bab i referat kardiologi
DESCRIPTION
Kepaniteraan klinikTRANSCRIPT
BAB I
LATAR BELAKANG
Infark miokard akut (IMA) dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infraction =
STEMI) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari
angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST
STEMI adalah sindrom klinis yang didefinisikan sebagai gejala iskemia miokard khas
yang dikaitkan dengan gambaran EKG berupa elevasi ST yang persisten dan diikuti
pelepasan biomarker nekrosis miokard. Mortalitas selama perawatan (5-6%) dan mortalitas 1
tahun (7-18%) cenderung menurun dikaitkan dengan peningkatan terapi medis sesuai
pedoman (guidline) dan intervensi. (Idrus Alwi 2009)
Kejadian STEMI sering menyebabkan kematian mendadak, sehingga merupakan
suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan tindakan medis secepatnya. Oklusi total arteri
koroner pada STEMI memerlukan tindakan segera yaitu tindakan reperfusi, berupa terapi
fibrinolitik maupun Percutaneous Coronary Intervention (PCI), yang diberikan pada pasien
STEMI dengan onset gejala 12 jam) dapat dilakukan terapi reperfusi bila pasien masih
mengeluh nyeri dada yang khas infark
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=73544&val=4695
KASUS
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama : Tn. Sapar
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 66 tahun
Suku : Jawa
Agama : Islam
Status Marital : Menikah
Pekerjaan : Pensiunan pegawai kantor pajak
B, Anamnesa
Keluhan Utama : Nyeri dada bawah
1) Riwayat Penyakit Sekarang
a. Nyeri dada bagian bawah
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada bawah sejak 3 hari yang
lalu. Nyeri seperti ada tekanan dari perut bagian atas dan terasa tidak enak
diperut. Nyeri dirasakan memberat saat pasien beraktifitas seperti jalan
kaki jauh. Nyeri berkurang saat pasien beristirahat kurang lebih 30 menit.
Nyeri tidak menjalar.
b. Lemas
Lemas dirasakan pasien sejak 3 hari lalu, lemas memberat saat pasien
merasa nyeri pada dada bawah saat beraktifitas, dan lemas berkurang saat
pasien beristirahat.
c. BAK
Buang air kecil masih dalam batas normal.
d. BAB
BAB dalam batas normal, berwarna kekuningan.
2) Tinjauan Sistem
a. Makan, jumlah seperti biasa.
b. Minum, jumlah seperti biasa.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah sakit seperti ini sebelumnya kurang lebih 7 bulan yang lalu.
Dan dirawat dirumah sakit 1 minggu. Ada riwayat Diabetes Mellitus (DM), tidak
ada riwayat hipertensi.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien memiliki riwayat Diabetes Mellitus (DM), tidak ada hipertensi.
5) Riwayat Sosial
Sehari-hari pasien olah raga tiap pagi dan setelah itu diam dirumah. Tidak
pernah minum jamu pegal linu dan suplemen penguat. Riwayat perokok berat 3
bungkus sehari sudah lama kemudian berhenti sejak sakit 7 bulan yang lalu.
Pasien dulu sering minum kopi kemudian sekarang sudah berhenti.
6) Riwayat Obat
Konsumsi obat diabetes sejak 8 tahun lalu sampai sekarang. Konsumsi obat
jantung sejak 7 bulan lalu sampai sekarang. Tidak ada alergi obat.
C. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos mentis
2) Vital sign:
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Nadi : 70x/ menit
RR : 18x/menit
Temperatur : 36° C
3) Status Gizi
Gizi : Sedang
TB : -
BB : 63 kg
Kepala/ leher : A/I/C/D= -/-/-/-
Leher : JVP tidak meningkat, Pembesaran tyroid (-)
Pembesaran KGB (-), Deviasi trakea (-)
Thorax :
Payudara : Simetris
Pulmo:
Inspeksi :pergerakan nafas simetris, retraksi ics(-), tidak ada jejas.
