bab ii tinjauan pustaka a. a. undang-undang no.28 …eprints.umm.ac.id/39418/3/bab ii.pdfhak cipta...
TRANSCRIPT
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Undang-undang No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
dan Copyright 1976
a. Undang-undang No.28 Tahunn 2014 tentang Hak Cipta
Sejak tahun 1886, di kalangan negara-negara di kawasan barat
Eropa telah diberlakukan Konvensi Bern, yang ditujukan bagi
perlindungan ciptaan-ciptaan di bidang sastra dan seni. Kecenderungan
negara-negara Eropa Barat untuk menjadi peserta pada Konvensi ini,hal
ini yang mendorong kerajaan Belanda untuk memperbaharui undang-
undang hak ciptanya yang sudah berlaku sejak 1881.1 Secara yuridis
formal Indonesia diperkenalkan dengan masalah hak cipta pada tahun
1912, yaitu pada saat diundangkannya Auteurswet (Wet van 23
September 1912, Staatblad 1912 Nomor 600), yang mulaiberlaku 23
September 1912. Dengan suatu undang-undang hak cipta baru pada
tanggal 1 November tahun 1912, yang dikenal dengan Auteurswet 1912.
Tidak lama setelah pemeberlakuan undang-undang ini, kerajaan Belanda
mengikatkan diripada Konvensi Bern 1886.2
1Undang- Undang Hak Cipta Belanda ini merupakan pembaharuan dari undang- undang hak cipta
yang berlaku sebelumnya pada tahun 1817; sebelum tahun ini undang- undang hak cipta yang lebih
awal mendahuluinya yang merupakan undang- undang hak cipta pertama di Belanda
diundangkan tahun 1803. Dengan demikian, baru setelah mempunyai undang- undang hak cipta
nasional selama 110 tahun, Belanda menjadi peserta Konvensi Bern 1886. Suyud Margono, Hukum
Hak Cipta Indonesia: Teori dan Analisis Harmonisasi Ketentuan World Trade Organization/WTO-
TRIPs Agreement, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 53.
2Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan Dimensi
21
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan Auteurswet 1912 ini
kemudian masih dinyatakan berlaku sesuai dengan ketentuan peralihan
yang terdapat dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar1945, Pasal 192 Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat
dan Pasal 142 Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Pemberlakuan
Auteurswet 1912 ini sudah barang tentu bersifat sementara.3 Pada tahun
1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari
Konvensi Bern dan menyatakan semua ketentuan hukum tentang hak
cipta tidak berlaku lagi, agar para intelektual Indonesia bisa
memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karya asing tanpa harus membayar
royalti. Dengan pertimbangan agar tidak menyulitkan Indonesia dalam
pergaulan masyarakat internasional, sikap itu ditinjau kembali setelah
Orde Baru berkuasa. Ketentuan lama zaman Belanda tentang hak cipta,
yakni Auteurswet 1912 berlaku lagi.4
Dalam pelaksanaannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 ini
ternyata banyak dijumpai terjadinya pelanggaran terutama dalam bentuk
tindak pidana pembajakan terhadap hak cipta, yang telahberlangsung dari
waktu ke waktu dengan semakin meluas dan sudah mencapai tingkat
yang membahayakan dan merugikan kreatifitas untuk mencipta, yang
dalam pengertian yang lebih luas juga akan membahayakan sendi
Hukumnya di Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2003, hlm. 56.
3 Suyud Margono, op.cit., hlm. 57. 4Harris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HKI (Hak Kekayaan Intelektual : Hak
Cipta,Paten, Merek dan Seluk- beluknya), hlm.22.
22
kehidupan dalam arti seluas-luasnya. Setelah 37 tahun Indonesia
merdeka, Indonesia sebagai negara berdaulat mengundangkan suatu
Undang-Undang nasional tentang Hak Cipta, tepatnya tanggal 12 April
1982, pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencabut Auteurswet
1912 Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912 dan sekaligus mengundangkan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang dimuat
dalam Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15. Undang-undang ini
pada prinsipnya peraturannya sama dengan Auteurswet 1912 namun
disesuaikan dengan keadaan Indonesia pada saat itu.5 Perkembangan
kegiatan pelanggaran hak cipta tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Sebab-sebab timbulnya keadaan tersebut bersumber kepada:6
a. Masih belum memasyarakatnya etika untuk menghargai karya
cipta seseorang;
b. Kurangnya pemahaman terhadap arti dan fungsi hak cipta, serta
ketentuan undang-undang hak cipta pada umumnya, yang
disebabkan karena masih kurangnya penyuluhan mengenai hal
tersebut;
c. Terlalu ringannya ancaman yang ditentukan dalam undang-undang
hak cipta terhadap pembajakan hak cipta.
Namun di luar faktor diatas, pengamatan terhadap Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1982 itu sendiri ternyata juga menunjukkan masih
5 Rahmadi Usman, op. cit., hlm. 59. 6 Suyud Margono, op.cit., hlm. 58.
23
perlunya dilakukan beberapa penyempurnaan sehingga mampu
menangkal pelanggaran tersebut. Dalam memenuhi tuntutan
penyempurnaan atas Undang – Undang Hak Cipta 1982 tersebut, maka
pada tanggal 23 September 1987 Pemerintah atas persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat, diundangkanlah Undang - Undang Nomor 7 Tahun
1987 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta.
Di dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1987 skala
perlindungan pun diperluas, diantara perubahan mendasar yang terjadidi
dalamnya adalah masa berlaku perlindungan karya cipta diperpanjang
menjadi 50 tahun setelah meninggalnya si pencipta. Karya-karya seperti
rekaman dan video dikategorikan sebagai karya - karya yang dilindungi.
Selain itu salah satu kelemahan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1982 dalam menanggulangi pelanggaran hak cipta karena peraturan
pidananya sebagai delik aduan. Penyidik baru dapat melakukan
penangkapan terhadap pelakunya setelah adanya pengaduan dari pihak
korban. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987
peraturan pidananya diubah menjadi delik biasa. Warga masyarakat
dapat melaporkan adanya peristiwa pelanggaran hak cipta tanpa perlu
ada pengaduan dari korban, penyidik dapat melakukan penangkapan
terhadap pelakunya.7
7Gatot Supramono, Hak Cipta dan Aspek- Aspek Hukumnya, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 5-
6.
