bab ii referat shr

27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Sindrom hepatorenal (SHR) merupakan komplikasi terjadinya gagal ginjal pada pasien penyakit hati kronik, kadang-kadang berupa hepatitis fulminan dengan hipertensi portal dan ascites (1). B. Epidemiologi Sindrom hepatorenal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penyakit sirosis. Sekitar 20% pasien sirosis hepatis dengan asites disertai fungsi ginjal yang normal akan mengalami sindrom hepatorenal (SHR) setelah 1 tahun dan 39% setelah 5 tahun perjalanan penyakit. Dagher dkk melaporkan insiden SHR pada pasien sirosis hepatis mencapai 18% pada tahun pertama dan akan meningkat hingga 39% pada tahun ke lima (3,4). 3

Upload: hayatun-nufuz

Post on 20-Dec-2015

221 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

tertib

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II Referat Shr

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Sindrom hepatorenal (SHR) merupakan komplikasi terjadinya gagal ginjal

pada pasien penyakit hati kronik, kadang-kadang berupa hepatitis fulminan

dengan hipertensi portal dan ascites (1).

B. Epidemiologi

Sindrom hepatorenal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada

penyakit sirosis. Sekitar 20% pasien sirosis hepatis dengan asites disertai fungsi

ginjal yang normal akan mengalami sindrom hepatorenal (SHR) setelah 1 tahun

dan 39% setelah 5 tahun perjalanan penyakit. Dagher dkk melaporkan insiden

SHR pada pasien sirosis hepatis mencapai 18% pada tahun pertama dan akan

meningkat hingga 39% pada tahun ke lima (3,4).

C. Patofisiologi dan Patogenesis

Tanda khas SHR adalah terjadinya vasokontriksi ginjal, walauupun

berbagai mekanisme dianggap mungkin berperan dalam timbulnya SHR.

Karakteristik pola hemodinamik pasien SHR antara lain: peningkatan curah

jantung (cardiac output), penurunan resisteni vaskuler sistemik, dan peningkatan

resistensi vaskuler renal. Menurut studi Doppler pada arteri brachial, cerebri

media, dan femoralis menunjukkan bahwa resistensi ekstrarenal meningkat pada

pasien SHR, sementara sirkulasi spalchnic yang bertanggung jawab untuk

3

Page 2: Bab II Referat Shr

vasodilatasi arteri dan resistensi vaskuler sistemik total menurun (5). Paofisiologi

sindrom hepatorenal pada irosis sampai sekarang masih belum jelas (2).

Konsep terjadinya SHR pernah diteliti menggunakan Doppler

ultrasonography atau plethysmography pada pasien dengan berbagai derajat

keparahan sirosis, yang hasilnya menunjukkan vasodilatasi pada sirkulasi

splanchnic dan vasokontriksi pada area lain, misalnya pada ginjal dan hati (1).

Beberapa studi lain juga menunjukkan adanya hubungan dengan sistem

rennin-angiotensin-aldosteron (rennin-angiotensin-aldosterone system / RAAS),

saraf simpatis (SNS), dan fungsi prostaglandin pada ginjal. Aktivitas sistem

RAAS dan SNS meningkat pada pasien sirosis dan ascites, dan efek ini makin

besar pada SHR (6). Tiga teori yang menjelaskan mekanisme tersebut adalah teori

vasodilatasi arteri, Vasokontriksi arteri dan teori reflex hepatorenal (7).

1. Teori vasodilatasi arteri

Teori pertama mengenai retensi air dan natrium pada sirosis merupakan

hipotesis paling rational. Menurut teori ini, pada fase awal saat hipertensi

portal dan sirosis masih terkompensasi, gangguan pengisisan arteri

menyebabkan aktivasi sistem vasokontriktor endogen. Dilatasi Pembuluh

darah splanchnic pada pasien hipertensi portal dan sirosis yang terkompensasi

dapat dimediasi oleh beberapa factor, terutama oleh pelepasan vasodilator

local seperti NO (nitric oxide). Pada fase ini, perfusi renal masih dapat

dipertahankan atau mendekati batas normal karena sistem vasodilator

menghambat sisem vasokontriktor ginjal (1,2,7). Lalu terjadi aktivasi RAAS

dan SNS yang menyebabkan sekresi hormone anti-diuretik, selanjutnya

4

Page 3: Bab II Referat Shr

terjadi kekacauan sirkulasi. Hal ini mengakibatkan vasokontriksi bukan hanya

dipembuluh darah renal, tetapi juga di pembuluh darah otak, otot, dan

ekstremitas. Namun, sirkulasi splanchnic tetap resisten terhadap efek ini

karena produksi terus-menerus vasodilator local, yaitu NO, sehingga masih

terjadi penurunan resistensi vaskuler sistemik total. Jika penyakit hati makin

berat dapat mengakibatkan terjadinya level kritis kurangnya pengisian

pembuluh darah. Sistem vasodilator ginjal tidak dapat lagi mengatasi aktivasi

maksimal vasokontriktor eksogen atau vasokontrikror intra-renal,

menyebabkan tidak terkontrolnya vasokontriksi renal (6).

