bab ii kajian teori a. pengertian...
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Partisipasi
Partisipasi yang berlaku pada masyarakat kita, masih belum diartikan
secara universal. Para perencana pembangunan mengartikan partisipasi sebagai
dukungan terhadap rencana atau proyek pembangunan yang direncanakan dan
ditentukan oleh pemerintah. Ukuran partisipasi masyarakat diukur oleh berapa
besar sumbangan yang diberikan masyarakat untuk ikut menanggung biaya
pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga yang diberikan kepada
pemerintah. Partisipasi yang berlaku secara universal adalah kerja sama yang erat
antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan,
dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai.
Menurut Ach. Wazir Ws., et al. (1999: 29) partisipasi bisa diartikan
sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi
tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan
dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan
orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan
tanggungjawab bersama.
Sedangkan menurut Isbandi (2007 : 27) Partisipasi adalah keikutsertaan
masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di
sekolah, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk
8
9
menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan
masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi.
Selanjutnya Mikkelsen (1999: 64) membagi partisipasi menjadi 6 (enam)
pengertian, yaitu: (1) Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat
kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan; (2) Partisipasi
adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan
kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek
pembangunan; (3) Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam
perubahan yang ditentukannya sendiri; (4) Partisipasi adalah suatu proses yang
aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil
inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu; (5) Partisipasi
adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang
melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh
informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial; (6) Partisipasi
adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan
lingkungan mereka.
Dari tiga pakar yang mengungkapkan definisi partisipasi di atas, dapat
dibuat kesimpulan bahwa partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang, atau
sekelompok orang (masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela
dalam program pembangunan dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
monitoring sampai pada tahap evaluasi.
Menurut Repository (2010) partisipasi adalah suatu gejala demokrasi
dimana orang diikutsertakan dalam perencanaan serta pelaksanaan dan juga ikut
10
memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat
kewajibannya. Partisipasi itu menjadi baik dalam bidang-bidang fisik maupun
bidang mental serta penentuan kebijaksanaan. Dari pengertian partisipasi di atas
disimpulkan bahwa partisipasi adalah ikut sertanya seseorang atau sekolompok
orang dalam pelaksanaan, serta memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat
kematangan dan tingkat kewajibannya yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang karena adanya dorongan atau sedikit paksaan dari orang lain.
Ini dapat dilihat dari kata “ diikutsertakan” yang mengandung makna bahwa
keterlibatan ini bukan datang dari diri sendiri tetapi karena adanya paksaan dari
orang lain.
Berbeda dengan pendapat di atas menurut Koentjaraningrat (dalam
Rahmat, 2009:81) partisipasi merupakan frekuensi turut sertanya dalam aktivitas-
aktivitas bersama, dan menurut Canboys (2010) partisipasi adalah keterlibatan
mental dan emosi seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung
jawab di dalamnya. Hal senada juga diungkapkan Ndraha (dalam
Rahmat,2009:80) yang mengartikan bahwa partisipasi adalah keterlibatan mental
dan emosional seseorang atau sekolompok masyarakat di dalam situasi kelompok
yang mendorong bersangkutan atas kehendak sendiri menurut kemampuan yang
akan ada untuk mengambil bagian dalam usaha mencapai tujuan bersama dalam
pertanggungjawaban.
Dari pengertian partisipasi di atas dapat disimpulkan partisipasi adalah
keikutsertaan atau keterlibatan seseorang atau sekolompok orang dalam
memberikan sesuatu dalam bentuk apapun sebagai usaha mencapai tujuan
11
bersama atas kehendak sendiri atau dengan kata lain tanpa adanya dorongan atau
paksaan dari pihak manapun.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan adanya
perbedaan pendapat dari para ahli tentang arti parisipasi meskipun terdapat pula
kesamaannya. Letak perbedaan yang menonjol yaitu pada kata dikutsertakan dan
keikutsertaan. Diikutertakan berarti seseorang ikut serta bukan karena
kemauannya secara penuh tetapi karena adanya dorongan atau ajakan atau sedikit
paksaan dari orang lain, sedangkan keikutsertaan adalah timbul atas kehendak
sendiri secara penuh.
Apa yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya
kemampuan (pemberdayaan) setiap orang yang terlibat baik langsung maupun
tidak langsung dalam sebuah program pembangunan dengan cara melibatkan
mereka dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan
untuk jangka yang lebih panjang. Adapun prinsip-prinsip partisipasi tersebut,
sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif yang
disusun oleh Department for International Development (DFID) (dalam Monique
Sumampouw, 2004: 106-107) adalah:
a) Cakupan. Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena
dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses-proyek pembangunan.
b) Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap orang
mempunyai keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak
untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna
12
membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-
masing pihak.
c) Transparansi. Semua pihak harus dapat menumbuhkembangkan komunikasi
dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog.
d) Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership). Berbagai pihak
yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan
kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi.
e) Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak
mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya
kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses
pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya.
f) Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari
segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui
keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling
belajar dan saling memberdayakan satu sama lain.
g) Kerjasama. Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk
saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada,
khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia.
B. Bentuk dan Tipe Partisipasi
Ada beberapa bentuk partisipasi yang dapat diberikan masyarakat dalam
suatu program pembangunan, yaitu partisipasi uang, partisipasi harta benda,
partisipasi tenaga, partisipasi keterampilan, partisipasi buah pikiran, partisipasi
13
sosial, partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, dan partisipasi
representatif.
Dengan berbagai bentuk partisipasi yang telah disebutkan diatas, maka
bentuk partisipasi dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu bentuk partisipasi
yang diberikan dalam bentuk nyata (memiliki wujud) dan juga bentuk partisipasi
yang diberikan dalam bentuk tidak nyata (abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata
misalnya uang, harta benda, tenaga dan keterampilan sedangkan bentuk partisipasi
yang tidak nyata adalah partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, pengambilan
keputusan dan partisipasi representatif.
Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-
usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan
Partisipasi harta benda adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda,
biasanya berupa alat-alat kerja atau perkakas. Partisipasi tenaga adalah partisipasi
yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat
menunjang keberhasilan suatu program. Sedangkan partisipasi keterampilan, yaitu
memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya kepada anggota
masyarakat lain yang membutuhkannya. Dengan maksud agar orang tersebut
dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya.
Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan
ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program
maupun untuk memperlancar pelaksanaan program dan juga untuk
mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna
mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Partisipasi sosial diberikan oleh
14
partisipan sebagai tanda paguyuban. Misalnya arisan, menghadiri kematian, dan
lainnya dan dapat juga sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam rangka
memotivasi orang lain untuk berpartisipasi. Pada partisipasi dalam proses
pengambilan keputusan, masyarakat terlibat dalam setiap diskusi/forum dalam
rangka untuk mengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan bersama.
Sedangkan partisipasi representatif dilakukan dengan cara memberikan
kepercayaan/mandat kepada wakilnya yang duduk dalam organisasi atau panitia.
