bab ii telaah pustaka 2.1 good governancerepository.ub.ac.id/10345/3/bab ii.pdf · 2020. 10....
TRANSCRIPT
21
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1 Good Governance
2.1.1 Pengertian Good Governance
Dewasa ini, Good governance telah menjadi isu yang paling mengemuka
dalam pengelolaan keuangan dan administrasi di sektor publik. Peningkatan
pengetahuan masyarakat dan pengaruh globalisasi telah mengubah cara
pandang masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Masyarakat lebih aktif dalam
memantau kinerja pemerintah dan menuntut penyelenggaraan pemerintahan
yang baik dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban dana publik
(Allmendinger, Tewdwr-Jones, and Morphet, 2003). Sudah semestinya tuntutan
tersebut ditanggapi pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan yang
terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Beberapa lembaga telah berupaya untuk mendefinisikan good
governance. Good governance dapat juga diartikan sebagai proses implementasi
dari keputusan yang baik melalui proses yang baik (UNESCAP, 2009). Definisi
good governance menurut UNDP adalah praktek penerapan kewenangan
penyelenggaraan berbagai urusan negara secara politik (political governance),
ekonomi (economic governance) dan administratif (administrative governance) di
semua tingkatan (Moeljono, 2005). Administrative governance mengacu pada
sistem implementasi secara efisien, tidak memihak, akuntabel dan terbuka.
Konsep ini berkaitan dengan peran pemerintah, swasta dan masyarakat sebagai
pilar good governance.
22
Praktik Good governance harus memberi ruang kepada sektor
pemerintah, swasta dan masyarakat untuk berperan serta secara optimal dalam
pemerintahan untuk menghasilkan sinergi di antara ketiga faktor tersebut
(Dwiyanto, 2006). Kerangka keterpaduan dan kerjasama yang harmonis dari
masing-masing pihak untuk mencapai keseimbangan dan sinergi dalam
pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masing-masing institusi merupakan
kunci keberhasilan good governance. Keberhasilan implementasi good
governance juga sangat terkait dengan elemen-elemen utama yang berkaitan
dengan karakteristik dan prinsip good governance. Karakteristik dan prinsip good
governance merupakan tolok ukur yang dapat digunakan untuk menilai apakah
pemerintahan telah dijalankan dengan baik atau tidak (Thahar, 2016).
2.1.2 Karakteristik dan Prinsip Good Governance
Praktik good governance dapat dikatakan sebagai strategi dalam
penciptaan institusi masyarakat yang kuat serta membuat pemerintah menjadi
semakin terbuka, responsif, akuntabel dan demokratis. UNDP mengajukan
sembilan karakteristik good gonvernance yang saling memperkuat dan tidak
berdiri sendiri (Mardiasmo, 2002)
1. Partisipasi. Setiap warga negara memiliki hak suara dalam pengambilan
keputusan, secara langsung/tidak langsung melalui lembaga/institusi yang
sah dan dapat menyalurkan aspirasinya.
2. Penegakan Hukum. Kerangka hukum yang adil dan tanpa pandang bulu,
juga termasuk hukum yang menyangkut tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Penegakan hukum yang tegas akan meningkatkan partisipasi masyarakat
dan mencegah partisipasi yang berubah menjadi tindakan anarkis.
23
3. Transparansi. Adanya kebebasan dan kemudahan untuk memperoleh
informasi yang akurat dan memadai bagi stakeholder.
4. Daya tanggap/responsif. Pemerintah harus tanggap dalam melayani
kebutuhan stakeholder dan secara proaktif mempelajari dan menganalisa
kebutuhan masyarakat dan mengeluarkan kebijakan strategis untuk
memenuhi kepentingan umum.
5. Orientasi pada kesepakatan. Good governance menjadi perantara berbagai
kepentingan yang berbeda untuk mendapatkan pilihan terbaik dalam hal
perumusan kebijakan-kebijakan. Hasil keputusan ini bersifat mengikat dan
milik bersama sehingga memiliki kekuatan untuk memaksa bagi semua
komponen yang terlibat melaksanakannya.
6. Kesetaraan. Setiap warga negara mendapatkan kesempatan yang sama
dalam memperoleh keadilan dan kesejahteraan.
