bab ii kajian teoritis a. konsep balita
TRANSCRIPT
12
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Konsep Balita
Balita merupakan anak yang berusia diatas satu tahun atau biasa juga disebut
dengan bayi di bawah lima tahun (Muaris, 2006). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia (2014) seorang anak dikatakan balita apabila anak berusia 12
bulan sampai dengan 59 bulan. Price dan Gwin (2014) mengatakan bahwa
seorang anak dari usia 1 sampai 3 tahun disebut batita atau toddler dan anak usia 3
sampai 5 tahun disebut dengan usia pra sekolah atau preschool child. Usia balita
merupakan sebuah periode penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan
seorang anak (Febry, 2008).
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2011) menjelaskan balita merupakan
usia dimana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Proses
pertumbuhan dan perkembangan setiap individu berbeda-beda, bisa cepat maupun
lambat tergantung dari beberapa faktor diantaranya herediter, lingkungan, budaya
dalam lingkungan, sosial ekonomi, iklim atau cuaca, nutrisi dan lain-lain (Aziz,
2006 dalam Nurjannah, 2013). Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY, (2010),
Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah
(3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua
untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan.
Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan
lain masih terbatas. Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh
13
kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu
keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa
tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak
akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan.
Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata bawah lima tahun.
Istilah ini cukup populer dalam program kesehatan. Balita merupakan kelompok
usia tersendiri yang menjadi sasaran program KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di
lingkup Dinas Kesehatan. Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak
yang sangat pesat dalam pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode tumbuh
kembang anak adalah masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang
akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan kemampuan berbahasa,
kreatifitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan
merupakan landasan perkembangan berikutnya (Supartini, 2004).
Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai balita, merupakan salah satu
periode usia manusia setelah bayi sebelum anak awal. Rentang usia balita dimulai
dari satu sampai dengan lima tahun, atau bisa digunakan perhitungan bulan yaitu
usia 12-60 bulan.
B. Konsep Stunting
Stunting atau malnutrisi kronik merupakan bentuk lain dari kegagalan
pertumbuhan. Definisi lain menyebutkan bahwa pendek dan sangat pendek
adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur
14
(PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah
stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak ,pengertian pendek dan sangat pendek
adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang badan menurut umur
(PB/U) atau Tinggi Badan menurut umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah
Stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek).
Balita pendek ( stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah diukur panjang
atau tinggi badan nya, lalu dibandingkan dengan standar dan hasilnya berada
dibawah normal. Balita penpek adalah balita dengan status gizi yang
berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan
dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth reference Study) tahun
2005, nilai z- scorenya kurang dari -2SD dan dikatagorikan sangat pendek jika
nilai z-Scorenya kurang dari -3SD.
Satu dari tiga anak di negara berkembang dan miskin mengalami stunted, dengan
jumlah kejadian tertinggi berada di kawasan Asia Selatan yang mencapai 46 %
disusul dengan kawasan Afrika sebesar 38 %, sedangkan secara keseluruhan
angka kejadian stunted diNegara miskin dan berkembang mencapai 32 %.
Stunting ini disebabkan oleh kurangnya asupan makanan yang terjadi dalam
jangka waktu yang lama dan frekuensi menderita penyakit infeksi. Akibat dari
stunting ini meliputi perkembangan motorik yang lambat, mengurangi fungsi
kognitif, dan menurunkan daya berpikir.
15
Di Indonesia, diperkirakan 7,8 juta anak berusia dibawah 5 tahun mengalami
stunting, data ini berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF dan
memposisikan Indonesia masuk kedalam 5 besar negara dengan jumlah anak di
bawah 5 tahun yang mengalami stunting tinggi (UNICEF, 2013). Hasil Riskesdas
2007 menunjukkan angka kejadian stunting secara nasional sebesar 36,7 % yang
berarti 1 dari 3 anak d ibawah 5 tahun mengalami stunted. Meskipun telah terjadi
penurunan angka kejadian stunting yaitu Riskesdas tahun 2013 sebanyak 37 %
menurun menjadi 30,8 % pada tahun 2018, namun dibeberapa Provinsi di
Indonesia terutama di kawasan timur Indonesia menunjukkan peningkatan angka
kejadian stunting.
Tinggi badan memberikan gambaran pertumbuhan tulang yang sejalan dengan
pertambahan umur. Berbeda dengan berat badan, maka tinggi badan tidak banyak
terpengaruh oleh keadaan yang mendadak. Tinggi badan pada suatu waktu
merupakan hasil pertumbuhan secara komulatif semenjak lahir, dan karena itu
memberikan gambaran riwayat status gizi masa lalu. Indeks TB/U juga sangat
tergantung pada ketepatan umur. Ukuran Tinggi Badan digunakan untuk anak
umur diatas 24 bulan yang diukur berdiri. Bila anak berumur lebih dari 24 bulan
diukur terlentang, maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan mengurangkan 0,7
cm. Sedangkan Panjang badan digunakan untuk anak umur 0- 24 bulan yang
diukur terlentang. Bila anak umur 0-24 bulan diukur berdiri maka hasil
pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm. Menurut WHO (Z score)
bila Tinggi badan atau panjang badan menurut umur <-3 SD maka dikategorikan
16
sangat pendek, -3 SD sampai dengan <-2 SD dikategorikan pendek, -2 SD sampai
dengan 2 SD dikategorikan normal, dan bila > 2 SD maka dikategorikan Tinggi.
(Kemenkes ,2010) .
Stunting disebabkan oleh multifaktor yaitu mencakup pendidikan ibu,status
ekonomi, tinggi badan ibu, pola asuh, usia balita, Pemberian ASI Eksklusif,
kelengkapan imunisasi, BBLR, asupan energi, asupan protein, riwayat penyakit
infeksi, dan makanan pendamping ASI. Berikut adalah urain faktor–faktor
penyebab stunting :
1) Pendidikan Ibu
Penelitian mengenai hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting
yang dilakukan di Kenya memberikan hasil bahwa anak-anak yang dilahirkan dari
ibu yang berpendidikan beresiko lebih kecil untuk mengalami malnutrisi yang
dimanifestasikan sebagai wasting atau stunting daripada anak-anak yang
dilahirkan dari ibu yang tidak berpendidikan. Hasil yang sama juga diperlihatkan
dari hasil penelitian yang dilakukan di Mesir, dimana semakin tinggi tingkat
pendidikan ibu, resiko anak yang dilahirkan stunted semakin kecil.
Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang dalam menerima informasi . Orang
dengan tingkat pendidikan yang lebih baik akan lebih mudah dalam menerima
informasi daripada orang dengan tingkat pendidikan kurang. Informasi tersebut di
jadikan bekal ibu untuk mengasuh balitanya dalam kehidupan sehari hari.
Pendidikan ibu mempunyai peran penting dalam mencegah terjadinya masalah
17
gizi pada balita. Seorang ibu dapat menentukan bagaimana pola asuh yang akan
dipilihnya.
Beberapa peneliti banyak menemukan bahwa pendidikan ibu mempunyai peran
yang penting dalam mengurangi prevalensi masalah Gizi. (Rahma dkk,2009).
Penelitian yang dilakukan Khoirun Ni’mah dan Siti rahayu Nadhiroh tentang
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita
mendapatkan hasil tidak menunjukan hubungan yang signifikan antara
pendidikan ayah dengan kejadian stunting pada balita (p=0,32). Sedangkan
pendidikan ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting
pada anak balita (p=0,029) dengan OR sebesar 3,378. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramli, et al. (2009) di Maluku dimana
pendidikan ayah tidak berhubungan dengan stunting sedangkan pendidikan ibu
berhubungan secara signifikan dengan kejadian stunting pada anak balita. Hal ini
bisa disebabkan karena perah pengasuhan lebih besar dilakukan oleh ibu
sedangkan ayah lebih banyak bekerja sehingga waktu dengan anaknya akan lebih
berkurang. Penelitian di Kamboja oleh Ikeda, et al. (2013), dan Tiwari, et al.
