bab ii landasan teori 2.1. fraud (kecurangan) defenisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2038/2/bab...
TRANSCRIPT
11
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Fraud (Kecurangan)
2.1.1. Defenisi Fraud (Kecurangan)
Fraud menurut Pusdiklatwas BPKP (2002) adalah sebagai berikut,
“Fraud adalah suatu perbuatan melawan atau melanggar hukum yang
dilakukan oleh orang-orang dari dalam atau dari luar organisasi, dengan
maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok secara
langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain."
Fraud menurut SPA 240 yang diterbitkan IAPI (berlaku 1 Januari 2013)
adalah sebagai berikut,
“Fraud adalah suatu tindakan yang disengaja oleh satu individu atau
lebih dalam manajemen atau pihak yang bertanggungjawab atas tata
kelola, karyawan, dan pihak ketiga yang melibatkan penggunaan tipu
muslihat untuk memperoleh satu keuntungan secara tidak adil atau
melanggar hukum.”
Kecurangan berkenaan dengan adanya keuntungan yang diperoleh
seseorang dengan menghadirkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya. Di dalamnya termasuk unsur-unsur tak terduga, tipu daya,
licik, dan tidak jujur yang merugikan orang lain. Kecurangan (fraud) juga perlu
dibedakan dengan kekeliruan (error). Faktor yang membedakan antara
kecurangan dan kekeliruan adalah apakah tindakan yang mendasarinya, yang
12
berakibat terjadinya salah saji dalam laporan keuangan, berupa tindakan yang
disengaja atau tidak disengaja (IAI, 2001)
2.1.2. Klasifikasi Fraud (Kecurangan)
Secara skematis Association of Certified Fraud Examiners (ACFE)
menggambarkan occupational fraud dalam bentuk fraud tree. Pohon ini
menggambarkan cabang-cabang dari fraud dalam hubungan kerja, beserta
ranting dan anak rantingnya. Occupational fraud tree ini memiliki tiga cabang
utama, yaitu:
1. Korupsi (Corruption)
Black’s Law Dictionary dalam Wells (2007) mendefenisikan “corrupt”
sebagai spoiled, tainted, depraved, debased, morally degenerate. Skema
korupsi (corruption schemes) dapat dipecah menjadi empat klasifikasi: (1)
pertentangan kepentingan (conflict of interest), (2) suap (bribery), (3)
pemberian ilegal (illegal gratuity), dan (4) pemerasan ekonomi (economic
extortion).
2. Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation)
Penyalahgunaan aset (asset misappropriation) terbagi menjadi dua
kategori, yaitu: (1) penyalahgunaan kas (cash misappropriation) yang dapat
dilakukan dalam bentuk skimming, larceny, atau fraudulent disbursement, dan
(2) penyalahgunaan non-kas (non-cash missapropriation) yang dapat
13
dilakukan dalam bentuk penyalahgunaan (misuse) atau pencurian (larceny)
terhadap persediaan dan aset-aset lainnya.
3. Kecurangan Laporan Keuangan (Fraudulent Financial Statement)
Kecurangan laporan keuangan (fraudulent financial statement) dapat
dilakukan melalui beberapa cara, yaitu dengan (1) mencatat pendapatan-
pendapatan fiktif (fictitious revenues), (2) mencatat pendapatan (revenue)
dan/atau beban (expenses) dalam periode yang tidak tepat, (3)
menyembunyikan kewajiban dan beban (concealed liabilities and expenses)
yang bertujuan untuk mengecilkan jumlah kewajiban dan beban agar
perusahaan tampak lebih menguntungkan, (4) menghilangkan informasi atau
mencantumkan informasi yang salah secara sengaja dari catatan atas laporan
keuangan (improper disclosure), atau (5) menilai aset dengan tidak tepat
(improper asset valuation). Statements on Auditing Standards No.99 AU
section 316 menyebutkan bahwa tiga kondisi yang secara umum
menyebabkan kecurangan (fraud) terjadi, yaitu: (1) adanya dorongan atau
tekanan (incentive or pressure) yang menjadi motivasi bagi pelaku
kecurangan (fraud) untuk melakukan kecurangan (fraud), (2) adanya peluang
atau kesempatan (opportunity) yang mendukung pelaku untuk melakukan
kecurangan (fraud), dan (3) adanya rasionalisasi (razionalization), yaitu
pembenaran terhadap perilaku untuk berbuat kecurangan oleh pihak-pihak
yang melakukan tindakan kecurangan tersebut.
