bab ii tinjauan pustaka 2.1. pengertian struktur...
TRANSCRIPT
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PENGERTIAN STRUKTUR PENDANAAN
Struktur pendanaan mengindikasikan bagaimana perusahaan
membiayai kegiatan operasionalnya atau bagaimana perusahaan membiayai
aktivanya. Riyanto (1993:15) mengatakan bahwa “Struktur finansial
mencerminkan cara bagaimana aktiva-aktiva perusahaan dibelanjai, dengan
demikian struktur finansial tercermin pada keseluruhan pasiva dalam neraca.
Struktur finansial mencerminkan pula perimbangan antara keseluruhan modal
asing (baik jangka pendek maupun jangka panjang) dengan jumlah modal
sendiri”. Struktur pendanaan merupakan perbandingan antara hutang (modal
asing) dengan ekuitas (modal sendiri).
Keputusan pendanaan berkaitan dengan pemilihan sumber dana,
baik yang berasal dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal)
perusahaan, sangat mempengaruhi nilai perusahaan. Sumber dana perusahaan
yang berasal dari sumber internal yaitu laba ditahan dan depresiasi. Dana
yang diperoleh dari sumber dana eksternal adalah dana yang berasal dari para
kreditur dan pemilik, peserta atau pengambil bagian didalam perusahaan.
Pemenuhan kebutuhan dana yang berasal dari kredit merupakan hutang bagi
perusahaan atau disebut dengan metode pembelajaran dengan utang (debt
financing). Dana yang diperoleh dari para pemilik, serta atau mengambil
16
bagian dalam perusahaan merupakan modal sendiri perusahaan. Proporsi atau
bauran dari penggunaan modal sendiri dan utang dalam memenuhi kebutuhan
dana perusahaan disebut struktur modal perusahaan (Diyanto, 2003).
Ada beberapa rasio yang dapat digunakan untuk mengukur struktur
pendanaan. Dalam penelitian ini, rasio yang dipakai untuk mengukur struktur
pendanaan adalah debt to total asset, yaitu perbandingan antara hutang
dengan total aktiva. Alasan menggunakan total hutang atas aktiva karena
kondisi di Indonesia. Indonesia sebagai Negara yang sedang berkembang
sering menggantikan Hutang Jangka Pendek menjadi Hutang Jangka Panjang
dan Roll Over Hutang Jangka Pendek (Mardi, 2008) .
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Pendanaan
Dalam penetapan struktur pendanaan, perusahaan perlu
mempertimbangkan berbagai variabel yang mempengaruhinya. Birmigham
dan Houston (2001:39) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang
berpengaruh dalam pengambilan keputusan struktur pendanaan antara lain:
1. Stabilitas penjualan
Perusahaan dengan penjualan yang relative stabil dapat lebih aman
memperoleh lebih banyak pinjaman dan menanggung beban tetap yang
lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang penjualannya tidak
stabil, secara historis mampu menggunakan lebih banyak leverage
keuangan daripada perusahaan industri. Semakin stabil penjualan suatu
perusahaan, semakin besar kemungkinan perusahaan membelanjai
17
kegiatannya dengan utang. Karena stabilitas penjualan akan
mempengaruhi stabilitas pendapatan, yang pada akhirnya akan digunakan
sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman.
2. Struktur aktiva
Perusahaan yang aktivanya sesuai untuk dijadikan jaminan kredit
cenderung lebih banyak menggunakan banyak utang. Aktiva multiguna
yang dapat digunakan oleh banyak perusahaan merupakan jaminan yang
baik, sedangkan aktiva yang hanya digunakan untuk tujuan tertentu tidak
begitu baik untuk dijadikan jaminan.
Dalam suatu perusahaan, struktur aktiva akan mempunyai
pengaruh terhadap sumber-sumber pembelanjaan dalam beberapa cara.
Pertama, pada perusahaan yang sebagian besar modalnya tertanam dalam
aktiva tetap, pemenuhan kebutuhan dana akan diutamakan dari modal
sendiri dan modal asing hanya berfungsi sebagai pelengkap (Riyanto
dalam Diyanto, 2003). Hal ini akan menimbulkan adanya beban tetap yang
berupa biaya tetap. Dan apabila perusahaan menggunkan modal asing
dalam membelanjai aktiva tetapnya maka beban tetap yang akan
ditanggung menjadi lebih besar. Kedua, pada perusahaan yang sebagian
besar aktivanya berupa aktiva tetap, komposisi penggunaan hutang akan
lebih didominasi oleh hutang jangka panjang (Brigham, 1999). Karena
jangka waktu terikatnya dana dalam aktiva tetap adalah lebih ditekankan
pada utang jangka panjang. Hal ini juga dimaksudkan untuk menjaga
likuiditas perusahaan (Diyanto 2003).