(2014) di Nepal juga menunjukkan bahwa pendidikan ibu merupakan faktor
resiko kejadian stunting pada anak dibawah lima tahun. Ibu dengan pendidikan
tinggi mempunyai pengetahuan yang lebih luas tentang praktik perawatan anak
serta mampu menjaga dan merawat lingkungannya agar tetap bersih (Taguri, et
al., 2007). Orang tua terutama ibu yang mendapatkan pendidikan lebih tinggi
dapat melakukan perawatan anak lebih baik dari pada orang tua dengan
pendidikan rendah. Tingkat pendidikan ibu turut menentukan mudah tidaknya
18
seorang ibu dalam menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang didapatkan.
Pendidikan diperlukan agar seseorang terutama ibu lebih tanggap terhadap
masalah gizi didalam keluarga dan diharapkan bisa mengambil tindakan yang
tepat sesegera mungkin.
2) Status Ekonomi
Pendapatan dalam ilmu ekonomi didefinisikan sebagai hasil berupa uang atau hal
materi lainnya yang dicapai dari penggunaan kekayaan atau jasa manusia bebas.
Sedangkan pendapatan rumah tangga adalah total pendapatan dari setiap anggota
rumah tangga dalam bentuk uang atau natura yang diperoleh baik sebagai gaji
atau upah usaha rumah tangga atau sumber lain. Kondisi seseorang dapat diukur
dengan menggunakan konsep pendapatan yang menunjukkan jumlah seluruh uang
yang diterima oleh seseorang atau rumah tanggaselama jangka waktu tertentu.
(Samuelson & Nordhaus, 2002).
Pendapatan adalah penerimaan bersih seseorang, baik berupa uang kontan
maupun natura. Pendapatan atau juga disebut juga income dari seorang warga
masyarakat adalah hasil penjualannya dari faktor-faktor produksi yang
dimilikinya pada sektor produksi. Dan sektor produksi ini membeli faktor-faktor
produksi tersebut untuk digunakan sebagai input proses produksi dengan harga
yang berlaku dipasar faktor produksi. Harga faktor produksi dipasar faktor
produksi (seperti halnya juga untuk barang-barang dipasar barang) ditentukan oleh
tarik menarik, antara penawaran dan permintaan. Balita yang berasal dari status
ekonomi rendah lebih banyak mengalami stunting dibandingkan balita dari
keluarga dengan status ekonomi tinggi. Cara statistik hasil penelitian dari Zilda
19
Oktarina dan Trini Sudiarti tentang faktor risiko stunting pada balita 24-59 bulan
di Sumatra menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status ekonomi
keluarga dengan kejadian stunting pada balita. Balita yang berasal dari keluarga
dengan status ekonomi rendah 1,29 kali beresiko mengalami stunting
dibandingkan dengan balita dari keluarga dengan status ekonomi tinggi. Temuan
ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyebutkan adanya
hubungan antara status ekonomi keluarga dengan kejadian stunting pada balita.
Status ekonomi keluarga memiliki hubungan yang kuat terhadap kejadian stunting
(Hong, 2007). Status ekonomi keluarga yang lebih rendah cenderung memiliki
anak stunting (Lee et al, 2010).
3) Tinggi Badan Ibu
Tinggi badan dapat ukur dari alas kaki ke titik tertinggi pada posisi tegak.
Menurut Barry L. Johnson (1979: 166) yang dikutip oleh Murtiantmo wibowo adi
(2008:32) berpendapat bahwa tinggi badan merupakan ukuran posisi tubuh berdiri
(vertical) dengan kaki menempel pada lantai, posisi kepala dan leher tegak,
pandangan rata-rata air, dada dibusungkan, perut datar dan tarik nafas beberapa
saat. Menurut Wahyudi (2011: 1) yang dikutip Catur baharudin (2007: 7)
berpendapat bahwa tinggi badan diukur dalam posisi berdiri sikap sempurna tanpa
alas kaki. Dari penelitian Enny Fitrihadi tentang hubungan tinggi badan ibu
dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan didapatkan hasil secara
statistik bahwa tinggi badan ibu berhubungan dengan stunting, hal ini dibuktikan
dengan nilai p=0,000 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara tinggi badan ibu dengan stunting pada balita usia 24-59 bulan.
Menurut penelitian Amin (2014) bahwa hasil uji bivariat menunjukkan bahwa
20
tinggi badan ibu (p=0,01) menunjukkan bahwa hubungan yang signifikan
terhadap kejadian stunting. Hasil uji multivariat pun membuktikan bahwa variabel
yang paling berpengaruh dengan stunting adalah tinggi badan ibu.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Zottarelli (2014) di Mesir bahwa ibu
yang memiliki tinggi badan < 150 cm lebih beresiko memiliki anak stunting
dibandingkan dengan ibu dengan tinggi badan > 150 cm. Tinggi badan orang tua
berhubungan dengan pertumbuhan fisik anak. Ibu yang pendek merupakan salah
satu faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting (Zottarelli, 2014). Hasil
ini sejalan dengan penelitian di Tanggerang yang menunjukkan bahwa anak yang
dilahirkan dari ibu atau ayah pendek beresiko menjadi stunting. Salah satu atau
kedua orang tua yang pendek akibat kondisi patologi (seperti defisiensi hormon
pertumbuhan) memiliki gen dalam kromoson yang membawa sifat pendek
sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen tersebut dan tumbuh menjadi
stunting. Akan tetapi bila orang tua pendek akibat kekurangan zat gizi atau
penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi badan normal selama
anak tersebut tidak terpapar faktor resiko lain (Rahayu, 2011).
Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh
Kartikawati (2011) yang menyatakan bahwa faktor genetik pada ibu yaitu tinggi
badan berpengaruh terhadap kejadian stunting pada balita. Tetapi hal ini tidak
berlaku apabila sifat pendek orang tua disebabkan karena masalah gizi atau
patologis yang dialami orang tua. Sehingga hal tersebut tidak akan berpengaruh
terhadap tinggi badan anak.
21
4) Pola Asuh
Pengertian Pola asuh adalah pola interaksi antara anak dengan orang tua meliputi
pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan kebutuhan
psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, perlindungan, dan lain-lain), serta
sosialisasi norma-norma yang berlaku dimasyarakat agar anak dapat hidup selaras
dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi
orang tua dengan anak dalam pendidikan karakter anak (Latifah,2008). Pola asuh
menurut Handayani (2008) adalah konsep dasar tentang cara memperlakukan
anak. Perbedaan dalam konsep ini adalah ketika anak dilihat sebagai sosok yang
sedang berkembang, maka konsep pengasuhan yang diberikan adalah konsep
psikologi perkembangan. Ketika konsep pengasuhan mempertahankan cara-cara
yang tertanam di dalam masyarakat maka konsep yang digunakan adalah
tradisional.
Menurut Nurani (2004) pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan
pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku
inidapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif dan positif. Pola asuh yang benar
bisa ditempuh dengan memberikan perhatian yang penuh serta kasih sayang pada
anak dan memberinya waktu yang cukup untuk menikmati kebersamaan dengan
seluruh anggota keluarga. Sementara pola asuh menurut Baumrind (dalam
Papalia, 2008) orang tua tidak boleh menghukum anak, tetapi sebagai gantinya
orang tua harus mengembangkan aturan-aturan bagi anak dan mencurahkan kasih
sayang kepada anak. Orang tua melakukan penyesuaian perilaku mereka terhadap
anak, yang didasarkan atas perkembangan anak karena setiap anak memiliki
22
kebutuhan dan mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Dari Uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah pola interaksi antara orang tua dengan
anak meliputi cara orang tua memberikan aturan, hukuman, kasih sayang serta
memberikan perhatian kepada anak.
Dimensi pola asuh Menurut Baumrind (dalam Damon & Lerner, 2006) pola asuh
terbagi menjadi 2 dimensi, yaitu:
1. Parental responsiveness
Orang tua bersikap hangat dan memberikan kasih sayang kepada anak. Orang tua
dan anak terlibat secara emosi dan menghabiskan waktu bersama dengan anak.
2. Parental demanding
Orangtua memberikan kontrol terhadap anak mereka. Orang tua menggunakan
hukuman untuk dengan tujuan untuk mengontrol anak mereka. Orang tua bersikap
menuntut dan memaksa anak dan orang tua akan memberikan aturan kepada an ak
ketika anak tidak memenuhi tuntutan dari orang tua.