Berdasarkan bentuk-bentuk partisipasi yang telah dianalisis, dapat ditarik
sebuah kesimpulan mengenai tipe partisipasi yang diberikan masyarakat. Tipe
partisipasi masyarakat pada dasarnya dapat kita sebut juga sebagai tingkatan
partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat. Partisipasi masyarakat dibagi
menjadi 7 (tujuh) tipe berdasarkan karakteristiknya, yaitu partisipasi
pasif/manipulatif, partisipasi dengan cara memberikan informasi, partisipasi
melalui konsultasi, partisipasi untuk insentif materil, partisipasi fungsional,
partisipasi interaktif, dan self mobilization. Untuk lebih jelasnya lihat Tabel 2.1 :
Tabel 2.1 Tipe Partisipasi
No. Tipologi Karakteristik
1. Partisipasi pasif/
manipulative
(a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara dibe-
ritahu apa yang sedang atau telah terjadi;
(b) Pengumuman sepihak oleh manajemen atau
pelaksana proyek tanpa memperhatikan
tanggapan masyarakat;
(c) Informasi yang dipertukarkan terbatas pada
kalangan profesional di luar kelompok
sasaran.
2. Partisipasi dengan cara
memberikan informasi
(a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara
menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian
seperti dalam kuesioner atau sejenisnya;
(b) Masyarakat tidak punya kesempatan untuk
15
terlibat dan mempengaruhi proses
penyelesaian;
(c) Akurasi hasil penelitian tidak dibahas
bersama masyarakat.
3. Partisipasi melalui
konsultasi
(a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara
berkonsultasi;
(b) Orang luar mendengarkan dan membangun
pandangan-pandangannya sendiri untuk
kemudian mendefinisikan permasalahan dan
pemecahannya, dengan memodifikasi
tanggapan-tanggapan masyarakat;
(c) Tidak ada peluang bagi pembuat keputusan
bersama;
(d) Para profesional tidak berkewajiban
mengajukan pandangan - pandangan
masyarakat (sebagai masukan) untuk
ditindaklanjuti.
4. Partisipasi untuk insentif
materil
(a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara
menyediakan sumber daya seperti tenaga
kerja, demi mendapatkan makanan, upah,
ganti rugi, dan sebagainya;
(b) Masyarakat tidak dilibatkan dalam
eksperimen atau proses pembelajarannya;
(c) Masyarakat tidak mempunyai andil untuk
melanjutkan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan pada saat insentif yang
disediakan/diterima habis.
5. Partisipasi fungsional (a) Masyarakat berpartisipasi dengan
membentuk kelompok untuk mencapai
tujuan yang berhubungan dengan proyek;
(b) Pembentukan kelompok (biasanya) setelah
ada keputusan-keputusan utama yang
disepakati;
(c) Pada awalnya, kelompok masyarakat ini
bergantung pada pihak luar (fasilitator, dll)
tetapi pada saatnya mampu mandiri.
6. Partisipasi interaktif (a) Masyarakat berpartisipasi dalam analisis
bersama yang mengarah pada perencanaan
kegiatan dan pembentukan lembaga sosial
baru atau penguatan kelembagaan yang telah
ada;
(b) Partisipasi ini cenderung melibatkan metode
inter-disiplin yang mencari keragaman
perspektif dalam proses belajar yang
terstruktur dan sistematik;
(c) Kelompok - kelompok masyarakat
16
mempunyai peran kontrol atas keputusan-
keputusan mereka, sehingga mereka
mempunyai andil dalam seluruh
penyelenggaraan kegiatan.
7. Self mobilization (a) Masyarakat berpartisipasi dengan
mengambil inisiatif secara bebas (tidak
dipengaruhi/ditekan pihak luar) untuk
mengubah sistem-sistem atau nilai-nilai
yang mereka miliki;
(b) Masyarakat mengembangkan kontak dengan
lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan
bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya
yang dibutuhkan;
(c) Masyarakat memegang kendali atas
pemanfaatan sumberdaya yang ada.
Pada dasarnya, tidak ada jaminan bahwa suatu program akan berkelanjutan
melalui partisipasi semata. Keberhasilannya tergantung sampai pada tipe macam
apa partisipasi masyarakat dalam proses penerapannya. Artinya, sampai sejauh
mana pemahaman masyarakat terhadap suatu program sehingga ia turut
berpartisipasi.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat
dalam suatu program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu
keberhasilan program namun ada juga yang sifatnya dapat menghambat
keberhasilan program. Misalnya saja faktor usia, terbatasnya harta benda,
pendidikan, pekerjaan dan penghasilan.
Angell (dalam Ross, 1967: 130) mengatakan partisipasi yang tumbuh
dalam masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam berpartisipasi, yaitu:
17
1. Usia
Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang
terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia
menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma masyarakat
yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi daripada mereka
yang dari kelompok usia lainnya.
2. Jenis kelamin
Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan
bahwa pada dasarnya tempat perempuan adalah “di dapur” yang berarti bahwa
dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus
rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah
bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan yang
semakin baik.
3. Pendidikan
Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi.
Pendidikan dianggap dapat mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap
lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan
seluruh masyarakat.
4. Pekerjaan dan penghasilan
Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang
akan menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan
18
penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong
seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat.
Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung
oleh suasana yang mapan perekonomian.
5. Lamanya tinggal
Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya
berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi
seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa
memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat dalam partisipasinya yang
besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut.
Sedangkan menurut Holil (1980: 9-10), unsur-unsur dasar partisipasi
sosial yang juga dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah:
1. Kepercayaan diri masyarakat;
2. Solidaritas dan integritas sosial masyarakat;
3. Tanggungjawab sosial dan komitmen masyarakat;
4. Kemauan dan kemampuan untuk mengubah atau memperbaiki keadaan dan
membangun atas kekuatan sendiri;
5. Prakarsa masyarakat atau prakarsa perseorangan yang diterima dan diakui
sebagai/menjadi milik masyarakat;
6. Kepentingan umum murni, setidak-tidaknya umum dalam lingkungan
masyarakat yang bersangkutan, dalam pengertian bukan kepentingan umum
yang semu karena penunggangan oleh kepentingan perseorangan atau
sebagian kecil dari masyarakat;
19
7. Organisasi, keputusan rasional dan efisiensi usaha;
8. Musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan;
9. Kepekaan dan ketanggapan masyarakat terhadap masalah, kebutuhan-
kebutuhan dan kepentingan-kepentingan umum masyarakat.
Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program
juga dapat berasal dari unsur luar/lingkungan. Menurut Holil (1980: 10) ada 4
poin yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat yang berasal dari
luar/lingkungan, yaitu:
1. Komunikasi yang intensif antara sesama warga masyarakat, antara warga
masyarakat dengan pimpinannya serta antara sistem sosial di dalam
masyarakat dengan sistem di luarnya;
2. Iklim sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam kehidupan keluarga,
pergaulan, permainan, sekolah maupun masyarakat dan bangsa yang
menguntungkan bagi serta mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi
masyarakat;
3. Kesempatan untuk berpartisipasi. Keadaan lingkungan serta proses dan
struktur sosial, sistem nilai dan norma-norma yang memungkinkan dan
mendorong terjadinya partisipasi sosial;
4. Kebebasan untuk berprakarsa dan berkreasi. Lingkungan di dalam keluarga
masyarakat atau lingkungan politik, sosial, budaya yang memungkinkan dan
mendorong timbul dan berkembangnya prakarsa, gagasan, perseorangan atau
kelompok.
20
D. Komite Sekolah
Sebagai konsekuensi perluasan makna partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, maka perlu dibentuk
suatu wadah untuk menampung dan menyalurkannya yang diberi nama Komite
Sekolah. Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta
masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi
pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah,
jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah.
Komite Sekolah merupakan suatu badan atau lembaga non profit dan non
politis, dibentuk berdasarkan musyawarah yang demokratis oleh para stakeholder
pendidikan pada tingkat satuan pendidikan sebagai representasi dari berbagai
unsur yang bertanggungjawab terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil
pendidikan.
Ditinjau dari perspektif sejarah persekolahan pada tingkat SD, SLTP, dan
SMU/SMK di Indonesia, masyarakat sekolah, khususnya orang tua siswa, telah
memerankan sebagian fungsinya dalam membantu penyelenggaraan pendidikan.
Sebelum tahun 1974 masyarakat orang tua siswa di lingkungan masing-masing
sekolah telah membentuk Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG).
Sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap
penyelenggaraan pendidikan jalur sekolah semakin meningkat, maka POMG pada
awal tahun 1974 dibubarkan dan dibentuk suatu badan yang dikenal dengan
Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Pasang surut perkembangan
penyelenggaraan pendidikan jalur dan jenis sekolah, tidak dapat dilepaskan dari
21
partisipasi masyarakat, khususnya orang tua peserta didik termasuk keberadaan
BP3.
Seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap kualitas
pelayanan dan hasil pendidikan yang diberikan oleh sekolah, dan dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan nasional melalui upaya peningkatan mutu,
pemerataan, dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, dan tercapainya
demokratisasi pendidikan, perlu adanya dukungan dan peran serta masyarakat
untuk bersinergi dalam suatu wadah yang lebih sekedar lembaga pengumpul dana
pendidikan dari orang tua siswa.
Kondisi nyata tersebut dalam memasuki era Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) perlu dibenahi selaras dengan tuntutan perubahan yang dilandasi
kesepakatan, komitmen, kesadaran, dan kesiapan membangun budaya baru dan
profesionalisme dalam mewujudkan “Masyarakat Sekolah” yang memiliki
loyalitas pada peningkatan mutu sekolah. Untuk terciptanya suatu masyarakat
sekolah yang kompak dan sinergis, maka Komite Sekolah merupakan bentuk atau
wujud kebersamaan yang dibangun melalui kesepakatan (SK Mendiknas Nomor
044/U/2002).
Komite Sekolah adalah nama badan yang berkedudukan pada satu satuan
pendidikan, baik jalur sekolah maupun luar sekolah, atau beberapa satuan
pendidikan yang sama di satu kompleks yang sama. Nama Komite Sekolah
merupakan nama generik. Artinya, bahwa nama badan disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan, seperti Komite Sekolah,
Komite Pendidikan, Komite Pendidikan Luar Sekolah, Dewan Sekolah, Majelis
22
Sekolah, Majelis Madrasah, Komite TK, atau nama lainnya yang disepakati.
Dengan demikian, organisasi yang ada tersebut dapat memperluas fungsi, peran,
dan keanggotaannya sesuai dengan panduan ini atau melebur menjadi organisasi
baru, yang bernama Komite Sekolah (SK Mendiknas Nomor 044/U/2002).
Peleburan BP3 atau bentuk-bentuk organisasi lain yang ada di sekolah,
kewenangannya akan berkembang sesuai kebutuhan dalam wadah Komite
Sekolah.
Komite Sekolah berkedudukan di satuan pendidikan, baik sekolah maupun
luar sekolah. Satuan pendidikan dalam berbagai jenjang, jenis, dan jalur
pendidikan, mempunyai penyebaran lokasi yang amat beragam. Ada sekolah
tunggal dan ada sekolah yang berada dalam satu kompleks. Ada sekolah negeri
dan ada sekolah swasta yang didirikan oleh yayasan penyelenggara pendidikan.
Komite Sekolah merupakan badan yang bersifat mandiri, tidak mempunyai
hubungan hierarkis dengan sekolah maupun lembaga pemerintah lainnya. Komite
Sekolah dan sekolah memiliki kemandirian masing-masing, tetapi tetap sebagai
mitra yang harus saling bekerja sama sejalan dengan konsep manajemen berbasis
sekolah (MBS).
Dibentuknya Komite Sekolah dimaksudkan agar adanya suatu organisasi
masyarakat sekolah yang mempunyai komitmen dan loyalitas serta peduli
terhadap peningkatan kualitas sekolah. Komite Sekolah yang dibentuk dapat
dikembangkan secara khas dan berakar dari budaya, demografis, ekologis, nilai
kesepakatan, serta kepercayaan yang dibangun sesuai potensi masyarakat
setempat. Oleh karena itu, Komite Sekolah yang dibangun harus merupakan
23
pengembangan kekayaan filosofis masyarakat secara kolektif. Artinya, Komite
Sekolah mengembangkan konsep yang berorientasi kepada pengguna (client
model), berbagai kewenangan (power sharing and advocacy model) dan kemitraan
(partnership model) yang difokuskan pada peningkatan mutu pelayanan
pendidikan.
Adapun tujuan dibentuknya Komite Sekolah sebagai suatu organisasi
masyarakat sekolah adalah sebagai berikut.
1. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam
melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan
pendidikan.
2. Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
3. Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis
dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan
pendidikan.
Keberadaan Komite Sekolah harus bertumpu pada landasan partisipasi
masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan hasil pendidikan di
sekolah. Oleh karena itu, pembentukannya harus memperhatikan pembagian peran
sesuai posisi dan otonomi yang ada. Adapun peran yang dijalankan Komite
Sekolah adalah sebagai berikut :
a. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan
kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
24
b. Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran,
maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
c. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
d. Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan
pendidikan.
Disamping itu pula Departemen Pendidikan Nasional (2005:24)
menegaskan Komite Sekolah memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
b. Melakukan kerja sama dengan masyarakat (perorangan/organisasi/ dunia
usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu.
c. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan
pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
d. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan
pendidikan mengenai:
1) Kebijakan dan program pendidikan;
2) Rencana Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS);
3) Kriteria kinerja satuan pendidikan;
4) Kriteria tenaga kependidikan;
5) Kriteria fasilitas pendidikan; dan
6) Hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan.
