bab ii tinjauan pustaka

10
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Umum Kentang Kentang (Solanum tuberosum L) merupakan jenis tanaman sayuran semusim, berumur pendek dan berbentuk perdu atau semak. Kentang termasuk tanaman semusim. Umur kentang berkisar antara 90-180 hari bergantung pada varietasnya. Tanaman kentang umumnya berdaun rimbun dan letak daun berseling-seling mengelilingi batang dengan bentuk daun oval sampai oval agak bulat dan ujungnya meruncing. Batangnya berbentuk segi empat atau segi lima, bergantung pada varietasnya. Sistem perakaran tanaman kentang adalah perakaran tunggang dan serabut. Diantara akar akar tersebut ada yang akan berubah bentuk dan fungsinya menjadi bakal umbi (stolon) dan selanjutnya menjadi umbi kentang. Dalam sistematika tumbuhan (taksonomi), kentang diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Tubiflorae Famili : Solanaceae Genus : Solanum Spesies : Solanum tuberosum L. 2.2 Varietas Kentang Dalam sejarah perkembangan teknologi pemuliaan tanaman sejak dimulainya pembangunan lima tahun pertama (tahun 1969), khususnya kentang, telah menghasikan beberapa varietas yaitu: varietas Thung, Cosima, Patrones, Desiree, Radosa, Catella, Donata, dan Rapan. Penelitian selanjutnya akhirnya dapat menemukan varietas baru yang dapat meningkatkan produksi kentang yaitu varietas Granola. Varietas Granola lebih populer dibandingkan varietas baru lainya yaitu seperti French Fries, Diamant, Cardinal, Primiere, Ausonia, Famosa, Hertha, Sante, Cipanas, Segunung, Alpha, Draga, Narita, Spunta, Redpontiac, Aquila, Kenebec, dan Crebella. Varietas-varietas baru itu memiliki

Upload: watiee-prastyo

Post on 08-Dec-2014

51 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Umum Kentang

Kentang (Solanum tuberosum L) merupakan jenis tanaman sayuran

semusim, berumur pendek dan berbentuk perdu atau semak. Kentang termasuk

tanaman semusim. Umur kentang berkisar antara 90-180 hari bergantung pada

varietasnya. Tanaman kentang umumnya berdaun rimbun dan letak daun

berseling-seling mengelilingi batang dengan bentuk daun oval sampai oval agak

bulat dan ujungnya meruncing. Batangnya berbentuk segi empat atau segi lima,

bergantung pada varietasnya. Sistem perakaran tanaman kentang adalah perakaran

tunggang dan serabut. Diantara akar – akar tersebut ada yang akan berubah bentuk

dan fungsinya menjadi bakal umbi (stolon) dan selanjutnya menjadi umbi

kentang. Dalam sistematika tumbuhan (taksonomi), kentang diklasifikasikan

sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Tubiflorae

Famili : Solanaceae

Genus : Solanum

Spesies : Solanum tuberosum L.

2.2 Varietas Kentang

Dalam sejarah perkembangan teknologi pemuliaan tanaman sejak

dimulainya pembangunan lima tahun pertama (tahun 1969), khususnya kentang,

telah menghasikan beberapa varietas yaitu: varietas Thung, Cosima, Patrones,

Desiree, Radosa, Catella, Donata, dan Rapan. Penelitian selanjutnya akhirnya

dapat menemukan varietas baru yang dapat meningkatkan produksi kentang yaitu

varietas Granola. Varietas Granola lebih populer dibandingkan varietas baru

lainya yaitu seperti French Fries, Diamant, Cardinal, Primiere, Ausonia, Famosa,

Hertha, Sante, Cipanas, Segunung, Alpha, Draga, Narita, Spunta, Redpontiac,

Aquila, Kenebec, dan Crebella. Varietas-varietas baru itu memiliki

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka

keunggulannya masing-masing, yaitu tampak dari segi bentuk, ukuran, warna

daging umbi, kadar gula, dan kadar air umbi yang dihasilkan. Selain itu juga

tampak dari segi daya adaptasi terhadap lingkungan, ketahanan terhadap hama dan

penyakit, serta produktivitas tanaman. Berikut deskripsi beberapa varietas kentang

yang laku di pasaran dan memiliki nilai ekonomi tinggi adalah :

1. Varietas Granola

Varietas Granola berpotensi produksi tinggi, yaitu mencapai 30-35 ton/ha.

