bab ii. tinjauan pustaka 2.1. babi bali · 2017. 7. 28. · serat dalam jumlah kecil, dimana...
TRANSCRIPT
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Babi bali
Di Bali, sebenarnya terdapat dua tipe babi bali yaitu babi bali yang
berada di Timur Pulau Bali yang diperkirakan berasal dari Sus vitatus. Babi ini
berwarna hitam dan bulunya agak kasar. Punggungnya sedikit melengkung ke
bawah dan mulutnya relatif panjang. Tipe yang kedua terdapat di Utara, Tengah,
Barat dan Selatan Pulau Bali. Babi ini punggungnya sangat melengkung ke
bawah (lordosis), perutnya besar dan sering menyentuh tanah, apalagi dalam
keadaan bunting. Warnanya hitam, kecuali di garis perut bagian bawah dan
keempat kakinya. Kadang-kadang pada dahinya berwarna putih. Kepala pendek
sekitar 24 -28 cm, telinga tegak dan pendek, yakni sekitar 10 -11 cm, babi inilah
yang biasa disebut babi bali. Tinggi pundaknya sekitar 48 -54 cm, panjang tubuh
sekitar 90 cm, lingkar dada 81-94 cm dan panjang ekor 20 – 22 cm. Induk babi
bali memiliki puting susu induknya sekitar 12- 14. Rata-rata banyak anaknya
adalah 12 ekor perkelahiran.(Sihombing, 1997).
Informasi mengenai babi bali sangat terbatas dan sangat sedikit publikasi
ilmiah yang bisa dipakai acuan. Berdasarkan pengamatan sekilas, babi bali lebih
banyak dipelihara di daerah kering, di antaranya Bali Utara, Karangasem dan
Nusa Penida. Kelebihan pemeliharaannya memerlukan air yang relatif sedikit
dibandingkan babi ras. Secara genetik pertumbuhan babi bali sangat lambat
dibandingkan dengan babi ras . Untuk mencapai berat badan 80 kg diperlukan
umur sampai 12 bulan sedangkan babi ras hanya 5-6 bulan . kelebihan babi bali
adalah tipe lemak sehingga sangat cocok untuk dijadikan babi guling karena ras
dan aroamnya yang gurih, kenyataannya, babi bali masih banyak digunakan
untuk bahan baku babi guling yang dijual di rumah makan (Budaarsa, 2002).
Gambar 2.1. Babi bali (Ariastawa Dokumentasi)
Babi bali tidak saja dipelihara sebagai usaha sambilan, tetapi juga
Memiliki status sosial yang sangat penting di Bali. Selain dapat untuk memenuhi
Kebutuhan untuk konsumsi pemeliharaan babi diperlukan sebagai sarana upacara
agama, Di Desa Tenganan, Sembiran, Taro (desa Bali Mula) penggunaan babi
bali dalam upacara keagamaan masih dipertahankan. Babi bali sangat cocok
dipelihara oleh para ibu rumah tangga, khususnya di pedesaan sebagai
tabungan.
Babi bali pada umumnya di beriakan ransum tradisional dengan kualitas
makanan yang kurang baik dengan kandungan protein dibawah 12% Hal lain juga
diaktakan (I.P Astawa , 2016), .dari hasil survai, di tiga Kabupaten : Klungkung
(Nusa Penida), Buleleng (Grokgak) dan Karangasem (Tianyar Barat). Babi bali
pada umumnya di pelihara dengan sistim tradisional dari segi manejemen.
Pemberian ransum tradisional pada umumnya di Bali 95% memberikan
ransumberupan batang pisang (Budaarsa, 2013). Batang pisang sangat dominan
digunakan baik di dataran rendah, maupun di dataran tinggi karena tanaman
pisang banyak tumbuh di ketiga daerah tersebut. Batang pisang yang digunakan
adalah batang pisang hasil limbah pisang yang sudah dipanen. Peternak tidak
memilih jenis pisang tertentu, yang penting pohon pisang tersebut sudah dipanen
buahnya, oleh karena itu sangat mudah didapat tanpa harus membeli. Hijauan lain
yang diberikanantara lain ketela rambat dan kangkung. Pemberian ransum
tradisional dengan kandungan protein rendah menyebabkan pertumbuhan babi
bali lebih lambat dibandingkan dengan babi ras yang ada. Disisi lain, saat ini babi
bali masih menjadi andalan petani, khususnya KK miskin di daerah kritis/lahan
kering yang secara ekonomi tidak menguntungkan . pemanfaatan limbah dapur
dan pertanian seperti : gedebong pisang daun talas dan lain lain, belum
mampu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak babi bali. Pemberian pakan
tradisional pada babi bali telah mampu memberikan pertambahan berat badan,
tetapi belum optimal dan memerlukan waktu yang lama untuk pertumbuhan.
2.2. Ransum
Ransum merupakan gabungan dari beberapa bahan pakan dengan
formulasi tertentu untuk memenuhi kebutuhan ternak selama satu hari dan tidak
mengganggu kesehatan ternak. Ransum dapat dinyatakan berkualitas baik jika
dapat memberikan kebutuhan nutrien secara tepat, baik jenis, jumlah, serta
imbangan nutrien bagi ternak. Siregar (1994), menambahkan bahwa ransum
merupakan campuran dari dua atau lebih bahan pakan yang diberikan untuk
seekor ternak selama sehari. Ransum harus dapat memenuhi kebutuhan zat nutrien
yang diperlukan ternak dalam berbagai fungsi, diantaranya meliputi : hidup
pokok, produksi dan reproduksi. Kualitas dan harga ransum sangat erat kaitannya
dengan kandungan protein dalam ransum tersebut. Semakin tinggi kandungan
protein dalam ransum maka harga ransum semakin mahal, begitu sebaliknya.