7. Efektifitas dan efisiensi. Setiap proses dan kelembagaan untuk
menghasilkan sesuatu sesuai ketentuan dengan menggunakan berbagai
sumber yang tersedia sebaik mungkin.
8. Akuntabilitas. Para pengambil keputusan di dalam pemerintahan, sektor
swasta dan masyarakat memiliki tanggungjawab kepada publik serta
lembaga-lembaga yang berkepentingan. Akuntabilitas ini tergantung pada
organisasi dan sifat keputusannya apakah untuk kepentingan
internal/eksternal organisasi.
9. Visi Strategis. Para pemimpin harus memiliki pandangan yang luas dan jauh
kedepan. Visi strategis merupakan pandangan strategis untuk
mempersiapkan keadaan di masa mendatang dan menganalisa persoalan
serta tantangan yang akan dihadapi oleh organisasi pada masa mendatang.
24
Perlaksanaan good governance di Indonesia berdasarkan pada acuan
umum penerapan yang dikeluarkan oleh Lembaga Adminstrasi Negara RI Tahun
2005. Terdapat tujuh asas penerapan good governance antara lain:
1. Asas kepastian hukum. Peraturan perundang-undangan, keadilan dan
kepatutan merupakan hal yang fundamental dalam setiap perumusan
kebijakan penyelenggaraan negara.
2. Asas tertib penyelenggaraan negara. Asas untuk menjadikan keteraturan,
kesesuaian dan keseimbangan dalam pengendalian negara.
3. Asas kepentingan umum. Good governance harus mampu mengutamakan
kepentingan umum secara aspiratif, akomodatif dan selektif.
4. Asas keterbukaan. Asas yang memperhatikan hak warga negara untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur serta tidak diskriminatif mengenai
penyelenggaraan negara dengan memperhatikan perlindungan atas hak
asasi masing-masing individu, golongan dan rahasia negara.
5. Asas proposionalitas. Asas yang mengutamakan proporsi antara hak dan
kewajiban dalam penyelenggaraan negara.
6. Asas profesionalitas. Asas yang mengutamakan keahlian berlandaskan kode
pada etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
7. Asas akuntabilitas. Asas yang mengutamakan pertanggungjawaban atas
setiap kegiatan serta hasil akhir dari kegiatan pengelolaan pemerintahan
kepada rakyat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Salah satu asas good governance yang menjadi sorotan adalah
akuntabilitas. Pengaruh globalisasi dan meningkatnya kepedulian masyarakat
dalam pengawasan dana publik telah menuntut pemerintah untuk
25
mempertanggungjawabkan segala aktivitas pemerintahan tidak hanya kepada
otoritas yang lebih tinggi, namun juga kepada masyarakat (Akbar, 2011; Mimba
et al., 2007). Akuntabilitas dianggap penting dalam menjalankan good
governance karena diperlukan bagi setiap pemerintahan supaya segala tindakan
secara meluas disetujui oleh masyarakat (Hughes, 1994).
2.2 Akuntabilitas
2.2.1 Pengertian Akuntabilitas
Akuntabilitas sebagai salah satu prinsip good governance berkaitan
dengan pertanggungjawaban atas hasil capaian program/kegiatan yang telah
dilaksanakan. Stanbury (2003) mendefinisikan akuntabilitas sebagai bentuk
kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan maupun kegagalan
pencapaian visi dan misi organisasi yang telah ditentukan sebelumnya, melalui
media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik. Pada dasarnya
akuntabilitas adalah keterbukaan informasi dan pengungkapan atas kegiatan
yang dilakukan dan kinerja finansial kepada stakeholders (Schiavo dan Tomasi,
1999).
Menurut UNDP (1997), akuntabilitas adalah evaluasi atas proses
pelaksanaan kegiatan/kinerja organisasi agar dapat dipertanggungjawabkan
serta sebagai umpan balik bagi pimpinan organisasi untuk dapat lebih
meningkatkan kinerja organisasi pada masa mendatang. Akuntabilitas mampu
menjadi alat bagi manajer untuk memahami bagaimana terjadinya kegagalan
program/kegiatan dan menemukan mekanisme yang tepat untuk membuat
program/kegiatan yang lebih baik.
