bab ii kajian pustaka - uksw...bab ii kajian pustaka karya ilmiah disusun secara logis, sistematis,...
TRANSCRIPT
10
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Karya ilmiah disusun secara logis, sistematis, dan dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya. Oleh sebab itu untuk melaksanakan suatu penelitian perlu
mengkaji pendapat-pendapat para ahli mengenai masalah atau hal yang perlu diteliti.
Dengan pendapat-pendapat tersebut penulis mempunyai pedoman untuk menentukan
langkah selanjutnya dan berikut kita akan mengkaji pendapat para ahli mengenai
hasil belajar siswa, dan model pembelajaran matematika realistik.
2.1. Pengertian Belajar
Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan. Tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya
(Slameto, 2003).
Belajar menurut pandangan B. F. Skinner dalam Sagala (2011) adalah
suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara
progresisif.
Belajar adalah suatu proses yang kompleks, sejalan dengan itu menurut
Robert M. Gagne dalam Sagala (2011) belajar merupakan kegiatan yang
kompleks, dan hasil belajar merupakan kapabilitas, timbulnya kapabilitas
11
disebabkan (1) stimulasi yang berasal dari lingkungan; dan (2) proses kognitif
yang dilakukan oleh pelajar.
Dari pengertian-pengertian belajar di atas dapat disimpulkan bahwa
belajar adalah suatu kegiatan yang dapat menghasilkan perubahan tingkah laku,
perubahan-perubahan tersebut terjadi karena usaha sadar yang dilakukan oleh
individu yang sedang belajar.
2.2. Faktor faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Agar guru dapat membelajarkan siswa maka guru perlu mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Dimyati dan Mudjiono (2002)
mengemukakan ada dua faktor yang mempengaruhi belajar siswa, adapun faktor-
faktor tersebut, yaitu:
1. Faktor Intern
Faktor intern, yaitu faktor yang berasal dari diri siswa itu sendiri yang
meliputi:
a. Sikap terhadap belajar, sikap merupakan kemampuan memberikan
penilaian tentang sesuatu, yang membawa diri sesuai dengan penilaian.
Adanya penilaian tentang sesuatu, mengakibatkan terjadinya sikap
menerima, menolak, atau mengabaikan.
b. Motivasi belajar, motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang
mendorong terjadinya proses belajar. Motivasi belajar pada diri siswa dapat
12
menjadi lemah, untuk itu agar motivasi belajar bisa menjadi kuat, maka
guru perlu menciptakan suasana belajar yang menggembirakan.
c. Konsentrasi belajar, konsentarsi belajar merupakan kemampuan
memusatkan perhatian pada pelajaran. Untuk memperkuat perhatian pada
pembelajaran guru perlu menggunakan bermacammacam strategi belajar
mengajar.
d. Mengolah bahan belajar, mengolah bahan belajar merupakan kemampuan
siswa untuk menerima isi dan cara pemerolehan ajaran sehingga menjadi
bermakna bagi siswa. Agar pembelajaran menjadi bermakna guru perlu
menggunakan penedekatanpendekatan keterampilan proses, discovery,
ataupun laboratory.
e. Menyimpan perolehan hasil belajar, menyimpan perolehan hasil belajar
merupakan kemampuan menyimpan isi pesan dan cara perolehan pesan.
f. Menggali hasil belajar yang tersimpan, menggali hasil belajar merupakan
proses mengaktifkan pesan yang telah diterima.
g. Kemampuan berprestasi atau unjuk hasil belajar, kemampuan berprestasi
atau unjuk hasil belajar merupakan suatu puncak proses belajar. Pada tahap
ini siswa membuktikan keberhasilan belajar.
h. Rasa percaya diri siswa, rasa percaya diri siswa timbul dari keinginan
mewujudkan diri bertindak dan berhasil.
13
i. Intelegensi, intelegensi adalah suatu kecakapan global atau rangkuman
kecakapan untuk dapat bertindak secara efisien. Kecakapan tersebut bisa
menjadi aktual bila siswa memecahkan masalah dalam belajar atau
kehidupan sehari-hari.
j. Kebiasaan belajar, dalam kegiatan sehari-hari ditemukan adanya kebiasaan
belajar yang kurang baik, untuk itu guru perlu mengurangi kebiasaan-
kebiasaan belajar yang kurang baik.
k. Cita-cita, pada umumnya setiap anak memiliki cita-cita dalam hidupnya.