Pemberian ransum dengan kandungan protein yang terlalu rendah akan
menurunkan produksi ternak dan kelebihan protein akan diubah sebagai energi
sehingga tidak efisien. Menurut Kamal (1995), pemberian protein yang berlebihan
tidak ekonomis sebab protein yang berlebihan tidak dapat disimpan dalam tubuh,
tetapi akan dipecah dan nitrogennya dikeluarkan lewat ginjal.
Pada umumnya ransum yang diberikan oleh peternak biasanya dibuat
berdasar usaha coba-coba sehingga kurang efisien karena ada kemungkinan
kandungan nutriennya kurang mencukupi atau bisa kelebihan. Untuk
mendapatkan hasil yang optimal maka ransum untuk ternak harus sesuai dengan
kebutuhannya, baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Ransum seimbang
adalah ransum yang diberikan selama 24 jam mengandung semua zat nutrient,
dapat memenuhi kebutuhan gizi sesuai dengan tujuan pemeliharaan ternak
(Chuzaemi, 2002). Penyusunan ransum seimbang yang sesuai dengan kebutuhan
ternak, diharapakan akan dapat menghasilkan produksi yang optimal. Zat nutrien
adalah zat-zat gizi di dalam bahan pakan yang sangat diperlukan untuk hidup
ternak meliputi protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air (Tillman et
al., 1998). Kualitas suatu bahan pakan ditentukan oleh kandungan zat nutrien
atau komposisi kimianya, serta tinggi rendahny zat antinutrisi yang
terkandung di dalamnya. Konsumsi ransum setiap minggu akan bertambah
sesuai dengan pertambahan bobot badan. Setiap minggunya babi mengonsumsi
ransum lebih banyak dibandingkan dengan minggu sebelumnya (Fadilah, 2004).
Ransum merupakan faktor penentu terhadap pertumbuhan dan produktivitas, di
samping bibit dan tatalaksana pemeliharaan. Ransum menempati biaya produksi
terbesar yaitu 60-70% dalam suatu usaha peternakan. Ransum dapat dinyatakan
berkualitas baik apabila mampu memberikan seluruh kebutuhan nutrien secara
tepat, baik jenis, jumlah, serta imbangan nutrien tersebut bagi ternak. Ransum
yang berkualitas baik berpengaruh pada proses metabolisme tubuh ternak
sehingga ternak dapat menghasilkan daging yang sesuai dengan potensinya.
2.3. Sistem pencernaan babi
Sistim pencernaan babi terdiri dari mulut, kerongkongan, lambung , usus
halus, usus buntu, usus besar dan anus. Mulut adalah tempat dimana pakan
pertamakali memasuki sistim pencernaan. Disini terjadi pencernaan secara
mekanis dimana makanan di pecah dan dikunyah menjadi partikel-partikel lebih
kecil oleh gigi di bantu dengan air ludah atau saliva yang di produksi oleh mulut.
Enzim amylase di dalam mulut berguna untuk memecah pati atau karbohidrat
dalam makanan, sedangkan lidah berfungsi untuk mendorong makanan
kekerongkongan menuju ke lambung. Didalam lambung terjadi pengeluaran asam
klorida (HCl) yang menyebabkan terjadinya ikantan kimia sehingga, terbentuk
partikel karbohidrat, lemak dan protein. Partikel ini kemudian menuju keusus
halus dan terjadi penyerapan nutrient oleh vili-vili usus halus. Sel-sel didalam
usus halus mengeluarkan enzim untuk membantu pencernaan dan penyerapan
hasil akhir makanan meliputu deudenum, jejenum dan ilium. Didalam deudenum
terjadi sekresi dari hati dan pankreas. Sekresi dari hati disimpan dalam empedu,
sekresi inilah yang disebut dengan garam empedu yang fungsinya untuk
membantu pencernaan lemak dalam makanan (Lehninger, 1986)
Setelah terjadi penyerapan zat-zat makanan dalam usus halus selanjutnya
sisa pakan disalurkan melalui sekum (usus besar). Sekum merupakan usus yang
pada umumnya tidak begitu banyak berfungsi. Dalam sekum terjadi pencernaan
serat dalam jumlah kecil, dimana mikroba akan memecah enzim selulase. Usus
besar pada umumnya lebih pendek dari usus halus. Sekum pada umumnya
berguna untuk penyerapan air dan penampungan pencernaan sebelum keluar lewat
anus. (Rawan et al ., 1997).
2.4. Additife
Additife adalah suatu bahan atau kombinasi bahan yang ditambahkan,
biasanya dalam kuantitas yang kecil, kedalam campuran makanan dasar untuk
memenuhi kebutuhan ternak, contohnya additive bahan konsentrat, additive bahan
suplemen, additife bahan premix, additive bahan makanan (Hartadi et. al., 1991).
Additive adalah susunan bahan atau kombinasi bahan tertentu yang sengaja
ditambahkan ke dalam ransum pakan ternak untuk menaikkan nilai gizi pakan
guna memenuhi kebutuhan. Murwani et al., (2002) menyatakan bahwa additive
adalah bahan pakan tambahan yang diberikan pada ternak dengan tujuan untuk
meningkatkan produktifitas ternak maupun kualitas produksi. Sedangkan menurut
Murtidjo (1993), additife adalah imbuhan yang umum digunakan dalam meramu
pakan ternak. Penambahan bahan biasanya hanya dalam jumlah yang sediki
dengan tujuan untuk merangsang pertumbuhan atau merangsang produksi.
