bab ii tinjauan pustaka 2.1 asma bronkial 2.1.1 definisieprints.umm.ac.id/63665/2/bab ii.pdf · 2.1...
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asma Bronkial
2.1.1 Definisi
Asma merupakan suatu gangguan saluran nafas yang dicirikan dengan batuk,
dada terasa berat, kesulitan bernafas, dan mengi (wheezing). Asma dapat diakibatkan
oleh berbagai stimulus seperti faktor biokemikal, endokrin, infeksi, otonomik dan
psikologi. Asma terjadi pada saluran bronkial dengan ciri bronkospasme periodik,
dimana terjadinya kontraksi spasme pada saluran pernafasan terutama pada
percabangan trakeobrokhial (Somantri, 2012).
Asma merupakan penyakit heterogen yang ditandai dengan adannya peradangan
jalan napas kronis dengan gambaran utama dari riwayat klinis seperti sesak napas yang
episodik terutama pada malam hari dan sering disertai dengan batuk (Global Initiatve
for Asthma (GINA), 2012). Asma dapat berpotensi serius yang dapat membebani
pasien, keluarga, dan masyarakat karena asma menyebabkan gejala pernapasan,
keterbatasan melakukan aktivitas, dan eksaserbasi yang dapat berakibat fatal (GINA,
2019). Orang yang menderita asma mengalami gejala yang berkisar dari ringan hingga
berat, jarang terjadi atau terjadi setiap hari. Ketika gejalanya memburuk maka disebut
serangan asma (National Heart, Lung, 2019).
Penyakit asma merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, akan tetapi
dapat dikendalikan dan dikurangi frekuensi terjadinya serangan (Mumpuni, 2014).
Banyak penderita asma menganggap tata laksana asma hanya berfokus pada gejala asma
11
yang muncul, tetapi tidak ditujukan untuk penyebab yang mendasari terjadinya asma
tersebut. Pencegahan munculnya gejala asma dan peningkatan kualitas hidup penderita
secara signifikan dapat dilakukan dengan terapi yang adekuat terhadap penyebab yang
mendasari terjadinya asma (Clark, 2013).
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi asma pada anak laki-laki dibanding anak perempuan adalah 1,5:1.
Perbandingan tersebut lebih kurang sama ketika menjelang dewasa. Akan tetapi, saat
menopause perempuan lebih banyak daripada laki laki (Setiati et al., 2017). Menurut
GINA (2019), asma menyerang 1-18% populasi di berbagai negara. Dapat diperkirakan
100-150 juta penduduk dunia menderita asma dengan penambahan 180.000 orang tiap
tahunnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009).
Suatu survei menggunakan kuesioner ISAAC pada siswa usia 13-14 tahun di
Indonesia pada tahun 2008 menunjukkan bahwa di Jakarta Barat, prevalensi asma
sebesar 13,1% (Dharmayanti, Hapsari, & Azhar, 2015). Menurut hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi asma pada semua umur sebanyak 4,5%.
Asma terjadi pada perempuan sebanyak 2,5% dan laki-laki sebanyak 2,3%. Prevalensi
asma berdasarkan diagnosis dokter lebih banyak terjadi di perkotaan (2,6%) daripada
di perdesaan (2,1%). Prevalensi asma terbanyak berdasarkan diagnosis dokter tahun
2018 adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (4,5%) dan terendah adalah
Provinsi Sumatera Utara (1,0%). Prevalensi asma di Provinsi Jawa Timur sebanyak
2,57%. Prevalensi asma di Kabupaten Malang sendiri sebesar 2,95% (Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas), 2018b).
12
2.1.3 Etiologi dan Faktor Resiko
Suatu penelitian di sebuah Rumah Sakit swasta di Surabaya menjelaskan bahwa
keturunan, polusi lingkungan, dan pola atau kebiasaan makan merupakan penyebab
tertinggi asma (Lorensia, Yulia, & Wahyuningtyas, 2016).
Interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan faktor lingkungan merupakan
faktor risiko asma. Faktor pejamu adalah berkembangnya asma yang dipengaruhi
predisposisi oleh genetik. Faktor lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan
menjadi asma dari individu dengan kecenderungan atau predisposisi asma, dapat
memberi dampak eksaserbasi dan atau gejala-gejala asma menetap (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2004).
