bab ii tinjauan pustaka

Upload: jhowhana

Post on 19-Jul-2015

461 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

II.

TI JAUA PUSTAKA

A. Salak PondohTanaman salak termasuk suku pinang-pinangan, ordo Spadiceflorae, famili Palmaceae dengan beberapa spesies Salacca conferta, Salacca edulis, Salacca affinis, Salacca globoscans, dan Salacca wulliciana (Soedibyo 1974). Menurut Suter (1988), panjang buah salak berkisar antara 4.46 6.13 cm, diameter 4.28 5.67 cm, dan berat buah berkisar antara 34.79 83.47 g. Variasi panjang, diameter, dan berat buah salak dipengaruhi oleh kultivar serta letak buah salak pada tandannya. Tanaman salak merupakan salah satu tanaman buah yang disukai dan mempunyai prospek baik untuk diusahakan. Daerah asalnya tidak jelas, tetapi diduga dari Thailand, Malaysia dan asalnya Indonesia. Ada pula yang mengatakan bahwa tanaman salak (Salacca edulis) berasal dari Pulau Jawa. Pada masa penjajahan biji-biji salak dibawa oleh para saudagar hingga menyebar ke seluruh Indonesia, bahkan sampai ke Filipina, Malaysia, Brunei dan Muangthai. Salak adalah sejenis palma dengan buah yang biasa dimakan (Wikipedia 2011). Tanaman salak pondoh merupakan tanaman berumah dua, sehingga dapat ditemukan tanaman jantan dan tanaman betina. Bunga jantan tersusun seperti genteng, bertangkai dan berwarna coklat kemerah-merahan. Sedangkan bunga betina tersusun dari 1-3 bulir, bertangkai panjang dan mekar sekitar 1-3 hari. Perakaran salak pondoh terdiri dari akar serabut, yang sebagian besar berada di dalam tanah dan sebagian lagi muncul dipermukaan tanah. Perkembangan akar salak pondoh dipengaruhi oleh cara pengolahan tanah, pemupukan, tekstur tanah, sifat fisik dan kimia tanah, air tanah, lapisan bawah tanah, dan lain-lain. Sedangkan tanah, batang salak pondoh termasuk pendek dan hampir tidak kelihatan secara jelas, karena selain ruas-ruasnya padat juga tertutup oleh pelepah daun yang tumbuhnya memanjang. Buah salak tersusun atas tiga bagian utama, yaitu kulit, daging, buah dan bagian biji (Gambar 1). Bagian kulit buah terdiri atas sisik-sisik yang tersusun seperti genting dan kulit ari yang langsung menyelimuti daging buah. Kulit ari berwarna putih transparan (Suter 1988). Warna sisik buah salak ada yang berwarna coklat kehitaman, coklat kemerahan, dan coklat keputihan tergantung dari kultivarnya.

Keterangan: 1. Pangkal buah 2. Ujung buah 3. Kulit luar dan sisik 4. Daging buah 5. Kulit ari 6. Biji 7. Embrio

Gambar 1. Anatomi buah salak (Sabari 1982) Komposisi kimia seperti gula, asam organik, tanin, pektin dan sebagainya pada buah salak mengalami perubahan selama perkembangan buah (Sabari 1982). Komposisi kimia pada buah salak bervariasi menurut varietas salak. Diantara empat varietas salak, yaitu salak pondoh, salak Sleman, salak Bali, dan salak Condet, ternyata salak pondoh memiliki rasio gula asam tertinggi, yaitu 72.81, kemudian disusul oleh salak Sleman 52.44, salak Bali sebesar 41.47 dan salak Condet 52.44, rasio gula asamnya terendah yaitu 38.87 (Suter 1988).

