bab ii tinjauan pustaka 2.1 tanaman kacang tanah
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kacang Tanah
Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija, memiliki
peluang pengembangan agroindustri dalam mendukung pembangunan perekonomian daerah yang
efisien dan efektif, dapat menekan kemiskinan terutama bagi kelompok masyarakat
berpendapatan rendah. Masyarakat Indonesia sudah lama mengenal kacang tanah, sebagai bahan
pangan dan industri, biasanya ditanam di Sawah atau Tegalan (Marzuki, 1995). Tanaman kacang
tanah yang tersebar luas ditanam di Indonsia bukan merupakan tanaman asli, melainkan berasal
dari Amerika Selatan, yaitu Brazilia. Tanaman kacang tanah diperkirakan masuk ke Indonesia
antara tahun 1521-1529. Kacang tanah di Indonesia dikenal juga dengan sebutan kacang brudul
atau kacang brol (Jawa), yang tergolong kedalam Familia Leguminoceae (AAK, 1990).
Beberapa daerah di Indonesia, kacang tanah merupakan tanaman pangan yang mendapat
prioritas untuk dikembangkan dan ditingkatkan produksinya setelah padi dan kedelai. Hal ini
didorong dengan semakin meningkatnya kebutuhan terhadap kacang tanah sebagai bahan pangan
maupun bahan baku industri. Penggunaan kacang tanah sangat beragam mulai dari industri rumah
tangga secara tradisional sampai ke industri modern. (Mashudi, 2007 ; Dinarto dan Dian, 2012).
Menurut Marzuki (1995) klasifikasi kacang tanah adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Rosales
Familia : Leguminoceae
Genus : Arachis
Spesies : Arachis hypogaea L
2.1.1 Morfologi kacang tanah
Tanaman kacang tanah memiliki bagian-bagian antara lain : daun, batang, akar, bunga,
buah dan biji. Daun pertama yang tumbuh dari biji disebut dengan kotiledon, yang terangkat ke
permukaan tanah pada waktu biji berkecambah. Daun berikutnya berupa daun tungal dan
berbentuk bundar. Pada pertumbuhan berikutnya daun kacang tanah membentuk daun majemuk
bersirip genap terdiri atas empat anak daun, dengan tangkai daun agak panjang. Helaian anak daun
bentuknya beragam tergantung varietasnya, ada yang berbentuk bulat, elip dan agak lancip.
Permukaannya ada yang berbulu dan tidak berbulu (AAK, 1990). Batang kacang tanah tidak
berkayu, ada yang tumbuh tegak dan menjalar. Tinggi batang rata-rata sekitar 50 cm, bagian
bawah batang tempat menempelnya perakaran dan bagian atasnya berfungsi sebagai tempat
pijakan cabang primer, yang masing-masing dapat membentuk cabang sekunder. Batang dan
cabang kacang tanah berbentuk bulat, bagian atas batang ada yang berbentuk persegi, sedikit
berbulu dan berwarna hijau (Pitojo, 2005).
Akar tanaman kacang tanah merupakan akar tunggang yang tumbuh lurus ke dalam tanah
sampai kedalaman 40 cm. Pada akar tunggang tersebut tumbuh akar cabang diikuti oleh akar
serabut. Akar kacang berfungsi sebagai penopang berdirinya tanaman dan untuk menyerap air dan
unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Pada pangkal dan cabang akar tunggang biasanya
terdapat bintil-bintil bakteri Rhizobium yang berperan dalam penyerapan nitrogen dari udara
bebas. Bunga muncul dari ketiak daun pada bagian bawah tanaman, mulai muncul sejak umur 4-5
minggu dan berlangsung sampai umur 80 hari setelah tanam. Bunga berbentuk kupu-kupu,
berukuran kecil, terdiri atas lima daun tajuk. Mahkota bunga berwarna kuning atau kuning
kemerah-merahan (Marzuki, 1995). Menurut Rukmana (1998), bunga kacang tanah meyerbuk
sendiri, yang akhirnya akan membentuk bakal buah/bakal polong/ginofor yang masuk ke dalam
tanah dan buah dibentuk di dalam tanah, berbentuk polong. Biji kacang tanah berbentuk agak
bulat sampai lonjong yang merupakan alat perkembangbiakan/ perbanyakannya (Gambar 2.1).
Menurut pertumbuhannya kacang tanah dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe tegak dan
menjalar. Varietas-varietas kacang tanah unggul yang dibudidayakan para petani kebanyakan
bertipe tegak dan berumur pendek (genjah). Varietas unggul kacang tanah ditandai dengan
karakteristik sebagai berikut : a) Daya hasil tinggi. b) Umur pendek (genjah) antara 85-90 hari. c)
Hasilnya stabil. d) Tahan terhadap penyakit. e) Toleran terhadap kekeringan atau tanah becek.
Varietas kacang tanah di Indonesia yang terkenal yaitu : a) Kacang Brul, berumur pendek (3-4
bulan). b) Kacang Cina, berumur panjang (6-8 bulan). c) Kacang Holle, merupakan tipe campuran
hasil persilangan antara varietas-varietas yang ada (Marzuki, 1995).
Gambar 2.1
Tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.)