Aspek-aspek Pola Asuh Menurut Baumrind (dalam Damon & Lerner, 2006) pola
asuh terbagi beberapa aspek, yaitu:
a. Warmth
Orang tua menunjukkan kasih sayang kepada anak, adanya keterlibatan emosi
antara orang tua dan anak serta menyediakan waktu bersama anak. Orang tua
membantu anak untuk mengidentifikasi dan membedakan situasi ketika
memberikan atau me ngajarkan perilaku yang tepat
23
b. Control
Orang tua menerapkan cara berdisiplin kepada anak, memberikan beberapa
tuntutan atau aturan serta mengontrol aktifitas anak, menyediakan beberapa
standar yang dijalankan atau dilakukan secara konsisten, berkomunikasi satu arah
dan percaya bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh kedisiplinan.
a. Communication
Orang tua menjelaskan kepada anak mengenai standar atau aturan serta pemberian
reward atau punish yang dilakukan kepada anak. Orang tua juga mendorong anak
untuk bertanya jika anak tidak memahami atau setuju dengan standar atau at uran
tersebut.
Dalam penelitian yang dilaksanakan Rahmayana dkk tentang hubungan pola asuh
dengan kejadian stunting didapatkan hasil ada hubungan yang signifikan antara
perhatian atau dukungan ibu terhadap anak dalam praktik pemberian makan
dengan kejadian stunting dengan nilai p=0,007 < (α=0,05). Hal ini di tunjang
dengan penelitian yang dilakukan Brigitte Sarah Renyoet dkk yang mendapatkan
hasil adanya hubungan yang signifikan antara perhatian/dukungan ibu terhadap
anak dalam praktik pemberian makanan, persiapan dan penyimpanan dengan
pertumpuhan panjang badan anak dan kejadian stunting. Penelitian lain dilakukan
oleh Cristin Debora Nabuasa dkk juga menunjukkan hasil ada hubungan yang
bermakna antara riwayat pola asuh terhadap kejadian stunting dengan nilai OR
atau kekuatan hubungan sebesar 14,5 kali. Hal ini berarti anak yang memiliki
riwayat pola asuh kurang mempunyai resiko terhadap stunting sebesar 14,5 kali
dibandingkan anak yang mempunyai riwayat pola asuh baik.
24
5) ASI Eksklusif
ASI eksklusif atau lebih tepat pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi hanya
diberi ASIsaja, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air
teh, air putih, dan tanpa tambahan makanan padat sepert i pisang, pepaya, bubur
susu, biskuit, bubur nasi, dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan
untuk jangka waktu seti daknya selama 4 bulan, namun rekomendasi terbaru
UNICEF bersama World Health Asssembly (WHA) dan banyak Negara lainnya
adalah menetapkan jangka waktu pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. Bayi
sehat pada umumnya tidak memerlukan makanan tambahan sampai usia 6 bulan.
Pemberian makanan padat atau tambahan yang terlalu dini dapat menggangu
pemberian ASI eksklusif serta meningkatkan angka kesakitan pada bayi. Tidak
ada bukti yang memperlihatkan bahwa pemberian makanan padat atau tambahan
pada usia 4 atau 5 bulan lebih menguntungkan. Hasil penelitian Choirun Ni’mah
dkk menunjukkan terdapat hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan
kejadian stunting dengan OR sebesar 4,643. Hasil ini sejalan dengan penelitian
Arifin (2012) dan Fikadu, et al (2014) di Etiopia Selatan yang menunjukkan
bahwa balita yang tidak diberikan ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama memiliki
resiko yang lebih besar terhadap kejadian stunting.
6) Kelengkapan Imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk memberikan kekebalan terhadap seseorang
secara aktif terhadap penyakit menular. Imunisasi adalah suatu cara untuk
meningkatkan kesehatan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen sehingga
bila kelak ia terpapar antigen yang serupa tidak pernah terjadi penyakit.
25
Tujuan pemberian imunisasi adalah untuk menurunkan angka kesakitan,
kecacatan, dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Hasil penelitian yang dilakukan di Kupang menunjukkan bahwa Anak yang tidak
memiliki riwayat imunisasi memiliki peluang mengalami stunting lebih besar
dibandingkan anak yang memiliki riwayat imunisasi. Anak yang tidak memiliki
riwayat imunisasi memiliki peluang menjadi stunting sebesar 1,983 kali. Penelian
lain juga menunjukkan bahwa kelengkapan imunisasi berpengaruh signifikan
terhadap stunting.
Imunisasi merupakan suatu proses yang menjadikan seseorang kebal atau dapat
melawan terhadap penyakit infeksi. Pemberian imunisasi biasanya dalam bentuk
vaksin. Vaksin merangsang tubuh untuk membentuk sistem kekebalan yang
digunakan untuk melawan infeksi atau penyakit. Ketika tubuh kita diberi vaksin
atau imunisasi, tubuh akan terpajan oleh virus atau bakteri yang sudah dilemahkan
atau dimatikan dalam jumlah yang sedikit dan aman. Kemudian sistem kekebalan
tubuh akan mengingat virus atau bakteri yang telah dimasukkan dan melawan
infeksi yang disebabkan oleh virus atau bakteri tersebut ketika menyerang tubuh
kita di kemudian hari.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dandara Swathma dkk menunjukkan
hasil besar resiko riwayat imunisasi dasar terhadap kejadian stunting diperoleh
OR sebesar 6,044 kali. Artinya balita dengan riwayat imunisasi dasar tidak
lengkap mempunyai resiko mengalami stunting 6,044 kali lebih besar
dibandingkan dengan balita yang memiliki riwayat imunisasi dasar lengkap.
26
7) Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)
Berat bayi lahir rendah (BBLR) diartikan sebagai berat bayi ketika lahir kurang
dari 2500 gram dengan batas atas 2499 gram. (WHO). Banyak faktor yang
mempengaruhi kejadian BBLR terutama yang berkaitan dengan ibu selama masa
kehamilan. Berat badan ibu kurang dari 50 kg, keluarga yang tidak harmonis
termasuk didalamnya adalah kekerasan dalam rumah tangga dan tidak adanya.
dukungan dari keluarga selama masa kehamilan, gizi ibu buruk terutama selama
masa kehamilan, kenaikan berat badan selama kehamilan kurang dari 7 kg, infeksi
kronik, tekanan darah tinggi selama kehamilan, kadar gula darah ibu tinggi selama
kehamilan, merokok, alcohol, dan genetic merupakan beberapa faktor penyebab
bayi yang dilahirkan BBLR. Berat bayi lahir rendah (BBLR) merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang banyak terjadi di Negara-negara miskin dan
berkembang. Diperkirakan 15 % dari seluruh bayi yang dilahirkan merupakan
bayi dengan berat lahir rendah. Berat bayi lahir rendah erat kaitannya dengan
mortalitas dan morbiditas janin dan bayi, penghambat pertumbuhan dan
perkembangan kognitif dan penyakit kronik ketika menginjak usia dewasa seperti
diabetes tipe 2, hipertensi, dan jantung. Kelompok BBLR menunjukan angka
kematian dan angka kesakitan yang tinggi.
Dari penelitian Darwin Nasution dkk menunjukkan hasil nilai OR=5,60 (95%
CI:2,27-15,70), artinya pada tingkat kepercayaan 95% dapat disimpulkan bahwa
anak yang lahir dengan BBLR mempunyai resiko 5,6 kali lebih besar untuk
menjadi stunting dibandingkan dengan anak yang lahir dengan berat badan
normal. Pada penelitian Zilda Oktarina dan Trini Sudiarti mengatakan ditemukan
27
hubungan antara berat lahir dengan kejadian stunting pada balita. Balita yang
memiliki berat lahir kurang mempunyai resiko 1,31 kali mengalami stunting
dibandingkan dengan balita berat lahir normal. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Velera at al. 2009 yang dilaksanakan di pulau Sulawesi juga
menunjukkan bahwa anak dengan berat badan lahir kurang dari 3000 gram
memiliki resiko menjadi stunting 1,3 kali dibandingkan anak berat lahir lebih dari
atau sama dengan 3000gram (Simanjuntak, 2011).
