bab ii tinjauan pustaka

Upload: dian-indrayani-pora

Post on 15-Oct-2015

23 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Final paper

TRANSCRIPT

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

1. 2. 2.1. Spondilitis Tuberkulosis2.1.1. Definisi Spondilitis tuberkulosis adalah infeksi pada tulang belakang yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis Infeksi mulai dari korpus vertebra, menjalar ke diskus intervertebralis dan kemudian mencapai alat-alat dan jaringan di dekatnya.Tuberkulosis sebagai suatu penyakit sistemik yang dapat menyerang berbagai organ termasuk tulang dan sedi. Lesi pada tulang dan sendi hampir selalu disebabkan penyebaran hematogen dari kompleks primer pada bagian tubuh lain (Hidalgo A., 2012).

2.1.2. EpidemiologiDiperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007 dalam Depkes RI (2011), menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor dua setelah penyakit kardiovaskuler (stroke) pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pada tahun 2008, angka temuan kasus baru (Case Detection Rate/CDR) di Indonesia sebesar 72,8% atau didapati 166.376 penderita baru dengan BTA positif. Angka kesembuhannya (Success Rate/SR) 89%. Hal ini melampaui target global, yaitu CDR 70% dan SR 85% (Depkes RI, 2011).Tulang dan jaringan lunak menyumbang sekitar 10% dari kasus tuberkulosis ekstrapulmonal dan antara 1% dan 2% dari total kasus. Spondilitis TB adalah manifestasi paling umum dari tuberkulosis muskuloskeletal, terhitung sekitar 40-50% kasus (Hidalgo A., 2012).Pada masa lalu spondilitis tuberkulosa sering terjadi pada kelompok umur 3 5 tahun. Dengan meningkatnya pelayanan kesehatan dan gizi pada anak, pola penyakit ini berubah menjadi lebih banyak menyerang orang dewasa dengan perbandingan wanita dan pria hampir sama banyaknya. Spondilitis tuberkulosa dapat terjadi pada level manapun dari tulang belakang. Lokalisasi yang paling sering terjadi yaitu pada daerah vertebra torakal bawah dan daerah lumbal. (T8 L3) , kemudian daerah torakal atas, servikal dan daerah sakral (Moesbar, 2006).

2.1.3. EtiologiSpondilitis tuberkulosis merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90 95 % disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tipik ( 2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin ) dan 5 10 % oleh micobakterium tuberkulosa atipik. Basil tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif lemah yaitu sulit untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk dihapus walaupun dengan zat asam, sehingga disebut sebagai kuman batang tahan asam. Hal ini disebabkan oleh karena kuman bakterium memiliki dinding sel yang tebal yang terdiri dari lapisan lilin dan lemak (asam lemak mikolat). Selain itu bersifat pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk spora serta memiliki panjang sekitar 2-4 m (Utji, R. Harun, H., 1994).

2.1.4. PatogenesisTiga mekanisme terjadinya patogenesis tuberkulosis tulang : Kompleks PrimerLesi primer biasanya pada paru paru, faring atau usus dan kemudian melalui saluran limfe menyebar ke limfonodulus regional dan disebut primer kompleks. Penyebaran SekunderBila daya tahan tubuh penderita menurun, maka terjadi penyebaran melalui sirkulasi darah yang akan menghasilkan tuberkulosis milier dan meningitis. Keadaan ini dapat terjadi setelah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian dan bakteri dideposit pada jaringan ekstra pulmoner. Lesi TersierTulang dan sendi merupakan tempat lesi tersier dan sebanyak 5 % dari tuberkulosis paru akan menyebar dan akan berakhir sebagai tuberkulosis sendi dan tulang. Pada saat ini kasus kasus tuberkulosis paru masih tinggi dan kasus tuberkulosis tulang dan sendi juga diperkirakan masih tinggi.Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebralis, dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis. Kemudian eksudat ( yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa ) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah. Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra thorakalis biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea.Kumar membagi perjalanan penyakit ini dlam 5 stadium, yaitu :1. Stadium ImplantasiSetelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6 8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak anak umumnya pada daerah sentral vertebra.