Macam-macam additife antara lain antibiotika, hormon, arsenikal, sulfaktan, dan
transquilizer.
Additife merupakan bahan makanan pelengkap yang dipakai sebagai
sumber penyedia vitamin-vitamin, mineral-mineral dan atau juga antibiotika
(Anggorodi, 1985). Fungsi additife adalah untuk menambah vitamin-vitamin,
mineral dan antibiotika dalam ransum, menjaga dan mempertahankan kesehatan
tubuh terhadap serangan penyakit dan pengaruh stress, merangsang pertumbuhan
badan (pertumbuhan daging menjadi baik) dan menambah nafsu makan,
meningkatkan produksi daging.
2.4.1. Macam-macam Additife
Macam ragam pakan additife antara lain additive pada bahan pakan
(contohnya agensia antioksidan, agensia cita rasa), additive untuk manipulasi
pencernaan dan absorpsi nutrien (contohnya buffer, enzim), additife untuk
kesehatan ternak (contohnya obat cacing), additife melalui hormonal (contohnya
hormon pertumbuhan, hormon reproduksi), additife untuk meningkatkan kualitas
produk (contohnya agensi pewarna, agensi antiradikal).
Biasanya feed additive diberikan dalam ransum ternak untuk
menghasilkan pertumbuhan yang diinginkan. Beberapa additfe yang diberikan
antara lain :
1. Flavoring agent, pemberi bau untuk meningkatkan palatabilitas pakan contoh
cairan sukrosa
2. Enzim untuk memperbaiki daya cerna
3. Vitamin, Sebagai sumber vitamin A dapat digunakan Vit. A palmitat, Vit. A
acetat dan minyak ikan. Sumber vitamin D2 digunakan Vit. D pada semua
tanaman yaitu hasil aktivasi sterol dalam tanaman oleh sinar ultraviolet. Sumber
vitamin D3 digunakan Vit. D pada hewan yang merupakan hasil aktivasi sterol
pada hewan oleh sinar ultraviolet misalnya minyak ikan. Sumber vitamin E
digunakan senyawa vit. E aktif, diantaranya dl alpha tokoferil asetat. Sumber
vitamin K dapat menggunakan MCBC dan MPB.
4. Sumber mineral : Tepung tulang, Tepung kerang (CaCo3) , Garam (NaCl).
5. Antibiotik dalam dosis rendah diketahui efektif terhadap pengontrolan infeksi
subklinis dan merangsang pertumbuhan hewan bila ditambahkan dalam air minum
atau kedalam pakan.
6. Sumber-sumber karotenid ditambahkan kedalam ransum untuk memperbaiki
pigmentasi.
7. Hormon atau zat lain yang digunakan untuk memperbaiki proses metabolisme.
8. Asam amino adalah monomer dari protein. Sebagai bahan pakan tunggal asam
amino tidak tersedia di alam, namun tersedia secara buatan. Asam amino yang
biasanya kekurangan dalam pakan adalah asam amino metionin dan lisin. Oleh
karena itu, di pasaran asam amino yang tersedia adalah DL- metionin dan L-lisin
yang mempunyai kemurnian 99%.
Berbagai macam additife yang bersifat non nutritive menurut Wahyu
(1997) antara lain: (1) Makanan tambahan pelengkap untuk memperbaiki tekstur ;
(2) Flavoring agent yaitu zat pemberi bau enak yang dipergunakan untuk
meningkatkan palatabilitas pakan; (3) Enzim-enzim yang memperbaiki daya cerna
di bawah kondisi tertentu; (4) Antibiotika, senyawa-senyawa arsen dan nitrofurans
dipergunakan pada tingkat rendah untuk melindungi pakan dari serangan
perusakan oleh mikroorganisme dan mencegah timbulnya keracunan yang
disebabkan oleh mikroflora dalam usus; (5) Antibiotika yang mempunyai
spektrum luas (broad spectrum) dan daya absorpsi yang baik ditambahkan ke
dalam pakan untuk memerangi penyakit khusus; (6) Senyawa-senyawa kimia
tertentu dipergunakan untuk meningkatkan daya penyembuhan dari antibiotika
terhadap penyakit; (7) Obat-obat pencegah cacing dalam saluran pencernaan; (8)
Antioksidan untuk mencegah kerusakan asam-asam lemak yang tidak jenuh dan
vitamin-vitamin yang larut dalam lemak karena proses peroksidasi; (9) Sumber-
sumber karotenoid dan (10) Hormon-hormon yang digunakan untuk memperbaiki
metabolism.
2.4.2. Pemberian additife
Penggunaan makanan tambahan pelengkap dalam penyusunan ransum
terutama yang merupakan bahan tambahan bukan zat makanan dengan maksud
memperbaiki konsumsi, daya cerna, proteksi, absorbsi dan atau transportas zat-zat
makanan untuk memperbaiki nilai gizi ransum dan menurunkan biaya pakan
dan produksi.
Ransum disusun sedemikian rupa sehingga mengandung konsentrasi zat-
zat makanan maksimum yang dapat diperoleh dengan harga layak untuk
pertumbuhan, produksi dan efisiensi penggunaan ransum maksimum. Untuk
menjamin zat-zat makanan tersebut ditelan, dicerna, dilindungi dari kerusakan,
diserap dan diangkut dari sel-sel tubuh, maka pelengkap makanan tak bergizi
tertentu atau yang disebut additive dimasukkan ke dalam ransum sebagai
tambahan sampai terjadi suatu konsentrasi optimum dan keseimbangan zat-zat
makanan (Rasyaf, 1994).