24
Kemudian setelah berjalan selama 10 tahun UU Nomor 6 Tahun
1982 jo UU Nomor 7 Tahun 1987 diubah dengan UU Nomor 12 Tahun
1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang hak cipta
yang telah diubah UU Nomor 7 Tahun 1987. Perubahan undang-undang
ini dikarenakan negara kita ikut serta dalam Persetujuan tentang Aspek-
Aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade
Related Aspect of Intellectual Property Rights, Including Trade
Counterfeit Goods/ TRIPs) yang merupakan bagian dari Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing
the World Trade Organization). Dengan keterkaitan tersebut negara kita
telah meratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 1994 dan melanjutkan
dengan menerapkan dalam undang-undang yang salah satunya adalah
UndangUndang Hak Cipta.
Selain itu, Indonesia juga meratifikasi Berne Convention for the
Protection of Arstistic and Literary Works (Konvensi Berne tentang
Perlindungan Karya Seni dan Sastra) melalui Keputusan Presiden Nomor
18 Tahun 1997 dan World Intellectual Property Organization Copyrights
Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO) dengan Keputusan Presiden Nomor
19 Tahun 1997. Walaupun perubahan pengaturan Hak Cipta melalui
UUHC 1997 telah memuat beberapa penyesuaian pasal yang sesuai
dengan Perjanjian TRIPs, masih terdapat beberapa hal yang perlu
disempurnakan untuk memberi perlindungan bagi karya-karya
intelektual di bidang hak cipta, termasuk upaya umtuk memajukan
25
perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni
dan budaya bangsa Indonesia. Dengan memperhatikan hal tersebut
dipandang perlu untuk mengganti UUHC dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Lalu disadari karena kekayaan
seni dan budaya, serta pengembangan kemampuan intelektual
masyarakat Indonesia memerlukan perlindungan hukum yang memadai
agar terdapat iklim persaingan usaha yang sehat yang diperlukan dalam
melaksanakan pembangunan nasional, maka dibentuklah UUHC yang
baru, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
agar sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat.
b. Copyright 1976.
Sejarah undang-undang hak cipta Amerika berasal dari
diperkenalkannya mesin cetak ke Inggris pada akhir abad ke-15. Seiring
bertambahnya jumlah tekanan, pihak berwenang berusaha
mengendalikan penerbitan buku dengan memberikan monopoli yang
hampir monopoli pada penerbitan di Inggris. The Licensing Act of 1662
mengkonfirmasi bahwa monopoli dan membuat daftar buku-buku
berlisensi untuk dikelola oleh Perusahaan Stationer, sebuah kelompok
printer yang memiliki wewenang untuk menyensor publikasi. Tindakan
1662 tersebut gagal pada tahun 1695 yang menyebabkan relaksasi
penyensoran pemerintah, dan pada tahun 1710 Parlemen memberlakukan
Statuta Anne untuk menangani masalah penjual buku dan printer Inggris.
Tindakan 1710 menetapkan prinsip kepemilikan hak cipta penulis dan
26
jangka waktu perlindungan hak cipta karya cipta (empat belas tahun, dan
dapat diperpanjang selama empat belas lebih jika pengarangnya masih
hidup saat kadaluarsa).
Undang-undang tersebut mencegah monopoli penjual buku dan
menciptakan "domain publik" untuk sastra dengan membatasi
persyaratan hak cipta dan dengan memastikan bahwa setelah sebuah
karya dibeli, pemilik hak cipta tidak lagi memiliki kendali atas
penggunaannya. Meskipun undang-undang itu memberikan hak cipta
seorang penulis, manfaatnya sangat minim karena untuk mendapatkan
pekerjaan seorang penulis harus menyerahkannya ke penjual buku atau
penerbit. Sejak Statuta Anne hampir tiga ratus tahun yang lalu, undang-
undang AS telah direvisi untuk memperluas cakupan hak cipta, untuk
mengubah istilah perlindungan hak cipta, dan untuk mengatasi teknologi
baru. Selama beberapa tahun, AS telah mempertimbangkan dan
bertindak berdasarkan reformasi hak cipta. Pemerintah Kanada
mempertimbangkan reformasi hak cipta juga.
a) 1787: Konstitusi AS
Menurut Pasal I, Bagian 8, Klausul 8 Konstitusi AS ,
"Kongres harus memiliki kekuatan ... untuk mempromosikan
kemajuan sains dan seni yang bermanfaat, dengan mengamankan
waktu yang terbatas bagi penulis dan penemu hak eksklusif atas
tulisan masing-masing. Dan penemuan. "
b) 1790: Undang-Undang Hak Cipta 1790
27
Kongres Pertama menerapkan ketentuan hak cipta Konstitusi
AS pada tahun 1790. Undang-Undang Hak Cipta 1790, Undang-
Undang untuk Dorongan Belajar, dengan Mengamankan Salinan
Peta, Diagram, dan Buku kepada Penulis dan Pemilik Salinan
tersebut, dimodelkan Pada Statuta Anne (1710). Ini memberi hak
kepada penulis Amerika untuk mencetak, mencetak ulang, atau
menerbitkan karya mereka selama empat belas tahun dan
memperbaharui untuk empat belas tahun lagi. Undang-undang
tersebut dimaksudkan untuk memberi insentif kepada penulis,
seniman, dan ilmuwan untuk menciptakan karya orisinil dengan
menyediakan monopoli pencipta. Pada saat bersamaan, monopoli
terbatas untuk merangsang kreativitas dan kemajuan "sains dan seni
yang bermanfaat" melalui akses publik yang luas terhadap karya-
karya di "ranah publik". Revisi besar untuk tindakan tersebut
dilaksanakan pada tahun 1831, 1870, 1909, dan 1976.
c) 1831: Revisi Undang-Undang Hak Cipta
Istilah perlindungan karya berhak cipta diperpanjang sampai
dua puluh delapan tahun dengan kemungkinan perpanjangan empat
belas tahun. Kongres mengklaim bahwa pihaknya memperpanjang
masa jabatan tersebut untuk memberi perlindungan yang sama
kepada orang-orang Amerika di Eropa. Perpanjangan ini berlaku
baik untuk karya masa depan maupun karya terbaru yang hak
ciptanya tidak kedaluwarsa.