3

Rasa buah salak pondoh yang selalu manis dan lebih tahan lama disimpan walaupun belum ada kejelasan selisih lama ketahanannya dibandingkan salak biasa. Hal ini merupakan keunggulan dari salak pondoh sehingga petani tertarik untuk mengusahakannya (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi DI Yogyakarta 1989). Sifat khas salak pondoh yang selalu berasa manis dan tidak sepat walaupun masih muda disebabkan oleh kandungan total gula yang cukup tinggi, kandungan total asam yang relatif rendah, dan kandungan tannin yang lebih rendah dibandingkan kultivar salak lainnya (Suter 1988). Buah salak pondoh muda rasanya manis dan gurih, sedangkan buah salak pondoh tua rasanya manis, gurih, dan masir. Ketebalan daging buahnya antara 0.8 cm sampai 1.5 cm, dan warna daging buahnya putih kapur (Rukmana 1999). Sedangkan kandungan gizi buah salak pondoh dalam tiap 100 gram buah salak segar menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981), dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan gizi buah salak per 100 gram buah Kandungan gizi Kalori Protein Karbohidrat Kalsium Fosfor Zat besi Vitamin B Vitamin C Air Bagian yang dimakan Proporsi 77 kal 0,40 g 20,90 g 28,00 mg 18,00 mg 4,20 mg 0,04 mg 2,00 mg 78,00 mg 50%

Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981)

Kriteria buah yang sudah siap dipanen dapat ditentukan melalui umur buah atau dengan memperhatikan penampakan buah. Umur panen buah salak pondoh adalah sekitar 5,5-6 bulan, sedangkan bila melihat dari penampakan buahnya, salak pondoh yang siap dipanen memiliki warna kulit buah bersih dan mengilap, bila dipegang terasa empuk dan kulitnya tidak keras serta beraroma khas (Anarsis 1996). Menurut (Satuhu 2004), ada beberapa cara penentuan tingkat kematangan buah yaitu berdasarkan umur panen, sifat visual atau penampakannya, kendungan kimia, tingkat kekerasan, dan uji organoleptik. Mutu buah salak yang baik diperoleh bila pemanenan dilakukan pada tingkat kemasakan yang baik. Buah salak yang belum masak, bila dipungut akan terasa sepet dan tidak manis. Maka pemanenan dilakukan dengan cara petik pilih, sehingga diperlukan keterampilan dan pengetahuan standar panen. Buah salak dapat dipanen setelah matang benar di pohon, biasanya berumur 6 bulan setelah bunga mekar (anthesis). Hal ditandai oleh sisik yang telah jarang, warna kulit buah merah kehitaman atau kuning tua, dan bulu-bulunya telah hilang. Ujung kulit buah (bagian buah yang meruncing) terasa lunak bila ditekan. Tanda buah yang sudah tua, menurut sumber lain adalah warnanya mengkilat (klimis), bila dipetik mudah terlepas dari tangkai buah dan beraroma salak (Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2000). Tanaman salak dalam masa panennya terdapat 4 musim, yaitu panen raya pada bulan November, Desember dan Januari, panen sedang pada bulan Mei, Juni dan Juli, panen kecil pada bulan-bulan Februari, Maret dan April dan masa kosong/istirahat pada bulan-bulan Agustus, September dan Oktober. Bila pada bulan-bulan ini ada buah salak maka dinamakan buah slandren. Menurut sumber lain panen besar buah salak adalah antara bulan Oktober Januari (Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2000).

