bab ii tinjauan pustaka 2.1 penelitian terdahulu 1 ...eprints.perbanas.ac.id/3836/4/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian terdahulu
Terdapat penelitian terdahulu yang melandasi penelitian ini, diantaranya:
1. Deliana, Abdulrahman, dan Nursiah (2017)
Penelitian ini mengangkat topik mengenai kecurangan akademik yang
terjadi pada mahasiswa Akuntansi di Sumatra Utara. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui perilaku kecurangan mahasiswa akuntansi di Perguruan Tinggi
di Sumatra Utara ditinjau dari tiga dimensi; tekanan, peluang, dan pembenaran.
Variabel independen yang digunakan merupakan dimensi fraud triangle yakni
tekanan, peluang, dan pembenaran. Alat uji yang digunakan adalah analisa
deskriptif, yang memberikan hasil bahwa tekanan dan peluang memiliki
pengaruh terhadap kecurangan akademik, sedangkan pembenaran tidak memiliki
pengaruh.
Persamaan penelitian:
a. Memiliki variabel independen yang sama; tekanan, peluang, dan
pembenaran.
b. Memiliki variabel dependen yang sama, yakni kecurangan akademik.
c. Objek yang diteliti adalah mahasiswa.
d. Penelitian kuantitatif dengan sumber data primer
17
e. Menggunakan rumus Slovin dalam menentukan jumlah minimum sampel
Perbedaan penelitian:
a. Alat uji yang digunakan adalah analisis deskriptif, sedangkan penelitian ini
menggunakan regresi linear berganda.
b. Lokasi pengambilan sampel berada di Sumatra Utara, sedangkan penelitian
ini mengambil sampel di Jawa timur, khususnya kota Surabaya.
2. Nindya Apriyani, Edy Sujana, dan Gede Sulindawati (2017)
Penelitian ini membahas mengenai topik kecurangan akademik pada
mahasiswa S1 Akuntansi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana ketiga variabel yang diteliti (tekanan, peluang, dan pembenaran)
dapat memengaruhi variabel dependennya yaitu kecurangan akademik. Alat uji
yang digunakan adalah regresi berganda dengan alat bantu SPSS. Hasil penelitian
ini adalah bahwa tekanan dan pembenaran berpengaruh secara signifikan
terhadap perilaku kecurangan akademik mahasiswa. Sedangkan peluang tidak
berpengaruh terhadap kecurangan akademik mahasiswa.
Persamaan penelitian:
a. Variabel independen yang digunakan memiliki kesamaan.
b. Penelitian ini menggunakan kecurangan akademik sebagai variabel
dependen.
c. Objek yang diteliti adalah mahasiswa
d. Teknik pengumpulan data melalui kuesioner
e. Alat uji yang digunakan menggunakan regresi berganda.
18
Perbedaan penelitian:
a. Teknik penentuan sampel menggunakan purpossive sampling, sedangkan
penelitian ini menggunakan convenience sampling.
b. Lokasi pengambilan sampel berada di provinsi Bali, sedangkan penelitian
ini mengambil sampel di provinsi Jawa timur, khususnya di kota Surabaya.
3. Irfan Zamzam, Suriana AR. Mahdi, dan Resmiyati Ansar (2017)
Penelitian ini mengambil topik tentang kecurangan akademik yang ditinjau
dari dimensi Fraud Diamond. Variabel independen yang digunakan adalah
tekanan, peluang, pembenaran, dan kapabilitas (kemampuan). Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui pengaruh keempat variabel tersebut terhadap
terjadinya kecurangan akademik. Sampel yang digunakan adalah 400 mahasiswa
di Perguruan Tinggi se-kota Ternate. Analisis data menggunakan regresi berganda
dengan bantuan SPSS. Metode pengambilan sampel menggunakan stratified
random sampling. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa tekanan berpengaruh
terhadap kecurangan akademik, sedangkan peluang dan pembenaran tidak
berpengaruh.
Persamaan penelitian:
a. Menggunakan kecurangan akademik sebagai variabel dependen.
b. Menggunakan variabel tekanan, peluang, dan pembenaran sebagai variabel
independen.
c. Objek yang diteliti adalah mahasiswa.
d. Sumber data adalah data primer (kuesioner).
19
e. Alat uji menggunakan regresi berganda.
Perbedaan penelitian:
a. Lokasi pengambilan sampel penelitian terdahulu adalah di kota Ternate,
sedangkan penelitian yang akan dilakukan mengambil sampel dari kota
Surabaya.
b. Teknik pengambilan sampel pada penelitian terdahulu menggunakan
stratified random sampling, sedangkan penelitian ini akan menggunakan
convenience sampling.
c. Penelitian terdahulu menggunakan variabel independen berupa “kapabilitas”
atau kemampuan seseorang, sedangkan penelitian ini tidak menggunakan
variabel tersebut.
4. Ketut Tri Budi Artani dan I Wayan Wetra (2017)
Penelitian ini mengambil topik kecuragan akademik yang ditinjau dari
empat dimensi, yakni tekanan, peluang, pembenaran, kemampuan (yang
selanjutnya disebut dengan fraud diamond) dan self-efficacy pada mahasiswa
akuntansi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana faktor-
faktor tersebut berpengaruh terhadap terjadinya kecurangan akademik. Alat uji
penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, dengan metode pengambilan
sampel purpossive sampling. Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa tekanan,
peluang, pembenaran dan self-efficacy tidak berpengaruh terhadap kecurangan
akademik, sedangkan kemampuan yang dimiliki mahasiswa akan memengaruhi
untuk bertindak curang.
20
Persamaan penelitian:
a. Penelitian ini secara bersamaan menggunakan variabel tekanan, peluang,
pembenaran dan self-efficacy.
b. Objek yang diteliti merupakan mahasiswa S1 Akuntansi.
c. Menggunakan data primer (kuesioner).
Perbedaan penelitian:
a. Teknik pengambilan sampel menggunakan purpossive sampling, sedangkan
penelitian ini menggunakan convenience sampling.
b. Lokasi pengambilan sampel berada di provinsi Bali, sedangkan penelitian
ini mengambil sampel di provinsi Jawa timur, khususnya di kota Surabaya.
c. Menggunakan keterampilan mahasiswa sebagai variabel independen
(sebagai salah satu komponen fraud diamond), namun pada penelitian ini
tidak menggunakan variabel keterampilan tersebut.
d. Alat uji menggunakan analisis deskriptif, sedangkan penelitian ini
menggunakan regresi berganda.
5. Made Vony Herlyana, Edy Sujana, dan Made Aristia Prayudi (2017)
Penelitian ini membahas mengenai kecurangan akademik mahasiswa dengan
variabel yang memengaruhinya berupa tingkat religiusitas dan spiritualitas
mahasiswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh
spiritualitas dan religiusitas terhadap kaitannya dengan perilaku kecurangan
akademik. Penelitian ini mengambil sampel mahasiswa S1 Akuntansi Universitas
Pendidikan Ganesha Singaraja. Penelittian ini menggunakan teknik purpossive
21
sampling dalam pengambilan sampelnya dan menggunakan analisis linear
berganda sebagai alat ujinya. Hasil dari penelitian ini adalah religiusitas dan
spiritualitas secara bersamaan memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap
terjadinya kecurangan akademik mahasiswa.
Persamaan penelitian:
a. Menggunakan religiusitas sebagai variabel independen.
b. Kecurangan akademik diteliti sebagai variabel dependen.
c. Merupakan penelitian kuantitatif.
d. Menggunakan data primer berupa kuesioner.
e. Objek yang diteliti adalah mahasiswa S1 Akuntansi.
f. Alat uji menggunakan analisis regresi linear berganda.
Perbedaan penelitian:
a. Lokasi pengambilan sampel berada di provinsi Bali, sedangkan penelitian
ini mengambil sampel di provinsi Jawa timur, khususnya di kota Surabaya.
b. Teknik pengambilan sampel menggunakan purpossive sampling, sedangkan
penelitian ini menggunakan convenience sampling.