18
3. Leverage operasi
Jika hal-hal lain tetap sama, perusahaan dengan leverage operasi
yang lebih kecil cenderung lebih mampu untuk memperbesar leverage
keuangan karena perusahaan tersebut akan mempunyai risiko bisnis yang
lebih kecil.
4. Tingkat pertumbuhan
Jika hal-hal lain tetap sama, perusahaan yang tumbuh dengan pesat
harus lebih banyak mengandalkan modal eksternal. Lebih jauh lagi, biaya
pengembangan untuk penjualan saham biasa lebih besar dari pada biaya
untuk penerbitan surat utang, yang mendorong perusahaan untuk lebih
banyak mengandalkan utang. Namun, pada saat yang sama perusahaan
yang tumbuh dengan pesat sering mengadapi ketidakpastian yang lebih
besar, yang cenderung mengurangi keinginannya untuk menggunakan
utang.
5. Profitabilitas
Seringkali pengamatan menunjukkan bahwa perusahaan dengan
tingkat yang tinggi atas investasi menggunkan utang yang relatif kecil.
Meskipun tidak ada pembenaran teoritis mengenai hal ini, namun
penjelasan praktis atas kenyataan ini adalah perusahaan yang sangat
menguntungkan, seperti Intel, Microsoft, dan Coca-Cola memang tidak
memerlukan banyak pembiayaan dengan utang. Tingkat pengembalian
yang tinggi memungkinkan perusahaan untuk membiayai sebagian besar
19
kebutuhan pendanaan mereka dengan dana yang dihasilkan secara
internal(Mardi, 2003).
Perusahaan dengan rate of return yang tinggi cenderung
menggunakan proporsi hutang yang relative kecil. Karena dengan rate of
return yang tinggi, kebutuhan dana dapat diperoleh dari laba ditahan.
Beberapa bukti penelitian (Baskin, 1989; Titman & Wessels, 1988; Thies
& Klock, 1992) dalam Diyanto, 2003 menunjukkan bahwa perusahaan
yang mempunyai tingkat pengembalian keuntungan investasi tinggi,
menggunakan proporsi hutang yang relative kecil.
6. Pajak
Bunga merupakan beban yang dapat dikurangi untuk tujuan
perpajakan, dan pengurangan tersebut sangat bernilai bagi perusahaan
yang terkena tarif pajak yang tinggi. Karena itu, makin tinggi tarif pajak
perusahaan makin besar manfaat penggunaan utang.
7. Pengendalian
Pengendalian utang lawan saham terhadap posisi pengendalian
menajemen dapat mempengaruhi struktur pendanaan. Apabila manajemen
saat ini mempunyai hak suara untuk mengendalikan perusahaan
(mempunyai daham lebih dari 50 persen) tetapi sama sekali tidak
diperkenankan untuk membeli saham tambahan, mereka mungkin akan
memilih utang untuk pembiayaan baru. Dilain pihak, manajemen mungkin
memutuskan untuk menggunakan ekuitas jika kondisi keuangan
perusahaan sangat lemah sehingga penggunaan utang dapat membawa
20
perusahaan pada risiko kebangkrutan, karena jika perusahaan jatuh
bankrut, para manager tersebut akan kehilangan pekerjaan. Tetapi jika
utangnya terlalu kecil, manajemen menhadapi risiko pengambil alihan.
Jadi, pertimbangan pengendalian tidak selalu menghendaki penggunaan
hutang atau ekuitas karena jenis modal yang member perlindungan terbaik
bagi manajemen bervariasi dari suatu situasi ke situasi yang lain.
Bagaimanapun, jika posisi majemen sangat rawan, situasi pengendalian
perusahaan akan dipertimbangkan.