8) Asupan Energi
Asupan makanan berkaitan dengan kandungan nutrisi (zat gizi) yang terkandung
didalam makanan yang dimakan. Dikenal dua jenis nutrisi yaitu makronutrisi dan
mikronutrisi. Makronutrisi merupakan nutrisi yang menyediakan kalori atau
energi, diperlukan untuk pertumbuhan, metabolisme, dan fungsi tubuh lainnya.
Makronutrisi ini diperlukan tubuh dalam jumlah yang besar, terdiri dari
karbohidrat, protein, dan lemak. Nutrisi (zat gizi) merupakan bagian yang penting
dari kesehatan dan pertumbuhan. Sumber energi makanan berasal dari karbohidrat
sebesar 4 kkal/gr, protein sebesar 4 kkal/gr dan lemak sebesar 9 kkal/gr. Energi
dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan, perkembangan, aktivitas otot, fungsi
metabolik untuk memperbaiki jaringan rusak, untuk kelangsungan proses
peredaran dan sirkulasi darah, denyut jantung, pernapasan, pencernaan dan proses
psikologis lainnya.
Ketidakseimbangan energi yang memicu rendahnya berat badan dan simpanan
energi dalam tubuh akan menyebabkan kekurangan energi kronis. Apabila asupan
energi tidak mencukupi kebutuhan untuk mempertahankan metabolisme, maka
28
pemenuhan kecukupan energi diperoleh dari cadangan lemak dan glikogin otot.
Selanjutnya jika berlangsung dalam waktu lama akan menjadi katabolisme guna
memenuhi kebutuhan energi, sehingga dampak yang ditimbulkan dari asupan
energi yang kurang yaitu terjadi gangguan pertumbuhan pada anak. Hasil
penelitian yang dilakukan Salsa Bening dkk menunjukkan tingkat kecukupan
energi yang rendah merupakan faktor resiko kejadian stunting yang tidak
bermakna secara statistik (p=0,835). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Farida Hanum, Ali Khomsan dan Yayat Heryanto
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
kecukupan energi dengan status gizi balita (p>0,05).
9) Asupan Protein
Protein merupakan nutrisi penting untuk pertumbuhan dan perkembangan balita.
Untuk memperoleh mutu protein dan zat gizi mikro yang lebih baik, penuhi paling
tidak seperempat (25%) dari angka kecukupan Proteihn (AKP) yang berasal dari
protein hewani. Anak usia dibawah lima tahun merupakan kelompok anak yang
rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi. Gejala kurang protein (KEP) adalah
salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita di Indonesia.
Protein terdiri dari asam-asam amino. Selain menyediakan asam amino esensial
protein juga menyuplai energi dalam bentuk energi terbatas dari karbohidrat dan
lemak.
Penelitian Salsa Bening dkk menunjukkan bahwa tingkat kecukupan protein yang
rendah bukan merupakan resiko kejadian stunting (p=0,111). Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Wanda Lestari menyebutkan bahwa balita yang memiliki
29
asupan protein kurang beresiko 5,54 kali lebih besar untuk memiliki status gizi
kurang dibandingkan dengan balita yang memiliki asupan protein cukup.
10) Riwayat penyakit infeksi
Penyakit dapat menyebabkan stunting karena zat-zat gizi yang masuk kedalam
tubuh tidak dapat digunakan secara maksimal untuk pertembuhan karena lebih
banyak digunakan untuk membentuk zat-zat atau sel-sel untuk melawan penyakit.
Penyakit infeksi kronik yang sering diderita anak-anak yang bisa menghambat
pertumbuhan antara lain tubercolusis, infeksi saluran pencernaan, diare, asma,
cacingan, dan sebagainya. Hal ini didukung oleh banyak penelitian antara lain
penelitian di Colombia oleh heckett Michelle yang membuktikan bahwa diare,
infeksi pernafasan, dan investasi parasit merupakan faktor risiko stunting. Sebuah
penelitian di Nigeria oleh Cin Nj membuktikan bahwa penyakit pankreatitis
kronis dan diabetes melitus pada anak merupakan faktor risiko stunting.
Dari hasil penelitian oleh Wiwien Fitrie Wellina dkk tentang faktor resiko stunting
pada anak umur 12-24 bulan menyatakan riwayat infeksi Diare dan ISPA bukan
faktor resiko stunting pada anak umur 12-24 bulan.
11) Riwayat makanan Pendampin ASI
Makanan Pendamping Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan tambahan yang
diberikan kepada bayi setelah bayi berusia 6 bulan sampai berusia 24 bulan . Jadi
selain pendamping ASI, ASI harus tetap diberikan kepada bayi paling tidak
sampai usia 24 bulan. Peranan makanan pendamping Asi bukan untuk
menggantikan ASI melainkan untuk melengkapi ASI. (Krinatuti ,2008). Usia 0-2
tahun merupakan masa pertumbuhan yang paling cepat bagi seorang anak. Oleh
30
karena itu pada usia ini diperlukan makanan dalam jumlah yang banyak dan
mengandung zat gizi yang lengkap. Selain itu usia 6 bulan , ASI saja tidak dapat
memenuhi kebutuhan zat gizi yang diperlukan, sehingga harus diberikan makanan
pendamping ASI. Pertumbuhan akan baik bila makanan pendamping ASI juga
baik, sebaliknya pertumbuhan akan terganggu jiga MP ASInya buruk. Makanan
pendamping ASI pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi empat macam
yaitu makanan pokok (misalnya nasi, jagung, ubi-ubian), makanan sumber protein
(misalnya daging, telur, ikan), makanan sumber vitamin dan miniral (misalnya
sayur dan buah) dan suplemen energi (misalnya gula, minyak, mentega).
Hasil penelitian Lita D, dkk di Bogor, mengatakan Konsumsi MP-ASI lebih
dominan mempengaruhi kecukupan energi dan zat gizi anak usia 6-12 bulan
dibandingkan dengan konsumsi ASI sehingga konsumsi MP-AS1 yang rendah
merupakan faktor yang menyebabkan rendahnya asupan energi dan zat gizi serta
dapat menyebabkan terjadinya kejadian stunting. Penelitian Dwi Puji Hasanah
tentang hubungan antara pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) dengan
kejadian stunting anak usia 6-23 bulan dikecamatan Sedayu didapatkan hasil ada
hubungan antara waktu memulai pemberian MP-ASI dengan status gizi anak usia
6-23 bulan berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) dengan OR 2,867,
CI=1,453-5,656. Sebagian besar anak yang mendapatkan MP-ASI yang tidak
sesuai waktu memulai pemberian MP-ASI memiliki resiko 2,8 kali untuk menjadi
stunting. Artinya waktu memulai pemberian ASI berhubungan secara signifikan
dengan kejadian stunting.
31
C. Teori Keperawatan
Penelitian ini akan dilaksanakan ditatanan komunitas . berbagai aspek yang ada
dikomunitas akan sangat berpengaruh dalam pelaksanaan penelitan ini. Untuk itu
peneliti akan mengaplikasikan teori keperawatan Community as Partner
terintegrasi dengan Family Centered Nursing. Dalam Community as partner ini
lebih berfokus pada perawatan kesehatan masyarakat adalah praktek, keilmuan,
dan metodenya melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi penuh dalam
meningkatkan kesehatannya. Sedangkan menurut Friedman dkk, (2010)
berpendapat bahwa family centered nursing adalah kemampuan perawat
memberikan asuhan keperawatan keluarga sehingga memandirikan anggota
keluarga agar tercapai peningkatan kesehatan seluruh anggota keluarganya dan
keluarga mampu mengatasi masalah kesehatan . (Allender dan Spradley,2005).
Family centered nursing merupakan suatu model yang akan berdampak positif
dan baik bila dikembangkan berdasarkan kebutuhan pemberi dan pengguna
pelayanan kesehatan khususnya tenaga perawat dan keluarga. Hal ini sesuai
dengan konsep pemberdayaan dalam family-centered nursing yang menjelaskan
bahwa keluarga memiliki hak dan kewenangan untuk merawat anak-anaknya.