Cita-cita merupakan motivasi intrinsik.
2. Faktor Ekstern
Faktor ekstern, yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa yang meliputi:
a. Guru, guru adalah pengajar yang mendidik. Guru tidak hanya mengajar
mata pelajaran yang sesuai dengan keahliannya, tetapi juga menjadi
pendidik generasi muda bangsanya.
b. Prasarana dan sarana pembelajaran, prasarana pembelajaran meliputi
gedung sekolah, ruang belajar, lapangan olah raga, ruang ibadah, ruang
kesenian, dan peralatan olah raga. Sarana pembelajaran meliputi buku
pelajaran, buku bacaan, alat dan fasilitas laboratorium sekolah dan berbagai
media pengajaran yang lain. Lengkapnya prasarana dan sarana
pembelajaran merupakan kondisi pembelajaran yang baik.
14
c. Kebijakan penilaian, dari segi proses belajar, keputusan tentang hasil
belajar berpengaruh pada tindak siswa dan guru. Oleh karena itu, sekolah
dan guru diminta berlaku arif dan bijak dalam menyampaikan keputusan
hasil belajar siswa.
d. Lingkungan sosial siswa di sekolah, siswa-siswa di sekolah membentuk
suatu lingkungan pergaulan, yang dikenal sebagai lingkungan sosial siswa.
Dalam lingkungan sosial tersebut ditemukan adanya kedudukan dan
peranan tertentu.
e. Kurikulum sekolah, program pembelajaran di sekolah mendasarkan diri
pada suatu kurikulum. Kurikulum yang diberlakukan sekolah adalah
kurikukulum nasional yang disahkan pemerintah, atau suatu kurikulum
yang disahkan suatu yayasan pendidikan. Hal ini berarti bahwa program
pembelajaran di sekolah sesuai dengan pendidikan nasional.
2.3. Hasil Belajar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) hasil belajar adalah suatu
yang diadakan ( dibuat, dijadikan ) oleh usaha. Menurut Sagala (2011) Belajar
dikatakan berhasil manakala seseorang mampu mengulangi materi yang telah
dipelajarinya. Sedangkan menurut Catharina Tri Anni (2002) hasil belajar
merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami
aktivitas belajar. Seseorang dapat dikatakan telah belajar sesuatu apabila dalam
15
dirinya telah terjadi suatu perubahan, akan tetapi tidak semua perubahan yang
terjadi. Jadi hasil belajar merupakan pencapaian tujuan belajar dan hasil belajar
sebagai produk dari proses belajar, maka didapat hasil belajar.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Hasil
belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa melalui usaha (pengalaman dan
latihan) dalam mempelajari pokok bahasan tertentu yang dialami atau dirancang.
Keberhasilan pembelajaran dapat dilihat dari sejauh mana siswa dapat
mengulangi kembali materi yang telah dipelajari. Dan proses belajar yang
optimal memungkinkan hasil belajar yang optimal.
Proses belajar yang dialami siswa pada dasarnya menghasilkan perubahan-
perubahan. Perubahan-perubahan itu meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai
dan sikap. Perubahan-perubahan yang didapat siswa melalui proses belajar
tersebut biasa dikatakan sebagai hasil belajar atau prestasi belajar.
2.4. Matematika Sekolah Dasar
Menurut Depdiknas (2006) dalam (Pujiyanti, 2010) Matematika sebagai
salah satu ilmu dasar dewasa ini telah berkembang sangat pesat, baik materi
maupun kegunaannya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan Matematika Sekolah
Dasar merupakan suatu bahan kajian yang memiliki objek abstrak dan dibangun
melalui proses penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep diperoleh
16
sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sudah diterima, sehingga
keterkaitan antar konsep dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas.
Matematika Sekolah Dasar terdiri atas bagian-bagian kemampuan dan
membentuk pribadi siswa serta berpandu pada perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Ini berarti bahwa Matematika Sekolah Dasar tidak dapat
dipisahkan sama sekali dengan ciri-ciri yang dimiliki Matematika. Dua ciri
penting dari Matematika adalah memiliki objek kejadian yang abstrak dan
berpola pikir deduktif dan konsisten.