25
e. Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna
mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.
f. Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan
pendidikan di satuan pendidikan.
g. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program,
penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
Komite Sekolah sesuai dengan peran dan fungsinya, melakukan partisipasi
sebagai berikut :
a. Komite Sekolah menyampaikan hasil kajian pelaksanaan program sekolah
kepada stakeholder secara periodik, baik yang berupa keberhasilan maupun
kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran program sekolah.
b. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban bantuan masyarakat baik berupa
materi (dana, barang tak bergerak maupun bergerak), maupun non materi
(tenaga, pikiran) kepada masyarakat dan pemerintah setempat.
Keanggotaan Komite Sekolah berasal dari unsur-unsur yang ada dalam
masyarakat. Di samping itu unsur Dewan Guru, Yayasan/Lembaga Penyelenggara
Pendidikan, Badan Pertimbangan Desa dapat pula dilibatkan sebagai anggota.
Anggota Komite Sekolah dari unsur masyarakat dapat berasal dari komponen-
komponen sebagai berikut:
a. Perwakilan orang tua/wali peserta didik berdasarkan jenjang kelas yang
dipilih secara demokratis.
b. Tokoh masyarakat (Ketua RT/RW/RK, Kepala Dusun, Ulama, Budayawan,
Pemuka Adat).
26
c. Anggota masyarakat yang mempunyai perhatian atau dijadikan figur dan
mempunyai perhatian untuk meningkatkan mutu pendidikan.
d. Pejabat pemerintah setempat (Kepala Desa/Lurah, Kepolisian, Koramil,
Depnaker, Kadin, dan instansi lain).
e. Dunia usaha/industri (pengusaha industri, jasa, asosiasi, dan lain-lain).
f. Pakar pendidikan yang mempunyai perhatian pada peningkatan mutu
pendidikan.
g. Organisasi profesi tenaga pendidikan (PGRI, ISPI, dan lain-lain).
h. Perwakilan siswa bagi tingkat SLTP/SMU/SMK yang dipilih secara
demokratis berdasarkan jenjang kelas.
i. Perwakilan forum alumni SD/SLTP/SMU/SMK yang telah dewasa dan
mandiri.
j. Anggota Komite Sekolah yang berasal dari unsur dewan guru, yayasan/
lembaga penyelenggara pendidikan, Badan Pertimbangan Desa sebanyak-
banyaknya berjumlah tiga orang. Jumlah anggota Komite Sekolah sekurang-
kurangnya 9 (sembilan) orang dan jumlahnya harus gasal. Syarat-syarat, hak,
dan kewajiban, serta masa keanggotaan Komite Sekolah ditetapkan di dalam
AD/ART.
Pengurus Komite Sekolah ditetapkan berdasarkan AD/ART yang
sekurang-kurangnya terdiri atas seorang ketua, sekretaris, bendahara, dan bidang-
bidang tertentu sesuai dengan kebutuhan. Pengurus komite dipilih dari dan oleh
anggota secara demokratis. Khusus jabatan ketua komite bukan berasal dari
kepala satuan pendidikan. Jika diperlukan dapat diangkat petugas khusus yang
27
menangani urusan administrasi Komite Sekolah dan bukan pegawai sekolah,
berdasarkan kesepakatan rapat Komite Sekolah.
Dari beberapa penjelasan tentang komite sekolah jelaslah bahwa
Penyelenggaraan pendidikan jalur sekolah sesuai dengan jenjang dan jenis, baik
negeri maupun swasta, telah diatur melalui perundang-undangan serta perangkat
peraturan yang mengikutinya. Selain itu setiap penyelenggaraan persekolahan
dibina oleh instansi yang berwenang. Dengan demikian, kondisi tersebut
berimplikasi terhadap tatanan dan hubungan baik vertikal maupun horizontal yang
baku antara sekolah dengan instansi lain. Tata hubungan antara Komite Sekolah
dengan satuan pendidikan, Dewan Pendidikan, dan institusi lain yang
bertanggungjawab dalam pengelolaan pendidikan dengan komite Sekolah pada
satuan pendidikan lain bersifat koordinatif.
E. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
BOS adalah program pemerintah untuk penyediaan pendanaan biaya non
personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar.
Sesuai kompetensi yang dimiliki serta tujuan pendidikan, pendidikan dasar (SD
dan SLTP) memang tidak mempersiapkan lulusannya untuk bekerja, melainkan
untuk memberi bekal bagi pendidikan selanjutnya pada jenjang yang lebih tinggi.
Tetapi kenyataannya banyak anak usia sekolah tidak dapat kenaikan Bahan Bakar
Minyak (BBM). Sehingga pemerintah mengeluarkan Program Kebijakan
Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) bidang pendidikan
diantaranya adalah Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Lahirnya program BOS
28
dilatar belakangi oleh adanya kekhawatiran bahwa peningkatan harga BBM, yang
mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat, juga akan berdampak negatif
terhadap akses masyarakat miskin untuk mendapat pendidikan serta menghambat
pencapaian wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Selain itu dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk itu setiap warga negara Indonesia
berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat
yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender.
Pemerataan dan mutu pendidikan akan membuat warga negara Indonesia memiliki
keterampilan hidup (life skill) sehingga memiliki kemampuan untuk mengenal
dan mengatasi masalah diri dan lingkungannya, mendorong tegaknya masyarakat
madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai Pancasila. Pada saat ini, jutaan anak
usia sekolah di negara kita masih belum mendapatkan kesempatan bersekolah.
Salah satu solusi pemerintah melalui Kemendiknas, menyalurkan dana bantuan
dan kemudahan melalui program BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Penerima
BOS diutamakan bagi para siswa miskin putus sekolah, karena tidak mampu
membayar iuran/pungutan yang dilakukan oleh sekolah. Jika kemudian masih ada
sisa dana BOS, maka akan digunakan mensubsidi siswa lain. Bagi sekolah yang
tidak mempunyai siswa miskin, maka dana BOS digunakan untuk mensubsidi
seluruh siswa sehingga dapat mengurangi pungutan/sumbangan/iuran yang
dibebankan kepada orang tua siswa, minimum senilai dana BOS yang diterima
29
sekolah. Diharapkan, tidak akan ada lagi tamatan SD/MI setara yang tidak
melanjutkan ke SMP/MTs/SMPLB, karena mahalnya biaya masuk sekolah.