6. Rahmalia Nursani (2016)
Penelitian ini membahas mengenai kecurangan akademik yang ditinjau dari
dimensi fraud diamond yang terdiri dari empat variabel independen, yakni
tekanan, peluang, pembenaran, dan keterampilan. Penelitian ini menggunakan 292
mahasiswa Akuntansi di Universitas Brawijaya Malang sebagai sampel penelitian.
Alat uji penelitian ini menggunakan statistik deskriptif yang kemudian
22
memberikan hasil bahwa peluang, pembenaran, dan kemampuan berpengaruh
terhadap terjadinya kecurangan akademik, sedangkan tekanan tidak.
Persamaan Penelitian:
a. Menggunakan variabel tekanan, peluang, dan pembenaran sebagai variabel
independen.
b. Menggunakan kecurangan akademik sebagai variabel dependen.
c. Menggunakan data primer berupa kuesioner.
d. Objek yang diteliti berasal dari mahasiswa S1 Akuntansi .
Perbedaaan Penelitian:
a. Menggunakan metode survei untuk mengumpulkan data.
b. Penelitian ini tidak menggunakan variabel keterampilan sebagai salah satu
variabel independen.
c. Pemilihan sampel menggunakan disaproportionate stratified random
sampling, sedangkan penelitian ini tidak menggunakan teknik tersebut.
7. Desi Purnamasari (2013)
Penelitian ini mengangkat topik kecurangan akademik pada mahasiswa
dengan variabel yang mempegaruhinya antara lain self-efficacy, religiusitas, dan
perkembangan moral. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja
yang dapat mempengaruhi mahasiswa untuk melakukan kecurangan akademik.
Sampel dari penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Negeri Semarang
angkatan tahun 2010 atau pada tahun ajaran 2012/2013 (semester 6) dengan
jumlah mahasiswa 250 orang. Merupakan penelitian kuantitatif dengan teknik
23
analisis deskriptif dan menggunakan metode cluster random sampling sebagai
teknik pengambilan sampel. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ketiga variabel
independennya memiliki hasil berpengaruh terhadap kecurangan akademik.
Persamaan penelitian:
a. Menggunakan variabel religiusitas sebagai variabel independen
b. Menggunakan kecurangan akademik sebagai variabel dependen
c. Objek yang diteliti berasal dari mahasiswa S1 Akuntansi
Perbedaan penelitian:
a. Lokasi pengambilan sampel berada di Universitas Negeri Semarang,
sedangkan penelitian ini mengambil sampel dari STIE Perbanas Surabaya.
b. Teknik pengambilan sampel menggunakan cluster random sampling,
sedangkan penelitian ini menggunakan convenience sampling.
c. Teknik anaslisi data menggunakan analisis deskriptif, sedangkan penelitian
ini menggunakan regresi linear berganda.
8. Annisa Fitriana dan Zaki Baridwan (2012)
Penelitian ini membahas mengenai “Faktor-faktor dalam Dimensi Fraud
Triangle terhadap Perilaku Kecurangan Akademik”. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menganalisis faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya kecurangan
akademik apabila dilihat dari sudut pandang dimensi fraud triangle atau segitiga
kecurangan. Variabel yang diungkapkan pada penelitian ini adalah; tekanan
akademik, kesempatan mencontek, rasionalisasi mencontek, dan kecurangan
akademik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tekanan akademik,
24
kesempatan mencontek, dan rasionalisasi mencontek memiliki pengaruh terhadap
terjadinya kecurangan akademik. Dari hasil penelitian tersebut, dapat digunakan
sebagai acuan bagaimana cara untuk memperketat pengawasan saat ujian. Sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Seluruh Siswa Kelas XI Akuntansi
SMK Negeri 1 Tempel Tahun Ajaran 2014/2015 yang berjumlah 95 siswa. Alat
uji penelitian ini menggunakan metode Partial Least Square (PLS). Metode
pengambilan sampelnya menggunakan nonprobability sampling. Penelitian ini
memberikan hasil bahwa tekanan, peluang, dan pembenaran berpengaruh
terhadap kecurangan akademik.
Persamaan penelitian:
a. Kesamaan variabel independen; tekanan, peluang, dan pembenaran
b. Penggunaan variabel dependen yakni kecurangan akademik
c. Penelitian kuantitatif
d. Menggunakan data primer berupa kuesioner
Perbedaan penelitan:
a. Penggunaan PLS sebagai alat uji, sedangkapn penelitian ini menggunakan
regresi linear berganda
b. Pengumpulan sampel menggunakan nonprobability sampling, sedangkan
penelitian ini menggunakan convenience sampling.
c. Menggunakan siswa SMK sebagai sampel, sedangkan penelitian ini
ditujukan kepada mahasiswa.
25
9. Endang Pudjiastuti (2012)
Penelitian ini membahas mengenai kecurangan akademik ditinjau dari self-
efficacy mahasiswa sebagai variabel independennya. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menganalisis pengaruh self-efficacy terhadap terjadinya kecurangan
akademik di kalangan mahasiswa. Sampel penelitian ini menggunakan 44
mahasiswa Psikologi di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Teknik
pengambilan sampel menggunakan random sampling. Alat uji menggunakan
regresi linear berganda. Penelitian ini memberikan hasil bahwa self-efficacy
berpengaruh negatif signifikan terhadap kecurangan akademik, maksudnya adalah
bahwa semakin tinggi efikasi diri mahasiswa, maka ia akan cenderung untuk
menghindari perilaku mencontek.
Persamaan penelitian:
a. Menggunakan kecurangan akademik sebagai variabel dependen.
b. Menggunakan Self-efficacy sebagai variabel independen.
c. Merupakan penelitian kuantitatif.
d. Data penelitian berasal dari kuesioner (data primer).
e. Objek yang diteliti merupakan mahasiswa
f. Menggunakan alat uji regresi berganda.
Perbedaan penelitian:
a. Sampel penelitian terdahulu hanya menggunakan salah satu tahun angkatan
saja (angkatan 2009), sedangkan penelitian ini nantinya akan mengambil
sampel dari semua angkatan yang ada.
26
b. Pengambilan objek penelitian terdahulu berada di kota Bandung, sedangkan
penelitian ini akan mengabil sampel di kota Surabaya.
c. Teknik pengambilan sampel penelitian ini adalah convenience sampling,
sedangkan penelitian terdahulu menggunakan random sampling.
10. Anugerahening Kushartanti (2009)
Penelitian ini membahas mengenai perilaku mencontek (yang merupakan
salah satu tindak kecurangan akademik) ditinjau dari kepercayaan diri. Variabel
independen yang muncul adalah kepercayaan diri yang masih memiliki
keterkaitan dengan self-efficacy dan variabel dependennya adalah perilaku
mencontek. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur sejauh mana tingkat
kepercayaan diri seseorang dapat memengaruhi perilaku seseorang tersebut untuk
meyontek. Sampel dalam penelitian ini adalah 110 mahasiswa jurusan Psikologi
Universitas Negeri Semarang. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan
cluster nonrandom sampling. Alat uji dalam penelitian ini adalah regresi linear
berganda yang memberikan hasil penelitian sebagai berikut: bahwa terdapat
hubungan negatif signifikan antara kepercayaan diri terhadap mencontek.
Persamaan penelitian:
a. “self-efficacy” digunakan sebagai variabel independen
b. Penelitian kuantitatif, dengan menggunakan data primer berupa kuesioner
c. Objek penelitian adalah mahasiswa
d. Alat uji menggunakan regresi linear berganda
27
Perbedaan penelitian:
a. Pemilihan sampel menggunakan cluster nonrandom sampling, sedangkan
penelitian ini tidak menggunakan teknik tersebut, melainkan convenience
sampling.
b. Penelitian terdahulu menggunakan sampel mahasiswa jurusan psikologi,
sedangkpan penelitian ini menggunakan mahasiswa jurusan akuntansi.
11. Becker, et al. (2006)
Penelitian ini mengangkat topik mengenai kecurangan akademik mahasiswa
Perguruan Tinggi berbasis bisnis di Midwestern University, Chicago, Amerika
Serikat. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan test kepada mahasiswa dalam
melakukan kecurangan akademik yang diukur melalui dimensi fraud triangle.
