bab ii kolom dan fondasi foot plate beton bertulang
DESCRIPTION
landasan teori yang memuat tentang kolom dan fondasi foot plate beton bertulang..TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Pembebanan Pada Gedung
Menurut Pasal 11.1 SNI 03-2847-2002, struktur dan komponen
struktur harus direncanakan hingga semua penampang mempunyai kuat
rencana mnimum sama dengan kuat perlu, yang dihitung berdasarkan
kombinasi beban dan gaya terfaktor yang sesuai dengan ketentuan tata
cara ini. Kombinasi pembebanan untuk kuat perlu adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1. Kombinasi Pembebanan untuk Kuat Perlu
Uraian Kombinasi PembebananUntuk menahan beban mati U = 1,4 DUntuk menahan beban mati, beban hidup dan juga beban atap atau beban hujan
U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (A atau R)
Bila ketahanan terhadap beban angin harus diperhitungkan dalam perencanaan
U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,6 W + 0,5 (A atau R)
Memperhitungkan kemungkinan beban hidup kosong
U = 0,9 D ± 1,6 W
Bila ketahanan struktur terhadap gempa harus diperhitungkan
U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,0 E
U = 0,9 D + 1,0 E
Bila ketahanan terhadap tekanan tanah H diperlukan
U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (A atau R) + 1,6 HU = 0,9 D ± 1,6 W + 1,6 HU = 0,9 D + 1,0 E + 1,6 H
Bila tekanan terhadap pembebanan akibat berat dan tekanan fluida diperhitungkan
U = 1,4 (D+F)
U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (A atau R) + 1,2 F
Bila pengaruh struktural dari perbedaan penurunan fondasi, rangkak, susut, penurunan ekspansi beton atau perubahan suhu diperhitungkan
U = 1,2 (D+T) + 1,6 L + 0,5 (A atau R)
Sumber: Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung (SNI 03-2847-2002)
3
Keterangan:
D = beban mati.
L = beban hidup.
A = beban atap.
R = beban air hujan.
W = beban angin.
E = beban gempa.
H = beban akibat berat dan tekanan tanah.
F = beban akibat berat dan tekanan fluida.
T = pengaruh structural.
2.1.1. Beban Mati
Beban mati adalah berat semua bagian dari suatu gedung yang
bersifat tetap, termasuk segala beban tambahan, finishing, mesin-mesin
serta peralatan tetap yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
gedung tersebut.
Tabel 2.2. Berat bahan bangunan
BAHAN BANGUNANBERAT
VOLUME
Baja 7850 Kg/m3
Batu alam 2600 Kg/m3
Batu belah, batu bulat, batu gunung (berat tumpuk) 1500 Kg/m3
Batu karang (berat Tumpuk) 700 Kg/m3
Batu pecah 1450 Kg/m3
Besi tuang 7250 Kg/m3
Beton (1) 2200 Kg/m3
Beton bertulang (2) 2400 Kg/m3
Kayu (kelas 1) (3) 1000 Kg/m3
Kerikil, koral (kering udara sampai lembab tanpa
diayak)1650 Kg/m3
Pasangan bata merah 1700 Kg/m3
Pasangan batu pecah, batu bulat, batu gunung 2200 Kg/m3
4
Pasangan batu cetak 2200 Kg/m3
Pasangan batu karang 1450 Kg/m3
Pasir (kering udara sampai lembap) 1600 Kg/m3
Pasir (jenuh air) 1800 Kg/m3
Pasir kerikil, koral (kering udara sampai lembap) 1850 Kg/m3
Tanah, lempung dan lanau (kering udara sampai
lembap)1700 Kg/m3
Tanah, lempung dan lanau (basah) 2000 Kg/m3
Tanah hitam 11400 Kg/m3
Sumber: Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung Tahun 1983
Catatan:
(1) = Nilai ini tidak berlaku untuk beton pengisi
(2) = Untuk beton getar, beton kejut, beton mampat dan beton padat
lain jenis, berat sendirinya harus ditentukan sendiri
(3) = Nilai ini adalah nilai rata-rata, untuk jenis kayu tertentu lihat
Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia
Tabel 2.3. Berat komponen gedung
KOMPONEN GEDUNG BERAT
Adukan, per cm tebal :
- Dari semen
- Dari kapur, semen merah atau tras
21 Kg/m2
17 Kg/m2
Aspal, termasuk bahan mineral tambahan, per cm tebal 14 Kg/m2
Dinding pas. Bata merah
- Satu batu
- Setengah batu
450 Kg/m2
250 Kg/m2
Dinding pas. batako berlubang
- Tebal dinding 20 cm (HB 20)
- Tebal dinding (HB 10)
200 Kg/m2
120 Kg/m2
Dinding pas. batako tanpa lubang
- Tebal dinding 15 cm
- Tebal dinding 10 cm
300 Kg/m2
200 Kg/m2
5
Langit-langit dan dinding (termasuk rusuk-rusuknya,
tanpa penggantung langit-langit atau pengaku) terdiri dari
- Semen asbes (eternit dan bahan lain sejenis), dengan
tebal maksimum 4 mm
- Kaca dengan tebal 3-4 mm
11 Kg/m2
10 Kg/m2
Lantai kayu sederhana dengan balok kayu, tanpa langit-
langit bentang maksimum 5 m dan untuk beban hidup
maksimum 200 Kg/m2
40 Kg/m2
Penggantung langit-langit (dari kayu), dengan bentang
maksimum 5 m dan jarak s.k.s maksimum 0,8 m
7 Kg/m2
Penutup atap genting dengan reng dan usuk/kaso per m2 50 Kg/m2
Penutup atap sirap dengan reng dan usuk/kaso per m2 40 Kg/m2
Penutup atap seng gelombang (BWG 24), tanpa gordeng 10 Kg/m2
Penutup lantai ubin semen portland, teraso dan beton,
tanpa adukan, per cm tebal
24 Kg/m2
Semen asbes gelombang tebal (5 mm) 11 Kg/m2
Sumber: Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung Tahun 1983
2.1.2. Beban Hidup
Beban hidup adalah semua beban yang terjadi akibat pemakaian
dan penghunian suatu gedung, termasuk beban-beban dari lantai yang
berasal dari barang-barang yang dapat dipindah dan/atau beban akibat air
hujan pada atap.
Beban hidup pada lantai bangunan
Beban hidup pada lantai gedung, sudah termasuk perlengkapan ruang
sesuai dengan kegunaan dan juga dinding pemisah ringan (q ≤ 100
Kg/m’). beban berat dari lemari arsip,alat dan mesin harus ditentukan
tersendiri. Beban hidup pada lantai gedung dapat dilihat pada tabel
berikut:
6
Tabel 2.4. Beban hidup pada lantai gedung
URAIAN BERAT
(Kg/m2)
a. Lantai dan tangga rumah tinggal, kecuali yang disebut
salam b.
200
b. Lantai dan tangga rumah sederhana yang tidak
penting yang bukan untuk took, pabrik dan bengkel.
125
c. Lantai sekolah, ruang kuliah, toko, toserba, restoran,
hotel, asrama dan rumah sakit.
250
d. Lantai ruang olahraga. 400
e. Lantai ruang dansa 500
f. Lantai dan balkon dalam dari ruang-ruang untuk
pertemuan yang lain dari pada yang disebut dalam a
s/d e, seperti masjid, gereja, ruang pagelaran, bioskop
dan panggung penonton.
400
g. Panggung penonton dengan tempat duduk tidak tetap
atau untuk penonton yang berdiri.
500
h. Tangga, bordes tangga dang gang dari yang disebut
dalam c.
300
i. Tangga, bordes tangga dan gang dari yang disebut
dalam c, d, e, f dan g.
500
j. Lantai ruang perlengkapan dari yang disebut dalam c,
d, e, f dan g.
250
k. Lantai untuk pabrik, bengkel, gudang, ruang arsip,
toko buku, toko besi, ruang alat-alat dan ruang mesin,
harus direncanakan terhadap beban hidup yang
ditentukan tersendiri, dengan minimum
400
l. Lantai gedung parker bertingkat:
- Untuk lantai bawah
- Untuk lantai tingkat lainnya
800
400
m. Balkon-balkon yang menjorok bebas ke luar harus
direncanakan terhadap beban hidup dari lantai ruang
300
7
yang berbatasan, dengan minimum
Sumber: Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung Tahun 1983
Beban hidup pada atap gedung
Beban hidup pada atap gedung yang dapat dicapai dan dibebani oleh
orang, harus diambil minimum sebesar 100 Kg/m2 bidang datar.
Atap dan/atau bagian atap yang tidak dapat dicapai dan dibebani oleh
orang, harus diambil yang terbesar dari:
Beban tebagi rata air hujan
Wah = 40 – 0.8 α (2.1)
Keterangan:
Wah = beban air hujan, Kg/m2 (min. Wah atau 20
Kg/m2).
α = sudut kemiringan atap, derajat (jika α > 500
dapat diabaikan).
Beban terpusat berasal dari seorang pekerja atau seorang pemadam
kebakaran dengan peralatannya sebesar minimum 100 Kg.
Balok tepi atau gordeng tepi dari atap yang tidak cukup ditunjang oleh
dinding atau penunjang lainnya dan pada kantilever harus ditinjau
kemungkinan adanya beban hidup terpusat sebesar minimum 200 kg.
Beban Hidup Horizontal perlu ditinjau akibat gaya desak orang yang
nilainya berkisar 5% s/d 10% dari beban hidup vertikal (gravitasi).
Untuk memperhitungkan peluang terjadinya nilai beban hidup yang
berubah-ubah, beban hidup merata tersebut dapat dikalikan dengan
koefisien reduksi.
Faktor reduksi beban hidup dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.5. Faktor Reduksi Beban Hidup
Penggunaan GedungKoefisien Reduksi beban HidupPeninjauan
beban GrafitasiPeninjauan
beban GempaPERUMAHAN/HUNIANRumah tinggal, asrama, hotel, rumah sakit
0.70 0.30
8
PENDIDIKANSekolah, ruang kuliah 0.90 0.50PERTEMUAN UMUMMasjid, gereja, bioskop, restoran, ruang dansa, ruang pagelaran
0.90 0.50
PERKANTORANKantor, bank 0.60 0.30PERDAGANGANToko, toserba, pasar 0.80 0.80PENYIMPANANGudang, perpustakaan, ruang arsip
0.80 0.80
INDUSTRIPabrik, bengkel 1,00 0.90TEMPAT KENDARAANGarasi, gedung parker 0.90GANG DAN TANGGA- Perumahan/hunian- Pendidikan, kantor- Pertemuan umum,
perdagangan, penyimpanan, industry, tempat kendaraan
0.750.750.90
0.300.500.50
Sumber: Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung Tahun 1983
Reduksi Beban Hidup pada perencanaan elemen vertikal struktur
(kolom, dinding dan pondasi), dapat dikalikan dengan faktor reduksi.
Kecuali untuk kegunaan lantai bangunan: lantai gudang, ruang arsip,
perpustakaan dan ruang penyimpanan sejenis; lantai ruang yang
memikul beban berat tertentu yang bersifat tetap, seperti alat dan mesin.
Pada perencanaan pondasi, Beban Hidup pada lantai yang menumpu di
atas tanah harus turut ditinjau, diambil penuh tanpa dikalikan koefisien
reduksi. Berikut ini adalah koefisien reduksi beban hidup kumulatif:
Tabel 2.6. Koefisien reduksi beban hidup kumulatif
Jumlah lantai yang dipikul(n)
Koefisien reduksi yang dikalikan kepada beban hidup
kumulatif1 12 13 0,94 0,8
9
α
+0,9 -0,4
-0,4+0,02α – 0,6
BID // ANGIN
-0,4
α ≤ 650
5 0,76 0,67 0,5
n ≥ 8 0,4Sumber: Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung Tahun 1983
2.1.3. Beban Angin
Beban angin adalah semua beban yang bekerja pada gedung yang
disebabkan oleh selisih dalam tekanan udara. Beban angin menganggap
adanya tekanan positif (pressure) dan tekanan negatif/isapan (suction)
yang bekerja tegak lurus bidang atap.
Tekanan angin dapat diambil dengan asumsi dan rumus berikut:
Daerah jauh dari tepi laut, diambil minimum 25 Kg/m2
Di laut dan tepi laut sampai sejauh 5 Km dari pantai, diambil minimum
40 Kg/m2 atau diambil dari rumus pendekatan
p = V2
16 (Kg/m2) (2.2)
Keterangan:
V = kecepatan angin, m/det (ditentukan instansi terkait).
Tekanan tiup diatas dapat direduksi sebesar 0,5 jika dapat dijamin gedung
terlindung efektif dari suatu arah tertentu oleh gedung/bangunan lain.
Koefisien angin untuk gedung tertutup yaitu:
10
α
+0,9
+0,9
-0,6
-0,4BID // ANGIN
-0,4
650 ≤ α ≤ 900
2.1.4. Beban Gempa
A. Faktor Penentu Beban Gempa Nominal
Untuk menentukan beban gempa nominal ada beberapa faktor yang
mempengaruhi yaitu: faktor respon gempa, faktor keutamaan gedung faktor
reduksi gempa dan berat total gedung.
a. Faktor Respon Gempa ( C1 )
Nilai faktor respon gempa dipengaruhi oleh 3 hal yaitu:
1. Kondisi tanah pada gedung yang dibangun
Menurut pasal 4.6.3 SPKGUSBG-2002, kondisi tanah sebagai tempat
gedung dibangun dibagi atas 3 jenis, yaitu tanah keras, tanah sedang
dan tanah lunak, apabila untuk lapisan setebal maksimal 30 m paling
atas dipenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam tabel berikut:
Tabel 2.7. Kondisi Tanah
Jenis tanah
Kecepatan
rambat
gelombang geser
rata-rata, Vs
(m/det)
Nilai hasil Test
Penetrasi
Standar ratarata
N
Kuat geser
niralir
rata-rata
Su (kPa)
Tanah keras Vs ≥ 350 N ≥ 50 Su ≥ 100
Tanah sedang 175 ≤ Vs < 350 15 ≤ N < 50 50 ≤ Su < 100
Tanah lunak Vs < 175 N < 15 Su < 50
atau, setiap profil dengan tanah lunak yang tebal
11
total lebih dari 3 m dengan PI > 20, wn > 40 % dan
Su < 25 kPa
Tanah khusus Diperlukan evaluasi khusus ditiap lokasi
Sumber: SPKGUSBG/SNI-1726-2002
PI dalam tabel 2.7 adalah indeks plastis tanah lempung, wn adalah kadar
air alami tanah, dan Su adalah kuat geser nirali tanah yang ditinjau.
Selanjutnya Vs, N dan Su adalah nilai rata-rata bobot besaran itu dengan
tebal lapisan tanah sebagai pembobotnya, dan dihitung dengan rumus:
Vs = ∑i=1
m
t i
∑i=1
m
ti / vsi
(2.3a)
Vs = ∑i=1
m
t i
∑i=1
m
ti / N i
(2.3b)
Vs = ∑i=1
m
ti
∑i=1
m
ti / Sui
(2.3c)
Keterangan:
Ti = tebal lapis tanah ke-I, m.
Vsi = kecepatan rambat gelombang geser melalui tanah
ke-I, m/det.
Ni = nilai hasil Tes Penetrasi Standar lapisan tanah ke-
i.
Sui = kuat geser niralir lapisan tanah ke-I, Kpa.
m = jumlah lapisan tanah yang ada di atas batuan
dasar
2. Waktu getar alami fundamental T1
12
Waktu getar alami fundamental dari struktur gedung harus dibatasi,
bergantung pada koefisien ζ dan jumlah tingkatnya n.
3. Wilayah gempa
Menurut pasal 4.7.1 SPKGUSBG-2002, peta Indonesia dibagi menjadi
6 wilayah gempa. Pembagian wilayah ini didasarkan atas percepatan
puncak batuan dasar akibat pengaruh gempa rencana. Wilayah gempa 1
adalah wilayah dengan kegempaan paling rendah, sedangkan wilayah
gempa 6 adalah wilayah dengan kegempaan paling tinggi.
