bab ii tinjauan pustaka a. kerangka teori 1. …14 bab ii tinjauan pustaka a. kerangka teori 1....
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Sistem Peradilan Pidana Anak
Sub-sistem dalam sistem peradilan anak mempunyai kekhususan
terhadap anak sebagai suatu kajian hukum yang khusus, membutuhkan
aparat-aparat yang secara khusus diberi wewenang untuk
menyelenggarakan proses peradilan pidana terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum. Secara garis besar, aparat peradilan pidana
bagi anak yang melakukan kenakalan sama dengan Sistem Peradilan
Pidana (SPP) yang berlaku bagi orang dewasa (ada Polisi, Jaksa Penuntut
Umum, Hakim pemutus perkara, dan Lembaga Kemasyarakatan). Akan
tetapi bagi anak ada kekhususan-kekhususan yang dipersyaratkan bagi
aparat penegak hukum tersebut sehingga sistem peradilan pidana anak
adalah sistem peradilan pidana bagi anak.
Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak antara lain :
a. Batasan Umur Anak
Batasan umur anak merupakan salah satu hal yang sangat
penting dalam perkara pidana anak, hal tersebut dipergunakan untuk
mengetahui seseorang yang diduga melakukan kejahatan termasuk
dalam kategori anak atau bukan (Gatot Supramono.2000 : 19). Batasan
umur anak juga sudah disebutkan dalam beberapa peraturan
perundang-undangan.
Pengetian anak menurut beberapa undang-undang antara lain :
(MZ INYONK.2011.http://dunkdaknyonk.blogspot.co.id/2011/03/
pengertian-anak-menurut-beberapa-uu.html diakses tanggal 17
Februari 2016).
15
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
Pasal 330 ayat (1) memuat batas antara belum dewasa
(minderjarigheid) dengan telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu
21 tahun, kecuali anak tersebut telah kawin sebelum berumur 21
tahun dan Pendewasaan (venia aetetis).
2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak
Pasal 1 angka 2 mendefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang
belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun.
3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
KUHP tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak,
tetapi dapat dijumpai antara lain pada Pasal 45 dan Pasal 72 yang
memakai batasan usia 16 (enam belas) tahun.
4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga
Pemasyarakatan
Pasal 1 angka 8 huruf a, b dan c Undang-Undang tentang Lembaga
Pemasyarakatan menyebutkan bahwa anak didik pemasyarakatan
baik Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil untuk dapat
dididik di Lembaga Pemasyarakaan Anak adalah paling tinggi
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
Pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,
termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut
demi kepentingannya.
6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
Undang-undang ini tidak secara eksplisit mengatur tentang batas
usia pengertian anak, namun dalam Pasal 153 ayat (5) memberi
16
wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum
mencapai usia 17 tahun untuk menghadiri sidang
7) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak mendefenisikan bahwa Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan
8) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
Undang-undang ini juga mendefenisikan bahwa anak di bawah
umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum
berumur 18 tahun.
Batasan umur yang terdapat dalam beberapa ketentuan
peraturan perundang-undangan menunjukan bahwa yang disebut anak
yang dapat diperkarakan secara pidana dibatasi ketika berumur 12 (dua
belas) tahun sampai dengan sebelum genap 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur mengenai anak yang
belum selesai menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
(LPKA) dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun maka anak
dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Walaupun
pengaturan tersebut tidak ada dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, akan tetapi kedua
peraturan perundang-undangan tersebut sama-sama mengatur bahwa
penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan
menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18
(delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun. (Penjelasan
17
Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak).
b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 20012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak membagi anak dalam beberapa pengertian yaitu :
1) Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak :
Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik
dengan hukum, anak yang menjadi korban tindakan pidana, dan
anak yang menjadi saksi tindak pidana. Disebut anak yang
berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana.
2) Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak :
Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut
anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
3) Pasal 1 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak :
Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut
anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri
dan /atau ia alami sendiri
c. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak
Tujuan sistem peradilan pidana berupa resosialisasi pelaku
karena penyelenggaraan peradilan pidana berguna untuk pembinaan
pelaku sehingga ketika kembali ke masyarakat sudah menjadi baik,
sedangkan tujuan pencegahan kejahatan maksudnya dengan putusan
18
pengadilan dapat menjaga pelaku untuk berbuat kejahatan. Tujuan ini
lebih bersifat pada fungsinya hukum preventif bagi masyarakat
umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana (Barda Nawawi
Arief.2007:143).
Substansi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak antara lain mengatur
tentang penempatan anak yang menjalani proses peradilan, dapat
ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi
yang paling mendasar dalam undang-undang ini adalah
pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan
Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak
dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat
kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.
Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu
semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-
sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk
membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan
korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk
memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak
berdasarkan pembalasan. Begitu juga tindak pidana persetubuhan yang
dilakukan oleh anak dapat diselesaikan dengan jalur perdamaian
perdamaian. Penyidik menerapkan restorative justice dalam proses
penyidikan terhadap anak sebagai pelaku (Rahmawati.2015.http://
hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1022
diakses tanggal 22 Februari 2016).
Sedangkan diversi adalah pengalihan penyelesaian Perkara
Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
19
Undang-Undang mengamanatkan adanya upaya diversi dalam
sistem peradilan anak. Oleh karena itu hakim yang diminta oleh
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak lebih memahami segala hal ikhwal anak, agar tidak
begitu saja menjatuhkan pidana penjara yang di dalam aturan positif
Indonesia adalah sebagai upaya yang terakhir. Beberapa ketentuan
mengenai diversi adalah :
1) Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak menyebutkan tujuan Diversi yaitu :
a) Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b) Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c) Menghindari Anak dari perampasan kemerdekaan;
d) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e) Menanam rasa tanggung jawab kepada Anak.
Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka terdapat ketentuan lex
specialis terhadap tugas dan wewenang kepolisian, kejaksaan dan
hakim. Salah satu yang khas dan membedakan adalah bentuk
Diversi. Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
perkara anak di Pengadilan Negeri wajib di upayakan Diversi oleh
aparat penegak hukum. Diversi sebagaimana dimaksud
dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam
dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan
merupakan pengulangan tindak pidana (Pasal 7 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak).
2) Pasal 8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak mengatur mengenai diversi, yaitu :
20
a) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan
melibatkan Anak dan orangtua/walinya, korban dan/atau
orangtua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan
Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan
Restoratif.
b) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial,
dan/atau masyarakat.
c) Proses Diversi wajib memperhatikan : kepentingan korban,
kesejahteraan dan tanggung jawab Anak, penghindaran
stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan
masyarakat, dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban
umum.
3) Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan :
(1) Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam
melakukan Diversi harus mempertimbangkan :
a. Kategori tindak pidana;
b. Umur Anak;
c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas
dan;
d. Dukungan lingkungan keluarga dan
masyarakat.
Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal proses
diversi, jika tidak dapat menghasilkan kesepakatan maka diversi
tidak dilaksanakan. Oleh karena itu maka akan diberlakukan
hukum formil yang tunduk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam persidangan.
21
d. Asas-asas dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan
asas-asas dalam sistem peradilan sesuai dengan Pasal 2 Undang-
Undang Sstem Peradilan Anak (M.Nasir Djamil.2013:131-132), antara
lain :
1) Asas perlindungan, meliputi kegiatan yang besifat langsung dan
tidak langsung dari tindakan yang membahayakan anak secara
fisik dan/ atau psikis
2) Asas keadilan, adalah bahwa setiap penyelesaian perkara anak
harus mencerminkan rasa keadilan bagi anak. Penyelesaian
suatu perkara anak tidak boleh melanggar hak dari anak tersebut
3) Asas nondiskriminasi, adalah tidak adanya perlakuan yang
berbeda pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,
budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak,
serta kondisi fisik dan/mental
4) Asas kepentingan terbaik bagi anak adalah segala pengambilan
keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup
dan tumbuh kembang anak
5) Asas penghargaan terhadap pendapat anak, adalah
penghormatan atas hak anak untuk berpatisipasi dan menyatakan
pendapatnya dalam pengambilan keputusan, terutama jika
menyangkut hal yang mempengaruhi anak
6) Asas kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, adalah
hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh
semua pihak baik Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga
maupun orang tua
7) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan
8) Mendorong masyarakat untuk berpatisipasi
9) Meningkatkan keterampilan hidup anak
22
Tujuan dari adanya pengaturan mengenai Sistem Peradilan
Pidana Anak pada dasarnya adalah supaya hak-hak anak tetap terjamin
dan anak tidak kehilangan masa depannya yang masih panjang.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak juga sudah mengatur beberapa hal antara lain mengenai :
e. Hak-Hak Anak Dalam Proses Pemeriksaan Persidangan :
1) Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa :
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak atas :
a) diperlakukan secara manusiawi dengan
memperhatikan kebutuhan sesuai dengan
umurnya;
b) dipisahkan dari orang dewasa;
c) memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain
secara efektif;
d) melakukan kegiatan rekreasional;
e) bebas dari penyiksaan, penghukuman atau
perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi,
serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f) tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur
hidup;
g) tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara,
kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam
waktu yang paling singkat;
h) memperoleh keadilan di muka pengadilan
anak yang objektif, tidak memihak, dan
dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i) tidak dipublikasikan identitasnya;
j) memperoleh pendampingan orang tua/Wali
dan orang yang dipercaya oleh anak;
23
k) memperoleh advokasi sosial;
l) memperoleh kehidupan pribadi;
m) memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak
cacat;
n) memperoleh pendidikan;
o) memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p) memperoleh hak lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa
penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat
anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan
tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau
lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas
telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Didalam peradilan anak terdapat aktivitas pemeriksaan dan
pemutusan perkara yang tertuju pada kepentingan anak yaitu segala
aktivitas yang dilakukan polisi, jaksa, hakim, dan pejabat lain harus
didasarkan pada prinsip demi kesejahteraan anak dan kepentingan
anak (Sudarto.1981:129).
f. Sanksi Hukum Bagi Anak yang Berhadapan Dengan Hukum
Seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis
sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di
bawah 14 (empat belas) tahun dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana
yang berumur 15 (lima belas) tahun ke atas.
1) Pasal 82 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak menyebutkan tindakan yang dapat
dikenakan pada anak yaitu:
(1) Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi :
24
a. pengembalian kepada orang tua/Wali;
b. penyerahan kepada seseorang;
c. perawatan di rumah sakit jiwa;
d. perawatan di LPKS;
e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau
pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan
swasta;
f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
g. perbaikan akibat tindak pidana.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1 (satu)
tahun.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diajukan oleh Penuntut Umum dalam tuntutannya,
kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara
paling singkat 7 (tujuh) tahun.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak juga mengatur mengenai sanksi pidana yang
diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
Pasal 71 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
Pidana Pokok terdiri atas :
(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas :
a. Pidana peringatan
b. Pidana dengan syarat, yang terdiri atas
pembinaan di luar lembaga, pelayanan
masyarakat, atau pengawasan
25
c. Pelatihan kerja
d. Pembinaan dalam lembaga
e. Penjara.
(2) Pidana Tambahan terdiri atas :
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh
dari tindak pidana; atau
b. Kewajiban adat.
(3) Apabila dalam hukum materiil diancam pidana
kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda
diganti dengan pelatihan kerja.
(4) Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang
melanggar harkat dan martabat Anak.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata
cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
2. Tinjauan Tentang Pembuktian dan Alat Bukti
a. Pengertian Pembuktian
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan
dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian
juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
oleh undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan
kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap.1988: 793).
Penuntut Umum, hakim, terdakwa maupun penasehat hukumnya
tidak boleh menggunakan bukti di luar apa yang telah digariskan undang-
undang. Dalam hal ini Penuntut Umum bertindak sebagai aparat yang
diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan
segala kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
26
Terdakwa atau penasehat hukumnya juga mempunyai hak untuk
melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan Penuntut
Umum sesuai dengan cara yang dibenarkan undang-undang. Cara tersebut
dapat berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan dengan saksi yang
meringankan atau saksi de charge. Hakim sendiri harus benar-benar sadar
dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang
melekat pada setiap alat bukti yang ada.
Pasal 183 KUHAP menyebutkan bahwa : “Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.
Pasal 184 ayat (1) telah menentukan secara limitatif alat bukti
yang sah menurut undang-undang. Diluar alat bukti itu, tidak dibenarkan
dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Yang dinilai
sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan
pembuktian” hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian
dengan alat bukti diluar jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat
(1) tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian
yang mengikat.
1) Jenis Alat Bukti yang Sah Menurut Pasal 184 KUHAP
a) Keterangan Saksi
Pengertian Saksi Pasal 1 butir 26 KUHAP : Saksi adalah
orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami
sendiri.
Pengertian keterangan saksi Pasal 1 butir 27 KUHAP :
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
27
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia
alami sendiri.
Perluasan pengertian keterangan saksi berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUUVIII/ 2010,
definisi keterangan saksi sebagai alat bukti adalah keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia melihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan pengetahuannya itu, termasuk pula keterangan
dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu
tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri.
Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut
dalam Pasal 184 KUHAP. Aturan-aturan khusus tentang
keterangan saksi hanya diatur di dalam 1 (satu) pasal saja, yaitu
Pasal 185 KUHAP, yang antara lain menjelaskan apa yang
dimaksud dengan keterangan saksi, bagaimana tentang
kekuatan pembuktiannya.
Pasal 185 KUHAP :
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah: apa
yang saksi nyatakan di sidang peradilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
tidak berlaku apabila disertai dengan alat bukti
yang sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-
sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat
28
digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah
apabila keterangan saksi itu ada hubungan satu
dengan yang lainnya sedemikian rupa, sehingga
dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau
keadaan tertentu.
(5) Baik berpendapat maupun rekaan, yang diperoleh
dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan
keterangan saksi.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang
saksi, hakim harus bersungguh-sungguh
memperhatikan :
a) Persesuaian antara saksi satu dengan yang
lainnya
b) Persesuaian saksi dengan alat bukti lainnya.
c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi
untuk memberi keterangan yang tertentu.
d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala
sesuatu yang pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.
(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah
meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak
merupakan alat bukti, namun apabila keterangan
itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah
dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti
sah yang lain.
Hukum acara pidana juga mengatur mengenai siapa yang
tidak dapat diambil keterangannya sebagai saksi adalah :
29
(a) Mereka yang relatif tidak berwenang memberi kesaksian,
adalah diatur dalam Pasal 168 KUHAP kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar
keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai
saksi yaitu :
(1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus
ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari
terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa;
(2) Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagai
terdakwa, saudara ibu dan saudara bapak, juga
mereka yang mempunyai hubungan
karena perkawinan dan anak-anak saudara
terdakwa sampai derajat ketiga;
(3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah
bercerai atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa.
Orang-orang yang tersebut dalam Pasal 168
KUHAP disebut Relatif tidak berwenang (Relatif
Onbevoegd) untuk memberi kesaksian, karena jika
Penuntut Umum dan terdakwa serta orang-orang
tersebut menyetujuinya, maka mereka dapat
didengar sebagai saksi (Pasal 169 (1) KUHAP).
Namun demikian, walaupun ketiga golongan
tersebut tidak setuju untuk memberi kesaksian, yaitu
Penuntut Umum, Terdakwa, dan orang-orang
tersebut di atas, hakim masih bisa memutuskan
untuk mendengar mereka tetapi hanya untuk
memberi keterangan saja tanpa sumpah.
(b) Mereka yang Absolut tidak berwenang memberi kesaksian
30
Pasal 171 KUHAP, yang boleh diperiksa untuk
memberi keterangan tanpa sumpah ialah :
(1) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun
dan belum pernah kawin
(2) Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun
kadang-kadang ingatannya baik kembali
Mengingat bahwa anak yang belum berumur lima
belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit
jiwa, sakit gila, meskipun hanya kadang-kadang saja, yang
dalam ilmu penyakit jiwa disebut Psychopat, mereka ini
tidak dapat dipertanggung jawabkan secara sempurna
dalam hukum pidana, maka mereka tidak diambil sumpah
atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu mereka
hanya dipakai sebagai petunjuk saja.
Para saksi menurut Pasal 265 ayat (3) HIR dan
Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum didengar
keterangannya, harus disumpah lebih dahulu menurut cara
yang ditetapkan oleh agamanya masing-masing, bahwa
mereka akan memberikan keterangan yang mengandung
kebenaran dan tidak lain dari pada kebenaran.
Penyumpahan semacam ini dilakukan secara
“Promissoris” (secara sanggup berbicara benar) lain cara
ialah yang dinamakan, secara “Assertoris” (menempatkan
kebenaran pembicaraan yang telah lalu), yaitu saksi
didengar terlebih dahulu keterangannya kemudian baru
disumpah bahwa yang telah diceritakan itu adalah benar.
b) Keterangan ahli
Pengertian keterangan ahli Pasal 1 butir 28 KUHAP :
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
31
seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan.
Keterangan Ahli diatur dalam Pasal 186 KUHAP yang
mengatakan bahwa keterangan ahli ialah: apa yang seorang ahli
nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan ahli pada
hakikatnya merupakan keterangan pihak ketiga untuk
memperoleh kebenaran sejati, ia dijadikan saksi karena
keahliannya bukan ia terlibat dalam suatu perkara yang sedang
disidangkan. Hakim karena jabatan atau karena permintaan
pihak-pihak dapat meminta bantuan seseorang atau lebih saksi
saksi ahli, keterangan ahli merupakan keterangan yang
diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus dan
obyektif dengan maksud membuat terang suatu perkara atau
guna menambah pengetahuan hakim sendiri dalam suatu hal
tertentu.
Kekuatan pembuktian keterangan ahli adalah sebagai alat
bukti bebas artinya diserahkan kepada kebijaksanaan penilaian
hakim, hakim bebas untuk menerima, percaya, atau tidak
terhadap keterangan ahli.
c) Surat
Pemeriksaan surat di persidangan langsung dikaitkan
dengan pemeriksaan saksi-saksi dan persidangan terdakwa,
pada saat pemeriksaan saksi, ditanyakan mengenai surat-surat
yang ada keterkaitan dengan saksi yang bersangkutan dan
kepada terdakwa pada saat memeriksa terdakwa.
Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1)
huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah, dalam hal ini diatur dalam Pasal 187 KUHAP.
32
Pasal 187 KUHAP menyebutkan :
(1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk
resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya.
Yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau
yang dialaminya sendiri, disertai dengan
alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangan itu.
(2) Surat yang dibuat menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi
pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan.
(3) Surat dari seseorang keterangan ahli yang
memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan
yang diminta secara resmi dari padanya
(4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian lain.
Surat dapat digunakan sebagai alat bukti dan
mempunyai nilai pembuktian apabila surat tersebut dibuat
sesuai dengan apa yang yang diharuskan oleh undang-
undang.
33
d) Petunjuk
Alat bukti petunjuk dapat dilihat dalam Pasal 188
KUHAP yang berbunyi :
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan,
yang karena persesuainya, baik antara yang satu yang
lainnya, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana
dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hanya dapat diperoleh dari :
a. Keterangan saksi;
b. Surat
c. Keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas penilaian pembuktian dari suatu
petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan
oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan
kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Berdasarkan pasal di atas, maka dapat dikatakan
bahwa petunjuk adalah merupakan alat bukti tidak
langsung, karena hakim dalam mengambil kesimpulan
tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat
bukti dengan alat bukti lainnya dan memilih yang ada
persesuaiannya satu sama lain.
e) Keterangan Terdakwa.
Penjelasan mengenai Keterangan Terdakwa terdapat dalam
Pasal 189 KUHAP :
34
(1) Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa
nyatakan di sidang tentang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang
dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di
sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat
bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang
didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap
dirinya sendiri.
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup dengan untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan
yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai
dengan alat bukti yang lain.
2) Prinsip-prinsip Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana
Pembuktian pidana memiliki beberapa prinsip yang harus
diketahui, yaitu:
a) Hal yang Secara Umum Sudah Diketahui Tidak Perlu
Dibuktikan
Diatur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang pada intinya,
hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu
dibuktikan. Notoire feiten adalah suatu kesimpulan umum
yang didasarkan pada pengalaman umum bahwa suatu
keadaan atau peristiwa akan senantiasa menimbulkan
kejadian atau akibat yang selalu demikian. Hanya dengan
notoire feiten tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain yang sah
menurut undang-undang. Hakim tidak boleh yakin akan
kesalahan terdakwa.
35
b) Menjadi Saksi adalah Kewajiban
Syarat seseorang wajib menjadi saksi adalah orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan
ia alami sendiri.
c) Satu Saksi Bukan Saksi (unus testis nullus testis)
Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Keterangan
seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya”. Prinsip ini disebut dengan istilah unus testis
nullus testis yang artinya satu saksi bukan saksi. Menurut
undang-undang, menjadi saksi adalah wajib dan
berdasarkan pengalaman praktik, keterangan saksi
merupakan alat bukti yang paling banyak atau dominan
dalam mengadili perkara pidana di pengadilan. Hampir
tidak ada perkara pidana dalam acara pemeriksaan biasa
yang pembuktiannya tidak dikuatkan dengan alat bukti
keterangan saksi yang diberikan oleh satu orang saksi tanpa
dikuatkan atau didukung saksi lain atau alat bukti lain yang
sah. Kesaksian yang berdiri sendiri yang demikian itu tidak
cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan untuk itu
hakim harus membebaskan terdakwa dari tuntutan Penuntut
Umum.
d) Keterangan Terdakwa hanya mengikat dirinya
Asas ini terdapat dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang
menyatakan bahwa Keterangan terdakwa hanya dapat
digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa
tidak boleh digunakan untuk membuktikan kesalahan
terdakwa lainnya.
36
e) Pengakuan Terdakwa tidak Menghapus Kewajiban
Penuntut Umum Membuktikan Kesalahan Terdakwa
Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan “pembuktian
terbalik” yang tidak dikenal hukum acara pidana yang
berlaku di Indonesia. Pasal 184 ayat (4) KUHAP
menyatakan keterangan terdakwa saja tidak cukup
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan
alat bukti lain.
3) Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana
Sistem atau teori pembuktian dalam hukum acara pidana menilai
kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada. Adapun sistem atau
teori pembuktian sebagai berikut:
a) Sistem Positif (Positif Wettelijk)
Pembuktian menurut undang-undang secara positif,
“keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam
membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim tidak
ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa.
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan
alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang (M. Yahya
Harahap.2003: 278).
Sistem ini berdasarkan undang-undang mengatur
jenis alat-alat bukti dan cara mempergunakan atau
menentukan kekuatan pembuktian. Dengan demikan
walaupun hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa
tetapi perbuatannya sudah memenuhi syarat dan ketentuan
pembuktian menurut undang-undang maka sudah cukup
menentukan kesalahan terdakwa.
37
Sistem ini memiliki kebaikan karena bersifat
obyektif, hakim berkewajiban untuk mencari dan
menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa
sesuai dengan tata cara pembuktian yang telah ditentukan
undang-undang. Dengan pembuktian yang obyektif maka
hakim tidak perlu menguji hasil pembuktian tersebut
dengan keyakinan hati nuraninya.
b) Sistem Negatif (Negatief Wettelijk)
Sistem Negatief Wettelijk memadukan unsur
subektif dan obyektif dalam menentukan salah atau
tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara
kedua unsur tersebut. Jika salah satu unsur dari keduannya
tidak ada maka tidak akan cukup untuk mendukung
keterbuktian suatu kesalahan terdakwa.
Pembuktian menurut sistem ini seorang hakim
ditentukan/dibatasi mempergunakan alat-alat bukti. Alat-
alat bukti tertentu telah ditentukan undang-undang. Hakim
tidak diperkenankan mempergunakan alat bukti lain. Cara
menilai/menggunakan alat bukti tersebut pun telah diatur
oleh undang-undang. Hakim harus mempunyai keyakinan
atas adanya “kebenaran”.
Menurut M. Yahya Harahap, sistem pembuktian
menurut undang-undang secara negatif merupakan teori
antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara
positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction intime. Untuk menentukan salah tidaknya
seorang terdakwa menurut sistem ini, terdapat 2 (dua)
komponen, yaitu:
38
(1) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
(2) Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang.
Sistem pembuktian negatif ini dianut oleh KUHAP
yakni Pasal 183 : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwa yang bersalah melakukannya”.
Kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus
didasarkan pada KUHAP, yaitu alat bukti yang sah tersebut
dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim
yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut (Andi
Hamzah.2009: 254).
c) Sistem atau Teori Pembuktian Keyakinan Hakim
Berdasarkan Alasan Yang Logis (Conviction Rasionee)
Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah
berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan
kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu
kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada
peraturan-peraturan pembuktian tertentu (Andi
Hamzah.2008:253). Sistem pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim tetap memiliki batas dimana setiap
keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara pidana
harus berdasarkan alasan-alasan yang logis dalam
menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang
39
mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa sehingga
bisa mengambil suatu putusan.
d) Sistem atau Teori Pembuktian Keyakinan Hakim Melulu
(Conviction In time)
Suatu pengakuan terdakwa tidak menjamin bahwa
terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang
didakwakan. Menurut Andi Hamzah teori Conviction In
Time atau disebut juga teori pembuktian menurut keyakinan
hakim melulu merupakan teori yang berlawanan dengan
teori pembuktian menurut undang-undang. Teori berdasar
keyakinan hakim melulu didasarkan kepada keyakinan hati
nurani hakim sehingga pemidanaan dimungkinkan tanpa
didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang
(Andi Hamzah.2008: 252).
Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian
kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dapat diambil dan
disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya
dalam sidang pengadilan dan bisa juga hasil pemeriksaan
alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik
keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa (M.
Yahya Harahap.2001: 277).
3. Tinjauan Tentang Pertimbangan Hakim
a. Pengertian Pertimbangan Hakim
Hakim adalah organ pengadilan yang memegang kekuasaan
kehakiman. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia (Bambang Poernomo.1988:30).
40
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting
dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang
mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian
hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang
bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan
teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik,
dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim
tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung
(Mukti Arto.2004 : 140).
Hakikat pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang
hal-hal sebagai berikut :
1) Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang
tidak disangkal
2) Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek
menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam
persidangan.
3) Adanya semua bagian dari petitum Penuntut Umum harus
dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga
hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya
dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar
putusan (Mukti Arto.2004 : 142).
b. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan
kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra
yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang
Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial
bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum
41
dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya
mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa Kekuasan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Andi
Hamzah.1996 : 94).
Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan
keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan
harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang
diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa
tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah
itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.
Seorang hakim dianggap tahu hukum sehingga tidak boleh
menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan
kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi ”Pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan
untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum
terkenal (doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya
berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini
dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Hakim wajib
42
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat”.
Putusan yang dijatuhkan hakim terhadap suatu perkara, harus
benar-benar memahami dan menghayati arti amanah dan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya sesuai dengan fungsi dan
kewenangannya masing-masing. Hakikat pada pertimbangan yuridis
hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana yang
dapat menunjukkan perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai
dengan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum sehingga
pertimbangan tersebut relevan terhadap amar atau diktum putusan hakim
(Lilik Mulyadi.2007:193).
1) Jenis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan yaitu :
a) Pertimbangan Yuridis
Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang
didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam
persidangan dan oleh undang-undang ditetapkan sebagai hal
yang harus dimuat dalam putusan (Muhammad Rusli.2007:212-
220).
Pertimbangan yang bersifat yuridis ini diantaranya yaitu :
(USU.2015.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/474
8/1/09E01948 diakses tanggal 19 Oktober 2015).
(1) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan
tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang
disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan,
dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam
pemeriksaan di muka pengadilan. Dalam menyusun sebuah
surat dakwaan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah
syarat-syarat formil dan materilnya. Dakwaan berisi
43
identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta
waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang
dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP).
(2) Tuntutan Pidana
Tuntutan pidana biasanya menyebutkan jenis-jenis dan
beratnya pidana atau jenis-jenis tindakan yang dituntut oleh
Jaksa Penuntut Umum untuk dijatuhkan oleh pengadilan
kepada terdakwa. Dengan menjelaskan karena telah
terbukti melakukan tindak pidana yang mana Jaksa
Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan pidana tersebut
di atas. Penyusunan surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut
Umum disesuaikan dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum
dengan melihat proses pembuktian dalam persidangan,
yang disesuaikan pula dengan bentuk dakwaan yang
digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebelum sampai
pada tuntutannya didalam requisitoir. Penuntut Umum
menjelaskan satu demi satu tentang unsur-unsur tindak
pidana yang ia dakwakan kepada terdakwa, dengan
memberikan alasan tentang anggapannya tersebut.
(3) Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
pidana yang merupakan keterangan dari saksi mengenai
suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu. Keterangan saksi merupakan alat bukti
seperti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a
KUHAP.
Keterangan saksi harus disampaikan dalam sidang
pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi
44
yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang
merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang
diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai
sebagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini dalam
hukum acara pidana disebut dengan istilah testimonium de
auditu. Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di
persidangan.
(4) Keterangan Terdakwa
Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e : keterangan terdakwa
digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa
adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau
yang ia alami sendiri, hal ini diatur dalam Pasal 189
KUHAP. Keterangan terdakwa dapat meliputi keterangan
yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa
pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya.
(5) Barang-barang Bukti
Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh
terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau
barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Barang yang
digunakan sebagai bukti yang diajukan dalam sidang
pengadilan bertujuan untuk menguatkan keterangan saksi,
keterangan ahli, dan keterangan terdakwa untuk
membuktikan kesalahan terdakwa.
Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan
akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar
tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa.
Dengan adanya barang bukti tentu hakim akan lebih yakin
45
apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa
maupun para saksi.
b) Pertimbangan Non Yuridis
Selain pertimbangan yang bersifat yuridis, hakim dalam
menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat non
yuridis. Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk
menentukan nilai keadilan, tanpa didukung dengan
pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, psikologis,
kriminologis dan filosofis dari diri terdakwa.
Aspek sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial
mengapa seseorang melakukan suatu tindak pidana, sedangkan
aspek psikologis berguna untuk mengkaji kondisi psikologis
pelaku pada saat melakukan suatu tindak pidana dan setelah
menjalani pidana, sedangkan aspek kriminologi diperlukan
untuk mengkaji sebab-sebab seseorang melakukan tindak
pidana dan bagaimana sikap serta perilaku seseorang yang
melakukan tindak pidana. Dengan demikian hakim diharapkan
dapat memberikan putusan yang adil sesuai dengan kebutuhan
pelaku.
Selain itu, seorang hakim dalam menjatuhkan putusan harus
mempertimbangkan apakah terdakwa benar-benar melakukan
perbuatan yang di dakwakan kepadanya. Hakim juga harus
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan
meringankan terdakwa. Dalam hal penjatuhan pidana, hakim
dipengaruhi oleh banyak hal yang dapat dipakai sebagai
pertimbangan untuk menjatuhkan berat ringannya pemidanaan,
baik yang terdapat di dalam maupun di luar undang-undang.
Hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 197 huruf f KUHAP :
Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
46
pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai
keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
2) Faktor yang harus diperhatikan hakim dalam menentukan berat
ringannya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Faktor yang harus diperhatikan ada 2 (dua) yaitu:
a) Pertimbangan yang Memberatkan
Hal-hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana, yaitu
pertama, sedang memangku suatu jabatan (Pasal 52 KUHP).
Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP
yang rumusannya sebagai berikut: “bilamana seseorang pejabat
karena melakukan tindakan pidana, melanggar suatu kewajiban
khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak
pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang
diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat
ditambah sepertiganya”. Yang kedua yaitu recidive atau
pengulangan. KUHP menganut sistem Recidive khusus artinya,
pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-
jenis tindak pidana (kejahatan atau pelanggaran) tertentu dan
yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu, serta gabungan
atau semenloop (orang yang melakukan beberapa peristiwa
pidana). Selain itu alasan memberatkan pidana pada putusan
pengadilan juga berupa perbuatan tindak pidana yang
meresahkan masyarakat.
b) Pertimbangan yang Meringankan
Alasan-alasan yang dapat meringankan pidana juga diatur dalam
KUHP yaitu :
(1) Belum dewasa atau minderjarigheid (Pasal 47).
(2) Percobaan (Pasal 53 ayat (2) dan (3) );
47
(3) Membantu atau medeplichgqheid (Pasal 57 ayat (1) dan
(2)).
Selain itu hal-hal yang dapat meringankan dalam
persidangan adalah sebagai berikut :
(1) Sikap correct dan hormat terdakwa terhadap
pengadilan, dan pengakuan terus terang sehingga
memperlancar jalannya persidangan;
(2) Pada kejahatannya tersebut tidak ada motif yang
berhubungan dengan latar belakang publik;
(3) Dalam persidangan, terdakwa telah menyatakan
penyesalan atas perbuatannya.
4. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Persetubuhan Anak
a. Pengertian Persetubuhan
Pengertian persetubuhan adalah tindakan memasukan kemaluan
laki laki kedalam kemaluan perempuan yang pada umumnya
menimbulkan kehamilan, dengan kata lain bilamana kemaluan itu
mengeluarkan air mani di dalam kemaluan perempuan (Andi Zainal
Abidin Farid.2007:339).
Menurut kalangan ahli hukum suatu persetubuhan tidak harus
diakhiri dengan ejakulasi. Bahkan penetrasi yang ringan, yaitu
masuknya kepala zakar diantara kedua bibir luar, sudah dapat
dianggap sebagai tindakan persetubuhan (Dahlan Sofwan.2000: 108).
Persetubuhan dibagi menjadi dua macam yaitu persetubuhan
yang dilakukan secara legal dan tak legal. Persetubuhan terhadap
wanita dianggap legal jika wanita itu sudah cukup umur, tidak dalam
ikatan perkawinan dengan laki-laki dan dilakukan dengan izinnya
atau persetujuannya. Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia,
48
seorang wanita dianggap cukup umur dalam soal persetubuhan jika
ia sudah genap berumur 15 (lima belas) tahun.
Sedangkan yang dimaksud dengan persetubuhan dengan
wanita yang belum cukup umur ialah persetubuhan dengan wanita
bukan istrinya yang umurnya belum genap 15 (lima belas) tahun.
b. Pengaturan Sanksi Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak
Tindak pidana kesusilaan yang melibatkan anak di dalamnya
diatur dalam Pasal 81, Pasal 82 dan Pasal 88 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal 81 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur tentang tindak
pidana persetubuhan terhadap seorang anak.
Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak :
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa anak melakkan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagimana dimaksud dalam ayat (1)
berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain.
49
Hukum Pidana Indonesia berlaku asas “lex specialis
derogat legi generalis” menurut asas ini peraturan yang khusus
mengesampingkan peraturan yang umum. Oleh karena itu, dengan
adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana
dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak yang mengatur mengenai persetubuhan pada
anak yaitu Pasal 81 maka ketentuan didalam Pasal 287 KUHP yang
mengatur mengenai persetubuhan pada anak tidak dapat lagi
diterapkan.
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Perkara Persetubuhan Oleh
Anak Terhadap Anak
Undang-Undang Nomor
35 tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak Alat Bukti
Pasal 184 KUHAP
Pembuktian
KUHAP
Pertimbangan Hakim
Pasal 183 KUHAP joPasal 193 (1) KUHAP
Kerja Sosial
Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
Pidana Penjara
Pasal 71 (1) huruf e Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
Putusan Nomor
2/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Dps
50
Keterangan:
Persetubuhan anak adalah persetubuhan yang dilakukan terhadap
anak yang berusia di bawah 18 tahun. Tindak Pidana persetubuhan disebut
sebagai tindak pidana persetubuhan anak dilihat berdasarkan alat-alat bukti
yang terungkap di pengadilan. Alat bukti tersebut diatur dalam Pasal 184
KUHAP. Pada kasus dalam Putusan Nomor 2/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Dps
alat-alat bukti yang terungkap di pengadilan yaitu keterangan dari 3 (tiga)
orang saksi. Saksi I yaitu Saksi Korban, saksi II yaitu Saksi AAPIA
(dalam kasus ini saksi merupakan teman dekat saksi I), dan saksi III yaitu
Saksi AANDN (yang merupakan ayah kandung dari saksi I). Keterangan
ketiga saksi tersebut membenarkan bahwa Terdakwa melakukan
persetubuhan terhadap Saksi Korban.
Terdapat juga alat-alat bukti surat berupa Kutipan Akta Kelahiran
Nomor 5171.L.T.05012012.0117 tertanggal 19 Januari 2012 umur dari
Saksi Korban adalah 13 (tiga belas) tahun dan 10 (sepuluh) bulan saat
disetubuhi oleh terdakwa. Selain itu, hasil Visum Et Repertum dari RSUP
Sanglah Denpasar Nomor UK.01.15/IV.E.19/VER/36/2015 a.n. Anak
Agung Putri Ditami Suryningrum Als. Saksi Korban tanggal 24 Januari
2015. Dan yang terakhir alat bukti berupa keterangan terdakwa.
Berdasarkan persesuaian alat-alat bukti yang disebutkan diatas,
dalam persidangan dilakukan pembuktian untuk menguatkan dakwaan
yang dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak dan KUHAP. Setelah dilakukan pembuktian hakim
mengeluarkan putusannya dalam Putusan Nomor 2/ Pid.Sus.Anak/2015/
PN.Dps yang menjatuhkan hukuman bagi terdakwa yaitu Pidana Penjara
sesuai dengan Pasal 71 (1) huruf e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Kerja Sosial sesuai dengan
Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.