Penelitian ini menggunakan tiga variabel independen, diantaranya tekanan,
peluang, dan pembenaran. Metode pemilihan sampel menggunakan survey
methods dan alat uji penelitian ini regresi linear. Hasil dari penelitian ini adalah
bahwa ketiga variabel independen tersebut memiliki pengaruh signifikan terhadap
terjadinya kecurangan akademik.
Persamaan penelitian:
a. Menggunakan tekanan, peluang, dan pembenaran sebagai variabel
independen.
b. Kecurangan akademik diteliti sebagai variabel dependen.
c. Merupakan penelitian kuantitatif.
d. Menggunakan data primer berupa kuesioner.
28
e. Objek yang diteliti adalah mahasiswa.
f. Alat uji menggunakan analisis regresi linear berganda.
Perbedaan penelitian:
a. Lokasi penelitian berada di Amerika Serikat, sedangkan penelitian ini
mengambil sampel mahasiswa Perguruan Tinggi di Indonesia, khususnya
kota Surabaya.
b. Penelitian tersebut menggunakan survey methods, sedangkan penelitian ini
menggunakan convenience samppling.
.
12. Aaron U. Bolin (2004)
Penelitian ini mengangkat topik mengenai pengaruh self-control, peluang,
dan perilaku sebagai pemrediksi kecurangan akademik. Sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah mahasiswa Perguruan Tinggi yang berada di Amerika.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan variabel
independen terhadap dependennya, dan untuk mengetahui bagaimana perilaku
mahasiswa terutama pada Perguruan Tinggi berlatar belakang pendidikan berbasis
bisnis terhadap keikutsertaan dalam berperilaku curang. Pengambilan sampel
penelitian ini menggunakan teknik convenience sampling, dimana peneliti bebas
memilih siapa saja dan dari mana saja asal Perguruan Tinggi mahasiswa yang
selanjutnya mereka diarahkan untuk mengisi kuesioner yang telah disiapkan
peneliti dengan cara mengakses salah satu website yang telah disediakan. Alat
pengujiann data penelitian ini menggunakan analisis deksriptif, yang selanjutnya
29
memberikan hasil bahwa peluang berpengaruh terhadap kecurangan akademik
mahasiswa, sedangkan self-control tidak memiliki pengaruh.
Persamaan penelitian:
a. Objek yang diteliti merupakan mahasiswa.
b. Penelitian menggunakan data primer berupa kuesioner berbasis internet.
c. Penelitian kuantitatif.
d. Penggunaan variabel kecurangan akademik sebagai variabel dependen.
e. Variabel independen menggunakan self-control, dimana variabel tersebut
masih memiliki keterkaitan dengan self-efficacy.
f. Penggunaan teknik convenience sampling dalam pengambilan sampel
penelitian.
Perbedaaan penelitian:
a. Lokasi penelitian berada di Amerika Serikat, sedangkan penelitian ini
mengambil sampel mahasiswa Perguruan Tinggi di Indonesia, khususnya
kota Surabaya.
b. Penelitian tersebut melibatkan ahli psikologi untuk disurvei, sedangkan
penelitian ini tidak melakukan survey kepada ahli psikologi.
30
2.2 Landasan Teori
Pada Penulisan penelitian ini, terdapat beberapa teori yang digunakan
untuk mendukung penjelasan anaslisis penelitian dan pembahasan penelitian.
Diantaranya:
2.2.1 Fraud Triangle Theory
Teori Segitiga Kecurangan (Fraud Triangle Theory) pertama kali
dikemukakan oleh Donald R. Cressey pada tahun 1950. Munculnya teori ini
didapat dari hasil wancaranya kepada 200 orang pegawai perusahaan yang telah
dipenjara akibat mereka telah mencuri uang perusahaan (embezzlers). Dari hasil
wawancara tersebut, banyak dari mereka yang memiliki motif keuangan dan sifat
tidak tahan godaan, sehingga mereka terpaksa melakukannya. Dalam
perkembanganya, hasil penelitian Cressey tersebut memberikan kontribusi
terhadap pendeteksian kecurangan yang didapat dari penganalisaan individu
pelaku yang dikenal dengan segitiga kecurangan atau fraud triangle. Sudut
pertama diberi judul “Pressure”, sudut kedua bernama “Percieved opportunity”,
dan sudut ketiga adalah “Rationalization” (Tuanakotta, 2010 : 205 – 207).
Kecurangan (fraud) digunakan untuk menguntungkan diri pribadi pelakunya
(Wilopo, 2016). Dalam kaitannya dengan tindak kecurangan akademik yang
dilakukan mahasiswa, tiga faktor fraud triangle tersebut memiliki penjelasan
sebagai berikut:
31
Gambar 2.1
Fraud Triangle dalam “Etika Profesi Akuntan” oleh R. Wilopo (2016 : 280)
a. Tekanan (Pressure)
Tekanan merupakan kondisi dimana pelaku kejahatan seketika berada
kondisi mendesak sehingga mau tidak mau mereka terpaksa melakukannya
guna menutupi kebutuhannya. Tekanan pada pelaku kecurangan umumnya
tidak pernah diceritakan kepada rekan terdekatnya. Mereka cenderung untuk
memendam rasa tertekannya tersebut dan berusaha agar tidak ada orang
yang tahu tentang apa yang ia permasalahkan (Tuanakotta, 2010 : 208).
Nursani dan Irianto (2016) meneliti bahwa tekanan yang dirasakan oleh
mahasiswa beragam. Beberapa mahasiswa menyatakan bahwa terdapat
tekanan dari orang tua, teman sebaya, fakultas atau jurusan yang menuntut
untuk mempertahankan IPK. Selain hal tersebut, mahasiswa juga memiliki
tekanan yang berasal dari dirinya sendiri agar terlihat lebih sukses dalam
akademiknya dan lebih terlihat bertanggungjawab terhadap perkuliahannya.
Tekanan
(Pressure)
Peluang
(Opportunity) Pembenaran
(Rationalization)
SEGITIGA KEJAHATAN
32
Hal tersebut dianggap sebagai permasalahan pribadi mahasiswa dimana
mereka tidak banyak menceritakannya pada rekan lain untuk mendapatkan
solusi.
b. Peluang (Opportunities)
Peluang merupakan elemen kedua dalam fraud triangle. Seseorang bisa
saja merahasiakan segala tekanan kepada siapa saja atas apa yang mereka
rasakan, namun apabila para pelaku kecurangan mempunyai presepsi bahwa
mereka memiliki peluang untuk melakukan kecurangan, maka mereka akan
segera melakukan kecurangan tersebut tanpa diketahui orang lain
(Tuanakotta, 2010 : 211). Menurut Cressey, terdapat dua komponen dari
presepsi tentang peluang ini, yakni:
1. General Information. Komponen ini menjelaskan tentang kedudukan
sesorang yang mengandung unsur trust atau kepercayaan dapat
dilanggar tanpa konsekuensi. Sebagai contoh, mahasiswa yang menjadi
primadona kelas atau ketua kelas setidaknya memiliki peluang untuk
dapat menggali informasi tentang kisi-kisi soal ujian yang akan keluar
dari dosen mata kuliah yang bersangkuan. Hal ini akan dimanfaatkan
oleh mahasiswa tersebut untuk menemukan jawaban dan mengingatnya
atau jika jawaban tersebut terlalu sulit, maka ia akan mencoba untuk
menggunakan cara lain seperti menulis di secarik kertas kecil yang dapat
dibawa saat ujian.
2. Technical Skil. Dapat diartikan sebagai keahlian yang dimiliki seseorang
sehingga dapat melaksanakan kejahatan tersebut. Mahasiswa umumnya
33
memilik berbagai cara untuk dapat melancarkan keinginannya dengan
cara mencari perhatian kepada dosen agar memiliki akses dalam
pembelajaran dan terlebih bocoran ujian.