4

B. Fisiologi dan Kerusakan PascapanenPerubahan-perubahan yang dapat menyebabkan kerusakan pada buah dan sayuran setelah dipanen salah satunya disebabkan oleh proses metabolisme, seperti respirasi, transpirasi, dan aktivitas-aktivitas biokomia lainnya, yang masih berlangsung setelah pemanenan (Winarno dan Wiratakusumah 1981). Perubahan tersebut juga dapat mengakibatkan penurunan kekebalan alami buah terhadap aktivitas mikroba, sehingga aktivitas organisme penyebab kerusakan meningkat (Hanson 1976). Buah-buahan yang sudah dipanen masih melakukan proses respirasi yang menghasilkan CO2 dan panas serta menggunakan O2. Respirasi didefinisikan sebagai reaksi oksidasi dari bahan dalam sel (misalnya pati, gula, dan asam organik) menjadi molekul CO2, air dan energi yang dapat digunakan oleh sel untuk reaksi sintetis (Will et al. 1981). Laju respirasi tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain tingkat perkembangan, susunan kimiawi jaringan, ukuran buah, pelapis alami, dan jenis jaringan. Sedangkan faktor eksternal antara lain suhu, etilen, O2 yang tersedia, CO2, zat-zat pengatur pertumbuhan dan kerusakan buah. Ditinjau dari penyebabnya, jenis-jenis kerusakan bahan pangan dapat dibagi menjadi kerusakan mekanik, fisik, mikrobiologis dan fisiologis dan biologis serta kerusakan kimiawi (Winarno dan Jenie 1982). 1. Kerusakan Mikrobiologis Kerusakan ini timbul karena adanya luka bakar atau memar pada buah salak yang berfungsi sebagai pintu gerbang bagi mikroba (Mucor sp) untuk masuk ke dalam daging buah setelah dipetik (Rahmad 1990). Buah salak dapat ditumbuhi kapang dan jamur dan selanjutnya mengakibatkan buah menjadi busuk. Kerusakan ini terutama terjadi pada waktu buah disimpan dan dipercepat dengan luka atau memar pada buah salak (Suter 1988). Hasil pengamatan Noorhakim (1992) menunjukkan mikroba penyebab kerusakan buah salak pondoh berkulit pada suhu kamar dan suhu dingin (10oC) adalah kapang Mucor sp. 2. Kerusakan Mekanis Kerusakan mekanis terjadi akibat benturan-benturan mekanis antara buah-buah salak itu sendiri. Pemanenan yang kurang hati-hati dan sistem pengangkutan yang buruk banyak mengakibatkan kerusakan mekanis (Winarno dan Jenie 1982). Menurut Suter (1988) kerusakan-kerusakan mekanis yang banyak dijumpai pada buah salak adalah luka (terpotong alat, tertusuk duri pohon salak) dan memar. 3. Kerusakan Fisik Jenis kerusakan ini disebabkan oleh faktor-faktor fisik seperti suhu dan kelembaban (Winarno dan Jenie 1982). Pada suhu tinggi buah akan kelebihan panas, bila tidak cukup ventilasi dan pendinginan. Buah salak yang disimpan pada kondisi terbuka pada suhu kamar menyebabkan kerusakan-kerusakan pada kulit dan daging buah menjadi kering, keriput serta kulit buah menjadi lebih sulit dikupas dibandingkan buah yang segar (Suter 1988). 4. Kerusakan Fisiologis dan Biologis Reaksi metabolisme dan aktivitas enzim yang merupakan proses autolisis dapat menimbulkan kerusakan fisiologis (Winarno dan Jenie 1982). Adanya luka pada buah menyebabkan terjadinya pencoklatan pada daging buah dan meningkatkan kecepatan respirasi sehingga mempercepat pelayuan buah (Eskin et al. 1971). 5. Kerusakan Kimiawi Kerusakan kimiawi biasanya saling berhubungan dengan jenis kerusakan yang lain. Kerusakan fisiologis biasanya juga merupakan kerusakan kimiawi, karena reaksi enzimatis biasanya aktif dalam proses kerusakan tersebut (Winarno dan Jenie 1982). Adanya oksigen menyebabkan terjadinya pencoklatan pada buah salak yang merupakan salah satu bentuk kerusakan kimiawi. Pencoklatan terjadi karena aktivitas enzim-enzim seperti fenolase, polifenol oksidasi, tirosinase, dan katekolase (Richardson 1976). Terjadinya kerusakan mekanis seperti luka, memar dan terpotong pada waktu pemanenan dan penanganan buah salak akan mempercepat timbulnya kerusakan jenis lain, terutama pencoklatan pada buah. Ada empat mekanisme reaksi pencoklatan yaitu enzimatis, reaksi maillard, karamelisasi, dan oksidasi asam askorbat. Pencoklatan ezimatis banyak terjadi pada buah dan sayuran bila jaringannya terpotong, terluka atau terkupas. Bagian yang terluka tersebut cepat menjadi gelap bila terkena udara, sebagai akibat terjadinya konversi senyawa fenol menjadi melanin berwarna coklat (Eskin et al 1971).

