bab ii tinjauan pustaka 2.1 lanjut usia 2.1.1 pengertian ...wisuda.unud.ac.id/pdf/1102106053-3-bab...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lanjut Usia
2.1.1 Pengertian Lanjut Usia
Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis yang berkaitan
dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan
secara individu (Hawari, 2001 dalam Efendy & Makhfludi 2009). Lansia
dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia
(Keliat, 1999 dalam Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008).
Penggolongan lansia menurut WHO, dibagi menjadi 4 kelompok (Padila, 2013),
yakni:
a. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45-59 tahun
b. Lanjut Usia (elderly), ialah kelompok usia 60-74 tahun
c. Lanjut Usia Tua (old), ialah kelompok usia 75-90 tahun
d. Usia Sangat Tua (very old), ialah kelompok usia diatas 90 tahun
Batasan lansia menurut Depkes RI terbagi dalam 4 kelompok yaitu :
a. Pertengahan umur usia lanjut/virilitas yaitu masa persiapan usia lanjut
yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara usia
45-54 tahun.
b. Usia lanjut dini/prasemu yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut
antara 55-64 tahun.
9
c. Usia lanjut/semua usia 65 tahun ke atas.
d. Usia lanjut dengan resiko tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70
tahun.
Menurut Pasal 1 Ayat (2), (3), (4) UU No.13 Tahun 1998 tentang Kesehatan
dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari
60 tahun (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008).
2.1.2 Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Lansia
Menua dalam diri seseorang dapat membawa pengaruh serta perubahan
menyeluruh baik fisik, sosial, mental, dan moral spiritual, yang keseluruhannya
saling terkait (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008).
1. Perubahan fisik
a. Perubahan pada Sistem Sensoris
Komplikasi dari DM dapat menyebabkan lansia mengalami penurunan
penglihatan seperti katarak. Sesuai dengan teori penuaan yaitu teori glikosilasi,
adanya penambahan glukosa ke dalam asam nukleat menyebabkan menurunnya
fungsi sel dan jaringan (Sa’abah, 2008). Kadar gula darah yang terlalu tinggi
dalam darah (hiperglikemi) akan mengakibatkan terjadinya penimbunan sorbitol
(hasil dari metabolisme glukosa) dalam lensa yang akan menyebabkan terjadinya
pembengkakan lensa akibat masuknya air. Awalnya mata mampu melakukan
kompensasi, tetapi pada saat yang sama pasien telah mengalami perubahan tajam
penglihatan. Terjadi pembengkakan dan kerusakan serabut lensa pada tahap
selanjutnya sehingga pasien akan mengeluh adanya glare atau silau dan akhirnya
timbul kekeruhan lensa atau katarak diabetes (Mawan, 2013).
10
b. Perubahan pada Sistem Kardiovaskular
Perubahan sistem kardiovaskular pada lansia DM tipe 2 yaitu terjadinya
peningkatan risiko penyumbatan pembuluh darah dekat jantung (serangan
jantung), otak (stroke) atau kaki (gangren) (Salma, 2010). Perubahan yang terjadi
pada sistem kardiovaskular akibat DM, menurut teori penuaan yaitu teori
glikosilasi, adanya penambahan glukosa ke dalam asam nukleat menyebabkan
menurunnya fungsi sel dan jaringan dan menyebabkan penggumpalan darah
(Sa’abah, 2008).
c. Perubahan pada Sistem persarafan
Terjadi perubahan pada saraf pancaindra menjadi makin mengecil pada
usia tua sehingga fungsinya menurun dan lambat dalam merespon baik dari
gerakan maupun jarak waktu, khususnya dengan stres, mengecilnya saraf
pancaindra, serta menjadi kurang sensitif terhadap sentuhan (Efendy &
Makhfudli, 2009). Kualitas sirkulasi darah yang buruk akibat DM dalam jangka
panjang dapat merusak jaringan saraf. Kerusakan sistem saraf pada umumnya
terjadi di bagian kaki dan tungkai yang biasanya ditandai rasa kesemutan,
kehilangan sensasi (mati rasa) atau nyeri di jari-jari kaki, kemudian naik secara
bertahap hingga tungkai. Hal ini perlu diwaspadai karena bila terdapat luka dan
lansia DM tidak merasakan adanya luka, maka luka tersebut dapat menjadi borok
(Salma, 2010).
d. Perubahan pada Sistem Genitourinaria
Perubahan terjadi pada ginjal, dimana ginjal akan mengecil, aliran darah
ke ginjal menurun, penyaringan di glomelurus menurun, dan fungsi tubulus
11
menurun sehingga kemampuan mengkonsentrasi urin ikut menurun (Maryam,
Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008). Jaringan ginjal terdiri dari banyak
pembuluh darah kecil yang membentuk sebuah filter yang berperan
menghilangkan racun dan limbah dari darah. DM yang kronis dapat menyebabkan
pembuluh-pembuluh darah kecil itu rusak. DM juga membuat ginjal bekerja lebih
keras untuk menyaring kelebihan kadar glukosa darah yang tidak terserap karena
kekurangan insulin atau resistensi insulin. Hal ini berkaitan dengan teori penuaan
yaitu teori Wear and Tear dimana pada teori ini terjadinya kelebihan usaha
menyebabkan sel-sel tubuh lelah dan tidak dapat berfungsi dengan baik (Padila,
2013). Ginjal pada penderita DM akan mengalami kerusakan secara bertahap,
mulai dari hyperfiltrasi (pembengkakan ginjal karena bekerja terlalu keras),
mikroalbuminuria (kerusakan membran penyaring sehingga sebagian protein
masuk ke dalam darah dan urin), sampai akhirnya menjadi gagal ginjal (Salma,
2010).
e. Perubahan pada Sistem Endokrin
Sekitar 50% lansia menunjukkan intoleransi glukosa, dengan kadar gula
puasa yang normal. Penyebab dari terjadinya intoleransi glukosa ini adalah faktor
diet, obesitas, kurangnya olahraga, dan penuaan (Padila, 2013). Sesuai dengan
teori penuaaan yaitu teori glikosilasi, dalam teori ini menyatakan bahwa adanya
ikatan glukosa (gula sederhana) pada protein yang menyebabkan berbagai
masalah. Setelah pengikatan ini terjadi protein menjadi terganggu dan tidak dapat
melakukan performa secara efisien. DM sering dipandang sebagai bentuk penuaan
akibat ketidakseimbangan terkait usia insulin dan toleransi glukosa, masalah ini
12
telah disebut Sindrom X. Penderita diabetes memiliki 2-3 kali jumlah silang
protein jika dibandingkan dengan orang yang sehat. Dalam teori ini juga
menyebutkan bahwa gula mengikat DNA dan dapat menyebabkan kerusakan yang
mengarah ke sel-sel cacat dan akhirnya menjadi kanker (Micans, 2014).
