bab ii tinjauan pustaka 2.1. penelitian...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini yaitu:
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu
No Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
1 Lenni Linovpa
(2007)
Pengaruh Kinerja
Anggota Badan
Keswadayaan
Masyarakat terhadap
Keberhasilan
Program
Penanggulangan
Kemiskinan
Perkotaan
Pengaruh yang ditimbulkan
oleh kinerja anggota BKM
terhadap keberhasilan Program
Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP) adalah
sebesar 39 %. Dari hasil
penelitian ini dapat diambil
kesimpulan bahwa kinerja
BKM cukup berpengaruh
terhadap keberhasilan dari
P2KP. PNPM Mandiri
Perkotaan sendiri merupakan
program penyempurnaan dari
P2KP. Penulis menarik asumsi
bahwa hal yang sama juga
berlaku terhadap kinerja dari
Badan Keswadayaan
Masyarakat (BKM) karena di
dalam struktur organisasi
PNPM Mandiri Perkotaan,
BKM juga memiliki pemimpin
atau pendamping yang
memiliki fungsi
12
menggerakkan, memfasilitasi,
dan membimbing anggota
BKM sehingga mampu untuk
mandiri di dalam menjalankan
perannya.
2 Firman (2012) Pengaruh Gaya
Kepemimpinan
Head Collection
terhadap Kinerja
Collector WOM
Finance Cabang
Surabaya
Hasil pengolahan data
menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh positif dan signifikan
yang diberikan oleh gaya
kepemimpinan situasional yang
terdiri dari gaya kepemimpinan
telling, selling, participating,
dan, delegating terhadap kinerja
collector. Dengan demikian
semakin efektif gaya
kepemimpinan head collector,
maka semakin tinggi tingkat
kinerja collector yang ada di
WOM Finance Cabang
Surabaya.
13
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Kinerja
A. Pengertiaan Kinerja
Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu
kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan
visi organisasi yang tertuang dalam strategi planning suatu organisasi. Istilah
kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan
individu maupun kelompok individu. Kinerja bisa diketahui hanya jika
individu atau kelompok tersebut mempunyai kriteria keberhasilan yang telah
ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini berupa tujuan-tujuan atau target tertentu
yang hendak dicapai. Tanpa ada tujuan atau target, kinerja seseorang atau
organisasi tidak mungkin dapat diketahui karena tidak ada tolak ukurnya
(Mahsun, 2006: 25).
Kinerja menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2000: 67) kinerja (
prestasi kerja ) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai
oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kemudian menurut Malayu S.P.
Hasibuan (2001:34) mengemukakan kinerja (prestasi kerja) adalah suatu
hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas yang
dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan
kesungguhan serta waktu.
Dari berbagai penjelasan di atas dapat didefenisikan bahwa pada
hakikatnya kinerja merupakan prestasi yang dicapai oleh seseorang dalam
melaksanakan tugasnya atau pekerjaannya sesuai dengan standar dan kriteria
14
yang ditetapkan untuk pekerjaan itu. Dengan demikian, kinerja adalah
kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan
dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil
seperti yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan performance sebagai kata
benda dimana salah satu entry-nya adalah hasil dari sesuatu pekerjaan,
pengertian performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai
oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian
tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum, dan tidak
bertentangan dengan moral atau etika. Oleh karena itu, kinerja organisasi
paling tidak mengandung 3 aspek penting yaitu pemenuhan fungsi,
kesesuaian dengan peraturan, dan pencapaian tujuan.
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Menurut Simanjuntak (2001) kinerja dipengaruhi oleh:
1. Kualitas dan kemapuan pegawai. Yaitu hal – hal yang berhubungan
dengan pendidikan/pelatihan, etos kerja, motivasi kerja, sikap mental
dan kondisi fisik pegawai.
2. Sarana pendukung, yaitu hal yang berhubungan dengan lingkungan
kerja (keselamatan kerja, kesehatan kerja, sarana produksi, teknologi)
dan hal – hal yang berhubungan dengan kesejahteraan pegawai
(upah/gaji, jaminan sosial, keamanan kerja).