28
d) 1870: Revisi Undang-Undang Hak Cipta
Administrasi pendaftaran hak cipta dipindahkan dari pengadilan
distrik masing-masing ke Kantor Hak Cipta Perpustakaan Kongres.
Istilah perlindungan tidak diperpanjang dalam revisi ini.
e) 1886: Konvensi Berne
Tujuan Konvensi Bern memberikan dasar untuk saling mengakui
hak cipta antara negara-negara berdaulat dan mempromosikan
pengembangan norma-norma internasional dalam perlindungan hak
cipta. Negara-negara Eropa membuat undang-undang hak cipta
seragam yang saling memuaskan untuk menggantikan kebutuhan
pendaftaran terpisah di setiap negara. Perjanjian tersebut telah
direvisi lima kali sejak tahun 1886. Catatan khusus adalah revisi
pada tahun 1908 dan 1928. Pada tahun 1908, Undang-Undang Berlin
menetapkan durasi hak cipta atas kehidupan penulis ditambah 50
tahun, memperluas cakupan tindakan untuk memasukkan yang lebih
baru. Teknologi, dan formalitas terlarang sebagai prasyarat
perlindungan hak cipta. Pada tahun 1928, Undang-Undang Roma
pertama kali mengakui hak moral para penulis dan seniman,
memberi mereka hak untuk menolak modifikasi atau penghancuran
sebuah karya dengan cara yang dapat merugikan atau mengurangi
reputasi para seniman. Amerika Serikat menjadi penandatangan
Berne pada tahun 1988.
29
f) 1891: Perjanjian Hak Cipta Internasional
Karena undang-undang hak cipta Amerika hanya berlaku untuk
publikasi Amerika, penulis Eropa tidak dapat memperoleh
keuntungan dari publikasi dan penjualan karya mereka dengan harga
sangat murah selama abad kesembilan belas. Gerakan "buku murah"
yang disebut, menyebar dengan cepat oleh penerbit pemula yang
baru setelah Perang Saudara, mengancam "prinsip sopan santun"
dari penetapan harga sopan yang dipatuhi oleh penerbit besar dan
mapan seperti Henry Holt. Pada tahun 1880-an buku murah
membanjiri pasar Amerika. Pada tahun 1890, asosiasi, dan serikat
pekerja printer digabungkan untuk mendukung undang-undang hak
cipta internasional (Vaidhyanathan, 50-55).
g) 1909: Revisi Undang-Undang Hak Cipta AS
Revisi utama Undang-Undang Hak Cipta AS diselesaikan pada
tahun 1909. RUU tersebut memperluas cakupan kategori yang
dilindungi untuk mencakup semua karya kepengarangan, dan
memperpanjang masa perlindungan sampai dua puluh delapan tahun
dengan kemungkinan perpanjangan dua puluh delapan. Kongres
membahas kesulitan menyeimbangkan kepentingan publik dengan
hak pemilik:
"Objek utama yang diinginkan dalam memperluas
perlindungan hak cipta yang diberikan pada musik adalah
30
memberi komposer pengembalian yang memadai untuk nilai
komposisinya, dan ini merupakan tugas yang serius dan sulit
untuk menggabungkan perlindungan komposer dengan
perlindungan Publik, dan untuk membingkai suatu tindakan
bahwa hal itu akan mencapai tujuan ganda untuk menjamin
komposer pengembalian yang memadai untuk semua
penggunaan yang dibuat dari komposisinya dan pada saat yang
sama mencegah pembentukan monopoli yang menindas, yang
mungkin didasarkan pada yang sangat Hak yang diberikan
kepada komposer untuk tujuan melindungi kepentingannya
"(HR No. 2222, 60th Cong, 2nd Sess, hal. 7 [1909]).”
h) 1976: Revisi Undang-Undang Hak Cipta AS
Revisi tahun 1976 dilakukan dengan dua alasan utama. Pertama,
perkembangan teknologi dan dampaknya terhadap apa yang
mungkin menjadi hak cipta, bagaimana karya bisa disalin, dan apa
yang merupakan pelanggaran harus ditangani. Kedua, revisi tersebut
dilakukan untuk mengantisipasi kepatuhan Konvensi Berne oleh AS.
Rasanya undang-undang tersebut perlu diubah agar AS sesuai
dengan hukum, praktik, dan kebijakan hak cipta internasional.
Tindakan tahun 1976 mendahului semua undang-undang hak cipta
sebelumnya dan memperpanjang masa perlindungan terhadap
kehidupan penulis ditambah 50 tahun (karya untuk dipekerjakan
dilindungi selama 75 tahun). Tindakan tersebut mencakup bidang
31
berikut: lingkup dan materi pokok yang tercakup, hak eksklusif, hak
cipta, pemberitahuan hak cipta dan pendaftaran hak cipta,
pelanggaran hak cipta, penggunaan wajar dan pertahanan dan
pemulihan terhadap pelanggaran.
Dengan revisi ini, untuk pertama kalinya penggunaan wajar dan
doktrin penjualan pertama dikodifikasi, dan hak cipta diperluas ke karya
yang tidak dipublikasikan. Sebagai tambahan, sebuah seksi baru
ditambahkan, bagian 108, yang memungkinkan fotokopi perpustakaan
tanpa izin untuk keperluan beasiswa, pelestarian, dan pinjaman
interlibrary dalam kondisi tertentu.
Selain bagian 108, bagian 107 penting bagi perpustakaan karena berisi
pengecualian hak eksklusif pemilik untuk membuat dan
mendistribusikan salinan karya mereka. Ini menyatakan bahwa :
"penggunaan wajar karya berhak cipta, termasuk penggunaan
semacam itu oleh reproduksi dalam salinan atau phonorecords atau
dengan cara lain yang ditentukan oleh bagian itu, untuk tujuan seperti
kritik, komentar, pelaporan berita, pengajaran (termasuk banyak
salinan untuk penggunaan kelas ), Beasiswa, atau penelitian,
bukanlah pelanggaran hak cipta.".