1) Faktor pejamu (host factor)
a. Genetik
Genetik merupakan faktor predisposisi dalam asma. Penyakit asma bronkial
diturunkan dalam keluarga dan berhubungan erat dengan atopi. Keluarga
dekat yang memiliki alergi biasanya menurun pada penderita. Bakat yang
menurun dari keluarga tersebut, ketika penderita terpapar dengan faktor
pencetus maka sangat mudah terkena asma bronkial (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2004).
b. Obesitas
Studi mengevaluasi hubungan obesitas dengan asma pada umumnya
menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT≥25kg/m2 dianggap
kelebihan berat badan, sedangkan IMT≥30kg/m2 masuk dalam klasifikasi
obesitas (Kankaanranta, Kauppi, Tuomisto, & Ilmarinen, 2016). Penelitian
menunjukkan bahwa individu yang mengalami kelebihan berat badan atau
13
obesitas terjadi peningkatan kejadian asma. Insiden asma terjadi seiring
bertambahnya IMT seseorang (Berawi & Ningrum, 2017). Asma lebih sering
terjadi pada individu obesitas (IMT>30kg/m2) dan lebih susah untuk di
kontrol.
c. Jenis kelamin
Laki-laki merupakan faktor risiko terjadinya asma pada anak-anak. Prevalensi
asma pada anak laki-laki sebelum berumur 14 tahun dua kali lebih besar
(Global Initiatve for Asthma (GINA), 2012). Wanita setelah pubertas lebih
sering terkena asma. Risiko asma pada wanita dilaporkan menurun secara
umum setelah menopause, kecuali pada wanita yang menggunakan terapi
penggantian hormon pasca menopause (Ilmarinen, Tuomisto, &
Kankaanranta, 2015).
2) Faktor lingkungan
a. Rangsangan alergen
Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi ketika suatu alergen (debu) masuk ke
dalam saluran pernafasan. Pada studi penelitian yang dilakukan oleh Wibowo
(2017) di Klinik Spesialis Paru Harum Melati, Pringsewu, Lampung,
didapatkan bahwa penyebab terjadinya asma sebanyak 33% adalah terpajan
oleh debu.
b. Rangsangan bahan-bahan di lingkungan kerja
Lingkungan pekerjaan yang mengandung debu industri yang cukup tinggi
dapat menimbulkan penyakit asma. Pada saat debu terhirup, debu akan
bergerak dan melalui belokan belokan di sepanjang jalan pernapasan ikut
dengan aliran lurus kedalam didorong oleh aliran udara. Partikel yang
berukuran besar akan mencari tempat yang lebih ideal untuk mengendap.
14
Debu berukuran 2-3 mikron mengendap lebih dalam pada bronkus atau
bronkiolus yang menimbulkan efek alergi atau asma (Darmawan, 2013).
c. Asap rokok
Perokok aktif maupun pasif merupakan faktor risiko utama untuk asma onset
dewasa. Merokok akan mempercepat penurunan fungsi paru-paru tahunan
normal pada pasien nonatopik dengan asma awal atau lambat (mulai ≥10
tahun) (Ilmarinen et al., 2015).
d. Polusi udara
Ketika di suatu area terjadi peningkatan konsetrasi polusi udara yang melebihi
batas normal, maka akan menyebabkan risiko penyakit respirasi akut dan
kronik. Peningkatan gejala asma dapat terjadi akibat kualitas udara yang buruk
(Susanto, Purwitasari, Antariksa, Soemarwoto, & Mustofa, 2018)
2.1.4 Patofisiologi
Kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi
dinding bronkus mengakibatkan obstruksi saluran napas pada asma. Pada masa
ekspirasi, obstruksi akan bertambah berat karena secara fisiologis saluran napas
menyempit pada fase tersebut (Setiati et al., 2017).
Jalan napas pada kondisi inflamasi persisten pada asma. Berbagai faktor dapat
memicu respon inflamasi akut, selama sel nflamasi yang tinggal berinteraksi dengan
mediator inflamasi, sitokin dan sel inflamasi menginfiltrasi tambahan. Pemicu umum
pada serangan asma akut diantaranya adalah pajanan terhadap allergen, infeksi saluran
napas, latihan, iritan yang di inhalasi, dan kekecewaan emosi (LeMone, Burke, &
Bauldoff, 2016).
15
Serangan pemicu asma biasanya dikaitkan dengan inhalasi allergen seperti polen,
bulu binatang atau debu rumah dan alergi lain. Polutan lingkungan seperti asap rokok.
Risiko lebih tinggi peningkatan keparahan asma dapat terjadi ketika seseorang terkena
pajanan ke perokok pasif sejak kecil. Asma pekerjaan yang dipengaruhi oleh agens yang
ditemukan di tempat kerja seperti debu, zat kimia, uap dan gas berbahaya. Stimulus
internal yang umum pada serangan asma adalah infeksi pernapasan, biasanya virus.