Maka dari itu salah satu pelayanan dalam keperawatan adalah berpusat pada
keluarga (family-centered nursing). Penerapan family-centered nursing dalam
konteks stunting pada kelompok balita adalah dengan melihat kemandirian
keluarga yang memiliki balita stunting dalam memberikan asuhan
keperawatannya. Penerapan model pemberdayaan berbasis keluarga : family–
centered nursing merupakan teori keperawatan dengan asuhan keperawatan
32
dengan pendekatan proses keperawatan yang merupakan salah satu intervensi
keperawatan yang mendukung pelaksanaan tugas kesehatan keluarga dalam
merawat anak dengan stunting yang meliputi mengenal masalah stunting,
memutuskan tindakan yang tepat, merawat balita yang mengalami stunting,
memodifikasi lingkungan dan memanfaatkan pelayanan kesehatan dalam
penanganan stunting. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
Sjattar, Elly.Burhanudin , dan Siti (2011) membuktikan bahwa penerapan model
keluarga untuk keluarga yang merupakan integrasi dari konsep model dan teori
keperawatan Self Care dan family –Centered Nursing (SCFCN) dengan cara
edukasi suportif pada keluarga yang dilakukan tiga kali pertemuan selama tiga
minggu sangat berpengaruh terhadap kemandirian keluarga dalam merawat
anggota keluarga yang menderita tuberkulosis.
Penelitian ini juga diperkuat oleh studi kasus yang dilakukan oleh Bekti,Yoyok
,2003 terhadap keluarga dengan balita sulit makan. Dilakukan penerapan family-
centered nursing dengan menggunakan metode pendekatan asuhan keperawatan
keluarga meliputi tahapan pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi meliputi strategi intervensi penerapan terapi modalitas,
(food combining), terapi perilaku, konseling dan coaching, pemberdayaan
masyarakat untuk mencapai kompetensi komunitas, membangun koalisi untuk
mencapai tujuan yang diinginkan dengan berbagai pihak yang potensial. Model ini
dapat digunakan dalam menyusun strategi implementasi seperti memberikan
pendidikan kesehatan pada keluarga.
33
D. Penelitian Terdahulu
No Penulis Judul/Jurnal Metode Variabel
Independen
Variabel
Dependen
Hasil
1 Irviani A.
Ibrahim,
Ratih
Paramita
Hubungan Faktor Sosial
Ekonomi Keluarga
dengan kejadian stunting
anak usia 24-59 bulan di
wilayah kerja puskesmas Borombong kota
makassar tahun 2014/Al-
Sihah : Public Health
Science journal Januari
2015
Observasional
dengan desain
potong lintang
(Cross Sectional
Study)
1. Pendidikan
ayah
2. Pendidikan Ibu
3. Pengetahuan
Ibu tentang Gizi dan
Stunting
4. Pekerjaan Ibu
5. Pendapatan
6. Jumlah
anggota
keluarga.
Stunting anak
usia 24-59
bulan
1. p=0,150>(α=0,05) tidak ada hubungan
yang signifikan antara tingkat pendidikan
ayah dengan kejadian stunting pada anak
usia 24-59 bulan.
2. p=0,020<(α=0,05) ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ayah
dengan kejadian stunting pada anak usia
24-59 bulan.
3. p=0,000<(α=0,05) ada hubungan yang
signifikan antara tingkat pendidikan ayah
dengan kejadian stunting pada anak usia
24-59 bulan.
4. p=0,513>(α=0,05) tidak ada hubungan
yang signifikan antara tingkat pendidikan
ayah dengan kejadian stunting pada anak
usia 24-59 bulan. 5. p=0,599>(α=0,05) tidak ada hubungan
yang signifikan antara tingkat pendidikan
ayah dengan kejadian stunting pada anak
usia 24-59 bulan.
6. p=0,152>(α=0,05) tidak ada hubungan
yang signifikan antara tingkat pendidikan
ayah dengan kejadian stunting pada anak
usia 24-59 bulan.
34
2 Cholifatun
Ni’mah dan
Lailatul
Muniroh
Hubungan tingkat
pendidikan, tingkat
pengetahuan dan pola
asuh ibu dengan wasting
dan stunting pada balita
keluarga miskin/Media Gizi Indonesia Januari
2015
Cross Sectional 1. Tingkat
pendidikan ibu
2. Tingkat
pengetahuan
ibu
3. Pola asuh
Wasting dan
Stunting
1. p wasting =0,632 dan p stunting=0,963,
p wasting dan p stunting > α tidak ada
hubungan antara tingkat pengetahuan
ibu dengan wasting dan stunting pada
balita keluarga miskin
2. p wasting =0,719 dan p stunting=0,928, p wasting dan p stunting > α tidak ada
hubungan antara pola asuh ibu dengan
wasting dan stunting pada balita
keluarga miskin
3 Rahmaniah,E
my Huriyati,
Winda Irwanti
Riwayat asupan energi
dan protein yang kurang
bukan faktor resiko
stunting pada anak usia
6-23 bulan/Jurnal Gizi
dan Dietetik Indonesia
September 2014
Case Control Asupan energi dan
protein
Stunting pada
usia 6-23
bulan
Tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara asupan energi dan protein (p>0,05)
terdapat kecenderungan bahwa anak yang
mengkonsumsi energi dan protein yang
kurang beresiko lebih tinggi terhadap
stunting dibandingkan anak yang
mengkonsumsi energi dan protein yang
cukup (OR=1,24 dan OR=1,41)
4 Salsa bening,
Ani
margawati, Ali
Rosidi
Asupan gizi makro dan
mikro sebagai faktor
stunting anak usia 2-5
tahun di semarang
Obsevasional
dengan design
case control
Asupan gizi makro
dan mikro
Stunting pada
usia 2-5 tahun
Tingkat kecukupan energi dan protein yang
rendah merupakan resiko kejadian stunting
pada anak (p=0,835>α=0,05)
5 Vilda Ana
Veria
Setyawati
Kajian stunting
berdasarkan umur dan
jenis kelamin
Cross Sectional 1. Umur
2. jenis kelamin
stunting 1. p=0,36>α=0,05 tidak ada hubungan
antara umur dan jenis kelamin
2. p=0,46>α=0,05 tidak ada hubungan
antara jenis kelamin dengan stunting
35
6
Zilda Oktarina
dan Trini
Sudiarti
Faktor resiko stunting
pada balita (24-59 bulan)
di sumatera/Jurnal Gizi
dan pangan November
2013
Cross Sectional 1. Berat lahir
2. Tinggi badan
ibu
3. Tingkat asupan
energi
4. Tingkat asupan Protein
5. Tingkat asupan
lemak
6. Status
ekonomi
keluarga
7. Jumlah
Anggota
keluarga
8. Sumber air
minum
Stunting pada
balita usia 24-
59 bulan
Kejadian stunting pada balita memiliki
hubungan dengan :
1. berat lahir (p=0,03;OR=1,31)
2. tinggi badan ibu (p=0,01;OR=1,36)
3. Tingkat Asupan energi
(p=0,03;OR=1,28) 4. Tingkat asupan protein (p=0,09;OR=-)
5. Tingkat asupan lemak
(p=0,02;OR=1,31)
6. Status ekonomi keluarga
(p=0,03;OR=1,29)
7. Jumlah anggota keluarga
(p=0,01;OR=1,34)
8. Sumber air minum (p=0,01;OR=1,35)
7 Endang
mayangsari,
Muhammad
Juffrie, Neti
Nurani,Mei
Neni Sitaresmi
Asupan protein, kalsium
dan fosfor pada anak
stunting dan tidak
stunting usia 24-59
bulan/Jurnal Gizi Klinik
April 2016
Cross Sectional 1. Asupan protein
2. Asupan
kalsium
3. Asupan fosfor
Stunting dan
tidak stunting
pada usia 24-
59 bulan
Asupan protein kalsium dan fosfor
signifikan lebih rendah pada anak stunting
dibandingkan anak tidak stunting
36
8 Darwin
Nasution,
Detti Siti
Nurdiati, Emy
Huryati
Berat badan lahir rendah
(BBLR) dengan kejadian
stunting pada anak usia
6-24 bulan/Jurnal Gizi
Klinik Indonesia Juli
2014
Case Control
Study
Riwayat BBLR Anak stunting
usia 6-24
bulan
OR=5,60 (95% CI:2,27-15,70) artinya pada
tingkat kepercayaan 95% dapat disimpulkan
bahwa anak yang lahir dengan BBLR
mempunyai risiko 5,6 kali lebih besar untuk