Untuk menentukan apakah penggunaan suatu karya adalah
penggunaan wajar, keempat faktor berikut harus dipertimbangkan:
tujuan dan karakter penggunaan, sifat karya berhak cipta, jumlah dan
32
substansial dari bagian yang digunakan dalam kaitannya dengan
keseluruhan, dan Efek dari penggunaan pada pasar potensial.8
B. Tinjauan tentang Pertimbangan Hakim
Dalam memutuskan suatu perkara tentunya hakim harus
mempertimbangkan hal-hal yang menjadi dasar putusannya. Menurut
Mackenzei, dalam menjatuhkan putusan ada beberapa teori yang dapat
dipergunakan oleh hakim, yaitu sebagai berikut :
a. Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah keseimbangan
antara syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang dan
kepentinagan pihak-pihak yang tesangkut atau berakitan dengan
perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang
berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan
kepentingan korban.
b. Teori Pendekatan seni dan intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau
kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan
putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang
wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan
pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana.
Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu
8http://www.arl.org/focus-areas/copyright-ip/2486-copyright-timeline
33
putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada
penegtahuan dari hakim.
c. Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan
pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian
khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu
dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim.
Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa
dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas
dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan
ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam
menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.
d. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat
membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang
dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya,
seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan
yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan
pelaku, korban masyarakat.
e. Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok
perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan
34
perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang
disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan,
serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang
jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para
pihak yang berperkara.9
C. Tinjauan Teori tentang kedudukan hewan sebagai subyek hukum
Subjek hukum berasal dari terjemahan Rechtsubject (Belanda) atau Law
of subject (Inggris). Pada umumnya diartikan sebagai pendukung hak dan
kewajiban. Pengertian subject hukum menurut Algra adalah setiap orang yang
mempunyai hak dan kewajiban, jadi mempunyai wewenang hukum
(rechtsbevoegheid) adalah kewenangan untuk mempunyai hak dan
kewajiban.10
Manusia pribadi atau naturlijk persoon sebagai subjek hukum mempunyai
hak dan mampu menjalankan haknya dijamin oleh hukum yang berlaku.
Manusia sebagai subjek hukum itu diatur secara luas pada buku I tentang
orang (van personen) KUHPer, Undang-Undang Kewarganegaraan, Undang-
Undang Orang Asing dan beberapa perundang-undangan lainnya.11
Menurut pasal 1 KHUPer mengatakan bahwa12:
“Menikmati hak perdata tidaklah tergantung pada hak kenegaraan”
9 Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif.
Malang: Sinar Grafika. Hal. 105-110 10Salim. 2002. Pengantar Hukum Perdata tertulis (BW).Jakarta. Sinar Grafika Offset. Hal.23. 11 Kansil. Modul Hukum Perdata I, Jakarta: PT Pradnya Paramita, cet 1, hal 85 12 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya
Paramita. Cet 34, hal 3
35
Pada pasal 2 KUHPer menegaskan bahwa anak yang ada dalam
kandungan bila kepentingan si anak menghendakinya, dan apabila si anak itu
mati sewaktu dilahirkan, dianggap ia tidak pernah ada.13
Secara riil menurut KUHPer manusia sebagai subjek hukum berlaku
sejak ia lahir dan berakhir dengan kematiannya, sehingga dikatakan bahwa
selama manusia hidup, maka ia menjadi manusia pribadi. Pengecualian
diadakan oleh pasal 2 KUHPerdata, yaitu14:
a. Ayat (1) Anak yang dalam kandungan dianggap telah lahir apabila
kepentingan anak menghendaki.
b. Ayat (2) Apabila anak meninggal pada saat dilahirkan atau sebelumnya
maka dianggap tidak pernah ada.
Ketentuan yang termuat dalam pasal 2 BW tersebut sering disebut
rechfictie dan merupakan ketentuan yang sangat penting dalam masalah
warisan.15
Di Indonesia masih belum mengatur tentang kedudukan seekor hewan
sebagai subjek hukum. Kedudukan hewan masih termasuk dalam benda
bergerak yang disebutkan dalam pasal 503 sampai dengan pasal 504 KUH
Perdata bahwa benda dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1) Benda yang bersifat kebendaan (Benda Bergerak). Benda bergerak juga
dibedakan atas dua yaitu :
13 R. Abdoel Djamali, S.H. Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT Raja Garafindo Persada, cet
3, hal 151 14 R. Abdoel Djamali, S.H., Op.cit hal.3 15R. Soeroso, S,H. Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, cet ke 7, hal 142
36
a. Benda bergerak karena sifatnya Misalnya : kursi, meja, dan hewan
– hewan yang dapat berpindah sendiri.
b. Benda bergerak karena ketentuan undang – undang Misalnya : hak
memungut hasil atas benda – benda bergerak, saham – saham
perseroan terbatas.
2) Benda yang bersifat tidak kebendaan (Benda Tidak bergerak)
Benda tidak bergerak dibedakan atas tiga yaitu :
a. Benda bergerak karena sifatnya. Misalnya : tanah, tumbuh –
tumbuhan, arca, patung.
b. Benda tidak bergerak karena tujuannya. Misalnya : mesin alat –
alat yang dipakai dalam pabrik.
c. Benda tidak bergerak karena ketentuan undang – undang. Misalnya
: hak pakai atas benda tidak bergerak dan hipotik.
Berbeda halnya dengan hukum yang berkembang di Swiss, Jerman, dan
Austria yang sudah menetapkan hewan sebagai subyek hukum yang bahkan
sudah dibuatkan Undang-undang khusus tentang Kesejahteraan Hewan.
D. Tinjauan tentang LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam
berperkara di Pengadilan dan PETA (People for the Ethical Treatment
of Animals).
a. LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
Organisasi non-pemerintah internasional (LSM) memiliki sejarah yang
dimulai setidaknya pada akhir abad kedelapan belas. Diperkirakan pada
37
tahun 1914, ada 1083 LSM. LSM internasional penting dalam gerakan anti-
perbudakan dan gerakan untuk hak pilih perempuan, dan mencapai
puncaknya pada saat Konferensi Perlucutan Senjata Sedunia.Namun,
ungkapan "organisasi non-pemerintah" atau NGO baru mulai populer
dengan dibentuknya Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun
1945 dengan ketentuan dalam Pasal 71 dari Bab 10 Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk sebuah peran konsultasi bagi organisasi yang bukan
pemerintah atau anggota Negara bagian.