3. Sarana, yaitu hal – hal yang berhubungan dengan kebijaksanaan
pemerintah dan hubungan industrial manajemen.
15
Kinerja dalam menjalankan fungsinya tidak berdiri sendiri, tapi
berhubungan dengan kepuasan kerja dan tingkat imbalan, dipengaruhi oleh
keterampilan, kemampuan, dan sifat-sifat individu. Oleh karena itu, menurut
model Partner-Lawyer oleh Donnelly, Gibson, dan Ivancevich (dalam
Rivai, 2004: 16), kinerja individu pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor-
faktor:
1. Harapan mengenai imbalan.
2. Dorongan.
3. Kemampuan, kebutuhan, dan sifat.
4. Persepsi terhadap tugas.
5. Imbalan internal dan eksternal.
Persepsi terhadap tingkat imbalan dan kepuasan kerja. Selain itu,
Goleman (2007: 64) mengemukakan bahwa kinerja dipengaruhi oleh gaya
kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin. Secara umum faktor fisik
dan non fisik sangat mempengaruhi. Berbagai kondisi lingkungan fisik
sangat mempengaruhi kondisi pegawai dalam bekerja. Selain itu, kondisi
lingkungan fisik juga akan mempengaruhi berfungsinya faktor lingkungan
non fisik. Pada kesempatan ini pembahasan kita fokuskan pada lingkungan
non-fisik, yaitu kondisi-kondisi yang sebenarnya sangat melekat dengan
sistem manajerial perusahaan.
C. Pengukuran Kinerja
Soedjono (2005) menyebutkan 7 (tujuh) kriteria yang dapat digunakan
untuk mengukur kinerja pegawai secara individu yakni:
16
1. Kualitas. Hasil pekerjaan yang dilakukan mendekati sempurna atau
memenuhi tujuan yang diharapkan dari pekerjaan tersebut.
2. Kuantitas. Jumlah yang dihasilkan atau jumlah aktivitas yang dapat
diselesaikan.
3. Ketepatan waktu, yaitu dapat menyelesaikan pada waktu yang telah
ditetapkan serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas
yang lain.
4. Efektivitas. Pemanfaatan secara maksimal sumber daya yang ada pada
organisasi untuk meningkatkan keuntungan dan mengurangi kerugian.
5. Kemandirian, yaitu dapat melaksanakan kerja tanpa bantuan guna
menghindari hasil yang merugikan.
6. Komitmen kerja, yaitu komitmen kerja antara pegawai dengan
organisasinya dan
7. Tanggung jawab pegawai terhadap organisasinya.
Selanjutnya, menurut Hasibuan (2005:93) secara umum standar berarti
apa yang akan dicapai sebagai ukuran untuk penilaian. Secara garis besar
standar penilaian kinerja dibedakan atas dua (Hasibuan, 2005:93):
1. Tangible standard yaitu sasaran yang dapat ditetapkan alat ukurnya
atau standarnya. Standar dalam bentuk fisik terbagi atas: standar
kuantitas, standar kualitas, dan standar waktu.
2. Intangible standard adalah sasaran yang tidak dapat ditetapkan alat
ukur atau standarnya. Misalnya, standar perilaku, kesetiaan,
partisipasi, loyalitas, serta dedikasi terhadap institusi.
17
Menurut Dwiyanto (2006: 50), ada beberapa indikator yang biasanya
digunakan untuk mengukur kinerja organisasi publik, yaitu sebagai berikut:
1. Produktivitas
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi
juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami
sebagai rasio antara input dengan output. Menurut Hasibuan (1994:
41) produktivitas adalah perbandingan antara output (hasil) dengan
input (masukan). Jika produktivitas naik ini hanya dimungkinkan oleh
adanya peningkatan efisiensi (waktu, bahan, tenaga) dan sistem kerja,
teknik produksi dan adanya peningkatan keterampilan dari tenaga
kerja.