Kepala sekolah harus proaktif mencari dan mengajak siswa SD/MI/SDLB
yang akan lulus namun berpotensi tidak melanjutkan sekolah untuk ditampung di
SMP/MTs/SMPLB. Demikian juga bila teridentifikasi anak putus sekolah yang
masih berminat melanjutkan agar diajak kembali ke bangku sekolah. Program
BOS yang dimulai sejak bulan Juli 2005, telah berperan dalam percepatan
pencapaian program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun. Dana BOS terbukti
memberikan bantuan kepada banyak sekolah di tanah air, terutama untuk jenjang
pendidikan dasar (SD). Jenjang pendidikan dasar adalah bagian terpenting dalam
dunia pendidikan sebab memberikan dasar-dasar atau landasan pembentukan
watak dan intelektualitas sebuah bangsa. Oleh karena itu, Pemerintah berupaya
melakukan perubahan tujuan, pendekatan dan orientasi BOS. Program BOS ke
depan harus memberikan kontribusi penting untuk peningkatan mutu pendidikan
dasar dan menjadi pilar utama untuk mewujudkan pendidikan gratis di pendidikan
dasar. Dengan adanya BOS, bukan saja sekolah yang terbantu, tapi juga para
orang tua yang sebelumnya mengeluhkan tingginya biaya pendidikan. Namun di
sisi lain, banyak pula sekolah yang semata-mata mengandalkan biaya operasional
sekolah pada BOS. Karena itu, bila ada sekolah yang masih menuntut biaya untuk
anak didiknya, banyak orang tua yang langsung bereaksi. Mereka
mempertanyakan dana BOS yang sudah dikucurkan oleh pemerintah.
Mulai tahun 2007, pengelolaan program BOS Kemendiknas dan BOS
Depag dipisahkan. Kemendiknas bertanggung jawab menyalurkan dana ke
30
sekolah SD/SDLB/SMPLB/SMPT, baik negeri maupun swasta yang berizin
operasional dari Dinas Pendidikan. Sedangkan Departemen Agama, menyalurkan
dana ke MI/Mts/Salafiyah/Sekolah keagamaan lainnya, dengan izin operasional
dari Depag. Pemprov/Pemkab/Pemkot, berkewajiban menyediakan Biaya
Operasional Pendidikan (BOP) setiap tahun, sebagai sumber utama pembiayaan
sekolah. Terutama bagi pemerintah daerah yang menerapkan kebijakan Sekolah
Gratis, maka harus memenuhi kekurangan biaya operasional sekolah dari sumber
APBD. Menambah dana untuk Tim Manajemen BOS di
Propinsi/Kabupaten/Kota. Juga memastikan BOS berjalan sesuai dengan panduan
yang ditetapkan. Seperti melakukan pengawasan dan audit, terhadap setiap
sekolah penerima BOS, termasuk menindaklanjuti jika ada indikasi
penyimpangan.
Secara umum program BOS bertujuan untuk meringankan beban
masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka Wajar 9 tahun yang
bermutu. Dan secara khusus program BOS bertujuan untuk :
1. Menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban
biaya operasional sekolah, baik di sekolah negeri maupun swasta.
2. Menggratiskan seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya
operasional sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional
(RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI).
3. Meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa di sekolah swasta.
Sasaran program BOS adalah semua sekolah SD dan SMP, termasuk
Sekolah Menengah Terbuka (SMPT) dan Tempat Kegiatan Belajar Mandiri
31
(TKBM) yang diselenggarakan oleh masyarakat, baik negeri maupun swasta di
seluruh provinsi di Indonesia. Tapi, Program Kejar Paket A dan Paket B tidak
termasuk sasaran dari program BOS ini. Adapun besarnya biaya satuan BOS
tahun ajaran 2009/2010 yang diterima oleh sekolah termasuk untuk BOS Buku,
dihitung berdasarkan jumlah siswa dengan ketentuan : SD/ MI/ SDLB/ Salafiyah/
sekolah agama non Islam setara SD sebesar Rp. 400.000,-/siswa/tahun untuk kota
dan kabupaten sebesar Rp. 397.000,-.
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa Program BOS pada dasarnya
merupakan paket bantuan yang diberikan untuk membantu sekolah agar dapat
menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara maksimal sebagai usaha untuk
membantu sekolah mengingat keterbatasan konstribusi masyarakat terhadap
pengadaan dana untuk kelangsungan pendidikan di sekolah. Oleh karenanya
melalui BOS diharapkan mampu meminimalisir berbagai kelemahan yang terkait
dengan minimnya dana yang dimiliki sekolah.
Penyusunan anggaran keuangan BOS atau sering disebut anggaran belanja
sekolah BOS, biasanya dikembangkan dalam format – format yang meliputi :
(1) Jumlah BOS, (2) Pengeluaran untuk kegiatan belajar mengajar, pengadaan
dan pemeliharaan sarana prasarana, bahan-bahan dan alat pelajaran, honomarium
dan kesejahteraan. Dalam penyusunan anggaran keuangan BOS ini harus
melibatkan partisipasi aktif segenap warga sekolah, agar mereka memahami arah
dan kebijakan pemanfaatan dana BOS melalui rencana anggaran yang dirumuskan
bersama. Hal ini merupakan aktualisasi dari penyusunan RAPBS BOS.
32
Lipham (dalam Mulyasa 2003:198) mengungkapkan empat fase kegiatan
pokok penyusunan anggaran termasuk anggaran keuangan BOS sebagai berikut :
a. Perencanaan anggaran yaitu merupakan kegiatan mengidentifikasi tujuan,
menentukan perioritas, menjabarkan tujuan kedalam penampilan operasional
yang dapat diukur, menganalisis alternatif pencapaian tujuan dengan membuat
rekomendasi alternatif pendekatan untuk mencapai sasaran.
b. Mempersiapkan anggaran antara lain menyesuaikan kegiatan dengan
mekanisme anggaran yang berlaku bentuknya, distribusi dan sasaran program
pengajaran perlu dirumuskan dengan jelas. Melakukan inventarisasi
kelengkapan peralatan, bahan-bahan yang telah tersedia.
c. Mengelola pelaksanaan anggaran antara lain mempersiapkan pembukuan,
melakukan pembelajaran dan membuat transaksi, membuat perhitungan,
mengawasi pelaksanaan sesuai dengan prosedur kerja yang berlaku serta
membuat laporan dan pertanggungjawaban keuangan.
d. Menilai pelaksanaan anggaran antara lain menilai pelaksanaan roses belajar
mengajar, menilai bagaimana pencapaian sasaran program serta membuat
rekomendasi untuk perbaikan anggaran yang akan datang.
Terkait dengan perencanaan keuangan sekolah terutama BOS memerlukan
data yang akurat dan lengkap sehingga perencanaan kebutuhan untuk masa yang
akan datang dapat diantisipasi dalam rancangan anggaran. Jika dikaji terdapat
beberapa faktor yang turut mempengaruhi perencanaan keuangan sekolah antara
lain laju pertumbuhan siswa serta peningkatan pendekatan belajar mengajar.