(Sumber : Koleksi pribadi, 2016)
2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kacang tanah
Syarat pertumbuhan kacang tanah antara lain : a) Iklim. Curah hujan yang sesuai untuk
tanaman kacang tanah antara 800-1.300 mm/tahun. Hujan yang terlalu deras akan mengakibatkan
rontok pada bunga sehingga tidak diserbuki. Selain itu, hujan yang terus-menerus dapat
meningkatkan kelembaban di sekitar pertanaman kacang tanah. b) Suhu udara bagi tanaman
kacang tanah tidak terlalu sulit, karena suhu udara minimal bagi tumbuhnya kacang tanah sekitar
28–32oC. Bila suhunya dibawah 10oC menyebabkan pertumbuhan tanaman sedikit terhambat,
bahkan menjadi kerdil karena pertumbuhan bunga yang kurang sempurna. c) Kelembaban udara
untuk tanaman kacang tanah berkisar antara 65-75 %. Adanya curah hujan yang tinggi akan
meningkatkan kelembaban terlalu tinggi di sekitar pertanaman. d) Penyinaran sinar matahari
secara penuh amat dibutuhkan bagi tanaman kacang tanah, terutama kesuburan daun dan
perkembangan tanaman kacang tanah. e) Jenis tanah yang sesuai untuk tanaman kacang tanah
adalah jenis tanah yang gembur atau bertekstur ringan dan subur. f) Derajat keasaman (pH) tanah
yang sesuai untuk budidaya kacang tanah adalah pH antara 6,0–6,5. g) Air. Kekurangan air akan
menyebabkan tanaman kurus, kerdil, layu dan akhirnya mati. Air yang diperlukan tanaman berasal
dari mata air atau sumber air yang ada disekitar lokasi penanaman. Tanah berdrainase baik atau
lahan yang tidak terlalu becek dan tidak terlalu kering, baik bagi pertumbuhan kacang tanah. h)
Ketinggian tempat yang baik dan ideal untuk tanaman kacang tanah adalah pada ketinggian antara
500 m dpl. Jenis kacang tanah tertentu dapat ditanam pada ketinggian tempat tertentu untuk dapat
tumbuh optimal (Mashudi, 2007)
Disamping itu gulma juga sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kacang tanah.
Hasil penelitian Dinarto dan Dian (2012), penyiangan gulma berpengaruh terhadap produksi
kacang tanah, berat 100 biji kacang tanah yang tidak disiangi lebih rendah daripada tanaman yang
disiangi. Produksi kacang tanah yang tidak disiangi menurun 15,90–36,72% dibandingkan
produksi tanaman yang disiangi.
2.2 Penyakit Busuk Batang pada Tanaman Kacang Tanah
2.2.1 Gejala penyakit
Upaya pengembangan tanaman kacang-kacangan salah satunya kacang tanah perlu
didukung dengan perbaikan teknik budi daya, termasuk pengelolaan hama dan penyakit. Tanaman
kacang-kacangan sering diserang oleh penyakit busuk batang yang disebabkan oleh Sclerotium
rolfsii (Agrios, 2005). Menurut Syahputra et al. (2011), gejala penyakit busuk batang pada
kacang tanah, awalnya daun yang dekat dengan permukaan tanah, maupun cabang tanaman
menjadi layu dan kekuningan. Secara berlahan-lahan daun-daun berubah warna menjadi coklat
gelap dan kadang rontok dari tanaman sebelum waktunya. Cabang-cabang menjadi layu dan
berwarna coklat gelap, pada batang bagian bawah yang berdekatan dengan tanah terselubung
miselium berwarna putih. Apabila didukung oleh faktor lingkungan yang baik akan mempercepat
perkembangan gejala sampai ke ranting tanaman dan pada permukaan tanah disekitar tanaman
yang terinfeksi tumbuh banyak sclerotia, awalnya berwarna putih kemudian menjadi coklat gelap
(Purnomo, 2006 ; Agrios, 2005). Serangan parah sering terjadi pada musim hujan, penularannya
lebih cepat sehingga banyak tanaman di suatu area menjadi layu yang menyebabkan penurunan
produksi (Semangun, 2007).
Hasil penelitian Remadi et al. (2012) , Sclerotium rolfsii yang diinokulasikan pada 11
kultivar tanaman kentang, setelah tiga minggu menunjukkan gejala busuk batang. Kultivar tango
menunjukkan gejala yang paling banyak, sedangkan kultivar daisy paling sedikit. Sedangkan itu
kultivar bellini menunjukkan gejala busuk paling parah pada bagian umbi.
Lebih lanjut dilaporkan oleh Wahyu et al. (2013), perlakuan tanaman kedelai yang
diinokulasikan dengan patogen Sclerotium rolfsii, rata-rata tinggi tanaman mengalami penurunan
pada minggu ke–9 sampai ke–12, dibandingkan dengan tanaman kontrol yang tidak diinokulasi
patogen. Pada minggu ke–10 terdapat beberapa tanaman yang terhambat pertumbuhannya dan
kemudian mati. Dari hasil pengamatan gejala yang terlihat, tanaman kedelai mengalami kelayuan.
Astiko et al. (2009) melaporkan, masing-masing varietas kacang tanah lokal Bima yang diuji
ketahanannya terhadap patogen Sclerotium rolfsii, menu njukkan gejala penyakit berupa busuk
pangkal batang, secara perlahan-lahan tanaman akhirnya mati. Tanda yang mudah dikenali dari
penyakit ini adalah terdapatnya miselium jamur berwarna putih seperti bulu, pada permukaan
tanah disekitar tanaman ditemukan banyak sclerotia berwarna coklat (Gambar 2.2).