2. Stadium Destruksi AwalSetelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 6 minggu.3. Stadium Destruksi LanjutPada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses ( abses dingin ), yang terjadi 2 3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan ( wedging anterior ) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.

2.1.5. Manifestasi Klinis (Moesbar, 2006)Penderita memperlihatkan gejala-gejala sakit kronik dan mudah lelah, demam subfebris terutama pada malam hari, anoreksia, berat badan menurun, berkeringat pada malam hari, takikardi dan anemia.Nyeri dan kaku punggung merupakan keluhan yang pertama kali muncul. Nyeri dapat dirasakan terlokalisir disekitar lesi atau berupa nyeri menjalar (radicular pain) sesuai saraf yang terangsang. Spasme otot-otot punggung terjadi sebagai suatu mekanisme pertahanan menghindari pergerakan pada vertebra. Saat penderita tidur, spasme otot hilang dan memungkinkan terjadinya pergerakan tetapi kemudian timbul nyeri lagi. Gejala ini dikenal sebagai night cry, umumnya terdapat pada anak.Gejala lokal sesuai dengan lokasi vertebra yang terkena penyakit. Pada vertebra servikal. dapat ditemukan gejala kaku leher , nyeri vertebra yang menjalar ke oksipital atau lengan, yang dirasakan lebih hebat bila kepala ditekan kearah kaudal. Kemudian dapat terjadi deformitas, lordosis-normal akan berkurang dan anak menopang kepalanya dengan lengan, abses retrofaringeal atau servikal, paralisa lengan diikuti oleh paralisa tungkai. Gejala neurologik dapat terjadi karena, subluksasi antar vertebra, penekanan medula spinalis atau radiks saraf serta diskus oleh tulang, terbentuknya abses, reaksi terhadap infeksi lokal, terjadinya vaskulitis tuberkulosa. Pada vertebra servikal bawah dan torakal atas, ditemukan gejala lokal, misalnya kekakuan kifosis angular sampai gibbus, nyeri sepanjang pleksus brakialis. Abses retrofaringeal, supraklavikular dan mediastinal jarang menyebabkan gangguan saraf spinal. Bila terjadi penekanan saraf simpatis, akan timbul sindrom Horner dan kaku leher.Pada daerah torakal dan lumbal dapat ditemukan kifosis angular sampai gibbus, nyeri pada daerah tersebut dapat menyebar ke ekstrimitas bawah, khususnya daerah lateral paha. Juga dapat ditemukan abses iliaka atau abses psoas. Pada daerah lumbosakral dapat dijumpai gejala lokal misalnya deformitas, nyeri yang menyebar ke ekstrimitas bawah, abses psoas, dan gangguan gerak pada sendi panggul.

2.1.6. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan laboratoriuma. Peningkatan LED dan mungkin disertai dengan leukositosisb. Uji mantoux positifc. Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikrobakteriumd. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regionale. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkelPemeriksaan radiologisa. Sinar RontgenDiperlukan pengambilan gambar dua arah , antero-posterior (AP) dan lateral (L). Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior korpus vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis, menujukkan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak disekitar vertebra menimbulkan bayangan fusiform.Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin parah. Korpus menjadi kolaps dan terjadi fusi anterior yang menghasilkan angulasi yang khas disebut gibbus. Bayangan opaque pada sisi lateral vertebra, memanjang kearah distal, merupakan gambaran abses psoas pada torakal bawah dan torakolumbal yang berbentuk fusiform.b. MielografiMelalui punksi lumbal dimasukkan zat kontras kedalam ruang subdural Secara konvensional dibuat foto AP/L atau dilakukan pemeriksaan dengan CT-Scan, disebut CTmielografi. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran adanya penyempitan pada kanal spinalis dan atau tekana terhadap medula spinalis.c. CT scanDapat memperlihatkan bagian-bagian vertebra secara rinci dan melihat kalsifikasi jaringan lunak. Membantu mencari fokus yang lebih kecil, menentukan lokasi biopsi dan menetukan luas kerusakan.d. MRIMemiliki kelebihan dalam menggambarkan jaringan lunak dan aman digunakan. MRI juga memiliki kelebihan dalam mendiagnosa penyakit pada masa dini atau lesi multipel dibandingkan CT dan pemeriksaa radiologik konvensional. Gambaran lesi pada T1 weighted image adalah hypointense sedangkan pada T2 weighted image adalah hiperintens. Lesi juga dapat menjadi lebih jelas dengan injeksi Gadolinium DTPA intravena.Pada spondilitis tuberkulosa akan didapat gambaran dengan lingkara inflamasi di bagian luar dan sekuester ditengah yang hipointens ; tetapi gambaran ini mirip dengan infeksi piogenik dan neoplasma sehingga tidak spesifik untuk spondilitis tuberkulosa.e. Bone ScanDengan menggunakan Tc 99M methylene diphosphonate dan isotop gallium-67, sidik tulang memberikan sensitifitas 92% dan spesifisitas 88%. Pemeriksaan ini tidak digunakan secara rutin.