14
2.2. Kemampuan Auditor Mendeteksi Kecurangan (Fraud)
Seorang auditor sangat dituntut akan kemampuannya dalam memberikan jasa
yang terbaik sesuai dengan kebutuhan perusahaan ataupun organisasi. Menurut
Hartan (2016), kemampuan auditor merupakan keahlian dan kemahiran yang
dimiliki untuk menjalankan tugas-tugasnya, termasuk dalam pengumpulan bukti-
bukti, membuat judgement, mengevaluasi pengendalian intern, serta menilai risiko
audit.
Kemampuan auditor dalam menteksi kecurangan adalah kualitas dari seorang
audior dalam menjelaskan kekurangwajaran laporan keuangan yang disajikan
perusahaan dengan mengidentifikasi dan membuktikan kecurangan (fraud)
tersebut (Nasution dan Fitriany dalam Suciati, 2016). Dalam melakukan
pendeteksian kecurangan auditor diharuskan memiliki beberapa
kemampuan/keterampilan yang dapat mendukungnya dalam melakukan tugas
pendeteksian, seperti (1) keterampilan teknis (technical skills) yang meliputi
kompetensi audit, teknologi informasi dan keahlian investigasi, (2)
keahlian/kemampuan untuk dapat bekerja dalam sebuah tim, auditor dapat
menerima ide-ide, pengetahuan, dan keahlian orang lain dengan komunikasi dan
berpandangan terbuka, dan (3) kemampuan menasehati (mentoring skill),
kemampuan ini harus dapat dimiliki oleh auditor senior dimana seorang senior
harus dapat menuntun para juniornya dalam proses investigasi (Nasution dan
Fitriany dalam Suciati, 2016).
15
Tanggungjawab dalam mendeteksi kecurangan berada pada tingkat
manajemen, meskipun demikian auditor harus ikut serta dalam memberikan
kontribusi kepada manajemen. Kontribusi auditor dapat dilakukan dengan
memberikan peringatan dini terhadap potensi terjadinya kecurangan serta
rekomendasi perbaikan terhadap kelemahan sistem pengendalian intern.
Rekomendasi tersebut dapat berupa perbaikan kebijakan dan prosedur untuk
mencegah dan mendeteksi kecurangan lebih awal, sehingga dampak atau risiko
kecurangan dapat diminimalisir.
Dalam penelitian ini kemampuan mendeteksi kecurangan berarti proses
menemukan atau menentukan suatu tindakan ilegal yang dapat mengakibatkan
salah saji dalam pelaporan keuangan yang dilakukan secara sengaja. Cara yang
dapat digunakan untuk mendeteksi kecurangan adalah dengan melihat tanda,
sinyal atau red flags suatu tindakan yang diduga menyebabkan atau potensial
menimbulkan kecurangan.
Pendapat-pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa kemampuan
auditor mendeteksi kecurangan adalah keahlian ataupun kemahiran yang dimiliki
auditor dalam menganalisis ada tidaknya kecurangan pada laporan keuangan yang
mungkin dapat terjadi. Kecurangan ini biasanya dilakukan oleh pihak-pihak yang
tidak bertanggungjawab untuk mencari keuntungan dengan cara yang instan.
16
2.3. Konsep Segitiga Kecurangan (Fraud Triangle)
Banyak pakar yang mengemukakan mengenai konsep penyebab kecurangan,
salah satu konsep penyebab kecurangan yang saat ini sudah digunakan secara luas
dalam praktik Akuntan Publik yaitu konsep segitiga kecurangan. Sedangkan
berdasarkan teori segitiga kecurangan merupakan teori yang harus dimasukkan ke
dalam rencana audit kecurangan. Teori ini menyatakan bahwa kecurangan terjadi
karena adanya tiga elemen seperti tekanan, kesempatan, dan pembenaran. Tiga
elemen kecurangan hidup bersama pada tingkat yang berbeda di dalam organisasi
dan mempengaruhi setiap individu secara berbeda (Karyono dalam Suciati, 2016).