2.5. Kunyit
Kunyit adalah salah satu tanaman rempah-rempah dan obat-obatan asli
wilayah asia Tenggara. Tanaman ini kemudian mengalami penyebaran kedaerah
Malaysia, Indonesia, Australia bahkan Afrika. Berdasarkan uji seleksi dan uji
daya adaptasi di berbagai lingkungan tumbuh telah di peroleh kunyit varietas
Cudo 21 dan cudo 28. Varietas ini di peroleh dari 10 nomor harapan kunyit
dengan produksi tinggi hasilnya adalah Cudo 21 dengan produksi (18 sampai
dengan 25 ton/ha), sedangkan Cudo 38 (18 sampai dengan 25 ton/ha). Kadar
kurkumin yang dihasilkan oleh Cudo 21 (8,70%) sedangkan Cudo 38 (11%)
sehingga kedua varietas ini dilepas sebagai varietas unggul sejak tahun 2009
(Rahadrjo dan Rostiana). Tahun 2011 dilepas varietas kunyit baru yang lebih
unggul dari varietas Cudo yaitu varietas Curdonia 1. Varietas inimerupakan
varietas unggul kunyit toleran naungan. Varietas Cudo 1 memiliki keunggulan
kandungan bahan kurkumin minimal 7% dan kandungan minyak astiri lebih besar
dari 3% (Syahid, et al., 2011).
Dari berbagai jenis kunyit yang ada di Indonesia pada umumnya yang
sering dikonsumsi adalah jenis kunyit (Curcuma domestica Val). Hampir setiap
orang Indonesia umumnya pernah mengkonsumsi kunyit, baik sebagai pelengkap
bumbu, jamu atau untuk menjaga kesehatan. Kunyit tumbuh baik pada tanah jenis
latosol, aluvial dan regosol pada ketinggian temapat 240 samapi 1.200 diatas
permukaan laut dengan curah hujan 200 sampai dengan 4.000 ml/tahun. Kunyit
juga dapat tumbuh pada tegakan tanaman keras seperti sengon, jati yang masih
muda sekitar umur 3 sampai dengan 4 tahun, dengan tingkat naungan tidak lebih
dari 30% (Rahardjo dan Rostiana., 2010). Menurut (Mahendra, 2005). Kunyit
dapat mencapai ketinggian 100 cm. Batang kunyit merupakan batang semu,
tegak, bulat, membentuk rimpang, berwarna hijau dan kekuningan. Kunyit
berdaun tunggal, berbentuk lanset memanjang, helai daun berjumlah 3-8 helai
ujung dan pangkal daun runcing, tepi daun rata, pertulangan menyirip dan
berwarna hijau pucat. Keseluruhan rimpang membentuk rumpun rapat, berwarna
orange, dan tunas mudanya berwarna putih. Akar serabut berwarna cokelat muda.
Bagian tanaman yang digunakan adalah rimpang atau akarnya. Rimpang kunyit
mengandung minyak atsiri dan mengandung kurkumin. Menurut Shankaracharya
dan Natarajam (1977)., Komponen dan kandungan kunyit dapat dilihat pada tabel
2.1 dibawah ini :
2.1. Komponen dan kandungan kunyit
Komponen Kunyit
Energi (kal)
Air (g)
Protein (g)
Lemak
Total karbohidrat
Serat kasar (g)
Abu (g)
Kalsium (g)
Fosfor (g)
Natrium (g)
Kalium (g)
Besi (g)
Thiamin (mg)
Ribobflavin (mg)
Niacin (mg)
Asam nikotinat (mg)
Asam askorbat/vitamin C
Vitamin A (IU)
Kurkuminoid (%)
Minyak Astiri (%)
349,00
13,10
6,30
5,10
69,40
2,60
0,15
0,28
0,03
3,30
18,60
0,03
-
-
2,30
-
50,00
-
1,8-5,4
2,5-7,2
Sumber : Shankaracharya dan Natarajam (1977)
Menurut Bursatriannyo, et al 2014., kunyit adalah salah satu tanaman
temu-temuan yang berpotensi untuk dikembangkan karena keberadaanya telah
digunakan selama lebih dari 2500 tahun dan kemungkinan pertama kali di
gunakan sebagai pewarna makanan dan obat-obatan. Kunyit sebagai pengobatan
memiliki kualitas antiseptik dan anti bakteri sedangkan zat pewarna diperkirakan
sebagai additive makanan. Secara tradisional warna kuning kunyit untuk produk
pangan di peroleh dengan cara memarut kunyit hingga halus. Hasil parutan ini
kemudian di campur ke makanan sebagai additive.
Kandungan kimia yang terdapat dalam kunyit adalah zat warna
kurkuminoid, minyak astiri, arabinosa, fruktosa, glukosa, pati, tannin, dammar
dan mineral. Zat mineral seperti magnesium besi, mangan, kalsium, natrium,
timbale, seng, kobalt, aluminium dan bismuth (Sudarsono,1996). Tiga senyawa
utama kelompok kurkuminoid yaitu kurkumin, demetoksikurkumin dan bis-
demoktoksikkurkumin. Senyawa ini sering dikenal sebagai kurkumin I, kurkumin
II dan Kurkumin II. Senyawa pemberi warna ini berada dalam bentuk
keseimbangan antara bentuk keto danenol. Diantara senyawa kurkumin yang ada
di kunyit , kurkumin (1,7-bis(4-hidrksi-3metoksifenil)-1,6-heptadien-3,5-dion)
merupakan pigmen dan prekursor utama (Shankaracharya dan Natarajam ., 1977)
Gambar 2.3. Kunyit (Jokowarina id)
Kunyit memiliki klasifikasi taksonomi sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyk
Kelas : Liliopsidae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Species : Curcuma domestica
Kandungan kunyit kuning yaitu : minyak atsiri (3-5%) terdiri dari
senyawa dialfapelandren 1%, disabeneli 0,6%, cineol 1%, borneol 0,5%,
zingiberen 25% tirmeron 58%, seskuiterpen alcohol 5,8%, alfatlanton dan gamma
atlanton, pati berkisar 40-50%, kurkumin 2,5-6%. Agustina dan Sri. Komposisi
kimia kunyit kadar Air 6,0%, protein 8,0 karbohidrat 57 serat kasar 7,0%, bahan
mineral 6,8% minyak volatile 3,0% kurkuma 3,2% bahan non volatil 9,0%.