Gempa rencana yaitu gempa yang ditetapkan dengan periode ulang 500
tahun, agar probabilitas terjadinya terbatas pada 10% selama umur
gedung 50 tahun. Berikut ini gambar wilayah gempa Indonesia:
Gambar 2.1. Wilayah Gempa Indonesia dengan Percepatan Puncak Batuan Dasar dengan Periode Ulang 500 TahunSumber: SPKGUSBG/SNI-1726-2002
Jika kondisi tanah, waktu getar alami fundamental struktur gedung
dan wilayah gempa sudah ditentukan, maka nilai factor respon gempa
rencana menurut Gambar 2.2.
13
Gambar 2.2. Respons Spekturm Gempa RencanaSumber: SPKGUSBG/SNI-1726-2002
b. Faktor Keutamaan ( I )
Faktor keutamaan gedung I merupakan faktor pengali dari pengaruh
gempa rencana pada berbagai kategori gedung, untuk menyesuaikan
periode ulang gempa yang berkaitan dengan probabilitas dilampauinya
pengaruh tersebut selama umur gedung itu. Menurut pasal 4.1.2
SPKGUSBG-2012, faktor keutamaan I ditentukan dengan persamaan:
I = I1 . I2 (2.4)
14
Keterangan:
I1 = faktor keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa
berkaitan dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa
itu selama umur gedung.
I2 = factor keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa
berkaitan dengan penyesuaian umur gedung tersebut.
Tabel 2.8. Faktor Keutamaan Berbagai Kategori Gedung dan Bangunan.
Kategori GedungFaktor keutamaanI1 I2 I
Gedung umum seoerti untuk penghunian, perniagaan dan perkantoran.
1,0 1,0 1,0
Monument dan bangunan monumental. 1,0 1,6 1,6Gedung penting pasca gempa seperti rumah sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio dan televis.
1,4 1,0 1,4
Gedung untuk penyimpanan bahan berbahaya seperti gas, produk minyak bumu, asam, bahan beracun.
1,6 1,0 1,4
Cerobong, tangki di atas menara. 1,5 1,0 1,5Sumber: SPKGUSBG/SNI-1726-2002
c. Faktor Reduksi Gempa ( R )
Faktor reduksi gempa merupakan rasio antara beban gempa
maksimal akibat pengaruh gempa rencana pada struktur gedung elastik
penuh dan beban gempa nominal akibat pengaruh gempa rencana pada
struktur gedung daktail, bergantung pada faktor daktilitas struktur gedung
tersebut. Pasal 4.3.3 SPKGUSBG-2002 menetapkan factor nilai reduksi
gempa (R) dengan persamaan berikut:
R = µ . f1 (2.5)
Keterangan:
R = faktor reduksi gempa yang bergantung pada factor daktilitas
gedung tersebut.
µ = faktor daktilitas struktur gedung yang boleh dipilih menurut
kebutuhan.
f1 = faktor kuat lebih beban dan bahan yang terkandung di dalam
struktur gedung, dan nilainya ditetapkan sebesar 1,6
15
Tabel 2.9. Parameter Daktilitas Struktur Gedung
Taraf kinerja strukturgedung
µ R
Elastik penuh 1,0
Daktail parsial
1,52,02,53,03,54,04,55,0
2,43,24,04,85,66,47,28,0
Daktail penuh 5,3 8,5Sumber: SPKGUSBG/SNI-1726-2002
Pemilihan nilai faktor daktilitas struktur gedung µ tidak boleh
diambil lebih besar dari nilai factor daktilitas maksimum µm yang dapat
dikerahkan oleh masing-masing system atau subsistem struktur gedung.
Pasal 4.3.4 SPKGUSBG-2002 mencantumkan nilai µm dari factor reduksi
maksimum Rm seperti pada tabel berikut:
Tabel 2.10. Faktor daktilitas maksimum µm, faktor reduksi gempa
maksimum Rm dan factor kuat lebih total f dari beberapa jenis sistem dan
subsistem struktur bangunan gedung.
Sistem dan subsistem struktur gedung
Uraian system pemikul beban gempa
µm Rm f
1. Sistem dinding penumpu(system struktur yang tidak memiliki rangka ruang pemikul beban grafitasi secara lengkap.Dinding penumpu atau
1. Dinding geser beton bertulang
2,7 4,5 2,8
2. Dinding penumpu dengan rangka baja ringan dan bresing tarik
1,8 2,8 2,2
3. Rangka bresing 2,8 4,4 2,2
16
system bresing memikul hamper semua beban grafirasi. Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing).
dimana bresingnya memikul beban grafitasi:a. Bajab. Beton bertulang
(tidak untuk wilayah 5 dan 6)
2. Sistem rangka gedung(sistem struktur yang pada dasarnya memiliki ruang pemikul beban grafitasi secara lengkap.Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing).
1. Rangka bresing eksentris (RBE)
4,3 7,0 2,8
2. Dinding geser beton bertulang
3,3 5,5 2,8
3. Rangka bresing biasa (baja atau beton bertulang tidak untuk wilayah 5 dan 6)
3,6 5,6 2,2
4. Rangka bresing konsentrik khusus (baja)
4,1 6,4 6,2
5. Dinding geser beton bertulang berangkai daktail
4,0 6,5 2,8
6. Dinding geser beton bertulang kantilever daktail penuh
3,6 6,0 2,8
7. Dinding geser beton bertulang kantilever daktail parsial
3,3 5,5 2,8
3. System rangka pemikul momen(sistem struktur yang pada dasarnya memiliki ruang pemikul beban grafitasi secara lengkap.Beban lateral dipikul rangka pemikul momen terutama melalui mekanisme lentur).
1. System rangka pemikul momen khusus (SRPMK):a. Baja b. Beton bertulang
5,25,2
8,58,5
2,82,8
2. System rangka pemikul momen menengah beton (SRPMM)
3,3 5,5 2,8
3. System rangka pemikul momen biasa (SRPMB):a. Bajab. Beton bertulang
2,72,1
4,53,5
2,82,8
4. System rangka batang baja pemikul momen khusus (SRBPMK)
4,0 6,5 2,8
17
4. Sistem ganda(terdiri dari:1). Rangka ruang yang memikul seliruh beban gravitasi; 2). Pemikul beban lateral berupa dinding geser atau rangka bresing dengan rangka pemikul momen. Rangka pemikul momen harus direncanakan terpisah mampu memikul minimal 25% dari seluruh beban lateral; 3). Kedua sistem garus direncanakan untuk memikul secara bersama-sama seluruh beban lateral dengan memperhatikan interaksi/sistem ganda).
1. Dinding geser:a. Beton bertulang
dengan SRPMK beton bertulang
b. Beton bertulang dengan SRPMB baja
c. Beton bertulang dengan SRPMM beton bertulang
5,2
2,6
4,0
8,5
4,2
6,5
2,8
2,8
2,8
2. RBE baja:a. Dengan SRPMK
bajab. Dengan SRPMB
baja
5,2
2,6
8,5
4,2
2,8
2,8
3. Rangka bresing biasa:a. Baja dengan
SRPMK bajab. Baja dengan
SRPMB bajac. Beton bertulang
dengan SRPMK beton bertulang (tidak untuk wilayah 5 dan 6)
d. Beton bertulang dengan SRPMM beton bertulang (tidak untuk wilayah 5 dan 6)
4,0
2,6
4,0
2,6
8,5
4,2
6,5
4,2
2,8
2,8
2,8
2,8
4. Rangka bresing konsentrik khususa. Baja dengan
SRPMK bajab. Baja dengan
SRPMB baja
4,6
2.6
7,5
4,2
2,8
2,8
5. Sistem gedung kolom kantilever (sistem struktur yang memanfaatkan kolom kantilever untuk memikul beban lateral).
System struktur kolom kantilever 1,4 2,2 2,0
6. Sistem interaksi dinding geser dengan rangka
Beton bertulang biasa (tidak untuk wilayah 3, 4, 5 dan 6)
3,4 5,5 2,8
7. Subsistem tunggal (subsistem struktur
1. Rangka terbuka baja2. Rangka terbuka
5,25,2
8,58,5
2,82,8
18
bidang yang membentuk struktur gedung srcara keseluruhan).
beton bertulang3. Rangka terbuka
beton bertulang dengan balok beton pratekan (bergantung pada indeks baja total)
4. Dinding geser beton bertulang berangkai daktail penuh
5. Dinding geser beton bertulang kantilever daktail parsial
3,3
4,0
3,3
5,5
6,5
5,5
2,8
2,8
2,8
Sumber: SPKGUSBG/SNI-1726-2002
d. Berat Total Gedung (Wt)
Menurut pasal 6.1.2 SPKGUSBG-2002, berat total gedung
merupakan kombinasi dari beban hidup dan beban mati yang sesuai,
sedangkan menurut pasal 2.1.4 pedoman perencanaan Pembebana Untuk
Rumah dan Gedung, SNI 03-1727-1989 (PPPIURG-1989) menyatakan
bahwa beban hidup dalam penentuan Wt tersebut boleh dikalikan dengan
suatu koefisien reduksi (kr) yang nilainya tercantum pada Tabel 2.5. Faktor
reduksi beban hidup. Jadi berat total gedung (Wt) dapat dihitung dari
kombinasi beban mati seluruhnya ditambah beban hidup yang direduksi,
dengan rumus:
Wt = WD + kr . WL (2.6)
WD dan WL merupakan beratbeban mati dan berat beban hidup struktur
gedung, sedangkan kr merupakan koefisien reduksi beban hidup menurut
Tabrl 2.5. Faktor Reduksi Beban Hidup (lihat Tabel 2.5 pada sub bab
beban hidup).
Berat total pada suatu portal Lantai I (Wi) dihitung berdasarkan
batas setengah jarak antara portal tersebut dengan portal di sebelahnya,
dan setengah tinggi kolom di atas dan di bawah lantai I, seperti tampak
pada Gambar 2.3.
19
Gambar 2.3. Denah dan Portal GedungSumber: Asroni, H. Ali. 2010
Sebagai contoh, berat toal pada lantai 3 (W3) pada portal B dari
sebuah gedung kantor, maka dihitung beban mati (WD3) dan beban hidup
(WL3) pada semua bagian yang diarsir dari Gambar 2.3a + semua bagian
yang diarsir dari 2.3b, dengan faktor beban yang sesuai.
Jadi diperoleh:
WD3 = Berat pelat (termasuk spesi, ubin dan lainnya) seluas {(a/2 +
b/2).c} + berat balok sepanjang {(a/2 + b/2)} + c} + berat kolom
dan dinding setinggi (h3/2 + h2/2)
WL3 = beban hidup seluas {(a/2 + b/2).c}
W3 = WD3 + 0,3.WL3
B. Syarat Struktur Gedung Beraturan dan Tidak Beraturan
Menurut SNI 1726-2002 (Pasal 4.2.1), struktur gedung ditetapkan
sebagai gedung beraturan apabila, memenuhi persyaratan/ketentuan sebagai
berikut:
1). Tinggi struktur gedung diukur dari taraf penjepitan lateral tidak lebih dari
10 tingkat atau 40 meter.
2). Denah struktur gedung adalah persegi panjang tanpa tonjolan
dankalaupun mempunyai tonjolan, panjang tonjolan tersebut tidak lebih
dari 25% dari ukuran terbesar denah struktur gedung dalam arah tonjolan
tersebut.
3). Denah struktur gedung tidak menunjukan coakan sudut dan kalaupun
mempunyai coakan sudut, panjang coakan tersebut tidak lebih dari 15%
ukuran terbesar denah struktur gedung dalam arah sisi coakan tersebut.
4). System struktur gedung terbentuk oleh subsistem-subsistem penahan
beban lateral yang arahnya saling tegak lurus dan sejajar dengan subu-
sumbu utama orthogonal denah struktur gedung secara keseluruhan.
20
5). System struktur gedung tidak menunjukan loncatan bidang muka dan
kalaupun mempunyai loncatan bidang muka, ukuran dari denah struktur
bagian gedung yang menjulang dalam masing-masing arah tidak kurang
dari 75% dari ukuran terbesar denah struktur bagian gedung sebelah
bawahnya. Dalam hal ini struktur rumah atap yang tingginya tidak lebih
dari 2 tingkat tidak perlu dianggap menyebabkan adanya loncatan bidang
muka.
6). System struktur gedung memiliki kekakuan lateral yang beraturan, tanpa
adanya tingkat lunak. Yang dimaksud tingkat lunak adalah suatu tingkat
yang kekakuan lateralnya kurang dari 70% kekakuan lateral tingkat di
atasnya atau kurang dari 80% kekakuan lateral rata-rata 3 tingkat di
atasnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kekakuan lateral suatu
tingkat adalah gaya geser yang bila bekerja di tingkat itu menyebabkan
satu satuan simpangan antara tingkat.
7). System struktur gedung memiliki berat lantai tingkat yang beraturan,
artinya setiap lantai tingkat memiliki berat yang tidak lebih dari 150%
dari berat lantai tingkat di atasnya atau di bawahnya. Berat atap atau
rumah atap tidak perlu memenuhi ketentuan ini.
8). System struktur gedung memiliki unsur-unsur vertikal dari system
penahan beban lateral yang menerus, tanpa perpindahan titik beratnya,
kecuali bila perpindahan tersebut tidak lebih dari setengah ukuran unsur
dalam arah perpindahan tersebut.
9). System struktur gedung memiliki lantai tingkat yang menerus, tanpa
lubang atau bukaan yang luasnya melebihi 50% luas seluruh lantai
tingkat. Kalaupun ada lantai tingkat dengan lubang atau bukaan seperti
itu, jumlah tingkatnya tidak boleh melebihi 20% dari jumlah lantai
tingkat seluruhnya.
Untuk struktur gedung beraturan, pengaruh beban gempa rencana dapat
ditinjau sebagai pengaruh beban gempa static ekuivalen, sehingga analisisnya
dapat dilakukan dengan analisis static ekuivalen.
Pada pasal 4.2.2 SNI 1726-2002 juga menegaskan, bahwa struktur
gedung yang tidak memenuhi pasal 4.2.1 di atas, ditetapkan sebagai gedung
21
tidak beraturan, dan pengaruh beban gempa rencana harus ditinjau sebagai
pengaruh beban gempa dinamik, sehingga analisisnya harus dilakukan
berdasarkan analisis respons dinamik.
C. Analisis Beban Gempa Pada Gedung Beraturan
Untuk struktur gedung beraturan, beban gempa nominal yang bekerja
pada struktur gedung boleh dihitung berdasarkan analisis beban gempa static
ekuivalen. Berikut ini dijelaskan beberapa rumus untuk analisis beban gempa
static ekuivalen.
a. Beban Geser Dasar Statik Ekuivalen (V)
Beban geser dasar static ekuivalen ditentukan berdasarkan ketentuan
Pasal 6.1.2 SPKGUSBG-2002, yaitu:
V = C1 . I
R . Wt (2.7)
Keterangan:
V = beban (gaya) geser dasar nominal statik ekuivalen
akibat pengaruh gempa rencana yang bekerja di tingkat
dasar struktur gedung beraturan, kN.
C1 = nilai faktor respons gempa yang diperoleh dari
spektrum respons gempa rencana untuk waktu getar
alami fundamental dari struktur gedung.