Peluang berpengaruh terhadap kecurangan akademik mahasiswa
dibuktikan dengan salah satu penelitian yang dilakukan oleh Padmayanti,
dkk (2017). Penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat tiga alasan
mendasar yang menurut responden paling berpengaruh yakni: 1) mencontek
tidak masalah selama tidak ketahuan, 2) dosen atau pengawas ujian
melakukan kegaitan lain seperti membaca koran, bermain handphone,
mengkoreksi hasil ujian anak didiknya, atau sebagainya, dan 3) dosen atau
pengawas ujian meninggalkan kelas seperti ke toilet atau karena keperluan
lain.
c. Pembenaran (Rationalizattion)
Pembenaran biasanya dilakukan sebelum melakukan kejahatan, bukan
sesudahnya. Mencari pembenaran merupakan bagian yang harus ada dalam
kejahatan itu sendiri, bukan bagian dari motivasi untuk melakukan
kejahatan. Pembenaran dilakukan diakrenakan agar pelaku dapat mencerna
perilakunya yang melawan hukum dan tetap dapat dipercaya. Setelah
kejahatan dilakukan, rationalization ini ditinggalkan dan tidak diperlukan
lagi. Pada awalnya pelaku merasa bersalah karena telah melawan aturan
yang ada, namun ketika mengulangi perbuatan tersebut untuk kedua kalinya
atau seterusnya, mereka akan merasa mudah dan akhirnya menjadi biasa
(Tuanakotta, 2010 : 212). McCabe,et al (2006) menyatakan bahwa
34
rasionalisasi merupakan perilaku yang menunjukkan kebisaan mahasiswa
dalam menilai kecurangan sebagai tindakan konsisten dengan kode etik
mereka.
Keterkaitan antara teori ini dengan penelitian yang dilakukan adalah teori
farud triangle ini menjelaskan dimensi kecurangan yang sering terjadi dalam diri
mahasiswa. Teori ini nantinya akan menejalaskan variabel tekanan, peluang dan
pembenaran.
2.2.2 Theory of Reasoned Action (Teori Tidakan Beralasan)
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Azjen dan Fishbein pada tahun
1980 yang telah banyak digunakan sebagai model untuk memprediksi suatu
intensi atau niat perilaku maupun perilaku individu itu sendiri. Pada teori ini,
Azjen dan Fishbein menyatakan bahwa faktor pembentuk suatu intensi adalah
pertama, sikap individu terhadap perilaku, dan yang kedua adalah norma subjektif.
Norma subjektif yang dimaksudkan adalah presepsi suatu individu ketika
menghadapi suatu tekanan sosial, apakah akan melakukan suatu perbuatan
ataukah tidak. Widyastuti (2014 : 67) dalam bukunya Psikologi Sosial
menjelaskan bahwa teori yang dikemukakan oleh Azjen dan Fishbein ini berusaha
untuk menetapkan faktor-faktor apa saja yang menentukan konsistensi sikap-
perilaku yang dimulai dengan asumsi bahwa seseorang berperliaku secara cukup
rasional. Teori ini memiliki tiga langkah untuk dapat menelaah intensi seseorang:
1. Memprediksi perilaku seseorang dari maksudnya. Misalnya mahasiswa
yang berbuat curang seperti mencontek sebenarnya memiliki maksud
35
utama yaitu ingin lulus dari mata kuliah tersebut atau setidaknya
mendapatkan nilai yang baik. Maka dengan alasan masuk akal tersebut, ia
akan lebih mungkin melakukannya dari pada tidak sama sekali.
2. Melihat dari sikap seseorang terhadap perilaku dan presepsi terhadap suatu
situasi. Sikap adalah suatu kecenderungan seseorang dalam merespon
lingkungan sekitar, bersifat tertutup, dan tidak dapat dilihat langsung
(bersifat internal). Sedangkan perilaku adalah sebuah tindakan atau respon
terhadap sesuatu, berasal dari dorongan atas bagaimana kita menyikapinya,
dan dapat dilihat (bersifat eksternal). Misalnya, dari ilustrasi pada poin 1,
apakah mahasiswa tersebut benar dalam menyikapinya maupun kemudian
berperilaku atas dasar sikapnya? Dan apakah mencontek yang ia lakukan
dinilai baik oleh orang lain?
3. Memprediksi norma subjektf yang akan terjadi.
Pada tahap ini mahasiswa tersebut akan memutuskan apakah ia akan
mencontek ataukah ia akan mengurungkan niatnya dikarenakan
bertentangan dengan norma-norma tertentu.
Teori tindakan beralasan ini nantinya akan menjelaskan bagaimana
keterkaitan kelima variabel (tekanan, peluang, pembenaran, self-efficacy, dan
religiusitas) terhadap terjadinya kecurangan akademik mahasiswa. Serta
menganalisis bagaimana keterkaitan dengan fenomena yang terjadi di lapangan.
36
2.2.3 Kecurangan Akademik
Kecurangan akademik atau disebut dengan academic dishonesty adalah
salah satu bentuk kecurangan dalam dunia pendidikan dimana peserta didik
berbuat curang dalam melakukan pekerjaan sekolah atau tugas perkuliahan.
Sebagai contoh saat ujian, kecurangan akademik dapat dilihat dari adanya
mahasiswa yang membawa jawaban di kertas kecil yang kemudian
disembunyikan, jawaban yang telah disimpan di handphone, sinyal tangan kepada
rekan sebelah, atau bahkan menyalin pekerjaan rekan sebelah, atau contoh lain
seperti mengcopy pekerjaan rekannya (Becker et al., 2006). Kecurangan akademik
merupakan perilaku tidak jujur yang dilakukan oleh peserta didik, baik pelajar
maupun mahasiswa guna mendapatkan hasil yang mereka inginkan (Artani dan
Wetra, 2017). Hal ini ini juga dijelaskan oleh Albrecht et al.,(2009) bahwa
kecurangan bisa saja terjadi karena adanya tiga hal, yaitu: tekanan (pressure),
peluang (opportunity), dan pembenaran (rationalization), atau disebut dengan
fraud triangle. Hal tersebut tentunya bisa diterapkan tidak hanya dalam skema
kecurangan akuntansi, namun kecurangan akademik. Selanjutmya Purnamasari
(2013) mendefinisikan perilaku curang sebagai perbuatan yang dilakukan oleh
siswa atau mahasiswa untuk menipu, mengaburkan atau mengecoh pengajar
hingga pengajar berpikir bahwa pekerjaan atau tugas yang dikumpulkan adalah
tugas hasil pekerjaan mahasiswa tersebut.
Kecurangan akademik merupakan penggunaan dari segala materi maupun
bantuan yang sebenarnya tidak diperbolehkan dipergunakan dalam tugas-tugas
akademik. Kategori yang termasuk dalam perbuatan cheating dalam konteks
37
pendidikan antara lain meniru pekerjaan teman, bertanya langsung kepada teman
ketika ujian sedang berlangsung, membawa catatan berupa kertas, menerima
dropping jawaban dari rekan yang berada di luar ruangan, mencari bocoran soal,
dan take home test (Purnamasari, 2013). McCabe & Trevino (1997) dalam Bolin
(2004) menjabarkan macam-macam kecurangan akademik sebagai berikut:
1. Berusaha mencontek pekerjaan teman bagaimanapun caranya.
2. Menggunakan buku catatan tanpa sepengetahuan pengawas ujian.
3. Tugas dikerjakan oleh rekan lainnya.
4. Menyalin jawaban dari rekan lain saat ujian berlangsung.
5. Bekerjasama saat dosen memberikan pekerjaan rumh (PR).
6. Membantu rekan lainnya untuk berbuat curang saat ujian.
7. Mengutip dari berbagai sumber tanpa menyantumkan asal atau sumber
informasi.
8. Mempelajari model soal ataupun jawaban dari ujian yang pernah diberikan
sebelumnya atau yang berasal dari rekan di kelas lain.
9. Menyalin tugas rekan lainnya dan mengakui bahwa itu adalah hasil
pekerjaan kita.