Palpasi : simetris, fremitus raba: teraba normal
Perkusi : Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Auskultasi : Vesikular + +
+ +
+ +
Rhonchi : - -
- -
- -
Wheezing - -
- -
- -
Cor :
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kiri ICS V MCLS, batas
jantung kanan ICS V parasternal dextra
Auskultasi : S1/ S2 tunggal reguler, Murmur (-),
Gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Distended (-), vena collateral (-), acites (-), spider
nevy (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Meteorismus (-) pemeriksaan shifting dullnes: acites
(-)
Palpasi : Hepar/ lien : tak teraba
Ginjal : tak ada pembesaran
Nyeri tekan : - - -
- - -
- - -
Extremitas : Extremitas atas = Capillary refill time <2 detik
Akral hangat (+)
Edema (-)
Erytema Palmaris (-)
Extremitas bawah = Capillary refill time < 2 detik
Akral hangat (+)
Edema (-)
Erytema Palmaris (-)
Tulang belakang : Normal
Kiphosis (-)
Scoliosis (-)
Spina bifida (-)
PEMBAHASAN
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner
berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara
cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti
merokok,hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur,
ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga
terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian
histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous
cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik
terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI
memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, efinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa.
Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap
sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2
platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi.
Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian
akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi
yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital,
spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Idrus Alwi, 2009).
FAKTOR - FAKTOR RESIKO
A. FAKTOR UTAMA
1. Hipertensi
Merupakan salah satu faktor resiko utama penyebab terjadinya PJK. Penelitian di
berbagai tempat di Indonesia (1978) prevalensi Hipertensi untuk Indonesia berkisar 6- 15%,
sedang di negara maju mis : Amerika 15-20%. Lebih kurang 60% penderita Hipertensi tidak
terdeteksi, 20% dapat diketahui tetapi tidak diobati atau tidak terkontrol dengan baik.
Penyebab kematian akibat Hipertensi di Amerika adalah Kegagalan jantung 45%,
Miokard Infark 35% cerebrovaskuler accident 15% dan gagal ginjal 5%. Komplikasi yang
terjadi pada hipertensi esensial biasanya akibat perubahan struktur arteri dan arterial sistemik,
terutama terjadi pada kasus-kasus yang tidak diobati. Mula-mula akan terjadi hipertropi dari
tunika media diikuti dengan hialinisasi setempat dan penebalan fibrosis dari tunika intima dan
akhirnya akan terjadi penyempitan pembuluh darah. Tempat yang paling berbahaya adalah
bila mengenai miokardium, arteri dan arterial sistemik, arteri koroner dan serebral serta
pembuluh darah ginjal. Komplikasi terhadap jantung Hipertensi yang paling sering adalah
Kegagalan Ventrikel Kiri, PJK seperti angina Pektoris dan Miokard Infark. Dari penelitian
50% penderita miokard infark menderita Hipertensi dan 75% kegagalan Ventrikel kiri akibat
Hipertensi. Perubahan hipertensi khususnya pada jantung disebabkan karena :
a. Meningkatnya tekanan darah. Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang
berat untuk jantung, sehingga menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau pembesaran
ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi.
b. Mempercepat timbulnya arterosklerosis. Tekanan darah yang tinggi dan menetap
akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria,
sehingga memudahkan terjadinya arterosklerosis koroner (faktor koroner) Hal ini
menyebabkan angina pektoris, Insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering
didapatkan pada penderita hipertensi dibanding orang normal.
Tekanan darah sistolik diduga mempunyai pengaruh yang lebih besar. Kejadian PJK
pada hipertensi sering dan secara langsung berhubungan dengan tingginya tekanan darah
sistolik. Penelitian Framingham selama 18 tahun terhadap penderita berusia 45-75 tahun
mendapatkan hipertensi sistolik merupakan faktor pencetus terjadinya angina pectoris dan
miokard infark. Juga pada penelitian tersebut didapatkan penderita hipertensi yang
mengalami miokard infark mortalitasnya 3x lebih besar dari pada penderita yang normotensi
dengan miokard infark.