2. Perubahan psikososial
Perubahan pada lansia dalam sosial di masyarakat dan takut menghadapi
kematian akibat adanya penyakit menimbulkan stres dan kesepian pada lansia
(Padila, 2013). Sesuai dengan teori psikososial, munculnya stres ini diyakini dapat
mempercepat proses penuaan. Seseorang yang mengalami stres, membuat
tubuhnya harus memproduksi adrenalin untuk menenangkannya. Adrenalin yang
dipacu terus-menerus akan menyebabkan insulin akan sulit mengatur kadar gula
yang ideal (Jacken, 2005).
2.2 DM Tipe 2
2.2.1 Pengertian DM tipe 2 pada Lansia
DM merupakan penyakit kronis yang disebabkan karena adanya
keturunan, karena kekurangan produksi insulin oleh pankreas, atau dengan tidak
efektifnya insulin yang dihasilkan. Kurangnya peningkatan konsentrasi glukosa
dalam darah, akan mengakibatkan rusaknya banyak sistem tubuh, khususnya
pembuluh darah dan saraf (WHO, 2015). DM yang utama diklasifikasikan
menjadi DM tipe 1 (Insulin Dependen Diabetes Mellitus) dan DM tipe 2 (Non
Insulin Dependen Diabetes Mellitus) (Hasdianah, 2012).
DM Tipe 2 adalah penyakit kronis dimana tubuh tidak dapat menggunakan
insulin secara efektif yang diproduksi oleh pankreas (WHO, 2015). Kadar insulin
13
mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap
dihasilkan oleh sel-sel β pankreas, maka DM tipe 2 dianggap sebagai Non Insulin
Dependent DM (NIDDM) (Corwin, 2009). DM tipe 2 pada lansia, adanya
intoleransi glukosa berkaitan dengan obesitas, aktivitas fisik yang berkurang,
kurangnya massa otot, penyakit penyerta, penggunaan obat-obatan, disamping
karena pada lansia terjadi penurunan sekresi insulin dan insulin resisten. Lansia
dengan DM tipe 2 terjadi penurunan kemampuan insulin terutama pada post
reseptor (Kurniawan, 2010).
2.2.2 Etiologi DM tipe 2 pada Lansia
Peningkatan kadar gula darah pada lanjut usia disebabkan oleh beberapa
hal, yaitu (Misnadiarly, 2006):
a. Fungsi sel pankreas dan sekresi insulin yang berkurang.
b. Perubahan karena lanjut usia sendiri yang berkaitan dengan resistensi insulin,
akibat kurangnya massa otot dan perubahan vaskular.
c. Aktivitas fisik yang berkurang, banyak makan, badan kegemukan.
d. Sering menderita stres
e. Sering menggunakan bermacam-macam bahan-bahan kimia dalam waktu
lama. Bahan-bahan kimia dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan
radang pankreas, yang mengakibatkan fungsi pankreas menurun sehingga
tidak ada sekresi hormon-hormon untuk proses metabolisme tubuh termasuk
insulin (Hasdianah, 2012).
f. Adanya faktor keturunan. Gen penyebab DM akan dibawa oleh anak jika
orang tuanya menderita DM (Hasdianah, 2012).
14
2.2.3 Tanda dan Gejala DM tipe 2 pada Lansia
Tanda dan gejala DM secara umum adalah banyak makan (polyphagia)
banyak minum (polydipsia), banyak kencing (polyuria) (Corwin, 2009).
Selanjutnya akan timbul gejala nafsu makan mulai berkurang/berat badan turun
dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah, dan akan
timbul rasa mual bahkan koma yang disebut dengan koma diabetik (Hasdianah,
2012). Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah kesemutan,
kulit terasa panas seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di kulit, kram, mudah
mengantuk, mata kabur (Hasdianah, 2012). Tanda dan gejala DM pada lansia
sering kali tidak jelas dan diagnosis biasanya terlambat. Gejala DM pada lansia
dapat muncul tidak spesifik dan tidak pasti (Bilous dan Donelly, 2014). Tanda dan
gejala DM pada lansia adalah sebagai berikut (Misnadiarly, 2006):
a. Penurunan berat badan yang drastis dan katarak yang sering terjadi pada
gejala awal.
b. Infeksi bakteri dan jamur pada kulit (pruritus vulva untuk wanita) dan
infeksi traktus urinarius sulit untuk disembuhkan.
c. Disfungsi neurologi, termasuk parestesi, hipestesi, kelemahan otot,
disfungsi otomatis dari traktus gastrointestinal (diare), sistem
kardiovaskular (hipotensi ortostatik), sistem reproduksi (impoten), dan
inkontinensia stres.
d. Makroangiopati yang meliputi sistem kardiovaskular (iskemi, angina, dan
infark miokard), perdarahan intra serebral (stroke).
15
e. Mikroangiopati meliputi mata (penyakit makula, hemoragik, eksudat),
ginjal (proteinuria, glomerulopati, uremia).
2.2.4 Pengelolaan DM Tipe 2 pada Lansia
Pengelolaan DM tipe 2 pada lansia perlu diperhatikan secara khusus yang
bertujuan untuk mengendalikan kadar gula darah, mengurangi hiperglikemik,
mencegah dan mengatasi komplikasi, serta mencapai harapan hidup yang normal
(Perkeni, 2011; Bilous dan Donelly, 2014). Pengelolaan DM dimulai dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu) serta
dilakukan intervensi farmakologis dengan pemberian obat hipoglikemik oral
(OHO) atau suntikan insulin (Misnadiarly, 2006).
Terdapat empat pilar utama dalam pengelolaan DM tipe 2 yang meliputi
(Perkeni, 2011):
a. Edukasi
Keberhasilan pengelolaan DM tipe 2 memerlukan partisipasi aktif dari
pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien menuju
perilaku yang sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku tersebut
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi tidak
hanya kepada pasien DM tipe 2 namun juga kepada keluarganya (Perkeni, 2011).
b. Diet
Pasien DM tipe 2 perlu ditekankan pentingnya keteraturan dalam hal
jadwal, jenis, dan jumlah makanan, terutama bagi mereka yang menggunakan
Obat Hipoglikemia Oral (OHO) atau insulin (Perkeni, 2011). Standar yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
16
karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu karbohidrat :
45-65% total asupan energi, protein: 10-20% total asupan energi, 20-25%
kebutuhan kalori.
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, usia, stres
akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan
ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali dengan
kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk
wanita). Alternatif diet rendah karbohidrat, tinggi lemak tak jenuh, tinggi serat
diterapkan pada pasien DM tipe 2 (Hartono, 2006). Berdasarkan Angka
Kecukupan Gizi (AKG) pada lansia dengan rentang usia 65-80 tahun
membutuhkan energi sebanyak 1900 kkal (Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No.75 Tahun 2013). Kebutuhan diet pada lansia DM tipe 2 disesuaikan
dengan kebutuhan kalori yaitu 1900 kkal dengan kebutuhan karbohidrat sebanyak
299 gr, protein 60 gr, lemak 48 gr (Almatsier, 2004).