Perilaku tidak jujur yang dilakukan oleh mahasiswa disebabkan oleh dua
faktor, yakni mahasiswa melihat adanya peluang untuk melakukan kecurangan
akademik dan sikap merasionalisasikan ketidakjujuran akademik yang
dilalkukannya (Bolin, 2004). Mahasiswa yang memiliki kemampuan rendah,
mahasiswa yang menjadi seorang aktivis di organisasi kemahasiswaan,
mahasiswa yang terpengaruh rekan sebayanya untuk mencontek, dan mahasiswa
38
yang menimba ilmu di suatu Perguruan Tinggi akan cenderung untuk melakukan
ketidakjujuran akademik (Becker et al., 2006). Indikator kecurangan akademik
yang dikemukakan oleh Becker et al., (2006) dibagi menjadi tiga:
a. Kecurangan dilakukan agar tugas dapat terselesaikan.
b. Kecurangan saat mengerjakan tugas kelompok.
c. Kecurangan saat ujian.
2.2.4 Tekanan (Pressure)
Tekanan merupakan kondisi dimana pelaku kejahatan seketika berada kondisi
terdesak sehingga mau tidak mau mereka terpaksa melakukannya guna menutupi
kebutuhannya (Tuanakotta, 2010 : 208). Tekanan dapat dikatakan sebagai
dorongan atau motivasi dalam diri seseorang (faktor internal) maupun dari
lingkungan sekitar (eksternal) yang menyebabkan seseorang tersebut harus
melakukan suatu tindakan (Apriani,dkk, 2017). Seseorang yang memilik tekanan
akan cendrung untuk melakukan tindakan curang, begitu juga sebaliknya. Hal
tersebut sengaja dilakukan untuk dapat merealisasikan sesuatu yang
diinginkannya. Seperti halnya yang dijelaskan oleh Wilopo (2016 : 280) tekanan
ada berbagai macam, diantaranya:
a. Tekanan keuangan
Tekanan keuangan seperti halnya banyak hutang, polah hidup melebihi
kemampuannya, kerugian pribadi yang cukup besar, dan kebutuhan keuangan
tidak terduga.
39
b. Tekanan kelemahan moral
Tekanan kelemahan moral ini diakibatkan oleh kebiasaan berjudi, pemabuk
minuman keras, dan telah terjadi perceraian keluarga. Hal tersebut dapat
menjadi salah satu faktor orang berbuat tindak kriminal
c. Tekanan yang berkaitan dengan pekerjaan
Tekanan ini dapat dicontohkan seperti rendahnya pengakuan hasil pekerjaan,
rasa tidak puas atas pekerjaan yang ia dapat, kehilangan pekerjaan, dan
menganggap gaji yang diterima lebih rendah dari rekannya yang lain.
d. Tekanan lain-lain
Tekanan lain-lain bermacam-macam dan bisa berasal dari lingkungan, sebagi
contoh prestasi yang telah dicapai kurang dihargai, tekanan dari keluarga,
tekanan dari rekan sebaya, maupun tekanan dari sumber lain.
Tekanan dalam kaitannya dengan kecurangan akademik yang dirasakan oleh
mahasiswa beragam, diataranya tekanan dari orang tua, teman sebaya, perguruan
tinggi tempat ia menuntut ilmu, atau tuntutan perusahaan yang memberikan
standar IPK tinggi untuk bisa menjadi karyawan (Murdiansyah, dkk, 2017). Selain
itu, dengan melakukan ketidakjujuran akademik, mahasiswa berharap akan dilihat
sebagai orang yang sukses, patut dipercaya dan dapat mempengaruhi rekan
lainnya (Artani dan Wetra, 2017). Jika mahasiswa merasakan banyak tekanan
dalam dirinya, maka akan muncul kemungkinan bahwa ia akan melakukan suatu
tindakan curang (Becker et al., 2006). Faktor terjadinya tekanan menurut Becker
et al., (2006), Artani dan Wetra (2017) yang mengakibatkan mahasiswa merasa
tertekan saat belajar diantaranya:
40
1. Tugas di dalam kelas dirasa sukar untuk dikerjakan oleh mahasiswa dan juga
terlalu banyak.
2. Ujian yang diberikan dirasa terlalu sulit untuk dijawab .
3. Mahasiswa merasa kesulitan untuk memenuhi standar kelulusan yang di
tetapkan tanpa melakukan cara yang curang dalam penyelesaian setiap tugas.
4. Mahasiswa tidak dapat me-manage waktunya dengan baik dikarenakan
kegiatan diluar perkuliahan.
Penelitian yang dilakukan oleh Deliana, dkk (2017) pada 222 responden
menunjukkan hasil bahwa tekanan berpengaruh terhadap terjadinya kecurangan
akademik. Hal tersebut terbukti bahwa dari 222 responden yang mengisi
kuesioner, 56 diantaranya (25,23%) menyatakan bahwa mereka merasa tertekan
saat belajar dikarenakan tugas yang diberikan dosen dirasa sulit bagi mahasiswa.
2.2.5 Peluang (Opportunity)
Peluang didefinisisikan sebagai suatu situasi yang mendasari seseorang untuk
berbuat curang. Peluang atau kesempatan umumnya ada sebelum terjadinya
kecurangan. Hal tersebut didapat pelaku dari mengamati situasi yang ada di
sekitarnya (Tuanakotta, 2010 : 211).
Dijelaskan dalam Wilopo (2016 : 280), peluang dikarenakan berbagai hal,
seperti:
1) Langkanya pengawasan yang mencegah dan mendeteksi kecurangan,
2) Ketidakmampuan untuk memutuskan kualitas kinerja,
3) Kegagalan untuk mendisiplinkan pelaku kecurangan,
41
4) Tidak adanya akses informasi,
5) Ketidaktahuan, sikap apatis, dan atau tidak mampu
6) Tidak adanya tindakan pemeriksaan untuk menghindari kecurangan.
Peluang munculnya kecurangan akademik bisa berasal dari sumber lain
(Deliana, dkk, 2017), selain yang telah dijelaskan dalam Wilopo (2016 : 280) di
atas, sumber lain munculnya peluang adalah dari cara berpikir rasional yang
dimiliki mahasiswa. Apabila seseorang memilik tingkat rasional tinggi, maka
semakin sedikit tekanan atau peluang untuk melakukan kecurangan (Apriani, dkk
2017). Becker et al., (2006) menyatakan bahwa semakin tinggi peluang yang
dilihat olah mahasiswa, maka ia akan cenderung untuk berbuat curang. Indikator
munculnya peluang melakukan kecurangan akademik menurut Becker et al.,
(2006) diakibatkan oleh:
1. Pengajar tidak melakukan pengecekan terhadap kejadian plagiarisme.
2. Pengajar tidak melakukan perubahan atas pola tugas terhadap mahasiswa
yang berbeda.
3. Mahasiswa mengamati lingkungan sekitarnya yang juga berpeluang untuk
dapat melakukan tindak kecurangan.
4. Pengajar tidak melakukan pencegahan terhadap tindak kecurangan.
Mahasiswa bisa saja melihat peluang bagus saat hendak melaksanakan ujian
ketika ia telah mendapatkan jawaban dari kelas yang melaksanakan ujian terlebih
dahulu. Becker et al., (2006). Peluang untuk melakukan kecurangan akademik
tidak dapat dihilangkan. Hal tersebut dikarenakan penghilangan peluang untuk
melakukan kecurangan membutuhkan peningkatan penjagaan, memperketat
42
sanksi, hingga mengacaukan hubungan sosial pelaku. Bagaimanapun juga, para
pelaku kecurangan cenderung selalu menemukan cara baru untuk berbuat curang
(Bolin, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Apriani, dkk (2017) kepada 85
responden di Universitas Brawijaya Malang menunjukkan bahwa peluang dapat
mempengaruhi mahasiswa untuk bertindak curang, hal ini dikarenakan ketika
mahasiswa memiliki peluang yang besar, maka pemikiran rasional mereka akan
berkurang. Ketika pikiran rasional mahasiswa berkurang, maka meraka akan
semakin termotivasi untuk berbuat curang (Apriani, dkk 2017).