2.3 Sclerotium rolfsii Sacc. Penyebab Penyakit Busuk Batang pada Tanaman Kacang
Tanah
2.3.1 Karakteristik Sclerotium rolfsii Sacc.
Sclerotium rolfsii Sacc. merupakan jamur patogen tular tanah, dapat menyerang dan
mematikan berbagai jenis tanaman salah satunya adalah kacang tanah. Distribusi penyakit ini bisa
terjadi di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia, serta memiliki kisaran inang yang
luas (Agrios, 2005 ; Richard et al., 2011). Sclerotium rolfsii banyak ditemukan pada musim hujan,
terutama pada tanah yang lembab. Jenis jamur ini dapat membentuk struktur dorman, yaitu
sclerotia pada permukaan tanah atau pangkal batang. Sclerotia mempunyai dinding tebal dan keras
sehingga tahan terhadap keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan, terutama kekeringan
dan suhu tinggi. Masa dorman akan berakhir jika didukung oleh kondisi lingkungan yang cocok
untuk perkembangannya. Zat-zat yang dihasilkan oleh akar tanaman akan menstimulasi sclerotia
untuk segera berkecambah menjadi hifa yang siap menginfeksi bagian tanaman pada daerah
perakaran (rizosfer) (Mulen, 2001 ; Madhuri and Gayathri, 2014 ; Barbosa et al., 2010).
Gambar 2.2
Tanaman kacang tanah yang terserang penyakit busuk batang dengan gejala berat
(Sumber : Koleksi pribadi, 2016)
Jamur Sclerotium rolfsii dapat bertahan hidup dalam tanah tanpa inang dalam jangka waktu
yang lama sebagai sclerotia. Tanah yang lembab dan mengandung bahan organik merupakan
kondisi yang mendukung terjadinya infeksi oleh Sclerotium rolfsii (Magenda et al., 2011).
Kelembaban 70% dapat mendukung perkembangan Sclerotium rolfsii di dalam tanah (Pinheiro
et al., 2010). Sedangkan menurut Sinaga (2006), serangan patogen tular tanah pada tanaman
diawali dengan infeksi pada bagian akar atau batang yang berbatasan dengan permukaan tanah.
Sclerotia
Infeksi menyebabkan transportasi hara dan air terhambat sehingga tanaman layu. Patogen
selanjutnya menyebar ke seluruh bagian tanaman dan menyebabkan pembusukan terutama pada
bagian pangkal batang. Hasil penelitian Isnaini et al. (2016), penyakit busuk batang pada tanaman
buah naga yang ditanam di Lombok Utara, setelah diisolasi dan diidentifikasi disebabkan oleh
jamur Sclerotium rolfsii.
Patogen ini mempunyai kisaran inang yang luas, terutama menyerang tanaman dari
kelompok Leguminoceae, Cruciferaceae, Cucurbitaceae, pisang, jeruk, gandum, padi, tebu, bit
gula, keladi dan tanaman obat-obatan (Mudji, 2015).
Hasil penelitian Akram et al. (2008), 12 isolat yang berhasil diisolasi dari tanaman kacang
buncis yang menunjukkan gejala busuk batang di Pakistan, menunjukkan karakteristik morfologi
koloni yang berbeda-beda. Isolat SR-12 memiliki diametar koloni paling besar yaitu 90 mm,
sedangkan yang paling kecil isolat SR-4 yaitu 16 mm, yang diinkubasi pada suhu kamar (25oC)
selama 5 hari. Lebih lanjut dilaporkan dari hasil penelitian Rasu et al. (2013), ukuran diameter
sclerotia dari masing-masing isolat Sclerotium sp. yang diisolasi dari tanaman yang berbeda,
dengan gejala busuk batang menunjukkan karakteristik sclerotia yang berbeda, ukuran diameter
sclerotia yang diisolasi dari tanaman kacang tanah antara 0,9-1,5 mm, sedangkan ukuran diameter
sclerotia yang diisolasi dari tanaman tomat 1,6 mm.
Sedangkan hasil penelitian Magenda et al. (2011), karakteristik isolat Sclerotium rolfsii,
yang diisolasi dari tanaman kacang tanah dengan gejala busuk batang, setelah ditumbuhkan
pada media PDA, membentuk koloni dengan miselium berwarna putih seperti kapas atau
berbentuk seperti bulu. Sedangkan tipe perkecambahan sclerotia pada media PDA berbentuk
dispersif (hifa keluar dari semua sudut sclerotia) dengan benang-benang halus bercabang
berbentuk seperti kapas dan berwarna putih.
Sedangkan hasil penelitian Sukamto dan Wahyuno (2013) melaporkan, tanaman nilam
yang menunjukkan gejala busuk batang setelah diisolasi dengan media PDA terlihat pertumbuhan
miselium cepat, dengan miselium berwarna putih seperti kapas. Sclerotia mulai terbentuk pada
jamur yang berumur satu minggu, berupa gumpalan-gumpalan putih, kemudian menjadi coklat
berbentuk bulat lonjong, dengan ukuran diameter 1,1-1,84 mm. Hifa jamur Sclerotium sp. asal
nilam berukuran 3,5-7,0 μm, dan ditemukan klam koneksi (clamp connection). Pada bagian koloni
yang berumur enam sampai delapan hari, struktur klam koneksi terlihat pada hifa yang tua, dengan
ukuran lebar 8,75-11,25 μm dan tinggi 6,25-12,50 μm. Berdasarkan hasil karakter morfologi,
jamur yang didapat dari tanaman nilam diidentifikasi sebagai Sclerotium rolfsii. Hifa Sclerotium
rolfsii tidak membentuk spora sehingga untuk identifikasi didasarkan pada karakteristik ukuran,
bentuk, dan warna sclerotia yang biasanya terbentuk antara 8-11 hari pada media buatan .
Pada lapisan dalam sclerotia terdapat gelembung-gelembung yang merupakan cadangan makanan.