Tabel 2.1. Daftar Bahan Makanan Penukar
A. Golongan I: Sumber Karbohidrat
Satu satuan penukar mengandung: 175 kkalori, 4 gr protein, dan 40 gr karbohidrat
Bahan
Makanan
Berat (g) URT Bahan
Makanan
Berat (g) URT
Nasi beras
giling
100 ¾ gls Maizena* 40 8 sdm
Nasi beras ½
giling
200 1 gls Tepung beras 50 8 sdm
Nasi ketan
hitam
100 ¾ gls Biskuit 40 4 bh bsr
Nasi ketan putih 100 ¾ gls Jagung 125 3 bj sdg
Bengkuang 320 2 bj bsr Tepung
singkong*
40 8 sdm
Gadung 175 1 ptg Tepung sagu* 40 7 sdm
Kentang 200 2 bj sdg Tepung terigu 50 8 sdm
Singkong 100 1 ptg sdg Tepung
hunkwee*
40 8 sdm
Talas 200 1 bj bsr Mie basah 200 2 gls
17
Ubi 150 1 bj sdg Mie kering 50 1 gls
Makaroni 50 ½ gls Havermout 50 6 sdm
Roti putih 80 2 iris Bihun 50 ½ gls
Kraker 50 5 bh bsr Maizena 50 10 sdm
B. Golongan II: Sumber Protein Hewani
Menurut kandungan lemaknya, sumber protein hewani dibagi menjadi tiga kelompok:
1. Rendah Lemak
Satu-satuan penukar mengandung: 7 gr protein, 2 gr lemak, 50 kalori
Bahan
Makanan
Berat (g) URT Bahan
Makanan
Berat (g) URT
Kepiting 50 1/3 gls Putih telur ayam 65 2 ½ btr
Cumi-cumi 45 1ekor kcl Kerang 90 ½ gls
Daging ayam
tanpa kulit
50 1 ptg sdg Ikan pindang 25 ½ ekor
sdg
Ikan lele 40 ½ ptg sdg Ikan segar 40 1 ptg sdg
Babat 40 1 ptg bsr Ikan kakap 35 1/3 ekor
bsr
Ikan kembung 30 1/3 ekor
sdg
2. Lemak Sedang
Satu-satuan penukar mengandung: 7 gr protein, 5 gr lemak, 75 kalori
Bahan Makanan Berat (g) URT Bahan
Makanan
Berat (g) URT
Bakso 170 10 bj sdg Telur ayam 55 1 btr
Daging kambing 40 1 ptg sdg Telur bebek asin 50 1 btr
Hati ayam 30 1bh sdg Telur puyuh 55 5 btr
Hati babi 35 1 ptg sdg Usus sapi 50 1 ptg bsr
Hati sapi 35 1 ptg sdg Daging sapi 35 1 ptg sdg
Otak 65 1 ptg bsr Telur penyu 60 2 btr
3. Tinggi Lemak
Satu-satuan penukar mengandung: 7 gr karbohidrat, 5 gr protein, 3 gr lemak, 75 kalori
Bahan Makanan Berat (g) URT
Bebek 45 1 ptg sdg
Belut 45 3 ekor kcl
Daging ayam dengan kulit 40 1 ptg sdg
Sosis 50 ½ ptg
Kuning telur ayam 45 4 butir
Telur bebek 55 1btr
C. Golongan III: Sumber Protein Nabati
Satu satuan penukar mengandung: 75 kalori, 5 gr protein, 3 gr lemak, dan 7 gr karbohidrat
Bahan Makanan Berat
(g)
URT Bahan Makanan Berat (g) URT
Kacang Hijau 20 2 sdm Kacang tolo 20 2 sdm
Kacang Kedelai 25 2 ½ sdm Oncom 50 2 ptg sdg
Kacang merah 20 2 sdm Tahu 110 1 bj bsr
18
Kacang tanah terkupas 15 2 sdm Tempe 50 2 ptg sdg
D. Golongan IV: Sayuran
Hendaknya digunakan campuran dari daun-daunan seperti: bayam, kangkung, daun singkong
dengan kacang panjang, buncis, wortel, dsb. 100 gr sayuran campur adalah lebih kurang 1 gelas
(setelah dimasak dan ditiriskan). Golongan sayuran dibagi atas 3 macam berdasarkan kandungan
zat gizinya.
1. Sayuran A. Digunakan sekehendak karena sangat sedikit sekali kandungan kalorinya.
Beligo Lettuce
Gambas (oyong) Lobak
Jamur kuping segar Slada
Ketimun Slada air
Labu air Tomat
2. Sayuran B. Satu satuan penukar (dalam 100 g) mengandung: 5 g karbohidrat, 1 g protein, 25
kalori
Cabe hijau besar Sawi
Daun koro Seledri
Daun kacang panjang Taoge kac.hijau
Jagung muda Terong
Kol Kangkung
Bawang Bombay Labu siam
Bayam Pepaya muda
Broccoli Wortel
Buncis Daun kemangi
Cabe merah besar Pare
3. Sayuran C. Satu-satuan penukar (100 g) mengandung: 10 g karbohidrat, 3 g protein, 50 kalori.
Bayam merah Kluwih
Daun katuk Mlinjo
Daun labu siam Taoge kacang kedele
Daun mangkokan Daun talas
Daun mlinjo Kacang kapri
Daun pepaya Nangka muda
Daun singkong
E. Golongan V: Buah-buahan dan gula
Satu satuan penukar mengandung: 40 kkalori dan 10 gr hidrat arang
Bahan
Makanan
Berat (g) URT Bahan
Makanan
Berat (g) URT
Gula 13 1 sdm Mangga 90 ¾ bh
bsr
Apel merah 85 1 bh kcl Nanas 95 ¼ bh
sdg
Anggur 165 20 bh sdg Nangka masak 45 3 bj sdg
Belimbing 70 1 bh bsr Pepaya 190 1 ptg
bsr
Jambu biji 100 1 bh bsr Pisang ambon 50 1 bh kcl
Jambu air 110 2 bh bsr Madu 15 1 sdm
Jambu bol 90 1 bh kcl Rambutan 75 8 bh
19
Duku 80 16 bh sdg Salak 75 1 bh bsr
Jeruk bali 105 1 ptg Sawo 50 1 bh
sdg
Jeruk manis 100 2 bh sdg Sirsak 60 ½ gls
Kedondong 100 1 bh bsr Semangka 180 1 ptg
bsr
F. Golongan VI: Susu
Merupakan sumber protein, lemak, karbohidrat, dan vitamin (terutaman vitamin A dan Niacin),
serta mineral (zat kapur dan fosfor).