Menurut Donald R. Cressey (1953) dalam Tuanakotta (2010), skema segitiga
kecurangan terdiri dari tekanan (pressure), kesempatan (perceived opportunity),
dan juga pembenaran (rationalization) gambaran dari teori Fraud Triangle dapat
dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Teori Segitiga Kecurangan (Fraud Triangle)
(Tuanakotta, 2010)
PERCEIVED
OPPORTUNITY
FRAUD
RATIONALIZATION PRESSURE
17
Sudut pertama dari segitiga itu diberi judul elemen tekanan (pressure) yang
merupakan perceived non-shareable financial need. Sudut keduanya elemen
kesempatan (perceived opportunity). Sudut ketiga, pembenaran (rationalization).
1. Elemen Tekanan (Pressure/ incentive)
Elemen tekanan (pressure) adalah tekanan atau dorongan orang untuk
melakukan kecurangan. Dalam hal keuangan, misalnya penggelapan uang
perusahaan yang bermula dari suatu tekanan yang menghimpit, maka orang yang
melakukan hal tersebut sedang mempunyai kebutuhkan keuangan yang mendesak,
yang tidak dapat diceritakan kepada orang lain. Konsep yang penting di sini
adalah tekanan yang menghimpit hidupnya (berupa kebutuhan akan uang),
padahal ia tidak bisa berbagi dengan oranglain. Sedangkan tekanan dalam hal non
keuangan juga dapat mendorong seseorang untuk melakukan fraud, misalnya
tindakan untuk menutupi kinerja yang buruk karena tuntutan pekerjaan untuk
mendapatkan hasil yang baik (Zimbelman dan Albrecht dalam Suciati, 2016).
2. Tekanan Kesempatan (Perceived Opportunity)
Elemen kesempatan (perceived opportunity) adalah peluang memungkinkan
terjadinya kecurangan.Menurut Donald R. Cressey dalam Tuanakotta (2010), ada
dua persepsi tentang peluang ini. Pertama, general information, yang merupakan
pengetahuan bahwa kedudukan yang mengandung bahwa kedudukan yang
18
mengandung trust atau kepercayaan, dapat dilanggar tanpa konsekuensi.
Pengetahuan ini diperoleh dari apa yang ia dengar atau lihat, misalnya
pengalaman orang lain melakukan fraud dan tidak ketahuan atau tidak dihukum
atau terkena sanksi. Kedua, technical skill atau keahliah/ keterampilan yang
dibutuhkan untuk melaksanakan kejahatan tersebut. Ini biasanya keahlian atau
keterampilan yang dipunyai orang itu dan yang menyebabkan ia mendapat
kedudukan tersebut. Dari ketiga elemen dalam fraud triangle, kesempatan
memiliki kontrol yang posisi paling atas. Organisasi perlu membangun sebuah
proses, prosedur dan kontrol yang membuat karyawan tidak dapat melakukan
kecurangan dan yang efektif mendeteksi aktivitas kecurangan jika hal itu terjadi
(Zimbelman dan Albrecht dalam Suciati, 2016).
3. Elemen Pembenaran (Rationalization)
Elemen pembenaran (rationalization) menjadi elemen penting dalam
terjadinya kecurangan, dimana pelaku mencari pembenaran atas perbuatannya.
Rasionalisasi merupakan bagian dari fraud triangle yang paling sulit diukur
(Zimbelman dan Albrecht dalam Suciati, 2016). Mencari pembenaran sebenarnya
merupakan bagian yang harus ada dari kejahatan itu sendiri, bahkan merupakan
bagian dari motivasi untuk melakukan kejahatan. Rationalization diperlukan agar
si pelaku dapat mencerna perilakunya yang melawan hukum untuk tetap
mempertahankan jati dirinya sebagai orang yang dipercaya. Setelah kejahatan
dilakukan, rationalization ini ditinggalkan, karena tidak diperlukan lagi.
19
Dari ketiga elemen fraud triangle, kesempatan mengendalikan fraud
terbesar adalah opportunity (Tuanakotta dalam Suciati, 2016). Organisasi
seharusnya peduli dan serius serta mampu untuk sebuah proses, prosedur dan
kontrol serta tata kelola yang membuat semua personil dalam organisasi tidak
memiliki kesempatan melakukan fraud dan yang efektif dapat mendeteksi fraud
jika hal ini terjadi. Namun, opportunity sangat berkaitan dengan integritas
seseorang. Jika karyawan dalam perusahaan memiliki integritas yang rendah dan
perusahaan tidak menerapkan pengendalian internal yang kuat sehingga
memunculkan kesempatan melakukan fraud maka resiko terjadinya fraud dalam
perusahaan tersebut akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya (Priantara dalam
Suciati, 2016).