8. Sikap manajemen
Karena tidak seorang pun dapat membuktikan bahwa struktur
pendanaan yang satu akan membuat harga saham lebih tinggi daripada
struktur pendanaan lainnya, manajemen dapat melakukan pertimbangan
sendiri terhadap struktur pendanaan yang tepat. Sejumlah manajemen
cenderung lebih konservatif daripada manajemen lainnya, sehingga
menggunakan jumlah utang yang lebih kecil dari pada rata-rata perusahaan
dalam industri yang bersangkutan sementara manajemen lain lebih
cenderung menggunakan banyak utang dalam usaha mengejar laba yang
lebih tinggi.
9. Sikap pemberi pinjaman dan lembaga penilaian peringkat
Tanpa memperhatikan analisis para manajer atas faktor-faktor
leverage yang tepat bagi perusahaan mereka, sikap para pemberi pinjaman
dan perusahaan penilai peringkat (rating agency) seringkali
mempengaruhi keputusan struktur keuangan. Dalam sebagian besar kasus,
21
perusahaan membicarakan struktur pedanaannya dengan pemberi
pinjaman dan lembaga penilai peringkat serta sangat memperhatikan
masukan yang diterima. Misalnya, sebuah perusahaan umum yang besar
diberi tahu oleh Moody dan Standard & Poor bahwa obligasi akan terkena
penururnan peringakat apabila Perum tersebut memberiakan lebih banyak
obligasi. Ini mempengaruhi keputusannya untuk membiayai perluasan
usahanya dengan saham biasa.
10. Kondisi pasar
Kondisi di pasar saham dan obligasi mengalami perubahan jangka
panjang dan pendek yang sangat berpengaruh terhadap struktur pendanaan
perusahaan yang optimal. Misalnya, selama situasi kacaunya kredit di A.
S., pasar obligasi bernilai rendah (junk bonds) kosong, dan tidak ada pasar
dengan tingkat suku bunga yang “wajar” untuk obligasi jangka panjang
yang baru dengan peringkat dibawah tiga B. karena itu perusahaan
berperingkat rendah yang membutuhkan modal terpaksa beralih kepasar
saham atau pasar utang jangka pendek, tanpa memperdulikan struktur
pendanaan yang ditargetkan. Tetapi setelah keadaan membaik perusahaan
ini dapat menjual obligasi untuk mengembalikan struktur pendanaanya
yang ditargetkan semula.
11. Kondisi Internal Perusahaan
Kondisi internal perusahaan juga berpengaruh terhadap struktur
pendanaan yang ditargetkannya. Misalnya, andaikan suatu perusahaan
baru saja menyekesaikan program penelitian dan pengembangan dan
22
perusahaan tersebut meramalkan laba yang lebih tinggi dalam waktu
dekat. Namun, menaikkan laba tersebut belum diantisipasi oleh investor,
karena belum tercermain dalam harga saham maka lebih menyukai
pembiayaan dengan utang sampai kenaikan laba tersebut terealisasi dan
tercermin pada harga saham. Kemudian pada saat itu perusahaan akan
menerbitkan saham biasa, melunasi utang dan kembali pada struktur
pendanaan yang ditargetkan.
12. Fleksibilitas keuangan
Jika dipandang dari sudut pandang operasional, mempertahankan
fleksibilitas keuangan berarti mempertahankan kapasitas cadangan yang
memadai. Menentukan kapasitas yang memadai tersebut bersifat
pertimbangan, tetapi hal itu jelas bergantung pada beberapa faktor
termasuk ramalan kebutuhan dana perusahaan, ramalan kondisi pasar
modal, keyakinan manajemen atas ramalannya, dan berbagai akibat dari
kekurangan modal.
Atmaja (1994:338) menyatakan bahwa berbagai faktor yang
dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan tentang struktur modal adalah
kelangsungan hidup jangka panjang (long-run viability), konservatisme
manajemen, pengawasan, struktur aktiva, risiko bisnis, tingkat pertumbuhan,
pajak, dan cadangan kapasitas peminjaman.
Sedangkan Husnan (1989:261) menyatakan bahwa berbagai faktor
yang menentukan pemilihan struktur pendanaan antara lain:
23
1. Lokasi distribusi keuntungan
Yang dimaksud dengan lokasi ditribusi keuntungan adalah
seberapa besar nilai yang diharapkan (expacted value) dari
keuntungan perusahaan. Semakin besar expected value keuntungan,
dengan penyimpangan yang sama, maka semakin kecil kemungkinan
mendapat kerugian.