Pollit (2003) menjelaskan bahwa akuntabilitas menyangkut hubungan
antara actor yaitu accountor, accountee, forum dan obyek akuntabilitas itu
26
sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aspek yang terkandung dalam
pengertian akuntabilitas adalah kewajiban yang sifatnya imperatif (keharusan)
dan harus disampaikan pada pemberi mandat. Pemerintah sebagai pengelola
dana publik memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan
keberhasilan/kegagalan program dan kegiatan kepada pemberi amanat.
Pertanggungjawaban tersebut dapat dilakukan melalui laporan yang mampu
menggambarkan kinerja pemerintah, selain itu laporan juga harus mudah diakses
oleh pemberi amanat. Akuntabilitas akan menjadi kenyataan dan bukan hanya
retorika saja jika dilaksanakan dalam negara demokrasi, saat masyarakat
mempunyai kemampuan untuk menuntut pelaksanaan pemerintahan yang
akuntabel (Funnel, Cooper dan Lee, 2012).
Sistem pemerintahan desentralisasi mengharuskan manajer publik
melakukan perubahan dari partisipan pasif menjadi aktif didalam penyusunan
standart akuntabilitas sesuai dengan keinginan publik (Mahsun, 2012:83). Hal ini
menunjukkan bahwa kewajiban pemerintah daerah untuk meningkatkan
akuntabilitasnya tidak hanya kepada otoritas yang lebih tinggi, akan tetapi juga
kepada masyarakat luas.
Gray dan Jenkins (1993) membedakan konsep akuntabilitas menjadi tiga,
yaitu: akuntabilitas keuangan, akuntabilitas kinerja, dan akuntabiltias profesional.
Akuntabilitas keuangan menekankan pada kejujuran, kepatuhan dan efisiensi.
Akuntabilitas kinerja menekankan pada tanggung jawab integritas organisasi,
keteraturan, konsistensi dan efisiensi pelayanan. Selanjutnya, akuntabilitas
profesional menekankan pada aksesibilitas, kesesuaian dan kualitas pelayanan
dan perhatian kepada pengguna layanan. LAN dan BPKP (2000)
mengklasifikasikan akuntabilitas menjadi tiga, yaitu: akuntabilitas keuangan,
27
akuntabilitas manfaat, dan akuntabilitas prosedural. Akuntabilitas keuangan
adalah laporan keuangan instansi pemerintah sebagai pertanggungjawaban
kinerja keuangan, dan ketaatan terhadap peraturan. Akuntabilitas manfaat
menitikberatkan pada efektifitas hasil-hasil kegiatan pemerintahan, bukan hanya
output saja melainkan sampai otucome. Akuntabilitas prosedural menitikberatkan
pada pertanggungjawaban aspek penetapan dan pelaksanaan kebijakan yang
harus mempertimbangkan masalah moral, etika, kepastian hukum dan ketaan
tapada keputusan politik untuk mendukung pencapaian target yang telah
ditetapkan.
Akuntabilitas dalam sektor publik sangat kompleks dan konsepnya telah
dikembangkan dalam berbagai dimensi yang berguna untuk tujuan yang berbeda
(Hoges, 2012). Manajer dalam sektor publik memiliki berbagai macam
konstituen, sehingga mereka harus bertanggungjawab untuk hal-hal yang
berbeda (Sinclair, 1995). Hal ini menimbulkan banyaknya pemaknaan tentang
dimensi-dimensi akuntabilitas publik berdasarkan tujuan pelaksanaan
akuntabilitas, yaitu dari siapa, tentang apa dan kepada siapa akuntabilitas
tersebut dilaksanakan.
2.2.2 Dimensi Akuntabilitas Publik
Hopwood dan Tomkins (1984) menjelaskan bahwa instansi pemerintah
dalam menjalankan akuntabilitasnya harus memenuhi lima dimensi akuntabilitas,
yaitu:
1. Akuntabilitas hukum dan kejujuran (accountability for probity and legality)
menekankan pada perilaku jujur dan mentaati peraturan hukum yang
berlaku;
28
2. Akuntabilitas manajerial (managerial accountability) atau akuntabilitas
kinerja (performance accountability) merupakan pertanggungjawaban
pemerintah dalam proses organisasi yang dilakukan agar berjalan dengan
efektif dan efisien;
3. Akuntabilitas program (program accountability) berkaitan dengan
pencapaian tujuan, penyusunan program sampai dengan
pelaksanaannya;
4. Akuntabiltias kebijakan (policy accountability) merupakan akuntabilitas
atas kebijakan dan pelaksanaannya;
5. Akuntabilitas keuangan (financial accountability) merupakan
pertanggungjawaban pemerintah atas penggunaan dana publik sesuai
dengan prinsip value for money.