Hasil penelitian Framingham juga mendapatkan hubungan antara PJK dan Tekanan
darah diastolik. Kejadian miokard infark 2x lebih besar pada kelompok tekanan darah
diastolik 90-104 mmHg dibandingkan Tekanan darah diastolik 85 mmHg, sedangkan pada
tekanan darah diastolik 105 mmHg 4x lebih besar. Penelitian stewart 1979 & 1982 juga
memperkuat hubungan antara kenaikan takanan darah diastolik dengan resiko mendapat
miokard infark. Apabila Hipertensi sistolik dari Diastolik terjadi bersamaan maka akan
menunjukkan resiko yang paling besar dibandingkan penderita yang tekanan darahnya
normal atau Hipertensi Sistolik saja. Lichenster juga melaporkan bahwa kematian PJK lebih
berkolerasi dengan Tekanan darah sistolik diastolik dibandingkan Tekanan darah Diastolik
saja.
Pemberian obat yang tepat pada Hipertensi dapat mencegah terjadinya miokard infark
dan kegagalan ventrikel kiri tetapi perlu juga diperhatikan efek samping dari obatobatan
dalam jangka panjang. oleh sebab itu pencegahan terhadap hipertensi merupakan usaha yang
jauh lebih baik untuk menurunkan resiko PJK. Tekanan darah yang normal merupakan
penunjang kesehatan yang utama dalam kehidupan, kebiasaan merokok dan alkoholisme.
Diet serta pemasukan Na dan K yang seluruhnya adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan
pola kehidupan seseorang. Kesegaran jasmani juga berhubungan dengan Tekanan darah
sistolik, seperti yang didapatkan pada penelitian Fraser dkk. Orang-orang dengan kesegaran
jasmani yang optimal tekanan darahnya cenderung rendah. Penelitian di Amerika Serikat
melaporkan pada dekade terakhir ini telah terjadi penurunan angka kematian PJK sebayak
25%. Keadan ini mungkin akibat hasil dari deteksi dini dan pengobatan hipertensi, pemakaian
betablocker dan bedah koroner serta perubahan kebiasaan merokok.
2. Hiperkolesterolemia.
Hiperkolesterolemia merupakan masalah yang cukup panting karena termasuk faktor
resiko utama PJK di samping Hipertensi dan merokok. Kadar Kolesterol darah dipengaruhi
oleh susunan makanan sehari-hari yang masuk dalam tubuh (diet). Faktor lainnya yang dapat
mempengaruhi kadar kolesterol darah disamping diet adalah Keturunan, umur, dan jenis
kelamin, obesitas, stress, alkohol, exercise. Beberapa parameter yang dipakai untuk
mengetahui adanya resiko PJK dan hubungannya dengan kadar kolesterol darah:
a. Kolesterol Total.
Kadar kolesterol total yang sebaiknya adalah ( 200 mg/dl, bila > 200 mg/dl berarti
resiko untuk terjadinya PJK meningkat .
Kadar kolesterol Total
Normal Agak tinggi (Pertengahan) Tinggi
< 200 mg/dl 2-239 mg/dl >240 mg/dl
b. LDL Kolesterol.
LDL (Low Density Lipoprotein) kontrol merupakan jenis kolesterol yang bersifat
buruk atau merugikan (bad cholesterol) : karena kadar LDL yang meninggi akan
rnenyebabkan penebalan dinding pembuluh darah. Kadar LDL kolesterol lebih tepat sebagai
penunjuk untuk mengetahui resiko PJK dari pada kolesterol total.
Kadar LDL Kolesterol
Normal Agak tinggi (Pertengahan) Tinggi
< 130 mg/dl 130-159 mg/dl >160 mg/dl
c. HDL Koleserol :
HDL (High Density Lipoprotein) kolesterol merupakan jenis kolesterol yang bersifat
baik atau menguntungkan (good cholesterol) : karena mengangkut kolesterol dari pembuluh
darah kembali ke hati untuk di buang sehingga mencegah penebalan dinding pembuluh darah
atau mencegah terjadinya proses arterosklerosis.