33
Terdapat beberapa hal yang diperhatikan dalam perencanaan keuangan
sekolah atau anggaran belanja sekolah termasuk BOS adalah sebagai berikut :
a. Anggaran belanja sekolah harus dapat mengganti beberapa peraturan dan
prosedur yang tidak efektif sesuai dengan perkembangan kebutuhan
pendidikan.
b. Merevisi peraturan dan input lain yang relevan dengan merancang
pengembangan sistem secara efektif.
c. Memonitor dan menilai keluaran pendidikan secara terus menerus dan
berkesinambungan sebagai bahan tahap berikutnya.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikemukakan bahwa perencanaan
keuangan sekolah termasuk BOS dapat dikembangkan secara efektif jika
didukung oleh beberapa sumber yang esensial yaitu : a) Sumber daya manusia
yang kompoten dan mempunyai wawasan luas tentang dinamika sosial
masyarakat, b) Tersedianya informasi yang akurat dan tepat waktu untuk
menunjang pembuatan keputusan, c) Menggunakan manajemen dan teknologi
yang tepat dalam perencanaan, d) Tersedianya dana yang memadai untuk
menunjang pelaksanaan.
Sementara itu secara khusus dalam penyusunan RAPBS BOS, komite
sekolah yang perlu dilibatkan sehingga mereka memiliki konstribusi yang
signifikan terhadap program pengembangan mutu di sekolah. Hal tersebut pada
gilirannya akan menumbuhkan sikap yang tinggi untuk mengawasi pemanfaatan
dana BOS.
34
Terdapat kecenderungan oleh Kepala Sekolah dalam penyusunan RAPBS
maupun dalam pengelolaan dana BOS hampir komite sekolah tidak pernah
dilibatkan dalam penyusunan RAPBS, sedangkan komite sekolah hanya bersifat
formalitas untuk membubuhkan tanda tangan terhadap RAPBS yang telah disusun
oleh sekolah sehingga fungsi kontrol masih sangat lemah.
F. Partisipasi Komite Sekolah dalam Pengelolaan Dana BOS
Komite sekolah dibentuk di setiap sekolah sebagai hasil dari SK Menteri
No. 202, tahun 2006. Komite diharapkan bekerjasama dengan kepala sekolah
sebagai partner untuk mengembangkan kualitas sekolah dengan menggunakan
konsep manajemen berbasis sekolah dan masyarakat yang demokratis, transparan,
dan akuntabel. Selain itu Undang-undang pendidikan bulan Juni 2003 (pasal 56)
memberikan kepada komite sekolah untuk meningkatkan kualitas pelayanan
pendidikan melalui: (i) nasihat; (ii) pengarahan; (iii) bantuan personalia, material,
dan fasilitas; maupun (iv) pengawasan pendidikan.
Sebagian besar anggota komite mempunyai minat menjadi anggota komite
di sekolah anaknya. Anggota komite sekolah pada umumnya dipilih melalui
musyawarah tidak melalui pemilihan. Beberapa orang anggota BP3 diangkat
kembali menjadi anggota komite dan tugasnya diperluas. Banyak komite yang
sudah mempunyai SK dari kepala sekolah. Pertemuan-pertemuan formal,
dilakukan secara regular, tetapi tidak sering. Sering mereka diundang oleh kepala
sekolah untuk mendiskusikan perencanaan, pelaksanaan dan pendanaan rencana
pengembangan sekolah (RAPBS). Program-program yang dikembangkan dalam
35
pertemuan-pertemuan ini menunjukkan kecenderungan terfokus pada perbaikan
fisik sekolah.
Aktivitas peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya nampak tidak
mengacu pada isu-isu penting belajar mengajar. Walaupun demikian, dampak
positif perencanaan bersama pengembangan program dapat dilihat di banyak
sekolah. Komite sekolah dengan semangat tinggi merinci perubahan-perubahan di
sekolah di dalam 4 bidang peningkatan pembelajaran, guru dan kesejahterannya,
fasilitas sekolah yang lebih baik, dan perbaikan lingkungan fisik.
Walaupun demikian, ada kendala-kendala. Kendala yang paling menonjol
adalah usaha sekolah untuk mendanai program yang berani, terutama karena
perencanaan dilakukan lebih dulu, dan kemudian dicarikan pendanaannya. Dalam
pengumpulan dana, suatu kegiatan yang memerlukan pemikiran dan tenaga dari
komite, tidak dianggap sebagai tanda keefektifan komite. Banyak yang
menganggap bahwa lingkungan kerja yang bagus dan anggota yang berkualitas
sangat penting, sehingga komite dapat bekerja secara efektif bersama-sama
dengan sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Pada tahap pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
komite sekolah perlu dilibatkan secara aktif sebagai bentuk untuk merangsang
partisipasi komite sekolah. Pada tahap ini perlu adanya pembagian pekerjaan
dalam tugas – tugas tertentu dalam jabatan – jabatan serta menentukan fungsi
pekerjaan yang harus dilaksanakan. Jika dalam waktu tertentu diperlukan
pendelegasian wewenang maka hal tersebut perlu dilakukan secara baik sehingga
memudahkan pelaksanaan kegiatan. Sementara itu penggerakkkan dilakukan
36
dengan cara menjelaskan tujuan pelaksanaan program BOS kepada setiap personil
yang ada di sekolah. Dalam konteks ini perlu diusahakan agar setiap personil
sekolah menyadari, memahami serta menerima dengan baik tujuan itu.
Untuk lebih memperkuat hal tersebut kepala sekolah perlu menjelaskan
kebijakan – kebijakan yang akan ditempuh dalam usaha pencapaian tujuan. Untuk
memudahkan dalam pencapaian tujuan tersebut maka perlu dijelaskan pula
peranan yang diharapkan untuk dijalankan setiap personil sekolah. Dengan
demikian mereka akan memahami dengan baik peran apa yang perlu mereka
lakukan agar program yang dibiayai dan BOS dapat mencapai sasaran.
Teknik lain yang perlu dikembangkan dalam pengelolaan dana BOS yaitu
dengan cara memberikan kesempatan kepada segenap personil sekolah (komite
sekolah) untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dana BOS secara
konsepsional. Manullung (1996 : 20) mengartikan pengawasan sebagai salah satu
fungsi manajemen yang berupa mengadakan penilaian bila perlu mengadakan
koreksi sehingga apa yang dilakukan dapat diarahkan ke jalan yang benar dengan
maksud tercapai tujuan yang sudah digariskan semula. Liputo (1998 : 169) bahwa
“pengawasan adalah suatu proses dimana pimpinan organisasi melihat apakah
yang telah dilakukan sesuai dengan harapan jika tidak perbaikan perlu diadakan
untuk penyesuaian”. Sutisna (2000 : 240-241) mengklasifikasi 4 tindakan yang
harus dilakukan dalam kegiatan pengawasan yaitu : (1) ukuran suatu kriteria atau
standar pengukuran / penilaian, (2) mengukur/menilai perbuatan (performance)
yang sedang atau sudah dilakukan (3) membandingkan perbuatan dengan standar
37
yang ditetapkan dan menetapkan perbedaannya jika ada. (4) memperbaiki
penyimpangan dari standar (jika ada) dengan tindakan pembetulan.