2. Teori Vasokontriksi renal

Pada fase awal dari sirosis hepatis dekompensata, perfusi ginjal masih dapat

dipelihara dalam batas normal, karena adanya peningkatan sintesis dari

factor-faktor vasodilatasi. Akan tetapi, pada fase lanjut, perfusi ginjal tidak

dapat dipelihara lagi karena adanya vaodilatasi sisteik yang luar biasa dan

penurunan volume efektif arterial. Penurunan volume efektif arterial ini dapat

menyebabkan aktivasi progresif dari mediator baroreseptor dan

vasokontriktor disertai dengan penurunan produksi vasodilator renal (7).

3. Teori Reflex hepatorenal

Teori ini berdasarkan percobaan binatang yang memperlihatkan bahwa

peningkatan tekanan itrahepatik menyebabkan peningkatan aktivitas

simpatoadrenal ginjal yang disertai dengan penurunan perfusi ginjal dan laju

filtrasi glomerular (GFR), serta penigkatan reabsorbsi natrium dan air. Studi

ini mendukung adanya reflex hepatorenal, yang mungkin dapat diaktivasi

5

Page 4: Bab II Referat Shr

melalui reseptor adenosine seperti pada binatang. Pemberian adenosisne

receptor antagonist dapat mencegah penigkatan retensi natrium dan air

setelah penurunan aliran darah vena portal (7).

Gambar 1. Patofisiologi Sindrom Hepatorenal

Seperti penjelasan sebelumnya, pada pasien sindrom hepatoenal

ditemukan vasokontriksi ginjal reversible dan hipotensi sistemik. Penyebab utama

dari vasokontriksi ginjal ini belum diketahui secara pasti, tapi kmungkinan

melibatkan banyak factor antara lain perubahan sistem hemodinamik,

meningginya tekanan vena porta, peningkatan vasokonstriktor dan penurunan

vasodilator yang berperan dalam sirkulasi di ginjal (3). Faktor-faktor vasoaktif

6

Page 5: Bab II Referat Shr

yang berperan dalam pengaturan perfusi ke ginjal pada sindrom hepatorenal

tampak pade table 1.

Tabel 1. Faktor-faktor Vasoaktif secaa potensial Berperan dalam Pengaturan

Perfusi ke Ginjal pada Penderita Sindrom Hepatorenal (4,8).

Vasokontriktor- Angiotensin II- Norepineprine- Neuropeptida Y- Endhothelin- Adenosin- Cyteinyl leukotrine- F2-isoprostanes

Vasodilator- Prostaglandin- Nitric Oxide- Nariuretic peptide- Kallikrein-kinin

Faktor Vasokonstriktor

Sistem rennin-angiotensin dan sstem saraf simpatk merpakan mediator utama

yang mempunyai efek vasokontriksi sirkulasi ginjal pada SHR.Aktifitas dari

sistem vasokontriksi ini meningkat pada penderita dengan sirosis dan ascitess,

terutama penderita dengan SHRdan berkorelasi terbalik denhan aliran darah

ginjal dan laju filtrasi glomerulus (3,4,9).

Selai itu, penelitian yang dilakukan terhadap pasien dengan SHR

menunjukkan bahwa knsentrasi plasma endhotelin-1 meningkat. Endhotelin-1

merupakan salah satu substansi vasokonstriktor ginjal. Peningkatan level

endhotelin-1 mungkin berkontribusi pada vasokontriksi ginjal. Hipotesis ini

7

Page 6: Bab II Referat Shr

juga didukung dengan penelitian sebelumnya yan menunjukkan bahwa

pemberian antagonis reseptor endhotelin menginduksi peningkatan GFR pada

pasien SHR (4,9).