I = faktor keutamaan gedung
R = faktor reduksi gempa
Wt = berat total gedung, termasuk beban hidup yang sesuai,
kN.
b. Beban Gempa Nominal Statik Euivalen Pada Lantai (Fi)
Beban gempa nominal statik ekuivalen ditentukan berdasarkan
ketentuan Pasal 6.1.3 SPKGUSBG-2002, yaitu:
Fi =
W i . zi
∑i=1
n
¿¿¿.V (2.8)
22
Keterangan:
Fi = beban gempa nominal statik ekuivalen yang menangkap
pada pusat masa pada taraf lantai tingkat ke-i struktur
atas gedung, kN
Wi = berat lantai tingkat ke-i struktur atas sebuah gedung
termasuk beban hidup yang sesuai, kN
zi = ketinggian lantai tingkat ke-i terhadap taraf penjepitan
lateral, m.
n = nomor lantai tingkat paling atas.
Menurut pasal 6.1.4 SPKGUSBG-2002, jika tinggi gedung dinyatakan
dengan H, ukuran denah dalam arah pembebanan gempa dinyatakan
dengan B, dan jika H/B ≥ 3, maka berlaku:
Fn = 0,1.V +
W n. zn
∑i=1
n
W i . zi
.0,9.V untuk lantai paling atas (2.9a)
Fi =
W n . zn
∑i=1
n−1
W i . z i
.0,9.V selain lantai paling atas (2.9b)
c. Waktu Getar Alami Fundamental (T1)
Menurut Pasal 2.4.5 Pedoman Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Rumah dan Gedung (PPKGURG-1987), waktu getar alami gedung
dihitung dengan rumus:
T1 = 0,085.H3/4 (untuk portal baja) (2.10a)
T1 = 0,06.H3/4 (untuk portal beton), (2.10b)
Dengan H = tinggi gedung, m
Untuk mencegah penggunaan struktur gedung yang terlalu fleksibel,
nilai waktu getar alami fundamental T1 dari struktur gedung harus dibatasi
dengan rumus berikut (Pasal 5.6 SPKGUSBG-2002)
T1 < ζ.n (2.11a)
Ketrangan:
23
T1 = waktu getar alami fundamental struktur gedung, detik.
ζ = koefisien alami dari jumlah tingkat struktur gedung yang
membatasi T1, bergantung pada wilaya tempat.
n = jumlah tingkat struktur gedung.
Tabel 2.11. Koefisien ζ yang Membatasi T1
Wilayah Gempa ζ (zeta)123456
0,200,190,180,170,150,16
Sumber: SPKGUSBG/SNI-1726-2002
Jika wilayah gempa dinyatakan dengan notasi ZE (zone of earthquake)
maka koefisien ζ dapat dinyatakan dengan rumus berikut:
ζ = 0,21 – 0,01.ZE (2.11b)
d. Kontrol Waktu Getar Alami Gedung Beraturan
Jika dimensi portal telah ditentukan dengan pasti (misalnya dimensi
balok dan kolom telah dihitung mencukupi), maka waktu getar alami
fundamental struktur gedung beraturan dikontrol dengan rumus Rayleigh
sebagai berikut (Pasal 6.2.1 SPKGUSBG-2002):
TR = 6,3.√ ∑i=1
n
(wi . di2)
g .∑i=1
n
(F i . d i)
(2.12a)
Keterangan:
TR = waktu getar alami fundamental gedung beraturan
berdasarkan rumus Rayleigh, detik.
24
Wi dan Fi = mempunyai arti sama seperti disebutkan pada
persamaan (2.8).
g = percepatan grafitasi yang ditetapkan sebesar 9810
mm/det2
d = simpangan horizontal lantai tingkat ke-i, mm.
Menurut Pasal 6.2.2 SPKGUSBG-2002, nilai waktu getar alami
fundamental T1 pada pesamaan (2.10) tidak boleh menyimpang lebih dari
20% dari nilai TR pada persamaan (2.12a), atau dinyatakan:
Jika:
TR – T1 ≥ 0,20.TR (2.12b)
Maka beban gempa dihitung ulang dari awal.
2.2. Struktur Kolom
2.2.1. Pengertian Kolom
Pada suatu konstruksi bangunan gedung, kolom berfungsi sebagai
pendukung beban-beban dari balok dan pelat, untuk diteruskan ke tanah
dasar melalui pondasi. Beban dari balok dan pelat ini berupa beban aksial
tekan serta momen lentur (akibat kontinuitas konstruksi). Oleh karena itu
dapat didefinisikan, kolom adalah suatu struktur yang mendukung beban
aksial dengan atau tanpa momen lentur.
Sruktur bangunan gedung terdiri atas dua bangunan utama, yaitu
struktur bangunan bawah dan struktur bangunan atas. Struktur bangunan
bawah, yaitu struktur bangunan yang berada di bawah permukaan tanah
yang lazim disebut fondasi. Fondasi berfungsi sebagai pendukung struktur
bangunan di atasnya untuk diteruskan ke tanah dasar. Sedangkan struktur
bangunan atas, yaitu struktur bangunan yang berada di atas permukaan
tanah, yang meliputi: struktur atap, pelat lantai, balok, kolom dan dinding.
Selanjutnya, balok dan kolom ini menjadi satu kesatuan yang kokoh dan
sering disebut sebagai kerangka (portal) dari suatu gedung.
Pada struktur bangunan atas, kolom merupakan struktur yang paling
penting untuk diperhatikan, karena apabila kolom ini mengalami
25
kegagalan, maka dapat berakibat keruntuhan struktur bangunan atas dari
gedung secara keseluruhan.
2.2.2. Jenis Kolom
Kolom dibedakan beberapa jenis menurut bentuk dan susunan
tulangan, serta letak/ posisi berdasarkan beban aksial pada penampang
kolom. Disamping itu juga dapat dibedakan menurut ukuran panjang
pendeknya kolomdalam hubungannya dengan dimensi lateral.
a). Jenis Kolom Berdasarkan Bentuk dan Susunan Tulangan
berdasarkan bentuk dan susunan tulangan, kolom dibedakan menjadi 3
macam, yaitu sebagai berikut:
1. Kolom segi empat, baik berbentuk empat persegi panjang maupun
bujur sangkar, dengan tulangan memanjang dan dengkang.
2. Kolom bulat dengan tulangan memanjang dan sengkang atau
spiral.
3. Kolom komposit, yaitu kolom yang terdiri atas beton dan profil
baja structural yang berada di dalam beton.
Gambar 2.4. Jenis Kolom Berdasarkan Bentuk dan Susunan TulanganSumber: Asroni, H. Ali. 2010
Dari ketiga kolom tersebut, kolom bersengkang (segi empat dan
bujur sangkar) merupakan jenis yang paling banyak dijumpai karena
pelaksanaan pekerjaanya mudah dan harga pembuatannya murah.
26
b). Jenis Kolom Berdasarkan Letak/Posisi Beban Aksial
Berdasarkan letak beban aksial yang bekerja pada penampang
kolom, kolom dibedakan menjadi dua macam, yaitu kolom dengan
posisi beban sentries dan kolom dengan posisi beban eksentris, seperti
tampak pada Gambar 2.5
untuk kolom dengan posisi beban sentries, berarti kolom ini
menahan beban aksial tepat pada sumbu kolom (Gambar 2.5(a)). Pada
keadaan ini seluruh permukaan penampang beton beserta tulangan
kolom menahan beban tekan.
Untuk kolom dengan posisi beban eksentris, berarti beban aksial
bekerja di luar sumbu kolom dengan eksentrisitas sebesar e (Gambar
2.5(b)). Beban aksial P dan eksentrisitas e ini akan menimbulkan
momen (M) sebesar M = P.e. Dengan demikian, kolom yang menahan
beban aksial eksentris ini pengaruhnya sama dengan kolom yang
menahan beban aksial P sentries serta momen M seperti tampak pada
Gambar 2.5(c).
Gambar 2.5. Jenis Kolom Berdasarkan Letak Beban AksialSumber: Asroni, H. Ali. 2010
Keadaan lebih lanjut pada kolom dengan beban aksial eksentris
ini masih dibedakan lagi menjadi empat macam berdasarkan nilai
eksentrisitas e, yaitu:
1. Nilai eksentrisitas e kecil
27
Untuk nilai e kecil, maka momen M (M = P.e) yang ditimbulkan juga
kecil. Pada keadaan ini kolom akan melengkung sesuai dengan arah
momen lentur (Gambar 2.5(c)), sehingga ada sebagian kecil beton
serta baja tulangan di sebelah kiri menahan tegangan tarik, dan
sebagian besar beton serta baja tulangan di sebelah kanan menahan
tegangan tekan. Karena tegangan tarik yang terjadi pada baja tulangan
sebelah kiri cukup kecil, maka kegagalan kolom akan ditentukan oleh
hancurnya material beton tekan sebelah kanan. Karena ini disebut:
kolom pada kondisi tekan menentukan, atau kolom pada kondisi patah
tekan.
2. Nilai eksentrisitas e sedang
Untuk nilai e sedang, maka momen M yang ditimbulkan juga tidak
begitu besar. Pada keadaan ini sebagian beton dan baja tulangan
sebelah kiri menahan tegangan tarik, sedangkan sebagian beton serta
baja tulangan sebelah kanan akan menahan tegangan tekan. Tegangan
tarik yang terjadi pada baja tulangan sebelah kiri dapat mencapai leleh
pada saat yang bersamaan dengan hancurnya material beton sebelah
kanan yang menahan tegangan tekan. Keadaan ini sering disebut
kolom pada kondisi seimbang (balance).
3. Nilai eksentrisitas e besar
Untuk nilai e besar, maka momen M yang ditimbulkan juga besar.
Pada keadaan ini, tegangan tarik pada baja tulangan sebelah kiri
makin besar sehingga mencapai leleh, tetapi material beton sebelah
kanan masih kiat menahan beban tekan. Maka dari itu kegagalan yang
terjadi ditentukan oleh lelehnya baja tulangan tersebut. Keadaan ini
sering disebut kolom pada kondisi tulangan tarik menentukan, atau
kolom pada kondisi patah tarik.
4. Nilai eksentrisitas e sangat besar
Karena nilai e sangat besar, maka momen M yang ditimbulkan juga
sangat besar, sehingga beban aksial P dapat diabaikan (relative kecil
terhadap momen M). pada keadaan ini seolah-olah kolom hanya
28
menahan momen lentur M saja, sehingga dapat dihitung seperti balok
biasa.
c). Jenis Kolom Berdasarkan Panjang Kolom
Berdasarkan ukuran panjang pendeknya, kolom dibedakan atas
dua macam, yaitu: kolom panjang (sering juga disebut kolom langsing
atau kolom kurus), dan kolom pendek (sering pula disebut kolom
tidak langsing atau kolom gemuk). Beban yang bekerja pada kolom
panjang, dapat menyebabkan terjadi kegagalan/keruntuhan kolom
akibat kehilangan stabilitas lateral karena bahaya tekuk. Tetapi pada
kolom pendek, kehilangan stabilitas lateral karena tekuk ini tidak
pernah dijumpai. Jadi kegagalan/keruntuhan pada kolom pendek
sering disebabkan oleh kegagalan materialnya (lelehnya baja tulangan
dan atau hancurnya beton).
2.2.3. Dasar Perencanaan Kolom Beton Bertulang
A. Asumsi Dasar Perencanaan Kolom
Sama halnya dengan balok, pada perencanaan kolom juga digunakan
asumsi dasar sebagai berikut:
1. Pasal 12.2.2 SNI 03-2847-2002: distribusi regangan di sepanjang tebal
kolom dianggap berupa garis lurus (linear), seperti terlukis pada Gambar
2.6(b).
2. Pasal 12.2.2 SNI 03-2847-2002: tidak terjadi slip antara beton dan
tulangan.
3. Pasal 12.2.3 SNI 03-2847-2002: regangan tekan maksimal beton dibatasi
pada kondisi ultimit εcu’ = 0,003 lihat Gambar 2.6(b).
4. Pasal 12.2.5 SNI 03-2847-2002: kuat tarik beton diabaikan
5. Pasal 12.2.4 SNI 03-2847-2002: tegangan baja tulangan tarik maupun
tekan (fs maupun fs’) yang belum mencapai titik leleh (< fy) dihitung
sebesar modulus elastisitas baja tulangan (Es) dikalikan dengan
regangannya (εs maupun εs’).
29
6. Pasal 12.2.6 SNI 03-2847-2002: hubungan antara distribusi tegangan tekan
beton dan regangan beton dapat diasumsikan persegi, trapesium, parabola
atau bentuk lainnya.
7. Pasal 12.2.7.1 SNI 03-2847-2002: bila hubungan antara distribusi
tegangan dan regangan beton diasumsikan berbentuk tegangan beton
persegi ekuivalen, maka dipakai nilai tegangan beton sebesar 0,85.fc’ yang
terdistribusi secara merata pada daerah tekan ekuivalen. Yang dibatasi
(seperti tampak pada Gambar 2.6(c)) oleh tepi penampang dan garis lurus
yang sejajar garis netral sejarak a = β1.c dari serat tekan maksimal.
8. Pasal 12.2.7.3 SNI 03-2847-2002: faktor β1 diambil sebagai berikut:
a. Untuk β1 ≤ 30 MPa, β1 = 0,85 (2.13a)
b. Untuk β1 > 30MPa, β1 = 0,85 – 0,05.( f c'−307 ) (2.13b)
Tetapi β1 = 0,65 (2.13c)
Gambar 2.6. Penampang Kolom, Diagram Regangan dan TeganganSumber: Asroni, H. Ali. 2010
B. Ketentuan Perencanaan
30
Beberapa ketentuan yang penting untuk diperhatikan dalam
perencanaan kolom meliputi hal-hal berikut:
1. Luas Tulangan Total (Ast)
Menurut Pasal 12.9.1 SNI 03-2847-2002, luas total tulangan longitudinal
(tulangan memanjang) kolom harus memenuhi syarat berikut:
0,01.Ag ≤ Ast ≤ 0.08 Ag (2.14a)
Keterangan:
Ast = luas tulangan memanjang, mm2
Ag = luas bruto penampang kolom, mm2
2. Diameter tulangan geser (begel atau sengkang)
Diameter begel kolom (Øbegel) diisyaratkan:
10 mm ≤ Øbegel ≤ 16 mm (2.14b)
3. Gaya tarik dan gaya tekan pada penampang kolom
Jika kolom menahan beban eksentris Pn maka pada penampang sebelah kiri
kolom menahan beban tarik yang akan ditahan oleh baja tulangan,
sedangkan sebelah kanan menahan beban tekan yang akan ditahan oleh
beton dan baja tulangan.
Gaya tarik bagian kiri ditahan oleh tulangan, sebesar:
Ts = As.fs (2.14c)
Gaya tekan yang ditahan beton bagian kanan sebesar:
Cc = 0,85.fc’.a.b (2.14d)
Sedangkan gaya tekan yang ditahan oleh tulangan kanan (Cs), yaitu:
a. Jika luas beton tekan diperhitungkan, maka:
Cc = As’.( fs’ – 0,85. fc’) (2.14e)
b. Jika luas beton tekan diabaikan, maka:
Cc = As’. fs’ (2.14f)
Selanjutnya dengan memperhatikan keseimbangan pada Gambar 2.6(c),
diperoleh gaya aksial
Pn = Cc + Cs - Ts (2.14g)
4. Nilai regangan dan tegangan baja tulangan
Besar regangan baja tulangan dapat ditentukan berdasarkan perbandingan
2 segitiga yang sebangun pada gambar 2.6(b).
