bab ii tinjauan pustaka
TRANSCRIPT
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Umum Kentang
Kentang (Solanum tuberosum L) merupakan jenis tanaman sayuran
semusim, berumur pendek dan berbentuk perdu atau semak. Kentang termasuk
tanaman semusim. Umur kentang berkisar antara 90-180 hari bergantung pada
varietasnya. Tanaman kentang umumnya berdaun rimbun dan letak daun
berseling-seling mengelilingi batang dengan bentuk daun oval sampai oval agak
bulat dan ujungnya meruncing. Batangnya berbentuk segi empat atau segi lima,
bergantung pada varietasnya. Sistem perakaran tanaman kentang adalah perakaran
tunggang dan serabut. Diantara akar – akar tersebut ada yang akan berubah bentuk
dan fungsinya menjadi bakal umbi (stolon) dan selanjutnya menjadi umbi
kentang. Dalam sistematika tumbuhan (taksonomi), kentang diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Tubiflorae
Famili : Solanaceae
Genus : Solanum
Spesies : Solanum tuberosum L.
2.2 Varietas Kentang
Dalam sejarah perkembangan teknologi pemuliaan tanaman sejak
dimulainya pembangunan lima tahun pertama (tahun 1969), khususnya kentang,
telah menghasikan beberapa varietas yaitu: varietas Thung, Cosima, Patrones,
Desiree, Radosa, Catella, Donata, dan Rapan. Penelitian selanjutnya akhirnya
dapat menemukan varietas baru yang dapat meningkatkan produksi kentang yaitu
varietas Granola. Varietas Granola lebih populer dibandingkan varietas baru
lainya yaitu seperti French Fries, Diamant, Cardinal, Primiere, Ausonia, Famosa,
Hertha, Sante, Cipanas, Segunung, Alpha, Draga, Narita, Spunta, Redpontiac,
Aquila, Kenebec, dan Crebella. Varietas-varietas baru itu memiliki
keunggulannya masing-masing, yaitu tampak dari segi bentuk, ukuran, warna
daging umbi, kadar gula, dan kadar air umbi yang dihasilkan. Selain itu juga
tampak dari segi daya adaptasi terhadap lingkungan, ketahanan terhadap hama dan
penyakit, serta produktivitas tanaman. Berikut deskripsi beberapa varietas kentang
yang laku di pasaran dan memiliki nilai ekonomi tinggi adalah :
1. Varietas Granola
Varietas Granola berpotensi produksi tinggi, yaitu mencapai 30-35 ton/ha.
Umbi berbentuk bulat sampai oval dan berkualitas baik. Kulit dan daging
umbi berwarna kuning. Umur tanaman ini tergolong pendek, yakni 80-90
hari.
2. Varietas Cipanas
Varietas ini merupakan hasil persilangan antara varietas Thung 1510 dengan
Desiree. Varietas ini termasuk jenis kentang berbunga yang mampu tumbuh
mencapai ketinggian 50-56 cm. Potensi hasil dapat mencapai 34 ton/ha dan
dapat dipanen pada umur 95-105 hari.
3. Vairetas Cosima
Varietas Cosima diintroduksi dari Jerman Barat. Umbi memiliki permukaan
yang rata, kulit berwarna kuning muda, dan daging berwarna kuning tua.
Potensi hasil mencapai 36 ton/ha, dengan umur panen 101 hari.
4. Varietas Segunung
Varietas ini merupakan hasil persilangan antara varietas Thung 151C dengan
Desiree. Varietas ini memiliki umbi berbentuk bulat lonjong, dan kulit serta
daging umbi berwarna kuning. Potensi hasil mencapai 25 ton/ ha.
2.3 Syarat Tumbuh
Persyaratan kebutuhan hidup tanaman kentang meliputi : ketinggian, suhu,
cahaya, dan tanah.
1. Ketinggian
Daerah yang cocok untuk menanam kentang adalah dataran tinggi atau daerah
pegunungan dengan ketinggian 1.000–3.000 meter diatas permukaan laut
(mdpl). Batasan minimum ketinggian lahan yang masih bisa ditanami kentang
adalah 300–700 mdpl.
2. Suhu
Suhu rata – rata yang sesuai untuk pertumbuhan kentang adalah 18o – 21
oC.
sedangkan suhu tanah optimum untuk pembentukan umbi yang normal
berkisar antara 15o
–18oC, pertumbuhan umbi akan terhambat bila suhu tanah
kurang dari 10oC atau lebih dari 30
oC.