Cysteinyl leukotreine (leukotrein C4 dan D4) merupakan vasokontriktor

ginjal yang poten dan menyebabkan kontraksi dari sel mesangial scara in

vitro. Pneltian sebelumnya menujukkan adanya penigkatan Cysteinyl

leukotreine pada SHR. Tromboxae A2 juga memberikan kontribusi pada

vasokontriksi sirkulasi ginjal dan menyebabkan kontraksi dari sel meangial

pada SHR. Substansi vasoaktif lainnya seperti adenosine, F2-Isoprostanes

dapat juga sebagai factor yang mempengaruhi patogenesa vasokontriksi ginjal

dalam SHR, tapi mekanismenya masih belum diketahui (3,4).

Faktor Vasodilator

Sebuah penelitian pada penderita denga sirosis atau percobaan pada binatang

memperlihatkan bahwa sintesa factor vasodilator local pada ginjal

memainkan peran yang penting dalam mempertahanankan perfusi ginjal

dengan melindungi sirkulasi ginjal dari efek yang merusak dari factor

vasokontriktor. Mekanisme vasodilator ginjal yang paling penting adalah

prostaglandin (PGs) (10).

Bukti yang paling kuat yang menyokong peran PGs ginjal dalam

mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis dengan ascites diperoleh dari

penelitian yang menggunakan obat NSAIDs, sekalipun dalam dosis tunggal

pada penderita sirosis hati dngan ascites menyebabkan penuunan yang nyata

dalam aliran darah ginjal dan lau filtrasi glomerulus, yang perubahannya

8

Page 7: Bab II Referat Shr

menyerupai kejadian dalam SHR pada penderita dengan aktifitas

vasokonstriktor yang nyata. Vasodilator ginjal lainnya yang mungkin

berpartisipasi dalam mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis adalah nitrit

oksida. Jika poduki nitrit oksida dan PGs dihambat secara tidak langsung

dalam percobaan sirosis dan ascites, maka akan terjadi penurunan perfusi

ginjal (10).

Sistem Saraf Simpatis

Stiulasi sistem saraf simpatis sangat tinggi pada penderita SHR dan

menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan meningkatnya retensi natrium. Hal ini

telah diperlihatkan oleh beberapa peneliti adanya peningkatan sekresi

katekolamin di pembuluh darah ginjal dan splanik. Kostreva dkk mengamati

vasokonstriksi pada aretriol afferent ginjal menimbulkan penurunan aliran

darah ginjal dan GFR dan meningkatkan penyerapan air dan natrium di

tubulus (4).

Gambar 2. Patogenesis Sindrom Hepatorenal

D. Etiologi dan Faktor Pencetus

9

Page 8: Bab II Referat Shr

SHR berkembang biasanya dari penyakit sirosis hepatis maupun orang

yang mempunyai gangguan pembuluh darah dari portal seperti hipertensi portal.

Selain itu SHR juga dapat berkembang dari penyakit hepatitis fulminan, sirosis

hati fulminan, hepatitis alkoholik, sirosis alkoholik, maupun gagal hati fulminan.

Kadang SHR dapat berkembang oleh kaena pemberian medikasi (iatrogenic)

untuk mengatasi asites, seperti pemberian diuretic besar-besaran, dan pengeluaran

cairan asites dengan parasentesis tanpa mempertimbangkan terapi kehilangan

cairan dengan penggantian cairan intravena (11).

Faktor penctus juga mempengaruhi timbulnya SHR, dan faktor pencetus ini dapat

lebih dari satu pada seorang pasien. Faktor pencetus yang teridentifikasi

diantaranya adalah (1,12):

- Infeksi bakteri

- Paracentesis volume besar tanpa infuse albumin

- Perdarahan saluran cerna

- Acute hepatitis alkoholik

E. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis penderita SHR ditandai dengan kombinasi antara

gagal ginjal, gangguan sirkulasi, dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secara

perlahan atau progresif dan biasanya diikuti dengan retensi natrium da air, yang

menimbulkan asites, edema dan dilutional hyponatremia,yang ditandai oleh

ekskresi natrium urin yang rendah dan pengurangan kemampuan buang air

(oliguri-anuria). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat ditandai dengan tekanan

10

Page 9: Bab II Referat Shr

arteri yang rendah, peningkatan cardiac output,dan penurunan total tahanan

pembuluh darah sistemik (3,4). Pada pasien sirosis hepatis, 80% kasus SHR

disertai asites, 75% disertai ensefalopati hepatic, dan 40% disertai ikterus (13).