Definisi "LSM internasional" (INGO) pertama kali diberikan dalam
resolusi 288 (X) dari ECOSOC pada tanggal 27 Februari 1950: ini
didefinisikan sebagai "organisasi internasional manapun yang tidak
didirikan oleh sebuah perjanjian internasional". Peran vital LSM dan
"kelompok besar" lainnya dalam pembangunan berkelanjutan diakui di Bab
27 Agenda 21, yang mengarah pada pengaturan intensif untuk hubungan
konsultatif antara Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi non-
pemerintah. Telah diamati bahwa jumlah INGO yang didirikan atau
dibubarkan sesuai dengan "keadaan dunia" umum, meningkat dalam
periode pertumbuhan dan penurunan pada periode krisis. Perkembangan
pesat sektor non-pemerintah terjadi di negara-negara barat akibat proses
restrukturisasi negara kesejahteraan. Globalisasi lebih lanjut dari proses itu
terjadi setelah jatuhnya sistem komunis dan merupakan bagian penting dari
konsensus Washington.
38
Globalisasi selama abad ke-20 memunculkan pentingnya LSM. Banyak
masalah tidak bisa diatasi dalam sebuah negara. Perjanjian internasional dan
organisasi internasional seperti World Trade Organization berpusat pada
kepentingan perusahaan kapitalis.Dalam upaya untuk mengimbangi
kecenderungan ini, LSM telah berkembang untuk menekankan masalah
kemanusiaan, bantuan pembangunan dan pembangunan berkelanjutan.
Contoh yang menonjol dari hal ini adalah Forum Sosial Dunia, yang
merupakan konvensi saingan untuk Forum Ekonomi Dunia yang diadakan
setiap tahun di bulan Januari di Davos, Swiss. Forum Sosial Dunia kelima
di Porto Alegre, Brasil, pada bulan Januari 2005 dihadiri oleh perwakilan
dari lebih dari 1.000 LSM.Dalam hal isu lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan, KTT Bumi di Rio pada tahun 1992 adalah yang pertama
menunjukkan kekuatan LSM internasional, ketika sekitar 2.400 perwakilan
LSM memainkan peran sentral dalam pertimbangan. Beberapa berpendapat
bahwa di forum seperti ini, LSM menggantikan apa yang seharusnya
menjadi bagian gerakan rakyat jelata. Apapun masalahnya, jaringan
transnasional LSM sekarang luas.
Isu lain yang membuat LSM berkembang lebih lanjut adalah
ketidakefisienan beberapa struktur global berat. Misalnya, pada tahun 1994,
mantan utusan PBB ke Somalia Mohamed Sahnoun menerbitkan sebuah
buku berjudul "Somalia: The Missed Opportunities", di mana dia dengan
jelas menunjukkan bahwa ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa mencoba
memberikan bantuan kemanusiaan, mereka benar-benar mengungguli LSM,
39
yang memiliki kompetensi Dan dedikasi sangat kontras dengan
kewaspadaan dan ketidakefisienan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
berlebihan, utusan utama Somalia mereka beroperasi dari keamanan meja
mereka di Nairobi. Penolakan Boutros Boutros-Ghali, yang kemudian
Sekretaris Jenderal PBB menerima kritik ini menyebabkan misi awal
Mohamed Sahnoun di Somalia dimulai.16 Status hukum LSM tidak pasti
dan tidak sempurna. Pencarian LSM untuk pengakuan status mereka di
bawah hukum internasional hampir seabad. Permintaan pertama untuk efek
itu disuarakan dalam sebuah resolusi di Brussels 1910 di kongres dunia
asosiasi internasional. Empat puluh tahun dan 2 Perang Dunia kemudian,
masyarakat internasional memberi permulaan sebuah jawaban, dengan
mengadopsi Konvensi Hague 1956 tentang pengakuan kepribadian legal
perusahaan asing, asosiasi dan yayasan. Namun, pemerintah lebih dari
sekadar ragu untuk memberlakukan instrumen hukum internasional swasta
ini. Itu tidak pernah mulai berlaku.
Inisiatif baru diambil pada tahun 1959 oleh Union of International
Associations, yang berkampanye atas nama asosiasi internasional (tidak
hanya asing) dan proposal yang beredar ke berbagai organisasi di seluruh
dunia. Salah satunya, FAO, yang dikelilingi oleh nebula LSM, bereaksi
positif. Mengingat fakta bahwa banyak LSM dan LSM di seluruh dunia
berkantor pusat di Eropa, FAO menyarankan bahwa organisasi Eropa tertua
dan terluas, Dewan Eropa, harus memimpin jalannya. Dewan
16http://ngowatchdog.org/history-of-ngo/2016/History of NGO
40
menerima.Daftar belanja asli LSM sangat ambisius dan termasuk
permintaan akan hak istimewa perpajakan. Namun, Dewan Eropa, yang
sadar akan pepatah «qui trop embrasse mal étreint», mengurangi proposal
tersebut menjadi satu item tunggal: pengakuan hukum internasional, alfa
dan omega LSM. Namun, pertanyaan pajak itu tidak dilupakan namun
diambil oleh organisasi lain, Interphil dan cabang Eropa yang terakhir,
Europhil, yang masih mengerjakan masalah ini. Ini sedang mempersiapkan
meja bundar tentang perpajakan LSM di Barbados musim panas 2000).
Konvensi N ° 124, pada tanggal 24 April 1986, lebih dari 75 tahun
setelah resolusi Brussels, Konvensi tentang pengakuan kepribadian hukum
organisasi non-pemerintah internasional, yang terdaftar dalam European
Treaty Series di bawah N ° 124, ditandatangani pada sebuah upacara di
Strasbourg. Mulai 1 Januari 1991. Terdiri dari 11 artikel pendek. Di
bawahnya, sebuah LSM internasional yang didirikan di negara A secara
otomatis dikenali seperti di negara-negara B, C dan D. Konvensi N ° 124
adalah instrumen hukum internasional pertama dan satu-satunya di LSM.