31
Untuk regangan tarik baja tulangan sebelah kiri, dihitung sebagai berikut:
ε s
d−c =
εc '
c sehingga diperoleh
εs = ε s
d−c. εc’ (2.14h)
untuk regangan tekan baja tulangan sebelah kanan, dihitung sebagai
berikut:
εs '
c−d s ' =
εc '
c sehingga diperoleh
εs = c−d s '
c. εc’ (2.14i)
untuk baja tulangan (tarik maupun tekan) yang sudah leleh, maka nilai
regangannya diberi notasi dengan: εy, dan dihitung dengan persamaan
εy = fy/Es dengan (2.14j)
Es = 200000 MPa
Selanjutnya tulangan baja tarik dan tekan dihitung seperti berikut:
fs = εs.Es dan fs’ = εs’.Es (2.14k)
jika εs (atau εs’) ≥ εy, maka tulangan sudah leleh, dipakai:
fs (atau fs’) = fy (2.14l)
5. Kolom dengan beban aksial tekan kecil
Pasal 11.3.2.2 SNI 03-2847-2002 mensinyalir bahwa untuk komponen
struktur yang memakai fy ≤ 400 MPa dengan tulangan simetris dan dengan
(h-ds-ds’)/h ≥ 0,7, boleh dianggap hanya menahan momen lentur saja
apabila nilai Ø.Pn kurang dari nilai 0,1. fc’.Ag, sedangkan untuk kolom
yang lain (fy > 400 Mpa, (h-ds-ds’)/h < 0,7), boleh dianggap hanya
menahan momen lentur saja apabila nilai Ø.Pn kurang dari nilai terkecil
dari nilai 0,1. fc’.Ag dan Ø.Pn,b (dengan Ø = 0,65 untuk kolom dengan
tulangan sengkang, dan Ø = 0,70 untuk kolom dengan tulangan spiral).
Jadi menurut pasal tersebut dapat dikatakan bahwa, untuk semua kolom
dengan beban kurang dari “Ø.Pn kecil” (nilai terkecil antara nilai 0,1. fc’.Ag
dan Ø.Pn,b), nilai Ø dapat ditingkatkan menjadi Ø = 0,8 (hanya menahan
momen lentur saja.
Jika diambil nilai “Ø.Pn kecil” = Puφ , maka
32
Puφ diambil nilai terkecil dari nilai 0,1. fc’.Ag atau Ø.Pn,b (2.14m)
Untuk kolom dengan tulangan sengkang berlaku ketentuan berikut:
a. Jika beban Pu (Pu = Ø.Pn) ≥ Puφ, maka nilai Ø = 0,65 (2.14n)
b. Jika beban Pu (Pu = Ø.Pn) ≤ Puφ,
maka nilai Ø = 0,80 – 0,10.Pu
Puφ (2.14o)
keterangan:
Pu = gaya aksial tekan penuh atau gaya aksial tekan terfaktor,
kN.
Puφ = gaya asial tekan terfaktor pada batas nilai Ø yang sesuai,
kN.
Pn,b = gaya aksial nominal pada kondisi regangan penampang
seimbang (balance), kN.
Ø = factor reduksi kekuatan.
Ag = luas bruto penampang kolom, mm2.
6. Penempatan tulangan kolom
Tulangan kolom ditempatkan atau diatur seperti pada Gambar 2.7
Gambar 2.7. Penempatan TulanganKolomSumber: Asroni, H. Ali. 2010
7. Jumlah tulangan longitudinal dalam satu baris
Jumlah tulangan maksimum dalam satu baris dirumuskan sebagai berikut:
33
Sb = lapis lindung beton (pasal 9.7.1)
= 50 mm, jika berhubungan dengan
tanah atau cuaca dan D ≥ 19 mm
= 40 mm, jika tidak berhubungan
dengan tanah atau cuaca atau D <
19 mm.
Sn = jarak bersih antara tulangan (pasal
9.6.3) ≥ 1,5.D (D = diameter
tulangan) ≥ 40 mm.
ds1 = sb + Øbegel + D/2
ds2 = Sn + D
m = b−2.d s 1
d+Sn + 1 (2.14p)
keterangan:
m = jumlah tulangan longitudinal perbaris (dibulatkan ke bawah, jika
angka desimal > 0,81 dapat dibulatkan ke atas)
b = lebar penampang kolom, mm
ds1 = jarak decking pertama sebesar tebal lapis lindung beton + Øbegel +
D/2, mm
Sn = jarak bersih antar tulangan menurut Gambar 1.7, mm
D = diameter tulangan longitudinal (tulangan memanjang), mm
C. Pengaruh Beban Aksial pada Penampang Kolom
1. Penampang kolom pada kondisi sentris
34
Kekuatan penampang kolom dengan beban
sentries ditentukan dengan menganggap bahwa
semua baja tulangan (a1 dan A2) sudah
mencapai leleh, jadi tegangan baja tulangan fs =
fs’ = Fy. Disamping itu regangan tekan beton
sudah mencapai batas maksimal, yaitu εc’ = εcu
= 0,003.
Pada kondisi beban sentries (P0) ini dapat
dianalisis seperti berikut:
Ag = b.h = luas bruto penampang kolom, mm2.
Ast = A1 = A2 = luas total baja tulangan, mm2.
Gambar 2.8. Kolom dengan Beban SentrisSumber: Asroni, H. Ali. 2010
Gaya tekan beton: Cc = 0,85.fc’.An (2.15a)
Gaya tekan tulangan C1 = A1.fy (2.15b)
C2 = A2.fy (2.15c)
Dengan mempertimbangan gaya vertical harus nol, maka diperoleh:
P0 = Cc + C1 + C2
= 0,85.fc’.An + A1.fy + A2.fy
= 0,85.fc’.(Ag – Ast) + (A1 +A2) fy
Sehingga diperoleh persamaan berikut:
P0 = 0,85.fc’.(Ag – Ast) + Ast.fy (2.15d)
Pada kenyataannya beban yang betul-betul sentries itu jarang sekali
dijumpai dan dianggap tidak ada. Olehkarena itu Pasal 12.3.5 SNI 03-
2847-2002 memberi batasan kuat tekan nominal maksimal sebesar 80%
dari beban sentries untuk kolom dengan tulangan sengkang atau 85%
beban sentries dengan tulangan spiral. Dengan demikian diperoleh rumus
berikut:
Pn maks = 0,80.P0 (kolom dengan tulangan sengkang) (2.15e)
Pn maks = 0,85.P0 (kolom dengan tulangan spiral) (2.15f)
Kuat rencana dihitung dengan memasukan factor reduksi kekuatan Ø
pada kuat nominalnya. Jadikuat rencana pada kolom dengan beban sentris
dihitung dengan rumus berikut:
Ø.Pn maks = 0,80.Ø.P0 (kolom dengan tulangan sengkang) (2.15g)
35
Pada penampang kolom dengan kondisi
beton tekan menentukan, regangan tekan
beton telah mencapai batas ultimit (εcu’
= 0,003), tulangan tekan As’ telah
mencapai leleh (fs’ = fy), tapi tulangan
tarik As belum leleh (εs < εy atau fs < fy).
Tinggi blok tegangan beton tekan
ekuivalen a dihitung sebesar:
a = β1.c (1.16a)
nilai regangan dan tegangan pada
tulangan tarik maupun tekan pada kolom
dapat dihitung dengan persamaan
(2.14h) sampai dengan (2.14l).
Ø.Pn maks = 0,85.Ø.P0 (kolom dengan tulangan spiral) (2.15h)
2. Penampang kolom pada kondisi tekan menentukan
Gambar 2.9. Kolom denganBeban eksentrisSumber: Asroni, H. Ali. 2010
Karena kolom menahan beban eksentris maka, kolom akan menahan beban
aksial dan momen lentur. Beban aksial yang ditahan kolom dapat dihitung
berdasarkan Gambar 2.9(c), yaitu dengan cara menjumlahkan beban
vertikal = 0, sedangkan untuk momen lentur dihitung dari beban-beban Ts,
Cc dan Cs pada gambar 1.6(c) dikalikan dengan jarak masing-masing
beban ke sumbu kolom.
Untuk mempermudah hitungan, maka proses hitungan dilakukan
dengan menggunakan tabel seperti contoh pada Tabel 2.12. gaya atau
beban pada tabel ini diberi tanda plus (+) jika arah gaya ke atas, dan tanda
minus (-) jika arah gaya ke bawah. Lengan momen juga diberi tanda plus
(+) jika arah gaya di kanan sumbu kolom, dan tanda minus (-) jika arah
gaya di kiri sumbu kolom.
Tabel 2.12. Contoh Tabel untuk Hitungan Gaya Aksial dan Momen Lentur
Gaya (kN) Lengan ke sumbu (m) Momen (kNm)-Ts = -As.fs = …Cc = 0,85.fc’.a.b = …Cs = As’.fs’ = …
-Zs = -(h/2 – ds) = -…Zc = (h/2 – a/2) = …Zs’ = (h/2 – ds’) = …
Ts.Zc = ….Cc.Zc = ….Cs.Zs’ = ….
36
Sumber: Asroni, H. Ali. 2010
Selanjutnya dihitung: Ø.Pn dan Ø.Mn (2.16b)
3. Penampang kolom dengan kondisi seimbang (balance)
Pada penampang kolom dengan kondisi seimbang, maka tulangan
tarik mencapai leleh (εs = εy) bersamaan dengan regangan beton tekan
mencapai batas ultimit atau batas retak (εc’ = εcu’ = 0,003), pada kondisi ini
diperoleh jarak antara garis netral dan tepi beton tekan = cb, dan distribusi
regangan pada penampang kolom dilukiskan pada Gambar 2.10.
Nilai cb dapat ditentukan dengan cara berikut (lihat Gambar 2.10):
Gambar 2.10. Distribusi Regangan pada Kondisi Penampang SeimbangSumber: Asroni, H. Ali. 2010
cb
εcu ' =
dεcu❑ '+εs
cb = εcu
' . d
εcu'+εs
dengan memasukan nilai εs = εy = fy/Es atau fy/200000, dan εcu’ = 0.003
akan diperoleh:
cb = 600. d
600+f y(2.17)
selanjutnya dengan tabel 2.12 dapat dihitung gaya aksial Pn,b dan momen
lenturnya Mn,b serta aksial rencana Ø.Pn,b dan momen rencana Ø.Mn,b
dengan persamaan (2.16b).
4. Penampang kolom pada kondisi tulangan tarik menentukan
Jika beban aksial Pn telah berada pada kondisi penampang
seimbang, kemudian beban tersebut digeser lagi ke kanan. Maka luas
penampang beton akan semakin kecil, sehingga regangan tekan beton juga
semakin kecil (εc’ < 0,003) dan nilai c ikut semakin kecil pula, yaitu:
37
c < cb (2.17)
Sebaliknya luas penampang beton tarik akan semakin besar,
sehingga regangan tulangan tarik melebihi batas leleh. Dengan demikian,
kekuatan penampang kolom pada kondisi ini ditentukan oleh kuat leleh
tulangan tarik, yang disebut penampang kolom dengan kondisi tulangan
tarik menentukan atau kondisi patah tarik.
Sesuai dengan persamaan 2.14(l), karena εs > εy maka dalam
perhitungan dugunakan fs = fy. disamping itu, besar beban aksial dan
momen lentur yang terjadi pada kolom dapat dihitung menggunakan Tebel
2.12, kemudian dihitung pula kuat rencana dengan persamaan 2.16(b).
Apabila beban aksial Pn pelan-pelan digeser ke kanan lagi, maka
momen lentur secara pelen-pelan juga bertambah besar, sedangkan beban
Pn besarnya tetap, sehingga akan menyebabkan beban aksial Pn akan
relatif kecil jika dibandingkan dengan momen lentur. Keadaan ini sesuai
dengan Pasal 11.3.2.2 SNI 03-2847-2002, jika beban aksial cukup kecil
(kurang dari nilai terkecil antara 0,10.fc’.Ag atau Ø.Pn,b), maka komponen
struktur boleh dianggap hanya menahan momen lentur saja.
5. Penampang kolom pada kondisi beban Pn = 0
Untuk penampang kolom dengan kondisi beban Pn = 0, berarti
kolom hanya menahan momen lentur saja. Karena hanya menahan momen
lentur maka kolom tersebut dianalisis/dihitung seperti balok biasa.
Momen nominal dan momen rencana kolom dihitung dengan rumus-
rumus seperti pada hitungan momen nominal serta momen rencana balok,
dan dengan factor reduksi kekuatan Ø = 0,80.
Proses hitung dilaksanakan dengan rumus-rumus berikut:
38
1) Dihitung nilai a, amin leleh dan amaks leleh
a =( A s−A s
' ) . f y
0,85. f c ' . b(2.18a)
amin,leleh =600. β1 . ds
'
600−f y
(2.18b)
amax,leleh = (2.18c)
Gambar 2.11. Kolom denganBeban Pn = 0Sumber: Asroni, H. Ali. 2010
3) Dikontrol tulangan tarik dengan syarat: semua tulangan tarik sudah
leleh, yaitu nilai a harus ≤ amax,leleh.
4) Dihitung momen nominal Mn dan momen rencana Mr
Mnc = 0,85.fc’.a.b.(d – a/2) (2.18h)
Mns = As’.fs’.(d – ds’) (2.18i)
Mn = Mnc + Mns dan Mr = Ø.Mn (2.18j)
Untuk kondisi tulangan tekan sudah leleh, maka nilai fs’ pada
persamaan (2.18g) diatas diambil sebesar fy.
39
1) Dihitung nilai a, amin leleh dan amaks leleh
a =( A s−A s
' ) . f y
0,85. f c ' . b(2.18a)
amin,leleh =600. β1 . ds
'
600−f y
(2.18b)
amax,leleh = (2.18c)
2.2.4. Perencanaan Penulangan Kolom Beton Bertulang
A). Perencanaan Tulangan Kolom Pendek
Pasal 12.12 dan 12.13 SNI 03-2847-2002 membedakan antara kolom
panjang dan kolom pendek dengan batasan yang jelas, yaitu: suatu kolom
disebut sebagai kolom pendek apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1).Untuk kolom yang tidak dapat bergoyang (Pasal 12.12.2) berlaku:
k . λn , k
r ≤ 34 – 12( M 1
M 2) (2.19a)
2). Untuk kolom yang dapat bergoyang (Pasal 12.13.2) berlaku:
k . λn , k
r ≤ 22 (2.19b)
r = √ I / A (2.19c)
keterangan :
k = factor panjang efektif kolom
λn,k = panjang bersih kolom,m.
r = radius girasi atau jari-jari inersia penampang
kolom,m.
= 0,3.h (jika kolom berbentuk persegi),m.
M1 dan M2 = momen yang kecil dan momen yang besar pada
ujung kolom, kNm.
I dan A = momen inersia dan luas penampang kolom, m4 dan
m2.
a) Perencanaan Tulangan Memanjang (Longitudinal)
Perencanaan tulangan memanjang kolom pada dasarnya dapat
dilaksanakan dengan 3 cara, yaitu: perencanaan dengan menggunakan
diagram, perencanaan dengan membuat diagram interaksi, dan
perencanaan tulangan dengan cara analitis.
1). Perencanaan dengan menggunakan diagram
40
Cara perencanaan tulangan dengan bantuan diagram merupakan
cara yang praktis dan mudah dilaksanakan, misalnya dengan
menggunakan Diagram Perencanaan Kolom yng dibuat oleh
Suprayogi (1991).
Untuk menggunakan diagram Suprayogi, diperlukan 3 data
utama yaitu: mutu beton (fc’), mutu baja tulangan (fy), dan rasio jarak
titik berat tulangan tarik dan tekan terhadap tinggi penampang kolom
yang ditinjau (g).
Gambar 2.12. Diagram Perencanaan Kolom dengan g = 0,7, fc’ = 20
MPa, fy = 300 MPa (Suprayogi, 1991)
Sumber: Asroni, H. Ali. 2010
Diagram Suprayogi ini hanya berlaku untuk kolom dengan
penampang segi empat dan tulangan simetris, artinya tulangan kolom
dipasang di daerah beton tarik (sebelah kiri) dan daerah beton tekan
(sebelah kanan), dengan luas tulangan sama (As =As’).
41
Langkah untuk menghitung/merencanakan tulangan kolom
dengan menggunakan diagram Suprayogi (1991), yaitu sebagai
berikut:
(1). Hitung nilai g dengan persamaan:
g = h−2. d s
h (2.20)
(2). Pilih lembar diagram dengan nilai g, mutu beton fc’, dan mutu
baja fy yang sesuai.