5

C. Parameter Penurunan MutuMutu adalah sekelompok sifat atau faktor-faktor pada komoditi yang membedakan tingkat kepuasan atau tingkat penerimaan bagi pembeli (Kramer dan Twigg 1962). Penurunan mutu pada penyimpanan buah segar dapat ditentukan dengan menggunakan suatu parameter yang dapat diukur secara kuantitatif yang mencerminkan kondisi mutu produk tersebut. Menurut Apandi (1984), klasifikasi mutu terdiri atas aspek organoleptik dan aspek non organoleptik. Aspek organoleptik yaitu penampilan (besar, bentuk, cacat, warna, dan kilap), citarasa (bau dan rasa) serta tekstur (perasaan tangan dan perasaan mulut) Suter (1988) menggunakan beberapa parameter mutu untuk buah salak yaitu kadar air, kadar pati, total gula, asam organik, pH, dan keempukan buah. Sedangkan Lestari (2003) menyatakan bahwa parameter mutu yang digunakan dalam penyimpanan buah salak adalah analisa fisik (susut bobot dan persentase kerusakan), analisa kimia (kadar air, total asam tertitrasi, dan total padatan terlarut), serta analisa organoleptik (kekerasan, warna, tekstur, dan penerimaan umum). Mutu buah salak sendiri dapat ditentukan berdasarkan standar mutu salak Indonesia yang tercantum pada SNI 01 3167 1992. Salak dibagi atas 2 (dua) kelas mutu, yaitu mutu I dan II (Tabel 2). Berdasarkan beratnya, kelas mutu salak diklasifikasikan menjadi 3, yaitu ukuran besar untuk salak yang berbobot 61 gram atau lebih per buah, ukuran sedang berbobot 33 60 gram/ buah, dan ukuran kecil berbobot 32 gram atau kurang per buah. Tabel 2. Kelas mutu buah salak berdasarkan SNI 0131671992 Tingkat Ketuaan Kekerasan Kerusakan kulit buah Ukuran Busuk (bobot/bobot) Kotoran Mutu I Seragam tua Keras Utuh Seragam 1% Bebas Mutu II Seragam tua Cukup keras Kurang utuh Kurang seragam 1% Bebas

Sumber: BSN (Badan Standardisasi Nasional)

Wills et al. (1981) menyebutkan bahwa faktor utama yang mendukung penurunan mutu akibat kerusakan yang terjadi setelah buah dipanen adalah pengaruh mekanis saat pemanenan dan penanganan selanjutnya yang dapat mengakibatkan kerusakan pada buah-buahan dan infasi penyakit oleh mikroba. Penurunan mutu juga dapat terjadi pada buah pada saat pemasaran, terutama bila buah yang dipajang dalam waktu lama dengan organisasi pemasaran yang buruk.