3. Cahaya
Faktor cahaya penting untuk pertumbuhan adalah intensitas cahaya dan lama
penyinaran. Semakin tinggi intensitas cahaya yang diterima maka akan
mempercepat proses pembentukan umbi dan waktu pembungaan yaitu 1.200
foot candle. Lama penyinaran yang diperlukan oleh tanaman kentang untuk
proses fotosintesis adalah 9–10 jam per hari. Lama penyinaran juga
berpengaruh terhadap pembentukan umbi terutama pada saat umbi baru mulai
terbentuk dan pada tahap perkembangan umbi di dalam tanah.
4. Tanah
Tanaman kentang membutuhkan tanah yang subur, gembur, banyak
mengandung bahan organik, bersolum dalam, aerasi dan drainase yang baik
dengan tingkat pH 5,0-6,5. Derajat kemiringan tanah yang diterima adalah
kurang dari 30 persen selebihnya sudah merupakan faktor penghambat yang
besar. Pembudidayaan kentang ditempat miring atau bergelombang
memerlukan terasering dan tanggul-tanggul.
2.4 Panen dan Pasca Panen
Panen adalah proses pengambilan komponen-komponen produksi dengan
tujuan untuk dikonsumsi, diolah, dipasarkan atau digunakan untuk keperluan
lainnya. Sedangkan penanganan pascapanen meliputi semua kegiatan perlakuan
dan pengolahan langsung terhadap produk pangan, tanpa mengubah struktur asli
produk.
Pemanenan dilakukan dengan memperhatikan dua hal, yaitu umur
tanaman dan teknik memanen. Kentang dipanen apabila telah cukup umur yaitu
90–120 hari atau dengan melihat ciri tanaman yang siap panen yaitu, daun dan
batang berwarna kekuning–kuningan tetapi bukan karena penyakit. Dalam
pemanenan terdapat dua cara, yaitu (1) umbi dibongkar dnegan mencangkul tanah
sebelah kiri dan kanan lalu mengangkatnya hingga semua umbi keluar dari tanah,
(2) umbi dibongkar dengan menggemburkan tanah dari sebelah kiri dan kanan
sepanjang bedengan lalu umbi dibongkar dengan cara mencabutnya. Umbi
kentang yang telah dipanen dibiarkan terlebih dahulu beberapa saat hingga tanah
yang menempel terlepas dan umbi mengering.
Kegiatan pascapanen yang dilakukan untuk komoditas kentang meliputi
pembersihan, sortasi dan grading, penyimpanan, pengemasan, dan pengangkutan.
Kegiatan pembersihan dilakukan untuk mengurangi atau meniadakan jasad-jasad
renik, sisa-sisa tanah yang masih tertempel dan berbagai macam kotoran yang bisa
menjadi sumber patogen dan dapat merusak umbi pada saat proses penyimpanan.
Sortasi dilakukan untuk memisahkan umbi yang baik dan sehat, yaitu umbi yang
tidak cacat dan tidak terserang hama atau penyakit. Kegiatan sortasi ini dapat
mencegah penularan penyakit dari umbi yang rusak. Setelah kegiatan sortasi,
dilakuan grading yaitu pengelompokkan umbi kentang yang sehat menurut
ukuran umbi, varietas, dan tingkat ketuaan umbi. Mutu kentang secara umum
dapat dibedakan menjadi empat golongan mutu, yaitu :
1) Mutu super (Kelas I), mempunyai bobot 250-400 gram
2) Mutu besar (Kelas II), mempunyai bobot 100-250 gram
3) Mutu Sedang (Kelas III), mempunyai bobot 60-100 gram
4) Mutu Kecil (Kelas IV), mempunyai bobot 30-60 gram
Penyimpanan kentang untuk dikonsumsi dilakukan di dalam ruang gelap,
suhu yang rendah dan kelembapan yang sedang. Ruang penyimpanan harus benar-
benar terlindungi dari cahaya, karena cahaya dapat merangsang pertumbuhan
tunas dan warna umbi berubah menjadi hijau yang menunjukkan adanya racun
solanin yang berbahaya bagi tubuh. Kentang yang keadaannya seperti itu nilai
ekonomisnya akan turun. Sortasi dan pengelompokkan mutu dapat dilakukan di
gudang penyimpanan atau dapat juga dilakukan di kebun setelah panen.