Umbi berbentuk bulat sampai oval dan berkualitas baik. Kulit dan daging

umbi berwarna kuning. Umur tanaman ini tergolong pendek, yakni 80-90

hari.

2. Varietas Cipanas

Varietas ini merupakan hasil persilangan antara varietas Thung 1510 dengan

Desiree. Varietas ini termasuk jenis kentang berbunga yang mampu tumbuh

mencapai ketinggian 50-56 cm. Potensi hasil dapat mencapai 34 ton/ha dan

dapat dipanen pada umur 95-105 hari.

3. Vairetas Cosima

Varietas Cosima diintroduksi dari Jerman Barat. Umbi memiliki permukaan

yang rata, kulit berwarna kuning muda, dan daging berwarna kuning tua.

Potensi hasil mencapai 36 ton/ha, dengan umur panen 101 hari.

4. Varietas Segunung

Varietas ini merupakan hasil persilangan antara varietas Thung 151C dengan

Desiree. Varietas ini memiliki umbi berbentuk bulat lonjong, dan kulit serta

daging umbi berwarna kuning. Potensi hasil mencapai 25 ton/ ha.

2.3 Syarat Tumbuh

Persyaratan kebutuhan hidup tanaman kentang meliputi : ketinggian, suhu,

cahaya, dan tanah.

1. Ketinggian

Daerah yang cocok untuk menanam kentang adalah dataran tinggi atau daerah

pegunungan dengan ketinggian 1.000–3.000 meter diatas permukaan laut

(mdpl). Batasan minimum ketinggian lahan yang masih bisa ditanami kentang

adalah 300–700 mdpl.

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka

2. Suhu

Suhu rata – rata yang sesuai untuk pertumbuhan kentang adalah 18o – 21

oC.

sedangkan suhu tanah optimum untuk pembentukan umbi yang normal

berkisar antara 15o

–18oC, pertumbuhan umbi akan terhambat bila suhu tanah

kurang dari 10oC atau lebih dari 30

oC.

3. Cahaya

Faktor cahaya penting untuk pertumbuhan adalah intensitas cahaya dan lama

penyinaran. Semakin tinggi intensitas cahaya yang diterima maka akan

mempercepat proses pembentukan umbi dan waktu pembungaan yaitu 1.200

foot candle. Lama penyinaran yang diperlukan oleh tanaman kentang untuk

proses fotosintesis adalah 9–10 jam per hari. Lama penyinaran juga

berpengaruh terhadap pembentukan umbi terutama pada saat umbi baru mulai

terbentuk dan pada tahap perkembangan umbi di dalam tanah.

4. Tanah

Tanaman kentang membutuhkan tanah yang subur, gembur, banyak

mengandung bahan organik, bersolum dalam, aerasi dan drainase yang baik

dengan tingkat pH 5,0-6,5. Derajat kemiringan tanah yang diterima adalah

kurang dari 30 persen selebihnya sudah merupakan faktor penghambat yang

besar. Pembudidayaan kentang ditempat miring atau bergelombang

memerlukan terasering dan tanggul-tanggul.

2.4 Panen dan Pasca Panen

Panen adalah proses pengambilan komponen-komponen produksi dengan

tujuan untuk dikonsumsi, diolah, dipasarkan atau digunakan untuk keperluan

lainnya. Sedangkan penanganan pascapanen meliputi semua kegiatan perlakuan

dan pengolahan langsung terhadap produk pangan, tanpa mengubah struktur asli

produk.