2. Kualitas Layanan
Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik
muncul karena ketidakpastian masyarakat terhadap kualitas layanan
yang diterima dari organisasi publik. Dengan demikian, kepuasan
masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja
organisasi publik. Secara umum pelayanan yang berkualitas dapat
diartikan sebagai pelayanan yang dapat memuaskan setiap pemakai
jasa pelayanan, sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata masyarakat,
serta penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan prosedur yang
telah ditetapkan.
3. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan
18
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas di
sini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan
pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas
dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas
secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam
menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat.
4. Responsibilitas
Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi
publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang
benar atau sesuai kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun
implisit. Oleh sebab itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika
berbenturan dengan responsivitas. Responsibilitas dapat dinilai dari
analisis terhadap dokumen dan laporan kegiatan organisasi. Penilaian
dilakukan dengan mengecek apakah pelaksanaan kegiatan dan
program organisasi cocok atau sesuai dengan prosedur administrasi
dan ketentuanketentuan yang ada dalam organisasi.
5. Akuntabilitas
Konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa
besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan
kehendak masyarakat banyak. Suatu kegiatan publik memiliki
akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai
dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Selain
19
itu, akuntabilitas juga dapat dilihat dari seberapa jauh kepentingan
pengguna jasa memperoleh prioritas dan orientasi pelayanan dari
aparat birokrasi.
2.2.2. Gaya Kepemimpinan
A. Pengertian Gaya Kepemimpinan
Menurut istilah Drucker, pemimpin adalah individu yang made things
happen. Pemimpin adalah ‘yang membuat sesuatu menjadi sesuatu itu
sendiri’, membuat organisasi menjadi sebuah organisasi yang sesungguhnya
Dalam hal ini, pemimpin adalah individu manusianya, sementara
kepemimpinan adalah sifat yang melekat kepadanya sebagai pemimpin
(Moeljono, 2008:30). Menurut Sims (2002:216) pemimpin atau leader
adalah individu yang bertanggung jawab untuk memberikan pengarahan
berupa visi dan strategi bagi organisasi dan tim. Pemimpin adalah orang
yang memutuskan apa tujuan dan sasaran organisasi atau kelompok dan
mengarahkan aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Pemimpin adalah orang yang dengan perilakunya sendiri, keyakinannya,
dan kata-katanya dapat mempengaruhi tindakan orang lain.
Selanjutnya dari kata pemimpin tersebut, kepemimpinan didefinisikan
sebagai “the art of getting others to want to do something that individual is
convinced should be done” Kouzes dan Posner (dalam Sims, 2002:216).
Artinya bahwa kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi orang lain
agar mengerjakan sesuatu yang diyakini harus dikerjakan. Kepemimpinan
merupakan terjemahan dari leadership. Robbins (2003:39) juga
mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan mempengaruhi suatu
20
kelompok ke arah pencapaian tujuan. Menurut Hasibuan (2005:170)
kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin mempengaruhi perilaku
bawahan agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk
mencapai tujuan organisasi.
Berdasarkan definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi,
yaitu:
1. Kepemimpinan adalah seni atau art, yang artinya bahwa kepemimpinan
bukan merupakan ilmu pasti, serangkaian keahlian, atau atribut. Seni
merupakan karakteristik khusus yang ada dalam kepemimpinan yang
sulit untuk diukur dan dikembangkan dalam diri individu.
2. Kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain (others), yaitu
para anggota atau bawahan (followers). Para bawahan harus memiliki
kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian,
tanpa adanya anggota atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada
juga.
3. Kepemimpinan berarti bahwa seorang pemimpin yang dengan
kekuasaannya (his or her power) mampu menggugah pengikutnya
untuk mencapai kinerja yang memuaskan (should be done) sesuai
dengan visi, misi, dan tujuan yang telah dikomunikasikan kepada
bawahannya. Kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat
bersumber dari:
a. Reward power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa
pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk
21
memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-
arahan pemimpinnya.
b. Coercive power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa
pemimpin mempunyai kemampuan memberikan hukuman bagi
bawahan yang tidak mengikuti arahan-arahan pemimpinnya
c. Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa
pemimpin mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan
otoritas yang dimilikinya.
d. Referent power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan)
bawahan terhadap sosok pemimpin. Para pemimpin dapat
menggunakan pengaruhnya karena karakteristik pribadinya,
reputasinya atau karismanya.
e. Expert power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa
pemimpin adalah seeorang yang memiliki kompetensi dan
mempunyai keahlian dalam bidangnya.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dijelaskan bahwa kepemimpinan
harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap
bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance),
keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan
pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk
meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi.