Dengan demikian, maka semakin ke kanan lokasi distribusi
keuntungan, semakin berani perusahaan menggunakan modal asing,
apabila faktor-faktor yang lain sama. Sebaliknya, apabila keuntungan
yang diharapkan berada pada posisi di kiri (lebih rendah) maka
penggunaan modal asing yang mempunyai beban tetap bisa
membahayakan, apabila kondisi usaha menurun.
2. Stabilitas penjualan dan keuntungan
Faktor lain yang menentukan besarnya keuntungan dan dengan
demikian menentukan jumlah hutang yang bisa dipinjam adalah
stabilitas penjualan, yang pada akhirnya mempengaruhi kestabilan
keuntungan. Semakin stabil keuntungan, berarti semakin sempit
penyebarannya, jadi semakin besar kemungkinan perusahaan mampu
memenuhi kewajiban tetapnya. Oleh karena itu, perusahaan bisa
membelanjai kegiatannya dengan proporsi hutang yang lebih besar.
3. Kebijakan deviden
Banyak perusahaan yang mencoba menggunakan kebijakan
deviden yang stabil, yaitu membayarkan sejumlah deviden dalam
24
jumlah yang konstan. Implikasi kebijakan seperti ini akan langsung
dirasakan bagi manajer keuangan, yaitu harus menyediakan dana
untuk membayar sejumlah deviden yang tetap ini. Denga demikian,
semakin tinggi tingkat leverage-nya, makin besar kemungkinan
perusahaan tidak bisa membayar deviden dalam jumlah yang tetap.
Secara tidak langsung, kebijakan dividen akan mempunyai
pengaruh terhadap tingkat penggunaan hutang suatu perusahaan.
Kebijakan deviden yang stabil menyebabkan adanya keharusan bagi
perusahaan untuk menyediakan sejumlah dana guna membayar
jumlah dividen yang tetap tersebut. Dan apabila perusahaan
menggunakan tingkat hutang yang tinggi, maka ada kemungkinan
bahwa dalam jangka panjang perusahaan tidak akan mampu
membayar dividen yang stabil serta memenuhi beban tetap hutang
(Diyanto, 2003).
4. Pengendalian (Control)
Dalam beberapa peristiwa perusahaan mungkin memilih
menggunakan leverage yang agak tinggi dari pada mengeluarkan
saham baru lagi. Meskipun mungkin pengeluaran saham baru lebih
menguntungkan, mereka mungkin memilih penggunaan hutang. Hal
ini disebabkan karena mereka mungkin segan membagi kepemilikan
(yang berarti juga control) perusahaan dengan orang lain. Sebab bisa
terjadi pihak yang semula memiliki sebagian besar saham, dengan
25
pengeluaran saham baru akan menjadi berkurang bagiannya. Denga
demikian akan berkurang pula penguasaan atas perusahaan.
5. Risiko kebangkrutan
Dalam prakteknya, suatu perusahaan dihadapkan pada tingkat
bunga yang meningkat makin cepat setelah melewati suatu tingkat
leverage tertentu, karena kreditor mulai khawatir tentang
kebangkrutan perusahaan. Jadi tingkat bunga pinjaman akan berbeda
dengan jumlah yang cukup besar karena adanya risiko kebankrutan
ini. Dengan demikian perusahaan mungkin akan memutuskan untuk
tidak “melanggar” batas tersebut.
Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang diteliti pengaruhnya
terhadap struktur pendanaan dalam perusahaan adalah struktur aktiva,
profitabilitas, kebijakan dividen, likuiditas dan ukuran perusahaan.
2.2. PENGERTIAN STRUKTUR AKTIVA
Dalam suatu perusahaan, struktur aktiva akan mempunyai pengaruh
terhadap sumber-sumber pembelanjaan dalam beberapa cara. Pertama, pada
perusahaan yang sebagian besar modalnya tertahan dalam aktiva tetap,
pemenuhan kebutuhan dana akan diutamakan dari modal sendiri dan modal
asing hanya berfungsi sebagai pelengkap (Bambang Riyanto, 1989). Hal ini
disebabkan oleh penggunaan aktiva tetap akan menimbulkan adanya beban
tetap yang berupa biaya tetap. Dan apabila perusahaan menggunakan modal
asing dalam membelanjai aktiva tetapnya maka beban tetap yang akan
26
ditanggung menjadi lebih besar. Kedua, pada perusahaan yang sebagian besar
aktivanya berupa aktiva tetap, komposisi penggunaan hutang akan lebih
didominasi oleh utang jangka panjang. Hal ini juga dimaksudkan untuk
menjaga likuiditas perusahaan. Penelitian yang membuktikan struktur aktiva
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap debt (Titman & Wessels,
1988; Thies & Klock, 1992) dalam Diyanto (2003).