(Agustina dan Sri, 2009). Menurut (Bintang dan Nataamijaya, 2005) kandungan
kimianya kunyit adalah tumeron, zingiberen yang berfungsi sebagai anti-bakteria,
anti-oksidan dan anti-inflamasi (anti-radang) serta minyak pati yang terdiri dari
turmerol, fellandren, kanfer, curcuma, selain itu rimpang kunyit yang matang
mengandung beberapa komponen antara lain minyak atsiri, campuran minyak
(lemak), zat pahit, resin, protein, selulosa, dan pati. Disebutkan pula komponen
utamanya kunyit adalah pati dengan jumlah berkisar antara 40-50% dari berat
kering. Kunyit mempunyai rasa pahit dan bau yang khas. Kunyit berwarna
kuning serta bersisik pada bagian luarnya dan mempunyai tekstur yang keras
tetapi rapuh (Yongki, 2009).
Fungsi dan kegunaan kunyit memberi aroma harum dan rasa. bersifat
bakterisidal terhadap bakteri golongan Bacillus cereuss, Bacillus subtitis, dan
Bacillus megaterium. Selain itu, dapat menghambat pertumbuhan sel vegetative
Coliform , E. Coli dan menghambat pertumbuhan spora. Warna kuning orange
pada rimpang dan memberi karakter yang lembut, antibakteri, antiradang, anti-
inflamasi, memperlancar pengeluaran empedu (Agustina dan Sri, 2009). Fungsi
lain dari kunyit adalah meningkatkan produksi dan sekresi empedu ke dalam usus
halus sehingga pencernaan lemak, protein dan karbohidrat meningkat (Martini,
1998). Meningkatnya kecernaan lemak, protein dan karbohidrat diikuti pula
dengan penyerapan yang meningkat, sehingga menyebabkan meningkatnya
pertambhan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum yang lebih baik.
Salah satu manfaat dari kunyit adalah efek kholeretik yang ditimbulkan,
sehingga menyebabkan gerak pesristaltik saluran pencernaan semakin lambat,
akibatnya digesta berada lebih lama dalam usus. Kondisi fisilogis ini
mengakibatkan pencernaan dan penyerapan zat-zat makanan dalam saluran
pencernaan meningkat (Ramaprasad dan Sirsi, 1985 dalam Martini 1998). Hal
lain yang terdapat dalam kunyit adalah bahwa bahan aktif biologis yang
bersepektrum luas yang salah satunya antihepatotoksik dapat mencegah kerusakan
hati akut, dimana agen hepatotoaksik antara lain asetaminofen dapat berfungsi
sebagai analgetik (Sujantno , 1997).
2.6. Penelitian pengaruh pemberian ekstrak kunyit dan tepung kunyit pada
ternak
Kunyit merupakan salah satu tanaman tropis asli Indonesia yang dapat
tumbuh hampir di seluruh daerah. Menurut Rukmana (1994) tanaman kunyit
dapat tumbuh sepanjang tahun di Indonesia mulai dari dataran rendah sampai
dataran tinggi, dengan ketinggian 2000 m dari permukaan laut. Artinya kunyit
sangat berlimpah dan harganya sangat murah. Selama ini tanaman kunyit sebagian
besar digunakan sebagai bahan campuran bumbu, jamu dan obat-obatan
tradisional.
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penambahan kunyit
dalam ransum memberikan respons yang baik terhadap performa ternak.
Ramdhan (1998) melaporkan bahwa pemberian tepung kunyit 1-1,5% dalam
ransum ayam broiler tidak mengurangi persentase bobot karkas, namun mampu
mengurangi persentase lemak abdominal. Hal ini tentu memberi arti positif,
karena konsumen umumnya menginginkan daging broiler yang lemaknya rendah.
Aziz (1998) melaporkan bahwa pemberian tepung kunyit 2% dalam ransum
menghasilkan bobot badan ayam broiler lebih tinggi dibandingkan dengan yang
tanpa tepung kunyit. Demikian juga yang dilaporkan oleh Pratikno (2010),
bahwa pemberian tepung kunyit pada ayam broiler berpengaruh nyata terhadap
pertambahan bobot badan ayam broiler. Martini (1998) melaporkan bahwa
pemberian tepung kunyit 1 - 1,5% tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi
ransum, pertambahan bobot badan, tetapi memperbaiki efisiensi penggunaan
ransum pada ternak kelinci. Penelitian Pemberian ekstrak kunyit dengan taraf 0,
4, 8 dan 12 mg/kg bobot badan sebagai additive pada babi peranakan Landrace
berpengaruh nyata terhadap konversi ransum. Pemberian sebanyak 4 mg/kg
bobot badan memberikan pengaruh terbaik pada konversi ransum dan laju
pertumbuhan (Sinaga dan Martini. 2010).