2.1.7. DiagnosisDiagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan dengan jalan pemeriksaan klinis secara lengkap termasuk riwayat kontak dekat dengan pasien TB, epidemiologi, gejala klinis dan pemeriksaan neurologi. Metode pencitraan modern seperti X ray, CT scan, MRI dan ultrasound akan sangat membantu menegakkan diagnosis spondilitis TB, pemeriksaan laboratorium dengan ditemukan basil Mycobacterium tuberculosis akan memberikan diagnosis pasti (Apley, 2001).

2.1.8. Diagnosis BandingSpondilitis TB dapat dibedakan dengan infeksi piogenik yang menunjukkan gejala nyeri di daerah infeksi yang lebih berat. Selain itu juga terdapat gejala bengkak, kemerahan dan pasien akan tampak lebih toksis dengan perjalanan yang lebih singkat dan mengenai lebih dari 1 tingkat vertebrae. Tetapi gambaran yang spesifik tidak ada sehingga spondilitis TB sulit dibedakan dengan infeksi piogenik secara klinis (Vali, 2000). Selain itu spondilitis TB juga dapat dibedakan dengan tumor, yang menunjukkan gejala tidak spesifik.

2.1.9. TatalaksanaPada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresifitas penyakit serta mencegah paraplegia.Pengobatan terdiri atas :1) Terapi konservatif berupa : a. Tirah baringb. Memperbaiki keadaan umum penderitac. ImmobilisasiPemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi maupun yang tidak dioperasi. Pemasangan gips bergantung pada level lesi, pada daerah servikal dapat dilakukan immobilisasi dengan jaket minerva , pada daerah torakal, torakolumbal dan lumbal atas immobilisasi dengan body jacket atau gips korset disertai fiksasi pada salah satu panggul. Immobilisasi pada umumnya berlangsung 6 bulan, dimulai sejak penderita diizinkan berobat jalan.

d. Pemberian obat anti tuberkulosaSesuai dengan Kategori I seperti dalam Tabel 1.INH diberikan sampai 12 bulan. Streptomycin hanya sebagai kombinasi terakhir tau tambahan pada regimen yang ada. Disamping itu ada OAT tambahan tetapi kemampuannya lemah misalnya Kanamycin, PAS, Thiazetazone, ethionamide, dan quinolone.

Tabel 1 Panduan OAT untuk tiap Kategori

Tabel 2 Dosis OAT

2) Terapi Operatif (Sapardan, 2004)Tujuan terapi operatif adalah menghilangkan sumber infeksi, mengkoreksi deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan kerusakan lebih lanjut. Salah satu tindakan bedah yang penting adalah debridement yang bertujuan menghilangkan sumber infeksi dengan cara menbuang semua debri dan jaringan nekrotik, benda asing dan mikro-organisme.Indikasi operasi:a. Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, secara klinis dan radiologis memburuk.b. Deformitas bertambah, terjadi destruksi korpus multipel.c. Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak dengan defisit neurologik, terdapat abses paravertebrald. Lesi terletak torakolumbal, torakal tengah dan bawah pada penderita anak. Lesi pada daerah ini akan menimbulkan deformitas berat pada anak dan tidak dapat ditanggulangi hanya dengan OAT.e. Radiologis menunjukkan adanya sekuester, kavitasi dan kaseonekrotik dalam jumlah banyak.

