bab ii tinjauan pustaka a. kerangka teori...
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Pembuktian
a. Pengertian pembuktian
Hukum pembuktian tercantum dalam buku IV (keempat) dari
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Pasal
1865 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang yang
mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna
meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang
lain, menunjukan pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan
adanya hak atau peristiwa tersebut. Membuktikan ialah
meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang
dikemukakan dalam suatu persengketaan (Subekti, 2005:1).
Menurut Sudikno Mertokusumo (2009:127-128) terminologi
‘membuktikan’ mempunyai beberapa arti, yakni :
a. Logis, yakni memberikan kepastian yang bersifat mutlak,
karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan
adanya bukti lawan.
b. Konvensional, yakni membuktikan tidak hanya memberikan
kepastian mutlak saja, melainkan kepastian yang nisbi atau
relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan :
a) Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena
didasarkan atas perasaan belaka maka kepastian ini bersifat
intuitif dan disebut conviction intime.
b) Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, oleh
karena itu disebut conviction raisonnee.
15
c. Yuridis, memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang
memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian
tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Menurut Yahya Harahap (2013:273), pembuktian adalah
ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang
cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-
undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan
yang didakwakan.
Supomo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Pengadilan
Negeri menerangkan bahwa pembuktian mempunyai arti luas dan
arti terbatas. Di dalam arti luas membuktikan berarti memperkuat
kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Di dalam
arti yang terbatas membuktikan hanya diperlukan apabila yang
dikemukakakn oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apabila
yang tidak dibantah itu tidak perlu dibuktikan. Kebenaran dari apa
yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan (Gatot Supramono,
1993:15).
Berdasarkan pengertian yang diuraikan tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa ruang lingkup dari pembuktian antara lain :
1) Ketentuan-ketentuan hukum yang berisi penggarisan dan
pedoman mengenai cara yang dibenarkan undang-undang
dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
2) Ketentuan yang mengatur mengenai alat bukti yang dibenarkan
dan diakui oleh undang-undang serta alat bukti yang boleh
digunakan hakim dalam membuktikan kesalahan.
3) Ketentuan yang mengatur tata cara menggunakan dan menilai
kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti.
16
Pembuktian diperlukan dalam suatu perkara yang mengadili
suatu sengketa di muka pengadilan (juridicto contentiosa) maupun
dalam perkara-perkara permohonan yang menghasilkan suatu
penetapan (juridicto voluntair) (Siti Ainun Rachmawati, 2011: 21).
b. Asas-Asas Pembuktian
Menurut J.H.P Bellefroid dalam buku Efa Laela Fakhriah
(2013: 44) Asas-asas hukum adalah aturan-aturan pokok yang tidak
dapat lagi dijabarkan lebih lanjut, diatasnya tidak lagi
ditemukan aturan-aturan yang lebih tinggi lagi. Asas hukum
merupakan dasar bagi aturan-aturan hukum yang lebih rendah.
Perbedaan antara asas hukum dengan peraturan yang lebih rendah
adalah asas hukum lebih abstrak, apabila asas hukum tidak
dimasukkan dalam undang-undang tidak mengikat bagi Hakim,
melainkan hanya sebagai pedoman saja. Akan tetapi, bila asas itu
secara tegas dituangkan dalam undang-undang sehingga hakim
berkewenangan untuk menerapkan asas tersebut secara langsung
terhadap semua kasus-kasus nyata yang atasnya tidak terdapat
aturan-aturan khusus.