B. Pendekatan Teori Gaya Kepemimpinan
Beberapa pendekatan dalam teori kepemimpinan menurut Yukl (dalam
Moeljono, 2008:31-32) meliputi:
22
1. Pendekatan berdasarkan ciri. Pendekatan ini menekankan pada atribut-
atribut pribadi para pemimpin. Dasar dari pendekatan ini adalah asumsi
bahwa beberapa orang merupakan pemimpin dengan beberapa ciri yang
tidak dimiliki oleh orang lain. Teori-teori kepemimpinan ini pada tahap
awal (1930-1940an) gagal menemukan garansi mengenai ciri-ciri
kepemimpinan yang berhasil, karena hanya mengacu pada unsur-unsur
alamiah. Teori-teori selanjutnya menekankan pada upaya mencari
korelasi yang signifikan tentang atribut pemimpin dan criteria
keberhasilan seorang pemimpin. Dalam kelompok ini antara lain
terdapat teori karismatik dan transformasional.
2. Pendekatan berdasarkan perilaku. Pendekatan ini merupakan kritisi
terhadap generasi pertama pendekatan berdasarkan ciri. Sebagaimana
namanya, pendekatan ini sangat diwarnai oleh psikologi dengan focus
menemukan dan mengklasifikasikan perilaku-perilaku yang membantu
pengertian tentang kepemimpinan. Di dalam pendekatan ini terdapat
teori-teori tentang kelompok.
3. Pendekatan kekuasaan-pengaruh. Pendekatan ini mencoba memperoleh
pengertian tentang kepemimpinan dengan mempelajari proses
mempengaruhi antara para pemimpin dengan para pengikutnya. Para
teoritisi dalam lingkungan pendekatan ini mencoba menjelaskan
efektivitas kepemimpinan dalam kaitannya dengan jumlah dan jenis
kekuasaan yang dipunyai seorang pemimpin dan cara kekuasaan
tersebut. Dalam kelompok ini terdapat antara lain teori-teori
kepemimpinan otriter-demokratik-bebas (laizes faire).
23
4. Pendekatan situasional. Pendekatan ini menekankan pada pentingnya
factor-faktor kontekstual seperti sifat pekerjaan yang dilaksanakan oleh
unit pemimpin, sifat lingkungan eksternal, dan karakteristik para
pengikut. Teori-teori dalam kelompok ini sering diidentifikasikan ke
dalam teori “kontinjensi” yang dapat dikontraskan dengan teori
”universal” tentang kualitas umum kepemimpinan yang efektif.
Pada praktiknya, keempat pendekatan tersebut bersifat saling
melengkapi, bahwa seorang pemimpin harus mempunyai kualitas
kepemimpinan yang berbasiskan ciri universal seorang pemimpin,
mempunyai perilaku pemimpin tatkala berada pada kelompok kerja,
menggunakan format kekuasaan-pengaruh dalam melaksanakan tugas
kepemimpinannya, dan selalu menakankan perlunya konteks ruang dan
waktu di mana kepemimpinan dilaksanakan.
Goleman, dkk (2007: 64) menyatakan, meskipun semua gaya
kepemimpinan yang akan diuraikan di sini sudah dikenal dengan sebutan
lain, tetapi hal baru dari model kepemimpinan mereka adalah pemahaman
tentang latar belakang kemampuan kecerdasan emosi yang diperlukan untuk
setiap gaya, dan yang paling menarik, hubungan sebab akibat dari setiap
gaya terhadap iklim emosi, dan demikian ini berarti kinerja. Hubungan
sebab akibat ini adalah tambahan pengetahuan yang sangat dibutuhkan
untuk seni keberhasilan pemimpin.