2.4. Skeptisme Profesional (SP)
Skeptisme profesional merupakan sikap auditor yang tidak gampang percaya
pada bukti audit yang diberikan klien, sehingga dalam melakukan tugasnya
auditor selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis bukti audit
yang diberikan. Bukti audit tersebut dikumpul dan dinilai selama proses audit,
sehingga selama proses audit seorang auditor harus menerapkan sikap skeptisme
profesional.
American Institude of Certified Publik Accountant (AICPA) mendefenisikan
skeptisme profesional sebagai:
20
“Profesional skepticism in auditing implies an attitude that includes a
questioning mind and a critical assessment of audit evidence without being
absessively suspicious or skeptical. The auditors are expected to exercise
profesional skepticism in conducting the audit, and in gethering evidence
suffcient to support to rufutr management's assetion.”(AU 316 AICPA)
Dapat diartikan pengertian skeptisme profesional menurut AICPA adalah
sikap yang mencakup pikiran yang selalu bertanya dan penilaian kritis atas bukti
audit tanpa obsesif mencurigakan atau skeptis.
Pemeriksa (auditor) secara profesional bertanggungjawab merencanakan dan
melaksanakan pemeriksaan untuk memenuhi tujuan pemeriksaan. Dalam
melaksanakan tanggungjawab profesionalnya, pemeriksa harus memahami
prinsip-prinsip pelayanan kepentingan publik serta menjunjung tinggi integritas,
objektivitas, dan independensi (Arens dan Loebbecke dalam Suciati, 2016).
Pemeriksaan harus memiliki sikap untuk melayani kepentingan publik,
menghargai dan memelihara kepercayaan publik, dan mempertahankan
profesionalisme. Tanggung jawab ini sangat penting dalam pelaksanaan
pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara (SKPN, 2007).
2.5. Independensi Auditor (IA)
Independensi merupakan salah satu komponen etika yang harus dijaga oleh
akuntan publik. Independen merupakan tidak mudah dipengaruhi, karena ia
melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum (Sukrisno, 2017). Dengan
demikian tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapa pun, sebab
21
bagaimanapun sempurnanya keahlian teknis yang dimiliki, ia akan kehilangan
sikap tidak memihak yang justru sangat penting untuk mempertahankan
kebebasan pendapatnya. Menurut Arens dan Loebbecke (2004) dalam Suciati
(2016) sikap mental independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan
(in apperance). Sukrisno (2017) mengklasifikasikan aspek independensi seorang
auditor menjadi 3 aspek:
1. Independensi yang dilihat dari penampilannya di struktur organisasi
perusahaan (Independent In Appearance). In appearance, auditor adalah
independen karena merupakan pihak di luar perusahaan sedangkan internal
auditor tidak independen karena merupakan pegawai perusahaan.
2. Independensi dalam kenyataannya/ dalam menjalankan tugasnya (Independent
In Fact). In Fact, auditor seharusnya independen, sepanjang dalam
menjalankan tugasnya memberikan jasa profesional, bisa menjaga integritas
dan selalu mentaati kode etik, profesi akuntan publik dan standar profesional
akuntan publik. Jika tidak demikian, auditor in fact tidak independen. In fact,
internal auditor bisa independen jika dalam menjalankan tugasnya selalu
mematuhi kode etik internal auditor dan professional practise framework of
internal auditor, jika tidak demikian internal auditor in fact tidak independen.
3. Independensi dalam pikiran (Independent In Mind). Auditor mendapatkan
temuan audit yang memiliki indikasi pelanggaran atau korupsi atau yang
memerlukan audit adjustment yang material. Kemudian berpikir untuk
menggunakan audit findings tersebut untuk memeras auditee. Walaupun baru
22
dipikikan, belum dilaksanakan, in-mind auditor sudah kehilangan
independensinya.