Kegiatan pengemasan bertujuan untuk melindungi hasil-hasil pertanian
dari kerusakan mekanis ataupun kerusakan fisiologis. Bahan pengemas kentang
dapat berupa peti kayu, krat, yang berbentuk silinder atau segi empat yang
memiliki ventilasi. Pada kegiatan pengemasan hendaknya diberi pelindung berupa
jerami atau guntingan-guntingan kertas pada dasar dan tepi alat pengemar agar
dapat mengurangi benturan. Kegiatan pengangkutan juga hendaknya dilakukan
dengan baik dan memperhatikan penataan barang di dalam alat angkut.
Penyesuaian penggunaan alat angkut dengan jarak tempuh yang dituju dan
volume yang hendak diangkut juga perlu diperhatikan agar penggunaan alat
angkut lebih efisien dan tidak membutuhkan biaya yang tinggi.
2.5 Penelitian Terdahulu
2.5.1 Penelitian mengenai Sistem Tataniaga
Penelitian Agustina (2008) mengidentifikasi saluran, lembaga dan fungsi
tataniaga, dan menganalisis keragaan pasar, margin tataniaga, farmer’s share,
rasio keuntungan terhadap biaya pada komoditas kubis di Desa Cimenyan,
Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Terdapat tiga saluran tataniaga kubis
di Desa Cimenyan yaitu: (1) Petani Pedagang Pengumpul I Grosir
Pengecer Konsumen. (2) Petani Pedagang Pengumpul II Grosir
Pengecer Konsumen. (3) Petani Grosir Pengecer Konsumen. Saluran
dua dibagi menjadi dua bagian, pertama pemasaran di daerah produksi (lokal) dan
kedua pemasaran di luar daerah produksi.
Struktur pasar yang dihadapi petani kubis dan pedagang pengumpul I yaitu
oligopsoni. Pedagang pengumpul II, grosir dan pengecer menghadapi pasar
oligopoli. Perilaku pasar diidentifikasi dengan mengamati kegiatan tataniaga
dalam proses pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, sistem
pembayaran dan kerjasama antar lembaga tataniaga kubis di Desa Cimenyan.
Alternatif saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar
bagi petani dibandingkan dengan saluran lainnya berdasarkan nilai total margin,
farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya adalah saluran tiga dengan nilai
total margin sebesar Rp 1.681,87, farmer’s share terbesar yaitu 55,81 persen,
rasio keuntungan terhadap biaya terbesar yaitu 2,28.
Rachma (2008) melakukan penelitian mengenai Efisiensi Tataniaga Cabai
Merah (Studi Kasus Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis,
Provinsi Jawa Barat). Pendekatan penelitian dilakukan melalui analisis deskriptif
terhadap analisis saluran, lembaga, dan fungsi tataniaga, analisis struktur dan
perilaku pasar. Selain itu, analisis secara kuantitatif juga dilakukan terhadap
margin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima jenis saluran tataniaga
cabai merah di Desa Cibeureum. Saluran tataniaga I : pedagang pengumpul
pedagang grosir pedagang pengecer II. Saluran tataniaga II terdiri dari
pedagang pengumpul pedagang gosir pedagang pengecer I dan pedagang
pengecer II. Saluran tataniaga III terdiri dari pedagang pengumpul pedagang
grosir pedagang pengecer II. Sedangkan saluran tataniaga IV terdiri dari
pedagang pengumpul pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II. Saluran
V terdiri dari pedagang pengumpul pedagang pengecer I.
Struktur pasar yang terjadi dalam tataniaga cabai merah di Desa
Cibeureum adalah monopsoni karena hanya ada satu pedagang pengumpul yang
menampung langsung keseluruhan hasil pertanian cabai merah dari petani di Desa
Cibeureum dan beberapa penjual di setiap tingkat lembaga tataniaga lainnya.
Analisis perilaku pasar menunjukkan bahwa terjadi transaksi dengan nota
penjualan antara petani, pedagang pengumpul, dan pedagang grosir. Sedangkan
transaksi antara pedagang grosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II
adalah secara tunai. Lembaga penentu harga cabai merah adalah pedagang grosir.
Hasil analisis margin tataniaga menunjukkan margin terbesar terdapat
pada saluran II, III, dan IV, sedangkan margin terkecil terdapat pada saluran I dan
V. Secara operasional dari kelima saluran tataniaga cabai merah yang ada, saluran
V merupakan saluran tataniaga yang paling efisien. Hal ini terlihat dari margin
tataniaga yang rendah, farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya yang
paling tinggi.