Pendapat diatas menunjukkan bahwa kegiatan pengawasan mencakup 4
unsur utama yaitu : (1) penetapan standar pelaksanaan, (2) penentuan ukuran-
ukuran pelaksanaan, (3) pengukuran pelaksanaan nyata dan membandingkan
dengan standar yang telah ditetapkan dan (4) pengambilan tindakan koreksi yang
diperlukan jika ada penyimpangan.
Pengawasan yang efektif terhadap pemanfaatan dana BOS memiliki ciri
khas sebagai berikut yaitu (1) pengawasan harus merefleksikan sifat dari berbagai
kegiatan yang diselenggarakan artinya bahwa teknik pengawasan harus sesuai
antara lain dengan penemuan informasi tentang siapa yang melakukan
pengawasan dan kegiatan apa yang menjadi sasaran pengawasan tersebut, (2)
pengawasan harus segera memberikan petunjuk tentang kemungkinan adanya
deviasi dari rencana, (3) pengawasan harus menunjukkan pengecualian pada titik-
titik strategi tertentu. (4) objektivitas dalam melakukan pengawasan, (5)
keluwesan dalam pengawasan artinya bahwa pelaksanaan pengawasan harus tetap
bisa berlangsung meskipun organisasi menghadapi perubahan karena timbulnya
keadaan yang tidak diduga sebelumnya atau bahkan juga bila terjadi kegagalan.
Bila ada segi-segi tertentu dari rencana yang mengalami kegagalan atau
perubahan, pengawasan harus segera melaporkan kegagalan atau perubahan
tersebut, dengan demikian penyesuaian – penyesuaian yang diperlukan dapat
dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan kepengawasan, (6) pengawasan harus
memperhitungkan pola dasar organisasi dalam hal ini proses pengawasan jangan
38
sampai ada pihak yang merasa dilampaui baik yang menyangkut pelaksanaannya,
temuannya maupun tindakan perbaikan yang diambil, (7) efisiensi pelaksanaan
pengawasan artinya bahwa pengawasan harus dilaksanakan sesuai dengan
kebutuhan organisasi yang bersangkutan karena hanya dengan demikian efesiensi
pengawasan dapat dilakukan, (8) pemahaman system pengawasan oleh semua
piak yang terlibat, (9) pengawasan dilakukan untuk mencari apa yang tidak beres
artinya baha pengawsan yang baik harus dapat menemukan siapa yang salah dan
factor apa yang menyebabkan terjadinya kesalahan tersebut, (10) pengawasan
harus bersikap membimbing artinya bahwa kegiatan pengawasan harus dapat
memberikan petunjuk yang jelas sanksi yang akan dikenakan kepada siapa saja
yang melanggar disiplin. Namun pemberian sanksi ini harus didasarkan pada
pertimbangan yang objektif dan rasional serta sesuai dengan peraturan yang
berlaku Siagian (2002 : 176-183).
Dengan pengawasan yang intensif maka cenderung akan memberikan hasil
yang optimal dalam setiap pekerjaan oleh karenanya kepengawasan pada setiap
pekerjaan perlu dilakukan secara efektif untuk mendukung pencapaian tujuan
organisasi.
Dalam konteks untuk mengawasi pemanfaatan Dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) perlu melibatkan partisipasi komite sekolah. Hal ini perlu
dilakukan agar setiap komite sekolah merasa berpartisipasi untuk melaksanakan
program ini. Sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya pengawasan
keuangan BOS dilaksanakan oleh petugas dari Bawasda dan Dinas Pendidikan
serta segenap komponen masyarakat (komite sekolah) yang terkait. Pengawasan
39
manajemen keuangan BOS yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Bawasda
tersebut dilakukan secara rutin satu tahun dua kali melalui pemeriksaan
pembukuan keuangan sekolah.
Pengawasan terhadap pemanfaatan Dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) ini harus dilakukan secara kontinyu sehingga seluruh aktivitas yang terkait
dengan pemanfaatan program ini dapat diawasi secara intensif.
Terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pengawasan
pemanfaatan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yaitu pengawasan harus
merefleksikan sifat dari berbagai program yang dibiayai dengan Dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS). Sejalan dengan hal tersebut pengawasan harus segera
memberikan petunjuk tentang kemungkinan adanya deviasi dari rencana.
Objektivitas dan keluwesan pengawasan perlu diselaraskan untuk menghasilkan
kegiatan pengawasan yang optimal artinya bahwa pemanfaatan Dana BOS harus
siap menghadapi perubahan karena timbulnya keadaan yang tidak diduga
sebelumnya atau bahkan juga bila terjadi kegagalan. Bila ada segi-segi tertentu
dari rencana yang mengalami kegagalan atau perubahan, pengawas harus segera
melaporkan kegagalan atau perubahan tersebut dengan demikian penyesuaian-
penyesuaian yang diperlukan dapat dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan
pengawasan. Kegiatan pengawasan pun perlu memperhatikan tingkat efisiensi
pelaksanaan artinya bahwa pengawasan harus dilaksanakan sesuai dengan
kebutuhan pengawsan BOS harus bersifat membimbing artinya bahwa kegiatan
pengawsan harus dapat memberikan petunjuk yang jelas sanksi yang akan
dikenakan kepada siapa saja yang melanggar disiplin. Namun pemberian sanksi
40
ini harus didasarkan pada pertimbangan yang objektif dan rasional serta sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Bentuk sanksi yang dapat diberikan antara lain
teguran atau hukuman displin lainnya.
Melalui strategi yang dikembangkan tersebut diatas diharapkan mampu
meningkatkan pemanfaatan dana BOS. Kondisi ini pada gilirannya akan
mengundang simpati komite sekolah untuk meningkatkan partisipasinya dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam partisipasi yaitu pemanfaatan
dana BOS adalah kegiatan laporan dan evaluasi pertanggungjawaban dana BOS.
Dalam konteks ini kegiatan laporan dan evaluasi pertanggungjawaban dana BOS
perlu dilakukan scara rutin. Mulyasa (2003 ; 205) berpendapat bahwa evaluasi dan
pertanggungjawaban terhadap apa yang telah dicapai harus dilakukan sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan. Auditing merupakan pembuktian dan
penentuan bahwa apa yang dimaksud sesuai dengan yang dilaksanakan. Sedang
apa yang dilaksanakan sesuai dengan tugas. Proses ini menyangkut
pertanggungjawaban penerimaan, penyimpanan dan pembayaran atau penyerahan
dana kepada pihak – pihak yang berhak. Evaluasi adalah kegiatan pengendalian,
penjaminan dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen
pendidikan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan sebagai bentuk
pertanggung jawaban penyelenggaraan pendidikan.