Struktur aktiva merupakan perbandingan atau perimbangan antara
aktiva lancar dan aktiva tetap akan menentukan struktur kekayaan (struktur
aktiva). Sturktur aktiva merupakan sisi sebelah kiri neraca (aktiva perusahaan
yang harus dibelanjai). Dalam penelitian ini, struktur aktiva diukur dengan
membandingkan antara aktiva tetap terhadap total aktiva.
2.3. PENGERTIAN PROFITABILITAS
Perusahaan yang memiliki profit akan menggunakan lebih banyak
utang (Ooi, 1999) untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari
pengurangan pajak (Andrianto dan Wibowo, 2007). Selain itu Gitman
(2003:61) menyatakan tanpa adanya laba perusahaan tidak mungkin dapat
menarik modal dari luar. Pendanaan secara eksternal hanya dimungkinkan
jika kinerja perusahaan yang tercermin dari perolehan laba yang cukup baik.
Dengan adanya laba yang memadai, pemberi pinjaman dapat diyakinkan
bahwa perusahaan dapat membayar bunga secara teratur kepada mereka.
Profitabilitas perusahaan diindikasikan oleh earning (laba). Menurut
Brimigham dan Houston (2001:89) mengatakan bahwa “Profitabilitas adalah
27
hasil bersih dari serangkaian kebijakan dan keputusan. Ada banyak rasio
yang dapat digunakan untuk mengukur profitabilitas. Rasio-rasio tersebut
memungkinkan analisis untuk mengevaluasi laba perusahaan sehubungan
dengan tingkat penjualan tertentu, tingkat aktiva tertentu, atau ekuitas
pemegang saham. Di dalam penelititan ini, rasio yang dipakai untuk
mengukur profitabilitas adalah Return on asset (ROA). Menurut Dendawijaya
(2005) dalam Lestari (2008) rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan
manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan.
Semakin besar ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang
dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari sisi
penggunaan asset.
Dalam penelitian ini Return on Asset (ROA) dipilih sebagai indikator
pengukur kinerja keuangan perbankan adalah karena Return on Asset digunakan
untuk mengukur efektifitas perusahaan didalam menghasilkan keuntungan
dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Return on Asset merupakan rasio
antara laba sebelum pajak terhadap total asset. Semakin besar Return on Asset
menunjukkan kinerja keuangan yang semakin baik, karena tingkat kembalian
(return) semakin besar. Apabila Return on Asset meningkat, berarti profitabilitas
perusahaan meningkat, sehingga dampak akhirnya adalah peningkatan
profitabilitas yang dinikmati oleh pemegang saham (Husnan, 1998).
Profitabilitas merupakan suatu indikator kinerja yang dilakukan
menejemen dalam mengelola kekayaan perusahaan yang ditunjukkan oleh
laba yang dihasilkan. Secara garis besar, laba yang dihasilkan perusahaan
28
berasal dari penjualan dan investasi yang dilakukan oleh perusahaan
(Sudarmaji & Sularto:2007).
2.4. PENGERTIAN KEBIJAKAN DEVIDEN
Kebijakan deviden pada hakekatnya menentukan berapa banyak
bagian keuntungan yang akan dibagikan kepada pemegang saham dan berapa
banyak yang akan ditahan. Riyanto (1993:201) mengatakan bahwa
“Kebijakan deviden adalah bersangkutan dengan penentuan pembagian
pendapatan (earning) antara penggunaan pendapatan untuk dibayarkan
kepada para pemegang saham sebagai deviden atau untuk digunakan di
dalam perusahaan, yang berarti pendapatan tersebut harus ditahan didalam
perusahaan”.