Bahan Makanan Berat
(g)
URT Bahan Makanan Berat (g) URT
Susu sapi 200 1 gls Tepung susu asam 35 7 sdm
Susu kambing 165 ¾ gls Tepung susu skim* 20 1 sdm
Susu kerbau 100 ½ gls Tepung susu penuh 30 6 sdm
Susu kental tak
manis
100 ½ gls YogURT non fat 120 2/3 gls
Keju 35 1 ptg kcl YogURT susu
penuh
200 1 gls
G. Golongan VII: Minyak/lemak
Satu satuan penukar mengandung: 50 kalori dan 5 gr lemak
1. Lemak tidak jenuh
Bahan Makanan Berat
(g)
URT Bahan Makanan Berat (g) URT
Alpukat 60 ½ bh bsr Minyak jagung 5 1 sdt
Biji labu merah 10 2 bj Minyak kacang kedele 5 1sdt
Kacang almond 25 7 bj Minyak kacang tanah 5 1sdt
Margarine jagung 5 ¼ sdt Minyak zaitun 5 1sdt
Mayonnaise 20 2 sdm Minyak bunga matahari 5 1sdt
2. Lemak Jenuh
Bahan Makanan Berat
(g)
URT Bahan
Makanan
Berat
(g)
URT
Minyak kelapa 5 1 sdm Kelapa 15 1 ptg kcl
Minyak inti kelapa
sawit
5 1 sdm Santan 40 1/3 gls
Keju krim 15 1 ptg kcl Lemak babi 5 1 ptg kcl
Mentega 15 sdm
H. Golongan VIII (Makanan tanpa kalori)
1. Mengandung kurang dari 5 g karbohidrat dan kurang dari 20 kalori tiap penukarnya.
2. Bahan makanan yang ada ukuran rumah tangganya. Dibatasi maksimal 3 penukar sehari,
tetapi jangan dikonsumsi sekaligus oleh karena dapat menyebabkan kenaikan gula darah.
3. Bahan makanan yang tidak ada ukuran rumah tangganya dapat dikonsumsi lebih bebas.
Agar-agar Tauco
Air kaldu Teh
Air mineral Selai rendah gula
Cuka mineral Krim, non dairy, cair bubuk
Kecap Margarine, non fat
20
Kopi Permen, tanpa gula
Minuman ringan tanpa gula Sirup tanpa gula
Minuman tonik tanpa gula Wijen
Sumber: Kemenkes R.I
Prinsip-prinsip dalam melaksanakan diet DM sehari-hari, dilakukan
dengan pedoman Jadwal, Jenis, dan Jumlah atau yang sering disebut dengan
pedoman 3J, yaitu:
(1) J1: Jadwal diet harus diikuti sesuai dengan interval. Pada dasarnya diet DM
diberikan dengan tiga kali makanan utama dan tiga kali makanan antara
(interval) tiga jam.
Tabel 2.2. Jadwal Waktu Makan
Waktu Makan Jenis Makanan
1. Makan pagi (pk. 07.00-08.00) Makanan utama yang terdiri dari: makanan
pokok (nasi), lauk pauk, sayuran.
2. Selingan (pk. 10.00) Buah/susu
3. Makan siang (pk. 12.00-13.00) Makanan utama
4. Selingan (pk. 16.00) Buah/susu
5. Makan malam (pk. 19.00) Makanan utama
6. Selingan (pk. 21.00) Buah
Sumber: Almatzier, 2004 (Jadwal ini dapat diubah asalkan interval tetap 3 jam)
(2) J2: Jenis makanan yang dianjurkan adalah jenis makanan pada syarat-syarat
diet DM.
a. Bahan makanan yang dianjurkan (Almatsier, 2004):
1. Sumber karbohidrat kompleks, seperti nasi, roti, mi, kentang, singkong,
ubi, dan sagu.
2. Sumber protein rendah lemak, seperti ikan, ayam tanpa kulit, susu skim,
tempe tahu, dan kacang-kacangan.
21
3. Sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu bentuk makanan yang mudah
dicerna. Terutama diolah dengan cara dipanggang, dikukus, dan direbus.
b. Bahan makanan yang tidak dianjurkan (Almatsier, 2004):
1. Mengandung banyak gula sederhana seperti gula pasir dan gula jawa.
Buah-buahan yang diawetkan dengan gula. Sirup, selai, jeli, susu kental
manis, minuman botol ringan, dan es krim.
2. Mengandung banyak lemak, seperti cake, makanan siap saji, goreng-
gorengan.
3. Mengandung banyak natrium, seperti ikan asin, telur asin, makanan yang
diawetkan.
(3) J3: Jumlah kalori yang diberikan harus habis, jangan dikurangi ataupun
ditambah.
Tabel 2.3. Contoh Menu Makanan Sehari Diet DM 1900 kkal
Waktu Bahan makanan Penukar (URT) Menu
Pagi Nasi
Telur ayam
Tempe
Sayuran A
Minyak
1 ½ p
1 p
1 p
S
2p
1 gls
1 btr
2 ptg sdg
1 sdm
Nasi
Telur dadar
Oseng-oseng tempe
Sop Oyong + tomat
Pukul 10.00 Buah 1 p 1 ptg sdg Pepaya
Siang Nasi
Ikan
Tempe
Sayuran B
Buah
Minyak
1 p
2 p
1 p
1 p
1 p
2 p
1 ½ gls
1 ptg sdg
2 ptg sdg
1 gls
¼ bh sdg
1 sdm
Nasi
Pepes ikan
Tempe goreng
Lalapan kacang
panjang+kol
Nanas
Pukul 16.00 Buah 1 p 1 ptg Pisang
Malam Nasi
Ayam tanpa kulit
Tahu
Sayuran B
Buah
Minyak
2 p
1 p
1 p
1 p
1 p
2 p
1 ½ gls
1 ptg sdg
1 bh bs
1 gls
1 ptg sdg
1 sdm
Nasi
Ayam bakar bumbu
kecap
Tahu bacem
Stup buncis+wortel
Pepaya
22
Keterangan: bh = buah
ptg = potong
sdg = sedang
gls = gelas (240 ml)
sdm = 1 sendok makan
bsr = besar
btr = butir
URT= ukuran rumah tangga
atau penimbangan
menggunakan timbangan
makanan.