Salah satu media akuntabilitas adalah laporan keuangan yang telah
diaudit oleh BPK. Laporan keuangan menekankan pada pertanggungjawaban
sumber daya yang digunakan sesuai dengan peraturan dan perundangan yang
berlaku (Sadjirto, 2000). Jadi laporan keuangan baru memenuhi tahap probity
and legality accountability (compliance accountability), sehingga masih
diperlukan laporan lainnya yang dapat memberikan informasi mengenai efisiensi
kegiatan, ukuran dan indikator yang digunakan dalam mengalokasikan sumber
daya, pencapaian tujuan yang ditetapkan serta pemilihan kebijakan yang diambil.
Informasi tersebut dapat diakomodir dalam laporan kinerja yang berisi tentang
evaluasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (SAKIP).
2.3 Sistem Akuntabilitas Kinerja di Indonesia
Akuntabilitas kinerja merupakan salah satu penekanan dalam
pembenahan pengelolaan sektor publik yang telah diadopsi oleh berbagai
29
negara dengan latar belakang sejarah, politik, ekonomi, sosial, dan geografis
yang berbeda (Lapsey, 2008). Reformasi ini merupakan hasil dari pendekatan
neo-liberal terhadap fungsi sosial dan ekonomi (Humphrey, 1993) dan peran
lembaga dunia (Kotsias, 2010). Menurut Goldfich dan Wallis (2009) akuntabilitas
kinerja adalah pertanggungjawaban manajer pemerintah sebagai pemegang
amanah untuk menjalankan tugas sesuai dengan aturan, tidak melakukan
penyalahgunaan wewenang, menjalankan operasional sehari-hari berdasarkan
pada efisiensi, ekonomi dan efektifitas.
Perkembangan akuntabilitas kinerja di Indonesia diawali dengan
ditetapkannya INPRES No. 7 Tahun 1999 yang mempertegas bahwa tidak hanya
akuntabilitas keuangan yang menjadi tuntutan publik tetapi juga akuntabilitas
kinerja (LAN dan BPKP, 2000). INPRES No. 7 Tahun 1999 mendefinisikan
akuntabilitas kinerja sebagai wujud kewajiban instansi pemerintah dalam
mempertanggungjawabkan keberhasilan maupun kegagalan pencapaian visi dan
misi organisasi untuk sesuai target tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan
melalui alat pertanggungjawaban secara periodik.
INPRES No. 7 Tahun 1999 mewajibkan instansi pemerintah untuk
membuat laporan akuntabilitas kinerja kepada presiden sebagai pemberi
amanah. Tata cara penyusunan laporan tersebut diatur dalam Keputusan Kepala
LAN No. 589/IX/6/99 dan Keputusan Kepala LAN No. 239/IX/6/8/2003. Pada
tahun 2003, UU No. 17 Tahun 2003 sebagai dasar pelaksanaan Anggaran
Berbasis Kinerja (ABK) disahkan. Hal ini merupakan langkah awal penyusunan
anggaran yang mampu menghubungkan anggaran pemerintah dengan kinerja
yang akan dicapainya. Panduan integrasi antara SAKIP dengan ABK dikeluarkan
oleh Kementrian Dalam Negeri melalui Permendagri No 13 Tahun 2006.
30
Pembenahan dalam sistem perencanaan kinerja dilakukan dengan
menerbitkan PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah. PP ini
bertujuan untuk memberikan panduan dalam pengembangan rencana kerja
tahunan. Sedangkan undang-undang yang mengatur tentang rencana kerja
pemerintah diterbitkan kemudian dalam UU No. 25 Tahun 2004. UU ini mengatur
sistem perencanaan nasional yang terbagi dalam beberapa periode, yaitu:
(1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) untuk rencana 20 tahunan;
(2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk rencana lima
tahunan; dan (3) Rencana Kerja (Renja) untuk rencana satu tahun anggaran.