Asas-asas dalam pembuktian berkaitan erat dengan hukum
sebagai satu sistem, suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-
bagian pokok dalam puncak pemeriksaan dalam perkara perdata
yang dipimpin oleh Majelis Hakim (Achmad Ali & Djohari
Santoso, 1982: 4). Asas-asas tersebut memberikan pedoman hakim
alam melaksanakan pembuktian. Asas tersebut antara lain :
1) Asas actori incumbit probatio, artinya barang siapa yang
menyatakan suatu hak atau menyebutkan peristiwa untuk
meneguhkan haknya atau untuk membantah hak orang lain,
maka ia harus membuktikannya;
17
2) Asas audi et alteram partem partem, artinya para pihak
mempunyai kesempatan yang sama dalam mengajukan dan
menanggapi bukti;
3) Asas ultra petita, artinya seorang Hakim tidak boleh
membbankan pembuktian lebih atau di luar apa yang dituntut;
4) Asas ius curia novit, artinya hakim dianggap tahu akan
hukumnya;
5) Asas negativa non sunt probanda, artinya sesuatu yang bersifat
negative (tidak) atau mustahil tidak dapat dibuktikan;
6) Asas nemo plus juris transferre potest quam ipsehabet, artinya
seseorang tidak mungkin mengalihkan melebihi apa yang
menjadi haknya;
7) Asas similia sililibus, artinya perkara yang memiliki
pembuktian yang sama, diputus dengan putusan yang sama;
8) Asas testimonium de auditu, artinya kesaksian yang berasal
dari orang lain tidak dapat dijadikan bukti; dan
9) Asas unus testis nullus testis, artinya satu saksi bukan
merupakan saksi.
c. Teori Beban Pembuktian
Pasal 163 HIR atau Pasal 283 R.Bg mengatur tentang beban
pembuktian yang menyebutkan bahwa setiap orang yang
mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna
meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain,
menunjuk pada suatu peristiwa tersebut. Membuktikan
mengandung arti tentang :
1) apa yang harus dibuktikan;
2) siapa yang harus membuktikan (beban pembuktian);
3) tentang cara membuktikannya.
Para pihak harus membuktikan dalil-dalil mereka dengan
mengajukan alat-alat bukti. Ada beberapa teori tentang beban
18
pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim (Dyah Nur Ariyani,
2012: 39-40) :
1) teori hukum subyektif (teori hak)
Teori ini menetapkan bahwa barang siapa yang mengaku atau
mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus
membuktikannya.
2) teori hukum objektif
Teori ini mengajarkan bahwa seorang hakim harus
melaksanakan peraturan hukum atas fakta-fakta untuk
menemukan kebenaran peritiwa yang diajuka kepadanya.
3) teori hukum acara dan teori kelayakan
Kedua teori ini bermuara pada hasil yang sama yakni hakim
syogyanya berdasarkan kepatutan membagi beban pembuktian.
Asas eudi et alteram partem atau juga asas kedudukan
prosesuil yang sama dari para pihak dimuka hakim merupakan
asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim
harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan
kedudukan para pihak, dengan demikian hakim harus memberi
beban kepada kedua belah pihak secara seimbang dan adil
sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.
Sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim
bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai
pembuktian yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan
adalah hakim dan hanyak judex facti. Terdapat 3 (tiga) teori bagi
hakim di dalam menilai alat bukti yang diajukan oleh para pihak
(Hari Sasangka, 2005: 23) :
1) teori pembuktian bebas
Teori ini menghendaki kebebasan yang seluas-luasnya bagi
hakim, di dalam menilai alat bukti. Hakim tidak terikat oleh
suatu ketentuan hukum atau setidak-tidaknya ikatan-ikatan
19
oleh suatu ketentuan hukum harus dibatasi seminimum
mungkin. Menghendaki kebebasan yang luas berarti menaruh
kepercayaan atas hakim untuk bersikap penuh rasa tanggung
jawab, jujur, tidak memihak, bertindak dengan keahlian dan
tidak terpengaruh oleh apapun dan oleh siapa pun.
2) teori pembuktian negatif
Teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikat, yang bersifat negatif. Ketentuan tersebut membatasi
hak dengan larangan untuk melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan pembuktian, dimana hakim dilarang
dengan pengecualian.
3) teori pembuktian positif
Selain adanya suatu larangan, teori ini juga menghendaki
adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan tetapi
dengan syarat. (Pasal 285 RBg atau 165 HIR, Pasal 1870 KUH
Perdata).
d. Macam-macam Kekuatan alat bukti
Tiap-tiap alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian
tersendiri menurut hukum pembuktian. Macam kekuatan
pembuktian tersebut ialah (Mukti Arto, 2011: 141-143) :
1) Bukti mengikat dan menentukan, artinya :
- Meskipun hanya ada satu alat bukti, telah cukup bagi
hakim untuk memutus perkara berdasarkan alat bukti
tersebut tanpa membutuhkan alat bukti lain.