2.5. Model Pembelajaran Matematika Realistik
2.5.1. Pengertian Pendidikan Matematika Realistik
Freudental menyatakan bahwa “matematika suatu bentuk aktivitas
manusia” Pendidikan Matematika Realistik merupakan suatu pendekatan
dalam pembelajaran matematika di Belanda. Penggunaan kata “realistic”
sebenarnya berasal dari bahasa Belanda “zich realiseren” yang berarti
“untuk dibayangkan” atau “to imagine” Van den Heu-Panhuizen dalam
Wijaya, (2012). Menurut Van den Heu-Panhuizen, penggunaan kata
“realistic” tersebut tidak sekedar menunjukkan adanya suatu koneksi
dengan dunia nyata (real-word) tetapi lebih mengacu pada fokus
Pendidikan Matematika Realistik dalam penekanan penggunaan suatu
situasi yang biasa dibayangkan (imagineable) oleh siswa.
17
Suatu masalah realistik tidak harus selalau berupa maslah yang ada
di dunia nyata (real-word problem) dan biasa ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari siswa. Suatu masalah disebut “realistik” jika masalah tersebut
dapat dibayangkan (imagineable) atau nyata (real) dalam pikiran siswa.
Suatu cerita rekaan, permainan atau bahkan bentuk formal matematika
biasa digunakan sebagai masalah realistik. (Sering juga disebut konteks
problem) dalam Wijaya (2012) Konstektual yang dimaksud adalah
lingkungan siswa yang nyata. Menurut Ismail dkk (2007) di dalam
matematika hal itu tidak selalu diartikan “konkret”, tetapi dapat juga yang
telah dipahami siswa atau dapat dibayangkan.
Hal di atas sejalan dengan pandangan Masigit (2010) yang
berpendapat bahwa matematika realistik menekankan kepada konstruksi
dari konteks benda-benda konkrit sebagai titik awal bagi siswa guna
memperoleh konsep matematika. Benda-benda konkret dan obyek-obyek
lingkungan sekitar dapat digunakan sebagai konteks pembelajaran
matematika dalam membangun keterkaitan matematika melalui interaksi
sosial. Benda-benda konkrit dimanipulasi oleh siswa dalam kerangka
menunjang usaha siswa dalam proses matematisasi konkret ke abstrak.
Siswa perlu diberi kesempatan agar dapat mengkontruksi dan
menghasilkan matematika dengan cara dan bahasa mereka sendiri.
Diperlukan kegiatan refleksi terhadap aktivitas sosial sehingga dapat
18
terjadi pemaduan dan penguatan hubungan antar pokok bahasan dalam
struktur pemahaman matematika.
2.5.2. Prinsip-prinsip Pembelajaran Matematika Realistik
Dalam pembelajaran matematika realistik ada tiga prinsip kunci
yang dapat dijadikan dasar dalam merancang pembelajaran (dalam Ismail
dkk, 2008).
a. 1) Guided Re-invention “menemukan kembali secara terbimbing”
prinsip ini menekankan “penemuan kembali” secara terbimbing.
Melalui topik-topik tertentu yang disajikan, siswa diberi kesempatan
sama untuk membangun dan menemukan kembali ide-ide dan konsep-
konsep matematika. Setiap siswa diberi kesempatan yang sama untuk
merasakan situasi dan mengalami masalah kontekstual yang memiliki
berbagai kemungkinan solusi. Apabila diperlukan dapat diberikan
bimbingan yang diperlukan. Jadi pembelajaran tidak diawali dengan
“sifat” atau “definisi” atau “teorema” atau “aturan” dan diikuti dengan
contoh-contohnya serta “penerapanya” tetapi justru dimulai dengan
masalah kontekstual atau real/nyata meski dengan hanya
membayangkannya, dan selnjutnya diharapkan dapat menemukan
kembali sifat, definisi dan yang lainya itu.