Selanjutnya, LAKIP harus dievaluasi oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara berdasarkan KEPMENPAN No. 135 Tahun 2004 tentang pedoman
evaluasi LAKIP. Pada masa ini, instansi pemerintah diwajibkan untuk menyusun
perjanjian kinerja sebagai upaya untuk meningkatkan kerangka kerja dalam
pengukuran kinerja. Penyusunan perjanjian kinerja diatur dalam Surat Edaran
(SE) No. 31 Tahun 2004. Pengaplikasian perjanjian kerja adalah bentuk mimetic
dari pemerintah Indonesia atas implementasi akuntabilitas kinerja yang
dilaksanakan di Inggris.
Pada tahun 2006, Pemerintah Indonesia mengesahkan PP No. 8 Tahun
2006 yang mewajibkan seluruh instansi pemerintah untuk melaporkan laporan
keuangan dan LAKIP sebagai bentuk akuntabilitas. Informasi kinerja yang telah
disampaikan oleh pemerintah masih belum digunakan dengan baik. Pemerintah
masih sulit untuk mengukur keberhasilan dan kegagalan tujuan strategis dan
sasaran mereka. Oleh karena itu, pada tahun 2007 pemerintah memperkenalkan
Indikator Kinerja Kunci (IKK) sebagai alat untuk mengukur keberhasilan dan
kegagalan tujuan strategis pemerintah. Pada tahun 2014, diterbitkan Peraturan
31
Presiden No 29 Tahun 2014 tentang SAKIP sebagai dasar untuk melaksanakan
ketentuan PP No 8 tahun 2004. Pada tahun 2014, diterbitkan Peraturan Presiden
No 29 Tahun 2014 tentang SAKIP sebagai dasar untuk melaksanakan ketentuan
PP No 8 tahun 2004. PERPRES No 29 Tahun 2014, mendefinisikan SAKIP
sebagai:
“...rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat, dan prosedur yang dirancang untuk tujuan penetapan dan pengukuran, pengumpulan data, pengklasifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan kinerja pada instansi pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja instansi pemerintah”.
SAKIP terdiri dari berbagai komponen yang membentuk siklus yang
merupakan satu kesatuan, yaitu: penyusunan rencana strategis, penyusunan
perjanjian kinerja, pengukuran kinerja, pengelolaan data kinerja, pelaporan
kinerja, serta reviu dan evaluasi kinerja. Siklus SAKIP ini bersifat terpadu dan
tidak terputus dan merupakan infrastruktur dalam proses pemenuhan kewajiban
penyelenggaraan pemerintahan dalam mempertanggungjawabkan
keberhasilan/kegagalan pelaksanaan visi dan misi organisasi. Siklus SAKIP
dapat dilihat pada gambar 2.1
Siklus SAKIP diawali dengan penyusunan rencana strategis berupa visi,
misi, tujuan, sasaran dan strategi yang akan digunakan untuk mencapai tujuan
dan sasaran. Rencana strategis merupakan dokumen perencanaan lima tahunan
yang kemudian dijabarkan dalam perencanaan kinerja yang disusun setiap
tahun. Tahap selanjutnya adalah penyusunan perjanjian kinerja yang berisi
penugasan pimpinan yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Penyusunan
perjanjian kinerja menggunakan indikator kinerja dengan memperhatikan
Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA). Selanjutnya tahapan pengukuran
kinerja, yaitu membandingkan realisasi kinerja dengan target indikator kinerja
32
yang terdapat dalam dokumen perjanjian kinerja. Pengukuran kinerja sangat
dipengaruhi oleh komponen selanjutnya, yaitu pengelolaan data kinerja.
Pengelolaan data kinerja dilakukan untuk menyediakan data dengan cara
mencatat, mengolah dan melaporkan data kinerja. Data kinerja merupakan
capaian kinerja yang dinyatakan dalam satuan indikator kinerja. Pada akhir
periode, capaian kinerja dilaporkan kepada pihak yang berkepentingan dalam
bentuk LKj interim dan laporan LKj tahunan. Tahapan terakhir adalah reviu dan
evaluasi yang dilakukan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Reviu
dilakukan untuk mendapatkan keyakinan atas informasi yang disajikan sebelum
disampaikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota.
Evaluasi atas Laporan Kinerja dilakukan untuk memberikan penilaian atas
implementasi SAKIP di OPD.