menjadi stunting dibandingkan dengan anak
yang lahir dengan berat badan normal
9
Dandara
swathma,
Hariati lestari,
Ririn teguh
ardiansyah
Analisa faktor risiko
BBLR, panjang badan
bayi saat lahir dan
riwayat imunisasi dasar
terhadap kejadian
stunting pada balita usia
12-36 bulan di wilayah
kerja puskesmas Kandai
Kota Kendari tahun
2016/Jurnal Ilmiah
Mahasiswa kesehatan
masyarakat Universitas Hulu Oleo
Case Control 1. BBLR
2. Panjang badan
bayi saat lahir
3. Riwayat
imunisasi dasar
Stunting usia
12-36 bulan
1. Nilai OR=5,250 dan p=0,002 artinya
responden dengan berat badan lahir
rendah mempunyai resiko mengalami
stunting 5,250 kali lebih besar
dibandingkan dengan responden berat
badan lahir normal
2. Nilai OR=4,78 p=0,005 artinya
responden yang memiliki panjang
badan yang pendek saat lahir
mempunyai resiko 4,078 kali lebih
besar dibandingkan dengan responden
yang memiliki panjang badan bayi yang normal saat lahir
3. Nilai OR=6,044 p=0,000 artinya
responden yang memiliki riwayat
imunisasi dasar yang tidak lengkap
mempunyai resiko mengalami stunting
6,044 kali lebih besar dibandingkan
dengan responden yang memiliki
riwayat imunisasi dasar lengkap
37
10 Dwi Puji
Khasanah,
Hamam hadi,
Bunga Astria
Paramashanti
Hubungan antara
pemberian makanan
pendamping ASI (MP-
ASI) dengan kejadian
stunting anak usia 6-23
bulan dikecamatan Sedayu
Cross Sectional 1. Waktu pertama
pemberian MP-
ASI
2. Asupan energi
dan protein
Kejadian
stunting pada
anak usia 6-23
bulan
1. Terdapat hubungan bermakna
(p=0,002) antara waktu pertama kali
pemberian MP-ASI dengan status gizi
anak usia 6-23 bulan
2. Tidak ada hubungan bermakna
(p=0,072) antara asupan energi dengan status gizi anak usia 6-23 bulan
3. Tidak terdapat hubungan yang
signifikan (p=0,40) antara asupan
protein dengan kejadian stunting
11 Didik
Hariyadi dan
Ikeu Ekayanti
Analisis pengaruh
perilaku keluarga sadar
gizi terhadap stunting
di propinsi Kalimantan
Barat/Jurnal Teknologi
dan kejuruan Februari
2011
Cross Sectional Perilaku keluarga
sadar gizi
stunting Ada pengaruh signifikan perilaku
KADARZI rumah tangga terhadap stunting
(p<0,05)
12 Tantut susanto,Lantin
Sulistyorini
Family Friendly dalam peningkatan pemberian
ASI Eksklusif dengan
integrasi model Family
center nursing dan
truncultural nursing/
Jurnal INJEC Oktober
2014
Kuasi Eksperimen
nonrandomized
control group
design pretest
dan postest
Perilaku menyusui ibu,kemandirian
keluarga,kemampu
an kader
kesehatan,pengelol
aan pelayanan ASI
eksklisif
Integrasi model family
center nursing
dan trans
cultural
Ada perbedaan yang sangat signifikan antara perilaku ibu menyusui,kemandirian keluarga
dan pengelolaan pelayanan ASI elsklusif
sebelum dan sesudah intervensi program (P
value0,000) dan ada perbedaan yang
signifikan antara kemampuan kader
kesehatan sebelum dan susudah intervensi
program ( p value 0,001.
38
13
Distia
Hayyudini,
Suyatno,
Yudhy
Dharmawan
Hubungan karakteristik
ibu, pola asuh dan
pemberian imunisasi
dasar terhadap status
gizi anak usia 12-24
bulan (studi di wilayah kerja puskesmas
Kedungmundu kota
Semarang tahun
2017)/Jurnal Kesehatan
Masyarakat (E-journal)
Oktober 2017
Explanatory
study dengan
rancangan cross
sectional
1. Karakteristik
Ibu (Usia
Ibu,pendidikan
ibu dan status
ekonomi)
2. Pola asuh 3. Status
imunisasi
dasar
1. Status gizi
anak usia
12-24
bulan
1. p value=0,612 dan r=0,054 tidak ada
hubungan yang signifikan antara usia
ibu dengan status gizi anak usia 12-24
bulan
2. p value=0,018 dan r=0,249 ada
hubungan yang signifikan antara usia ibu dengan status gizi anak usia 12-24
bulan
3. p value=0,335 dan r=-0,099 tidak ada
hubungan dengan signifikan antara
status ekonomi dengan status gizi anak
usia 12-24 bulan
4. p value=0,340 dan r=-0,012 tidak ada
hubungan yang signifikan antara status
ekonomi dengan status gizi anak usia
12-24 bulan
5. p value=0,995 dan r=-0,001 tidak ada
hubungan yang signifikan antara pola asuh keluarga dengan status gizi anak
usia 12-24 bulan
39
14 Bunga Ch
Rosha,
Hardiansyah
dan Yayuk
Farida
Baliwati
Analisis Determinan
Stunting anak 0-23
bulan pada daerah
miskin di Jawa Tengah
dan Jawa Timur/The
Journal of Nutrition and Foud Research
tahun 2012
Analisis Data
Sekunder
Faktor Anak
(Usia,Jenis
Kelamin,Status
Penyakit Infeksi
yang diderita,
Asupan Gizi) Faktor Ibu (Usia,
Pendidikan, Status
Pekerja, Status
PHBS ibu)
Faktor Keluarga
(wilayah tempat
tinggal,besar
keluarga,jumlah
balita dalam
keluarga, sanitasi
lingkungan, akses
pelayanan kesehatan dan
status pemanfaatan
pelayanan
kesehatan)
Status
Stunting anak
Hasil Bivariat menunjukkan variabel yang
berhubungan dengan stunting (p<0,05)
adalah wilayah tempat tinggal (p=0,003),
umur (p=0,001) dan jenis kelamin anak
(p=0,01) serta pendidikan ibu (p=0,004).
Hasil Regresi Logistik Menunjukkan faktor determinan yang mempengaruhi stunting
adalah wilayah tempat tinggal dengan nilai
OR=0,68 (0,48-0,95), usia anak dengan nilai
OR=0,71 (0,53-0,96) dan jenis kelamin
anak dengan nilai OR=0,59 (0,44-0,79)
serta pendidikan ibu dengan nilai
OR=1,56(1,65-2,31)
15 Wiwien Fitrie
Wellina,
Martha
I.Kartasurya,
M Zen
Rahfilludin
Faktor resiko stunting
pada anak umur 12-24
bulan/Jurnal Gizi
Indonesia Desember
2016
Case Control Kecukupan
energi,Protein,
Seng, Ketaatan
Konsumsi vitamin
A, Status Penyakit
Infeksi (Diare &
ISPA), BBLR dan pajanan pestisida
Stunting Faktor resiko yang mempengaruhi kejadian
stunting pada anak umur 12-24 bulan adalah
rendahnya tingkat kecukupan energi,
protein, seng, berat badan lahir rendah dan
tingginya pajanan pestisida namun yang
lebih beresiko terhadap kejadian stunting
tingginya pajanan pestisida
16
Khoirun
Ni’mah, Siti
Rahayu
Nadiroh
Faktor yang
berhubungan dengan
kejadian stunting pada
balita/Jurnal Media
Case Control 1. Berat badan lahir
2. Panjang badan
lahir
3. Riwayat
Kejadian
Stunting
a. berdasarkan hasil uji fisher exact dengan
tingkat kepercayaan 95% didapatkan
bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara berat badan lahir
40
Gizi Indonesia Juni
2015
Pemberian ASI
Eksklusif
4. Pendapatan
keluarga
5. Pendidikan
Orang tua balita 6. Pengetahuan
Gizi Ibu
7. Jumlah anggota
keluarga
dengan kejadian stunting pada balita
(p=1,000)
b. hasil uji chi square didapatkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna
antara panjang badan lahir dengan
kejadian stunting pada balita dengan OR 4,091
c. hasil chi square menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara pemberian ASI
Eksklusif dengan kejadian stunting
dengan OR 4,643
d. hasil analisis chi square menunjukkan
bahwa pendapatan keluarga menupakan
faktor yang berhubungan dengan
stunting pada balita (p=0,044) dengan
OR sebesar 3,250
e. hasil uji chi square tidak menunjukkan
hubungan yang siqnifikan antara pendidikan ayah dengan kejadian
stunting pada balita (p=0,32).