Nilai Gizi
Energi: 1912 kkal
Protein: 60 g (12,5% energi total)
Lemak: 48 g (22,5% energi total)
Karbohidrat: 299 g (62,5% energi total)
Kolesterol: 303 mg
Serat: 37 g
Sumber: Almatzier, 2004
Pencacatan menu makanan untuk diet DM dapat dilakukan dengan
menggunakan food record yaitu pendekatan monitoring konsumsi makanan dan
minuman dalam sehari atau lebih. Pencatatan tersebut dilakukan selama periode
waktu tertentu biasanya 1 sampai 7 hari (Berdanier, Dwyer, dan Feldman, 2007),
apabila pencacatan dilakukan beberapa hari biasanya dilakukan berturut-turut dan
tidak lebih dari 7 hari (Thompson & Subar, 2013) yaitu 2-4 hari berturut-turut
(Supariasa, 2012). Food record baik dilakukan ketika setelah makan atau minum
sehingga hasilnya akurat. Jumlah makanan atau minuman yang dikonsumsi
diperkirakan dengan menggunakan Ukuran Rumah Tangga (URT) (Thompson &
Subar, 2013).
c. Aktivitas Fisik
Manfaat aktivitas fisik pada lansia DM adalah untuk perbaikan toleransi
glukosa, peningkatan kemampuan, konsumsi oksigen maksimum, meningkatan
kekuatan otot, penurunan tekanan darah, pengurangan lemak tubuh, perbaikan
profil lipid (Kurniawan, 2010).
Aktivitas fisik secara teratur dilakukan 3-5 kali seminggu selama kurang
lebih 30 menit (Sudoyo, 2009). Jenis olahraga yang baik adalah aerobic yang
23
bersifat daya tahan, karena dapat memperkuat otot jantung dan pembuluh darah
seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging dan berenang (Sustrani, dkk, 2006).
Aktivitas fisik sebaiknya disesuaikan dengan usia dan status kesegaran jasmani
serta memperhatikan aktivitas fisik bila menggunakan insulin, untuk lansia DM
tipe 2, intensitas aktivitas fisik bisa ditingkatkan kecuali sudah mengalami
komplikasi (Perkeni, 2011).
1. Aktifitas Fisik pada pasien DM yang Bergantung Insulin (Waluyo, 2009) :
a) Monitor kadar gula darah sebelum dan sesudah beraktivitas fisik.
b) Hindari gula darah rendah dengan memakan karbohidrat sebelum
aktivitas fisik.
c) Hindari aktivitas fisik berat selama reaksi puncak insulin.
d) Lakukan suntikan insulin di tempat–tempat yang tidak akan digunakan
untuk beraktivitas fisik secara aktif.
e) Ikuti saran dokter untuk mengurangi dosis insulin sebelum melakukan
aktivitas fisik yang melelahkan atau lama.
f) Gula darah bisa turun bahkan beberapa jam setelah beraktivitas fisik
untuk itu dianjurkan untuk memeriksa gula darah secara periodik.
2. Aktivitas fisik untuk Pasien DM yang Tidak Bergantung Insulin (Waluyo,
2009):
a) Gula darah rendah jarang terjadi selama beraktivitas fisik untuk itu
tidak perlu untuk memakan karbohidrat ekstra.
b) Aktivitas fisik untuk menurunkan berat badan perlu didukung dengan
pengurangan asupan kalori.
24
c) Aktivitas fisik sedang perlu dilakukan setiap hari. Aktivitas fisik berat
mungkin bisa dilakukan tiga kali seminggu.
d) Sangat penting untuk melakukan latihan ringan guna pemanasan dan
pendinginan sebelum dan sesudah beraktivitas fisik.
e) Pilihlah aktivitas fisik yang paling sesuai dengan kesehatan dan gaya
hidup secara umum.
f) Manfaat aktivitas fisik akan hilang jika tidak beraktivitas fisik selama
tiga hari berturut-turut.
g) Aktivitas fisik bisa meningkatkan nafsu makan dan berarti juga asupan
kalori bertambah. Sangat penting untuk menghindari makan makanan
ekstra setelah beraktivitas fisik.
Melakukan aktivitas fisik sebaiknya dibagi menjadi tiga waktu yaitu satu
jam setelah sarapan, satu jam setelah makan siang, dan satu jam setelah makan
malam (Waluyo, 2009). Contoh aktivitas fisik yang dapat dilakukan adalah
dengan dengan 2 hari libur (Fox & Klivert, 2010):
1. Jalan kaki selama 30-40 menit/hari.
2. Berenang selama 20 menit/hari.
3. Jogging selama 20 menit/hari.
4. Bersepeda selama 20 menit/hari.
Jenis aktivitas fisik untuk DM lainnya adalah senam kaki diabetes. Senam
kaki diabetes adalah suatu kegiatan atau latihan yang dilakukan oleh pasien DM
untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran darah
bagian kaki (Padila, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Andriani (2014)
25
melaporkan dengan melakukan latihan senam kaki diabetes menunjukan
terjadinya penurunan kadar gula darah yang dilakukan selama dua kali selama 15
menit dalam seminggu sebelum makan.
Berikut langkah-langkah pelaksanaan senam kaki diabetes (Padila, 2013):
1. Duduk tegak diatas bangku dengan kaki menyentuh lantai.
2. Dengan tumit yang diletakkan dilantai, jari-jari kedua belah kaki diluruskan
keatas lalu dibengkokkan kembali kebawah seperti cakar ayam sebanyak 10
kali.
3. Dengan meletakkan tumit salah satu kaki dilantai, angkat telapak kaki ke atas.
Kemudian sebaliknya pada kaki yang lainnya, jari-jari kaki diletakkan di
lantai dan tumit kaki diangkatkan ke atas. Gerakan ini dilakukan secara
bersamaan pada kaki kanan dan kiri bergantian dan diulangi sebanyak 10 kali.
4. Tumit kaki diletakkan di lantai. Kemudian bagian ujung jari kaki diangkat ke
atas dan buat gerakan memutar pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali.
5. Jari-jari kaki diletakkan dilantai. Kemudian tumit diangkat dan buat gerakan
memutar dengan pergerakkan pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali.
6. Kemudian angkat salah satu lutut kaki, dan luruskan. Lalu gerakan jari-jari
kaki kedepan kemudian turunkan kembali secara bergantian kekiri dan ke
kanan. Ulangi gerakan ini sebanyak 10 kali.
7. Selanjutnya luruskan salah satu kaki diatas lantai kemudian angkat kaki
tersebut dan gerakkan ujung jari-jari kaki kearah wajah lalu turunkan kembali
ke lantai. Ulangi sebanyak 10 kali. Lakukan pada kedua kaki.
26
8. Angkat kedua kaki lalu luruskan. Ulangi sama seperti pada langkah ke-7,
namun gunakan kedua kaki kanan dan kiri secara bersamaan. Ulangi gerakan
tersebut sebanyak 10 kali.
9. Angkat kedua kaki dan luruskan, pertahankan posisi tersebut. Kemudian
gerakan pergelangan kaki kedepan dan kebelakang.
10. Selanjutnya luruskan salah satu kaki dan angkat, lalu putar kaki pada
pergelangan kaki, lakukan gerakan seperti menulis di udara dengan kaki dari
angka 0 hingga 10 lakukan secara bergantian.