Bagian dalam sclerotia yang tua mengandung gula, asam amino, asam lemak, sedangkan bagian
dindingnya mengandung gula, kitin, laminarin, asam lemak dan β 1−3 glukosida. Permukaan
Sclerotium sp. dapat mengeluarkan eksudat antara lain : protein, karbohidrat, enzim
endopoligalakturonase dan asam oksalat. Asam oksalat yang dihasilkan Sclerotium rolfsii bersifat
racun terhadap tanaman (fitotoksik) (Mullen, 2001). Menurut Webster and Weber (2007)
Sclerotium rolfsii termasuk ke dalam Class Deuteromycetes dengan klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom : Fungi
Phylum : Amastigomycotina
Class : Deuteromycetes
Subclass : Deuteromycetidae
Ordo : Agronomycetales
Familia : Agronomycetaceae
Genus : Sclerotium
Species : Sclerotium rolfsii Sacc.
Gambar 2.3
Sclerotium sp. pada media PDA
(Sumber : Koleksi pribadi, 2016)
2.3.2 Siklus hidup Sclerotium rolfsii Sacc.
Sclerotium rolfsii tidak membentuk spora, melainkan sclerotia yang dapat bertahan lama
sampai bertahun-tahun di dalam tanah, hidup secara saprofit, tahan terhadap keadaan lingkungan
yang kurang baik. Apabila sclerotia menemukan inang yang cocok dan didukung oleh faktor
lingkungan yang sesuai maka sclerotia akan berkecambah, miseliumnya akan menginfeksi
tanaman, dengan mengeluarkan enzim-enzim ekstraseluler untuk melakukan penetrasi ke dalam
jaringan tanaman. Chaurasia et al. (2015) melaporkan, Sclerotium rolfsii dapat menghasilkan
enzim ekstraseluler yang disebut dengan polymethyl galacturonase, yang digunakan oleh jamur
ini untuk merusak dinding sel tanaman inang dan berkembang di dalam jaringan tanaman. Apabila
tanaman tidak tahan maka tanaman akan sakit dengan gejala, layu, daun kekuningan dan miselium
berwarna putih akan berkembang terutama di bagian pangkal batang, sehingga pangkal batang
menjadi busuk. Miselium lama kelamaan akan berubah menjadi sclerotia, yang banyak terdapat
di sekitar tanah dan bagian batang. Sclerotia ini akan tetap berada di dalam tanah, dan apabila
menemukan tanaman inang yang cocok akan menginfeksi lagi. Demikian siklus berikutnya terus
terjadi (Mullen, 2001)(Gambar 2.4).
Gambar 2.4
Siklus hidup Sclerotium rolfsii Sacc.
(Sumber : Mullen, 2001)
2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit busuk batang
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit pada tumbuhan meliputi suhu, kelembapan,
cahaya, oksigen, Ph, polusi udara dan defisiensi hara (Agrios. 1996). Faktor fisik, kimia dan
biologi merupak faktor yang sangat mempengaruhi penyakit busuk batang pada tanaman (Ulacio
et al., 2012). Menurut Nurhayati (2011), faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan
penyakit meliputi : suhu, cahaya, kelembaban, udara, aliran air irigasi dan spora patogen. Lebih
lanjut dijelaskan oleh Sumartini (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi cara bertahan hidup
jamur Sclerotium rolfsii sangat kompleks, yaitu faktor abiotik dan biotik yang meliputi suhu,
kelembaban tanah, kandungan oksigen, pH tanah dan mikroorganisme. Pada suhu yang lebih tinggi
akan membentuk sclerotia. sclerotia yang dihasilkan oleh hifa lebih banyak pada lahan kering
daripada di lahan beririgasi. Jumlah sclerotia di dalam tanah organik lebih banyak daripada di
tanah berpasir, karena tanah organik mengandung nutrisi yang lebih tinggi. Pada kelembapan yang
tinggi, infeksi Sclerotium rolfsii pada tanaman semakin meningkat. Sebaliknya jika kelembapan
berkurang intensitas dan luas serangan penyakit berkurang dan miselium akan membentuk
sclerotia. Faktor lingkunga pH dan temperatur sangat mempengaruhi kemampuan Sclerotium
rolfsii dalam menghasilkan enzim-enzim ekstraseluler, yang digunakan untuk mendegradasi
dinding sel tanaman (Chaurasia et al., 2015).
Hasil penelitian Zave et al. (2013), suhu optimum untuk pertumbuhan miselium
Sclerotium rolfsii adalah antara 25-35oC, dan suhu optimum untuk produksi sclerotia adalah antara
20-30°C. Sedangkan pH optimum untuk pembentukan miselium adalah antara 5,5-7,5, dan
pembentukan sclerotia pada pH 7.
Disamping itu Sukamto dan Wahyuno (2013) juga melaporkan suhu berpengaruh terhadap
pertumbuhan jamur secara in vitro. Jamur Sclerotium rolfsii asal nilam tumbuh optimum pada suhu
20-28oC, dan tidak tumbuh pada suhu 5oC. Pada suhu 36oC, jamur ini masih dapat tumbuh, namun
tertekan dibandingkan pada suhu 20-28oC. Dalam populasi jamur Sclerotium sp ada variasi
ekobiologi yang terkait dengan kemampuan adaptasi dari asal masing-masing isolat jamur.
Sedangkan Hasil penelitian Kartini dan Widodo (2000), solarisasi tanah (cahaya matahari)
berpengaruh terhadap patogenisitas Sclerotium rolfsii. Sclerotia yang ditempatkan pada
kedalaman 0,5 cm dari permukaan tanah dan mendapat perlakuan solarisasi selama tiga minggu
hanya menimbulkan gejala busuk pangkal batang pada satu tanaman saja dari total 10 tanaman
yang diinokulasi. Sedangkan gejala penyakit tidak muncul pada semua tanaman yang diinokulasi
dengan sclerotia yang disolarisasi selama 4 minggu dan diletakkan pada kedalaman yang sama.