Pendidikan ibu merupakan faktor yang
berhubungan dengan kejadian stunting
pada balita (p=0,029) dengan OR
sebesar 3,378
f. hasil analisis chi square menunjukkan
bahwa pengetahuan gizi ibu merupakan
faktor yang berhubungan dengan
kejadian stunting pada balita (p=0,015)
dengan OR sebesar 3,877 g. hasil chi square menghasilkan bahwa
jumlah anggota keluarga bukan
merupakan faktor yang berhubungan
dengan kejadian stunting pada balita.
41
17 Enny
Fitriahadi
Hubungan tinggi badan
ibu dengan kejadian
stunting pada balita
usia 24-59 bulan/jurnal
keperawatan dan
kebidanan aisyiyah Juni 2018
Cross-sectional Tinggi badan ibu Kejadian
Stunting
Tinggi badan ibu berhubungan dengan
stunting dibuktikan dengan nilai p=0,000
(p<0,5)
18 Rr Dewi
Ngaisyah dan
Septiana
Hubungan tinggi badan
orang tua dengan
kejadian stunting/
Jurnal Ilmu Kebidanan
Oktober 2016
Cross-sectional Tinggi badan orang
tua
Kejadian
Stunting
1. Hasil uji chi square dengan α=0,05
diperoleh p-value 0,07. hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara tinggi badan ayah dengan
kejadian stunting balita
2. Dengan uji chi square dengan α=0,05
diperoleh p-value sebesar 0,195. Hal ini
menunjukkan tidak ada hubungan tinggi
badan ibu dengan kejadian stunting
balita
19 Nur Afia
Amin dan
Madarina
Julia
Faktor sosiodemografi
dan tinggi badan orang
tua serta hubungannya
dengan kejadian
stunting pada balita
usia 6-23 bulan/Jurnal
Gizi dan Dietik
Indonesia September
2014
Case control 1. Faktor
sosiodemografi
(pendapatan,
pendidikan orang
tua, dan jumlah
anggota keluarga)
2. Tinggi badan
orang tua
Kejadian
stunting
1. Hasil analaisis bivariat variabel bebas
(pekerjaan orang tua, pendidikan orang
tua, pendapatan, dan jumlah anggota
keluarga) terhadap kejadian stunting
menunjukkan bahwa tidak ada satu pun
variabel sosiodemografi yang bermakna
terhadap kejadian stunting
2. Hasil analisis bivariat menunjukkan
variabel bebas tinggi badan ibu
berhubungan dengan kejadian stunting (p=0,01, 95% CI:1,14-3,65) tinggi badan
ayah diketahui tidak memiliki nilai yang
signifikan dengan kejadian stunting
dengan nilai (p=0,29, 95% CI: 0,76-
2,33)
42
20 Brigitte Sarah
Renyoet, Veni
Hadju, St.
Nur
Rochimiwati
Hubungan pola asuh
dengan kejadian
stunting anak usia 6-23
bulan di wilayah pesisir
Kecamatan Tallo Kota
Makassar
Cross-Sectional 1. Perhatian/Duku
ngan ibu
terhadap anak
dalam praktik
pemberian
makanan 2. Rangsangan
psikososial
3. Kebersihan/
Hygiene dan
sanitasi
lingkungan
4. Pemanfaatan
pelayanan
kesehatan
Kejadian
Stunting
1. Dari hasil uji chi square
p=0,001<(α=0,05) ada hubungan yang
signifikan antara perhatian/ dukungan
ibu terhadap anak dalam praktik
pemberian makanan dengan keadaan
stunting anak 2. Nilai p=0,000<(α=0,05) ada hubungan
yang signifikan antara rangsangan
psikososial dengan pertumbuhan
panjang badan dan kejadian stunting
3. Nilai p=0,000<(α=0,05) ada hubungan
yang signifikan antara Kebersihan/
Hygiene dan sanitasi lingkungan dengan
pertumbuhan panjang badan dan
kejadian stunting
4. Nilai p=0,006<(α=0,05) ada hubungan
yang signifikan antara Pemanfaatan
pelayanan kesehatan dengan pertumbuhan panjang badan dan
kejadian stunting
43
21
Agus Hendra
AL Rahmad
dan Ampera
Miko
Kajian stunting pada
anak balita berdasarkan
pola asuh dan
pendapatan keluarga di
kota Banda
Aceh/Jurnal Kesmas Indonesia Juli 2016
Case Control
Study
1. Pemberian ASI
2. MP-ASI
3. Imunisasi
4. Pendapatan
keluarga
Stunting 1. p=0,002 (p<0,05) kejadian stunting anak
balita di Kota Banda Aceh tahun 2010
disebabkan oleh ASI yang tidak
eksklusif dengan nilai OR 4,2 (CI 95%;
1,8-10,0).
2. p=0,007 (p<0,05 kejadian stunting anak balita di Kota Banda Aceh tahun 2010
disebabkan oleh pemberian MP-ASI
yang kurang baik dengan nilai OR 3,4
(CI 95%; 1,5-7,9).
3. p=0,040 (p<0,05 kejadian stunting anak
balita di Kota Banda Aceh tahun 2010
disebabkan oleh pemberian Imunisasi
yang tidak dengan nilai OR 3,5 (CI 95%;
1,2-10,8).
4. p=0,026 (p<0,05) kejadian stunting anak
balita di Kota Banda Aceh tahun 2010
disebabkan oleh pendapatan keluarga yang rendah dengan nilai OR 3,1 (CI
95%; 1,2-7,8).
44
22 Christin
Debora
Nabuasa, M
Juffrie, Emy
Huriyati
Riwayat pola asuh,
pola makan, asupan zat
gizi berhubungan
dengan stunting pada
anak 24-59 bulan di
Biboki Utara, Timor Tengah Utara, Nusa
Tenggara Timur/ Jurnal
Gizi dan Dietetik
Indonesia September
2013
Case Control 1. Riwayat pola
asuh
2. Pola makan
3. Asupan zat gizi
stunting 1. Ada hubungan yang bermakna antara
riwayat pola asuh terhadap kejadian
stunting dengan nilai OR atau kekuatan
hubungan sebesar 14,5 kali (CI 95%;
6,59-32,07), p=0,00
2. Ada hubungan yang bermakna antara riwayat pola makan terhadap kejadian
stunting dengan nilai OR atau kekuatan
hubungan sebesar 3,16 kali
3. Ada hubungan yang bermakna antara
riwayat Asupan zat gizi (energi protein
dan kalsium) terhadap kejadian stunting
dengan nilai OR atau kekuatan
hubungan sebesar 4,53;5,34;3,93
23 Novita Nining
Widyaningsih
,
Kusnandar, Sapja
Anantanyu
Keragaman pangan
,pola asuh makan dan
dan kejadian stunting
pada balita usia 24 – 59 bulan / Jurnal Gizi
Indonesia Desember
2018
Cross Sectional 1.Keragaman
pangan
2. Pola asuh makan
Stunting 1. Terdapat hubungan yang signifikan
antara keragaman pangan dengan stunting
dengan p value 0,024 dan OR 3,213.
2. Terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh makan dengan stunting
dengan p value 0,015 dan OR 2,446.