Pemanenan dilakukan dengan memperhatikan dua hal, yaitu umur

tanaman dan teknik memanen. Kentang dipanen apabila telah cukup umur yaitu

90–120 hari atau dengan melihat ciri tanaman yang siap panen yaitu, daun dan

batang berwarna kekuning–kuningan tetapi bukan karena penyakit. Dalam

pemanenan terdapat dua cara, yaitu (1) umbi dibongkar dnegan mencangkul tanah

sebelah kiri dan kanan lalu mengangkatnya hingga semua umbi keluar dari tanah,

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka

(2) umbi dibongkar dengan menggemburkan tanah dari sebelah kiri dan kanan

sepanjang bedengan lalu umbi dibongkar dengan cara mencabutnya. Umbi

kentang yang telah dipanen dibiarkan terlebih dahulu beberapa saat hingga tanah

yang menempel terlepas dan umbi mengering.

Kegiatan pascapanen yang dilakukan untuk komoditas kentang meliputi

pembersihan, sortasi dan grading, penyimpanan, pengemasan, dan pengangkutan.

Kegiatan pembersihan dilakukan untuk mengurangi atau meniadakan jasad-jasad

renik, sisa-sisa tanah yang masih tertempel dan berbagai macam kotoran yang bisa

menjadi sumber patogen dan dapat merusak umbi pada saat proses penyimpanan.

Sortasi dilakukan untuk memisahkan umbi yang baik dan sehat, yaitu umbi yang

tidak cacat dan tidak terserang hama atau penyakit. Kegiatan sortasi ini dapat

mencegah penularan penyakit dari umbi yang rusak. Setelah kegiatan sortasi,

dilakuan grading yaitu pengelompokkan umbi kentang yang sehat menurut

ukuran umbi, varietas, dan tingkat ketuaan umbi. Mutu kentang secara umum

dapat dibedakan menjadi empat golongan mutu, yaitu :

1) Mutu super (Kelas I), mempunyai bobot 250-400 gram

2) Mutu besar (Kelas II), mempunyai bobot 100-250 gram

3) Mutu Sedang (Kelas III), mempunyai bobot 60-100 gram

4) Mutu Kecil (Kelas IV), mempunyai bobot 30-60 gram

Penyimpanan kentang untuk dikonsumsi dilakukan di dalam ruang gelap,

suhu yang rendah dan kelembapan yang sedang. Ruang penyimpanan harus benar-

benar terlindungi dari cahaya, karena cahaya dapat merangsang pertumbuhan

tunas dan warna umbi berubah menjadi hijau yang menunjukkan adanya racun

solanin yang berbahaya bagi tubuh. Kentang yang keadaannya seperti itu nilai

ekonomisnya akan turun. Sortasi dan pengelompokkan mutu dapat dilakukan di

gudang penyimpanan atau dapat juga dilakukan di kebun setelah panen.

Kegiatan pengemasan bertujuan untuk melindungi hasil-hasil pertanian

dari kerusakan mekanis ataupun kerusakan fisiologis. Bahan pengemas kentang

dapat berupa peti kayu, krat, yang berbentuk silinder atau segi empat yang

memiliki ventilasi. Pada kegiatan pengemasan hendaknya diberi pelindung berupa

jerami atau guntingan-guntingan kertas pada dasar dan tepi alat pengemar agar

dapat mengurangi benturan. Kegiatan pengangkutan juga hendaknya dilakukan

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka

dengan baik dan memperhatikan penataan barang di dalam alat angkut.

Penyesuaian penggunaan alat angkut dengan jarak tempuh yang dituju dan

volume yang hendak diangkut juga perlu diperhatikan agar penggunaan alat

angkut lebih efisien dan tidak membutuhkan biaya yang tinggi.

2.5 Penelitian Terdahulu

2.5.1 Penelitian mengenai Sistem Tataniaga

Penelitian Agustina (2008) mengidentifikasi saluran, lembaga dan fungsi

tataniaga, dan menganalisis keragaan pasar, margin tataniaga, farmer’s share,

rasio keuntungan terhadap biaya pada komoditas kubis di Desa Cimenyan,

Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Terdapat tiga saluran tataniaga kubis

di Desa Cimenyan yaitu: (1) Petani Pedagang Pengumpul I Grosir

Pengecer Konsumen. (2) Petani Pedagang Pengumpul II Grosir

Pengecer Konsumen. (3) Petani Grosir Pengecer Konsumen. Saluran

dua dibagi menjadi dua bagian, pertama pemasaran di daerah produksi (lokal) dan

kedua pemasaran di luar daerah produksi.