- Hakim terikat dengan bukti tersebut, sehingga tidak dapat
memutus lain dari pada yang telah terbukti dengan satu alat
bukti tersebut.
- Alat bukti ini tidak dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan
atau bukti sebaliknya.
20
Alat bukti ini ialah sumpah decisior, sumpah pihak dan
pengakuann.
2) Bukti sempurna, artinya:
- Meskipun hanya ada satu alat bukti, telah cukup bagi
hakim untuk memutus perkara berdasarkan alat bukti itu
dan tidak memerlukan alat bukti lain.
- Hakim terikat dengan bukti tersebut, kecuali jika dapat
dibuktikan sebaliknya.
- Bukti tersebut dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan atau
sebaliknya.
Alat bukti ini ialah : akta otentik.
3) Bukti bebas, artinya :
- Hakim bebas untuk menilai sesuai dengan
pertimbangannya yang logis.
- Hakim tidak terikat oleh akta tersebut.
- Terserah kepada keyakinan hakim untuk menilai.
- Hakim dapat mengesampingkan alat bukti ini dengan
pertimbangan yang logis.
- Bukti ini dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan.
Alat bukti ini ialah : saksi yang disumpah, saksi ahli,
pengakuan diluar sidang.
4) Bukti permulaan, artinya :
- Meskipun alat bukti itu sah dan dapat dipercaya
kebenarannya tetapi belum mencukupi syarat formil
sebagai alat bukti yang cukup.
- Bukti ini masih perlu ditambah dengan alat bukti lain agar
sempurna.
- Hakim bebas dan tidak terikat dengan alat bukti ini.
- Bukti ini dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan.
Alat bukti ini ialah : alat bukti saksi yang hanya seorang diri
sehingga harus ditambag dengan alat bukti lain, misalnya
21
sumpah suppletoir. Akta dibawah tangan yang dipungkiri
tandatangan dan isinya oleh yang bersangkutan.
5) Bukti bukan bukti, artinya :
- Meskipun nampaknya memberikan keterangan yang
mendukung kebenaran suatu peristiwa tetap ia tidak
memenuhi syarat formal sebagai alat bukti sah.
- Ia tidak mempunyai kekuatan pembuktian.
- Ia seperti bukti tetapi bukan bukti.
Alat ini ialah : saksi yang tidak disumpah, saksi yang belum
cukup umur 15 tahun, foto, rekaman video/casset.
2. Tinjauan tentang Alat Bukti
a. Tinjauan mengenai Alat Bukti
Hakim sangat terikat oleh alat-alat bukti, sehingga dalam
menjatuhkan putusannya hakim wajib memberikan pertimbangan
berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang
(Gatot Supramono, 1993:22). Alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 1866 KUH
Perdata yang meliputi :
1) bukti tulisan;
2) saksi;
3) pengakuan;
4) persangkaan;
5) sumpah.
Berikut penjelasan mengenai alat-alat bukti dalam hukum
acara perdata:
1) Bukti tulisan
Bukti tulisan atau bukti dengan surat merupakan bukti yang
sangat krusial dalam pemeriksaan perkara perdata di
pengadilan (Octavianus M. Momuat, 2014:138). Bukti tulisan
22
atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau
untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian. Surat sebagai alat bukti
tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat yang merupakan akta
dan surat-surat lainnya yang bukan akta, sedangkan akta
sendiri dibagi lebih lanjut menjadi akta otentik dan akta
dibawah tangan (Sudikno Mertokusumo, 2009:151).
Tidak semua surat merupakan akta. Surat dikatakan sebagai
akta harus ditandatangai, harus dibuat dengan sengaja dan
harus untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa
surat itu dibuat. Tanda tangan dalam suatu surat diperlukan
guna identifikasi, menentukan ciri-ciri dari akta yang satu
dengan yang lainnya. Penandatanganan seseorang dianggap
menjamin tentang kebenaran dari apa yang ditulis dalam akta
tersebut.