Ada beberapa rasio yang dapat digunakan untuk mengukur kebijakan
deviden. Di dalam penelitian ini, rasio yang dipakai untuk mengukur
kebijakan deviden adalah dividend payout ratio Martin, et al (1999:449)
dalam Mardi (2008) mengatakan bahwa “Kebijakan deviden suatu
perusahaan memiliki dua karakteristik. Pertama adalah rasio pembayaran
deviden (dividend payout ratio) yang menunjukan berapa bagian pendapatan
perusahaan yang dibayarkan sebagai dividen. Karakteristik kedua adalah
stabilitas dividen dari waktu ke waktu”.
Martin, et al (1999:473) mengatakan ada beberapa pola kebijakan
pembayaran deviden yang biasa dipraktikkan, yaitu:
29
1. Rasio Pembayaran Deviden Konstan (Constant Dividend Payout
Ratio)
Jumlah deviden dibakukan sekian persendari pendapatan perusahaan.
Meskipun rasio deviden terhadap pendapatan itu stabil atau tetap,
jumlah uangnya (sekian dolar, sekian rupiah) tentu saja bisa berubah
sesuai dengan perubahan jumlah pendapatan.
2. Deviden Per Lembar Saham dalam jumlah stabil (Stabil Amount per
Share)
Dari waktu ke waktu jumlah yang dibayarkan tetap. Kenaikan jumlah
deviden akan terlaksana jika manajemen yakin perusahaan sudah
mampu membayarnya dari waktu ke waktu, karena sekali naik
jumlahnya tidak akan turun lagi. Tetapi manajemen juga bisa
memutuskan untuk mengurangi jumlah itu jika kemampuan
pendapatan perusahaan dirasakan mengendur. Perubahan jumlah
tersebut perlu lebih cermat, karena sifatnya yang semi permanen.
3. Deviden regular plus ekstra tutup tahun (Low Reguler dividen Plus
Extra)
Perusahaan secara regular (misalnya per kuartal) membayarkan
dividen dalam jumlah yang kecil, namun di akhir tahun perusahaan
menambah ekstra deviden (tentu saja bila ditahun itu perusahaan
memang memetik laba cukup banyak). Tujuan digunakannya cara ini
adalah menghapus konotasi deviden permanen.
30
Banyak perusahaan yang menjalankan kebijakan dividen yang stabil.
Deviden yang stabil ini dipertahankan untuk beberapa tahun, kemudian
apabila ternyata pendapatan perusahaan meningkat dan kenaikan pendapatan
tersebut nampak mantap dan relatif permanen, barulah besarnya deviden per
saham dinaikkan. Dan deviden yang sudah dinaikkan ini akan dipertahankan
untuk jangka waktu yang relatif panjang.
Beberapa teori yang relevan dalam kebijakan deviden dikemukakan
oleh Suherli dan Harahap (2004:230) dalam Jortan (2007) yang telah diuji
secara empiris, yatu:
1. Smoothing Theory
Teori ini dikembangkan oleh Lintner. Lintner mengatakan bahwa
jumlah deviden tergantung akan keuntungan perusahaan sekarang dan
dividen tahun sebelumnya.
2. Dividend Irrelevance Theory
Teori ini diperkenalkan oleh Miller dan Mondigliani dalam
makalahnya Dividend Irrelevance Preposition. Makalah tersebut
menjelaskan bahwa dalam dunia tanpa pajak, dan tidak
diperhitungkannya biaya transaksi serta dalam kondisi pasar yang
sempurna, maka kebijakan dividen tidak akan memberikan pengaruh
apapun pada harga saham tersebut.(067017041:38)
3. Bird in the Hand Theory
Gordon mengemukakan Bird in the Hand Theory. Gordon mengatakan
bahwa dengan mendapatkan dividen (a bird in the hand) adalah lebih
31
baik daripada saldo laba (a bird in the bush) karena pada akhirnya
saldo laba tersebut mungkin tidak akan pernah terwujud sebagai
dividen di masa depan (it can fly away).
4. Tax Preference Theory
Teori ini di ungkapkan oleh Bhattacharya yang menjelaskan bahwa
berkaitan dengan pajak, investor lebih memilih pembayaran deviden
yang rendah dibandingkan dengan dividen yang tinggi.
5. Clientele Effect Theory
Teori ini diungkapkan oleh Black dan Scholes yang mengasumsikan
jika perusahaan membayar deviden, investor seharusnya mendapatkan
keuntungan dari deviden tersebut untuk menghilangkan konsekuensi
negatif dari pajak.