D. Pengemasan dan Penyimpanan DinginPengemasan adalah suatu sistem terpadu untuk menyiapkan, menyimpan, dan mengawetkan produk untuk dikirim ke konsumen melalui sistem distribusi dengan aman dan murah (Jaswin 1999). Pengemasan merupakan salah satu proses dalam industri yang memegang peranan penting dalam upaya mencegah terjadinya penurunan mutu produk, karena perlindungan produk dapat dilakukan dengan mengemas produk yang bersangkutan. Pengemasan dilakukan terhadap produk pangan maupun bukan pangan. Pengemasan harus dilakukan dengan benar karena pengemasan yang salah dapat mengakibatkan produk tidak memenuhi syarat mutu seperti yang diharapkan (Buckle et al. 1987). Pengemasan buah-buahan dan sayuran adalah suatu usaha menempatkan komoditas tersebut ke dalam suatu wadah yang memenuhi syarat, dengan maksud agar mutunya tetap atau hanya mengalami sedikit penurunan, pada akhirnya saat diterima oleh konsumen nilai pasarnya tetap tinggi. Bahan dan bentuk kemasan memberikan peran yang besar terhadap pemasaran buahbuahan dan sayuran segar apabila mampu menahan kehilangan air (Sacharow dan Griffin 1980). Beberapa sifat kemasan yang diinginkan selama distribusi adalah yang sesuai dengan sifat produk yang akan dikemas, mempunyai kekuatan yang cukup untuk bertahan dari resiko kerusakan selama pengangkutan dan penyimpanan, memiliki lubang ventilasi yang cukup (bagi

6

produk tertentu yang membutuhkan), menyediakan informasi yang memungkinkan identifikasi produk yang dikemas, tempat produsen dan tujuan pengiriman, serta dapat dibongkar dengan mudah tanpa menggunakan buku penunjuk secara khusus (Paine dan Paine 1983). Menurut Kusumah (2007), kemasan umum dibagi dalam beberapa klasifikasi: 1. Kemasan transportasi a. Kemasan rigid (kaku) Kemasan dengan desain kaku akan memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap produk yang dikemas. Kekakuannya tinggi sehingga penumpukan dapat lebih tinggi. Bisa dipakai lebih dari satu kali atau berulang kali. Contohnya peti kayu dan kardus karton. b. Kemasan fleksibel Kemasan dengan desain fleksibel mempunyai bobot ringan dan volume produk yang terkemas dapat disesuaikan dengan keinginan konsumen. Contohnya plastik dan kantong jaring. 2. Kemasan retail Kemasan retail merupakan desain kemasan eceran atau kemasan terakhir yang sampai pada konsumen. Contohnya kemasan botol minuman dan makanan. Berdasarkan fungsinya pengemasan dibagi menjadi dua, yaitu: pengemasan untuk pengangkutan dan distribusi (shipping/delivery package), sering disebut sebagai kemasan distribusi atau kemasan transportasi serta pengemasan untuk perdagangan eceran atau supermarket (retail package) atau kemasan eceran. Kemasan distribusi adalah kemasan yang terutama ditujukan untuk melindungi produk yang dikemas selama pengangkutan dari podusen sampai ke konsumen dan penyimpanan (Paine and Paine 1983). Dalam pemilihan material dan rancangan, kemasan distribusi lebih mengutamakan material dan rancangan yang dapat melindungi kerusakan selama pengangkutan dan distribusi, sedang kemasan eceran diutamakan material dan rancangan yang dapat memikat konsumen (Peleg 1985). Kemasan untuk produk hasil-hasil pertanian (hortikultura) perlu dilubangi sebagai ventilasi. Adanya ventilasi ini menyebabkan sirkulasi udara yang baik dalam kemasan sehingga akan menghindarkan kerusakan komoditas akibat akumulasi CO2 pada suhu tinggi (Hidayati 1993) di dalam (Aspihani 2006). Pantastico (1975) menyatakan bahwa buah-buahan merupakan produk segar (fresh product) sehingga harus tetap dijaga kesegarannya hingga sampai ke tangan konsumen. Peleg (1985) juga menyatakan bahwa untuk mendesain sebuah kemasan baik untuk penyimpanan maupun distribusi buah (produk hortikultura) perlu diperhatikan sirkulasi udara dengan memberikan ventilasi dengan tujuan mempertahankan kesegaran buah. Perbedaan desain, bentuk, dan ukuran dari lubang ventilasi biasanya disesuaikan dengan tipe produksi, penyimpanan, dan moda transportasi. Pemotongan lubang ventilasi biasanya dilakukan dibagian samping dari kemasan dengan pemberian lubang ventilasi secara horizontal (Peleg 1985). Menurut New et al. (1978) di dalam (Aspihani 2006) lubang ventilasi pada peti karton biasanya dibuat bulat (circle ventilation) atau celah panjang dengan sudut-sudutnya dibulatkan (oblong ventilation). Silvia (2006) juga menyatakan bahwa bentuk lubang ventilasi yang banyak ditemukan dilapangan untuk kemasan distribusi adalah oblong ventilation dan circle ventilation. Menurut Triyanto (1991), karton gelombang merupakan bahan kemasan distribusi yang paling umum dan paling banyak digunakan untuk berbagai jenis produk, mulai dari buah-buahan sampai dengan peralatan elektronik atau mesin untuk industri. Hal ini disebabkan oleh harganya yang relatif murah dan daya tahan yang dapat dipilih sesuai dengan jenis produk yang dikemas dan jenis transportasi yang digunakan. Walaupun demikian, agar dapat berfungsi dengan maksimal, pemakaian kotak karton gelombang harus memperhatikan penggunaan bahan baku yang baik, pengendalian mutu yang memadai selama proses pembuatan, spesifikasi kotak yang dibuat, baik dari segi ukuran, berat, dan lain-lain. Peleg (1985) mengklasifikasikan karton gelombang berdasarkan lapisan kertas (flat sheet) dan flute yang menyusunnya (Gambar 2). Karton gelombang diklasifikasikan menjadi single wall board (flute terletak di tengah-tengah flat sheet), double wall board (dua lapis single wall board yang saling berhadapan satu sama lain), dan triple wall board (terdiri dari 3 flute dan 4 flat sheet).

7

Gambar 2. Penggolongan karton gelombang yaitu (a) single face dengan single flute, (b) double face dengan single flute, (c) double wall, (d) triple wallKemasan dari karton gelombang memiliki banyak tipe kemasan. Dari sekian banyak tipe, ada tiga tipe yang umum digunakan. Tiga tipe itu adalah Regular Slotted Container (RSC), Half Telescopic Container (HTC), dan Full Telescopic Container (FTC). Gambar ketiga tipe kemasan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Dari ketiga tipe tersebut, tipe RSC dan FTC paling banyak digunakan sebagai kemasan distribusi produk hortikultura yang ada di Indonesia (Aspihani 2006). Tipe kemasan RSC dan FTC banyak digunakan sebagai kemasan distribusi produk hortikultura. Perbedaan desain, bentuk, dan ukuran dari lubang ventilasi biasanya disesuaikan dengan tipe produk, penyimpanan, dan moda transportasi. Biasanya pemotongan lubang ventilasi untuk kemasan distribusi banyak dilakukan dibagian samping kemasan dan bukan di bagian atas (penutup) kemasan, padahal pemotongan ventilasi di bagian samping dapat mengurangi kekuatan kemasan yang lebih besar daripada pemotongan di bagian atas dan bawah kemasan peti karton bawah (Peleg 1985). Gambar tipe kemasan distribusi disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Tipe kemasan distribusi (A) RSC, (B) HTC, dan (C) FTC Penyimpanan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperpanjang ketersediaannya sampai kepada konsumen dan menyediakannya untuk permintaan pasar. Untuk memperoleh buah segar yang berada dalam kemasan, maka penyimpanan kondusif sangatlah dibutuhkan. Penyimpanan buah-buahan dan sayuran segar dapat memperpanjang daya guna dan dalam keadaan