Asma yang terjadi karena latihan di udara yang dingin dan kering juga dapat memicu
terjadinta asma pada orang yang rentan. Faktor penting pada serangan asma adalah sres
emosi. Sedangkan untuk pemicu farmakologisnya adalah aspirin dan NSAID lain,
penyekat beta, dan sulfit (LeMone et al., 2016).
Respon akut atau respon awal terjadi ketika pemicu seperti inhalasi allergen atau
iritan terjadi. Pelepasan mediator inflamasi (histamin, prostaglandin, dan leukotrien)
terjadi karena sel mast tersensitisasi di mukosa bronkial. Penghasilan mediator
inflamasi (sitokin, bradykinin, dan faktor pertumbuhan) oleh sel inflamasi yang tinggl
dan menginfiltrasi. Mediator inflamasi tersebut menstimulasi reseptor parasimpatis dan
otot polos bronkial untuk menghasilkan bronkokonstriksi. Peningkatan permeabilitas
kapiler juga terjadi yang sehingga plasma keluar dan menyebabkan edema mukosa.
Terstimulasi produksi mukus sehingga kelebihan mukus berkumpul di jalan napas yang
menyempit. Setelah pajanan dari pemicu selama 4 hinga 12 jam terjadi serangan lama
oleh respons fase akhir. Derajat inflamasi mempengaruhi derajat hiperaktivitas. Jalan
napas mengalami penyempitan karena bronkokonstriksi, edema dan inflamasi, serta
sekresi mukus yang mengakibatkan peningkata resistensi jalan napas, pembatasan
aliran udara, dan peningkatan kerja napas (LeMone et al., 2016).
16
GAMBAR 2. 1 PATOFISIOLOGI ASMA
Pada serangan asma akut, pelepasan mediator inflamasi dari jalan napas
tersentisasi dengan diikuti aktivitas sel inflamasi sehingga mengakibatkan
bronkokonstriksi, edema jalan napas, dan penurunan bersihan mukosiler. Pembatasan
aliran udara dan peningkatan kerja napas terjadi akibat penyempitan jalan napas
sehingga udara yang terjebak tercampur dengan udara yang diinhalasi yang
menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas (LeMone et al., 2016).
2.1.5 Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat dan tingkat kontrol. Menurut
derajat beratnya, asma dibedakan menjadi empat kategori yaitu intermiten, persisten
ringan, persisten sedang, dan persisten berat. Berdasarkan kontrol, klasifikasi asma
dapat dibedakan menjadi asma terkontrol, terkontrol parsial, dan tidak terkontrol
(Tanto, Liwang, Hanifati, & Pradipta, 2018).
Kerusakan epitel Edema Peningkatan produksi mukus
Stimulus
Pelepasan mediator kimia
Aktifitas sel inflamasi
Peningkatan resistensi, obstruksi jalan napas dan keterbatasan aliran udara
Serangan asma akut
Bronkospasme
Sumber: LeMone et al. (2016)
17
Tabel 2.1 Derajat Asma
Klasifikasi Frekuensi Gejala Gejala di Malam
Hari
Intermiten
ringan
- Gejala ≤2x seminggu
- Serangan singkat
- Peak Expiratory Flow (PEF) normal
antara serangan
≤2 kali sebulan
Persisten ringan - >2x/minggu, tetapi <1x/hari
- Eksaserbasi dapat mengganggu aktivitas
≤2 kali sebulan
Persisten
sedang
- Gejala harian
- Membutuhkan bronkodilator setiap hari
- Eksaserbasi emmpengaruhi aktivitas
- Eksaserbasi >2x seminguu; dapat
bertahan selama beberapa hari
≤1 kali seminggu
Persisten hebat - Kontinyu
- Aktivitas fisik terbatas
- Eksaserbasi sering
Sering
GINA (2012) mengklasifikasikan asma berdasarkan tingkat kontrol asma
menjadi asma terkontrol, asma terkontrol parsial atau sebagian, dan asma tidak
terkontrol.
Tabel 2.2 Level of Asthma Control
Karakteristik Terkontrol Terkontrol Sebagian Tidak terkontrol
Gejala harian Tidak ada/
≤2x/minggu
>2x/minggu
≥3 krieria asma
terkontrol
sebagian
Keterbatasan
aktivitas
Tidak ada Ada
Gejala malam/
awaking
Tidak ada Ada
Kebutuhan akan
reliever/ rescue inhaler
Tidak ada/ ≤ 2 x/
minggu
>2x/minggu
Fungsi paru (PEF
atau FEV1)*
Normal <80% prediksi atau nila
terbaik individu (jika
tahu) *Tanpa penggunaan bronkodilator. Pada anak usia < 5 tahun, pemeriksaan fungsi paru tidak dianjurkan Diadaptasi dari: The Global Initiative for Asthma (GINA). 2012 Update of the GINA Report, Global Strategy for Asthma Management and Prevention. http://ginatshma.com. Diakses pada 26 Oktober 2019.