45
24 Uliyanti,
Didik
Gunawan
Tamtomo,
Sapja
Anantanyu
Faktor yang
berhubungan dengan
kejadian stunting pada
balita usia 24 – 59
bulan /Jurnal Vokasi
Kesehatan 2017
Case Control 1.Pengetahuan gizi
ibu
2. Perilaku keluarga
sadar gizi
3. Perilaku hidup
bersih dan sehat ( PHBS )
4.Riwayat penyakit
infeksi
5. Asupan gizi
Stunting 1. Terdapat hubungan yang signifikan
antara pengetahuan dizi ibu dengan
stunting dengan p value 0,028
2. Terdapat hubungan yang signifikan
antara Kadarzi dengan stunting dengan
p value 0,005 3. Terdapat hubungan yang signifikan
antara PHBS dengan stunting dengan p
value 0,012
4. Terdapat hubungan yang signifikan
antara riwayat penyakit infeksi dengan
stunting dengan p value 0,008
5. Terdapat hubungan yang signifikan
antara asupan gizi dengan stunting
dengan p value 0,008
25 Lidia Fitria Hubungan BBLR dan
ASI eksklusif dengan
kejadian stunting di Puskesmas Lima Puluh
Pekanbaru/ Jurnal
Endurance Februari
2018
Cross Sectional 1.BBLR
2.ASI Eksklusif
Stunting 1. Ada hubungan yang bermakna antara
berat badan lahir rendah ( BBLR )
dengan kejadian stunting dengan p value 0.000
2. Ada hubungan yang bermakna antara
ASI Eksklusif dengan kejadian stunting
dengan p value 0.021
46
26 Azriful,Emmi
Bujawati,Hab
ibi,Syahratul
Aeni,Yusdarif
Determinan kejadian
stunting pada balita
usia 24- 59 bulan di
kelurahan Rangas
kecamatan Banggae
Kabupaten Majene/Al-Sihah: Public Health
Science Journal
Desember 2018
Cross Sectional 1. Panjang badan
lahir
2. Berat badan
Lahir
3. ASI Eksklusif
4. ASI s.d 2 tahn 5. Imunisasi
6. Jarak kelahiran
7. Jumlah anak
8. Status ekonomi
keluarga
Stunting 1. Ada hubungan yang bermakna antara
panjang badan lahir dengan kejadian
stunting dengan p value 0.000
2. Ada hubungan yang bermakna antara
berat badan lahir dengan kejadian
stunting dengan p value 0.033 3. Ada hubungan yang bermakna antara
ASI Eksklusif dengan kejadian stunting
dengan p value 0.000
4. Tidak Ada hubungan yang bermakna
antara ASI sampai dengan 2 tahun
dengan kejadian stunting dengan p value
0.249
5. Tidak Ada hubungan yang bermakna
antara imunisasi dengan kejadian
stunting dengan p value 0.123
6. Ada hubungan yang bermakna antara
jarak kelahiran dengan kejadian stunting dengan p value 0.041
7. Ada hubungan yang bermakna antara
jarak kelahiran dengan kejadian stunting
dengan p value 0.041
8. Tidak Ada hubungan yang bermakna
antara status ekonomi keluarga dengan
kejadian stunting dengan p value 1,000
47
27 Rahmayana,
Irviani A.
Ibrahim, Dwi
Santy
Damayati
Hubungan pola asuh
ibu dengan kejadian
stunting anak usia 24-
59 bulan di posyandu
Asoka II wilayah
pesisir kelurahan Barombong Kecamatan
Tamalate Kota
Makassar Tahun
2014/Jurnal Al-Sihah :
Public Health Science
Journal Desember 2014
Cross Sectional 1. Pemberian
makan
2. Rangsangan
psikososial
3. Praktik
kebersihan/ Hygine
4. Sanitasi
lingkungan
5. Pelayanan
kesehatan
Kejadian
Stunting
1. Berdasarkan hasil uji statistik chi square
p=0,007 < (α=0,05) ada hubungan yang
signifikan antara pemberian makan
dengan kejadian stunting
2. Berdasarkan hasil uji statistik chi square
p=0,000 < (α=0,05) ada hubungan yang signifikan antara psikososial dengan
kejadian stunting
3. Berdasarkan hasil uji statistik chi square
p=0,000 < (α=0,05) ada hubungan yang
signifikan antara praktik
kebersihan/Hygine dengan kejadian
stunting
4. Berdasarkan hasil uji statistik chi square
p=0,000 < (α=0,05) ada hubungan yang
signifikan antara sanitasi lingkungan
dengan kejadian stunting
5. Berdasarkan hasil uji statistik chi square p=0,016 < (α=0,05) ada hubungan yang
signifikan antara pemanfaatan pelayanan
kesehatan dengan kejadian stunting
28
Vitria Erlinda Penerapan model
Family Centered
Nursing terhadap
pelaksanaan tugas
keluarga dalam
pencegahan ISPA pada
balita di wilayah kerja
puskesmas Simpang
Tiga Kabupaten Aceh Besar/ Jurnal
Kedokteran YARSI
2015
Pre-
eksperimental
dengan
rancangan one
group pre and
postest design
withot control
group.
Tugas kesehatan
keluarga dalam
pencegahan ISPA
Penerapan
Model Family
Centered
Nuesing
1. Ada perubahan signifikan dalam
kemampuan keluarga mengenal masalah
ISPA sebelum dan sesudah penerapan
family centered nursing(p 0,00)
2. Ada perubahan signifikan dalam
kemampuan keluarga mengambil
keputusan tindakan sebelum dan sesudah
penerapan family centered nursing(p 0,00)
3. Ada perubahan signifikan dalam kemampuan keluarga merawat anggota
keluarga yang sakit sebelum dan sesudah
penerapan family centered nursing(p 0,00)
4. Ada perubahan signifikan dalam
kemampuan keluarga memodifikasi
lingkungan sebelum dan sesudah
48
penerapan family centered nursing(p
0,001)
5. Ada perubahan signifikan dalam
kemampuan keluarga memanfaatkan
fasilitas sebelum dan sesudah penerapan
family centered nursing(p 0,00)
29 Titih Huriah Efektifitas model
Community As Partner
dalam memberikan
asuhan keperawatan
komunitas pada
kelompok balita
dengan gizi buruk di
Kelurahan Pancoran
Mas ,kota Depok
/Jurnal Mutiara Medika
2007
Quasi
Eksperimental
Non randomized
pretest-postest
control group
Askep kelompok
balita gizi buruk:
Pengetahuan,sikap,
ketrampilan,perilak
u dan status gizi
balita
Efektifitas
model
community As
Partner
Terdapat perbedaan antara variabel
pengetahuan ,sikap,ketrampilan ,perilaku
dan status gizi balita setelah dilakukan
praktik keperawatan dengan p=0,000.
49
E. Kerangka Teori
Masalah stunting sangat berhubungan dengan masalah gizi kronis. Balita yang
kekurangan gizi akan mengalami berbagai masalah kesehatan seperti penurunan
imunitas dan produktivitas, kesehatan mental dan emosional, serta kegagalan
pertumbuhan salah satunya adalah stunting. Banyak faktor yang menyebabkan
terjadinya stunting pada balita. Terdapat faktor langsung dan faktor tidak
langsung. Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan yang
tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi
seimbang yaitu beragam, sesuai kebutuhan, bersih, dan aman, misalnya bayi tidak
memperoleh ASI Eksklusif. Faktor penyebab langsung kedua adalah status
kesehatan yang berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama
diare, cacingan dan penyakit pernapasan akut (ISPA). Faktor ini banyak terkait
mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup
dan perilaku hidup sehat. Kualitas lingkungan hidup terutama adalah ketersediaan
air bersih, sarana sanitasi dan perilaku hidup sehat seperti kebiasaan cuci tangan
dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok, sirkulasi udara dalam
rumah dan sebagainya.
Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu ketersediaan pangan di keluarga,
khususnya pangan untuk bayi 0-6 bulan (ASI Eksklusif) dan 6-23 bulan (MP-
ASI), dan pangan yang bergizi seimbang khususnya bagi ibu hamil. Semuanya itu
terkait pada kualitas pola asuh anak. Pola asuh, sanitasi lingkungan, akses pangan
keluarga, dan pelayanan kesehatan, dipengaruhi oleh tingkat pendidikan,
pendapatan, dan akses informasi terutama tentang gizi dan kesehatan.
50
Integrasi faktor faktor yang mempengaruhi stunting padabalita dalam famly
centered nursimg dapat dilihat dalam skema sebagai berikut :
Skema 2.1
Kerangka Teori Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Stunting Dalam
Family Centered Nursing
Sumber : Kerangka pikir akar masalah stunting ( Bappenas 2011)
Modifikasi dengan UNICEF 2003 disesuaikan kondisi di Indonesia