Sclerotia yang tidak disolarisasi (kontrol), baik yang diletakkan pada kedalaman 0,5 cm maupun
15 cm dari permukaan, serta yang disolarisasi selama 3 dan 4 minggu pada kedalaman 15 cm
berpeluang lebih banyak menimbulkan gejala jika diinokulasikan pada tanaman kacang tanah.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Muthukumar and Venkatesh (2013), dari sembilan karbon
yang diuji, sukrosa adalah karbon yang mampu menyebabkan pertumbuhan miselium Sclerotium
rolfsii maksimum, sedangkan asam amino tryptophan dan phenylalanin merupakan asam amino
untuk pertumbuhan miselium Sclerotium rolfsii maksimal.
2.4 Pengendalian Penyakit Tanaman yang Ramah Lingkungan
Pegendalikan penyakit busuk batang terutama pada tanaman kacang tanah telah banyak
dilakukan dan akan terus diupayakan, untuk menemukan cara pengendalian yang efektif dan aman
bagi lingkungan. Selama ini cara yang paling umum dilakukan oleh petani untuk pengendalian
adalah dengan pestisida kimia, karena hasilnya dapat langsung dilihat dan cepat dirasakan. Tetapi
pemakaian yang tidak tepat dan kurangnya pengetahuan petani mengakibatkan pemakaian
pestisida sintetik menimbulkan dampak negatif pada lingkungan (Rukmana, 1998). Untuk
mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida kimia, mendorong
dibuat kesepakatan internasional untuk membatasi penggunaan bahan-bahan kimia pada proses
produksi terutama pestisida kimia sintetik dalam pengendalian hama dan penyakit di bidang
pertanian, perkebunan dan kehutanan, dengan mulai mengalihkan kepada pemanfaatan jenis-jenis
pestisida yang aman bagi lingkungan (Sembel, 2012).
Pengembangan biopestisida termasuk pestisida nabati merupakan model yang diterapkan
dalam pertanian berkelanjutan yang sedang dikembangkan di Indonesia, untuk mengurangi
dampak pencemaran lingkungan dan meningkatkan keamanan pangan. Kebijakan ditingkat
internasional telah mendorong pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Nasional dalam
perlindungan tanaman, untuk menggalakkan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan
mengutamakan pemanfaatan agens pengendalian hayati atau biopestisida termasuk pestisida
nabati sebagai komponen utama dalam sistem PHT yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
No. 6 tahun 1995 (Soesanto, 2009). Karena pemanfaatan agens pengendalian hayati atau
biopestisida dalam pengelolaan hama dan penyakit relatif aman bagi makhluk hidup dan
lingkungan. Dalam perkembangannya, kemudian dilakukan pengurangan peredaran beberapa jenis
pestisida dengan bahan aktif yang dianggap persisten, yang antara lain dituangkan melalui
Keputusan Menteri Pertanian No. 473/Kpts/Tp.270/6/1996 (Sembel, 2012).
Banyak pengendalian patogen yang telah dilakukan antara lain : pengendalian Sclerotium
rolfsii pada tanaman kacang tanah dengan memanfaatkan mikroorganisme antagonis, yaitu
Hypocrea rufa strain P2 (Thakor et al., 2016). Lebih lanjut dilaporkan oleh Parmer et al. (2015),
tujuh strain Trichoderma sp dapat menghambat pertumbuhan patogen tular tanah Sclerotium
rolfsii, penyebab penyakit busuk batang pada tanaman kacang tanah. Sedangkan Suheri et al.
(2014) melaporkan kombinasi Trichoderma sp dengan kompos, gejala penyakit busuk batang pada
tanaman kacang tanah hanya 8-10% .
Penelitian dan pemanfaatan biopestisida, khususnya pestisida nabati masih terbatas pada
skala laboratorium dan persemaian, tetapi peluang dan pemanfaatan biopestisida dalam
pengendalian hama dan penyakit prospek perkembangannya terus mengalami peningkatan karena
keunggulan yang dimiliki pestisida nabati. Salah satu upaya untuk memasyarakatkan pestisida
nabati adalah dengan penyebarluasan informasi jenis-jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai
pestisida nabati, yang dapat dimanfaatkan dalam pengendalian hama dan penyakit (Suwahyono,
2009).
Masyarakat dunia maupun di Indonesia sekarang ini sudah menyadari akan bahaya residu
pestisida dan bahan kimia sintetis lainnya dalam produk pertanian yang dikonsumsi. Penggunaan
pestisida nabati dapat menghasilkan produk pertanian yang sehat karena bebas dari residu pestisida
sintetik (Sudarmo, 2005). Kondisi ini berdampak positif bagi kesehatan umat manusia, tetapi di
sisi lain juga berdampak negatif bagi produsen atau pengekspor produk pertanian, terutama dari
negara agraris, seperti Indonesia, yang belum mempertimbangkan masalah mutu produk pertanian.
Banyak produk pertanian dari Indonesia yang ditolak oleh negara pengimpor karena terdapat
residu bahan kimia dalam produk tersebut. Dalam menunjang ke arah produksi pertanian yang
sehat dan aman tersebut, pengendalian dengan pestisida nabati merupakan salah satu
pemecahannya dan sangat mendukung pertanian berkelanjutan yang sedang digalakan di Indonesia
akhir-akhir ini. Hal ini didukung oleh semakin meningkatnya kesadaran konsumen dunia yang
membutuhkan dan mengonsumsi produk pertanian yang sehat dan aman terutama dari residu
pestisida kimia (Soesanto, 2009).