2.2.6 Pembenaran (Rationalization)
Pembenaran biasanya dilakukan sebelum melakukan kejahatan, bukan
sesudahnya. Mencari pembenaran merupakan bagian yang harus ada dalam
kejahatan itu sendiri, bukan bagian dari motivasi untuk melakukan kejahatan
(Tuanakotta, 2010 : 212). Hal tersebut biasanya berasal dari adanya konflik
internal dari diri mahasiswa sebagai dasar untuk melegalkan fraud yang dia
lakukan (Nursani dan Irianto, 2016). Pembenaran umumnya berupa alasan,
seperti: “tidak ada orang lain yang dirugikan atas tindakan ini”, “hal ini saya
lakukan untuk tujuan baik”, atau “ada yang menderita karena hal ini, yaitu
integritas dan reputasi saya” (Wilopo, 2016 : 283-284). Biasanya mahasiswa
membenarkan perbuatan curangnya dikarenakan mereka merasa tidak tahu apakah
menggunakan ide orang lain merupakan hal legal. Hal tersebut dikarenakan
adanya kesalahan pelaksanaan peraturan tentang kecurangan akademik yang
menyebabakan mahasiswa membenarkan segala tindakannya untuk mendapatkan
43
hasil yang baik (Becker et al., 2006). Faktor pendukung terjadinya pembenaran
untuk melakukan kecurangan akademik disebutkan oleh Becker et al.(2006)
Sebagai berikut:
1. Pengajar tidak memberikan penjelasan atas peraturaran perilaku tidak jujur
dalam perkuliahan
2. Pengajar tidak memberikan sanksi tegas untuk mahasiswa yang terlibat dalam
kecurangan
3. Fakultas tidak selalu mendeteksi terjadinya kecurangan oleh mahasiswa.
4. Sanksi yang diberikan kampus terhadap pelaku kecurangan akademik tidak
sepadan.
Penelitian terkait pembenaran tindakan yang dilakukan mahasiswa terhadap
perilaku kecurangan akademik telah dilakukan oleh Apriani, et al., (2017) dimana
hasil penelitian mereka menemukan bahwa pembenaran (rationalization)
berpengaruh signifikan terhadap terjadinya kecurangan akademik. Indikator
pengukuran pembenaran mahasiswa menurut Apriani, et al., (2017) diantaranya:
a. Kecurangan akademik seperti halnya mencontek merupakan hal yang biasa
bagi mahasiswa.
b. Mencontek dirasa wajar dilakukan karena agar mereka mendapatkan nilai
yang tinggi di mata kuliah tertentu.
c. Meraka merasa bahwa jika tindakan mencontek akan membuatnya lebih
dihargai oleh rekan lainnya.
d. Bagi mahasiswa mencontek merupakan cara instant untuk mendapatkan
nilai yang ia inginkan tanpa harus bersusah payah untuk belajar.
44
Pembenaran merupakan hal yang juga mempengaruhi terjadinya kecurangan
akademik seperti halnya penelitian yang telah dilakukan oleh Nursani dan Irianto
(2016) pada 292 mahasiswa jurusan Akuntansi Unversitas Brawijaya Malang
yang menujukkan bahwa pembenaran (rationalization) berpengaruh terhadap
kecurangan akdemik, hal tersebut dikarenakan mahasiswa merasa adanya
persaingan yang tidak adil jika ia tidak turut melakukan kecurangan, sehingga
mahasiswa merasa perlu untuk melakukan ketidakjujuran seperti mencontek,
menyalin pekerjaan teman, dan sebagainya agar bisa mendapatkan kesetaraan dan
kepuasan dalam mencapai nilai yang diinginkan.
2.2.7 Self-Efficacy
Self-efficacy merupakan sebuah ekspektasi dalam diri manusia yang
menentukan seberapa banyak usaha dan seberapa lama seseorang akan berusaha
bertahan dalam menghadapi permasalahan dan pengalaman yang tidak
menyenangkan (Bandura, 1997) dalam Pudjiastuti (2012) . Menurut Ghufron dan
Risnawita (2011 : 73) efikasi diri adalah:
“ Efikasi diri merupakan salah satu aspek pengetahuan tentang diri atau self-
knowledge yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia sehari-hari.Hal
ini disebabkan efikasi diri yang dimiliki ikut mempengaruhi individu dalam
menentukan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan,
termasuk didalamnya perkiraan berbagai kejadian yang akan dihadapi.”
Efikasi diri secara umum memiliki hubungan dengan harga diri (self-esteem)
karena keduanya merupakan aspek dari penilaian diri yang berkaitan dengan
kesuksesan atau kegagalan seseorang. Menurut Bandura (1997) dalam Ghufron
dan Risnawita (2011 : 75) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan hasil dari
45
suatu proses kognitif berupa keputusan, keyakinan, atau pengharapan tentang
sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan
tugas, atau sebuah tindakan tertentu yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang
diinginkan. Dalam kehidupan sehari-hari, efikasi diri memimpin kita untuk
menentukan cita-cita yang menantang dan tetap bertahan dalam menghadapi
kesulitan.
Menurut definisi tersebut, efikasi diri dalam kaitannya dengan bidang
akademik dapat dipahami sebagai keyakinan seseorang terhadap keamampuan
dirinya untuk mengerjakan sesuatu. Orang yang memiliki efikasi diri tinggi,
berarti ia memiliki keyakinan diri yang tinggi bahwa ia dapat meyelesaikan
tugasnya dengan baik. Sebaliknya, seseorang yang memiliki self-efficacy rendah
akan cenderung merasa kurang percaya diri dan mempresepsikan bahwa
kemampuan yang dimiliki belum tentu dapat membuat mereka lulus atau berhasil
dalam ujian.
Bandura (1997) dalam Ghufron dan Risnawita (2011 : 78) menjelaskan
bahwa efikasi diri seseorang bersumber dari empat hal, diantaranya:
a. Pengalaman Keberhasilan (Mastery Experiences)
Pada tahap ini pengalaman yang secara langsung dialami oleh individu
tersebut, baik berupa suatu keberhasilan maupun kegagalan, merupakan
faktor yang paling berpengaruh terhadap efikasi diri seseorang. Sebagai
contoh mahasiswa yang memiliki efikasi diri yang kuat, ia akan cenderung
untuk memotivasi dirinya dari setiap kegagalan yang pernah ia alami
sebelumnya.
46
b. Pengalaman Orang Lain (Vicarious Experience)
Tahap kedua menjelaskan bahwa pengamatan terhadap keberhasilan orang
lain dengan kemampuan yang sebanding dalam mengerjakan tugas akan
meningkatkan efikasi diri individu tersebut dalam mengerjakan tugas yang
sama. Sebaliknya, jika pengamatan dilakukan kepada kegagalan orang lain,
maka akan menurunkan penilaian pengamat tersebut terhadap penilaian
kemampuannya dan dapat mengurangi usaha yang dilakukan.
c. Persuasi Verbal (Verbal Persuasion)
Dengan persuasi verbal, individu diarahkan dengan saran, nasihat, dan
bimbingan sehingga dapat meningkatkan keyakinan tentang kemampuan
yang dimilikinya dalam mencapai tujuan dan keinginannya. Menurut Bandura
(1997) dalam Ghufron dan Risnawita (2011) persuasi verbal tidak
memberikan dampak terlalu besar dalam peningkatan efikasi diri dikarenakan
ketika seseorang berada dalam kondisi menekan dan gagal terus menerus,
pengaruh sugesti akan cepat lenyap jika mengalami pengalaman yang tidak
menyenangkan.
d. Kondisi Fisiologis (Physiological State)
Individu akan mendasarkan informasi mengenai kondisi fisiologis mereka
untuk menilai kemampuannya. Apabila seseorang berada pada suatu kondisi
fisik yang dirasa kurang mendukung, maka hal tersebut akan menjadi suatu
hambatan yang berujung akan melemahkan kinerja individu tersebut.