Sembilan negara telah meratifikasi atau menandatangani Konvensi tersebut,
dan diharapkan orang lain akan mengikuti, terutama di Eropa Tengah dan
Timur. Empat negara yang memiliki populasi LSM besar: Inggris, Belgia,
Prancis dan Swiss, telah meratifikasinya. Dua partai di Eropa tengah,
Austria dan Slovenia, menempati fungsi jembatan antara Timur dan Barat.
Dua yang lain memiliki hubungan yang sangat khusus dengan LSM asing:
Yunani, di mana begitu banyak lembaga arkeologi asing aktif dan Portugal
41
yang menjadi anggota Council of Europe Utara-Selatan untuk saling
ketergantungan dan solidaritas yang memberikan peran khusus kepada
LSM. Apalagi Siprus juga sedang dalam proses menjadi partai. Tanda
tangannya dimotivasi oleh keterikatannya yang kuat ke Eropa.17
Perjalanan LSM di Indonesia pada awal kemunculannya melalui
perspektif sejarah dan mengacu pada pembagian generasi di atas, ada yang
berpendapat bahwa cikal-bakal LSM di Indonesiatelah ada sejak pra-
kemerdekaan. Lahir dalam bentuk lembaga keagamaan yang sifatnya
sosial/amal (dapat dikategorikan generasi pertama).
Tahun 50-an tercatat muncul LSM yg kegiatannya bersifat alternatif
terhadap program pemerintah, dua pelopornya misal LSD (Lembaga Sosial
Desa) dan Perkumpulan Keluarga Kesejahteraan Sosial. Tahun 60-an lahir
beberapa lembaga yg bergerak terutama dalam pengembangan pedesaan.
Pendekatan dengan proyek-proyek mikro menjadi ciri utama masa ini,
terutama yang menyangkut aspek sosial ekonomi pedesaan. Pada kurun
waktu ini pula lembaga-lembaga inimerintis jaringan kerjasama nasional
misal lahir Yayasan Sosial Tani Membangun yg kemudian berkembang
menjadi Bina Desa, Bina Swadaya.Ciri LSM yg muncul dan berkembang
pada th 70-an merupakan fenomena yang unik. Inidipengaruhi oleh ORBA.
LSM merupakan reaksi sebagian anggota masyarakat atas kebijakan
pembangunan yang ditempuh saat itu. Dasar penggeraknya adalah motivasi
17 Frits Hondius. 2008. Recognition and Protection of NGOs in International Law. Vol.2 Issue.2.
ICNL
42
untuk mempromosikan peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam
pembangunan. Meski juga berorientasi pada proyek mikro, juga mengaitkan
persoalan kebijaksanaan pada tingkat makro, contohnya LSM yang lahir
pada generasi ini adalah LBH, YLKI, LP3ES. Sejak masa itu sampai kini,
perkembangan LSM di Indonesia sangat pesat. Visi, misi, pendekatan dan
isu beragam. Perkembangan LSM tidak bisa lagi dilihat secara linier
danmengikuti urutan waktu generasi per generasi.Perjalanan LSM di
Indonesia sekitar tahun 1970-an disebut sebagai ORNOP yang
merupakanterjemahan dari NGO. Ornop/NGO bisa merupakan satu
lembaga bisnis (swasta), organisasi profesi, klub olah raga, kelompok artis,
jama'ah aliran agama, lembaga dana, yang penting semuaorganisasi yang
bukan pemerintah. Interaksi antar kelompok ORNOP ini mempengaruhi
tatanansosial politik masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Masing-masing memperjuangkan kepentingannya dan pemerintah
hanya berfungsi sebagai wasit (yang adil). Segala sesuatu dimulai dari
masyarakat dalam suasana yang hampir-hampir bebas dari intervensi
negara. Istilah ORNOP kemudian dirubah menjadi LSM karena di satu sisi,
adanya kesan dan anggapan bahwa istilah ORNOP memiliki konotasi
negatif seakan-akan melawan pemerintah (jaman ORBA alergi sekali
dengan yg berbau oposisi, atau non-pemerintah). Di lain pihak,dalam
kalangan aktivisnya saat itu ada kesadaran bahwa gerakan mereka ini
dilandasi oleh suatu misi positif, yakni mengembangkan kemandirian dan
membangun kesadaran, tidak semata-mata "bukan pemerintah / non
43
government". Pergeseran ORNOP menjadi LSM sebenarnya menimbulkan
perbedaan arti, landasan ORNOP adalah untuk "non governmentalism",
sedangkan LSM adalah "auto governmentalism" dengan kata lain yang
dibangun oleh LSM bukan "non kepemerintahan" tetapi keswadayaan dan
kemandirian. Penggantian istilah ORNOP menjadi LSM sesungguhnya
telah memberikan perbedaan makna yang sangat mendasar. Formalisasi
kemudian dilakukan pemerintah terhadap LSM melalui UU. No. 4 tahun
1982 tentang pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (kemudian
diatur pula dengan UU No. 8 tahun 1985 tentang keormasan, dan
Inmendagri No. 8 tahun 1990). Pada pasal 19 UU No. 4 tahun 1982
disebutkan :"Lembaga Swadaya Masyarakat berperan sebagai penunjang
bagi pengelolaan Lingkungan Hidup", sedangkan dalam penjelasannya
LSM mencakup antara lain:a. Kelompok profesi yang berdasarkan
profesinya tergerak menangani masalah lingkungan. Kelompok hobi yang
mencintai kehidupan alam terdorong untuk melestarikannya. Kelompok
minat yang berminat untuk membuat sesuatu bagi pengembangan
lingkungan hidup. Batasan, fungsi dan peran LSM dibandingkan dengan
pengertian aslinya (dalam arti NGO) menjadi teredusir. Karena keberadaan
LSM terutama saat ORBA sarat dgn intervensi pemerintah maka ada
beberapa LSM yang kemudian dalam pergerakannya memakai bentuk
Yayasan, karena Yayasan lebih fleksibel.