2.5 Pestisida Nabati
Pestisida nabati atau pestisida botani adalah semua bahan kimia yang berasal dari
tumbuhan yang menunjukkan aktivitas biologis (bioaktivitas) terhadap hama dan patogen
tanaman. Bahan dasar pestisida nabati berasal dari ekstrak tumbuhan yang ada di lingkungan
sekitar mengandung bahan aktif seperti fenol, alkaloid, saponin, quinone, xanthone yang mudah
terurai di alam sehingga tidak menimbulkan residu yang besar di lingkungan maupun pada produk
pertanian (Suprapta, 2014). Bahan aktif yang terkandung pada tanaman itu disebut sebagai
metabolit sekunder, yang merupakan senyawa metabolit tidak essensial bagi pertumbuhan
organisme, ditemukan dalam bentuk unik berbeda-beda setiap spesies tumbuhan. Senyawa
metabolit sekunder telah digunakan sebagai obat, pewarna dan pestisida . Metabolit sekunder
dapat tersebar di seluruh organ tumbuhan seperti akar, daun, batang, buah, umbi dan kulit.
Produksi metabolit sekunder dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti stres lingkungan dan
genetik, pada jumlah yang sangat besar mampu melindungi tanaman dari serangan hama dan
penyakit (Swahyono, 2009).
Dalam sistem pertanian berkelanjutan yang sedang dikembangkan sekarang di Indonesia,
maupun pertanian organik diberbagai belahan dunia, menyebabkan semakin meningkatya
kebutuhan terhadap pestisida nabati, karena ramah lingkungan dan tidak meninggalkan residu
yang besar di lingkungan dan bahan pangan. Walaupun pestisida nabati memiliki kekurangan dan
juga kelebihan, saat ini sharing pasar pestisida nabati masih sangat kecil, kurang dari 2%, tetapi
pertumbuhan pasar meningkat cukup besar yaitu 10-15% setiap tahun. Hal ini merupakan peluang
yang cukup besar bagi penelitian dan pengembangan pestisida nabati untuk masa yang akan datang
(Suprapta, 2014).
Secara evolusi, tumbuhan telah mengembangkan bahan kimia sebagai alat pertahanan
alami terhadap pengganggunya. Tumbuhan mengandung banyak bahan kimia yang merupakan
metabolit sekunder dan digunakan oleh tumbuhan sebagai alat pertahanan dari serangan organisme
pengganggu. Tumbuhan sebenarnya kaya akan bahan bioaktif, walaupun hanya sekitar 10.000
jenis produksi metabolit sekunder yang telah teridentifikasi, tetapi sesungguhnya jumlah bahan
kimia pada tumbuhan dapat mencapai 400.000. Di Indonesia, sebenarnya sangat banyak jenis
tumbuhan penghasil pestisida nabati, dan diperkirakan ada sekitar 2400 jenis tanaman yang
termasuk kedalam 235 familia (Suryaningsih dan Hadisuganda, 2004).
Seth et al. (2015) melaporkan, ekstrak daun tumbuhan Alpinia allughas mengandung
senyawa aktif dengan kandungan tertinggi yaitu phenol 82,36 µg/ml, berpotensi sebagai fungisida
nabati untuk mengendalika Sclerotium rolfsii dan Rhizoctonia solani. Lebih lanjut Lelono (2009)
melaporkan, ekstrak metanol Gardenia jasminoides menunjukkan aktivitas antijamur yg paling
tinggi terhadap jamur perusak kayu, dibandingkan dengan lima tanaman lainnya. Senyawa aktif
yang berhasil diisolasi bersifat sebagai antijamur yaitu geniposide dan genipin. Kedua senyawa
aktif tersebut mampu menghambat jamur perusak kayu Pleurotus ostreatus. Juga kedua senyawa
aktif ini mampu menghambat patogen lain pada tanaman yaitu Fusarium oxysporum dan
Corynespora crassicola. Sedangkan Suprapta and Khalimi (2012) melaporkan, uji aktivitas
antijamur untuk mengendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman cabai paprika telah
dilakukan dengan menguji 14 jenis tanaman tropis yang ada di Pulau Bali. Dari 14 ekstrak
tanaman yang telah diuji aktivitasnya, lima spesies tanaman yaitu Albizia saman F.Muell, Piper
betle L., Syzygium aromaticum (L.) Merrill & Perry, Sphaeranthus indicus L. dan Alpinia galanga
L. sebagai antijamur yang kuat. Albizia saman memiliki diameter zone hambatan yang paling
besar yaitu 24 mm pada isolat LS05 dan tergolong kuat.
Jenis tanaman dari Familia Asteraceae, Fabaceae dan Euphorbiaceae, dilaporkan paling
banyak mengandung bahan insektisida nabati. Nenek moyang kita telah mengembangkan pestisida
nabati yang ada di lingkungan pemukimannya untuk melindungi tanaman dari serangan
pengganggunya secara alamiah. Mereka memakai pestisida nabati atas dasar kebutuhan praktis
dan disiapkan secara tradisional. Tradisi ini akhirnya hilang karena desakan teknologi yang tidak
ramah lingkungan. Kearifan nenek moyang kita bermula dari kebiasaan menggunakan bahan jamu
(empon-empon), tumbuhan bahan racun (gadung, ubi kayu hijau, pucung dan jenu), tumbuhan
berkemampuan spesifik (mengandung rasa gatal, pahit, bau spesifik, tidak disukai
hewan/serangga, seperti awar- awar, rawe, senthe), atau tumbuhan lain berkemampuan khusus
terhadap hama dan penyakit (biji srikaya, biji sirsak, biji mindi, daun mimba, lerak, dan lain-lain)
(Asmaliyah et al., 2010).