11. Letakkan selembar koran dilantai. Kemudian bentuk kertas koran tersebut
menjadi seperti bola dengan kedua belah kaki.
12. Buka kembali bola tersebut menjadi lembaran seperti semula menggunakan
kedua belah kaki.
13. Kemudian robek koran menjadi 2 bagian, lalu pisahkan kedua bagian koran
tersebut.
14. Sebagian koran di sobek-sobek menjadi kecil-kecil dengan kedua kaki.
15. Kemudian pindahkan kumpulan sobekan-sobekan tersebut dengan kedua kaki
lalu letakkan sobekkan kertas pada bagian kertas yang utuh tadi.
16. Lalu bungkus semua sobekan-sobekan tadi dengan kedua kaki kanan dan kiri
menjadi bentuk bola.
d. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan selama dengan pengaturan makan dan
aktivitas fisik. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
Pemilihan jenis obat disesuaikan dengan kondisi klien dan perkembangan
27
penyakit DM tipe 2 (Perkeni, 2011). Hipoglikemia harus dihindari pada lansia
DM tipe 2, oleh karena itu sebaiknya obat-obat yang bekerja jangka panjang tidak
dipakai dan diberikan obat-obat yang mempunyai masa yang pendek tetapi
bekerja cukup lama (Misnadiarly, 2006).
2.2.5 Kadar Gula Darah pada Lansia DM Tipe 2
1. Pengertian Gula Darah
Glukosa merupakan substrat utama untuk menghasilkan energi di jaringan
seperti otak dan sel darah merah (Guyton, 2007). Gula yang diserap dari makanan
akan diangkut ke seluruh tubuh melalui aliran darah, kemudian diberikan ke sel-
sel organ tubuh yang memerlukan dengan bantuan insulin, hormon yang
dihasilkan pankreas. Bila jumlah gula berlebih maka insulin membantu
menyimpan kelebihan gula tersebut di dalam organ hati, atau tubuh mengubah
gula menjadi glikogen untuk disimpan di otot, atau diubah menjadi trigliserida
untuk disimpan di jaringan lemak (Prodia, 2008).
Pasien DM tipe 2 tidak mampu menggunakan atau menyimpan sebagian
besar gula yang diserap dari makanan, sehingga gula tersebut tetap berada dalam
darah, dan gula dalam darah yang berlebihan dapat menimbulkan berbagai macam
masalah yang disebut sebagai komplikasi diabetes (Prodia, 2008). Kadar gula
darah dapat diketahui dengan rutin melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan gula
darah harus rutin dilakukan pada lansia DM tipe 2. Penelitian Badriah (2012)
dilakukan pemeriksaan gula darah pada lansia DM tipe 2 setiap dua minggu sekali
setelah dikelola oleh kelompok pendukung. Sudoyo (2009) mengemukakan
batasan atas kadar glukosa darah normal seperti pada Tabel 2.4.
28
Tabel 2.4. Kadar Gula darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Diagnosis DM Tipe 2
Pasien DM yang berusia lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran
kendali kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dl,
dan sesudah makan 145-180 mg/dl) (Perkeni, 2011). Berdasarkan data WHO
didapatkan bahwa setelah mencapai usia 30 tahun, kadar glukosa darah akan naik
1-2 mg%/tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6-13 mg%/tahun pada 2
jam setelah makan (Kurniawan, 2010).
2. Faktor yang Mempengaruhi Kadar Gula Darah pada Lansia
a. Diet
Kebiasaan mengkonsumsi makanan siap saji dapat meningkatkan obesitas,
makanan-makanan siap saji ini banyak mengandung lemak, kalori, serta kolesterol
(Jacken, 2005). Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi
baik yaitu karbohidrat : 45-65% total asupan energi, protein: 10-20% total asupan
energi, 20-25% kebutuhan kalori (Hartono, 2006).
b. Aktivitas fisik
Terjadi penimbunan zat gula yang tidak terpakai akibat dari kurangnya
aktivitas yang dilakukan (Jacken, 2005), bila aktivitas fisik yang melelahkan dapat
Bukan
DM
Belum Pasti
DM
DM
Kadar glukosa
darah sewaktu
(mg/dl)
Plasma vena <100 100-199 ≥200
Darah Kapiler <90 90-199 ≥200
Kadar guloksa
darah puasa
(mg/dl)
Plasma Vena <100 100-125 ≥126
Darah kapiler <90 90-99 ≥100
29
menyebabkan konsentrasi glukagon dalam darah seringkali meningkat sebanyak
empat sampai lima kali lipat (Guyton, 2007).
c. Stres
Stres akan meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan
akan sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban yang
tinggi membuat pankreas mudah rusak hingga berdampak pada penurunan insulin
(Smeltzer and Bare, 2008). Seseorang yang mengalami stres, membuat tubuhnya
harus memproduksi adrenalin untuk menenangkannya. Adrenalin yang dipacu
terus-menerus akan menyebabkan insulin akan kelabakan mengatur kadar gula
yang ideal (Jacken, 2005).
d. Usia
DM tipe 2 dalam perkembangannya hampir diderita oleh semua jangkuan
usia, baik anak-anak, remaja, dan orang dewasa apalagi jika memilki berat badan
yang tidak seimbang. Namun, DM tipe 2 sering muncul seiring dengan
bertambahnya usia, yaitu usia 45 tahun keatas, dimana keadaan fisik mulai
menurun (Jacken, 2005).
e. Jenis kelamin
Perempuan memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki
untuk terkena DM tipe 2, karena pada perempuan memiliki kadar LDL yang
umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (Jacken, 2005).
30
2.3 Keluarga sebagai Kelompok Pendukung
2.3.1 Konsep Keluarga
Keluarga dalam UU No. 10 Tahun 1992 adalah unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri dari suami, istri, dan anak atau suami istri, ayah dengan
anaknya, atau ibu dan anaknya. Friedman (1998) mendefinisikan keluarga sebagai
suatu sistem sosial. Keluarga merupakan kelompok kecil yang terdiri dari
individu-individu yang memiliki hubungan erat satu sama lain, saling tergantung
yang diorganisir dalam satu unit tunggal dalam rangka mencapai tujuan bersama
(Padila, 2012).
Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena
hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup
dalam rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan di dalam perannya masing-
masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan (Bailon dan Maglaya,
1978 dalam Achjar, 2010). Tipe keluarga secara tradisional dapat dibagi menjadi
dua yaitu keluarga inti dan keluarga besar. Keluarga inti adalah keluarga yang
hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang diperoleh dari keturunan atau adopsi
atau keduanya sedangkan keluarga besar adalah keluarga inti ditambah anggota
keluarga lain yang masih memiliki hubungan darah (kakek-nenek, paman-bibi)
(Harnilawati, 2013).