Tabel 2. Gangguan Hemodinamik yang sering ditemukan pada SHR (3)

Cardiac output meninggi

Tekanan arterial menurun

Total tahanan pembuluh darah sistemik menurun

Total volume darah meninggi

Tekanan portal meninggi

Portosystemic Shunt

Tekanan pembuluh darah splanik menurun

Tekanan pembuluh darah ginjal meninggi

Tahanan pembuluh otak meninggi

Secara klinis Sindroma Hepatorenal dapat dibedakan atas 2 tipe, yaitu:

1. Sindroma Hepatorenal tipe I

Merupakan manfestasi yang sangat progresif, dimana terjadi peningkatan

serum kreatinin dua kali lipat. Tipe 1 ditandai oleh peningkatan yang cepat

dan progresif dari BUN (Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin serum yaitu

nilai kreatinin > 2,5 mg/dl atau penurunan kreatinin kliren dalam 24 jam

sampai 50%, keadaan ini timbul dalam beberapa hari hingga 2 minggu.

Gagal ginjal sering dihubungkan dengan penurunan yang progresif jumlah

urin, retensi natrium dan hiponatremi (4,13).

11

Page 10: Bab II Referat Shr

Penderita dengan tipe ini biasanya dalam kondisi klinik yang sangat berat

dengan tanda gagal ginjal hati lanjut seperti ikterus, ensefalopati atau

koagulopati. Tipe ini umum pada sirosis alkoholik berhubungan dengan

hepatitis akoholik, tetapi dapat juga timbul pada sirosis non alkoholik.

Kira-kira setengah kasus SHR tipe ini timbul spontan tanpa ada factor

pencetus yang diketahui, kadang-kadang pada sebagian penderita terjadi

hubungan sebab akibat yang erat dengan beberapa komplikasi atau

intervensi terapi, seperti infeksi bakteri, perdarahan gastrointestinal,

parasintesis. Peritonitis bakteri spontan (SBP) adalah penyebab umum dari

penurunan fungsi ginjal pada sirosis. Kira-kira 35% penderita sirosis

dengan SBP timbul Sindroma Hepatorenal tipe 1 (4,13).

2. Sindroma Hepatorenal Tpe II

Merupakan bentuk kronis SHR. Tipe II SHR ditandai dengan

penurunan yang sedang dan stabil dari GFR (BUN dibawah 50 mg/dl dan

kreatinin serum < 2 mg/dl). Tidak seperti SHR tipe I, SHR tipe II biasanya

terjadi pada penderita dengan fungsi hati relatif baik. Biasanya terjadi pada

penderita dengan ascites resist diurtik. Diduga harapan hidup penderita

dengan kondisi ini lebih panjang dari pada SHR tipe I (4,13).

F. Diagnosis

Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnostik SHR. Diagnostik SHR selalu

dibuat setelah ekslusi gangguan-gannguan lainyang dapat menybabkan gagal

ginjal pada pasin sirosis. Kriteria diagnostik yang digunakan adalah berdasarkan

International Ascites Club’s Diagnostic Criteria of Hepatorenal Syndrome (3,4).

12

Page 11: Bab II Referat Shr

Tabel 3. Kriteria diagnostic Sindroma Hepatorenal berdasakan International

Ascites Club’s Diagnostic Criteria of Hepatorenal Syndrome.

Kriteria Mayor

1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi

portal.

2. GFR rendah, kreatinin serum >1,5 mg/dl atau kreatinin klirens 24 jam < 40

ml/mnt.

3. Tidak ada syok, infeksi baktri sedang berangsung, kehilangan cairan dan

mendapat obat nefrotoksik.

4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5

liter dan diuretic (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau

peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt)

5. Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai obstruktif uropati aau penyakit

parenkim ginjal secara ultrasonografi.

Kriteria Tambahan

1. Volume urin < 500 ml/hari

2. Natrium urin < 10 meg/liter

3. Omolalitas urin > osmolalitas plasma

4. Eritrosit urin < 50/lpb

5. Natrium serum < 130 meg/liter

13

Page 12: Bab II Referat Shr

*Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnosa SHR,

sedangkan criteria tambahan merupakan pendukung untuk diagnosa SHR.

SHR perlu dibedakan dengan adanya kondisi peyakit hati bersamaan dengan

penyakit ginjal atau penurunan fungsi ginjal. Pada beberapa keadaan diagnosis

SHR mungkin dapat dibuat setelah menyingkirkan Pseudohepatorenal Syndrome.