2.6 Potensi Tanaman Mansoa alliacea L. dan Allamanda cathartica L. sebagai Fungisida
Nabati
2.6.1 Deskripsi tanaman Mansoa alliacea L.
Tanaman Mansoa alliacea L. merupakan tanaman tropis yang tumbuh merambat dan hijau
sepanjang tahun. Tanaman ini memiliki banyak batang menjalar yang dapat tumbuh 3-8 meter
dan tampak seperti semak-semak. Dalam bahasa Spanyol, tanaman ini disebut ajos sacha, yang
artinya bawang putih palsu karena daunnya, ketika diremas, memiliki bau dan rasa seperti
bawang putih atau bumbu-bumbuan (Hakim, 2014). Di luar negeri kebanyakan tanaman ini
dikenal dengan sebutan garlic vine, sedangkan di Indonesia dikenal dengan beberapa nama seperti
Stephanus ungu dan bawang putih anggur, karena memiliki bunga berwarna ungu seperti warna
buah anggur, indah dan kebanyakan ditanam sebagai tanaman hias. Daun Mansoa alliacea
berwarna hijau terang dengan panjang mencapai 15 cm dan bunganya berbentuk terompet
berwarna ungu, putih dan ungu keputihan, yang berbunga ungu dan ungu keputihan lebih banyak
disukai ditanam sebagai tanaman hias karena warna bunganya yang lebih menarik dan indah
(Gambar 2.5). Tanaman ini memilki manfaat ganda selain sebagai peneduh, daun dan bunga
tanaman ini dapat mengeluarkan bau yang khas menyengat sehingga tidak disukai serangga
(antiserangga) dan sering ditanam dalam pekarangan rumah sebagai penolak nyamuk maupun ular
(Wikipedia, 2016).
Habitat dan penyebaran tanaman ini, dapat tumbuh di tanah yang padat, tidak dekat air,
di bawah naungan tumbuh-tumbuhan, dan hutan primer. Banyak ditemukan di daerah tropis
dengan curah hujan 1800-3500 mm/tahun, pada suhu antara 20-30οC. Tanaman ini tidak dapat
tumbuh di daerah yang tergenang air atau ladang terbuka. Mansoa alliacea dapat ditemukan
tumbuh liar di hutan hujan tropis seperti di Brazil, Ekuador, Peru, Guyana, Costa Rica, Amazon,
dan Ucayali (Patel et al,. 2013). Di Indonesia tanaman ini kebanyakan ditanam sebagai tanaman
hias, yang menjalar di pagar-pagar pekarangan, di teras maupun di pohon.
Gambar 2.5
Tanaman Mansoa alliacea L.
(Sumber : Koleksi pribadi, 2016)
Menurut Taylor et al. (2013), Mansoa alliacea banyak digunakan secara tradisional
sebagai obat-obatan oleh suku-suku Indian di Amazon. Suku Shipibo-Conibo menggunakan
tumbukan kulit batang dan daun untuk mengobati memar, bengkak, dan kondisi inflamasi kulit
lainnya. Sedangkan cairan kulit batang dan daun digunakan dalam pengobatan rematik, artritis,
pilek, gangguan rahim, inflamasi dan epilepsi. Akarnya dapat sebagai tingtur dan dimanfaatkan
sebagai tonik. Suku Ese’eja menggunakan daunnya sebagai teh untuk mengatasi pilek, sedangkan
suku Amuesha menggunakannya untuk meningkatkan kesuburan. Suku Wayapi dan Creoles
mencampurkan daun Mansoa alliacea dalam air mandi untuk menurunkan demam, kram dan
nyeri otot. Hasil penelitian Towne et al. (2015) menunjukkan, ekstrak daun Mansoa alliacea
dapat menghambat pertumbuhan sel- sel tumor pada tikus percobaan. Di Indonesia tanaman ini
masih kurang mendapat perhatian terutama untuk obat-obatan maupun untuk pemanfaatan yang
lainnya, kebanyakan hanya dimanfaatkan sebagai tanaman hias .
2.6.2 Kandungan kimia tanaman Mansoa alliacea L.
Ekstrak metanol dari daun dan akar mengandung komponen senyawa aktif yang berbeda-
beda. Kandungan senyawa aktif yang paling tinggi dari ekstrak metanol daun yaitu phenol dan
pada akar adalah flavonoid. Senyawa aktif yang dikandung ini berpotensi sebagai antijamur
maupun sebagai antibakteri (Patel et al., 2013). Menurut Zoghbi et al. (2009), tanaman Mansoa
alliacea yang daunnya berbau seperti bawang putih ketika diremas ini dilaporkan mengandung
asam ursolat, yang diketahui berkhasiat sebagai astringen yang menyebabkan penciutan luka dan
peningkatan laju epitelisasi, serta memiliki aktivitas antimikroba. Asam ursolat juga menstimulasi
sintesis kolagen yang sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka.
Lebih lanjut Taylor et al. (2013) melaporkan, ekstrak metanol dari bunga Mansoa alliacea
mengandung β-amirin, β-sitosterol, asam ursolat, β-sitosteril-d-glukosida, apigenin, luteolin, 7-O-
metilskutellarein, apigenin-7-glukosida, apigenin-7-glukuronida, skutellarein-7-glukuronida,
apigenin-7-glukuronil glukuronida, dan apigenin-7-O-metilglukuronida. Alliin, yang terdapat
dalam bawang putih dengan konsentrasi 2,34%, terdapat dalam bunga ini dengan konsentrasi
1,76%. Analisis dari ekstrak metanol daun, 70% menunjukkan keberadaan senyawa alliin
(Zoghbi et al., 2009).