Pada penelitian ini, juga diberikan alternatif saluran yang memberikan
keuntungan bagi petani dengan membuat beberapa skenario saluran tataniaga
yang belum dilakukan oleh petani melalui pendekatan margin tataniaga, farmer’s
share, dan rasio keuntungan dan biaya. Berdasarkan analisis skenario alternatif
saluran tataniaga dengan pendekatan margin tataniaga, saluran tataniaga cabai
merah yang paling efisien adalah saluran X dan XI yang memberikan margin
tataniaga paling kecil. Hal ini dikarenakan volume pembelian dari kedua jenis
pedagang pengecer tersebut relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pedagang
grosir. Pedagang grosir harus tetap dijadikan tujuan distribusi utama petani karena
volume pembelian yang dilakukannya relatif besar sehingga semua hasil panen
petani dapat disalurkan.
Penelitian A’yun (2010) menganalisis sistem tataniaga bawang daun
(Allium fistulosum L.) di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur. Saluran
tataniaga pada sistem tataniaga bawang daun di kawasan agropolitan berjumlah
dua saluran utama yaitu saluran I terdiri dari petani pedagang pengumpul desa
pedagang pengecer (Pasar Bekasi) konsumen, saluran II terdiri dari petani
pedagang pengumpul desa pedagang grosir (Pasar Induk) pedagang
pengecer (Pasar Tradisional di Depok, Jakarta, Tanggerang) konsumen, dan
dua saluran alternatif yaitu saluran III terdiri dari petani pedagang pengumpul
desa konsumen (restoran), dan saluran IV terdiri dari petani pedagang
pengumpul desa supplier pedagang pengecer (Supermarket) konsumen.
Struktur pasar yang dihadapi oleh petani bawang daun adalah pasar
bersaing. Pedagang pengumpul dengan supplier, dan restoran menghadapi struktur
pasar oligopsoni. Pedagang pengumpul dengan pedagang grosir dan pedagang
pengecer menghadapi struktur pasar bersaing. Supermarket menghadapi struktur
pasar oligopoli, dan pedagang pengecer di pasar tradisional menghadapi pasar
bersaing. Saluran tataniaga yang paling efisien adalah saluran II yaitu dengan
biaya tataniaga paling rendah yaitu Rp 1.785,96 per kilogram, dan nilai rasio dan
keuntungan biaya yang paling besar yaitu 1,52.
Noviana (2011) melakukan penelitian mengenai Analisis Sistem Tataniaga
Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Desa Cipendawa,
Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur). Ada dua pola saluran tataniaga jamur
tiram putih yang terbentuk dengan volume penjualan 430 kg per hari. Saluran I :
Petani Pedagang Pengumpul Desa Pedagang Besar/ Grosir Pedagang
Pengecer Konsumen Akhir. Saluran II : Petani Konsumen Akhir (rumah
tangga). Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga
yang terlibat meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas.
Struktur pasar yang terjadi antara petani jamur tiram putih dan pedagang
pengumpul di Desa Cipendawa cenderung mengarah pada pasar monopsoni,
struktur pasar yang terjadi antara pedagang pengumpul desa dan pedagang
besar/grosir cenderung bersifat monopsoni, dan struktur pasar yang terjadi antara
pedagang besar/grosir dengan pedagang pengecer cenderung mengarah kepada
oligopoli murni, serta struktur pasar yang terjadi di tingkat pedagang pengecer
dengan konsumen akhir cenderung mengarah ke struktur persaingan murni.
Margin tataniaga terdapat pada saluran I sedangkan saluran II tidak
memiliki margin tataniaga. Hal ini disebabkan pada saluran dua penjualan jamur
tiram putih tidak melibatkan lembaga-lembaga tataniaga perantara.
Penelitian Wacana (2011) menganalisis pola saluran, fungsi, struktur dan
perilaku pasar, serta efisiensi saluran tataniaga bawang merah di Kelurahan
Brebes, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Saluran tataniaga bawang merah
di Kelurahan Brebes terdiri dari empat saluran tataniaga, yaitu pola saluran
tataniaga I : Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Pengirim Pedagang
Besar Non Lokal (Sumatera) Pedagang Pengecer Non Lokal (Sumatera)
Konsumen Non Lokal. Sedangakn pola saluran tataniaga II : Petani Pedagang
Pengumpul Pedagang Pengirim Pedagang Besar Non Lokal (Jawa)
Pedagang Pengecer Non Lokal (Jawa) Konsumen Non Lokal. Pola saluran
tataniaga III : Petani Pedagang Besar Lokal Pedagang Pengecer Lokal
Konsumen Lokal, dan pola saluran tataniaga IV: Petani Pedagang Pengecer
Lokal Konsumen Lokal.