Kadar HDL Kolesterol
Normal Agak tinggi (Pertengahan) Tinggi
< 45 mg/dl 35-45 mg/dl >35 mg/dl
Jadi makin rendah kadar HDL kolesterol, makin besar kemungkinan terjadinya PJK.
Kadar HDL kolesterol dapat dinaikkan dengan mengurangi berat badan, menambah exercise
dan berhenti merokok.
d. Rasio Kolesterol Total :
HDL Kolesterol Rasio kolesterol total: HDL kolesterol sebaiknya (4.5 pada laki-laki
dan 4.0 pada perempuan). makin tinggi rasio kolesterol total : HDL kolesterol makin
meningkat resiko PJK.
e. Kadar Trigliserida.
Trigliserid didalam yang terdiri dari 3 jenis lemak yaitu Lemak jenuh, Lemak tidak
tunggal dan Lemak jenuh ganda. Kadar triglisarid yang tinggi merupakan faktor resiko untuk
terjadinya PJK..
Kadar Trigliserid
Normal Agak tinggi Tinggi Sangat Sedang
< 150 mg/dl 150 – 250 mg/dl 250-500 mg/dl >500 mg/dl
Kadar trigliserid perlu diperiksa pada keadaan sbb : Bila kadar kolesterol total > 200
mg/dl, PJK, ada keluarga yang menderita PJK < 55 tahun, ada riwayat keluarga dengan kadar
trigliserid yang tinggi, ada penyakit DM & pankreas
3. Merokok.
Pada saat ini merokok telah dimasukkan sebagai salah satu faktor resiko utama PJK
disamping hipertensi dan hiperkolesterolami. orang yang merokok > 20 batang perhari dapat
mempengaruhi atau memperkuat efek dua faktor utama resiko lainnya.
Penelitian Framingham mendapatkan kematian mendadak akibat PJK pada lakilaki
perokok 10X lebih besar dari pada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4.5X lebih
dari pada bukan perokok. Efek rokok adalah Menyebabkan beban miokard bertambah karena
rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi 02 akibat inhalasi co atau dengan
perkataan lain dapat menyebabkan Tahikardi, vasokonstrisi pembuluh darah, merubah
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi carboksi -Hb.
Disamping itu dapat menurunkan HDL kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas . Makin
banyak jumlah rokok yang dihidap, kadar HDL kolesterol makin menurun. Perempuan yang
merokok penurunan kadar HDL kolesterolnya lebih besar dibandingkan laki – laki perokok.
Merokok juga dapat meningkatkan tipe IV abnormal pada diabetes disertai obesitas dan
hipertensi, sehingga orang yan gmerokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis
dari pada yang bukan perokok. Apabila berhenti merokok penurunan resiko PJK akan
berkurang 50 % pada akhir tahun pertama setelah berhenti merokok dan kembali seperti yang
tidak merokok setelah berhenti merokok 10 tahun.
B. FAKTOR RESIKO LAINNYA.
1. Umur
Telah dibuktikan adanya hubungan antara umur dan kematian akibat PJK. Sebagian
besar kasus kematian terjadi pada laki-laki umur 35-44 tahun dan meningkat dengan
bertambahnya umur. Kadar kolesterol pada laki-laki dan perempuan mulai meningkat umur
20 tahun. Pada laki-laki kolesterol meningkat sampai umur 50 tahun. Pada perempuan
sebelum menopause ( 45-0 tahun ) lebih rendah dari pada laki-laki dengan umur yang sama.
Setelah menopause kadar kolesterol perempuan meningkat menjadi lebih tinggi dari pada
laki-laki.
2. Jenis kelamin.
Di Amerika Serikat gejala PJK sebelum umur 60 tahun didapatkan pada 1 dari 5 laki-
laki dan 1 dari 17 perempuan. Ini berarti bahwa laki-laki mempunyai resiko PJK 2-3 X lebih
besar dari perempuan.
3. Geografis.
Resiko PJK pada orang Jepang masih tetap merupakan salah satu yang paling rendah
di dunia. Akan tetapi ternyata resiko PJK yang meningkat padta orang jepang yang
melakukan imigrasi ke Hawai dan Califfornia . Hal ini menunjukkan faktor lingkungan lebih
besar pengaruhnya dari pada genetik.