Secara tidak langsung, kebijakan deviden akan mempunyai pengaruh
terhadap tingkat penggunaan utang suatu perusahaan. Kebijakan deviden
yang stabil menyebabkan adanya keharusan bagi perusahaan untuk
menyediakan sejumlah dana guna membayar jumlah deviden yang tetap
tersebut. Dan apabila perusahaan menggunkan tingkat utang yang tinggi,
maka ada kemungkinan bahwa dalam jangka panjang perusahaan tidak akan
mampu membayar deviden yang stabil serta memenuhi beban tetap utang.
Jensen, et al (1992), menemukan bukti bahwa kebijakan deviden mempunyai
pengaruh yang signifikan dan berhubungan negatif terhadap debt ratio
(Diyanto, 2003).
32
2.5. PENGERTIAN LIKUIDITAS
Ketersediaan dana dan sumber dana bank pada saat ini dan di masa
yang akan datang, merupakan pemahaman konsep likuiditas dalam indikator
ini. Menurut Ali (2006) dalam Mahardian (2008), pengaturan likuiditas
terutama dimaksudkan agar bank setiap saat dapat memenuhi kewajiban-
kewajibannya yang harus segera dibayar. Likuiditas dinilai dengan mengingat
bahwa aktiva bank kebanyakan bersifat tidak liquid dengan sumber dana
dengan jangka waktu lebih pendek. Indikator likuiditas antara lain dari
besarnya cadangan sekunder (secondary reserve) untuk kebutuhan likuiditas
harian, rasio konsentrasi ketergantungan dari dana besar yang relatif kurang
stabil, dan penyebaran sumber dana pihak ketiga yang sehat, baik dari segi
biaya maupun dari sisi kestabilan. Menurut Bank Indonesia, penilaian aspek
likuiditas mencerminkan kemampuan bank untuk mengelola tingkat likuiditas
yang memadai guna memenuhi kewajibannya secara tepat waktu dan untuk
memenuhi kebutuhan yang lain. Disamping itu bank juga harus dapat
menjamin kegiatan dikelola secara efisien dalam arti bahwa bank dapat
menekan biaya pengelolaan likuiditas yang tinggi serta setiap saat bank dapat
melikuidasi assetnya secara cepat dengan kerugian yang minimal (SE. Intern
BI, 2004).
Menurut Dendawijaya (2005:116) dalam Lestari (2008), LDR adalah
rasio antara seluruh jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang
diterima oleh bank. Loan to deposit ratio tersebut menyatakan seberapa jauh
kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan
33
deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber
likuiditasnya. Dengan kata lain, seberapa jauh pemberian kredit kepada
nasabah kredit dapat mengimbangi kewajiban bank untuk segera memenuhi
permintaan deposan yang ingin menarik kembali uangnya yang telah
digunakan oleh bank untuk memberikan kredit. Semakin tinggi rasio tersebut
memberikan indikasi semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang
bersangkutan. Hal ini disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk
membiayai kredit semakin besar.
Peraturan Bank Indonesia menyatakan bahwa kemampuan likuiditas
bank dapat diproksikan dengan LDR (Loan to Deposit Ratio) yaitu
perbandingan antara kredit dengan Dana Pihak Ketiga (DPK). Rasio ini
digunakan untuk menilai likuiditas suatu bank yang dengan cara membagi
jumlah kredit yang diberikan oleh bank terhadap dana pihak ketiga. Menurut
Muljono, (1999), Loan to Deposit Ratio menunjukkan perbandingan antara
volume kredit dibandingkan volume deposit yang dimiliki oleh bank. Hal ini
berarti menunjukkan tingkat likuiditas semakin kecil dan sebaliknya karena
sumber dananya (deposit) yang dimiliki telah habis digunakan untuk
membiayai financing portofolio kreditnya. Semakin tinggi rasio ini, semakin
rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan sehingga
kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah akan semakin besar.