(3). Hitung nilai K dan L dengan persamaan:
K = Pu
( f c' . b . h)
(2.21a)
L = Mu
( f c' . b . h2)
(2.21b)
(4). Dengan diagram yang dipilih dan nilai K maupun L, buat garis
horizontal melalui K dan garis vertikal melalui L, sehingga
berpotongan pada titik ρt.
(5). Hitung luas tulangan total perlu Ast,u dan jumlah tulangan n
sebagai berikut:
Ast,u = ρt.b.h (2.22a)
n = A st ,u
( 14
. π . x2) (n dibulatkan ke atas) (2.22b)
(6). Dipasang tulangan tarik As dan tulangan tekan As’ masing-masing
dengan jumlah tulangan n/2 batang. Jadi dipakai:
As = As’ = n/2.Dx, dengan x merupakan diameter tulangan.
42
2). Perencanaan dengan membuat diagram interaksi kolom
Perencanaan Tulangan Longitudinal
Diagram interaksi kolom yang akan dibuat dan dipakai untuk
perencanaan tulangan kolom adalah berupa diagram interaksi kuat
rencana tanpa satuan (tak berdimensi), dengan rasio tulangan (ρ)
sebesar 1%, 2%, dan 3%. Cara pembuatan diagram dan prosedur
hitungan untuk perencanaan tulangan longitudinal kolom dilaksanakan
sebagai berikut:
(1). Hitung nilai Ø.Pn dan Ø.Mn berdasarkan 5 kondisi beban seperti
pada sub bab 2.2.3C, dari satu penampang kolom dengan rasio
tulangan kolom sebesar 1%.
(2). Hitung nilai Q dan R untuk setiap hasil hitungan Ø.Pn dan Ø.Mn
dengan 5 kondisi beban pada item 1, kemudian diplotkan dalam
bentuk diagram, sehingga diperoleh diagram interaksi kolom kuat
rencana tanpa satuan dengan ρ1 = 1%. Dengan:
Q = Ø . Pn
( f c' . b . h)
dan (2.23a)
R = Ø . M n
( f c' . b . h2) (2.23b)
(3). Diulang lagi proses hitung pada langkah 1 dan langkah 2 dengan
rasio tulangan ρ2 = 2%, dan ρ3 = 3%, sehingga diperoleh diagram
interaksi kolom kuat rencana tanpa satuan seperti pada Gambar
2.13.
(4). Dengan beban aksial Pu yang bekerja pada kolom, hitung nilai Q r
dan diplotkan pada Gambar 2.13, kemudian buat garis horizontal
melalui nilai Qr tersebut.
Qr = Pu
( f c' . b . h)
(2.24)
(5). Dengan momen lentur Mu yang bekerja pada kolom, hitung pula
nilai Rr dan plotkan pada Gambar 2.13, kemudian buat garis
43
horizontal melalui nilai Rr tersebut sedemikian rupa sehingga
memotong garis horizontal dari Qr, pada titik T.
Rr = Mu
( f c' . b . h2)
(2.25)
(6). Jika T di bawah Qb, buat garis horizontal melalui titik T. namun
jika T di atas Qb, dibuat garis melalui titik T menuju ke titik Qb.
(7). Dengan penggaris ukurlah jarak antara kurva ρ2 dan titik T
(misalnya 7 mm), serta jarak antara kurva ρ2 dan ρ3 (misalnya 9
mm).
(8). Jadi diperoleh ρt = ρ2 + (7/9)% = 2% + 0,78% = 2,78% (2.26)
(9). Dihitung luas tulangan total yang diperlukan (Ast,u) dengan
rumus:
Ast,u = ρt.b.h (2.27)
(10). Proses selanjutnya dihitung jumlah tulangan kolom (n) dengan
rumus:
n = A st ,u
( 14
. π . D2) dengan n dibulatkan ke atas dan genap (2.28)
Gambar 2.13. Penentuan rasio tulangan (ρt) kolom dengan
membuat diagram interaksi kuat rencana tanpa satuan
Sumber: Asroni, H. Ali. 2010
44
Perencanaan Dimensi Kolom
Diagram interaksi kolom tanpa satuan yang telah dibuat seperti
pada Gambar 2.13, dapat digunakan untuk perencanaan dimensi
kolom asalkan mutu beton dan mutu baja tulangan sama dengan
diagram pada gambar 2.13 tersebut.
Gambar 2.14. Diagram Interaksi Kuat Rencana untuk Penentuan
Dimensi Kolom
Sumber: Asroni, H. Ali. 2010
Prosedur perhitungan untuk perencanaan dimensi kolom
dilaksanakan dengan cara berikut:
(1). Memperbesar dimensi kolom: jika titik T = T1 (lihat Gambar 2.14)
di luar diagram interaksi kuat rencana dengan ρ = 3%, berarti
tulangannya sangat rapat, dan dimensi kolom perlu diperbesar.
Pada gambar 2.14 ini T1 berada di bawah Qb, sehingga ditarik
garis horizontal dari T1 dan memotong kurva ρ = 2% di titik S1.
Memperkecil dimensi kolom: jika T = T2 di dalam diagram
interaksi kuat rencana dengan ρ = 1%, berarti dimensi kolom
terlalu besar, sehingga dimensi kolom perlu diperkecil. Pada
45
Gambar 2.14 ini titik T2 berada di atas Qb, sehingga ditarik garis
dari T2 menuju ke Qb dan memotong kurva ρ = 2% di titik S2.
(2). Dari titik S1 atau S2 (pada contoh ini dipilih S2), dibuat garis
horizontal ke kiri agar memperoleh Qr,s, dan garis horizontal ke
bawah agar memperoleh Rr,s.
(3). Untuk kolom persegi panjang: ditetapkan nilai h, kemudian
hitung dan pilih nilai b yang terbesar dari rumus berikut:
b = Pu
Qr , s . f c' . h
(nilai b dibulatkan ke atas) (2.29a)
b = M u
R r , s . f c' . h2 (nilai b dibulatkan ke atas) (2.29b)
(4). Untuk kolom bujursangkar ditetapkan nilai b = h dengan memilih
nilai terbesar dari rumus berikut:
b = h = √ Pu
Q r , s . f c' (dibulatkan ke atas) (2.30a)
b = h = 3√ Mu
R r , s . f c' . h2 (dibulatkan ke atas) (2.30b)
3). Perencanaan Tulangan Longitudinal dengan Cara Analitis
Untuk perencanaan tulangan longitudinal kolom bersengkang
dilaksanakan dengan langkah berikut:
(1). Hitung nilai ac dan ab dengan persamaan berikut:
ac = Pu
Ø .0,85 . f c' .b ' ; ab =
600. β1 . d
600+f y (2.31)
(2). Nilai ac dan ab dibandingkan sehingga diperoleh 2 kondisi
penampang kolom berikut:
(a). Jika ac > ab, penampang kolom pada kondisi tekan
menentukan.
Pada kondisi ini dihitung ab1 dan ab2 serta ditetapkan nilai Ø =
0,65, dengan rumus:
ab1 = 600. β1 . d
600−f y ; ab2 = β1.d (2.32)
46
kemudian lanjutkan ke langkah (3).
(b). Jika ac < ab, penampang kolom pada kondisi tulangan tarik
menentukan.
Pada kondisi ini dihitung at1 dan at2 setra tetapkan nilai Ø
dengan persamaan-persamaan berikut:
at1 = 600. β1 . d
600−f y ; at2 = β1.ds (2.33)
penentuan nilai Ø:
Jika Pu ≥ PuØ, maka nilai Ø = 0,65 (2.34a)
Jika Pu < PuØ, maka nilai Ø = 0,81 – 0,15.Pu/PuØ (2.34b)
Dengan PuØ = Ø.Pn,b atau PuØ = 0,10.fc’.b.h (2.34c)
Kemudian lanjutkan ke langkah (4).
(3). Untuk penampang kolom pada kondisi tekan menentukan, masih
dibagi lagi menjadi 3 kondisi yaitu:
(a). Jika ac > ab1, maka termasuk kondisi I: beton tekan
menentukan dengan tulangan tekan sudah leleh, atau
dianggap kolom menerima beban sentries (P0), dan dihitung
tulangan A1 dan A2 dengan persamaan berikut:
A1 = A2 = 1,25. Pu/ Ø – 0,85. f c
' . b .h
2.( f y−0,85. f c')
(2.35)
(b). Jika ab1 < ac < ab2, maka termasuk kondisi II: beton tekan
menentukan sengan tulangan kiri belum leleh. Proses
perhitungan dilaksanakan sebagai berikut:
1. Hitung ap1, R1, R2, dan R3 dengan persamaan berikut:
ap1 = (600−f y ) .(h−2.ds)
600+f y
(2.36a)
R1 = ab + ap1 + h(2.36b)
R2 = 2.ab.(h – ds) + ac.(ap1 + 2.e) (2.36c)
R3 = ab.ac.(2.e – 2.ds + h) (2.36d)
2. Hitung nilai a dengan cara coba-coba dengan persamaan:
a3 – R1.a2 + R2.a – R3 = 0 (2.37a)
47
dengan syarat ab1 < a < ab2 (2.37b)
3. Hitung tulangan A1 da A2 dengan persamaan berikut:
A1 = A2 = a .(Pu/ Ø – 0,85. f c
' a .b .)(600+ f y ). a−600.β1 . d
(2.38)
(c). Jika ab1 > ac > ab2, maka termasuk kondisi III: beton tekan
menentukan dengan tulangan tarik kiri belum leleh. Proses
hitung dilaksanakan berikut:
1. Hitung ap2, R4, R5, dan R6 dengan persamaan berikut:
ap2 = 2. f y . ds+1200. d
600+ f y (2.39a)
R4 = ab + ap2 (2.39b)
R5 = 2.ab.d + ac.(2.e – h + ap1) (2.39c)
R6 = ab.ac.(2.d + 2.e – h) (2.39d)
2. Hitung nilai a dengan cara coba-coba dengan persamaan:
A3 – R4.a2 + R5.a – R6 = 0 (2.40a)
dengan syarat ab2 < a < ab2 (2.40b)
3. Hitung tulangan A1 da A2 dengan persamaan berikut:
A1 = A2 = a .(Pu/ Ø – 0,85. f c
' a . b .)(600+ f y ). a−600.β1 . d
(2.41)
(4). Untuk penampang kolom pada kondisi tulangan tarik menentukan
juga dibagi lagi menjadi 3 kondisi, yaitu:
(a). Jika ab > ac > at1, maka termasuk kondisi IV: tulangan tarik
menentukan dengan tulangan tekan kanan sudah leleh, dan
dihitung tulangan A1 dan A2 dengan persamaan berikut:
A1 = A2’ = 0,5. Pu .(2.e−h+ac)
Ø . (d−ds' ) . f y
(2.42)
(b). Jika ab > ac > at2, maka termasuk kondisi V: tulangan tarik
menentukan dengan tulangan tekan kanan belum leleh.
Proses perhitungan dilaksanakan sebagai berikut:
1. Hitung ap3, R7, R8, dan R9 dengan persamaan berikut:
48
ap3 = 2. f y . d+1200. d s
600−f y (2.42a)
R7 = ap3 + at1 (2.42b)
R8 = 2.at1.ds + ac.(2.e – h – ap3) (2.42c)
R9 = ac.at1.(2.ds + 2.e – h) (2.42d)
2. Hitung nilai a dengan coba-coba dengan persamaan
sebagai berikut:
A3 – R7.a2 + R8.a – R9 = 0 (2.43a)
dengan syarat at1 < a < at2 (2.43b)
3. Hitung tulangan A1 da A2 dengan persamaan berikut:
A1 = A2 = a .(Pu/ Ø – 0,85. f c
' a . b .)
( 600−f y ) . a−600. β1. d s
(2.44)
(c). Jika at2 > ac, maka termasuk kondisi VI: tulangan tarik
menentukan tanpa tulangan tekan. Pada kondisi ini nilai
eksentrisitas e sangat besar, beban aksial kolom diabaikan,
dan kolom boleh dianggap hanya memikul momen lentur
saja. Proses hitungan dilaksanakan seperti hitungan balok
biasa, yaitu sebagai berikut:
1. Hitung momen pikul K dan Kmaks
K = M n
b .d2 atau K = M u
Ø . b . d2 (2.45a)
Kmaks = 382,5. β1 . f c' .¿¿ (2.45b)
2. Jika K > Kmaks, maka balok bertulangan rangkap,
dilanjutkan ke langkah 3.
Jika nilai K ≤ Kmaks, maka balok bertulangan tunggal
dihitung sebagai berikut:
a. Hitung tinggi blok tegangan beton tekan persegi
ekuivalen a
a = (1−√1− 2. K
0,85. f c' ).d (2.46)
b. Hitung luas tulangan tarik As,u dengan memilih nilai
terbesar dari nilai As berikut:
49
As = 0,85. f c
' . a . bf y
(2.47a)
Jika fc’ ≤ 31,36 MPa, maka As = 1,4.b . d
f y (2.47b)
Jika fc’ ≤ 31,36 MPa, maka As = √ f c
' . b . d
4. f y
(2.47c)
c. Dilanjutkan ke langkah 4.
3. Jika nilai K > Kmaks dihitung dengan cara berikut:
a. Hitung faktor momen pikul K1
K1 ≤ Kmaks atau dipakai K1 = 0,8 Kmaks (2.48)
b. Hitung tinggi blok tegangan beton tekan persegi
ekuivalen a
a = (1−√1−2. K1
0,85. f c' ).d (2.49a)
c. Hitung luas tulangan A1 dan A2
A1 = 0,85. f c
' . a . bf y
(2.49b)
A2 = ( K−K1 ) . b . d2
(d−ds') . f y
(2.49c)
d. Hitung luas tulangan tarik As,u dan tekan As,u’
As,u = A1 + A2 (2.50a)
As,u’ = A2 (2.50b)
4. Hitung jumlah tulanhan n
n = A s , u
1/4 . π . x2 (2.51)
5. Dipasang tulangan kiri dan kanan sama, yaitu:
Akiri = Akanan = n.Dx (2.52)
50
b) Perencanaan Tulangan Geser (Begel) Kolom
Begel yang digunakan pada kolom biasanya dari baja tulangan polos,
dan dengan diameter dp ≥ 10 mm. bentuk begel kolom ada berbagai
macam seperti terlihat dalam Gambar 2.15 berikut.
Gambar 2.15. Bentuk Begel KolomSumber: Asroni, H. Ali 2010
Untuk keperluan hitungan tulangan geser (hitungan begel kolom),
biasanya penahan gaya geser yang disumbangkan oleh gaya tarik dan gaya
potong tulangan serta pengaruh kekerasan agregat tidak diperhitungkan
(diabaikan). Jadi, gaya geser nominal kolom hanya ditahan oleh serat
beton dan begel saja, dan dirumuskan seperti berikut:
Vn = Vc + Vs (2.53)
Keterangan: Vn = gaya geser nominal, N.
Vc = gaya geser yang disumbangkan oleh beton, N.
Vs = gaya geser yang disumbangkan oleh begel, N.
Untuk lebih jelasnya prosedur hitungan tulangan geser (begel) kolom
dapat dilaksanakan dengan langkahlangkah sebagai berikut:
1). Hitung gaya geser perlu kolom (Vu,k)
Vu,k = Mu 2−Mu 1
λk (2.54)
Keterangan:
Vu,k = gaya geser perlu kolom, N.
51
Mu2 = momen perlu yang besar pada salah satu ujung
kolom, N-mm.
Mu1 = momen perlu yang kecil pada salah satu ujung
kolom, N-mm.
λk = panjang kolom diukur dari as ke as, mm.
2). Hitung gaya geser yang ditahan oleh beton (Vc)
Vc = (1 + N u ,k
14. Ag)√ f c
'
6.b.d (2.55)
Keterangan:
Vc = kuat geser nominal yang ditahan oleh beton, N.
Nu,k = gaya nominal atau gaya aksial terfaktor pada
kolom, N.