2.7. Karkas babi
Karkas babi merupakan bagian dari tubuh ternak setelah dilakukan
pengeluaran darah, pemisahan bulu, kuku, kepala, isi rongga perut dan rongga
dada, sedangkan daging babi adalah bagian-bagian ternak babi yang disembelih
yang dapat dikonsumsi oleh manusia termasuk isi rongga perut dan dada.
Whittemore (1980) menyatakan, bahwa karkas babi mengandung tiga perempat
bagian daging yang dapat dikonsumsi. Hasil pemotongan ternak selain karkas
adalah non karkas atau offal. Lawrie, (2003) mengatakan karkas merupakan
bagian tubuh ternak yang tertinggal setelah darah, kepala, kaki, kulit, saluran
pencernaan, intestin, kantong urin, jantung, trakea, paru-paru, ginjal, limpha, hati
dan jaringan lemak (yang melekat pada bagian tubuh tersebut) diambil. Karkas
Ternak babi 60 sampai 70% dari bobot hidup menjadi karkas, sedangkan sisanya
yang 30 sampai 40% dari bobot hidup adalah merupakan hasil sampingan dari
penyembelihan babi (Blakely dan Bade, 1998).
Karkas terdiri dari urat daging dan jaringan lemak, tulang dan residu yang
terdiri dari tendon dan jaringan pengikat lainnya, pembuluh darah besar, dan lain-
lain. Komponen non karkas dipengaruhi oleh pakan, bangsa, jenis kelamin dan
berat potong (Forrest et al., 1975). Offal (argan dalam) terdiri dari bagian yang
layak dimakan (edible-offal) yaitu lidah, jantung, hati, paru-paru, otak, saluran
pencernaan, ginjal dan limpa. Daging sebagai komponen utama karkas, tersusun
dari otot, jaringan ikat, ephitelial, jaringan-jaringan syaraf, pembuluh darah dan
lemak. Otot merupakan bagian terbesar dari karkas mengandung 75% air, 19%
protein, 2,5% lemak, 1,2% karbohidrat, 2,3% zat terlarut bukan protein dan
sisanya vitamin, sedangkan jaringan lemak mengandung 2% protein dan 8-12%
air (Seoparno, 1992). Daging babi memiliki protein yang berkualitas tinggi
dengan kandungan asam-asam amino esensial lengkap.
2.7.1. Jaringan Tulang, Daging (lean) dan Lemak
Selama pertumbuhan, tulang tumbuh secara terus menerus dengan laju
pertumbuhan yang relatif lambat, sedangkan pertumbuhan otot relatif lebih cepat
sehingga rasio otot dengan tulang meningkat (Whittmore, 1980). Selama
pertumbuhan post natal tulang tumbuh lebih awal dibanding dengan pertumbuhan
otot dan lemak. Pada ternak yang masih muda, rasio tulang dan otot lebih besar
jika dibandingkan dengan jaringan lemak karena pada saat itu, pertumbuhan lebih
diarahkan kepada jaringan tulang dan otot/lean (Lawrence, 1980). Jaringan lean
(daging tanpa lemak) merupakan komponen terbesar dari otot termasuk lean
karkas dan non karkas (Whittemore, 1980). Perkembangan otot terhambat karena
terbatasnya ukuran serabut otot pada umur tertentu. Keterbatasan ini tidak dapat
diatasi meskipun ternak tersebut diberikan pakan berkualitas tinggi, karena per-
kembangan dan pertumbuhan otot tersebut diatur oleh ekspresi miogenin dalam
pembentukan sel-sel otot (Pass et al.,1999). Pertambahan berat otot terjadi oleh
karena terbentuknya lemak intra muscular (lemak marbling) setelah otot
mengalami pertumbuhan maksimal (Soeparno, 1992).
Ternak babi merupakan ternak yang paling cepat menimbun lemak dan
paling cepat diantara ternak lainnya (Miller et al., 1991). Lemak akan ditimbun
selama pertumbuhan dan perkembangan tubuh ternak. Karkas ternak dewasa
dapat mengandung lemak hingga 30-40% (Soeparno,1992). Devendra dan Fuller,
(1979) menyatakan, bahwa babi yang baru lahir sudah mengandung 1% lemak
dari total bobot badannya, kemudian meningkat menjadi 10% pada saat disapih.
Pertambahan umur dan bobot badan ternak babi akan menyebabkan persentase
lemak meningkat. Nilai heritabilitas tebal lemak punggung adalah 54% (Yulnasri,
1988), tetapi Aritonang (2011), menyatakan bahwa nilai heritabilitas penumpukan
lemak pada ternak babi adalah 30-70%. Lokasi penumpukan atau deposisi lemak
dalam karkas terdiri dari empat bagian yaitu di bawah kulit (subkutan), lemak
internal (lemak disekitar rongga perut dan ginjal), lemak intermuscular dan lemak
intramuscular ( lemak marbling). Fase pembentukan lemak pada ke empat lokasi
ini berbeda satu sama lain, yang pertama berkembang adalah lemak disekitar
rongga perut dan ginjal, sedangkan yang terakhir adalah lemak marbling. Jaringan
lemak ternak babi paling banyak disimpan dibawah kulit.
2.7.2. Kualitas karkas babi
Pengklasifikasian dan penilaian karkas sebagai bagian dari kualitas perlu
dilakukan karena sangat mempengaruhi penerimaan konsumen. Penilaian
terhadap kualitas karkas yang dimiliki babi perlu dilakukan karena sangat
menentukan jumlah dan penyebaran daging dalam karkas. Metode pengukuran
sudah banyak dilakukan diberbagai negara untuk memprediksi karkas yang
beberapa telah ditemukan dan dapat dilakukan dengan praktis untuk
mengklasifikasikan karkas dengan metode grading. Departemen Pertanian
Amerika Serikat (USDA) telah menetapkan sebuah sistem penentuan kualitas
berdasarkan nilai perdagingan, kadar lemak dan jumlah daging yang dihasilkan
dari sebuah karkas. Standar pengklasifikasian karkas di Indonesia belum ada
hingga saat ini.