19
b. 2) Progresive mathematization atau matematisasi progesif
Bagian ke-2 dari prinsip pertama ini Prinsip ini menekankan
“matematisasi” atau “pematematikaan” yang dapat diartikan sebagai
“upaya untuk mengarahkan kepada pemikiran matematika”. Dikatakan
progresif karena terdapat dua langkah matematisasi. Yaitu (1)
horizontal dan (2) vertikal yang berawal dari masalah kontekstual yang
diberikan dan akan berakhir pada matematika formal.
c. Didactial Phenomenology atau fenomenologi didaktik Prinsip ini
menekankan pada fenomena pembelajaran yang bersifat mendidik dan
menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk mengenalkan
topik-topik matematika kepada siswa. masalah kontekstual dipilih
dengan mempertimbangkan (1) aspek kecocokan aplikasi yang harus
diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) kecocokan dengan proses re-
invention yang berarti bahwa aturan/cara, atau konsep atau sifat
termasuk model matematika tidak tersedia atau diajarkan oleh guru
tetapi siswa perlu berusaha sendiri untuk menemukan atau
membangun sendiri dengan berpangkal dari masalha kontekstual yang
diberikan. Hal ini akan menimbulkan “lerning trajectory” atau lintasan
belajar yang akan mencapai tujuan yang di terapkan.
20
d. Self developed model atau membangaun sendiri model
Prinsip ketiga ini menunjukkan adanya fungsi “jembatan” yang berupa
model. Oleh karena berpangkal dari masalah kontekstual dan akan
menuju matematika formal serta adanya kebebasan anak maka tidaklah
mustahil siswa akan mengembangkan model sendiri. Model itu
mungkin masih sederhana dan masih mirip dengan masalah
kontekstualnya. Model ini disebut “model of” dan sifatnya masih bisa
disebut “matematika formal”. Selanjutnya mungkin melalui
generalisasi ataupun formalisasi dapat mengembangkan model yang
mengarahkan ke matematika formal, model ini dapat disebut “model
for”. Hal tersebut sesuai dengan matematisasi horizontal dan
matematisasi vertikal, yang memungkinkan siswa dapat menyelesaikan
masalah tersebut dengan caranya tersendiri.
2.5.3. Karakterisik Pembelajaran Matematika Realistik
Treffers (1987) dalam Wijaya (2012) merumuskan lima
krakteristik Pembelajarn Matematika Realistik, yaitu:
a. Penggunaan konteks
Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik
awal pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalah
dunia nyata namun bisa dalam bentuk permaianan, penggunaan alat
21
peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakana dan bisa
dibayangkan dalam pikiran siswa.
Melalui penggunaan konteks, siswa dilibatakan secara aktif
untuk melakukan kegiatan eksplorasi permasalahan. Hasil eksplorasi
tidak hanya bertujuan untuk mmenemukan jawaban akhir dari
permasalahan yang diberikan, tetapi juga diarahkan untuk
mengembangkanan berbagai strategi penyelesaian masalah yang
digunakan.
b. Penggunaan model matematisasi progresif
Dalam Pendidikan Matematika Realistik, model digunakan
dalam melakukan matematisasi secara progresif. Penggunaan model
berfungsi sebagai jembatan (bridge) dari pengetahuan matematika
tingkat kongkrit menuju tingkat formal.
Hal yang perlu dipahami dari kata model adalah bahwa model
tidak merujuk pada alat peraga model merupakan alat vertical dalam
matematika yang tidak bisa dilepaskan dari proses matematisasi (yaitu
matematisai horizontal dan matematisasi vertikal) karena model
merupakan tahapan transisi level informasi menuju level matematika
formal.
22
c. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
Mengacu pada pendapat Freudental bahwa matematika tidak
diberikan kepada siswa sebagai suatu produk yang siap pakai tetapi
sebagai suatu konsep yang dibangun oleh siswa maka dalam
pendidikan matematika realistik sebagai sumber subjek belajar.
Siswa memiliki kebebasan untuk membangun strategi
pemecahan masalah sehingga diharapkan akan memperoleh strategi
yang bervariasi. Hasil kerja dan konstruksi siswa selanjutnya
digunakan untuk landasan pengembangan konsep matematika.
Karakteristik ketiga dari Pendidikan Matemtika Realistik ini
tidak hanya bermanfaat dalam membantu siswa memahami konsep
matematika, tetapi juga sekaligus mengembangkan aktivitas dan
kreativitas siswa.
d. Interaktivitas
Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu
melainkan juga secara bersamaan merupakan suatu proses sosial.