47
Selain empat sumber pembentuk efikasi diri di atas, terdapat tiga dimensi
pengukuran (indikator) yang dikemukakan oleh Albert Bandura (dalam Ghufron
dan Risnawita, 2011 : 78) terkait dengan self-efficacy pada diri mahasiswa, yakni:
a. Dimensi level
Pada dimensi ini menjelaskan tentang tingkat kesulitan yang nantinya
akan dihadapi oleh mahasiswa. Sebagai contoh, jika mahasiswa
dihadapkan pada tugas yang telah disusun menurut tingkat kesulitannya
seperti mudah, sedang, dan sulit, maka efikasi diri mahasiswa tersebut
akan sebatas pada tugas yang diberikan dan sesuai dengan batas
kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan tugas tersebut.
b. Dimensi kekuatan
Dimensi kekuatan menjelaskan seberapa besar keyakinan mahasiswa
untuk mampu meyelesaikan sebuah masalah. Dimensi in imemiliki
keterkaitan dengan dimensi level, dimana makin tinggi level kesulitan
tugas yang diberikan, maka makin lemah keyakinan mahasiswa untuk
dapat menyelesaikannya.
c. Dimensi generalisasi.
Dimensi ini menjelaskan luas bidang keyakinan mahasiswa terhadap
sesuatu yang dihadapi.
48
2.2.8 Religiusitas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, religi merupakan sebuah
kepercayaan kepada Tuhan, kepercyaan kepada pencipta alam semesta.
Sedangkan religiusitas diartikan sebagai tingkat religi yang dimiliki manusia atau
secara sederhana adalah tingkat kepercayaan manusia terhadap Tuhannya.
Menurut Ghufron dan Risnawita (2011 : 167) religiusitas adalah:
“Religiusitas menunjuk pada tingkat keterikatan individu terhadap
agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa individu telah menghayati dan
menginternalisasikan ajaran agamanya sehingga berpengaruh dalam segala
tindakan dan pandangan dalam hidupnya”.
Religiusitas diwujudkan dengan tidak hanya saat seseorang melakukan perilaku
ritual (beribadah saja), tetapi juga saat melakukan perbuatan baik yang didorong
oleh kekuatan lahir maupun batin. Religiusitas menuntun sesesorang untuk dapat
terhindar dari perbuatan yang tidak benar. Hampir semua agama mengajarkan
kebaikan dalam kaitannya berperilaku. Religiusitas berpengaruh negatif terhadap
kecurangan akademik (Purnamasari, 2013), hal tersbut memiliki makna bahwa
seseorang yang memiliki religiusitas tinggi akan merasa takut akan Tuhannya
dimana ia akan percaya adanya Karma atau balasan atas setiap perbuatan di dunia
ini. Indikator pengukuran religiusitas seseorang menurut Glock dan Stark dalam
Ghufron dan Risnawita (2011 : 170) dapat dilihat dari dimensi berikut:
a. Dimensi Iman (the ideological dimension). Iman diartikan sebagai suatu
kepercayaan, keyakinan, dan keteguhan batin kepada terutamanya adalah
Tuhan. Dimensi iman berisi tentang pengaharapan-pengharapan dimana
orang religius berpegang teguh pada panangan teologis tertentu dan mengakui
49
kebenaran suatu doktrin. Dimensi ini mencakup keyakinan terhadap Tuhan,
para nabi, kitab suci, hari akhir, dan ketetapan Tuhan.
b. Dimensi Ibadah (The ritualistic dimension) mengukur sejauh mana seseorang
melakukan kewajiban ritualnya dalam agama yang dianut dan tingkat
intensitas pelaksanaan ibadah misalnya shalat, pergi ke tempat ibadah,
berdoa, berpuasa, dan sebagainya.
c. Dimensi Ihsan dan penghayatan (the experential dimenssion) menjelaskan
mengenai pengalaman seseorang terkait tentang kehadiran Tuhan dalam
kehidupan, merasa takut saat hendak melanggar laranganNya, tersentuh saat
mendengar alunan kitab suci, dan sebagainya.
d. Dimensi pengetahuan agama (the intellectual dimension)
Dimensi ini berkaitan degan pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap
ajaran agamanya. Dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang beragama
minimal memiliki sejumlah pengetahuan mengenai dasar keyakinannya
semisal seperti yang tertuang dalam hadist, fiqih, dan kitab suci.
e. Dimensi pengamalan dan konsekuensi (the consequential dimension)
Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan,
praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Dimensi
ini berkaitan dengan kegiatan pemeluk agama untuk merealisasikan ajaran-
ajaran dan lebih mengerah ke hubungan manusiawi seperti menjalin
silaturahmi, menjenguk orang sakit, dan sebagainya.
50
2.2.9 Pengaruh Tekanan (Pressure) Terhadap Terjadinya Kecurangan
Akademik Mahasiswa Jurusan Akuntansi
Purnamasari (2013) menyatakan bahwa tekanan-tekanan terbesar yang
dialami oleh siswa antara lain keseharusan atau pemaksaan untuk lulus,
kompetensi yang dimiliki siswa untuk mendaptkan nilai tinggi, beban tugas yang
begitu banyak dan waktu belajar yang tidak cukup. Terlalu banyak tekanan yang
dirasakan oleh mahasiwa, maka ia akan merasa terbebani dalam melakukan segala
hal. Masalah ini sering terjadi pada mahasiwa yang merasa belum menemukan
kecocokan atas sesuatu yang ia senangi dengan yang ia tekuni. Jika tekanan yang
ada di dalam diri mahasiswa semakin banyak, bisa dipastikan ia akan mengalami
stress atau depresi karena tidak terpenuhinya target-target yang telah ia tetapkan.
Bisa saja karena ingin memenuhi target yang telah ia buat, seorang mahasiswa
terkadang melegalkan segala cara agar sedikit demi sedikit tekanan tersebut
hilang. Sehingga, semakin tinggi tekanan yang dirasakan oleh mahasiswa, maka
mahasiswa tersebut akan cenderung untuk berbuat curang (Apriani, dkk 2017).
Keterkaitan antara tekanan terhadap terjadinya kecurangan akademik telah
banyak diteliti sebelumnya. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Murdiansyah, dkk (2017) pada mahasiswa Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya Malang yang memberikan hasil bahwa tekanan yang dirasakan oleh
masiswa umumnya dilakukan demi mendapatkan kelancaran saat studi serta untuk
mendapatkan Indeks Prestasi (IP) yang memuaskan. Nilai yang didapatkan
mahasiswa ssat perkuliahan masih menjadi cerminan atau simbol keberhasilan
mereka, sehingga mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan nilai terbaik
51
bagaimanapun caranya. Mereka sering kali mementingkan untuk mendapatkan
nilai yang baik dari pada ilmu yang mereka dapatkan saat perkuliahan. Sehingga,
dari pernyataan tersebut, mahasiswa termotivasi untuk mendapatkan apa yang
mereka inginkan bagaimanapun caranya.
Penelitian lain dilakukan oleh Apriani, dkk (2017), Zamzam, dkk ( 2017),
Deliana, dkk (2017), Fitriana dan Baridwan (2012), dan Becker et al.,(2006)
menjelaskan bahwa variabel tekanan (pressure) memiliki pengaruh terhadap
kecurangan akademik.
2.2.10 Pengaruh Peluang (Opportunity) Terhadap Terjadinya Kecurangan
Akademik Mahasiswa Jurusan Akuntansi
Peluang menjadi alasan seseorang melakukan tindak kecurangan. Peluang
bisa saja terjadi karena adanya celah yang dimanfaatkan secara tidak benar atau
dapat dikarenakan lemahnya pengawaasan. Peluang terjadinya kecurangan
akademik di kalangan mahasiswa antara lain mencontek, membuka kertas
jawaban saat ujian (ngrepek), membuka handphone di dalam ruang ujian, mencari
jawaban dari rekan yang berada di luar kelas, dan sebagainya.
Penelitan terkait hubungan peluang dengan terjadinya kecurangan
akademik telah dilakukan, diantaranya Penelitian yang dilakukan oleh Deliana,
dkk (2017), Nursani dan Irianto (2016), Fitriana dan Baridwan (2012) dan Becker
et al.,(2006) menujukkan bahwa variabel peluang (opportunity) berpengaruh
terhadap terjadinya kecurangan akademik. Sebagai contoh, penelitian yang
dilakukan oleh Nursani dan Irianto (2016) menemukan bahwa peluang yang
52
dilihat oleh mahasiswa berasal dari sumber lain salah satunya teknologi internet,
kondisi kelas, dan koneksi dengan kakak tingkat. Hal ini menjelaskan bahwa
peluang dapat terjadi saat dosen meninggalkan ruang ujian, lemahnya
pengawasasn saat ujian, mahasiswa berada pada lingkungan yang sering
melakukan kecurangan, atau posisi mahasiswa strategis untuk melakukan
kecurangan, maka hal-hal tersebut akan semakin mendorong mahasiswa untuk
berbuat curang saat ujian.