Model ini mengemukakan bahwa jika semua hal lainnya setara, para
pemimpin yang menggunakan gaya-gaya kepemimpinan yang berdampak
emosi positif jelas menghasilkan hasil yang lebih baik daripada mereka
24
yang tidak. Dan yang terpenting adalah bahwa para pemimpin yang
mempunyai hasil terbaik ternyata tidak menggunakan satu gaya saja.
Sebaliknya, pada suatu hari atau pekan tertentu, mereka menggunakan
banyak gaya – dengan mulus dan dengan derajat yang berbeda-beda –
tergantung situasi.
Adapun gaya kepemimpinan yang dikemukakan oleh Goleman, dkk
(2007: 65), adalah sebagai berikut:
1. Visioner
Pemimpin visioner akan mengartikulasikan suatu tujuan yang baginya
merupakan tujuan sejati dan selaras dengan nilai bersama orang-orang
yang dipimpinnya. Pemimpin visioner mengartikulasikan kemana
kelompok berjalan, tetapi bukan bagaimana cara mencapai tujuan –
membebaskan orang untuk berinovasi, bereksperimen, dan menghadapi
resiko yang sudah diperhitungkan. Pemimpin tipe ini meyakini visi
dapat membimbing orang-orang menuju visi tersebut dengan tegas.
Pemimpin menggerakkan orang-orang ke arah impian bersama. Adapun
dampak gaya ini terhadap iklim emosi adalah yang paling positif.
Penggunaannya yang paling tepat adalah ketika perubahan
membutuhkan visi baru, atau ketika dibutuhkan arah yang jelas.
2. Pembimbing
Pemimpin tipe ini memungkinkan seorang pemimpin untuk
mengembangkan orang lain dan bertindak sebagai penasihat, yang
menggali tujuan dan nilai-nilai pegawai dan membantu mereka
mengembangkan kemampuannya sendiri. Mampu menghubungkan apa
25
yang diinginkan seseorang dengan sasaran organisasi. Adapun dampak
gaya ini terhadap iklim emosi adalah sangat positif. Penggunaan yang
tepat adalah ketika membantu karyawan atau bawahan memperbaiki
kinerjanya dengan membangun kemampuan jangka panjang.
3. Afiliatif
Pemimpin tipe ini ingin memajukan harmoni dan mendorong interaksi
yang ramah, menumbuhkan relasi pribadi yang mengembangkan
jaringan relasi dengan orang-orang yang dipimpinnya. Para pemimpin
tipe ini akan memusatkan perhatian pada kebutuhan emosi pegawai,
bahkan lebih daripada tujuan kerja. Pemimpin seperti ini kadangkadang
juga mengandalkan kompetensi pengelolaan konflik ketika
tantangannya adalah menyatukan perbedaan atau bahkan menyatukan
orang-orang yang sedang terlibat konflik ke dalam kelompok kerja yang
harmonis. Dampak gaya ini terhadap iklim emosi adalah positif.
Penggunaan yang tepat adalah ketika menengahi benturan dalam tim,
memotivasi di saat-saat yang menekan, atau menguatkan hubungan.
4. Demokratis
Pemimpin seperti ini menciptakan perasaan bahwa mereka sungguh-
sungguh ingin mendengarkan pikiran dan kepedulian pegawai dan
mereka bersedia mendengarkan. Pemimpin ini menghargai masukan
orang dan mendapatkan komitmen melalui partisipasi. Mereka juga
kolaborator sejati, bekerja sebagai anggota kelompok dan bukan
sebagai pemimpin yang berposisi di atas. Dan mereka tahu cara
meredakan konflik dan menciptakan harmoni, misalnya memperbaiki
26
keretakan di dalam kelompok. Dampak gaya ini terhadap iklim emosi
adalah positif. Penggunaan yang tepat adalah ketika membangun
persetujuan atau kesepakatan, atau mendapat masukan yang berharga
dari pegawai.