Proses belajar siswa akan menjadi lebih singkat dan bermakna ketika
siswa saling mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka.
Pemanfaatan interaksi dalam pembelajaran matematika
bermanfaat dalam mengembangkan kemampuan kognitif dan afektif
siswa secara simultan. Kata “pendidikan” memiliki implikasi bahwa
23
proses yang berlangsung tidak hanya mengajarkan pengetahuan yang
bersifat kognitif, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai untuk
mengembangkan potensi alamiah afektif siswa.
e. Keterkaitan
Konsep-konsep dalam matematika tidak bersifat parsial, namun
banyak konsep matematika yang memiliki keterkaitan. Oleh karena
itu, konsep-konsep matematika tidak dikenalkan secara terpisah atau
terisolasi satu sama lain. Pendidkan Matematika Realistik
menempatkan keterkaitan (ineterwinemen) antara konsep matematika
sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran.
Melalui keterkaitan ini, suatu pembelajaraan matematika diharapkan
bisa mengenalkan dan membangaun lebih dari satu konsep matematika
secara bersamaan (walau ada konsep yang dominan).
2.5.4. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Matematika
Realistik
1. Kelebihan Model Pembelajaran Matematika Realistik
a. Karena membangun sendiri pengetahuannya, maka siswa tidak
pernah lupa.
b. Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena
menggunakan realitas kehidupan, sehingga siswa tidak cepat
bosan untuk belajar matematika.
24
c. Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka, karena sikap belajar
siswa ada nilainya.
d. Memupuk kerjasama dalam kelompok.
e. Melatih keberanian siswa karena siswa harus menjelaskan
jawabannya.
f. Melatih siswa untuk terbiasa berfikir dan mengemukakan
pendapat.
g. Mendidik budi pekerti.
2. Kelemahan Model Pembelajaran Matematika Realistik
a. Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa
masih kesulitan dalam menentukan sendiri jawabannya
b. Membutuhkan waktu yang lama.
c. Siswa yang pandai kadang tidak sabar menanti jawabannya
terhadap teman yang belum selesai
d. Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi
pembelajaran saat itu
e. Belum ada pedoman penilaian sehingga guru merasa kesal dalam
evaluasi atau memberi nilai (Anonim, www. google. RME. co. id).
25
2.5.5. Implementasi Model Pembelajaran Matematika Realistik di SD
Menurut Ismail, dkk (2008 ) secara umum dapat dikemukakan
langkah-langkah pembelajaran matematika dengan Model Pembelajaran
Matematika Realistik di bawah ini.
1. Mempersiapkan Kelas
a. Persiapkan sarana dan prasarana pembelajaran yang diperlukan,
misalnya buku siswa, LKS, alat peraga.
b. Kelompokkan siswa jika perlu (sesuai dengan rencana).
c. Sampaikan tujuan atau kompetensi dasar yang diharapkan dicapai
serta cara belajar yang akan dipakai hari itu.
2. Kegiatan Pembelajaran
a. Berikan masalah kontektual atau mungkin berupa soal cerita. (serta
lisan atau tertulis). Masalah tersebut untuk dipahami siswa.
b. Berikan penjelasan singkat dan seperlunya saja jika siswa yang
belum memahami soal atau masalah kontekstual yang diberikan.
Mungkin secara individual ataupun secara kelompok. (jangan
menunjukkan penyelesaian, boleh mengajukan pertanyaan
pancingan)
c. Mintalah siswa secara kelompok ataupun secara individual, untuk
mengerjakan atau menjawab masalah kontekstual yang diberikan
26
dengan caranya sendiri. Berikan waktu yang cukup kepada siswa
untuk mengerjakannya.
d. Jika dalam waktu yang dipandang cukup, siswa tidak ada satupun
yang menemukan cara pemecahan, berilah guide atau petunjuk
seperlunya atau berilah pertanyaan yang menantang. Petunjuk itu
dapat berupa LKS ataupun bentuk lain.
e. Mintalah seorang siswa atau wakil dari kelompok siswa untuk
menyampaikan hasil kerjanya atau hasil pemikirannya (bisa lebih
dari satu orang).