18
2.1.6 Manifestasi Klinis
Beberapa tanda ketika terjadi serangan asma yaitu sensasi subjektif kekakuan
dada, batuk, dispnea dan mengi. Takikardi, takipnea, dan ekspirasi yang lama
merupakan hal umum yang terjadi ketika serangan. Pada saat auskultasi terdengar
mengi difus. Pada serangan yang lebih hebat terjadi penggunaa otot aksesoris
pernapasan, retraksi interkostal, mengi yang kencang, dan ditemukan suara napas jauh
(LeMone et al., 2016).
Gejala asma awal berupa batuk di malam hari atau dini hari, napas berbunyi,
sesak napas, rasa berat di dada, dahak sulit keluar. Gejala berat pada asma adalah
serangan batuk hebat, serangan napas berat hingga tersengal-sengal, sianosis, sulit
tidur, kesadaran menrun, dan posisi duduk merupaka posisi tidur ternyaman. Gejala
berat ini merupakan keadaan yang dapat mengancam jiwa. Pada asma ringan, gejala
muncul pada waktu dan ketika terpapat alergen tertentu, melakukan aktivitas fisik
tertentu, atau saluran pernapasan atas terinfeksi virus. Serangan sesak yang disertai
mengi terutama pada malam hari, dan adanya penyempitan saluran napas kronik
meruupakan tanda pada asma yang lebih berat (Katzung, 2007).
2.1.7 Diagnosis
Dalam menentukan derajat keterlibatan jalan napas selama dan antara episode
akut dan mengidentifikasi faktor penyebab seperti alergen diperlukan tes diagnostik,
diantaranya:
- Pemeriksaan fungsi paru (Pulmonary Function Test)
Pemeriksaan fungsi paru dilakukan untuk mengevaluasi derajat obstruksi jalan
napas. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum dan sesuduah penggunan bronkodilator
aerosol untuk membantu menentukn reversibilitas obstruksi jalan napas.
19
- Pemeriksaan tantangan atau provokasi bronkial
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengonfirmasi diagnosis asma dengan
mendeteksi hiperresponsivitas jaan napas. Pada pemeriksaan ini menggunkan zat
yang diinhalasi seperti metakolin atau histamin dengan PFT.
- Arterial Blood Gases (ABG)
ABG dilakukan untuk mengetahui oksigenasi, eliminasi karbon dioksida, dan
status asam basa pasien selama serangan akut.
- Pemeriksaan kulit
Dilakukan peeriksaan kulit untuk mengidentifikasi alergen spesifik yang memicu
terjadinya serangan asma.
(Tanto et al., 2018)
2.1.8 Manajemen Asma
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2008), tujuan dari penatalaksanaan asma
adalah untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup pasien agar pasien
penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-
hari. Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2004), dalam manajemen asma
terdapat 7 komponen program penatalaksanaan asma, yaitu:
1) Edukasi
Edukasi yang dapat diberikan adalah mengenai apa itu asma, bagaimana cara
mengidentifikasi dan mengontrol faktor pencetus, tujuan pengobatan asma dan
efek samping pengobatan, bagaimana cara penanganan ketika terjadi serangan
di rumah, bagaimana kualitas hidup.
20
2) Penilaian dan pemantauan secara berkala
Pemantauan dan penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dilakukan oleh
penderita asma. Pemantauan tersebut dilakukan karena gejala yang dialami dan
berat asma penderita dapat berubah yang menyebabkan terapi yang diberikan
juga berubah. Dalam hal membantu penanganan asma mandiri dibutuhkan
review daya ingat dan motivasi penderita, asma dapat berubah sesuai dengan
pajanan pencetusnya.
3) Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
Identifikasi faktor pencetus harus diketahui oleh penderita asma, karena
sebagian dari penderita asma tidak mengatahui apa saja fktor pencetus dari
asma mereka.