5. Penentu Kecepatan
Ciri-cirinya adalah pemimpin memegang teguh dan melaksanakan
standar kinerja yang tinggi. Ia bersikap obsesif bahwa segala sesuatu
bisa dilakukan dengan lebih baik dan lebih cepat, serta meminta hal
yang sama dari semua orang lain. Ia akan cepat menunjuk orang-orang
yang berkinerja buruk, menuntut lebih banyak dari mereka, dan jika
mereka tidak meningkatkannya, ia sendiri yang akan melakukannya.
Karena seringkali dilaksanakan secara buruk, dampaknya seringkali
sangat negatif. Gaya ini bisa membangun resonansi (suasana hati yang
baik, kemampuan pemimpin untuk mengatakan sesuatu hal dengan
benar, dan menciptakan kegiatan yang terkoordinasi) pada saat
pemimpin menghadapi tantangan dan mencapai tujuan dengan terus
menemukan cara-cara untuk memperbaiki kinerja bersamaan dengan
sejumlah inisiatif dalam menangkap kesempatan. Penggunaan yang
tepat terhadap gaya ini adalah ketika ingin mendapatkan hasil
berkualitas tinggi dari tim yang bermotivasi dan kompeten.
6. Memerintah
Para pemimpin ini menuntut kepatuhan langsung pada perintahnya,
tetapi tidak mau repot-repot menjelaskan alasan yang ada dibalik
perintahnya. Jika bawahannya tidak mengikuti perintahnya begitu saja,
27
para pemimpin ini akan mengancam. Dan bukannya mendelegasikan
kekuasaan, mereka malah ingin mengendalikan setiap situasi dengan
ketat dan memantaunya dengan teliti. Sejalan dengan itu, umpan balik
kinerja jika ada lebih berfokus pada kesalahan, bukan pada apa yang
telah dilakukan orang dengan baik. Pemimpin seperti ini jarang memuji
tetapi mudah mengkritik bawahan. Karena sering disalahgunakan,
dampaknya sangat negatif. Namun, gaya ini mempunyai tempat penting
dalam perlengkapan pemimpin yang cerdas emosi, jika digunakan
dengan penuh pertimbangan dan tepat sehingga dapat membangun
resonansi apabila pemimpin bertujuan untuk menenangkan rasa takut
dengan memberi arah yang jelas di dalam keadaan darurat.
Dari keenam gaya kepemimpinan yang dikemukakan Goleman di atas
ada empat gaya kepemimpinan yang bisa mendukung terjadinya resonansi
diantaranya visioner, pembimbing, afiliatif, dan demokratis. Selanjutnya,
dua gaya kepemimpinan lain yaitu penentu kecepatan dan memerintah juga
mempunyai tempat tersendiri di dalam kotak alat pemimpin. Tetapi
keduanya harus digunakan dengan sangat hati-hati dan terampil jika ingin
mendapatkan dampak positif. Jika pemimpin berlebihan dalam
menggunakan gaya terakhir ini, terlalu sering menggunakannya atau
menggunakannya dengan sembrono, mereka akan membangun disonansi,
bukan resonansi (Goleman, 2007: 82).
C. Fungsi Gaya Kepemimpinan
Adair (2008:11) menjelaskan fungsi kepemimpinan sebagai berikut:
28
1. Fungsi perencanaan, meliputi mencari informasi yang tersedia;
mendefinisikan tugas, maksud, atau tujuan kelompok; dan membuat
rencana yang dapat terlaksana (dalam kerangka membuat keputusan
yang tepat.
2. Fungsi pemrakarsaan, meliputi memberikan pengarahan pada kelompok
mengenai sasaran dan rencana; menjelaskan mengapa penetapan
sasaran atau rencana merupakan hal penting; membagi tugas pada
kelompok; dan menetapkan standar kelompok.
3. Fungsi pengendalian, meliputi memelihara standar kelompok;
mempengaruhi tempo; memastikan semua tindakan diambil dalam
upaya meraih tujuan; menjaga relevansi diskusi; dan mendorong
kelompok mengambil tindakan/keputusan.