2.6. Beban Kerja
Beban kerja atau (workload) adalah jumlah pekerjaan yang harus dilakukan
oleh seseorang. Setiawan dan Fitriany dalam Suryanto, dkk (2017) menyebutkan
bahwa beban kerja auditor dapat dilihat dari banyaknya jumlah klien yang harus
ditangani oleh seorang auditor atau terbatasnya waktu auditor untuk melakukan
proses audit.
Beban kerja seorang auditor biasanya berhubungan dengan busy season yang
pada umumnya terjadi pada kuartal pertama awal tahun. Penyebab terjadinya busy
season dari auditor adalah karena banyaknya perusahaan yang memiliki tahun
fiskal yang berakhir pada bulan Desember. Menurut Nasution dalam Suryanto,
dkk (2017) kelebihan pekerjaan pada saat busy season akan mengakibatkan
kelelahan dan ketatnya time budget bagi auditor sehingga akan menghasilkan
kualitas audit yang rendah.
2.7. Pengalaman Kerja
Pengalaman menjadi indikator penting bagi kualifikasi profesional seorang
auditor (AU Seksi 110 Paragraf 04). Pengalaman audit adalah pengalaman yang
diperoleh auditor selama melakukan proses audit laporan keuangan, baik dari segi
lamanya waktu maupun banyaknya penugasan yang pernah ditangani (Suraida
23
dalam Suryanto, dkk, 2017). Auditor yang telah memiliki banyak pengalaman
tidak hanya akan memiliki kemampuan untuk menemukan kekeliruan atau
kecurangan yang tidak lazim yang terdapat dalam laporan keuangan tetapi juga
auditor tersebut dapat memberikan penjelasan yang lebih akurat terhadap temuan
tersebut dibandingkan dengan auditor yang masih sedikit pengalaman (Nasution
dalam Suryanto, dkk, 2017).
Pengalaman auditor akan semakin berkembang dengan bertambahnya
pengalaman audit, adanya diskusi mengenai audit dengan rekan sekerja, dan
dengan adanya program pelatihan dan penggunaan standar.
2.8. Kompetensi
Kompetensi merupakan kualifikasi yang diperlukan oleh seorang auditor
dalam melaksanakan proses audit secara benar. Standar Audit APIP menyebutkan
bahwa proses audit harus dilaksanakan oleh orang yang memiliki keahlian dan
pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Sehingga, auditor belum memenuhi
persyaratan apabila ia tidak memiliki pendidikan dan pengalaman yang memadai
dalam bidang audit. Audit dalam pemerintahan menuntut auditor untuk memiliki
serta meningkatkan kemampuan atau keahlian yang tidak sekedar pada metode
dan teknik audit, namun dalam segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan
seperti organisasi, fungsi, program, dan kegiatan pemerintahan.
Dreyfus dan Dreyfus (1986) dalam Elfarini (2007), mendefinisikan bahwa
kompetensi sebagai keahlian seorang yang berperan secara berkelanjutan yang
24
mana pergerakannya melalui proses pembelajaran, dari “pengetahuan sesuatu” ke
“mengetahui bagaimana”.
2.9. Teori Disonansi Kognitif
Pada dasarnya manusia bersifat konsisten dan akan cenderung mengambil
sikap-sikap yang tidak bertentangan satu sama lain, serta menghindari melakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan sikapnya. Namun demikian, dalam
kenyataannya manusia seringkali terpaksa harus melakukan perilaku yang tidak
sesuai dengan sikapnya (Noviyanti dalam Suciati, 2016). Suciati (2016)
menyatakan arti disonansi adalah adanya suatu inkonsistensi dan perasaan tidak
suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan untuk keluar dari
ketidaknyamanan tersebut dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur.
Disonansi terjadi apabila terdapat hubungan yang bertolak belakang akibat
penyangkalan dari suatu elemen kognitif terhadap elemen lain, antara elemen-
elemen kognitif dalam diri individu. Disonansi kognitif mengacu pada
inkonsistensi dari dua atau lebih sika-sikap individu, atau inkonsistensi antara
perilaku dan sikap. Dalam teori ini, unsur kognitif adalah setiap pengetahuan,
opini, atau apa saja yang dipercayai orang mengenai lingkungan, diri sendiri atau
perilakunya.
Teori disonansi kognitif dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan
pengaruh interaksi antara skeptisme profesional auditor dan independensi auditor
terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud).
25
2.10. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang pendeteksian kecurangan cukup banyak dilakukan oleh
peneliti terdahulu. Adapun beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh:
a. Rd. Dewi Arum Suciati (2016) dengan judul “Pengaruh Skeptisme
Profesional dan Independensi Auditor terhadap Kemampuan Auditor dalam
Mendeteksi Kecurangan (Fraud)”.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh skeptisme
profesional dan independensi auditor terhadap kemampuan auditor dalam
mendeteksi kecurangan (fraud).
Pada penelitian ini terdapat tiga variabel, dua variabel bebas, dan satu
variabel terikat. Variabel bebas terdiri dari skeptisme profesional dan
independensi auditor, sedangkan variabel terikat terdiri dari kemampuan
auditor dalam mendeteksi kecurangan. Dalam hasil penelitian tersebut,
dinyatakan bahwa kedua variabel bebas berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Perbedaan dari
penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan peneliti terletak
pada objek penelitian, dimana objek penelitian terdahulu yaitu pada auditor
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk
penelitian yang diteliti sekarang pada auditor Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sedangkan persamaan penelitian terdahulu dan sekarang yaitu persamaan
variabel, sama-sama membahas mengenai pengaruh skeptisme profesional
26
dan independensi auditor terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi
kecurangan.
b. Trinanda Hanum Hartan (2016) dengan judul “Pengaruh Skeptisme
Profesional, Independensi dan Kompetensi terhadap Kemampuan Auditor
Mendeteksi Kecurangan”.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh skeptisme
profesional, independensi, dan kompetensi terhadap kemampuan auditor
dalam mendeteksi kecurangan.
Pada penelitian ini terdapat empat variabel, tiga variabel bebas, dan satu
variabel terikat. Variabel bebas terdiri dari skeptisme profesional,
independensi, dan kompetensi, sedangkan variabel terikat terdiri dari
kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Dalam hasil penelitian
tersebut, dinyatakan bahwa ketiga variabel bebas berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.
Perbedaan dari penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan
peneliti terletak pada objek penelitian, dimana objek penelitian terdahulu
yaitu pada auditor Inspektorat Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk penelitian
yang diteliti sekarang pada auditor Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain objek
penelitian, yang berbeda pada penelitian terdahulu adalah terdapat empat
variabel, sedangkan pada penelitian sekarang nya menggunakan tiga variabel
penelitian. Dan persamaan penelitian terdahulu dan sekarang yaitu persamaan
variabel, sama-sama membahas mengenai pengaruh skeptisme profesional
27
dan independensi auditor terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi
kecurangan.
c. Rudy Suryanto, dkk (2017) dengan judul “Determinan Kemampuan Auditor
dalam Mendeteksi Kecurangan”.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh beban kerja,
pengalaman, skeptisme profesional, dan tipe kepribadian NT terhadap
kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.
Pada penelitian ini terdapat lima variabel, empat variabel bebas, dan satu
variabel terikat. Variabel bebas terdiri dari skeptisme profesional, beban
kerja, pengalaman, tipe kepribadian NT, sedangkan variabel terikat terdiri
dari kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Dalam hasil
penelitian tersebut, dinyatakan bahwa hanya dua variabel bebas (pengalaman
auditor dan tipe kepribadian) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan, sedangkan skeptisme
profesional dan beban kerja dinilai tidak mempengaruhi kemampuan auditor
dalam mendeteksi kecurangan. Perbedaan dari penelitian sebelumnya dengan
penelitian yang dilakukan peneliti terletak pada objek penelitian, dimana
objek penelitian terdahulu yaitu pada auditor KAP kecil di Yogyakarta dan
Surakarta, untuk penelitian yang diteliti sekarang pada auditor Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Selain objek penelitian, yang berbeda pada penelitian
terdahulu adalah terdapat lima variabel, sedangkan pada penelitian sekarang
nya menggunakan tiga variabel penelitian. Dan persamaan penelitian
28
terdahulu dan sekarang yaitu adanya variabel yang sama digunakan, yaitu
skeptisme profesional.
2.11. Kerangka Pengembangan Hipotesis
2.11.1. Skeptisme Profesional dan Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi
Kecurangan (Fraud)
Sikap skeptisme profesional merupakan suatu sikap yang penting untuk
digunakan oleh auditor dalam melakukan proses. Dimana sikap ini mencakup
pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis
terhadap bukti audit. Bukti audit dikumpulkan dan dinilai selama proses audit.
Terkaitan antara skeptisme profesional dengan kemampuan auditor dalam
mendeteksi kecurangan diperkuat dengan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi skeptisme profesional tersebut, seperti faktor etika, faktor
situasi audit, pengalaman serta keahlian audit. Seorang auditor yang
menerapkan skeptisme profesional, tidak akan begitu saja menerima penjelasan
yang diberikan oleh klien, namun akan mengajukan pertanyaan untuk
memperoleh alasan, bukti serta konfirmasi yang berkaitan dengan objek
tertentu. Tanpa penerapan sikap skeptisme profesional, auditor hanya akan
menemukan salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan namun akan sulit
menemukan salah saji karena kecurangan.
Ketidakmampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan dan kekeliruan
laporan keuangan merupakan cerminan dari rendahnya skeptisme profesional
29
yang dimiliki auditor (Adnyani, dkk dalam Suciati, 2016). Standar Profesional
Akuntan Publik menyatakan skeptisme profesional sebagai sikap auditor yang
mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara
kritis terhadap bukti audit. Pada penelitian terdahulu yang dilakukan Adnyani,
dkk (2014) dapat disimpulkan bahwa skeptisme profesional berpengaruh
signifikan terhadap tanggungjawab auditor. Kemudian Hartan (2016)
menyatakan bahwa skeptisme profesional berpengaruh positif terhadap
kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud). Dari uraian di atas
maka diajukan hipotesis sebagai berikut:
H1 : Skeptisme Profesional Berpengaruh Positif terhadap Kemampuan Auditor
dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud)
2.11.2. Independensi Auditor dan Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi
Kecurangan (Fraud)
Independensi merupakan salah satu faktor penting dalam proses audit,
karena bila seorang auditor tidak menerapkan sikap independensinya, maka
laporan keuangan yang diaudit tidak dapat dijadikan dasar untuk pengumpulan
keputusan. Sikap independensi diperlukan auditor agar ia bebas dari
kepentingan dan tekanan pihak manapun, sehingga auditor dapat mendeteksi
ada tidaknya kecurangan pada perusahaan yang diauditnya dengan tepat, dan
setelah kecurangan tersebut terdeteksi, auditor tidak ikut terlibat dalam
mengamankan praktik kecurangan tersebut.
30
American Institute of Certified Public Accountant (AICPA) (2003)
menyatakan bahwa independensi merupakan kemampuan untuk bertindak
bertindak berdasarkan integritas dan objektivitas. Seorang auditor yang
memiliki dan mempertahankan sikap independensi tidak akan mempedulikan
adanya gangguan, ancaman, dan tekanan dari pihak lain untuk mendeteksi
suatu kecurangan yang terjadi karena auditor tersebut berintegritas tinggi.
Semakin tinggi sikap independensi auditor, maka semakin meningkat pula
kemampuan auditor mendeteksi kecurangan. Dalam penelitian Hartan (2016),
menyimpulkan bahwa independensi berpengaruh positif terhadap kemampuan
auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud). Dari uraian di atas maka
diajukan hipotesis sebagai berikut:
H2 : Independensi Auditor Berpengaruh Positif terhadap Kemampuan Auditor
dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud)
2.12. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah
yang penting. Kerangka yang baik akan menjelaskan secara teoritis pertautan
antara faktor yang diteliti (dalam hal ini faktor independen, faktor dependen).
Dengan mengacu pada beberapa penelitian terdahulu, maka kerangka teoritis
dalam penelitian ini memadukan faktor Skeptisme Profesional yang berpengaruh
terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud) dan faktor
31
Independensi Auditor yang berpengaruh terhadap Kemampuan Auditor dalam
Mendeteksi Kecurangan (Fraud), adapun kerangka konseptual yang
dikembangkan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2
Kerangka Konseptual
Skeptisme Profesional
(X1)
Independensi Auditor
(X2)
Kemampuan
Auditor dalam
Mendeteksi
Kecurangan
(Fraud)
H1
H2
H3