Struktur pasar yang dihadapi petani kubis dan pedagang pengumpul I yaitu

oligopsoni. Pedagang pengumpul II, grosir dan pengecer menghadapi pasar

oligopoli. Perilaku pasar diidentifikasi dengan mengamati kegiatan tataniaga

dalam proses pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, sistem

pembayaran dan kerjasama antar lembaga tataniaga kubis di Desa Cimenyan.

Alternatif saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar

bagi petani dibandingkan dengan saluran lainnya berdasarkan nilai total margin,

farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya adalah saluran tiga dengan nilai

total margin sebesar Rp 1.681,87, farmer’s share terbesar yaitu 55,81 persen,

rasio keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu 2,28.

Rachma (2008) melakukan penelitian mengenai Efisiensi Tataniaga Cabai

Merah (Studi Kasus Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis,

Provinsi Jawa Barat). Pendekatan penelitian dilakukan melalui analisis deskriptif

terhadap analisis saluran, lembaga, dan fungsi tataniaga, analisis struktur dan

perilaku pasar. Selain itu, analisis secara kuantitatif juga dilakukan terhadap

margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya.

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima jenis saluran tataniaga

cabai merah di Desa Cibeureum. Saluran tataniaga I : pedagang pengumpul

pedagang grosir pedagang pengecer II. Saluran tataniaga II terdiri dari

pedagang pengumpul pedagang gosir pedagang pengecer I dan pedagang

pengecer II. Saluran tataniaga III terdiri dari pedagang pengumpul pedagang

grosir pedagang pengecer II. Sedangkan saluran tataniaga IV terdiri dari

pedagang pengumpul pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II. Saluran

V terdiri dari pedagang pengumpul pedagang pengecer I.

Struktur pasar yang terjadi dalam tataniaga cabai merah di Desa

Cibeureum adalah monopsoni karena hanya ada satu pedagang pengumpul yang

menampung langsung keseluruhan hasil pertanian cabai merah dari petani di Desa

Cibeureum dan beberapa penjual di setiap tingkat lembaga tataniaga lainnya.

Analisis perilaku pasar menunjukkan bahwa terjadi transaksi dengan nota

penjualan antara petani, pedagang pengumpul, dan pedagang grosir. Sedangkan

transaksi antara pedagang grosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II

adalah secara tunai. Lembaga penentu harga cabai merah adalah pedagang grosir.

Hasil analisis margin tataniaga menunjukkan margin terbesar terdapat

pada saluran II, III, dan IV, sedangkan margin terkecil terdapat pada saluran I dan

V. Secara operasional dari kelima saluran tataniaga cabai merah yang ada, saluran

V merupakan saluran tataniaga yang paling efisien. Hal ini terlihat dari margin

tataniaga yang rendah, farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya yang

paling tinggi.

Pada penelitian ini, juga diberikan alternatif saluran yang memberikan

keuntungan bagi petani dengan membuat beberapa skenario saluran tataniaga

yang belum dilakukan oleh petani melalui pendekatan margin tataniaga, farmer’s

share, dan rasio keuntungan dan biaya. Berdasarkan analisis skenario alternatif

saluran tataniaga dengan pendekatan margin tataniaga, saluran tataniaga cabai

merah yang paling efisien adalah saluran X dan XI yang memberikan margin

tataniaga paling kecil. Hal ini dikarenakan volume pembelian dari kedua jenis

pedagang pengecer tersebut relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pedagang

grosir. Pedagang grosir harus tetap dijadikan tujuan distribusi utama petani karena

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka

volume pembelian yang dilakukannya relatif besar sehingga semua hasil panen

petani dapat disalurkan.