Analisis minyak atsiri dari daun Mansoa aliacea mengandung dialil trisulfida (44,0%)
dan dialil disulfida (37,0%) sebagai komponen utama, serta 1-okten-3-ol (5,0%) dan dialil
tetrasulfida (4,0%) (Taylor et al., 2013). Hasil penelitian Guilhon et al. (2012), ekstrak metanol
dan hexane dari daun Mansoa alliacea menunjukkan aktivitas antimikrobia terhadap 10 jenis
mikoorganisme uji antara lain : Psedomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus.
2.6.3 Deskripsi tanaman Allamanda cathartica L.
Tanaman Allamanda cathartica L. di Indonesia dikenal dengan nama alamanda,
merupakan tanaman hias, tergolong tanaman liana atau merambat, memiliki batang berkayu
berwarna coklat tua, bunga berbentuk terompet berwarna kuning terang, daun mengkilat
berbentuk lanset berwarna hijau. Di Indonesia tanaman ini banyak ditemukan di Pulau Jawa dan
Bali (Abuanjeli, 2014).
Menurut Hakim (2014), tanaman alamanda memiliki habitus perdu, tinggi 4-5 m, batang
berkayu, bulat, berbuku-buku, tiap buku terdapat daun yang melingkar, empat sampai lima helai,
bergetah, percabangan monopodial, cabang muda hijau, atas ungu, putih kehijauan. Daun tunggal,
lonjong, tepi rata melipat kebawah, ujung dan pangkal meruncing, panjang 5-16 cm, lebar 2,5-5
cm, tebal, pertulangan menyirip, berwarna hijau. Bunga majemuk, bentuk tandan, berkelamin dua,
di ujung cabang dan ketiak daun, tangkai silindris, pendek, hijau, kelopak bentuk lanset,
permukaan halus, hijau, benang sari tertancap pada mahkota, mahkota berseling pada lekukan,
tangkai putik silindris, kepala putik bercangap dua, berwarna kuning, mahkota bentuk terompet
atau corong, permukaan rata, kuning. Buah kotak, bulat, diameter ± 1,5 cm. Biji bentuk segitiga,
masih muda hijau keputih-putihan setelah tua hitam. Akar tunggang, berwarna putih kecoklatan
(Gambar 2.6).
2.6.4 Kandungan kimia tanaman Allamanda cathartica L.
Hasil penelitian Kusmiati et al. (2014), penapisan fitokimia ekstrak daun alamanda
mengandung senyawa golongan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin galat, steroid dan triterpenoid.
Sedangkan Essiett and Esther (2015) melaporkan, batang, daun dan bunga alamanda
mengandung tanin, flavonoid, saponin, anthraquinon, dan alkaloid, dengan kandungan tertinggi
terdapat pada daun yaitu 3%, 1,5% pada batang dan 1% pada bunga. Disamping itu juga
mengandung nutrisi pada batang, daun dan bunga berturt-turut antara lain : Protein (%) 1,50, 6,80,
2,50 ; lemak (%) 2,0, 3,0, 5 ; serat kasar (%) 24,0, 23,20, 22,0 ; karbohidrat (%) 72,0, 60,0, 69,0.
Kandungan senyawa aktif yang dimiliki oleh alamanda berpotensi sebagai antimikrobia dan
sebagai obat herbal.
Hasil pengujian aktivitas antimikroba menunjukkan fase petroleum eter daun alamanda
memiliki diameter zona hambatan paling besar yaitu 10,45 mm, diikuti fase etil asetat, fase
kloroform dan fase metanol berturut-turut sebesar 7,33 mm, 8,59 mm dan7,02 mm terhadap
Candida albicans (Kusmiati et al., 2014). Sedangkan hasil penelitian Razu and Ismail (2015),
pemberian perlakuan ekstrak kasar daun alamanda pada biji padi sebelum ditanam, hanya terjadi
infeksi penyakit 3,46%, menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kontrol yaitu 10,96%.
Hasil penelitian Prabhadevi et al. (2012), kandungan kimia komponen aktif pada daun alamanda
berpotansi sebagai antijamur, pestisida dan untuk obat-obatan. Alamanda merupakan tanaman hias
yang secara empiris digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit, yang dalam dosis kecil
memiliki khasiat sebagai obat penangkal keracunan, antimuntah dan cuci perut.
Gambar 2.6
Tanaman Allamanda cathartica L.
(Sumber : Koleksi pribadi, 2016)
2.7 Ekstrak Daun Tanaman Mansoa alliacea L. dan Allamanda cathartica L.
Hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan, campuran ekstrak daun Mansoa
alliacea L. dan Allamanda cathartica L mampu menghasilkan daya hambat yang lebih besar, yaitu
dengan diameter zone hambatan 42 mm (Gambar 2.7). Dibandingkan dengan pengujian tunggal
masing-masing ekstrak daun tersebut menghasilkan diameter zone hambatan yang lebih kecil
yaitu ekstrak daun Mansoa alliacea L. 30 mm dan Allamanda cathartica L.
9 mm.
Gambar 2.7
Pertumbuhan jamur Sclerotium sp. pada media PDA yang diberi perlakuan
campuran ekstrak daun Mansoa alliacea L. dan Allamanda cathartica L.
(Sumber : Koleksi pribadi, 2016)
A B
Gambar 2.8
Pertumbuhan jamur Sclerotium sp. pada media PDA yang diberi perlakuan
tunggal (A) ekstrak daun Mansoa alliacea L. (B) ekstrak daun Allamanda cathartica L.
(Sumber : Koleksi pribadi, 2016)
Zone hambatan
Jamur Sclerotium sp.