TreatmentApproachMethodsIndication

I-Basic treatmentEarly cases

IIAnteriorAnterior debridement

Evacuation of paravertebral abcess Patient in good condition Huge abcess Minimal destruction

IIIAnteriorAnterior debridement

Fusion and instrumentationCervical TB Toraco-lumbal TB

IVPosterior-AnteriorPosterior Instrumentation

Anterior debridement and circumferential fusionNon-rigid deformity

Bad tolerance for anterior approach thoracoscopic debridement & instrumentation

Infection, pain, instability, deformity and neuro deficit.

VPosterior- AnteriorPosterior instrumentationAnterior debridement and circumferential fusion

Limited shorteningRigid deformity

VIPosteriorPosterior decompression laminectomy

CostotransversectomySee indication for treatment alternative II IV

2.1.10. PrognosisPrognosis spondilitis TB bervariasi tergantung dari manifestasi klinik yang terjadi. Prognosis yang buruk berhubungan dengan TB milier, dan meningitis TB, dapat terjadi sekuele antara lain tuli, buta, paraplegi, retardasi mental, gangguan bergerak dan lain-lain. Prognosis bertambah baik bila pengobatan lebih cepat dilakukan. Mortalitas yang tinggi terjadi pada anak dengan usia kurang dari 5 tahun sampai 30% (Rahajoe et al, 2005).

2.2. Meningitis Tuberkulosis2.2.1. DefinisiMeningitis tuberkulosis peradangan pada selaput otak atau meningen oleh bakteri tahan asam Mycobacterium tuberculosis. Secara histiologik meningitis tuberkulosis merupakan meningo-ensefalitis tuberkulosa dimana terjadi invasi ke selaput dan jaringan susunan saraf pusat.Penyakit ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak (Kliegman, et al. 2004).2.2.2. EpidemiologiTuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua kasus tuberkulosis (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007)Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati (Kliegman, et al. 2004). Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan intelektual (Hardiono D. Poesponegoro dkk, 2005).

2.2.3. PatogenesisMeningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran tuberkulosis primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat juga ditemukan di abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan adanya fokus primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi berat berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan beberapa fokus metastase yang biasanya tenang (Darto Saharso, 1999).Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951. Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak, selaput otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang (Darto Saharso, 1999). Bila penyebaran hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan penyakit tuberkulosis primer seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu pencetus proses reaktivasi tersebut adalah trauma kepala (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Tumpahan protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang reaksi hipersensitivitas yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang yang paling banyak terjadi di basal otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh akan berkembang.Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis: 1) Araknoiditis proliferatifProses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen (Darto Saharso, 1999., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007). 2) Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin (Darto Saharso, 1999., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).3) Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis (Darto Saharso, 1999., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis akan menyebabkan spinal block dan paraplegia (Kliegman, et al. 2004).Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:1.Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier;2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan meningitis yang difus;3. Acute inflammatory caseous meningitis Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid4. Meningitis proliferatif Terlokalisasi, pada selaput otak Difus dengan gambaran tidak jelasGambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan pada setiap pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, berat dan lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang diberikan, virulensi dan jumlah kuman juga merupakan faktor yang mempengaruhi.

2.2.4. Manifestasi KlinikMenurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa dikelompokkan dalam tiga stadium:1) Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)a. Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggub. Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahan- lahan, tanpa kelainan neurologis c. Gejala: demam (tidak terlalu tinggi), rasa lemah, nafsu makan menurun (anorexia), nyeri perut, sakit kepala, tidur terganggu, mual, muntah, konstipasi, apatis, irritabled. Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang sering ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja tanpa disertai demam dan timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum dan didapatkan sekitar 10-15%.e. Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke stadium III.2) Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)a. Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen. b. Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas lengkung serebri. c. Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada bayi.d. Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di dasar otak menyebabkan gangguan otak / batang otak. e. Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema ringan serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis. Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral atau edema otak yang berat. f. Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun.g. Gejala: Akibat rangsang meningen sakit kepala berat dan muntah (keluhan utama), Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak: disorientasi, bingung, kejang, tremor, hemibalismus/ hemikorea, hemiparesis / quadriparesis, penurunan kesadaran, Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial: Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII Tanda: - strabismus diplopia, ptosis - reaksi pupil lambat, gangguan penglihatan kabur3) Stadium III (koma / fase paralitik)a. Terjadi percepatan penyakit, berlandsung selama 2-3 minggub. Gangguan fungsi otak semakin jelas.c. Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi oleh eksudat yang mengalami organisasi.d. Gejala: pernapasan irregular, demam tinggi, edema papil, hiperglikemia, kesadaran makin menurun, irritable dan apatik, mengantuk, stupor, koma, otot ekstensor menjadi kaku dan spasme, opistotonus, pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali. nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur, hiperpireksia, akhirnya, pasien dapat meninggal.Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebit berlangsung selama 1 minggu.Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan terlambat atau tidak adekuat (Darto Saharso, 1999., Kliegman, et al. 2004., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).2.2.5. DiagnosisAnamnesis diarahkan pada riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis, keadaan sosioekonomi, imunisasi, dsb. Gejala-gejala yang khas untuk meningitis tuberkulosa ditandai dengan tekanan intrakranial yang meninggi : muntah yang hebat, nyeri kepala yang progresif. Pungsi lumbal memperlihatkan CSS yang jernih, kadang sedikit keruh atau ground glass appearance. Bila CSS didiamkan dakan terjadi pengendapan fibrin yang halus seperti sarang laba-laba. Jumlah sel antara 10 500/ml dan kebanyakan limfosit, kadar glukoasa rendah antara 20 -40 mg%, kadar klorida di bawah 600 mg%. CSS dan endapan sarang laba-laba dapat dibiakan atau dikultur menurut pengecatan Ziehl-Nielsen atau Tan Thiam Hok. Tes tuberkulin biasa dilakukan pada bayi dan anak, hasil sering kali negatif karena keadaan anergi. Dari hasil pemeriksaan laboratorium: Darah: anemia ringan peningkatan laju endap darah pada 80% kasus (Darto Saharso, 1999., Herry Garna dan Nataprawira., 2005).

Cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan cara pungsi lumbal) : Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah berlangsung lama dan ada hambatan di medulla spinalis. Jumlah sel: 100 500 sel / l. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan limfosit sama banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel polimorfonuklear lebih banyak (pleositosis mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase akut dapat mencapai 1000 / mm3. Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm3). Hal ini menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan pada permukaan dapat tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang menunjukkan tingginya kadar fibrinogen (Iskandar Japardi, 2002). Kadar glukosa: biasanya menurun (liquor cerebrospinalis dikenal sebagai hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor cerebrospinalis adalah 60% dari kadar glukosa darah. Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan kuman (Darto Suharso. 1999., Herry Garna dan Nataprawira., 2005., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007). Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi lumbal selama 3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan pungsi lumbal kedua dan ketiga (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).Dari pemeriksaan radiologi: Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis. Pemeriksaan EEG (electroencephalography) menunjukkan kelainan kira-kira pada 80% kasus berupa kelainan difus atau fokal (Darto Suharso. 1999). CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus.Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala pada pasien meningitis tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks serebri atau talamus (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).