Ag = luas bruto penampang kolom, mm2
fc’ = kuat tekan beton yang disyaratkan, MPa.
b = ukuran lebar penampang kolom, mm
d = ukuran tinggi efektif penampang kolom, (h – ds),
mm.
3). Hitung gaya geser yang ditahan begel (Vs) dan Vs,maks
Vs = V u−Ø .V c
Ø dengan Ø = 0,65 (2.56a)
Vs,maks = 2/3.√ f c'.b.d (2.56b)
Syarat: Vs ≤ Vs,maks (2.65c)
4). Hitung luas begel perlu (Av,u) untuk setiap panjang kolom S = 1000
mm, dengan memilih yang terbesar dari nilai Av berikut:
Av =V s . S
f y . d (2.66a)
Av =b . S3. f y
(2.66b)
Av =75.√ f c
' . b . d
1200. f y
(2.66c)
52
5). Pilih begel n kaki dengan diameter dp, kemudian hitung jarak begel
(s)
s =n4
. π . dp2 . S
Av ,u
(2.67)
Pasal 9.10.5.1: dp ≥ 10 mm (untuk D ≤ 32 mm), dp ≥ 13 mm (untuk D36,
D44, D56)
6). Dikontrol jarak begel s harus memenuhi syarat berikut:
Pasal 6.9.3 : sn ≥ 1,5.D; dan sn ≥ 40 mm (2.68a)
Pasal 9.10.5.2 : s ≤ 16.D; dan s ≤ 48.dp (2.68b)
Pasal 13.5.4.1 : untuk Vs < 1/3.√ f c'.b.d, maka s ≤ d/2
Dan s ≤ 600 mm (2.68c)
Pasal 13.5.4.3 : untuk Vs > 1/3.√ f c'.b.d, maka s ≤ d/4
Dan s ≤ 300 mm (2.68d)
Keterangan:
s dan sn = spasi dan spasi bersih antar tulangan, mm.
D = diameter tulangan memanjang kolom, mm.
dp = diameter tulangan begel (harus ≥ 10 mm).
d = h - ds = tinggi efektif penampang kolom, mm.
7). Pilih s yang memenuhi persamaan (2.68a) sampai dengan persamaan
(2.68d)dan dibulatkan ke bawah 5 mm, kemudian pakai begel n dp x –
s (dibaca: begel n kaki dengan diameter x, jaraknya s mm).
8). Hitung luas begel terpasang Av,t dengan rumus:
Av,t =n4
. π . dp2 . S
s dengan Av,t, harus ≥ Av,u (2.68d)
53
B). Perencanaan Tulangan Kolom Panjang
Pada Sub Bab 2.2.4.A telah dijeleskan, bahwa kolom dapat dibedakan
menjadi 2 macam, yaitu kolom pendek dan kolom panjang. Perbedaan ini
ditinjau dari rasio kelangsingan kolom yaitu, nilai perbandingan ukuran
antara pendek atau panjangnya kolom (dinyatakan dengan: k.λn,k) terhadap
dimensi lateral (dinyatakan dengan r atau √ I / A ).
a) Perencanaan Tulangan Memanjang (Longitudinal)
Hitungan tulangan longitudinal kolom secara garis besar dilak-
sanakan dengan langakah berikut:
1). Hitung derajat hambatan pada ujung-ujung kolom (ψ) dengan
persamaan berikut:
ψ = ∑ (Ec . I k¿¿ λn ,k )
∑ (Ec . I b¿¿ λn , b)¿¿ (2.69a)
jika ujung kolom berupa: jepit, maka nilai ψ = 0 (2.69b)
sendi, maka nilai ψ = 10 (2.69c)
bebas, maka nilai ψ = ∞ (2.69d)
keterangan:
ψ = derajat hambatan pada ujung kolom.
Ec = modulus elastisitas beton = 4700√ f c', MPa.
Ib = momen inersia balok, diambil = 0,35.Ibruto,balok, mm4.
Ik = momen inersia kolom, diambil = 0,70.Ibruto,kolom,
mm4.
λn,k = panjang bebas atau panjang bersih kolom, mm.
54
λn,b = panjang bebas atau panjang bersih balok, mm.
2). Hitung faktor panjang efektif kolom k dengan persamaan berikut:
a. Pada kolom yang tidak dapat bergoyang:
k = 0,7 + 0,05.( ψA + ψB) dengan k ≤ 1 (2.70a)
k = 0,85 + 0,05. ψmin dengan k ≤ 1 (2.70b)
b. Pada kolom yang dapat bergoyang:
Jika kedua ujung kolom terjepit, nilai k dihitung sebagai berikut:
k = 20−ψm
20√1+ψm jika ψm < 2,0 (2.70c)
k = 0,9√1+ψm jika ψm ≥ 2,0 (2.70d)
dengan ψm = nilai rata-rata dari ψA dan ψB.
jika satu kolom terjepit dan ujung lainnya sendi/bebas, maka nilai k
dihitung sebagai berikut:
k = 2,0 + 0,3.ψ (2.70e)
dengan ψ = derajat hambatan pada ujung yang terjepit.
3). Hitung panjang efektif kolom = k.lu, kemudian tentukan jenis kolom
pendek atau kolom panjang dengan persamaan (2.71a) dan (2.71b).
Kolom termasuk jenis kolom pendek jika memenuhi syarat berikut:
a. Untuk kolom yang tidak dapat bergoyang
k . λn , k
r ≤ 34 – 12( M 1
M 2) (2.71a)
b. Untuk kolom yang dapat bergoyang
k . λn , k
r ≤ 22 (2.71b)
4). Hitung tulangan memanjang kolom.
Jika kolom termasuk jenis kolom pendek, tulangan longitudinal
langsung dihitung dengan menggunakan salahsatu cara dari 3 cara,
yaitu dengan diagram Suprayogi (1991), dengan membuat diagram
55
interaksi kolom, atau dengan cara analitis seperti pada sub bab
(2.2.4.A).
Jika kolom termasuk kolom panjang, tulangan longitudinal kolom
dihitung sebagai berikut:
a. Hitung EI dengan persamaan berikut:
EI = 0,2. Ec . I g+E s . I st
1+βd (2.72a)
EI = 0,4. Ec . I g
1+ βd (2.72b)
Untuk kolom yang tidak dapat bergoyang:
βd = beban tetap aksial terfaktor maksimalbebanaksial ter faktor maksimal dari
kombinasibeban yang sama (2.72c)
Untuk kolom yang dapat bergoyang:
βd = gaya lintangterfaktor maksimal
gaya lintang terfaktor maksimal darikombinasi beban yangsama
(2.72d)
dengan:
Ec = 4700√ f c' atau
Ec = Wc1,5.0,043.√ f c
' (2.72e)
Wc = berat beton normal = (1200 – 2500) kg/m3.
Ec = modulus elastisitas beton, MPa.
Es = modulus elastisitas baja tulangan = 2.105 MPa.
Ig = Ibruto,kolom = (1/12).b.h3 (2.72f)
Ist = Ast.( h−2.ds
2 )2
(2.72g)
b. Hitung beban tekuk Pc dengan persamaan berikut:
Pc =π2 . EI
(k . λn ,k )2 (2.73)
keterangan:
Pc = beban tekuk Euler atau beban kapasitas tekan
kolom, N.
56
λn,k = panjang bersih atau panjang bebas kolom, mm.
c. Hitung faktor pembesar momen δb atau δs dengan persamaan
berikut:
Untuk kolom yang tidak dapat bergoyang:
δb =
Cm
1−Pu
0,75.Pc
≥ 1,0 (2.74a)
Jika ada beban transversal di antara tumpuannya,
Cm = 1 (2.74b)
Tanpa beban transversal, Cm = (0,6 + 0,4.M1 b
M2 b) ≥ 0,4 (2.74c)
Untuk kolom yang dapat bergoyang:
δb =
1
1−∑ Pu
0,75.∑ Pc
≥ 1,0 (2.74d)
keterangan:
M1b dan M2b = momen yang kecil dan yang besar pada
salah satu ujung kolom yang tidak
menimbulkan goyangan.
ΣPu = jumlah seluruh beban vertical terfaktor
yang ada pada satu tingkat, kN.
ΣPu = jumlah seluruh kapasitas kolom yang ada
pada satu tingkat, kN.
d. Hitung pembesaran momen Mc dengan persamaan berikut:
Untuk kolom yang tidak dapat bergoyang:
Mc = δb.M2b atau
Mc = δb.Pu.(15 + 0,03.h) (2.75a)
Dipilih yang besar
(Pada SNI 03-2847-2002, δb ini ditulis sebagai δns)
Untuk kolom yang dapat bergoyang:
Momen M1 dan M2 harus diambil sebesar
57
M1c = M1b + δs.M1s (2.75b)
M2c = M2b + δs.M2s (2.75c)
Keterangan:
Mc = momen terfaktor yang diperbesar, N-mm.
δb = factor pembesar momen untuk rangka yang ditahan
terhadap goyangan ke samping, atau factor pembesar
momen untuk rangka yang tidak dapat bergoyang.
Subscript b berarti braced (dikekang).
δs = factor pembesar momen untuk rangka yang tidak ditahan
untuk goyangan ke samping, atau factor pembesar
momen untuk rangka yang dapat bergoyang.
Subscript s berarti sway (bergoyang).
M2b = momen yang besar pada salah satu ujung kolom yang
tidak menimbulkan goyangan, N-mm.
M1s dan M2s= momen yang kecil dan yang besar pada salah satu
ujung kolom yang menimbulkan goyangan, N-mm.
h = tinggi penampanh kolom yang ditinjau, mm.
Pu = beban aksial perlu atau beban aksial terfaktor pada
kolom, N.
e. Hitung tulangan longitudinal kolom dengan menggunakan salah
satu dari 3 cara, yaitu dengan Diagram Suprayogi (1991), membuat
diagram interaksi kolom, atau dengan cara analitis seoerti pada sub
bab (2.2.4.A).
b) Perencanaan Tulangan Geser (Begel)
Perencanaan tulangan geser, direncanakan seperti perencanaan
tulangan geser pada kolom pendek seperti pada sub bab (2.2.4.A) bagian b.
58
2.3. Struktur Fondasi
2.3.1. Pengertian Fondasi
Secara garis besar, struktur bangunan dibagi menjadi 2 bagian
utama, yaitu struktur bangunan di bawah tanah dan struktur bangunan di
atas tanah. Struktur bangunan di dalam tanah sering disebut struktur
bawah, sedangkan struktur bangunan di atas sering disebut struktur atas.
Struktur bawah dari suatu bangunan lazim disebut fondasi, yang bertugas
untuk memikul bangunan di atasnya. Seluruh muatan (beban) dari
bangunan, termasuk beban-beban yang bekerja pada bangunan termasuk
berat fondasi sendiri, harus dipindahkan dan diteruskan oleh fondasi ke
tanah dasar dengan sebaik-baiknya.
Karena fondasi harus memikul bangunan beserta beban-beban yang
bekerja pada bangunan, maka dalam perencanaan fondasi harus dihitung
secara dengan terhadap 2 macam beban, yaitu beban gravitasi dan beban
lateral. Beban gravitasi merupakan beban vertikal dari atas ke bawah, dan
beasal dari struktur bangunan, baik berupa beban mati (berat sendiri
bangunan) maupun beban hidup (orang dan peralatan di dalam bangunan).
Sedangkan beban lateral merupakan beban horizontal dari kiri ke kanan
59
atau dari kanan ke kiri dan berasal dari luar struktur bangunan, baik berupa
beban yang diakibatkan oleh angin maupun yang diakibatkan oleh gempa.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa fondasi merupakan bagian
yang paling penting dari struktur bangunan, karena jika terjadi
kegagalan/kerusakan pada fondasi, maka dapat berakibat pada kerusakan
bangunan di atasnya, atau bahkan robohnya struktur bangunan secara
keseluruhan.
2.3.2. Jenis Fondasi
Berdasarkan letak kedalaman tanah kuat yang digunakan untuk
mendukung fondasi, maka fondasi digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:
fondasi dangkal, fondasi sedang dan fondasi dalam.
a). Fondasi dangkal. Kedalaman tanah kuat untuk fondasi dangkal
diperkirakan mencapai 3,00 m dibawah permukaan tanah. Yang
termasuk golongan fondasi dangkal yaitu:
1). Fondasi Staal atau Fondasi Lajur
Fondasi staal dibuat dari pasangan bata atau pasangan batu kali,
dengan kedalaman tanah kuat sampai 1,50 m dibawah permukaan
tanah. Jika kedalaman tanah kuat sampai 2,00 m, dapat pula
digunakan fondasi staal yang diletakan diatas timbunan pasir yang
dipadatkan secara berlapis setiap ± 20 cm. bentuk fondasi staal dapat
dilihat pada Gambar 2.16(a) dan Gambar 2.16(b).
2). Fondasi telapak (foot Plate)
Fondasi telapak dibuat dari beton bertulang, dengan kedalaman tanah
kuat mencapai 2,00 m di bawah permukaan tanah. Bentuk fondasi
telapak dapat dilihat pada Gambar 2.16(c).
3). Fondasi pyler
60
Fondasi pyler terbuat dari pasangan batu kali berbentuk piramida
terpancung.
Fondasi ini biasa dipasang pada sudut-sudut bangunan dan pada
pertemuan tembok-tembok dengan jarak ± 2,50 m sampai dengan 3,00
m di bawah permukaan tanah. Diatas fondasi pyler dipasang sloof.
Bentuk fondasi pyler dapat dilihat pada Gambar 2.16(d).
b). Fondasi Sedang. Kedalaman tanah kuat untuk fondasi sedang
diperkirakan sampai mencapai 4,00 m di bawah permukaan tanah.
Fondasi yang cocok untuk kedalaman ini adalah fondasi sumuran.
Fondasi sumuran dibuat dari pipa beton biasa atau pipa beton
bertulang dengan tebal dinding berkisar antara 8 cm sampai 12 cm
61
Gambar 2.16. Fondasi Staal, Telapak dan PylerSumber: Asroni, H. Ali. 2010
dimasukan ke dalam tanah., kemudian didisi dengan campuran adukan
beton. Ukuran diameter pipa bagian dalam berkisar antara 65 cm
sampai dengan 250 cm, dan bergantung dari hasil hitungan. Fondasi
sumuran dipasang pada sudut-sudut bangunan seperti fondasi pyler.
c). Fondasi Dalam. Kedalaman tanah kuat untuk fondasi dalam minimal
mencapai 4,50 m dibawah permukaan tanah. Fondasi yang cocok
untuk kedalaman ini adalah fondasi tiang pancang. Fondasi tiang
pancang dibuat dari kayu, besi profil, pipa baja maupun beton
bertulang, yang dapat dipancang sampai kedalaman ± 60,00 m di
bawah permukaan tanah.
62
Gambar 2.17. Fndasi Sumuran Gambar 2.18. Fndasi Tiang PancangSumber: Asroni, H. Ali. 2010
2.3.3. Persyaratan Fondasi
Struktur fondasi dari suatu bangunan harus direncanakan sedemikian
rupa sehingga proses pemindahan beban ke tanah dasar dapat berlangsung
dengan baik dan aman. Untuk keperluan tersebut pada perencanaan
fondasi harus mempertimbangkan beberapa persyaratan berikut (lihat
Gambar 2.19):
1). Fondasi harus cukup kuat untuk mencegah penurunan (settlemen) dan
putaran (rotasi) yang berlebihan (lihat Gambar 2.19(a) dan Gambar
2.19 (b)).
2). Tidak terjadi penurunan setempat yang terlalu besar bila dibandingkan
dengan penurunan fondasi didekatnya (lihat Gambar 2.19(c)).
3). Cukup aman terhadap bahaya longsor (lihat Gambar 2.19(d)).
4). Cukup aman terhadap bahaya guling (lihat Gambar 2.19(e)).