4) Perencanaan pengobatan jangka panjang
Kondisi stabil pasien minimal dalam jangka waktu satu bulan adalah asma
tekrontrol. Terdapat 3 faktor yang dapat dipertimbangkan dalam mencapai
atau mempertahankan asma terkontrol, yaitu:
1. Medikasi
Medikasi pada penderita asma bertujuan untuk mengatasi dan mencegah
gejala obstruksi jalan napas. Medikasi dapat dikategorikan menjadi obat
pengontrol dan obat pelega (Clark, 2013).
a. Pengontrol (Controllers)
Obat pengontrol merupakan obat yang diberikan dalam waktu jangka
panjang untuk mengontrol asma. Menurut GINA (2014), obat ini akan
mengurangi peradangan saluran napas, mengendalika gejala, dan
mencegah terjadinya eksaserbasi. Beberapa yang termasuk obat
pengontrol sebagai berikut:
21
- Kortikosteroid inhalasi
- Kortikosteroid sistemik
- Sodium kromoglikat
- Neodokromil sodium
- Metilsantin
- Long Acting Beta Agonist
- Leukotrien modifiers
- Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
- Lain-lain
b. Pelega (reliever)
Obat pelega merupakan obat yang digunakan untuk mengatasi gejala
akut dan eksaserbasi. Obat pelega (reliever) dapat disebut juga obat
penyelamat yang digunakan untuk mengatasi mengi dan gejala akut
lainnya (Clark, 2013). Beberapa macam obat peelega adalah sebagai
berikut:
- Short-Acting Beta Agonist
Obat ini dalam waktu 3-5 menit setelah pemberian dapat
merelaksasi otot polos saluran napas dan mengembalikan atau
meningkatkan aliran udara.
- Antikolinergik
Obat ini berkerja dengan cara menghambat reseptor kolinergik
muskarinik dan mangurangi tonus vagal saluran napas, dapat
mengurangi bronkospasme dan sekresi mukus.
- Kortikosteroid sistemik
22
Obat ini dapat diberikan melalui injeksi, intravena (IV), atau secara
oral.
Menurut National Asthma Council Australia (2006), terdapat terapi
komplementer atau terapi nonfarmakologis yang dapat dilakukan pada pasien
asma seperti breathing technique, akupuntur, exercise theraphy, psychological therapy,
dan manual therapies.
2. Tahapan pengobatan
Stepdown therapy adalah pengobatan yang dimulai dengan usaha untuk
menekan inflamasi pada jalan napas dan pencapaian asma terkonrol
secepat mungkin kemudian menurunkan terapi seminimal mungkin
dengan tetap mengontrol asma. Apabila keadaan asma tetap tidak
terkontrol dengan terapi awal, maka evaluasi diagnosis dengan tetap
memberi pengobatan sesuai beratnya gejala asma.
3. Penanganan asma mandiri (Pelangi Asma)
Penaganan asma mandiri dapat memberi pengetahuan penderita tentang
kondisi kronik dan bervariasi keadaan penyakit asma. Mengajak penderita
agar dapat memantau kondisinya sendiri, mengidentifikasi perburukan
asma, mengontrol gejala asma, dan untuk mengetahui kapan penderita
harus segera membutuhkan bantuan tenaga medis. Penderita dipaparkan
dengan 3 zona yaitu merah, kunig, dan hijau. Pemberian nama pelangi
asma agar penderita tidak takut dan nyaman pada pencatatan tersebut.
23
Tabel 2.3 Pelangi Asma
Warna Tanda Keterangan
Hijau - Kondisi baik, asma
terkontrol
- Gejala tidak ada/ minimal
- APE: 80-100% nilai dugaan
atau terbaik
pengobatan sesuai berat
asma dengan prinsip
pengobata dilanjutkan.
Minimal 3 bulan tetap
berada diwarna hijau, maka
pertimbanagkan penurunan
terapi.
Kuning - Berhati-hati, asma tidak
terkontrol, dapat terjadi
serangan akut/ eksaserbasi
- Gejala asma malam,
aktivitas terhambat, batuk,
mengi, dada terasa berat,
saat aktivitas atau istirahat.
- APE: 60-80%
Membutuhkan perubahan
dosis terapi.
Merah - Berbahaya
- Gejala terus menerus dan
membatasi aktivitas
- APE <60% nilai dugaan/
terbaik
Butuh pengobatan segera
sebagai rencana pengobatan
yang disepakati dokter dan
penderita secara tertulis.
Apabila tetap tidak ada
repon, segera hubungi
dokter atau segera ke rumah
sakit
5) Penenatapan pengobatan pada serangan akut
Penanganan sehari-hari yang kurang tepat akan mempengaruhi seringnya
terjadi serangan asma. Kunci pertama dalam penatalaksaanan serangan akut
adalah penilaian berat serangan yang selanjutnya akan diberikan pengobatan
yang tepat, dan dilihat bagaimana respon pengobatan, setelah itu dilakukan
tindakan apa yang sebaknya dilakukan (pulang, observasi, rawat inap, intubasi,
pemasanngan ventilator, ICU, dll).
24
6) Kontrol asma secara teratur
Jika pengobatan pada pasien tidak terkontrol, maka yang harus dilakukan
adalah penaikan pengobatan. Dalam hal ini, perbaikan dilihat dalam satu bulan.
Pemantauan tetap haruss dilakukan karena ketika pasien kehilangan kontrol
maka dapat menyebabkan eksaserbasi.
7) Pola hidup sehat
Beberapa pola hidup sehat yang dapat dijalani pada penderita asma adalah
sebagai berikut:
a. Meningkatkan kebugaran fisik
Salah satu bentuk olahraga yang dianjurkan adalah Senam Asma Indonesia
(SAI). Senam ini bertujuan khususnya untuk melenturkan dan menguatkan
otot pernapasan untuk melatih cara bernapas yang benar. SAI dilakukan di
setiap klub asma di wilayah Yayasan asma seluruh Indonseia yang
dikenalkan oleh Yayasan Asma Indonesia. Senam dapat dilakukan 3-4x
seminggu dengan durasi 30 menit dan akan memberikan hasil apabila
minimal dilaksanakan 4-7 minggu (Azhar & Berawi, 2015).
b. Berhenti atau tidak pernah merokok
Perburukan fungsi paru dan risiko bronchitis kronik atau emfisema dapat
terjadi pada penderita asma yang merokok.
c. Lingkungan kerja
Pada penderita asma kerja, bahan-bahan di tempat kerja merupakan faktor
pecetus terjadinya serangan. Usahakan lingkungan kerja bebas dari polusi
udara, asap rokok, dan bahan-bahan iritan yang lainnya.
25
2.2 Tingkat Kontrol Asma
Tingkat kontrol asma merupakan hal penting bagi pasien asma. Kontrol asma
adalah sejauh mana efek asma dapat dilihat oleh pasien. Kontrol asma memiliki dua
domain, yaitu kontrol gejala dan faktor risiko untuk hasil yang buruk di masa depan
terutama eksaserbasi (GINA, 2019). Tingkat kontrol asma yang buruk dapat
meningkatkan eksaserbasi, hospitalisasi pasien, dan kematian (Adachi et al., 2018).
Menurut Global Initiatve for Asthma (GINA) (2012), tujuan pengobatan adalah untuk
mencapai dan mempertahankan tingkat kontrol asma untuk waktu yang lama.
Pengukuran tingkat kontrol asma dapat dilakukan berdasarkan patient based. Kuesioner
tingkat kontrol yang spesifik terhadap asma sudah dikembangkan dan divalidasi
sehingga dapat menentukan tingkatan kontrol asma. Kuesioner tersebut adalah Asthma
Control Test (ACT) yang dapat menilai dengan cepat dan tepat mengenai tingkat kontrol
asma (Atmoko, Khairina, Faisal, & Bobian, 2011).
Asthma Control Test (ACT) merupakan kuesioner yang dikeluarkan oleh America
Lung Association yang terdiri dari lima pertanyaan. Pada kuesioner ini, yang merupakan
parameter adalah gangguan aktifitas karena asma, frekuensi kekambuhan gejala asma,
gejala malam, penggunaan obat pelega (reliever), dan persepsi pasien terhadap kontrol
asma. Kuesioner ACT hanya dapat diberikan kepada pasien berusia 12 tahun atau lebih
dengan pertanyaan mengenai keluhan asma pasien selama 1 bulan terakhir (Tanto et
al., 2018). ACT bersifat lebih valid, reliabel, mudah digunakan dan lebih koperhensif
dibanding dengan jenis kuesioner lainnya sehingga dapat digunakan secara luas
(Nathan et al., 2004).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sabri & Chan (2014) untuk mendeteksi
perubahan tingkat kontrol asma secara mandiri, penggunaan ACT merupakan alat yang
26
cukup efektif. Tingkat kontrol asma sangat penting diketahui bagi pasien agar pasien
dapat mendeteksi perburukan terhadap gejala asma secara dini. Ketika terjadi
perburukan harus segera dilakukan intervensi agar dapat mencegah terjadinya
eksaserbasi yang dapat meningkatkan angka kesakitan dan kematian pada pasien asma.
Skor jawaban dari kuesioner ACT sebanyak 25 artinya asma terkontrol, skor 19-24
artinya asma terkontrol sebagian, dan skor ≤19 artinya asma tidak terkontrol.
2.2.1 Faktor-faktor yang berhubungan dengan Tingkat Kontrol Asma
Menurut Atmoko et al., (2011), terdapat beberapa faktor yang berhubungan
dengan tingkat kontrol asma pasien, diantaranya yaitu:
1. Usia
Usia penderita asma yang lebih muda mempunyai tingkat kontrol asma yang
lebih tinggi daripada usia 51-61 tahun.
2. Indeks Massa Tubuh
Semakin tinggi Indeks Massa Tubuh (IMT) penderita asma maka semakin
rendah tingkah kontrol asma. Tingginya IMT dan obesitas merupakan faktor
potensial yang berhubungan dengan buruknya kontrol asma pasien.
3. Tingkat pengetahuan
Tingkat pengetahuan pasien yang baik dapat memberikan tingkat kontrol asma
yang baik pula pada asma pasien. Semakin baik pengetahuan yang dimiliki oleh
seorang penderita asma, baik tentang cara penggunaan obat, proses terjadi asma,
faktor pencetus, gejala yang timbul, maka cenderung makin baik pula tingkat
kontrolnya (asma terkontrol) (Andayani & Waladi, 2014).
27
4. Derajat berat asma
Semakin berat derajat asma pasien maka semakin rendah tingkat kontrol asma
pasien tersebut. Akan tetapi, pasien dengan derajat berat juga dapat memiliki
kontrol yang baik dan sebaliknya meskipun jarang ditemukan.
2.2 Konsep Kualitas Hidup
2.3.1 Definisi
Menurut WHO, kualitas hidup merupakan bagaimana suatu individu
mempersepsikan posisi mereka dalam kehidupan dengan konteks sistem budaya dan
nilai dimana hubungannya mereka hidup dengan tujuan, harapan, standar hidup dan
perhatian. Konsep ini merupakan cara yang kompleks dan terpengaruh luas, yang
meliputi kesehatan fisik, keadaan psikologis, keyakinan, hubungan sosial dan masalah
yang menonjol dengan hubungan mereka dari lingkungan mereka (Fitrina, 2017).
Kualitas hidup adalah suatu konsep kemampuan individu untuk berperan dalam
lingkunagnnya dan apa yang dilakukannya dapat menghasilkan kepuasan bagi dirinya
(Afiani, Salam, & Effiana, 2017). Kualitas hidup berkaitan dengan kesehatan yang
menggambarkan tingkat kesehatan pada individu dengan penyakit tertentu dan
perawatan yang diterima berdasarkan prosedur perawatan standar untuk penyakitnya
(Wahyuni, Hamid, Syafiuddin, & Bachtiar, 2016).
2.3.2 Domain yang mempengaruhi Kualitas Hidup
Menurut World Health Organization (1997), kualitas hidup memiliki empat
domain, yaitu:
28
1) Domain kesehatan fisik
Domain kesehatan fisik terdiri dari energi dan fatigue, rasa sakit dan ketidak
nyamanan, istirahat dan tidur, mobilitas, aktivitas sehari-hari, ketergantungan
obat dan bantan medis, dan kapasitas kerja.
2) Domain psikologis
Domain psikologis terdiri dari citra tubuh, perasaan positif dan negatif, self-
esteem, berpikir, belajar, memori, konsentrasi dan spiritualitas.
3) Domain hubungan sosial
Domain hubungan sosial terdiri dari hubungan pribadi, dukungan sosial, dan
aktivitas seksual.
4) Domain lingkungan
Domain lingkungan terdiri dari keuangan, freedom, physical safety dan security,
kesehatan dan perlindungan sosial, lingkungan tempat tinggal, kesempatan
untuk mendapatkan informasi dan ketrampilan baru, partisipasi dan rekreasi,
lingkungan fisik, dan transportasi.
2.3.3 Pengukuran Kualitas Hidup Pasien Asma
Kualitas hidup pasien asma sangat penting karena mempengaruhi aktifitas pasien
pada kehidupan sehari-hari. Kuesioner Mini-AQLQ merupakan kueioner yang dapat
digunakan untuk mengukur kualitas hidup pada pasien asma. Kuesioner Mini-AQLQ
dapat diberikan kepada pasien asma dengan usia >17 tahun. Kuesioner Mini-AQLQ
terdiri dari 15 pertanyaan dengan 4 domain yaitu gejala, keterbatasan aktivitas, fungsi
emosi, dan pengaruh lingkungan (Juniper, Guyatt, Cox, Ferrie, & King, 1999).
29
2.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien Asma
Berdasarkan penelitian oleh Afiani et al. (2017), didapatkan beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien asma, diantaranya adalah:
- Indeks Massa Tubuh (IMT)
Pasien asma dengan IMT lebih besar memiliki derajat asma dan gejala asma lebih
berat dibandingkan pasien asma dengan IMT normal. Pasien asma dengan
obesitas mengalami penurunan aktivitas fisik sehingga mempengaruhi kualitas
hidupnya.