Dalam PBB, sejak tahun 1970-an, NGO memperoleh status resmi
(consultative status). NGO juga mempunyai kode etik yang berlaku secara
44
internasional. Sampai sekarang hampir semua kesempatan dalam pertemuan
delegasi NGO berhak hadir dengan suara penuh/disediakan forum-forum
khusus untuk NGO. Kehadiran NGO dalam sistem PBB ini telah pula
dilembagakan secara permanen, di bawah UNDP, di sebut NGO Forum, di
Indonesia NGO Forum ini mungkin karena kekaburan makna dan keunikan
LSM di Indonesia, sering menjadi olok-olok "Gongo"(Government NGO),
atau LSM-LSM plat merah. Perkembangan selanjutnya di Indonesia, UU
No. 4 tahun 1982 digantikan oleh UU No. 23 tahun1997 , UU ini tidak
menjelaskan definisi LSM (tapi paling tidak UU ini mengakui environment
legal standing) sementara itu UU. No. 8 tahun 1985 telah dicabut. Jadi untuk
sementara ini, LSM diatur Inmendagri, tapi logikanya Inmendagri ini juga
tidak berlaku karena peraturan yg di atasnya telah dicabut) dan kemudian di
era Reformasi bentuk Yayasan pun mulai diintervensi pemerintahdengan
dikeluarkannya UU Yayasan.
b. PETA (People for the Ethical Treatment of Animals)
PETA (People for the Ethical Treatment of Animals )adalah
organisasi hak hewan Amerika yang berbasis di Norfolk, Virginia , dan
dipimpin oleh Ingrid Newkirk, presiden internasionalnya. Sebuah
perusahaan nirlaba dengan 300 karyawan, mengklaim bahwa mereka
memiliki 3 juta anggota dan pendukung (5 juta total) dan merupakan
kelompok hak asasi hewan terbesar di dunia. Slogannya adalah "binatang
bukan milik kita untuk dimakan, dipakai, diujicobakan, digunakan untuk
hiburan, atau pelecehan dengan cara lain.
45
Didirikan pada bulan Maret 1980, oleh Newkirk dan aktivis hak
binatang sesama Alex Pacheco , organisasi tersebut pertama kali menarik
perhatian publik pada musim panas 1981 selama apa yang dikenal
sebagai kasus monyet Silver Spring, sebuah perselisihan yang
dipublikasikan secara luas tentang eksperimen yang dilakukan pada 17
monyet kera di dalam Institute of Behavioral Research di Silver Spring,
Maryland .PETA adalah organisasi hak-hak binatang dan, dengan
demikian, menolak spesies dan juga menentang penggunaan dan
penyalahgunaan hewan dengan cara apapun, seperti makanan, pakaian,
hiburan, atau subjek penelitian. PETA melobi instansi pemerintah untuk
mengenakan denda dan / atau menyita hewan saat undang-undang
tentang kesejahteraan hewan dilanggar, mempromosikan gaya hidup
vegan, mencoba untuk melakukan reformasi praktik di pabrik peternakan
dan di rumah pemotongan hewan, mengirimkan penyidik yang
menyamar ke laboratorium penelitian hewan, peternakan, dan sirkus.
Mereka juga memprakarsai kampanye media melawan perusahaan
atau praktik tertentu, membantu menemukan tempat-tempat suci bagi
hewan yang sebelumnya digunakan oleh sirkus dan kebun binatang, dan
melakukan tuntutan hukum terhadap perusahaan yang menolak untuk
mengubah praktik mereka.Kelompok ini telah dikritik oleh beberapa
advokat hak hewan karena kesediaannya bekerja dengan industri yang
menggunakan hewan untuk tujuan mempengaruhi perubahan bertahap.
46
Newkirk menolak kritik ini dan mengatakan bahwa kelompok tersebut
ada untuk memegang garis radikal.
Kelompok ini memiliki 3 juta anggota dan pendukung, mereka
menerima sumbangan lebih dari $ 50 juta untuk tahun yang berakhir pada
tanggal 31 Juli 2014, dan situsnya menerima 4 juta klik per bulan pada
bulan November 2008. Lebih dari 88 persen anggaran operasional
dihabiskan untuk Programnya pada 2013-2014, 10 persen untuk
pengembangan keanggotaan, dan 1 persen pada manajemen dan operasi
umum. Sepuluh persen stafnya memperoleh pendapatan di bawah $
30.000 dan 43 persen di atas $ 40.000, dan Newkirk menghasilkan lebih
dari $ 40.000.
Meskipun mendapat kritikan dari beberapa pihak, PETA tetap
melanjutkan kampanye-kampanyenya dan mendirikan PETA India,
yang berbasis di Mumbai , didirikan pada Januari 2000. Menurut situs
kelompok, berfokus terutama pada "pekerjaan investigasi, upaya
pendidikan publik, penelitian, menyelamatkan hewan, pekerjaan
legislatif, acara khusus, keterlibatan selebriti dan liputan media
nasional."Pada 2015, dengan dukungan dari selebriti seperti Paul
McCartney dan Pamela Anderson , PETA India diselamatkan gajah
jantan 14-tahun bernama Sunder, yang telah disimpan tawanan dalam
rantai "di sebuah kuil di distrik Kolhapur dari Maharashtra selama tujuh
tahun." Sunder dipindahkan ke Bannerghatta Biological Park , tempat
47
perlindungan hutan, di mana ia bisa berkeliaran dengan bebas di
perusahaan gajah lainnya.