63
2.3.4. Daya Dukung Tanah
Jenis dan besar kecilnya ukuran fondasi sangat ditentukan oleh
kekuatan/daya dukung tanah di bawah fondasi tersebut. Sebagai contoh
untuk jenis fondasi telapak tunggal, semakin kuat daya dukung tanah,
semakin kecil ukuran fondasi yang akan direncanakan. Sebaliknya
semakin lemah daya dukung tanah, semakin besar ukuran fondasi yang
akan direncanakan. Untuk tanah yang daya dukungnya lemah ini,
sebaiknya digunakan jenis fondasi lain, misalnya fondasi sumuran atau
bahkan digunakan fondasi tiang pancang.
Kekuatan/daya dukung tanah pada umumnya dapat diketahui melalui
berbagai usaha berikut:
1). Peraturan bangunan setempat yang dikeluarkan oleh lembaga terkait.
2). Pengalaman tentang pembuatan fondasi yang sudah ada, atau
keterangan yang berkaitan dengan fondasi di sekitarnya.
3). Hasil pemeriksaan/pengujian tanah, baik pengukian di laboratorium
maupun pengukian di lapangan.
Penentuan kekuatan/daya dukung tanah yang tepat dan pasti,
merupakan permasalahan yang tidak mudah. Sebagai contoh misalnya
ditemukan lapisan tanah keras pada kedalaman 4 m di bawah permukaan
64
Gambar 2.19. Pertimbangan Keamanan FondasiSumber: Asroni, H. Ali. 2010
tanah. Setelah diteliti lebih seksama ternyata lapisan tanah keras tersebut
hanya setebal 10 cm, dan dibawahnya dijumpai lapisan tanah yang sangat
lunak.
Kesulitan dalam menentukan daya dukung tanah secara tepat ini
disebabkan oleh beberapa kemungkinan, misalnya:
1). Jenis lapisan tanah di bawah permukaan tanah memiliki variasi yang
sangat bangyak. Variasi jenis lapisan tanah ini bergantung pada
sumber geologi tanah, cara perpindahan tanah, dan mekanisme
sedimentasi.
2). Sifat fisik tanah setelah dibebani sering diluar perkitaan semula, dan
memerlukan biaya mahal jika harus dilakukan uji coba.
3). Adanya penurunan tanah akibat konsolidasi butur-butir yang
ditimbulkan oleh getaran (gempa bumi, lalu lintas, alat pemadat dan
sebagainya).
Sebagai langkkah praktis untuk keperluan perencanaan fondasi,
pada umumnya jenis tanah berikut dapat dipakai sebagai perkiraan daya
dukung tanah, yaitu:
1). Jenis tanah cadas/batuan: daya dukungnya baik sekali.
2). Jenis tanah kerikil/batu: daya dukungnya baik.
3). Jenis tanah pasir/silt: daya dukungnya meragukan (hati-hati).
Pada tanah pasir, jika dalam kondisi jenuh air dan menerima getaran
(misalnya oleh gempa), maka butir-butirnya saling memisahkan
diri/saling lepas sehingga daya dukungnya nol (kecil sekali). Peristiwa
ini disebut liquefaction yang sangat berbahaya bagi bangunan.
4). Jenis tanah liat: daya dukungnya sangat meragukan (sangat hati-hati).
Sifat tanah liat yaitu pada keadaan kering menjadi keras dan pada
keadaan basah menjadi lunak (daya dukungnya menurun). Disamping
itu jika terjadi getaran (oleh gempa atau kereta api yang lewat) pada
tanah liat basah, maka sifat getaran tersebut dapat berubah menjadi
getaran harmonis. Getaran harmonis ini sangat membahayakan
bangunan (terutama gedung bertingkat), karena dapat memperbesar
amplitude (pergeseran horizontal) pada lantai tingkat.
65
2.3.5. Fondasi Telapak
A). Macam-Macam Fondasi Telapak
Secara garis besar, fondasi telapak dapat dibedakan menjadi 5 macam,
yaitu sebagai berikut:
1). Fondasi dinding
Fondasi dinding sering disebut fondasi lajut (lihat Gambar 2.20).
2). Fondasi telapak tunggal
Fondasi telapak tunggal sering disebut dengan fondasi kolom tunggal,
artinya setiap kolom mempunyai fondasinya sendiri-sendiri. Fondasi
telapak tunggal dapat berbentuk bujursangkar, lingkaran dan persegi
panjang (lihat Gambar 2.21).
3). Fondasi gabungan
Jika letak kolom relative dekat, fondasinya digabung menjadi satu.
Bentuk fondasi berupa persegi panjang atau trapezium (Gambar 2.22(a)
dan Gambar 2.22(b)).
4). Fondasi telapak menerus
Jika letak kolom berdekatan dan daya dukung tanah relative lebih kecil,
lebih baik dibuat fondasi telapak menerus. Agar kedudukan kolom lebih
kokoh dan kuat, maka antara kolom satu dengan kolom lainnya dijepit
dengan balok sloof (lihat Gambar 2.23).
66
5). Fondasi mat
Fondasi mat sering disebut fondasi pelat, dopasang di bawah seluruh
bangunan, karena daya dukungnya sangat kecil. (lihat Gambar 2.24).
B). Perencanaan Fondasi Telapak
1). Cara Perencanaan
Peraturan untuk perencanaan fondasi telapak tercantum pada Pasal
13.12 dan Pasal 17 SNI 03-2847-2002. Perencanaan fondasi harus
mencakup segala aspek agar terjamin keamanannya sesuai dengan
persyaratan yang berlaku, misalnya: penentuan dimensi telapak fondasi,
67
Gambar 2.20. Fondasi Dinding
Gambar 2.21.Telapak Tunggal
Gambar 2.22.Fondasi Gabungan
Sumber: Asroni, H. Ali. 2010
Gambar 2.23. Fondasi TelapakMenerus
Gambar 2.24. FondasiMat
Sumber: Asroni, H. Ali. 2010
tebal fondasi dan jumlah/jarak tulangan yang harus dipasang pada
fondasi.
Secara garis, besar perencanaan fondasi yang lengkap harus me-
muat 5 kriteria berikut:
(1). Menentukan ukuran fondasi
Ukuran panjang dan lebar telapak fondasi harusditetapkan
sedemikian rupa, sehingga tegangan yang terjadi pada dasar fondasi
tidak melampaui daya dukung tanah di bawahnya.
(2). Mengontrol kuat geser 1 arah
Gaya geser satu arah yang bekerja pada dasar fondasi dapat
mengakibatkan retak fondasi pada jarak ± d dari muka kolom,
dengan d adalah tebal efektif fondasi.
(3). Mengontrol kuat geser 2 arah
Akibat gaya geser 2 arah (geser pons), maka fondasi akan retak di
sekeliling kolom dengan jarak ± d/2 dari muka kolom.
(4). Menghitung tulangan fondasi
Beban yang bekerja pada fondasi berupa beban vertical dengan arah
ke atas yang disebabkan oleh tekanan tanah di bawah fondasi.
Tulangan fondasi dihitung berdasarkan besar momen maksimal yang
terjadi pada fondasi, dengan asumsi bahwa fondasi dianggap sebagai
pelat yang terjepit oleh bagian tepi kolom (lihat Gambar 2.25).
Menurut Pasal 17.7.3 SNI 03-2847-2002, untuk fondasi berbentuk
bujur sangkar, tulangan harus dipasang tersebar merata pada seluruh
lebar fondasi telapak.
68
Gamabr 2.25. tekanan Tanah Pada FondasiSumber: Asroni, H. Ali. 2010
Jika fondasi berbentuk persegi panjang, pemasangan tulangan
diatur berdasarkan Pasal 17.4.4 SNI 03-2847-2002 seperti berikut
(lihat Gambar 2.26).
(a). Untuk tulangan sejajar sisi panjang (Pasal 17.4.4.1):
tulangan harus tersebar merata pada seluruh lebar fondasi
telapak.
(b). Untuk tulangan sejajar sisi pendek (Pasal 17.4.4.2): diten-
tukan jalur pusat (jalur bujursangkar yang berpusat di sumbu
kolom dengan sisi = lebar fondasi) dan jalur tepi (di luar jalur
pusat) kemudian dipasang tulangan pada jalur pusat lebih
rapat dari pada jalur tepi, dengan luas tulangan:
As,pusat = (2.B.As,u) / (L + B) (2.76a)
As,tepi = As,u – As,pusat (2.76b)
(5). Mengontrol kuat dukung fondasi
Fondasi harus mampu mendukung semua beban yang ada di atasnya.
Oleh karena itu disyaratkan bahwa beban aksial terfaktor pada kolom
69
Gambar 2.26. Pemasangan Tulangan Pada Fondasi Persegi PanjangSumber: Asroni, H. Ali. 2010
(Pu) tidak boleh melampaui kuat dukung dari fondasi (Pu) yang
dirumuskan:
Pu ≤ Pu (2.77a)
Pu = Ø.0,85.fc’.A1 dengan Ø = 0,7 (2.77b)
Keterangan:
Pu = gaya aksial terfaktor (pasa kolom), N.
Pu = kuat dukung fondasi yang dibebani, N.
fc’ = mutu beton yang diisyaratkan, MPa.
A1 = luas daerah yang dibebani, mm2
2). Langkah Hitungan
(a). Menentukan Ukuran Fondasi
Ukuran fondasi ditentukan berdasarkan persamaan berikut:
σ =Pu , k
B . L +
M u , x
1/6B . L2+ M u , y
1/6 L. B2 + q ≤ σ t (2.78a)
q = (hf x γc) + (ht x γt) (2.78b)
Keterangan:
σ = tegangan yang terjadi pada dasar
fondasi, kPa atau kN/m2.
σ t = daya dukung tanah, kPa atau kN/m2.
Pu,k = beban aksial terfaktor pada kolom, kN.
B dan L = ukuran lebar dan panjang fondasi, m.
Mu,x dan Mu,y = momen terfaktor kolom searah sumbu X
dan sumbu Y, kNm.
q = berat terbagi rata akibat beban sendiri
fondasi ditambah berat tanah di atas
fondasi, kN/m2.
hf = tebal fondasi ≥ 150 mm.
ht = tebal tanah di atas fondasi, m
γc dan γt = berat per volume dari beton dan tanah,
kN/m3.
70
Setelah B dan L ditetapkan, kemudian hitung tegangan
maksimal dan minimal yang terjadi pada tanah dasar dengan rumus
berikut:
σ maks =Pu , k
B . L +
M u , x
1/6B . L2+ M u , y
1/6 L. B2 + q (2.78c)
σ min =Pu , k
B . L -
M u , x
1/6 B . L2- M u , y
1/6 L. B2 + q (2.78d)
(b). Mengontrol Kuat Geser 1 Arah.
Kuat geser 1 arah dikontrol dengan cara sebagai berikut:
(1). Dihitung gaya geser (Vu) akibat tekanan
tanah ke atas
Vu = a.B.(σmaks + σ a
2 ) (2.79a)
σa = σmin + ( L−a ) . (σ a−σmin )L
(2.79b)
(2). Hitung gaya geser yang dapat ditahan oleh beton (Vc) (Pasal
13.3.1.1)
Vc = √ f c'
6.B.d (2.80a)
Dan √ f c' harus ≤ 25/3 MPa (Pasal 13-1-2) (2.80b)
(3). Kontrol: Vu harus ≤ Ø.Vc dengan Ø = 0,75 (2.80c)
(c). Mengontrol Kuat Geser 2 Arah.
Kuat geser 2 arah (geser pons) dikontrol dengan cara sebagai
berikut:
(1). Hitung gaya geser pons terfaktor (Vu)
71
Vu = {B.L – (b + d).(h + d)}.( σmaks+σmin
2 ) (2.80)
(2). Hitung tulangan geser yang ditahan oleh beton (Vc) dengan
memilih yang terkecil dari nilai Vc berikut (Pasal 13.12.2.1):
Vc = (1+2βc
).√ f c' . b0. d
6 (2.81a)
Vc = (2+α s . d
b0).√ f c
' . b0. d
12 (2.81b)
Vc = 1/3.√ f c'.b0.d (2.81c)
Keterangan:
βc = rasio dari sisi panjang terhadap sisi
pendek pada kolom, daerah beban
terpusat, atau daerah reaksi.
b0 = keliling dari penampang kritis dari fondasi
= 2.{(b + d).(h + d)}, dalam mm.
αs = suatu konstanta yang digunakan untuk menghitung Vc,
yang nilainya bergantung pada letak fondasi (lihat Gambar
2.28).
= 40 untuk fondasi kolom dalam.
= 30 untuk fondasi kolom tepi.
= 20 untuk fondasi kolom sudut.
(3). Kontrol: Vu harus ≤ Ø.Vc dengan Ø = 0,75 (2.82)
(a). Menghitung Tulangan Fondasi
Menurut pasal 17.4.3 SNI 03-2847-2002, untuk fondasi telapak
satu arah dan fondasi telapak bujursangkar, tulangan harus tersebar
merata pada seluruh lebar fondasi telapak. Untuk fondasi telapak
persegi panjang (lihat Pasal 17.4.4 SNI 03-2847-2002), tulangan
yang sejajar sisi panjang harus tersebar merata pada seluruh lebar
fondasi, sedangkan tulangan yang sejajar sisi pendek dibagi menjadi
2 bagian, yaitu tulangan pada jalur pusat (dipasang lebih rapat) dan
tulangan pada jalur tepi (dipasang lebih renggang).
72
Dalam praktik di lapangan biasanya fondasi dicor langsung di
atas tanah. Menurut Pasal 9.7.1 SNI 03-2847-2002, selimut beton
yang selalu berhubungan dengan tanah diambil minimal 75 mm.
Pada fondasi telapak bujursangkar, cukup dihitung tulangan
satu arah saja, dan untuk arah lainnya dibuat sama dengan arah
pertama. Perhitungan tulangan sebaiknya dilaksanakan pada
tulangan yang menempel di atas, yaitu dengan nilai ds = 75 + D +
D/2. Pada fondasi telapak persegi panjang perhitungan tulangan
dilaksanakan seperti berikut:
(1). Hitung tulangan sejajar sisi panjang, dilak-
sanakan dengan urutan:
a. Hitung σx = tegangan tanah pada jarak x
σx = σmin + L−X
L.(σmaks – σmin) (2.83)
b. Hitung momen yang terjadi pada fondasi (Mu)
Mu = 1/12.σx.x2 + 1/3.(σmaks – σx).x2 (2.84)
c. Hitung faktor momen pikul K dan Kmaks
K = Mu
(ϕ .b .d2 ) (2.85a)
Keterangan: b = 100 mm, ϕ = 0,8
Kmaks = 382,5.β1 . (600+ f y−225.β1 ) . f c
'
(600+ f y ) (2.85b)
Syarat: K harus ≤ Kmaks (2.85c)
73
Gambar 2.27. Nilai βc untuk DaerahPembebanan Bukan Persegi.
Gambar 2.28. Letak Kolom pada Denah Gedung.