Pseudohepatorenal Syndrome adalah suatu keadaan terdapatnya kelainan fungsi

ginjal bersama dengan gangguan fungsi hati yang tidak ada hubungan satu sama

lain. Beberapa penyebab Pseudohepatorenal Syndrome adalah (13):

Penyakit congenital, misalnya penyakit polikista ginjal dan hati.

Penyakit metabolic, misalnya diabetes, amyloidosis, penyakit Wilson.

Penyakit sistemik, misalnya SLE, arthritis rheumatoid, sarkoidosis.

Penyakit infeksi, misalnya leptospirosis, malaria, hepatitis.

Gangguan sirkulasi, misalnya syok, insufisisensi jantung.

Intoksikasi, misalnya endotoksin, bahan kimia, gigitan ular, luka bakar.

Medikamentosa, misalnya metoksifluran, halotan, sulfonamidd,

parasetamol, tetrasiklin, iproniazid.

Tumor, misalnya hipernefroma.

Eksperimenta, misalnya defisiensi kolin.

G. Tatalaksana

Sampai saat ini belum ada pengobatan efektif untuk SHR, oleh karena itu

pencegahan terjadinya SHR harus mendapat perhatian yang utama. Dengan

14

Page 13: Bab II Referat Shr

mengetahui beberapa faktor pencetus timbulnya SHR pada penderita sirosis

dengan ascites, maka gagal ginjal dapat dicegah pada penderita (3,13,14).

1. Penatalaksanaan Umum

SHR sebagian besar dipacu oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

pada pasin sirosis hpatis. Oleh karena itu, pasien sirosis hepatis sangat sensitif

dengan perubahan keseimbangan cairan dan elktrolit, maka hindari

pemakaian diuretic agresif, parasentesis asites, dan restriksi cairan yang

berlebihan (13).

Terapi supportif berupa diet tinggi kalori dan rendah protein.

Koreksi keseimbangan asam basa.

Hindari penggunaan OAINS.

Peritonitis bacterial spontan pada SHR harus segera diobat sedini dan

seadekuat mungkin.

Pencegahan ensefalopatik hepatik juga harus dilakukan dalam rangka

mencegah SHR.

Hemodialisa belum pernah secara formal diteliti pada pasien SHR, namun

tampaknya tidak cukup efektif dan efek samping yang cukup berat,

misalnya hipotensi, koagulopati, sepsis, dan perdarahan saluran cerna.

2. Pengobatan Medikamentosa

Vasodilator

15

Page 14: Bab II Referat Shr

Karena penyebab langsung SHR adalah vasokonstriksi sirkulasi

ginjal, perubahan hemodinamik ginjal dapat diubah dengan menggunakan

vasodilator renal, seperti dopamine, fenoldopam, ddan prostaglandin atau

obat-obat antagonis vasokonstriktor renal, seperti seralasin, ACEI dan

antagonis endothelin. Akan tetapi tidak ada penelitian yang menyatakan

bahwa penggunaan vasodilator renal menunjukkan perbaikan dalam

perfusi ginjal atau GFR (12,15).

Penelitian Barnardo dkk dan Bennett dkk elaporkan infu dopamine

dosis rendah selama 24 jam memperbaiki aliran darah korteks dan

tampilan angiografi dari korteks renal tanpa memperbaiki GFR atau aliran

urin. Pemberian pada PGs intravena atau pengobatan dengan misoprostol

(analog PGs oral aktif) pada penderita sirosis hatidengan SHR juga tidak

diikuti dengan perbaikan fungsi renal. Pemberian antagonis endothelin

spesifik segera berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada pasien

SHR. Karena efek samping dan kurangnya manfaat, penggunaan

vasodilator renal dalam SHR sudah banyak ditinggalkan (4, 12, 13, 16).

Vasokonstriktor

Vasokonstriktor sistemik merupakan agen farmakologis yang

paling menjanjikan dalam manajemen SHR. Vasokonstriktor sistemik

digunakan untuk mengatasi vasodilatasi splanik. Vasokonstriktor meliputi

vasopressin analog (ornipressin dan terlipressin), somastotstatin analog

(octreotide), dan alfa-adrenergik dengan agonis (midodrine dan

norepinefrin) (12, 13).

16

Page 15: Bab II Referat Shr

Pemberian vaokonstriktor segera (norepinefrine, angiotensin II,

ornipressin) pada pasien sirosis dengan ascites dan SHR menyebabkan

vasokonsriksi arteri, yang mana meningkatkan tekanan arteri dan resistensi

vaskuler sistemik (12,17,18).