4. Fungsi pendukungan, meliputi pengakuan terhadap orang dan
kontribusi mereka; memberi semangat pada kelompok/individu;
mendisiplinkan kelompok/individu; menciptakan semangat tim;
meredakan ketegangan dengan humor; dan merukunkan perselisihan
atau meminta orang lain menyelidikinya.
5. Fungsi penginformasian, meliputi memperjelas tugas dan rencana;
memberi informasi baru pada kelompok, seperti melibatkan mereka;
menerima informasi dari kelompok; dan memberi ringkasan atas usul
dan gagasan yang masuk akal.
6. Fungsi pengevaluasian, meliputi mengevaluasi kelayakan gagasan;
menguji konsekuensi solusi yang diusulkan; mengevaluasi prestasi
29
kelompok; dan membantu kelompok mengevaluasi sendiri prestasi
mereka berdasarkan standar yang ada.
Berdasarkan uraian fungsi kepemimpinan di atas maka dapat dijelaskan
bahwa fungsi kepemimpinan meliputi fungsi perencanaan, pemrakarsaan,
pendukungan, pengendalian, peenginformasian, dan pengevaluasian.
2.3. Hubungan Antara Kepemimpinan dengan Kinerja
Thoha (2005: 49) mengemukakan bahwa jika seseorang berusaha untuk
mempengaruhi perilaku orang lain, maka kegiatan semacam itu telah melibatkan
seseorang ke dalam aktivitas kepemimpinan. Selanjutnya, jika kepemimpinan
tersebut terjadi dalam suatu organisasi tertentu, dan seseorang tadi perlu
mengembangkan staf dan membangun iklim motivasi yang menghasilkan tingkat
produktivitas yang tinggi, maka orang tersebut lantas perlu memikirkan gaya
kepemimpinannya.
PNPM Mandiri Perkotaan sendiri juga memiliki struktur organisasi
pelaksana PNPM Mandiri. Salah satu badan pelaksananya adalah BKM yang
merupakan dewan pimpinan kolektif masyarakat dalam menangani permasalahan
yang ada di wilayahnya. Jika kita mengamati struktur organisasi pelaksana PNPM
Mandiri Perkotaan, maka BKM sendiri juga memiliki pemimpin yang
memberikan bimbingan administrasi dan manajemen terhadap BKM. Hal ini
diperlukan agar BKM memiliki kinerja yang baik dalam menjalankan perannya.
Tentunya pemimpin dari BKM tersebut juga menerapkan gaya kepemimpinannya
masing-masing.
Goleman (2007: 64) mengemukakan bahwa kinerja dipengaruhi oleh gaya
kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin. Selain itu, secara teoritis ada tiga
30
kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu, yaitu:
variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Kelompok variabel
individu terdiri dari variabel kemampuan dan ketrampilan, latar belakang pribadi,
dan demografis. Variabel kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama
yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu. Sedangkan variabel
demografis mempunyai pengaruh yang tidak langsung. Kelompok variabel
psikologis terdiri dari variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi.
Variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja
sebelumnya dan variabel demografis. Kelompok variabel organisasi menurut
terdiri dari variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain
pekerjaan.
Jika kepemimpinan adalah perihal memimpin dan gaya kepemimpinan
merupakan cara atau tingkah laku dalam memimpin, maka hal yang hampir sama
juga diungkapkan oleh Meter dan Horn (dalam Winarno, 2002: 121) bahwa salah
satu variabel yang secara tidak langsung mempengaruhi kinerja implementasi
adalah gaya kepemimpinan dari badan pelaksana. Salah satu unsur yang
melakukan pendampingan kepada BKM adalah Fasilitator Kelurahan yang
mengarahkan, membimbing, dan mengajak BKM untuk bersama-sama mencapai
visi dan misi PNPM Mandiri Perkotaan.
2.4. Rancangan Penelitian
Selanjutnya untuk melihat efektivitas gaya kepemimpinan Fasilitator
Kelurahan dalam meningkatkan kinerja BKM tersebut maka peneliti membuat
rancangan penelitian ini sebagai berikut: