuantitatif, kadar SOD akan dinilai

berdasarkan jumlah ikatan antara antigen dengan antibodi dengan alat kolorimeter

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1

atau immunoabsorbant. Secara umum prosedur pemeriksaan ELISA secara

kuantitatif adalah sebagai berikut (Rajkumar dkk., 2008):

1. Antigen yang akan diuji dimasukkan ke cawan lempeng mikro.

2. Solusi non-protein seperti bovine serum albumin atau kasein ditambahkan

untuk menghambat setiap permukaan cawan yang masih dilapisi oleh antigen.

3. Antibodi primer ditambahkan akan mengikat secara khusus terhadap antigen.

4. Setelah itu ditambahkan antibodi sekunder yang akan mengikat antibodi

primer.

5. Sebuah substrat untuk enzim ini kemudian ditambahkan. Adanya perubahan

warna menunjukkan bahwa antibodi sekunder telah terikat dengan antibodi

primer.

6. Semakin tinggi konsentrasi antibodi primer dalam serum, semakin kuat

perubahan warnanya. Secara kuantitatif perubahan warna tersebut dinilai

dengan alat kolorimeter.

2.3 Hubungan antara Superoxide Dismutase (SOD) dengan Mata Kering

(MK)

Mata Kering (MK) merupakan penyakit multifaktorial yang

etiopatogenesisnya belum diketahui secara pasti. Salah satu teori tentang

etiopatogenesis MK yang banyak berkembang adalah stres oksidatif. Stres

oksidatif merupakan suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas

dengan antioksidan. Stres oksidatif dapat timbul apabila pembentukan radikal

bebas terjadi berlebihan disertai berkurang atau menetapnya sistem pertahanan

antioksidan (Nicholls dan Budd, 2000).

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1

Pemukaan bola mata merupakan daerah yang tidak terlindungi dan sering

terpapar oleh berbagai faktor eksternal seperti radiasi, oksigen dan bahan kimia.

Paparan berbagai faktor tersebut akan mengakibatkan terbentuknya berbagai

bahan radikal bebas, melalui reaksi oksigen yang terjadi di dalam sel, seperti

metabolisme quionon dan xenobiotik yang melibatkan enzim peroksisomal β-

oksidasi dan sitokrom P450. Salah satu radikal bebas yang banyak ditemukan

pada kerusakan bola mata adalah radikal bebas superoksida (O2-) yang dapat

menyebabkan terjadinya kerusakan pada bola mata (Kohen dan Nyska, 2002).

Pada MK terdapat dua penanda yang sering ditemukan yaitu adanya

penurunan cairan aqueus dan peningkatan evaporasi air mata (American Academy

of Ophthalmology, 2014-2015). Radikal bebas yang terbentuk pada bola mata

menyebabkan kerusakan permukaan epitel konjungtiva melalui aktivasi inflamasi

dan pelepasan mediator inflamasi ke dalam air mata. Kerusakan epitel yang terjadi

berupa apoptosis sel, kehilangan sel goblet dan gangguan ekspresi musin (Kohen

dan Nyska, 2002). Adanya kerusakan epitel tersebut mengakibatkan

ketidakstabilan lapisan air mata. Ketidakstabilan lapisan air mata akan memicu

terjadinya hiperosmolaritas permukaan mata. Kerusakan epitel yang terjadi dapat

merangsang ujung-ujung saraf kornea sehingga menimbulkan keluhan tidak

nyaman pada mata dan sering mengedipkan mata. Kehilangan musin pada

permukaan okular akan meningkatkan gesekan antara konjungtiva bulbaris

dengan bola mata. Adanya gesekan tersebut menyebabkan inflamasi neurogenik

pada kelenjar lakrimalis. Inflamasi neurugenik tersebut mengakibatkan penurunan

dan hiperosmolaritas sekresi kelenjar lakrimalis sehingga terjadilah MK (Mitchel

dan Contran, 2008).

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1

Superoxide Dismutase (SOD) berperan melindungi sel terhadap paparan

radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki satu elektron

tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Sel yang normal memiliki sistem

pertahanan terhadap radikal bebas, salah satunya adalah antioksidan SOD. SOD

melindungi sel terhadap metabolisme oksigen dan akan mengubah radikal bebas

yang berbahaya menjadi molekul yang stabil yaitu H2O. Radikal bebas

superoksida (O2-) yang terbentuk selanjutnya akan dimetabolisme oleh SOD

menjadi molekul hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2). Hidrogen

peroksida kemudian dimetabolisme oleh enzim katalase dan atau glutation

peroksidase menjadi molekul air (H2O) (Mitchel dan Contran, 2008).