2.3.2 Tugas dan Peran Keluarga di Bidang Kesehatan
Keluarga dalam Depkes RI (1998) merupakan unit terkecil dari komunitas
sehingga melalui keluarga yang sehat akan tercipta komunitas yang sehat,
demikian sebaliknya. Masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan dan
31
untuk menyelesaikan masalah tersebut keluargalah sebagai pengambil
keputusannya. Keluarga merupakan perantara yang efektif dan mudah untuk
mengatasi berbagai masalah kesehatan di masyarakat (Padila, 2012).
Keluarga memiliki tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan
dilakukan menurut Friedman (1998), meliputi:
a. Mengenal masalah kesehatan. Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga
yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan seluruh kekuatan
sumber daya dan dana keluarga. Apabila keluarga menyadari adanya
perubahan kesehatan pada anggota keluarganya, hal tersebut perlu dicatat
kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi, dan seberapa perubahannya
(Suprajitno, 2004).
b. Mengetahui kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan mengenai
tindakan kesehatan yang tepat (Suprajitno, 2004).
c. Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan (Suprajitno,
2004).
d. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga
(Suprajitno, 2004).
e. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga
(Suprajitno, 2004).
Setiap anggota keluarga memliki peranannya masing-masing dalam
perawatan di sebuah keluarga, salah satu hal yang tidak dapat ditinggalkan adalah
dalam melakukan perawatan terhadap lansia. Keluarga merupakan support system
utama bagi lansia dalam mempertahankan kesehatannya. Peranan keluarga dalam
32
merawat lansia adalah memberikan kasih sayang, menghormati, dan menghargai
lansia dalam merawat dan menjaga lansia, mempertahankan dan meningkatkan
status mental, mengantisipasi perubahan sosial ekonomi, serta memberikan
motivasi dan memfasilitasi kebutuhan spiritual lansia (Maryam, Ekasari,
Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008).
2.3.3 Konsep Kelompok Pendukung
1. Pengertian Kelompok Pendukung
Beberapa jenis kelompok dalam dukungan sosial yaitu kelompok
pembimbing/psikoedukasi, kelompok konseling/intrapersonal, kelompok
swabantu (self-help group), dan kelompok pendukung (support group). Kelompok
pendukung merupakan kelompok yang terstruktur yang berfungsi untuk
memberikan informasi, ketenangan, dan keterikatan dengan orang lain. Kelompok
pendukung menawarkan komunitas atau lingkungan yang aman sehingga anggota
yang berpatisipasi dapat belajar dari mendengar, mengamati, mencoba perilaku
baru, menerima umpan balik, dan merasakan dukungan dari anggota lain (Bensley
& Fisher, 2008). Kelompok pendukung memberikan kesempatan untuk berdiskusi
berbagai stategi dalam mengatasi penyakit dan pengelolaannya (Smeltzer & Bare,
2008).
Tujuan kelompok pendukung adalah meningkatkan pengetahuan,
memperjelas perubahan yang ingin dilakukan, dan membantu dalam
pengembangan ketrampilan yang diperlukan untuk mewujudkan perubahan
tersebut (Bensley & Fisher, 2008).
33
2. Syarat
Kelompok pendukung memiliki pertemuan yang waktunya dibatasi.
Kebanyakan kelompok pendukung mengadakan empat sampai sepuluh sesi
pertemuan yang dapat disesuaikan dengan panduan fasilitatornya dan anggota
dalam kelompok pendukung terdiri dari 5-10 orang (Bensley & Fisher, 2008).
Waktu pertemuan dalam kelompok pedukung rata-rata bagi orang dewasa
berlangsung sampai 90 menit (Bensley & Fisher, 2008). Penelitian yang dilakukan
oleh Badriah (2012) pertemuan dengan kelompok pendukung dalam pengelolaan
DM tipe 2 dilakukan sebanyak empat kali dengan durasi rata-rata 60 menit dan
rentang waktu diadakannya pertemuan selanjutnya disesuaikan dengan
persetujuan anggota, pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan gula darah pada
lansia DM tipe 2 setiap dua minggu sekali setelah dikelola oleh kelompok
pendukung dan terjadi penurunan gula darah sebesar 12,5% selama dua minggu
tersebut.
3. Tahap-tahap Kerja Kelompok Pendukung
Beberapa tahap dalam kelompok pendukung:
a. Tahap awal. Selama tahapan awal dalam proses kelompok, fokus diarahkan
pada pembentukan kelompok, dan mengarahkan anggota (Bensley & Fisher,
2008). Penelitian yang dilakukan oleh Badriah (2012) pada tahap ini
dilakukan pembentukan kelompok, perkenalan masing-masing anggota, dan
mengidentifikasi masalah terkait upaya pengelolaan lansia DM tipe 2.
b. Tahap peralihan. Kelompok pendukung berfokus pada pendidikan dan
mengubah pola komunikasi. Dalam tahap ini peran fasilitator adalah
34
mempertahankan objektivitas dan tetap memperlihatkan penerimaan,
perhatian, dan dukungan (Bensley & Fisher, 2008). Penelitian yang dilakukan
oleh Badriah (2012) pada tahap ini dilakukan pertemuan untuk membahas
penyakit DM.
c. Tahap kerja. Pada tahap ini, memperlihatkan adanya hubungan yang harmonis
antar anggota kelompok setelah adanya proses adaptasi terhadap perannya.
Anggota kelompok mulai relaks dalam mengambil tindakan dan beruji coba
memperlihatkan kegiatan yang baru (Bensley & Fisher, 2008). Tahap kerja
pada penelitian Badriah (2012) dilakukan pada pertemuan ketiga, dimana
dilakukan cara pengaturan diet dengan membawa bahan makanan asli oleh
masing-masing anggota dan diberikan juga dijelaskan mengenai cara
pengisian food record. Pertemuan keempat dilakukan cara penanggulangan
stres.
d. Tahap penutupan. Tahap ini merupakan tahap terakhir dimana fase ini berguna
untuk mengeksplorasi perasaan anggota kelompok, mengevaluasi pencapaian
harapan, dan umpan balik (Bensley & Fisher, (2008).
2.3.4 Keluarga sebagai Kelompok Pendukung
Memberikan perawatan kesehatan pada anggota keluarga yang sakit
adalah tugas dari keluarga, agar keluarga dapat menjadi sumber kesehatan yang
efektif dan utama, peran keluarga harus terlibat dalam tim perawatan kesehatan
dan keseluruhan proses teurapetik (Padila, 2013). Keluarga merupakan support
system utama bagi lansia dalam mempertahankan kesehatannya (Maryam,
Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008). Kehadiran teman-teman atau
35
anggota keluarga telah terbukti mengurangi tingkat ini antara orang-orang selama
periode yang sulit. Penelitian yang dilakukan di Brigham Young University dan
University of North Carolina menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki
dukungan sosial yang kuat adalah 50% lebih mungkin untuk meninggal akibat
penyakit daripada mereka yang memiliki dukungan dari sekitarnya (Blue, 2010).