Selebriti India yang telah bekerjasama dengan PETA India termasuk
Shahid Kapoor , Hema Malini , dan Raveena Tandon , di antara banyak
lainnya. Selain itu berdirilah PETA Asia-Pasific yang didirikan oleh
Ingrid Newkirk di Hong Kong pada tahun 2005 untuk mendukung
program hak-hak binatang dan kampanye di Asia. Jason Baker, mantan
anggota staf PETA yang terlibat dalam mendirikan PETA India dan
PETA Australia, adalah direktur pertama PETA Asia Pasifik. Kantor
pusatnya terletak di Hong Kong dan Manila . Ia bekerja melalui
pendidikan publik, investigasi kekejaman terhadap hewan, penelitian,
penyelamatan hewan, undang-undang, acara khusus, keterlibatan
selebriti, dan kampanye protes. Kampanye yang mencakup negara-
negara termasuk China, Jepang, Malaysia, dan Korea Selatan .18
c. Tinjauan tentang Fotografi
Istilah fotografi pertama kali dikemukakanoleh ilmuan Inggris, Sir
John Herschell pada tahun 1839. Fotografiberasal dari kata photos
(sinar/cahaya) dan graphos (mencatat/melukis).Secara harfiah fotografi
berarti mencatat atau melukis dengan sinar atau dengan cahaya.19Prinsip
fotografi adalah memokuskan cahaya dengan bantuan pembiasan sehingga
mampu membakar medium penangkap cahaya. Medium yang telah
18http://www.peta.org/2016/AboutPETA 19 Darmawan. 2009. Dunia Dalam Bingkai. Yogyakarta. Graha Ilmu. Hal. 19.
48
dibakar dengan ukuran luminitas cahaya yang tepat akan menghasilkan
bayangan identik dengan cahaya yang memasuki medium pembiasan
(selanjutnya disebut lensa).Untuk menghasilkan intensitas cahaya yang
tepat untuk menghasilkan gambar, digunakan bantuan alat ukur berupa
lightmeter. Setelah mendapat ukuran pencahayaan yang tepat, seorang
fotografer bisa mengatur intensitas cahaya tersebut dengan mengubah
kombinasi ISO/ASA (ISO Speed), diafragma (Aperture), dan kecepatan
rana (speed). Kombinasi antara ISO, Diafragma dan Speed disebut
sebagai pajanan (exposure).
Meskipun fotografi belum diatur secara khusus dalam sebuah
peraturan perundang-undangan perlindungan atas karya fotografi di atur
dalam Undang-undang No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Selain itu
perlindungan fotografi diatur dalam Konvensi Internasional yaitu
Konvensi Bern. Terdapat 10 negara peserta asli (original member)dan 7
negara yang menjadi peserta dengan cara aksesi menanda tangani naskah
asli Konvensi Bern .Konvensi Bren merupakan pelopor kesepakatan
internasional dibidang hak cipta .Konvensi Bern lahir pada tanggal 9
September 1886, dilengkapi di Paris 4 Mei 1896, direvisi di Berlin 13
November 1908, dilengkapi di Berne 20 Maret 1914, serta direvisi berturut
turut di Roma 2 Juni 1928, di Brussels 26 Juni 1948, Stockholm 14 Juli
1967 dan Paris 29 Juli 1971 serta dirubah 28 September 1979.
Konvensi Bern merupakan konvensi tertua didunia dan sejak dibentuk
hingga saat ini tercatat 150 negara yang meratifikasi. Negeri Belanda yang
49
pada saat itu menjajah Indonesia, pada 1 November 1912 juga
memberlakukan keikut sertaannya pada konvensi Bern di Indonesia
berdasarkan asas konkordansi. Dengan kata lain Indonesia semenjak 1912
telah mempunyai Undang–undang Hak Cipta (Auteurswet)berdasarkan
Undang-undang Belanda tanggal 29 Juni 1911 (Staatsblad Belanda Nomor
197)yang memberikan wewenang kepada Ratu Belanda untuk
memberlakukan bagi negara Belanda sendiri dan negara–negara
jajahannya Konvensi Bern 1886 berikut revisi pada 13 November 1908 di
Berlin. Indonesia pernah keluar dari anggota Konvensi Bern pada tahun
1958 dan kemudian masuk kembali pada tanggal 5 September 1997
melalui Keppres No. 18 Tahun 1997. Konvensi Bern 1886 pada garis
besarnya memuat 3 prinsip dasar, berupa suatu kumpulan ketentuan yang
mengatur standar minimum perlindungan hukum (minimum standard of
protection)yang diberikan kepada pencipta dan juga memuat ketentuan
yang berlaku khusus bagi Negara berkembang. 3 prinsip dasar yang dianut
Konvensi Bern , yaitu:
1. Prinsip National Treatment : Ciptaan yang berasal dari salah satu
Negara peserta perjanjia, ciptaan seorang warga negara , negara
peserta perjanjian, atau suatu ciptaan yang pertama kali diterbitkan
disalah satu Negara peserta perjanjian, harus mendapat perlindungan
hukum hak cipta yang sama seperti yang diperoleh ciptaan seorang
pencipta warga negara sendiri.
50
2. Prinsip Automatic Protection: Pemberian perlindungan hukum harus
diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apapun (
must not be conditional upon compliance with any formality ).
3. Prinsip Independence of protection: Suatu perlindungan hukum
diberikan tanpa harus bergantung kepada pengaturan perlindungan
hukum negara asal pencipta.
Standar minimum yang berlaku mengenai jangka waktu berlakunya
perlindungan hukum hak cipta, Konvensi Bern menentukan sebagai
ketentuan umum: selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah
pencipta meninggal. Meskipun demikian tidak tertutup pengecualian
pengecualian . Perlindungan hukum hak cipta atas ciptaan yang tidak
diketahui penciptanya (anonymous) atau pencipta yang memakai nama
samaran (pseudonymous) maka perlindungan hukum hak ciptanya adalah
50 tahun semenjak pengumumannya secara sah dilakukan .
Konvensi Bern juga mengatur jangka waktu perlindungan hukum
ciptaan ciptaan audiovisual (Cinematographic) , jangka waktu
perlindungan minimumnya adalah 50 tahun sejak ciptaan direkam dan
dapat diperoleh konsumen, jika tidak direkam dan tidak dapat diperoleh
konsumen , perlindungan hukumnya adalah minimum 50 tahun semenjak
diciptakan. Sedangkan untuk ciptaan ciptaan yang tergolong seni terapan
51
dan fotografi , jangka waktu perlindungan adalah 25 tahun sejak
diciptakan.20
20 Niken Prasetyawati. Perlindungan Hak Cipta dalam Transaksi Dagang Internasional, Jurnal
Sosial Humaniora, Vol. 4, No. 1, Juni 2011