Infus ornipressin dikombinasikan dengan ekspansi volume atau dopamine

dosis rendah dikaitkan perbaikan yang bermakna pada perfusi ginjal,

peningkatan RPF, GFR, dan eksresi natrium. Penelitian Angeli dkk

menunjukkan bahwa pemberian kombinasi ornipressin dengan

penambahan voume plasma dengan albumin memperbaiki fungsi ginjal da

menormalkan perubahan hmodinamik pada paisen sirosis dengan SHR.

Tiga hari pengobatan dengan ornipressin dan albumin dapat enormalkan

aktifitas yang berlebihan dari rennin-angiotensin dan sistem saraf simpatis.

Peningatan kadar natriuetik pptide areri dan hanya memperbaiki sedikit

fungsi ginjal. Pemberian ornipressin dan albumin selama 15 hari,

perbaikan fungsi ginjal dijumpai dengan peningkatan aliran darah ginjal

dan laju filtrasi glomerulus. Tetapi, terapi ini dapat digunakan dengan

kewaspadaan yang tinggi. Pada beberapa pasien hal ini tidak dilanjutkan

karena komplikasi iskemik (12,13, 18,19).

Portosystmic shunt

Anastomosis shunt, belum merupakan terapi standar dalam

pelaksanaan SHR karena tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi,

dihubungkan dengan prosedur operasi ini pada sebagian pasien dengan

penyakit hati lanjut. Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode

17

Page 16: Bab II Referat Shr

nonbedah dari kompresi portal yaitu Transjugular intrahepatik

portosystemic shunt (TIPS). Keuntungan metode ini dibanding dengan

operasi portocaval shunt adalah penurunan mortalitas akibat operasi.

Komplikasi yang paling sering pada pasien yang mendapat pengobatan

dengan TIPS adalah hepatic encephalophaty dan obstruksi dari stent.

Beberapa laoptran yang melibatkan sejumlah pasien cenderung

memperlihatkan bahwa prosedur ini meningkatkan fungsi ginjal pada

pasien sirosis hati dengan SHR yang tidak dapat lagi untuk dilakukan

tranplantasi hati (3).

Hubungan antara penurunan tekanan portal yang diinduksi oelh

insersi TIPS dan perubahan yang bermanfaat dalam faktor-faktor

neurohumoral, fungsi ginjal pada pasien sirosis, dan asites refraktori.

Mekanisme TIP pada efek tersebt masih spekulatif, namun mungkin akibat

penurunan tekanan portal, penekanan reflex hepatorenal, perbaikan volme

sirkulasi (6).

Dialisa

Hemodialisa atau peritoneal dialisa telah dipergunakan pada

penatalaksanaan penderita dengan SHR, dan pada beberapa kasus

dilaporkan dapat meningkatkan fungsi ginjal. Walaupun tidak terdapat

penelitian control yang mengevaluasi efektifitas dari dialisa pada kasus ini,

tetapi pada laopran penelitian tanpa control menunjukkan efektifitas yang

buruk, karena banyaknya pasien yang meninggal selama pengobatan dan

terdapat insidn efek samping yang cukup tinggi. Pada beberapa pusat

18

Page 17: Bab II Referat Shr

penelitian hmodialisa masih tetap digunakan untuk pengobatan pasien

dengan SHR yang sedang menunggu transplantasi hati (12,20).

Transplantasi Hati

Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk

penderita SHR, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun

disfungsi ginjalnya. Tindakan transplantasi ini merupakan masalah utama

mengingat prognosis buruk dari SHR dan daftar tunggu yang lama untuk

tindakan tersebut di pusat transplantasi. Segera setelah transplantasi hati,

kegagalan fungsi ginjal dapat diamati selama 48 jam sampai 72 jam

setelah itu GFR mulai mengalami perbaikan (4,7,13).

Ada tiga kriteria umum resipin yang akan dilakukan transplantasi

hati, yaitu pasien tidak sembuh dengan tindakan pengobatan apapun

termasuk operasi dan medikamentosa, tidak ada kontraindikasi

dilakukannya transpalntasi hati, dan adanya pengertian keluarga pasien

mengenai penyakit serta konsikuensi dari tindakan transplantasi yang akan

dilakukan, meliputi risiko, keuntungan dan biaya yang diperlukan (21).

Ada empat macam kategori penyakit hati yang diindikasikan untuk

dilakukan transplantasi hati, yaitu: 1) Penyakit hati kronik irreversible oleh

sebab apapun; 2) Keganasan hati non metastasik; 3) Gagal hati Fulminan;

4) Gangguan metabolism herediter (21).

19