2.2.11 Pengaruh Pembenaran (Rationalization) Terhadap Terjadinya
Kecurangan Akademik Mahasiswa Jurusan Akuntansi
Pembenaran (raionalization) menurut Padmayanti, dkk (2017) menyatakan
bahwa rasionalisasi adalah proses atau cara untuk menjadikan sesuatu yang tidak
rasional menjadi rasional atau dapat diterima dengan akal sehat. Pembenaran
umumnya berupa alasan, seperti: “tidak ada orang lain yang dirugikan atas
tindakan ini”, “hal ini saya lakukan untuk tujuan baik” (Wilopo, 2016 : 283).
Penelitian terhadap variabel pembenaran dalam kaitannya dengan
terjadinya kecurangan akademik salah satunya dilakukan oleh oleh Padmayanti,
dkk (2017) dimana dari sepuluh pernyataan, terdapat tiga indikator dengan skor
tertinggi yaitu: 1) jika soal ujian yang diberikan dosen mudah, maka saya bisa
mendapatkan nilai bagus tanpa harus berbuat curang, 2) saya sering melihat rekan
saya melakukan kecurangan, hal ini memotivasi saya untuk turut berbuat curang,
3) saya melakukan kecurangan hanya saat saya terdesak. Tiga indikator tersebut
menujukkan bahwa mahasiswa membenarkan segala alasan untuk dapat
53
menyelamatkan dirinya. Mereka terkadang memikirkan bahwa tindakan mereka
benar tanpa memikirkan jangka panjang dari perilaku terebut.
Rationalization umumnya berupa alasan mendasar mengapa ia melakukan
itu, dengan harapan ia dapat mememnuhi apa yang dituntutkan kepadanya.
Pembenaran dilakukan karena tidak ada atau kurangnya pengtahuan terhadap
tindakan etis dalam diri mahasiswa, sehingga mereka cenderung melakukan suatu
perbuatan yang merugikan diri mereka sendiri. Penelitan tersebut mendukung
penelitian lain yang dilakukan oleh Apriani, dkk (2017), Nursani dan Irianto
(2016), Fitriana dan Baridwan (2012) yang menyatakan bahwa pembenaran
berpengaruh terhadap kecurangan akademik.
2.2.12 Pengaruh Self-Efficacy Terhadap Terjadinya Kecurangan Akademik
Mahasiswa Jurusan Akuntansi
Self-efficacy banyak didefinisikan sama dengan kepercayaan diri
seseorang. Efikasi diri merupakan keyakinan pada kemampuan seseorang untuk
mengatur dan melakukan serangkaian tindakan yang diperlukan dalam mencapai
keinginannya (Ghufron dan Risnawita 2011 : 73). Efikasi diri dalam kaitannya
dengan bidang akademik dapat dipahami sebagai keyakinan mahasiswa terhadap
keamampuan dirinya untuk mengerjakan sesuatu. Orang yang memiliki efikasi
diri tinggi, berarti ia memiliki keyakinan diri yang tinggi bahwa ia akan dapat
meyelesaikan tugasnya dengan baik. Begitu juga sebaliknya, jika mahasiswa
memiliki slef-efficacy rendah, maka mahasiswa tersebut akan mempresepsikan
54
bahwa kemampuan yang dimiliknya belum tentu dapat membuatnya berhasil
melalui ujian atau suatu permasalahan.
Penelitian terkait hubugan self-efficacy dengan kecurangan akademik salah
satunya telah dilakukan oleh Pudjiastuti (2012) pada mahasiswa jurusan Psikologi
di salah satu Perguruan Tinggi, dimana sesuai hasil observasi dan wawancara,
mereka merasa tidak yakin atas kemampuan yang dimiliki dan mereka tidak
percaya diri akan mendapat nilai baik meskipun telah belajar sebelum ujian.
Pembahasan dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa self-efficacy
berpengaruh negatif terhadap kecurangan akademik mahasiswa. Hal tersebut
menujukkan bahwa semakin tinggi self-efficacy mahsiswa, maka semakkin rendah
kecenderungan perilaku menconteknya. Penelitian yang dilakukan oleh Pudjiastuti
(2012) didukung oleh penelitian lain seperti Purnamasari (2013) dan Kushartanti
(2009).
2.2.13 Pengaruh Religiusitas Terhadap Terjadinya Kecurangan Akademik
Mahasiswa Jurusan Akuntansi
Religiusitas merupakan tingkatan kepercayaan seseorang terhadap adanya
Tuhan. Kepercayaan seseorang tersebut nantinya akan membantu dalam
menentukan apakah perbuatan yang dilakukan baik atau tidak. Seseorang dengan
religiusitas tinggi akan cenderung menghindari perbuatan yang dirasa akan
merugikan kehidupannya di waktu yang akan datang, mereka juga
mempertimbangkan terkait adanya karma atau balasan atas perbuatan tidak baik
55
yang pernah mereka lakukan. Dengan demikian, mereka akan senantiasai berhati-
hati dalam berbuat dan lebih memilih cara yang baik.
Penellitian tentang keterkaitan religiusitas terhadap kecurangan akademik
telah dilakukan oleh Herlyana, dkk (2017). Dalam penelitiannya terhadap 50
mahasiswa Perguruan Tinggi di Kota Singaraja, Bali menjukkan bahwa
religiusitas berpengaruh negatif terhadap kecurangan akademik. Hal ini
dikarenakan mereka percaya bahwa jika melakukan tindakan negatif, maka suatu
saat mereka akan mendapatkan balasan yang sepadan. Selain itu, mereka merasa
takut berdosa apabila berbuat curang, karena perbuatan tersebut juga melibatkan
ketidajujuran dan merupakan suatu kebohongan. Sehingga, apabila religiusitas
mahsiswa tinggi, maka kecurangan akademik yang dilakukan mahasiswa akan
rendah. Begitu juga sebaliknya, jika religiusitas mahasiswa rendah, maka motivasi
untuk melakukan kecurangan akademik akan meningkat. Penelitian ini
mendukung penelitian yang telah dilakukan oleh Herlyana, dkk (2017), Zamzam,
dkk (2014), dan Purnamasari (2013).
2.3 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, maka penulis mengindikasikan
faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan mahasiswa melakukan tindak
kecurangan akademik. Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
kecenderungan kecurangan akademik oleh mahasiswa, maka diperlukan kerangka
pemikiran.
56
Dari landasan teori yang telah diuraikan, maka dapat disusun hipotesis yang
merupakan alur pemikiran dari peneliti yang kemudian digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran
Kecurangan
Akademik
(Y)
Religiusitas
(X5)
H5
H4
Self-Efficacy
(X4)
H2
Peluang
(Opportunity)
(X2)
H3 Pembenaran
(Rationaliza-
tion) (X3)
H1
Tekanan
(Pressure)
(X1)
57
Berdasarkan bentuk kerangka pemikiran pada Gambar 2.2, peneliti
menunjukkan bagaimana kecurangan akademik sebagai variabel dependen (Y)
dipengaruhi oleh adanya tekanan (X1), peluang (X2), pembenaran (X3), self-
efficacy (X4), dan religiusitas (X5).
2.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah dugaan sementara yang keberadaannya perlu dilakukan
pengujian, adapun hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
H1 : Tekanan berpengaruh terhadap kecurangan akademik mahasiswa
jurusan akuntansi.
H2 : Peluang berpengaruh terhadap kecurangan akademik mahasiswa jurusan
akuntansi.
H3 : Pembenaran berpengaruh terhadap kecurangan akademik mahasiswa
jurusan akuntansi.
H4 : Self-Efficacy berpengaruh terhadap kecurangan akademik mahasiswa
jurusan akuntansi.
H5 : Religiusitas berpengaruh terhadap kecurangan akademik mahasiswa
jurusan akuntansi.