- Derajat asma
Selain berkaitan dengan keparahan penyakitnya, derajat asma juga berkaitan
dengan respon terhadap terapi, sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup
pasien asma.
- Lama menderita asma
Secara teori, semakin lama sesorang menderita asma, maka tingkat kualitas
hidupnya pun akan semakin parah.
- Tingkat kontrol asma
Pasien asma dengan tngkat kontrol yang tidak terkontrol memiliki kualitas hidup
yang buruk. Pasien asma memiliki kepatuhan pengobatan yang rendah
mengakibatkan gejala asma yang semakin parah dan meningkatkan risiko
berkembangnya masalah kesehatan sehingga mempengaruhi kualits hidup pada
pasien.
2.3 Kualitas Hidup Pasien Asma
Asma dapat memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien. Kualitas
hidup dapat berubah sesuai dengan lingkungan serta pengalaman pasien saat itu, dan
30
merupakan suatu respon dari penyakit tertentu. Asma dapat merusak kualitas hidup
bagi penderitanya dari domain biopsikososialnya dan dapat mempengaruhi aktivitas
sehari-hari seperti olahraga, keterbatasan fisik, emosi, serta kehidupan sosial bagi
penderita (Matsunaga et al., 2015; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004).
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2004), menetapkan bahwa tujuan utama dalam
penatalaksanaan asma adalah mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup
penderita agar dapat hidup normal tanpa hambatan untuk melakukan aktfitas sehari-
hari.
Kualitas hidup juga dapat digunakan untuk pengkajian secara konvensional
dalam menilai keparahan penyakit seperti penyakit asma, berkaitan dengan pengujian
faal paru, intensitas gejala, serta kebutuhan pengobatan (La Scala, Naspitz, & Solé,
2005). Berdasarkan hasil penelitian oleh Fitri et al. (2016), kualitas hidup pada pasien
asma persisten 44,1% tergolong sedang, 30,5% tergolong buruk, dan presentase
terendah adalah 25,4% tergolong baik.
2.4 Hubungan Tingkat Kontrol Asma dengan Kualitas Hidup
Asma yang tidak terkontrol akan menyebabkan konsekuensi klinis seperti
eksaserbasi asma dan penurunan kualitas hidup pasien (Afiani et al., 2017). Dampak
negatif lainnya dari buruknya kontrol asma adalah terbatasnya aktifitas fisik, gangguan
tidur, cuti kerja ataupun sekolah, distress emosional dan psikologi, kepuasan hidup
yang buruk, hospitalisasi, kematian (Adachi et al., 2019). Menurut GINA (2019), tujuan
jangka panjang manajemen asma adalah mencapai kontrol gejala yang baik,
mempertahankan aktvitas yang normal, meminimalkan risiko kematian terkait asma,
eksaserbasi, pembatasan aliran udara persisten, dan efek samping pengobatan.
31
Berdasarkan penelitian sebelumnya, dimana pada penelitian tersebut menilai
faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien asma dewasa. Pada penelitian
tersebut didapatkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mepengaruhi kualitas
hidup pasien asma, yaitu Indeks Massa Tubuh (IMT), lama menderita asma, derajat
asma, dan tingkat kontrol asma (Afiani et al., 2017). Penelitian yang dilakukan oleh
Matsunaga et al. (2015), menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara asma kontrol
dan keparahan asma, dimana pasien pada asma derajat berat lebih cenderung memiliki
tingkat kontrol asma tidak terkontrol. Kulitas hidup pasien asma dengan tingkat asma
terkontrol dan terkontrol sebagian lebih tinggi daripada yang tidak terkontrol.
Keterbatasn aktivitas merupakan domain yang paling terpengaruh. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Adachi et al. (2019), didapatkan bahwa penurunan nilai
kualitas hidup yang berhubungan dengen kesehatan berhubunga dengan keterbatasan
dalam aktivitas sehari-hari, gejala asma, diikuti dengan fungsi emosional.
Kualitas hidup pasien asma akan menjadi lebih baik ketika tingkat kontrol pada
pasien tersebut baik dan derajat keparahan asma rendah (Matsunaga et al., 2015).
Kontrol asma yang lebih baik dapat dicapai dengan perbaikan pemantauan dan
penurunan gejala asma tersebut (Adachi et al., 2019). Kualitas hidup merupakan hal
yang penting, karena berkaitan dengan keadaan sesak pasien yang akan menghambat
pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari atau status fungsionalnya terganggu
(Chaidir & Septika, 2015).