Penelitian A’yun (2010) menganalisis sistem tataniaga bawang daun

(Allium fistulosum L.) di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur. Saluran

tataniaga pada sistem tataniaga bawang daun di kawasan agropolitan berjumlah

dua saluran utama yaitu saluran I terdiri dari petani pedagang pengumpul desa

pedagang pengecer (Pasar Bekasi) konsumen, saluran II terdiri dari petani

pedagang pengumpul desa pedagang grosir (Pasar Induk) pedagang

pengecer (Pasar Tradisional di Depok, Jakarta, Tanggerang) konsumen, dan

dua saluran alternatif yaitu saluran III terdiri dari petani pedagang pengumpul

desa konsumen (restoran), dan saluran IV terdiri dari petani pedagang

pengumpul desa supplier pedagang pengecer (Supermarket) konsumen.

Struktur pasar yang dihadapi oleh petani bawang daun adalah pasar

bersaing. Pedagang pengumpul dengan supplier, dan restoran menghadapi struktur

pasar oligopsoni. Pedagang pengumpul dengan pedagang grosir dan pedagang

pengecer menghadapi struktur pasar bersaing. Supermarket menghadapi struktur

pasar oligopoli, dan pedagang pengecer di pasar tradisional menghadapi pasar

bersaing. Saluran tataniaga yang paling efisien adalah saluran II yaitu dengan

biaya tataniaga paling rendah yaitu Rp 1.785,96 per kilogram, dan nilai rasio dan

keuntungan biaya yang paling besar yaitu 1,52.

Noviana (2011) melakukan penelitian mengenai Analisis Sistem Tataniaga

Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Desa Cipendawa,

Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur). Ada dua pola saluran tataniaga jamur

tiram putih yang terbentuk dengan volume penjualan 430 kg per hari. Saluran I :

Petani Pedagang Pengumpul Desa Pedagang Besar/ Grosir Pedagang

Pengecer Konsumen Akhir. Saluran II : Petani Konsumen Akhir (rumah

tangga). Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga

yang terlibat meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas.

Struktur pasar yang terjadi antara petani jamur tiram putih dan pedagang

pengumpul di Desa Cipendawa cenderung mengarah pada pasar monopsoni,

struktur pasar yang terjadi antara pedagang pengumpul desa dan pedagang

besar/grosir cenderung bersifat monopsoni, dan struktur pasar yang terjadi antara

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka

pedagang besar/grosir dengan pedagang pengecer cenderung mengarah kepada

oligopoli murni, serta struktur pasar yang terjadi di tingkat pedagang pengecer

dengan konsumen akhir cenderung mengarah ke struktur persaingan murni.

Margin tataniaga terdapat pada saluran I sedangkan saluran II tidak

memiliki margin tataniaga. Hal ini disebabkan pada saluran dua penjualan jamur

tiram putih tidak melibatkan lembaga-lembaga tataniaga perantara.

Penelitian Wacana (2011) menganalisis pola saluran, fungsi, struktur dan

perilaku pasar, serta efisiensi saluran tataniaga bawang merah di Kelurahan

Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Saluran tataniaga bawang merah

di Kelurahan Brebes terdiri dari empat saluran tataniaga, yaitu pola saluran

tataniaga I : Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Pengirim Pedagang

Besar Non Lokal (Sumatera) Pedagang Pengecer Non Lokal (Sumatera)

Konsumen Non Lokal. Sedangakn pola saluran tataniaga II : Petani Pedagang

Pengumpul Pedagang Pengirim Pedagang Besar Non Lokal (Jawa)

Pedagang Pengecer Non Lokal (Jawa) Konsumen Non Lokal. Pola saluran

tataniaga III : Petani Pedagang Besar Lokal Pedagang Pengecer Lokal

Konsumen Lokal, dan pola saluran tataniaga IV: Petani Pedagang Pengecer

Lokal Konsumen Lokal.

Struktur pasar yang dihadapi oleh petani bersifat persaingan sempurna,

struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul dan pedagang pengirim lebih

mengarah kepada pasar oligopoli. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang

pengecer adalah pasar persaingan monopolistik. Sistem penentuan harga baik di

tingkat petani hingga pedagang pengecer terjadi melalui proses tawar menawar

hingga tercapai kesepakatan bersama.