Dukungan keluarga adalah hubungan dan prinsip-prinsip yang
memperkuat perkembangan keluarga. Dukungan keluarga membantu setiap
anggota keluarganya dalam membangun dasar yang kuat untuk mendorong
pertumbuhan anggotanya (U.S Department of Health and Human Service, 2013).
Keluarga dapat membantu mengurangi kecemasan dan dapat mempengaruhi
ketaatan dalam pengelolaan penyakit tertentu serta dapat menjadi kelompok
pendukung untuk mencapai kepatuhan (Friedman, 2010).
Pemenuhan kesehatan lansia, cenderung untuk membutuhkan bantuan
orang lain, hal ini dikarenakan berbagai penurunan fungsi tubuh lansia. Terkait
dengan hal tersebut dukungan sosial sangat penting dalam pelaksanaan praktik
keperawatan pada lansia yang memiliki kecendrungan ketergantungan khususnya
dalam upaya promosi kesehatan (Stanhope & Lancaster, 2004).
2.4 Hubungan Keluarga sebagai Kelompok Pendukung dengan Kadar
Gula Darah Lansia DM Tipe 2
Perubahan sikap dan tingkah laku individu, keluarga, kelompok khusus,
dan masyarakat dalam membina, memelihara perilaku hidup sehat serta berperan
aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal karena mendapat
pendidikan dalam hal kesehatan (Nursalam & Efendi, 2011). Teori Lawrence
36
Green (1980) dalam Noorkasiani (2009) kesehatan individu dipengaruhi oleh
faktor perilaku dan faktor-faktor di luar perilaku. Faktor perilaku seseorang
dipengaruhi oleh faktor predisposisi (pengetahuan individu, sikap, kepercayaan,
tradisi, dan norma sosial), faktor pendukung (saran pelayanan kesehatan dan
kemudahan untuk mencapainya), dan faktor pendorong (sikap dan perilaku
petugas kesehatan.
Perubahan perilaku melalui cara ini memerlukan waktu lama, namun
perubahan yang terjadi sifatnya akan menetap karena didasari pengertian dan
kesadaran yang tinggi terhadap tujuan perilaku tersebut dilaksanakan, bukan
karena paksaan (Maulana, 2009). Pendidikan kesehatan dari tenaga kesehatan
dapat mengubah dan menguatkan faktor-faktor perilaku dan faktor di luar perilaku
sehingga sesuai dengan tujuan kegiatan dan menimbulkan perilaku positif dari
masyarakat terhadap kesehatan (Noorkasiani, 2009).
Dukungan keluarga menurut Green (1980) dalam Noorkasiani (2009)
menyatakan bahwa dukungan keluarga termasuk dalam faktor penguat yang
membuat seseorang bersemangat untuk melakukan perubahan perilaku dalam
memperhatikan hal yang dijalankan. Menentukan keyakinan dan nilai kesehatan
individu, keluarga menjadi faktor yang sangat berpengaruh di dalamnya, selain itu
keluarga juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka
terima dalam membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga
yang sakit (Friedman, 2010).
Keluarga dapat membantu mengurangi kecemasan dan dapat
mempengaruhi ketaatan dalam pengelolaan penyakit tertentu serta dapat menjadi
37
kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan (Friedman, 2010). Dalam
pemenuhan kesehatannya, lansia memiliki kecendrungan untuk membutuhkan
bantuan orang lain, hal ini dikarenakan berbagai penurunan fungsi tubuh lansia.
Terkait dengan hal tersebut dukungan sosial sangat penting dalam pelaksanaan
praktik keperawatan pada lansia yang memiliki kecendrungan ketergantungan
khususnya dalam upaya promosi kesehatan (Stanhope & Lancaster, 2004).
Bentuk dari dukungan sosial adalah kelompok swabantu, dimana
pembentukan kelompok ini merupakan seuatu intevensi keperawatan yang
melibatkan masyarakat melalui pembentukan kelompok atau bekerja sama dengan
kelompok yang telah ada untuk meningkatkan kualitas kerja (Stanhope &
Lancaster, 2004). Selain itu, dukungan sosial lainnya adalah adanya kelompok
sebaya dan kelompok pendukung. Kelompok pendukung merupakan kelompok
yang terstruktur yang berfungsi untuk memberikan informasi, ketenangan, dan
keterikatan dengan orang lain. Kelompok pendukung menawarkan komunitas atau
lingkungan yang aman sehingga anggota yang berpatisipasi dapat belajar dari
mendengar, mengamati, mencoba perilaku baru, menerima umpan balik, dan
merasakan dukungan dari anggota lain (Bensley & Fisher, 2008).
Pembentukan kelompok pendukung akan memberikan dukungan sosial
kepada lansia melalui proses pembentukan kelompok. Berawal dari fase orientasi
yang merupakan usaha mencari cara membangun keinginan anggota-anggota
masyarakat. Tahap ini masyarakat merasakan mempunyai masalah dan motivasi
yang sama khususnya dalam menangani lansia yang mengalami masalah DM tipe
2. Fase konflik, dalam fase ini banyak perbedaan antar kelompok dan adanya
38
keinginan yang berbeda yang sering menjadi penyebab konflik pada kelompok
yang baru dibentuk. Selanjutnya adalah fase kohesif yaitu adanya hubungan yang
harmonis antar anggota kelompok setelah adanya proses adaptasi terhadap peran
dan aturan kelompok. Tahap selanjutnya adalah fase kerja dimana setiap anggota
kelompok menjalankan peranannya masing-masing untuk memberikan dukungan
terhadap individu. Fase terminasi merupakan fase terakhir dimana fase ini
berguna untuk mengeksplorasi perasaan anggota kelompok, mengevaluasi
pencapaian harapan, dan umpan balik (Hitchcock, et al, 1999 dalam Badriah
2010).
Kelompok pendukung menurut penelitian Badriah (2010) dapat mengatasi
dua sampai tiga masalah keperawatan keluarga terkait pengendalian faktor resiko
peningkatan gula darah. Penelitian yang dilakukan oleh Utami (2011) menyatakan
bahwa terdapat hubungan dukungan keluarga terhadap aktivitas fisik dan kadar
gula darah pasien DM tipe 2. Berdasarkan hal tersebut pengaruh kelompok
pendukung sangat kuat dalam pengelolaan DM tipe 2 dan anggotanya terdiri dari
keluarga dari lansia karena lansia memiliki kecendrungan ketergantungan dalam
pemenuhan kebutuhannya dan keluarga termasuk dalam faktor penguat, dimana
membuat seseorang bersemangat unuk melakukan perubahan perilaku dalam
memperhatikan hal yang dijalankan.