Gambar 2.1 Siklus Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Sumber: Perpes No. 29 Tahun 2014
33
Implementasi SAKIP merupakan suatu siklus yang kompleks dan rumit.
Peningkatan teknologi, pembenahan administrasi dalam pengumpulan data,
komitmen pimpinan dan pegawai, serta kerjasama antar sektor perlu ditingkatkan
untuk mengoptimalkan implementasi SAKIP. Selain itu, proses pelembagaan
SAKIP dalam suatu instansi juga mempengaruhi apakah SAKIP mampu
diimplementasikan dengan baik atau hanya sekedar untuk memenuhi kewajiban
pemerintah saja. Proses pelembagaan ini dapat dipahami lebih lanjut dengan
menggunakan teori New Institutional Sociology (NIS).
2.4 New Institutional Sociology (NIS)
Teori institusional mengusung ide pokok bahwa keberadaan organisasi
dibentuk oleh lingkungan yang ada disekitarnya. Sejumlah ahli telah
menggunakan teori institusional untuk melakukan penelitiannya dalam berbagai
bidang seperti ekonomi dan sosiologi (Meyer dan Rowan, 1977; DiMaggio dan
Powell, 1983). Terdapat dua kelompok dalam teori institusional, yaitu Old
Institutionalism Sociology (OIS) dan New Institutionalism Sociology (NIS). OIS
dikembangkan oleh Philips Selznick, kemudian pada tahun 1970an sejumlah
peneliti mengembangkannya menjadi NIS. Beberapa ahli yang mengembangkan
konsep NIS antara lain Meyer dan Rowan (1977), Zucker (1977) dan DiMaggio
dan Powel (1983), dan Scott (1987). Menurut Selznick (1949) yang paling
penting dalam proses institusionalisasi adalah masuknya nilai-nilai baru, baik
yang merupakan reaksi organisasi terhadap tekanan internal maupun eksternal
dan merupakan proses penyesuaian secara terus menerus. Para ahli teori
institusional yang lain seperti Meyer dan Rowan (1977), DiMaggio dan Powel
(1983) dan Jepperson (1991) memandang bahwa insitusionalisasi adalah proses
34
penciptaan realitas yang menekankan peran aktor sebagai elemen penting
dalam proses institusionalisasi.
Persamaan di antara OIS dan NIS adalah pandangan bahwa aktor dalam
organisasi tidak sepenuhnya rasional dalam analisa organisasi dan mengakui
bahwa institusionalisasi adalah proses penyerapan aspek-aspek lingkungan oleh
organisasi untuk menjadi bagian dari ritual atau kebiasaannya. Perbedaan OIS
dan NIS adalah OIS memandang perubahan organisasi terjadi karena keinginan
internal organisasi, sedangkan NIS memandang perubahan terjadi karena
tekanan dari luar dan ingin mendapatkan legitimasi. OIS memandang bahwa
organisasi melakukan perubahan terus menerus secara alamiah untuk mencapai
tujuan yang lebih baik. OIS berbicara tentang rasionalitas dan birokrasi pada
dunia modern. Konteks yang diperhatikan adalah memahami konstruksi birokrasi
seperti power, interest dan konflik melalui berbagai model pengorganisasian
(Jennings and Greenwood, 2003: 196). NIS memandang perubahan organisasi
terjadi karena adanya tekanan dari luar dan perubahan dilakukan belum tentu
untuk mencapai efisiensi, tetapi lebih kepada mempertahankan legitimasi (Meyer
and Rowan, 1977). Hal ini terjadi ketika lingkungan intitusional hanya akan
memberikan sumber dayanya kepada organisasi yang terlegitimasi, maka
orientasi organisasi adalah untuk mendapatkan legitimasi institusional (DiMaggio
and Powell, 1983) agar dapat tetap survive.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teori NIS untuk
mengungkapkan fenomena implementasi SAKIP pada tingkatan pemerintah
kabupaten/kota. Pandangan New institusional dianggap sesuai dengan kondisi
objek penelitian, dimana pemerintah kabupaten/kota memiliki kewajiban untuk
melaksanakan pengelolaan pemerintahan sesuai dengan peraturan yang berlaku
35
dan bertanggungjawab untuk menjadi lembaga yang akuntabel baik kepada
otoritas yang lebih tingggi maupun kepada masyarakat.