Kredit yang diberikan tidak termasuk kredit kepada bank lain sedangkan
untuk dana pihak ketiga adalah giro, tabungan, simpanan berjangka, sertifikat
deposito. Standar yang digunakan Bank Indonesia untuk rasio LDR adalah
34
80% hingga 110%. Jika angka rasio LDR suatu bank berada pada angka
dibawah 80% (misalkan 60%), maka dapat disimpulkan bahwa bank tersebut
hanya dapat menyalurkan sebesar 60% dari seluruh dana yang berhasil
dihimpun. Karena fungsi utama dari bank adalah sebagai intermediasi
(perantara) antara pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan
dana, maka dengan rasio LDR 60% berarti 40% dari seluruh dana yang
dihimpun tidak tersalurkan kepada pihak yang membutuhkan, sehingga dapat
dikatakan bahwa bank tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan baik.
Kemudian jika rasio LDR bank mencapai lebih dari 110%, berarti
total kredit yang diberikan bank tersebut melebihi dana yang dihimpun. Oleh
karena dana yang dihimpun dari masyarakat sedikit, maka bank dalam hal ini
juga dapat dikatakan tidak menjalankan fungsinya sebagai pihak intermediasi
(perantara) dengan baik. Semakin tinggi LDR menunjukkan semakin riskan
kondisi likuiditas bank, sebaliknya semakin rendah LDR menunjukkan
kurangnya efektifitas bank dalam menyalurkan kredit. Jika rasio LDR bank
berada pada standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka laba yang
diperoleh oleh bank tersebut akan meningkat (dengan asumsi bank tersebut
mampu menyalurkan kreditnya dengan efektif). Dengan meningkatnya laba,
maka return on asset (ROA) juga akan meningkat, karena laba merupakan
komponen yang membentuk return on asset (ROA).Dalam perbankan, rasio
yang digunakan hanya satu, yaitu: LDR (Loan to Deposit Ratio). LDR
merupakan rasio yang menggambarkan seberapa jauh kemampuan bank
dalam membayar kembali penarikan dana yang mungkin dilakukan oleh
35
deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber
likuiditasnya. Dana ini dapat berupa giro,tabungan, maupun deposito yang
dimiliki deposan.
2.6. PENGERTIAN UKURAN PERUSAHAAN
Salah satu tolok ukur yang menunjukan besaran perusahaan adalah
ukuran perusahaan. Penentuan ukuran perusahaan dapat dinyatakan dengan
total penjualan, total aktiva, rata-rata tingkat penjualan dan rata-rata total
aktiva. Faktor ukuran perusahaan yang menunjukan besaran perusahaan
merupakan faktor penting dalam pembentukan laba. Ukuran perusahaan
merupakan besaran suatu perusahaan yang dilihat dari total assetnya.
Variabel ukuran perusahaan dapat dilihat dengan menilai total asset yang
dimiliki perusahaan (Jogiyanto, 1988).
Menurut pecking order theory, ukuran memiliki pengaruh negatif
terhadap struktur modal. Rajan dan Zingales (1995) menyatakan semakin
besar ukuran peruswahaan, semakin kompleks organisasinya. Hal ini
menyebabkan semakin tinggi biaya informasi tidak simetris sehingga
semakin sulit mendapatkan pendanaan eksternal bagi perusahaan (Wijaya dan
Hadianto, 2008).
Ukuran perusahaan akan mempunyai pengaruh terhadap struktur
modal. Pada kenyataannya bahwa semakin mesar suatu perusahaan maka
kecenderungan penggunaan dana eksternal juga semakin besar. Hal ini
disebabkan karena perusahaan yang besar memiliki kebutuhan dana yang
36
besar dan salah satu alteranatif pemenuhan dana yang tersedia adalah
menggunakan dana eksternal. Banyak penelitian yang menyatakan kebijakan
hutang perusahaan dipengaruhi oleh ukuran perusahaan, dan menyatakan ada
hubungan positif antara ukuran perusahaan dengan rasio hutang. Homaifar,
et.al (1994) membuktikan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif
terhadap leverage perusahaan (Diyanto, 2003).
Ukuran perusahaan disini dinyatakan dengan ukuran besaran suatu
perusahaan yang dapat dan dilihat dari letak aktiva yang dimiliki oleh suatu
perusahaan. Sesuai dengan ketentuan BAPEPAM No. 11/PM/1997,
disebutkan bahwa kategori perusahaan besar adalah yang total aktivanya
lebih dari Rp 100.000.000.000 sedangkan perusahaan kecil dan menengah
total aktivanya tidak lebih dari Rp 100.000.000.000.