Adanya SOD yang menetralisir radikal bebas O2- mengakibatkan tidak

terjadi kerusakan pada permukaan epitel konjungtiva. Sehingga stabilitas lapisan

air mata tetap terjaga dengan baik. Stabilitas lapisan air mata yang normal akan

menjaga osmolaritas permukaan mata. Pada akhirnya tidak akan mengakibatkan

terjadinya MK (Rajkumar dkk., 2008).

Penurunan kadar SOD akan mengakibatkan terjadi MK melalui dua

mekanisme, yaitu aktivasi sitokin pro inflamasi dan apoptosis. Mekanisme

pertama, penurunan SOD dapat mengaktivasi berbagai sitokin pro inflamasi,

seperti Interleukin-1β (IL-1β), Interleukin-2 (IL-2), Interleukin-6 (IL-6),

Interleukin-8 (IL-8), Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan Transforming Growth

factor-β (TGF-β). Berbagai sitokin pro inflamasi neurogenik tersebut

mengakibatkan terjadinya penurunan dan hiperosmolaritas sekresi kelenjar

lakrimalis sehingga terjadilah MK (Dogru, dkk., 2007).

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1

Apoptosis merupakan program bunuh diri intra seluler yang dilakukan

dengan cara mengaktifkan protein kaspase, yang merupakan suatu sistein protease

(Kumar dkk., 2010). Secara umum, terdapat dua jalur utama dalam proses

apoptosis, yaitu: jalur intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik meliputi pemberian

kode yang memicu proses mitokondria-dependent melalui pelepasan sitokrom c

dan pengaktifan kaspase-9. Jalur ekstrinsik bekerja dengan cara mengaktifkan

reseptor kematian atau Death Reseptor (DR), seperti Fas (reseptor 1 Tumor

Necrotic Factor (TNF)), DR4 dan DR5 (Bai dan Zhu, 2006). Adanya interaksi

dengan ligan yang sesuai akan mengarah kepada proses transduksi sinyal yang

diawali dengan peliputan molekul yang berhubungan dengan DR seperti Fas-

Associative Death Domain (FADD), yang selanjutnya akan mengaktifkan

kaspase-8. Pada MK penurunan SOD akan mengakibatkan aktivasi jalur ekstrinsik

dari apoptosis, dimana kaspase tersebut kemudian mengkatalis sederet proses

proteolitik yang mengakibatkan terjadinya penurunan sekresi kelenjar lakrimalis

sehingga terjadilah MK.

Berbagai penelitian yang menghubungkan antara SOD dengan MK.

Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Holowacz, dkk (2009) memperlihatkan bahwa

pemberian obat tambahan dengan antioksidan dapat meningkatkan kualitas

dan kuantitas air mata dan berkontribusi untuk meningkatkan fungsi lakrimal.

Hal tersebut juga mengurangi ketidaknyamanan okular karena rasa panas,

gatal, sensasi benda asing pada mata dan kemerahan. Namun pada penelitian

tersebut belum dapat ditentukan apakah perbaikan kondisi MK yang terjadi

akibat koreksi terhadap penurunan kadar SOD atau oleh karena peningkatan

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1

sekresi cairan aqueos atau peningkatkan defisiensi musin, defisiensi lipid, dan

epitel. Kesimpulan sementara yang diambil dari penelitian tersebut bahwa

secara empiris pemanfaatan suplemen antioksidan oral dapat meningkatkan

kualitas dan kuantitas air mata sehingga memberikan kenyamanan penglihatan

pada pasien MK.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Cejkova, dkk. (2008) memperoleh hasil bahwa

penurunan enzim antioksidan SOD berhubungan dengan trauma oksidatif pada

MK. Enzim antioksidan mungkin kewalahan dengan jumlah ROS yang besar

pada permukaan okular. Namun pada penelitian ini belum dijelaskan kadar

penurunan berapa yang dapat mengakibatkan terjadinya stress oksidatif pada

mata yang dapat mengakibatkan terjadinya MK.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Blades, dkk., tahun 2001 mendemonstrasikan

suplemen antioksidan oral meningkatkan stabilitas air mata dan kesehatan

permukaan konjungtiva pada penderita MK marginal. Korelasi yang signifikan

pada pada peningkatan stabilitas air mata dan peningkatan kesehatan

konjungtiva. Sementara peneliti tidak bisa menentukan jika stabilitas air mata

meningkat sebagai akibat langsung peningkatan kesehatan konjungtiva dan

jumlah sel goblet. Penelitian ini juga mengajukan peningkatan pada kesehatan

permukaan okular MK marginal pada penelitian ini dimediasi oleh

peningkatan stabilitas air mata diberikan oleh suplemen antioksidan, yang

menyebarkan komponen air mata seperti protein dari lingkungan yang

memediasi oksidatif stress.

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfsubepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). 2.1.1