2.2.6. PenatalaksanaanPengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis (Darto Suharso. 1999., Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni: Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol. Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga 12 bulan.Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang digunakan pada terapi meningitis tuberkulosis: Isoniazid (INH) 5-15 mg/ kgBB/ hari, dosis maksimum 300 mg/ hariBila timbul ikterus dosis dikurangi, efek samping berupa kesemutan, gatal-gatal, nyeri otot Rifampisin (R) 10-15 mg/ kgBB/ hari, dosis maksimum 600 mg/ hariBila timbul ikterus dosis dikurangi, efek samping berupa mual, trombositopenia. Pirazinamid (Z) 25-35 mg/ kgBB/ hari, dosis maksimum 2 gram/ hari. Efek samping berupa hepatitis, nyeri sendi, reaksi hipersensitif Streptomisin (S) 15-30 mg/ kgBB/ hari, dosis maksimum 750 mg/ hari (i.m). Efek samping berupa kerusakan nervus VIII, dan bersifat nefrotoksik Etambutol (E) 15-20 mg/ kgBB/ hari, dosis maksimum 2,5 gram / hari. Efek samping berupa gangguan penglihatan Prednison 1-2 mg/ kgBB/ hari selama 2-3 minggu, dilanjutkan dengan tapering offSteroid diberikan untuk mencegah arteritis/ infark otak, komplikasi infeksi, perlekatan dan menghambat reaksi inflamasi. Jika didapatkan hidrosefalus non-komunikan, dapat dilakukan pemasangan VP-Shunt. Jika terdapat hidrosefalus komunikan, pengobatan medis dengan furosemide dan acetazolamid akan mengembalikan nilai normal tekanan intra kranial dalam satu sampai dua minggu. Pasien yang tidak berhasil dengan cara ini maka akan direncanakan pula pemasangan ventrikuloperitoneal shunt.Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai adalah prednison dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya pemberian regimen.

2.2.7. KomplikasiKomplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin (Darto Suharso. 1999).

2.2.8. PrognosisPrognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang lebih tua usianya (Darto Suharso. 1999).

2.3. Limfadenitis Tuberkulosis2.3.1. DefinisiLimfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening. Jadi, limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis (Ioachim, 2009). Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula (Dorland, 1998). Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling sering terjadi (Kumar, 2004). Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan kelenjar. Hippocrates (460-377 S.M.) menyebutkan istilah tumor skrofula pada sebuah tulisannya (Mohaputra, 2009). Penyakit ini juga sudah dikenal sejak zaman raja-raja Eropa pada zaman pertengahan dengan nama Kings evil, dimana dipercaya bahwa sentuhan tangan raja dapat menyembuhkannya (McClay, 2008). Infeksi M.tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung tuberkulosis ke kulit dari struktur dasar atau terpajan melalui kontak dengan tuberkulosis disebut dengan scrofuloderma (Dorland, 1998).

2.3.2. EpidemiologiBerdasarkan epidemiologi TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari semua kasus TB pada pasien HIV-negatif, dimana limfadenitis TB merupakan bentuk terbanyak (35% dari semua TB ekstrapulmoner). Sedangkan pada pasien dengan HIV-positif TB ekstrapulmoner adalah lebih dari 50% kasus TB, dimana limfadenitis tetap yang terbanyak yaitu 35% dari TB ekstrapulmoner (Sharma, 2004). Limfadenitis TB lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 1,2:1 (Dandapat, 1990). Berdasarkan penelitian terhadap data demografik 60 pasien limfadenitis TB didapat 41 orang wanita dan 19 orang pria dengan rentang umur 40,9 16,9 (13 88) (Geldmacher, 2002). Penelitian lainnya terhadap 69 pasien limfadenitis TB didapat 48 orang wanita dan 21 orang pria dengan rentang umur 31,4 13,1 (14 60) (Jniene, 2010).

2.3.3. Patogenesis3. Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering terjadi pada anak-anak sehingga sering disebut child-type tuberculosis, sedangkan TB post-primer (sekunder) disebut juga adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada orang dewasa, walaupun faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang dewasa (Raviglione, 2010). 4. Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium. 5. TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis (Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di 5.1.1. Manifestasi Klinik5.2. fsdfdsg21