4. Ras
Perbedaan resiko PJK antara ras didapatkan sangat menyolok, walaupun bercampur
baur dengan faktor geografis, sosial dan ekonomi . Di Amerika serikat perbedaan ras
perbedaan antara ras caucasia dengan non caucasia ( tidak termasuk Negro) didapatkan resiko
PJK pada non caucasia kira-kira separuhnya.
5. Diet.
Didapatkan hubungan antara kolesterol darah dengan jumlah lemak di dalam susunan
makanan sehari-hari ( diet ). Makanan orang Amerika rata-rata mengandung lemak dan
kolesterol yang tinggi sehingga kadar kolesterol cendrung tinggi. Sedangkan orang Jepang
umumnya berupa nasi dan sayur-sayuran dan ikan sehingga orang jepang rata-rata kadar
kolesterol rendah dan didapatkan resiko PJK yang lebih rendah dari pada Amerika. Beberapa
peetunjuk diet untuk menurunkan kolesterol :
• Makanan harus mengandung rendah lemak terutama kadar lemak jenuh tinggi.
• Mengganti susunan makanan dengan yang mengandung lemak tak jenuh.
• Makanan harus mengandung rendah kolesterol.
• Memilih makanan yang tinggi karbohidrat atau banyak tepung dan Berserat
• Makanan mengandung sedikit kalori bila berat badan akan diturunkan padta obesitas
dan memperbanyak exercise.
6. Obesitas.
Obesitas adalah kelebihan jumlah lemak tubuh > 19 % pada lakilaki dan > 21 % pada
perempuan. Obesitas sering didapatkan bersama-sama dengan hipertensi, DM, dan
hipertrigliseridemi. Obesitas juga dapat meningkatkan kadar kolesterol dan LDL kolesterol.
Resiko PJK akan jelas meningkat bila BB mulai melebihi 20 % dari BB ideal. penderita yang
gemuk dengan kadar kolesterol yang tinggi dapat menurunkan kolesterolnya dengan
mengurangi berat badan melalui diet ataupun menambah exercise.
7. Diabetes.
Intoleransi terhadap glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai predisposisi penyakit
pembuluh darah. Penelitian menunjukkan laki-laki yang menderita DM resiko PJK 50 %
lebih tinggi daripada orang normal, sedangkan pada perempuaan resikonya menjadi 2x lipat.
8. Exercise.
Exercise dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol dan memperbaiki kolaterol
koroner sehingga resiko PJK dapat dikurangi. Exercise bermanfaat karena :
• Memperbaiki fungsi paru dan pemberian 02 ke miokard
• Menurunkan BB sehingga lemak tubuh yang berlebihan berkurang bersama-sama
dengan menurunkan LDL kolesterol.
• Membantu menurunkan tekanan darah
• Meningkatkan kesegaran jasmani.
9. Perilaku dan Kebiasaan lainnya.
Dua macam perilaku seseorang telah dijelaskan sejak tahun 1950 yaitu : Tipe A dan
Tipe B. Tipe A umumnya berupaya kuat untuk berhasil, gemar berkompetisi, agresif, ambisi,
ingin cepat dapat menyelesaikan pekerjaan dan tidak sabar.Sedangkan tipe B lebih santai dan
tidak terikat waktu . Resiko PJK pada tipe A lebih besar daripada tipe B.
10. Perubahan Keadaan Sosial Dan stress.
Perubahan angka kematian yang menyolok terjadi di Inggris dan Wallas . Korban
serangan jantung terutama terjadi pada pusat kesibukan yang banyak mendapat stress.
Penelitian Supargo dkk ( 1981-1985 ) di FKUI menunjukkan orang yang stress 1 1/2 X lebih
besar mendapatkan resiko PJK stress disamping dapat menaikkan tekanan darah juga dapat
meningkatkan kadar kolesterol darah. II. Keturunan Hipertensi dan hiperkolesterolemi
dipengaruhi juga oleh faktor genetik.