Sumber: Asroni, H. Ali. 2010
d. Hitung tinggi blok tegangan beton tekan ekuivalen (a)
a = (1−√1− 2. K
0,85. f c' ).d (2.86)
e. Hitung As,u dengan rumus:
As,u = 0,85. f c
' . a . bf y
dengan b = 1000mm (2.87a)
Jika fc’ ≤ 31,36 MPa maka As,u ≥ 1,4.b.d / fy
(Pasal 12.5.1) (2.87b)
Jika fc’ > 31,36 MPa maka As,u ≥ √ f c'.b.d / (4.fy)
(Pasal 12.5.1) (2.87c)
f. Hitung jarak tulangan (s)
s = (1/4.π.D2.S) / As, dengan S = 1000 mm (2.88a)
Pasal 12.5.4: s ≤ 2.hf dan s ≤ 450 mm (2.88b)
g. Digunakan tulangan Dx – s, luasnya
As = (1/4.π.x2.S) / s (2.88c)
(2). Hitung tulangan sejajar sisi pendek, dilaksanakan dengan urutan
berikut:
a. Diambil nilai tegangan tanah maksimal (
σ maks) dari persamaan (2.78c)
b. Hitung momen pada fondasi (Mu)
Mu = ½.σmaks.x2 (2.89)
c. Hitung nilai K, a, dan As,u dengan per-
samaan (2.85a) sampai dengan persamaan
(2.87c).
d. Untuk jalur pusat selebar B:
1. Hitung: As,pusat = (2.B.As,u) / (L + B) (2.76a)/diulang
2. Hitung jarak tulangan (s)
s = (1/4.π.D2.S) / As,pusat dengan S = 1000 mm (2.90)
Pasal 12.5.4: s ≤ 2.h dan s ≤ 450 mm (2.88b)/diulang
3. Hitung luas tulangan Dx – s,
As = (1/4.π.x2.S) / s (2.88c)/diulang
e. Untuk jalur tepi selebar (L – B)/2:
74
1. Hitung: As,tepi = As,u – As,pusat (2.76b)/diulang
2. Hitung jarak tulangan (s’)
s’ = (1/4.π.D2.S) / As,pusat dengan S = 1000 mm (2.91)
s’ harus memenuhi persyaratan (2.88b).
3. Digunakan tulangan Dx – s’,
Luasannya As = (1/4.π.x2.S) / s’ (2.88c)/diulang
Pada penulangan fondasi perlu dikontrol panjang penyaluran
tegangan tulangan (λd atau λdh) dengan rumus berikut:
(1). Panjang Penyaluran Tulangan Tarik
Pasal 14.2.3 SNI 03-2847-2002 memberi persamaan untuk
panjang penyaluran tulangan tarik seperti berikut:
λd = 9. f y
10.√ f c'
(α . β ) . γ . λ
( c+K tr
db) .db (2.92a)
α .β ≤ 1,7 ; (c + Ktr)/db ≤ 2,5 dan √ f c' ≤ 25/3.Mpa (2.92b)
Keterangan:
λd = panjang penyaluran, mm λd harus ≥ 300 mm
db = diameter batang tulangan, mm.
α = factor lokasi penulangan
= 1,3 jika tulangan berada di atas beton setebal ≥ 300 mm
= 1,0 untuk tulangan lain
β = factor pelapis
= 1,5 jika batang atau kawat tulangan berlapis epoksi dengan
selimut beton kurang dari 3.db atau spasi bersih kurang
dari 6.db
75
= 1,2 jika batang atau kawat tulangan berlapis epoksi
lainnya
= 1,0 jika tulangan tanpa pelapis
γ = faktor ukuran batang tulangan
= 0,8 jika digunakan tulangan D-19 atau yang lebih kecil
= 1,0 jika digunakan tulangan D-22 atau lebih besar
λ = factor beton agregat ringan
= 1,3 jika digunakan beton agregat ringan
= √ f c' / (1,8.fct) tetapi tidak kurang dari 1,0
(fct adalah kuat tarik belah rata-rata beton agregat ringan,
MPa).
= 1,0 jika digunakan beton normal
c = spasi antar tulangan atau dimensi selimut beton (diambil
nilai terkecil), mm.
Ktr = factor tulangan sengkang, Ktr = A tr . f yt
10. s . n
(untuk penyederhanaan, boleh dipakai Ktr = 0 (Pasal
14.2.4)).
Atr = luas penampang total dari semua tulangan tranversal yang
berada dalam rentang daerah spasi s dan yang memotong
bidang belah potensial melalui tulangan yang disalurkan,
mm.
fyt = kuat leleh yang disyaratkan untuk tulangan transversal,
Mpa.
s = spasi maksimal sumbu ke sumbu tulangan tranversal yang
dipasang di sepanjang λd, mm.
n = jumlah batang atau kawat yang disalurkan di sepanjang
bidang belah.
Persamaan (2.92a) boleh disederhanakan dengan menggunakan
nilai batas bawah untuk parameter c dan Ktr yang umum, seperti pada
Tabel 2.13.
76
Tabel 2.13. Persamaan Untuk Panjang Penyaluran Tulangan Tarik
(Pasal 4.2.2)
KondisiBatang D-19 dan lebih kecil atau
kawat ulir
Batang D-22 atau lebih besar
Spasi bersih batang-batang yang disalurkan atau disambung tidak kurang dari db, selimut beton bersih tidak kurang dari db, dan sengkang atau sengkang ikat yang dipasang di sepanjang λd tidak kurang dari persyaratan minimal sesuai peraturan atau spasi bersih batang-batang yang disalurkan atau disambung tidak kurang dari 2.db dan selimut beton bersih tidak kurang dari db.
λd = 12. f y . α . β . λ
25.√ f c' .db λd =
3. f y . α . β . λ
5.√ f c' .db
Kasus-kasus yang lainnya λd =
18. f y . α . β . λ
25.√ f c' .db λd =
9. f y . α . β . λ
10.√ f c' .db
Sumber: Asroni, H. Ali. 2010
Pasal 14.2.4 SNI 03-2847-2002 juga membolehkan
menggunakan reduksi panjang penyaluran apabula luasan
tulangan terpasang pada komponen lentur melebihi luasan
tulangan yang dibutuhkan dari analisis, dengan memakai faktor
pengali luas tulangan f berikut:
a. Tidak direncanakan tahan gempa, f = A s ,u
A s , penampang(2.93a)
b. Struktur direncanakan tahan gempa f = 1,0 (2.93b)
(2). Panjang Penyaluran Tulangan Tekan
77
Panjang penyaluran untuk tulangan yang berada pada kondisi
tekan diberi notasi sama dengan panjang penyaluran untuk
tulangan tarik, yaitu λd, tetapi nilainya lebih kecil (minimal 200
mm). panjang penyaluran tulangan untuk tulangan tekan
dihitung berdasarkan Pasal 14.3 SNI 03-2847-2002, dengan
persamaan berikut:
λd = λdb x f dan λd ≥ 200 mm (2.94a)
λdb = db . f y
4.√ f c' (2.94b)
λdb harus ≥ 0,04.db.fy (2.94c)
keterangan:
λd = panjang penyaluran tulangan, mm.
λdb = panjang penyaluran dasar, mm.
f = factor pengali
=A s ,u
A s , penampang jika tulangan terpasang melebihi (2.94d)
Kebutuhan.
= 0,75 jika tulangan dilungkupi sengkang D-13 dan (2.94e)
Berspasi sumbu ke sumbu ≤ 100 mm.
(3). Angkur (Kait) Tulangan
Kait tulangan digunakan sebagai angkur tambahan pada suatu
keadaan apabila daerah angkur yang tersedia pada elemen
struktur tidak mencukupi kebutuhan panjang penyaluran
tulangan lurur. Panjang penyaluran tulangan kait diberi notasi
dengan λdh. Bentuk kait standar yang biasa digunakan pada
struktur beton ada 2 macam, yaitu kait 900 dan kait 1800 seperti
terlukis pada Gambar 2.29.
78
Pada Gambar 2.29, jari-jari luar bengkokan tulangan (r)
ditentukan berikut (Pasal 14.5.3 SNI 03-2847-2002):
1. Untuk diameter 10 mm hingga 25 mm, r ≥ 4.db (2.95a)
2. Untuk diameter 29 mm hingga 36 mm, r ≥ 5.db (2.95b)
3. Untuk diameter 43 mm hingga 57 mm, r ≥ 6.db (2.95c)
Panjang penyaluran minimal yang dibutuhkan untuk tulangan
kait ini lebih kecil dari pada panjang penyaluran tulangan tekan,
yaitu 150 mm. menurut Pasal 14.5.1 SNI 03-2847-2002, panjang
penyalurang tulangan kait ditentukan berdasarkan persamaan
berikut:
λdh = λhb.β.λ.f.f1.f2.f3 (2.96a)
λdh ≥ 8.db dan λdh ≥ 150mm (2.96b)
λhb = 100.db / √ f c' (2.96c)
keterangan :
λdh = panjang penyaluran tulangan kait, mm.
λhb = panjang penyaluran dasar, mm.
β = faktor tulangan berlapis epoksi = 1,2
λ = faktor beton agregat ringan = 1,3
f = faktor tulangan lebih As,u / As,terpasang
f1 = faktor kuat leleh batang tulangan fy / 400
f2 = faktor selimut beton = 0,7
(jika batang ≤ D-36 dengan tebal selimut samping ≥ 60 mm,
kait 900 dan selimut pada perpanjangan kaitan ≥ 50 mm).
f3 = factor sengkang atau sengkang ikat = 0,8
(jika batang ≤ D-36 dengan kait yang secara vertical atau
horizontal tercakup dalam sengkang atau sengkang ikat yang
79
Gambar 2.29. Kait Tulangan StandarSumber: Asroni, H. Ali. 2010
dipasang sepanjang panjang penyaluran λdh dengan spasi ≤ 3
x diameter batang ikat).
(e). Mengontrol Kuat Dukung Fondasi
Kuat dukung fondasi dikontrol dengan persamaan berikut (Pasal
12.17.1 SNI 03-2847-2002):
Pu,k ≤ Pu (2.77a)
Pu = ϕ.0,85.fc’.A1 dengan ϕ = 0,7 (2.77b)
2.4. Analisis Struktur (Gaya-Gaya Dalam) dengan SAP 2000
Program SAP 2000 adalah program analisa struktur yang didasarkan
dari metode elemen hingga, dalam hal tersebut struktur balok atau kolom
diidealisaikan sebagai elemen FRAME. Tetapi dalam desain, penampang
balok memerlukan tahapan yang berbeda dari penampang kolom sehingga
pada saat pemasukan data untuk frame section perlu informasi khusus
apakah penampang tersebut digolongkan sebagai balok atau sebagai kolom.
Asumsi Desain
Program SAP2000 akan menghitung dan melaporkan luas tulangan
baja perlu untuk lentur dan geser berdasarkan harga momen dan geser
maksimum dari kombinasi beban dan juga kriteria-kriteria perencanaan lain
yang ditetapkan untuk setiap Code yang diikuti. Tulangan yang diperlukan
tadi akan dihitung berdasarkan titik-titik yang dapat dispesifikasikan dalam
setiap panjang element. Semua balok hanya dirancang terhadap momen
lentur dan geser pada sumbu mayor saja, sedangkan dalam arah minor balok
dianggap menyatu dengan lantai sehingga tidak dihitung. Jika dalam
kenyataannya perlu perancangan lentur dalam arah minor (penampang bi-
80
aksial) maka perencana harus menghitung tersendiri, termasuk jika timbul
torsi.
Dalam mendesain tulangan lentur sumbu mayor, tahapan yang
dilakukan adalah mencari momen terfaktor maksimum (untuk kombinasi
beban lebih dari satu) dan menghitung kebutuhan tulangan lenturnya.
Penampang balok didesain terhadap momen positif Mu+ dan momen negatif
Mu- maksimum dari hasil momen terfaktor envelopes yang diperoleh dari
semua kombinasi pembebanan yang ada. Momen negatif pada balok
menghasilkan tulangan atas, dalam kasus tersebut maka balok selalu
dianggap sebagai penampang persegi. Momen positif balok menghasilkan
tulangan bawah, dalam hal tersebut balok dapat direncanakan sebagai
penampang persegi atau penampang balok-T. Untuk perencanaan tulangan
lentur, pertama-tama balok dianggap sebagai penampang tulangan tunggal,
jika penampang tidak mencukupi maka tulangan desak ditambahkan sampai
pada batas tertentu. Dalam perancangan tulangan geser , tahapannya
meliputi perhitungan gaya geser yang dapat ditahan beton Vc, kemudian
menghitung nilai Vs yaitu gaya geser yang harus dipikul oleh tulangan baja
dan selanjutnya jumlah tulangan geser (sengkang) dapat ditampilkan.
Langkah-langkah menginput data dalam SAP 2000 sebagai berikut :
1. Menentukan geometri struktur
a. Pada tampilan utama pilih (new model) untuk memulai struktur baru
b. Kemudian akan muncul New Model Template seperti. Dalam memulai
pembuatan model baru jangan lupa satuan yang digunakan, kemudian
pilih portal frame.
c. Setelah pilih portal frame maka akan muncul dialog box. Kemudian
isi data sesuai data bangunan
Setelah OK akan terbentuk struktur
2. Pilih joint pada tumpuan, kemudian klik Assign > Joint > Restraint (pilih
tumpuan jepit)
3. Penentuan material dan penampang yang digunakan
81
a. Penentuan material yang digunakan pada menu define>materials.
Setelah menu dipilih muncul dialog box.
b. Dalam hal ini digunakan material beton (concrete)
c. Tentukan M/V, W/V dan nilai E yang digunakan.
Penentuan penampang dari frame yang digunakan pada combo box
kedua pilih add rectangular kemudian pilih tombol add new property.
d. Tentukan nilai T3 dan T2 dari penampang
e. Setelah define penampang, lakukan Assign penampang pada frame
yang sesuai.
4. Penentuan jenis pembebanan
a. Penentuan jenis pembebanan dengan menu define > load case.
b. Kemudian muncul dialog box di bawah isikan load name (mati dan
hidup).
c. Untuk beban mati ganti DEAD menjadi ‘mati’ kemudian klik Modify
Load.
d. Untuk beban hidup tulis ‘hidup’ kemudian type ganti dengan Live klik
Add New Load.
5. Penentuan fungsi respons spectrum
a. Pilih Menu Define>Function>Response Spectrum
b. Kemudian muncul dialog box, Pilih User Function
c. Isikan sesuai dengan data dari bangunan
6. Penentuan analysis case
a. Penentuan modal Analysis dengan memilih menu Define>Analysis
Case. Kemudian muncul dialog box.
b. Pilih MODAL kemudian klik Modify/Show Case.
c. Isikan dialog box, tentukan maximum number of modes 3.
7. Penentuan analisis respons spectrum
a. Penentuan Analysis Case dengan memilih menu Define > Analysis
Case.
b. Pada Dialog BoxAnalysis Case pilih tombol Add New Case muncul
dialog box.
c. Ganti Analysis Case type dengan respons spectrum dan isikan data.
82
8. Penentuan kombinasi pembebanan
9. Penentuan beban
a. Sebelum menentukan beban yang bekerja pilih dulu batang yang
dikenai beban
b. Penentuan beban batang dengan menu Assign>frame
Loads>Distributed.
c. Isikan data sesuai dengan soal yang sudah ditentukan jangan lupa
satuan yang digunakan dan jenis pembebanan yang bekerja.
d. Pilih dulu joint yang dikenai beban titik
e. Penentuan beban titik dengan menu Assign >Joint Loads>Forces.
f. Isikan sesuai dengan beban titik yang bekerja.
10. Penentuan Constraint
a. Pilih semua joint pada tingkat 1, kemudian pilih menu Assign>Joint
>Constraint.
b. Muncul dialog boxAssign/Define constraint. Pilih pada combo box
Diapraghma kemudian klik Add new Constraint.
c. Pada Dialog boxDiapraghma constraint beri nama diapraghma
dengan DIAPH1 untuk tingkat 1. Pada Constraint axis dipilih Z
Axis, hal ini menunjukkan bahwa arah diapraghma tegak lurus
dengan sumbu Z.
d. Kemudian diulang untuk lantai 2 dan 3 dengan diapraghma yang
berbeda yaitu DIAPH2 dan DIAPH3.
11. Penentuan massa
a. Pilih dulu joint yang dikenai massa joints.
b. Kemudian pilih menu Assign >Joint>Masses
c. Isikan data yang sudah ditentukan pada arah 1 (direction 1).
12. Penentuan Available DoF yang bekerja
13. Run SAP2000 dengan tombol kemudian pilih Run Now dan kemudian
akan muncul Mode Shape sebagai berikut.
14. Hasil dalam bentuk tabulasi
Dipilih menu Display >Show Analysis Result Table.
83