Tekanan yang dihadapi oleh pemerintah untuk meningkatkan
akuntabilitas kinerja berasal dari dalam organisasi yaitu untuk memperbaiki
kinerja, akan tetapi tekanan yang jauh lebih besar berasal dari eksternal, yaitu
dari stakeholder. Masyarakat mendorong pemerintah untuk melakukan perbaikan
kinerja dan memberantas praktik-praktik KKN yang sebelumnya telah menjadi
budaya dalam sistem birokrasi. Selain itu, tekanan dari lembaga-lembaga donor
internasional juga berkontribusi besar dalam perubahan. Perubahan ini sebagai
syarat untuk mendapatkan bantuan dan dan pertanggungjawaban dana.
Pada intinya, proses instusionalisasi merupakan proses homogenisasi
(homogenization) yaitu proses menjadikan sebuah organisasi menyerupai
lingkungan institusionalnya (Meyer dan Rowan, 1977). Proses homogenisasi ini
dilakukan agar organisasi mendapatkan legitimasi dari lingkungan insitusionalnya
sehingga organisasi dapat survive. Legitimasi institusional dapat dicapai melalui
homogenization yaitu mekanisme ketika organisasi menyamakan praktik-praktik
atau rutinitasnya agar menyerupai lingkungan institusionalnya. Konsep yang
paling tepat untuk menjelaskan proses homogenisasi adalah isomorphism
(DiMaggio and Powell, 1983).
DiMaggio dan Powell (1983) menjelaskan bahwa terdapat tiga cara
terjadinya perubahan insitusional isomorphism yaitu coercive isomorphism,
mimetic isomorphism, dan normative isomorphism. Coercive isomorphism terjadi
karena adanya tekanan baik formal maupun informal yang diterima organisasi
dari lingkungan eksternal yang memiliki power untuk menekan organisasi.
Mimetic isomorphism terjadi pada saat organisasi menghadapi ketidakpastian
36
dalam melakukan praktik-praktik baru, sehingga organisasi memutuskan untuk
mengimitasi praktik-praktik yang telah diterapkan oleh organisasi lain yang dinilai
berhasil menerapkan praktik-praktik tersebut. Selanjutnya, normative
isomorphism terjadi karena perubahan yang terjadi melibatkan aktor-aktor
profesional baik melalui sosialisasi, pelatihan maupun pengembangan aplikasi
baru yang mampu meningkatkan kemampuan internal organisasi.
Terdapat dua alasan mengapa terjadi isomorphism (Meyer and Rowan,
1991). Pertama, kenyataan bahwa lingkungan organisasi selalu menghasilkan
apa yang disebut sebagai “boundary-spanning exigencies” yaitu tidak mampunya
sebuah organisasi untuk sepenuhnya independen dari lingkungan organisasinya
sehingga proses take and give menjadi tidak terelakkan. Kedua, pada dasarnya
organisasi merupakan tatanan sosial yang memungkinkan organisasi untuk
menampilkan kembali realitas tatanan sosialnya. Organisasi selalu berada dalam
proses mengkondisikan dan dikondisikan oleh lingkungannya.
Menurut Meyer dan Rowan (1977) Isomorphism mengakibatkan
munculnya konsekuensi yang harus dihadapi oleh organisasi, di antaranya:
1) tekanan untuk melakukan perubahan dapat memaksa organisasi untuk
memperoleh legitimasi daripada efisiensi, 2) pelaksanaan dilakukan seremonial
saja karena ketidakmampuan ataupun keengganan organisasi dalam
menjalankan elemen baru, dan 3) timbul ketergantungan kepada institusi
eksternal untuk mempertahankan stabilitas dan kemungkinan gejolak yang
timbul.
Menurut Djamhuri (2009) proses internalisasi ini dapat menjadikan
organisasi menjadi benar-benar solid atau sebaliknya menjadikan organisasi dari
luar tampak solid, tetapi didalamnya rapuh (decoupling). Organisasi yang tidak
37
mampu atau enggan untuk menginternalisasikan elemen baru maka ada
kemungkinan untuk tampak melaksanakan elemen tersebut, akan tetapi pada
kenyataannya hanya pura-pura. Meyer dan Rowan (1977) menyatakan bahwa
perilaku decoupling memungkinkan organisasi untuk mempertahankan standar,
legitimasi dan struktur formal yang dimilikinya.