Berdasarkan analisis efisiensi tataniaga yang dilakukan terhadap empat

pola saluran tataniaga bawang merah yang terjadi di Kelurahan Brebes didapat

bahwa pola saluran IV merupakan pola saluran yang paling efisien, karena

memiliki margin tataniaga yang kecil dan farmer’s share yang besar, namun

jumlah petani responden yang terlibat dalam pola saluran IV relatif sedikit

dibandingkan pola saluran lain. Pola saluran tataniaga I dianggap sebagai pola

saluran yang paling menguntungkan bagi petani ataupun bagi lembaga tataniaga

lainnya. Hal ini dikarenakan pada pola saluran I ini memiliki volume penjualan

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka

bawang merah yang lebih besar sehingga menghasilkan keuntungan total yang

lebih besar pula.

2.5.2 Penelitian mengenai Analisis Keterpaduan Pasar

Agustina (2008) menganalisis keterpaduan pasar kubis antara pasar

produsen-pasar Induk Caringin dan pasar produsen - pasar Induk Kramat Jati.

Analisis keterpaduan pasar kubis ini menggunakan metode Autoregressive

Distributed Lag model dan Index of Market Connection (IMC). Hasil analisis

keterpaduan pasar menunjukkan bahwa pada kedua pola analisis tersebut

memiliki keterpaduan jangka pendek dengan nilai IMC masing-masing < 1 yaitu

0,920 dan 0,228. Nilai koefisien b2 pada masing-masing analisis < 1 yaitu 0,459

dan 0,674. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada keterpaduan jangka panjang

antara kedua pola tersebut. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa

struktur pasar yang terjadi dalam tataniaga kubis ini adalah tidak bersaing

sempurna.

Rachma (2008) melakukan analisis keterpaduan pasar cabai merah antara

pasar petani di Desa Cibereum dengan Pasar Induk Caringin Bandung sebagai

pasar acuan. Hasil analisis keterpaduan pasar menunjukkan nilai IMC > 1, yaitu

sebesar 2,205 artinya tidak ada keterpaduan jangka pendek dan nilai koefisien 2b

memiliki nilai < 1, yaitu sebesar 0,275 menunjukkan tidak ada keterpaduan jangka

panjang. Hal ini menunjukkan bahwa struktur pasar yang terjadi dalam

tataniagacabai merah ini adalah tidak bersaing sempurna. Persaingan yang tidak

sempurna dalam tataniaga cabai merah ini menunjukkan bahwa sistem tataniaga

cabai merah di lokasi penelitian belum efisien.

Dari hasil-hasil penelitian terdahulu dapat dilihat bahwa pada umumnya

sistem tataniaga komoditas hortikultura di Indonesia belum efisien. Hal ini dapat

dilihat dari sebaran margin yang tidak merata diantara lembaga tataniaga yang

terlibat. Petani sebagai produsen memperoleh bagian yang lebih kecil

dibandingkan dengan pedagang. Selain itu juga, informasi harga pasar dari tingkat

pedagang tidak dapat disalurkan dengan baik kepada pasar di tingkat petani.

Artinya, diantara kedua tingkat pasar tersebut tidak terdapat keterpaduan pasar.

Alat analisis yang paling banyak untuk menganalisis tingkat keterpaduan

pasar adalah dengan menggunakan model Ravallion dan Heytens (1986). Model

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka

ini dapat mengurangi kelemahan model analisis korelasi harga yang menganggap

perubahan harga di tingkat konsumen dengan produsen bergerak pada waktu yang

sama. Dengan demikian diharapkan hasil analisis dengan mempertimbangkan

perubahan (harga) pada waktu sebelumnya dapat lebih menunjukkan kondisi

sebenarnya. Atas pertimbangan tersebut, untuk menganalisis tingkat keterpaduan

pasar digunakan alat analisis model Ravallion dan Heytens (1986).

Terdapat beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian

sebelumnya yaitu terletak pada komoditas, waktu dan lokasi tempat penelitian

dilakukan. Pada penelitian ini dianalisis keterpaduan pasar kentang, yaitu pasar

lokal (produsen) dengan menggunakan satu pasar acuan yaitu Pasar Induk

Tanjung Bajurai Sungai Penuh.