12. Perubahan Massa.
Setelah pengumpulan data yang akurat selama puluhan tahun berbagai Negara
didapatkan perubahan angka kematian yang menarik. Alasan terjadinya penurunan di
Amerika Serikat belum jelas, mungkin disebabkan karena insiden kasus baru yang menurun
dan menurunnya kasus-kasus yang berat maupun hasil dari pengobatan yang lebih baik.
http://library.usu.ac.id/download/fk/gizi-bahri10.pdf
Diagnosis Dan Pemeriksaan
Pada anamnesis perlu ditanyakan dengan lengkap bagaimana kriteria nyeri dada yang
di alami pasien, sifat nyeri dada pada pasien STEMI merupakan nyeri dada tipikal (angina).
Faktor resiko seperti hipertensi,diabetes melitus, dislipidemia, merokok, serta riwayat
penyakit jantung koroner di keluarga (Alwi, 2006).
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti
aktivitas fisik berat, stress, emosi, atau penyakit medis lain yang menyertai. Walaupun
STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, tetapi variasi sirkadian di laporkan dapat
terjadi pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat. Seringkali
ektremitas pucat di sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan
banyak keringat di curigai kuat adanya STEMI. Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular
adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas jantung pertama dan split paradoksikal bunyi
jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat
sementara (Alwi, 2006).
Selain itu diagnosis STEMI ditegakan melalui gambaran EKG adanya elevasi ST
kurang lebih 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau kurang
lebih 1mm pada 2 sadapan ektremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang
meningkat, memperkuat diagnosis (Alwi, 2006).
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa beristirahat (gelisah)
dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit
dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat adanya STEMI.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien STEMI
tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi. Pemeriksaan petanda kerusakan
jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK) MB dan cardiac specific troponin
(cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai petanda optimal
untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga akan
diikuti peningkatan CKMB.
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST dan gejala
IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim diatas dua
kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung.11
1) CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis,
dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
2) cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK), Lactic
dehydrogenase (LDH)
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear
yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari.
Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.11
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada
atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di IGD sebagai
landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak
diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat
STEMI, EKG serian dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara
kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. EKG
sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior, untuk mendeteksi kemungkinan
infark ventrikel kanan.11
Tatalaksana IMA
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST mengacu pada data-data dari evidence based
berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang ataupun konsensus
dari para ahli sesuai pedoman (guideline).11
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat, menghilangkan
nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang mungkin dilakukan,
memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat penunjang. Terdapat beberapa
pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun
2009 dan ESC tahun 2008, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-
masing tempat dan kemampuan ahli yang ada
Tatalaksana awal
Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Kematian di luar rumah sakit pada STEMI sebagian besar diakibatkan adanya fibrilasi
ventrikel mendadak, yang terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala dan lebih dari
separuhnya terjadi pada jam pertama, sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada
pasien yang dicurigai STEMI antara lain.
1) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis 2) Pemanggilan tim
medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi
3) Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis
dokter dan perawat yang terlatih.
4) Melakukan terapi reperfusi
Keterlambatan terbanyak pada penanganan pasien disebabkan oleh lamanya waktu
mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini dapat
diatasi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai
pentingnya tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pre hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedik di
ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan EKG dan managemen STEMI serta
ada kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi
Tatalaksana di ruang emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien
risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien
dengan STEMI
Tatalaksana umum
1) Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6
jam pertama
2) Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis
0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit.
- Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan
dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
- Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal
dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan
dosis 75-162 mg.
- Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian
penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung
> 60 kali permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan
ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48
jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam
Tatalaksana di rumah sakit
ICCU
1) Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
2) Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam
karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard.
3) Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan
periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5mg, oksazepam 15-30 mg, atau
lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4 kali/hari
4) Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek menggunakan
narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri sering mengakibatkan konstipasi, sehingga
dianjurkan penggunaan kursi komod di samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan
penggunaan pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200
mg/hari)
Stemi
Latar belakang
Dewasa ini Penyakit Jantung Koroner / Coronnary Artery Disease (PJK / CAD)
merupakan salah satu penyakit jantung yang sangat penting, karena penyakit ini diderita
oleh jutaan orang dan merupakan penyebab kematian utama di beberapa negara
termasuk Indonesia. Sebagai gambaran, di Amerika Serikat dilaporkan jumah penderita PJK
(infark miokard akut ) baru adalah 1,5 juta per tahun (satu penderita tiap 20 detik).
PJK juga merupakan penyebab disabilitas dan kerugian ekonomis yang tertinggi
dibanding penyakit lain. Diperkirakan dana yang dibelanjakan tiap tahunnya untuk perawatan
PJK di Amerika Serikat adalah sebesar 14 milyar US$ (sekitar 42 triliun rupiah). Di
indonesia, belum ada data-data yang jelas, tetapi menurut Survey Rumah Tangga Dep.Kes.
tahun 1992 dilaporkan bahwa PJK merupakan penyebab kematian nomer satu. Sampai saat
ini penyebab yang pasti dari PJK tidak jelas, faktor risiko diduga sangat berpengaruh
terhadap timbulnya PJK.
Tingginya prevalensi penyakit jantung (khususnya penyakit jantung koroner)
diakibatkan oleh sejumlah faktor yang berhubungan dengan pola hidup dan prilaku
masyarakat yang cenderung mengalami pergeseran misalnya merokok, minum alkohol,
makan makanan berlemak, stress dan kurangnya aktivitas fisik. (journal.unhas.ac.id)
Timbulnya PJK didasari oleh proses aterosklerosis yang bersifat progresif yang
mana proses tersebut telah dimulai sejak masa kanak-kanak dan menjadi nyata pada dekade
3-4.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
STEMI
ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan bagian dari spektrum
sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi
ST dan IMA dengan elevasi ST. (buku ajar ilmu pny dalam)
STEMI adalah sindrom klinis yang didefinisikan sebagai gejala iskemia miokard
khas yang dikaitkan dengan gambaran EKG berupa elevasi ST yang persisten dan diikuti
pelepasan biomarker nekrosis miokard.
PATOFISIOLOGIS
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner
berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara
cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti
merokok,hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur,
ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga
terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian
histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous
cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik
terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI
memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, efinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa.
Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap
sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2
platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi.
Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian
akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi
yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital,
spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Alwi, 2006).
Definisi, etiologi, faktor risiko, dan patofisiologi
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan
sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi sumbatan
koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya.
Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat
sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami
infark.12 Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarct)
merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas angina
pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.11 Infark miokard
akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri
koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.11 Faktor risiko biologis infark
miokard yang tidak dapat diubah yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga,
sedangkan faktor risiko yang masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat
proses aterogenik, antara lain kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi
glukosa, dan diet yang tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori.13 Setiap bentuk penyakit
arteri koroner dapat menyebabkan IMA. Penelitian angiografi menunjukkan bahwa sebagian
besar IMA disebabkan oleh trombosis arteri koroner. Gangguan pada plak aterosklerotik yang
sudah ada (pembentukan fisura) merupakan suatu nidus untuk pembentukan trombus.1 Infark
terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi, sehingga terjadi trombus
mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner.11 Penelitian histologis
menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika fibrous cap tipis dan inti kaya
lipid (lipid rich core). Gambaran patologis klasik pada STEMI terdiri atas fibrin rich red
trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik.11 Berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi
trombosit pada lokasi ruptur plak, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu, aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Reseptor mempunyai afinitas tinggi
terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang terlarut (integrin) seperti faktor von
Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat
mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan platelet dan agregasi
setelah mengalami konversi fungsinya. 11,12 Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan
tissue activator pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan
konversi protombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi
fibrin. Arteri koroner yang terlibat akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri atas
agregat trombosit dan fibrin.11,12 Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara
lain emboli arteri koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme koronaria terisolasi,
arteritis trauma, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik. 14
ANAMNESIS