Dalam menentukan kualitas kualitas hasil karkas, yang dijadikan ukuran
adalah (1) tebal lemak punggung, (2) luas urat daging mata rusuk, (3) persentase
lemak pelvis, ginjal dan jantung, (4) bobot karkas (Forrest et al, 1975 ). Kualitas
karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak relatif terhadap suatu
kondisi pemasaran. Nilai karkas dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, tipe
ternak, umur, kedewasaan ternak dan jumlah lemak intramuskular atau marbling.
Faktor nilai karkas dapat diukur secara objektif melalui berat karkas, daging serta
lemak. Holness (1991) menyatakan, bahwa kualitas karkas ditentukan berdasarkan
kualitas ransum, konformasi, derajat perlemakan, dan jumlah daging dalam
karkas. Karkas babi jantan kastrasi dan betina dara, diklasifikasikan berdasarkan
kualitas dan hasil daging yang dihasilkan. Hasil daging diestimasi berdasarkan
kombinasi rata-rata tebal lemak punggung, panjang dan persentase karkas.
Tingkat perkembangan otot diestimasi secara subjektif, yaitu sangat tebal, tebal,
agak tebal, agak tipis dan sangat tipis (Suparno, 1992).
Krider dan Carol (1971) menyatakan bahwa pengukuran tebal lemak
punggung merupakan salah satu parameter dalam menentukan kualitas karkas
karena dua per tiga bagian dari total lemak karkas merupakan lemak subkutan.
Tebal lemak punggung berkaitan erat dengan pengklasifikasian kualitas karkas
dan dapat memperkirakan persentase daging dari karkas.
2.7.3. Sistem pemberian pakan dan pemotongan babi
Pembatasan atau pengontrolan pemberian pakan pada babi grower dan
finisher sudah biasa dilakukan di Eropa. Alasan utama pembatasan ini adalah
harga karkas yang tergantung dari tebal lemak punggung yang berlebihan.
Keuntungan lain dari pembatasan ini adalah efisiensi penggunaan makanan dan
mengurangi banyaknya makanan yang terbuang. Hasil pemotongan ternak dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian karkas dan bagian bukan karkas. Bagian
karkas mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi, sesuai dengan tujuan
pemotongan ternak yaitu untuk mendapatkan daging. Ada beberapa persyaratan
untuk memperoleh hasil pemotongan yang baik (Swatland, 1984), yaitu: (1)
Ternak harus tidak diperlakukan secara kasar, (2) ternak harus tidak mengalami
stress, (3) Penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan sesempurna
mungkin, (4) Kerusakan karkas harus minimal, dan cara pemotongan harus (5)
Higienis, (6) Ekonomis, (7) Aman bagi pekerja abatoar (rumah tempat
pemotongan hewan.
2.7.4. Tebal lemak punggung dan luas penampang otot.
Pengukuran tebal lemak punggung pertama kali dilakukan tahun 1952 oleh
Hazel dan Kline. Ukuran tebal lemak punggung secara langsung menggambarkan
produksi lemak atau daging. Tebal lemak punggung babi yang tipis memberi
persentase hasil daging yang tinggi dan sebaliknya tebal lemak punggung yang
tinggi memberi hasil persentase hasil daging yang rendah. Sejak tahun 1968
lembaga USDA di Amerika Serikat telah menentukan suatu cara dalam penentuan
kelas karkas dari babi siap potong.
Disamping sifat perdagingan tersebut diatas seperti dilaporkan Aritonang
(2011), kualitas daging erat juga hubungan terhadap ukuran luas penampang otot
longisimus (longisimus muscle area) sering juga disebut Urat Daging Mata Rusuk
diukur diantara tulang rusuk ke 10 dan 11. Urat daging mata rusuk (Udamaru)
berhubungan erat dengan jumlah perototan karkas dan luasan penampang tersebut
mengandung lemak intramuskular (marbling) yang berpengaruh terhadap
keempukan daging. Miller, et.al (1991) mengatakan faktor genetik sangat
mempengaruhi urat daging mata rusuk dimana nilai heritabilitasnya pada ternak
babi adalah 40-60%, sedangkan menurut Whittemore (1980) berkisar antara 30-
50% dan tergolong tinggi. Sifat dengan heritabilitas tinggi, penting artinya dalam
menunjang produksi dan sebagai bibit. Sifat demikian juga sebagai petunjuk,
bahwa faktor genetis berperan sekali dalam menghasilkan babi siap potong
dengan luas penampang urat daging mata rusuk yang tinggi.
2.7.5. Evaluasi Karkas Babi
Nilai karkas dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin atau tipe ternak
yang menghasilkan karkas, umur atau kedewasaan ternak, dan jumlah lemak
intramuskular atau marbling di dalam otot. Faktor nilai karkas dapat diukur secara
obyektif atau absolut, misalnya berat karkas dan daging, dan secara subyektif,
misalnya dengan pengujian organoleptik atau metode panel (Soeparno, 2009).
Dasar penilaian atau evaluasi karkas babi untuk seleksi adalah berat potong, berat
karkas segar, persentase karkas, panjang karkas, tebal lemak punggung (midline),
tebal lemak pada rusuk ke 10, dan luas urat daging mata rusuk (UDMR).
Untuk estimasi jumlah daging sebagai produksi karkas, dilakukan
penilaian terhadap peringkat hasil, dan biasanya produk daging untuk industri.