Struktur pasar yang dihadapi oleh petani bersifat persaingan sempurna,
struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul dan pedagang pengirim lebih
mengarah kepada pasar oligopoli. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang
pengecer adalah pasar persaingan monopolistik. Sistem penentuan harga baik di
tingkat petani hingga pedagang pengecer terjadi melalui proses tawar menawar
hingga tercapai kesepakatan bersama.
Berdasarkan analisis efisiensi tataniaga yang dilakukan terhadap empat
pola saluran tataniaga bawang merah yang terjadi di Kelurahan Brebes didapat
bahwa pola saluran IV merupakan pola saluran yang paling efisien, karena
memiliki margin tataniaga yang kecil dan farmer’s share yang besar, namun
jumlah petani responden yang terlibat dalam pola saluran IV relatif sedikit
dibandingkan pola saluran lain. Pola saluran tataniaga I dianggap sebagai pola
saluran yang paling menguntungkan bagi petani ataupun bagi lembaga tataniaga
lainnya. Hal ini dikarenakan pada pola saluran I ini memiliki volume penjualan
bawang merah yang lebih besar sehingga menghasilkan keuntungan total yang
lebih besar pula.
2.5.2 Penelitian mengenai Analisis Keterpaduan Pasar
Agustina (2008) menganalisis keterpaduan pasar kubis antara pasar
produsen-pasar Induk Caringin dan pasar produsen - pasar Induk Kramat Jati.
Analisis keterpaduan pasar kubis ini menggunakan metode Autoregressive
Distributed Lag model dan Index of Market Connection (IMC). Hasil analisis
keterpaduan pasar menunjukkan bahwa pada kedua pola analisis tersebut
memiliki keterpaduan jangka pendek dengan nilai IMC masing-masing < 1 yaitu
0,920 dan 0,228. Nilai koefisien b2 pada masing-masing analisis < 1 yaitu 0,459
dan 0,674. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada keterpaduan jangka panjang
antara kedua pola tersebut. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
struktur pasar yang terjadi dalam tataniaga kubis ini adalah tidak bersaing
sempurna.
Rachma (2008) melakukan analisis keterpaduan pasar cabai merah antara
pasar petani di Desa Cibereum dengan Pasar Induk Caringin Bandung sebagai
pasar acuan. Hasil analisis keterpaduan pasar menunjukkan nilai IMC > 1, yaitu
sebesar 2,205 artinya tidak ada keterpaduan jangka pendek dan nilai koefisien 2b
memiliki nilai < 1, yaitu sebesar 0,275 menunjukkan tidak ada keterpaduan jangka
panjang. Hal ini menunjukkan bahwa struktur pasar yang terjadi dalam
tataniagacabai merah ini adalah tidak bersaing sempurna. Persaingan yang tidak
sempurna dalam tataniaga cabai merah ini menunjukkan bahwa sistem tataniaga
cabai merah di lokasi penelitian belum efisien.
Dari hasil-hasil penelitian terdahulu dapat dilihat bahwa pada umumnya
sistem tataniaga komoditas hortikultura di Indonesia belum efisien. Hal ini dapat
dilihat dari sebaran margin yang tidak merata diantara lembaga tataniaga yang
terlibat. Petani sebagai produsen memperoleh bagian yang lebih kecil
dibandingkan dengan pedagang. Selain itu juga, informasi harga pasar dari tingkat
pedagang tidak dapat disalurkan dengan baik kepada pasar di tingkat petani.
Artinya, diantara kedua tingkat pasar tersebut tidak terdapat keterpaduan pasar.
Alat analisis yang paling banyak untuk menganalisis tingkat keterpaduan
pasar adalah dengan menggunakan model Ravallion dan Heytens (1986). Model
ini dapat mengurangi kelemahan model analisis korelasi harga yang menganggap
perubahan harga di tingkat konsumen dengan produsen bergerak pada waktu yang
sama. Dengan demikian diharapkan hasil analisis dengan mempertimbangkan
perubahan (harga) pada waktu sebelumnya dapat lebih menunjukkan kondisi
sebenarnya. Atas pertimbangan tersebut, untuk menganalisis tingkat keterpaduan
pasar digunakan alat analisis model Ravallion dan Heytens (1986).
Terdapat beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya yaitu terletak pada komoditas, waktu dan lokasi tempat penelitian
dilakukan. Pada penelitian ini dianalisis keterpaduan pasar kentang, yaitu pasar
lokal (produsen) dengan menggunakan satu pasar acuan yaitu Pasar Induk
Tanjung Bajurai Sungai Penuh.