8

tertentu dapat memperbaiki mutu produk segar tersebut. Selain itu penyimpanan juga dapat menghindarkan banjirnya produk ke pasar (mempertahankan harga jual), memberi kesempatan yang luas untuk memilih buah-buahan dan sayuran sepanjang tahun, membantu pemasaran yang teratur, meningkatkan keuntungan produsen, dan mempertahankan mutu produk segar (Pantastico 1986). Penyimpanan dingin merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan cara pendinginan pada suhu di atas suhu pembekuannya. Secara umum pendinginan dilakukan pada suhu 2-13 oC tergantung pada masing-masing bahan yang akan disimpan (Poerwanto 2002 di dalam Seesar 2009). Penyimpanan di bawah suhu 15 oC dan di atas titik beku bahan dikenal sebagai penyimpanan dingin (Chilling Storage). Penyimpanan dingin merupakan salah satu cara menghambat turunnya mutu buah-buahan, di samping pengaturan kelembaban dan komposisi udara serta penambahan zat-zat pengawet kimia. Penyimpanan akan mengurangi kelayuan karena kehilangan air. Menurunnya laju reaksi kimia dan laju pertumbuhan mikroba pada bahan yang disimpan (Watkins 1971). Semakin rendah suhu yang digunakan, semakin lambat pula reaksi kimia, aktivitas enzim, dan pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff 1978). Hastuti dan Ari (1988) melaporkan bahwa penyimpanan salak pondoh dalam bentuk tandanan pada suhu dingin (10oC - 12 oC) dalam keadaan terbuka, dengan kantung plastik berlubang 0.5 % dan 1 % dapat memperpanjang masa simpan salak pondoh menjadi berturut-turut 33 hari, 27 hari dan 33 hari. Hasil pengamatan Indirani (1990) dan Noorhakim (1992) juga menunjukkan bahwa penyimpanan suhu dingin mampu memperpanjang masa simpan salak pondoh. Indirani (1990) melaporkan bahwa salak pondoh dalam bentuk tandanan yang disimpan dalam plastik polietilen pada kondisi atmosfir dan suhu 10oC mempunyai masa simpan 18 hari. Sedangkan menurut Noorhakim (1992) salak pondoh dalam bentuk tandanan yang disimpan pada suhu 10oC dengan kemasan plastik polietilen dalam kondisi atmosfir dan atmosfir termodifikasi mempunyai masa simpan masing-masing 27 hari dan 30 hari.

E. Simulasi Transportasi Hasil PertanianGoncangan yang terjadi selama pengangkutan baik di jalan raya maupun di rel kereta dapat mengakibatkan kememaran, susut berat, dan memperpendek masa simpan (Purwadaria 1992). Hal ini terutama terjadi pada pegangkutan produk hortikultura yang tidak dikemas. Meskipun kemasan dapat meredam efek guncangan namun daya redamnya tergantung pada jenis kemasan serta tebal bahan kemasan, susunan komoditas didalam kemasan, dan susunan kemasan dalam pengangkutan. Perlakuan yang kurang sempurna selama pengangkutan mengakibatkan jumlah kerusakan pada komoditas pada waktu sampai ditempat tujuan mencapai lebih kurang 30-50%. Pengangkutan melalui jalan darat pada umumnya menggunakan truk ataupun pick up tanpa pendingin. Menurut Purwadaria (1992) untuk pengangkutan antar pulau yang berjarak tempuh lebih dari 5 jam sebaiknya menggunakan kereta api dengan gerbong pendingin. Pengangkutan merupakan mata rantai yang penting dalam penanganan, penyimpanan, dan distribusi buah-buahan serta sayuran. Pengangkutan dilakukan untuk menyampaikan komoditas hasil pertanian secara cepat dari produsen ke konsumen. Di Indonesia perhubungan lewat darat sangat dominan terhadap pengangkutan buah yang hendak dipasarkan selanjutnya. Alat angkut yang umum digunakan adalah truk, mobil bak terbuka atau sejenisnya, dan menggunakan kereta api (Sutuhu 2004). Dalam kondisi jalan yang sebenarnya, permukaan jalan ternyata memiliki permukaan yang tidak rata. Permukaan jalan yang tidak rata ini menyebabkan produk mengalami berbagai guncangan selama transportasi. Besarnya guncangan yang terjadi bergantung kepada kondisi jalan yang dilalui. Ketidakrataan ini disebut amplitudo dan tingkat kekerapan terjadinya guncangan akibat ketidakrataan jalan tersebut dinamakan frekuensi. Kondisi transportasi yang buruk ini dan penanganan yang tidak tepat pada komoditi yang ditransportasikan (buah dan sayuran) dapat menyebabkan kerugian berupa turunnya kualitas komoditi yang akan disampaikan ke tangan konsumen. Penurunan kualitas yang sering terjadi adalah kerusakan mekanis pada buah dan sayuran (Sudibyo 1992) Untuk memperoleh gambaran mengenai kerusakan mekanis yang dialami oleh komoditi pertanian akibat guncangan selama transportasi dilakukan, Purwadaria (1992) telah merancang alat simulasi transportasi yang dapat mewakili pengaruh guncangan yang terjadi pada kondisi jalan