f. Tawarkan pada seluruh kelas untuk mengemukakakan pendapatnya
atau tanggapannya tentang berbagai penyelesaian yang disajikan
temannya di depan kelas. Bila ada penyelesaiannya lebih dari satu
ungkaplah semua.
g. Buatlah kesepakatan kelas penyelesaian manakah yang dianggap
paling tepat. Terjadi suatu negosiasi. Berikanlah penekanan kepada
penyelesaian yang dipilih atau benar.
h. Apabila masih tidak ada penyelesaian yang benar, mintalah siswa
memikirkan cara lain.
27
3. Penutup
a. Tekankanlah apa yang telah dipelajari atau dibangun sendiri atau
ditemukan sendiri oleh siswa. jika perlu diakhiri dengan membuat
rangkumannya sendiri.
b. Berikanlah arahan untuk pertemuan yang akan datang.
2.6. Kajian Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang dilakukan Janah, Miftakhul (2010) UKSW “ Upaya
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa melalui PMR dalam Menyelesaikan soal
Matematika cerita pada pokok bahasan satuan panjang siswa kelas IV SD
Negeri Gejayan ” hasil analisis memperlihatkan hasil belajar meningkat. siklus
pertama menunjukkan ketuntasan belajar sklus I mencapai 54%. Sedangkan
siklus II mencapai 82%.
Ika Puji Astuti ( 2010 ) “ Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar
Matematika tentang Masalah yang Melibatkan Uang melalui pendekatan
Matematika Realistik di kelas III SD N 1 Pesodongan, Kaliworo, Wonosobo
Semester II 2009/2010 ”. Penggunaan PMR dalam pembelajaran matematika
dapat meningkatkan prestasi siswa. Sebelum dilakukan tindakan siswa yang
memenuhi KKM 31%, pada siklus I naik menjadi 79%, dan pada siklus II
mencapai 100%.
28
Peneliti menyimpulkan dari kedua hasil tindakan penelitian di atas bahwa
dengan Model Pembelajaran Matematika Realistik dapat meningkatkan hasil
belajar siswa.
2.7. Kerangka Pikir
Alur kerangka pikir yang ditujukan untuk mengarahkan jalannya
penelitian agar tidak menyimpang dari pokok-pokok permasalahan, maka
kerangka pikir dilukiskan dalam sebuah gambar skema agar penelitian
mempunyai gambaran yang jelas dalam melakukan penelitian. Adapun skema itu
adalah sebagai berikut :
29
Gambar 1. Skema Kerangka Pikir.
Tindakan
Kondisi awal Guru : Guru kelas belum
menerapkan model
pembelajaran matematika
realistik tetapi masih
menggunakan model
pembelajaran
konvensional
Nilai pada mata pelajaran
Matematika rendah.
Siklus I: Melalui tiga kali
pertemuan guru menerapkan
model pembelajaran matematika
realistik pada kompetensi dasar
Mengidentifikasi sifat-sifat
bangun datar
Guru: Melakukan
refleksi dengan
menugaskan siswa
mengerjakan lima
soal uraian untuk
mengetahui hasil
belajar siswa pada
siklus I
Hasil
Tindakan
Siklus II: Guru melakukan
perbaikan proses kegiatan
pembelajaran, melalui tiga
kali pertemuan guru
menerapkan model
pembelajaran matematika
realistik
pada kompetensi dasar ke
dua yaitu Mengidentifikasi
sifat-sifat bangun datar
Guru: Melakukan
refleksi dengan
menugaskan siswa
mengerjakan lima
soal uraian untuk
mengetahui
peningkatan hasil
belajar siswa pada
siklus II
Dengan Menerapkan model
pembelajaran matematika realistik
dapat meningkatkan hasil belajar
siswa
30
2.8. Hipotesis
Sesuai dengan rumusan masalah pada bab yang telah dipaparkan diatas,
maka dibuat hipotesis tindakan sebagai berikut : Dengan menerapkan model
pembelajaran matematika realistik dalam mata pelajaran Matematika dapat
meningkatkan hasil belajar siswa kelas V di SD Kutowinangun 12 tahun
pelajaran 2011/2012.