Ada empat cara untuk mengestimasi jumlah daging karkas (yield), yaitu (1)
Persentase lean cut (LC), (2) Persentase ham dan loin, (3) Persentase ham, dan (4)
Persentase daging karkas. Penilaian terhadap hasil dan peringkat hasil dari karkas
babi. Agronosa (1975) menyebutkan bahwa persentase lean cut (LC) terdiri atas
jumlah daging pada 4 (empat) potongan utama komersial ham, loin, boston butt,
dan picnic shoulder. Dipakainya penilaian pada 4 potongan komersial tersebut
adalah karena pada potongan-potongan karkas tersebut terdapat daging yang
jumlah dan nilai ekonominya relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan 3
potongan lainnya, sedangkan primal cut (PC) adalah LC + bacon belly. Persentase
LC, PC, dan ham + loin yang baik (very meaty hog).
Evaluasi terhadap karkas mencerminkan kualitas daging dengan tujuan
untuk mengidentifikasi, menerangkan, dan segmentasi karkas sesuai dengan
keinginan pasar. Di samping itu, evaluasi karkas bertujuan untuk pemberian
peringkat karkas dan mengembangkan teknik-teknik yang diperlukan untuk
menaksir secara objektif hasil daging relatif dari karkas. Nilai akhir individu
karkas adalah hasil dari perbedaan observasi dua nilai yang menentukan
karakteristik yaitu : (a) karakteristik kualitas daging (lean ) sebagai suatu ukuran
palatabilitas yang diharapkan, dan (b) kombinasi hasil potongan komersial paha ,
loin, rusuk, picnic shoulder, dan boston
Panjang karkas rata-rata, ketebalan lemak punggung, dan luas urat daging
mata rusuk (UDMR) otot longissimus dorsi (LD) pada urutan antara rusuk ke 10
dan 11 adalah beberapa pengukuran yang biasa dilakukan untuk menjelaskan dan
menentukan karakteristik karkas babi. Potongan daging bagian paha (ham), loin,
(picnic shoulder), dan bagian boston butt mempunyai persentase yang lebih besar
dan nilai parameter lainnya yang lebih baik, bila dibandingkan dengan potongan
karkas lainnya. Prediksi atas jumlah daging dari karkas babi dan evaluasi karkas
babi didasarkan atas hasil yang diharapkan dari 4 (empat) potongan utama
(primal cut) karkas, yaitu paha (ham), loin, picnic shoulder, dan boston butt.
Faktor lain adalah yang berhubungan dengan kualitas daging (kepadatan lemak
dan daging, warna daging, marbling, dan tekstur daging). Hasil daging dari 4
potongan utama tersebut dinyatakan sebagai persentase dari berat karkas. Metode
evaluasi lain yang digunakan adalah persentase ham dan loin, dan indeks ham-
loin. Semua metode ini digunakan untuk memprediksi hasil daging dari karkas
babi. Nilai perkiraan terutama dipengaruhi oleh jumlah lemak yang dapat
dipisahkan dari karkas dan perototan (Soeparno, 1991).
Faktor tunggal terbesar yang menentukan nilai potongan karkas adalah
rasio daging terhadap lemak yang dapat dipisahkan (diiris). Satu cara yang banyak
digunakan untuk mengukur tingkat perlemakan karkas adalah rata-rata dari tiga
pengukuran ketebalan lemak subkutan (punggung) yang diukur pada rusuk ke-1
(satu), rusuk terakhir, dan vertebra lumbalis terakhir. Variasi tingkat perlemakan
merupakan faktor yang paling penting yang mempengaruhi hasil daging.
Ketebalan lemak punggung yang umumnya sekitar 1,0 inci (2,54 cm) dianggap
optimum untuk karkas dengan berat kira-kira 140 pound (kira-kira 65,3 kg).
Lemak sebaiknya padat dan tidak berminyak, terutama pada ujung loin atau ham
(Boggs dan Merkel, 1979).
Perkembangan perototan babi, terutama pada ham, loin, dan perut (belly)
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesukaan konsumen. Ukuran luas
daging mata rusuk merupakan petunjuk yang berguna dalam menentukan jumlah
daging atau perototan. Di samping ukuran mata loin/UDMR, beberapa aspek
bentuk karkas perlu dipertimbangkan. Setelah perlemakan, ketebalan, kepenuhan,
dan kemontokan karkas yang berhubungan dengan perkembangan perototan perlu
dipertimbangkan. Ketebalan dan kemontokan ham, kepenuhan loin, ketebalan
bahu dan perut adalah beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam mengevaluasi
perototan. Ham yang baik adalah ham yang luas, dalam , panjangnya moderat, dan
berkembang penuh. Ham yang berkualitas tinggi seharusnya : (a) mempunyai
potongan permukaan dinding yang padat keras, (b) bertekstur halus, (c) warnanya
merah jambu keabu-abuan yang seragam, (d) dagingnya (lean) mempunyai
marbling yang uniform dan ekstensif dengan lemak putih padat, (e) lemak
subkutan (eksterior) yang menyelimutinya adalah padat, putih, dan kering, (f)
kulitnya halus dengan bagian dagingnya juga halus, dan (g) kaki bawah relatif
halus dan bersih. Sebaliknya, ham yang relatif kurang baik berwarna abu-abu
sampai merah gelap, otot yang berdekatan dengan tulang berwarna lebih gelap
daripada lainnya, dan bertekstur kasar dengan sedikit atau tanpa marbling. Ham
yang jelek berwarna pucat, sangat lunak, dan berair (Judge et al.,1989)