9

yang sebenarnya. Alat simulasi ini telah disesuaikan dengan jalan yang terdapat di dalam dan luar kota. Dasar yang membedakan antara jalan dalam dan luar kota adalah besarnya amplitude yang terukur. Jalan dalam kota memiliki amplitudo yang lebih rendah dibandingkan jalan luar kota, jalan buruk, dan jalan berbatu. Pada simulasi pengangkutan dengan menggunakan truk guncangan yang dominan adalah guncangan pada arah vertikal. Sedangkan guncangan pada kereta api adalah guncangan horizontal. Guncangan lain berupa puntiran dan bantingan diabaikan karena jumlah frekuensinya kecil sekali (Sudibyo 1992). Pradnyawati (2006) menyatakan bahwa tingkat kerusakan mekanis yang tertinggi dialami oleh jambu biji dalam kemasan keranjang bambu dengan bahan pengisi daun pisang. Sedangkan tingkat kerusakan mekanis terendah dialami oleh jambu biji dalam kemasan kardus karton dengan bahan pembungkus koran. Sedangkan menurut Kusumah (2007), tingkat kerusakan mekanis mentimun tertinggi dialami oleh perlakuan kemasan peti kayu dengan nilai kerusakan sebesar 40.915% dan yang terendah dialami oleh mentimun dalam kemasan kardus dengan kerusakan sebesar 26.1% Darmawati (1994) menganalisis dampak goncangan terhadap jeruk dalam kemasan karton bergelombang di atas meja getar dengan kompresor yang dilakukan selama 8 jam dengan frekuensi 6 Hz dan amplitudo 5 cm mengakibatkan kerusakan buah sebesar 5.74%. Kondisi tersebut setara dengan 2490 km jalan beraspal dan 904 km jalan berbatu atau mewakili transportasi antar pulau (pulau jawa dan sumatra). Menurut Siregar (2008), kapasitas kemasan memberikan kontribusi terhadap persentase kerusakan fisik total buah salak pasca transportasi. Persentase kerusakan tertinggi terjadi pada buah salak yang disusun dalam kemasan berkapasitas 20 kg yaitu 6% setelah satu hari pasca transportasi menjadi 22% setelah 5 hari pasca transportasi. Hal ini disebabkan jumlah buah salak yang disusun pada kemasan berkapasitas 20 kg paling banyak dibanding dengan kapasitas 10 kg dan 15 kg. Semakin tinggi susunan buah dalam kemasan, tekanan yang dialami oleh buah yang ada di lapisan bawah semakin besar. Benturan yang terjadi antar buahnya semakin besar sehingga menyebabkan peningkatan jumlah buah salak yang memar.

10