Evaluasi dan pertanggungjawaban keuangan sekolah termasuk BOS dapat
diidentifikasi ke dalam tiga hal yaitu pendekatan pengendalian penggunaan
alokasi dana, bentuk pertanggungjawaban keuangan sekolah dan keterlibatan
41
pengawasan pihak eksternal sekolah. Bahasan tentang evaluasi dan
pertanggungjawaban keuangan sekolah dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Evaluasi Dana BOS
Dalam evaluasi keuangan Dana BOS perlu didasarkan pada kebutuhan dan
kewenagan karena kebutuhan merupakan bagian dari pengawasan melekat. Dalam
manajemen keuangan sekolah, kepala sekolah perlu melakukan pengendalian
pengeluaran keungan selaras dengan anggaran belanja yang telah ditetapkan.
Artinya pimpinan bertanggungjawab terhadap masalah internal manajemen
keuangan sebagai atasan langsung.
Secara definitive penilaian merupakan usaha untuk membandingkan antara
hasil – hasil nyata dengan target yang seharusnya dicapai. Siagian (2002 : 2006)
mendefenisikan penilaian sebagai hasil – hasil yang nyatanya dicapai dengan
hasil-hasil yang seharusnya dicapai. Evaluasi keuangan sekolah (BOS) harus
dilakukan melalui aliran masuk dan keluar uang yang dibutuhkan oleh Bendahara.
Hal ini dilakukan mulai dari proses keputusan pengeluaran pos anggaran,
pembelanjaan, perhitungan dan penyimpanan barang oleh petugas yang ditunjuk.
Secara adminstrasi pembukuan setiap pengeluaran dan pemasukan setiap bulan
ditanda tangani sebagai berita acara. Kepala Sekolah sebagai atasan langsung
bertanggung jawab penuh atas pengendalian sedangkan pengawasan dari pihak
berwenang melalui pemeriksaan yang dilaksanakan oleh instansi vertikal seperti
petugas dari Dinas Pendidikan dan Bawasda. Pengawasan tersebut relative dilihat
dari tugas rutinitas atas dasar kewenagan pengawasan pembiayaan yang masuk
dan diserap di sekolah.
42
Prosedur pengendalian penggunaan alokasi anggaran sifatnya sangat
normative administrative. Artinya pemenuhan pengendalian masih terbatas pada
angka kuantitatif yang terdokumentasi. Dengan demikian aspek-aspek realitas
penggunaan sulit diukur secara objektif. Persoalan tersebut sering terjadi di setiap
sekolah. Hal tersebut dimana aliran uang dan barang teridentifikasi sesuai dengan
peran dan fungsi.
2. Pertanggungjawaban Dana BOS
Pertanggungjawaban penerimaan dan penggunaan Dana BOS
dilaksanakan dalam bentuk laporan triwulan kepada :
a. Kepala Dinas Pendidikan Kecamatan
b. Kepala Badan Pengawasan Daerah (BAWASDA)
c. Kepada segenap stakeholders pendidikan di sekolah.
Pertanggungjawaban yang dikenal dengan Uang Yang Harus
Dipertanggungjawabkan (UYHD) dilaporkan setiap bulan kepada pihak yang
ditetapkan sesuai dengan format dan ketetapan waktu. Khusus untuk keuangan
komite sekolah bentuk partisipasinya sangat terbatas pada tingkat pengurusan dan
tidak secara langsung kepada orang tua peserta didik.
Untuk mengoptimalkan pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) di sekolah maka diperlukan beberapa faktor pendukung yaitu (1) komitmen
yang tinggi untuk mengoptimalkan pemanfaatan dana BOS, (2) adanya guru dan
staf yang berkualitas serta memiliki jumlah mencukupi, (3) ketersediaan sarana
dan prasarana pendidikan serta (4) apresiasi masyarakat yang positif terhadap
pendidikan, (5) adanya manajemen sekolah yang rapi dan berkualitas.
43
Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa pengelolaan Dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) ditunjukkan oleh beberapa aspek sebagai berikut : (1)
keterbukaan pengelolaan dana. Dalam hal ini pengelolaan Dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) harus diketahui oleh seluruh komite sekolah,
Sirkulasi keuangan mulai dari kegiatan perencanaan dan evaluasi program
semuanya harus diketahui oleh seluruh komite sekolah, (2) Partisipasi komite
sekolah, Partisipasi komite sekolah dimaksudkan agar seluruh personil yang ada
memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan program yang dibiayai dengan
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Partisipasi komite sekolah dalam
pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ini dapat dimulai dari
kegiatan penyusunan proposal Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dalam
hal ini kepala sekolah, wakil kepala sekolah, perwakilan guru, dan tokoh
masyarakat/komite sekolah harus ikut berpartisipasi dalam penyusunan program
pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Keikut sertaan ini akan
berimplikasi pada diketahuinya seluruh program pengembangan mutu di sekolah
oleh segenap pihak yang terkait sehingga menimbulkan antusiasme dalam
membantu implementasi program ini. Dalam konteks yang bersamaan
keikutsertaan komite sekolah memungkinkan terjadinya dialog yang dapat
membantu memecahkan stagnasi yang dihadapi dalam pelaksanaan program Dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Melalui kegiatan ini pula maka seluruh
potensi komite sekolah dapat diberdayakan secara optimal untuk mendukung
program peningkatan mutu, (3) adanya kemandirian. Dalam pelaksanaan program
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kemandirian terkait erat dengan usaha
44
sendiri untuk mengembangkan program Dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) dan menyusun rangkaian kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan
program peningkatan mutu di sekolah, kemandirian ini merupakan hal yang
sangat di tuntut agar sekolah dapat belajar dari pengalaman tersebut tanpa harus
mencontoh strategi pengembangan mutu yang berlaku di sekolah yang lain, (4)
Sustainabilitas, hal ini mengandung makna bahwa dalam pemanfaatan Dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) perlu memiliki sikap sustainabilitas atau
berkelanjutan. Sikap ini perlu dimiliki agar seluruh program yang telah dirancang
untuk penigkatan mutu tidak berhenti hanya pada saat dana tersedia. Tetapi yang
harus dilakukan bahwa keseluruhan program yang sudah dijalankan harus tetap
ditindaklanjuti dengan program realitas yang lain sehingga ada kontinuitas
program. Hal ini perlu dilakukan karena seringkali terjadi suatu kegiatan berjalan
lancar selama masih ada “bantuan dari proyek” dan apabila bantuan dihentikan
maka kegiatan tersebut akan mengalami banyak kendala sehingga akhirnya secara
perlahan-lahan berhenti dan atau tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya
(tidak optimal pencapaian targetnya). Atas pendapat tersebut, maka keberlanjutan
program sangat ditentukan oleh keberhasilan manajemen Kepala Sekolah yang
diwujudkan dalam kinerja dewan guru yang ditopang oleh partisipasi komite
sekolah baik dalam bentuk finansial maupun kontribusi lainnya.
Berdasarkan urain secara keseluruhan jelas bahwa pemanfaatan dana BOS
merupakan manifestasi dari kewajiban untuk secara optimal menyukseskan
program Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan melibatkan komite
sekolah secara aktif dalam seluruh kegiatan melalui partisipasi yang tinggi, maka