Akta dibedakan dalam akta otentik dan akta di bawah
tangan, sebagai berikut :
a) Akta otentik
Secara teoritis, akta otentik adalah surat atau akta sejak
semula dengan sengaja, secara resmi dibuat untuk
pembuktian. Secara dogmatis (hukum positif) akta otentik
diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata, akta otentik ialah
akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-
undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu ditempat akta dibuat. Akta otentik dibagi menjadi
dua yaitu :
(1) akta otentik yang dibuat oleh pejabat karena jabatannya
(Akta Ambtelijk). Contoh akta kelahiran, akta kematian,
akta nikah, SIM.
23
(2) akta otentik yang dibuat oleh pejabat karena fungsinya
(Akta Partij) yang meliputi akta jual beli, akta pendirian
PT, Akta Grosse, dll.
b) Akta di bawah tangan
Tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti,
tetapi tidak dibuat dihadapan atau oleh pejabat yang
berwenang untuk itu dan bentuknya pun tidaklah pula
terikat kepada bentuk tertentu (Roihan A. Rasyid,
1991:150).
Kekuatan akta di bawah tangan (bukan otentik), hakim
menilainya bebas, akan tetapi jika akta yang bersifat dibuat
oleh kedua belah pihak, seperti jual-beli tanah maka akta
tersebut mempunyai kekuatan sama dengan akta otentik
(Subekti, 1975:151)
2) Bukti dengan saksi (Kesaksian)
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim
dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan
jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang
bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil
dipersidangan (Sudikno Mertokusumo, 2009:168). Adapun
syarat obyektif seorang saksi adalah sebagai berikut :
a) sudah dewasa, berumur 15 tahun (Pasal 145 HIR);
b) tidak ada hubungan darah atau semenda dengan para pihak
yang mengajukan saksi; dan
c) disumpah menurut agamanya.
Sedangkan syarat subjektif adalah :
a) saksi menerangkan apa yang dilihat, didengar dan dialami
sendiri, dan
24
b) saksi harus menguraikan sebab-sebab dapatnya memberikan
kesaksian.
Pasal 1907 KUH Perdata menerangkan bahwa, keterangan
yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian
yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang
diperoleh secara berfikir tidaklah merupakan kesaksian.
Pada asasnya semua orang cakap dapat bertindak sebagai
saksi, apabila telah dipanggil dengan sah dan patut menurut
hukum, wajib ia mengemukakan kesaksiannya di muka
pengadilan dan apabila tidak mau datang atau datang tetapi
tidak memberikan kesaksian, dapat dikenakan sanksi-sanksi.
Terhadap asas tersebut terdapat pengecualian atau
penyimpangan yang dibedakan dalam dua golongan, yaitu :
a) Golongan yang tidak dapat bertindak sebagai saksi :
(1) Golongan mutlak dianggap tidak mampu bertindak
sebagai saksi :
(a) keluarga sedarah dan semenda menurut keturunan
yang lurus dari salah satu pihak, seperti bapak atau
ibu, kakek atau nenek, mertua, anak, menantu. Diatur
dalam Pasal 1910 ayat (1) KUH Perdata. Namun,
dalam perkara tertentu mereka mampu bertindak
sebagai saksi. seperti, dalam perkara kedudukan
perdata salah satu pihak, perkara pemberian nafkah.
(b) suami atau istri salah satu pihak meskipun sudah
bercerai.
(2) Golongan relatif tidak mampu bertindak sebagai saksi
yaitu:
(a) anak-anak yang belum mencapai umur limabelas
Tahun;
25
(b) orang gila.
(3) Golongan yang karena permintaannya sendiri dibebaskan
dari kewajibannya sebagai saksi ialah :
(a) saudara laki-laki atau perempuan dan ipar laki-laki
atau perempuan dari salah satu pihak;
(b) keluarga sedarah menurut keturunan lurus dan
saudara laki-laki atau perempuan dari suami atau
isteri salah satu pihak;
(c) orang-orang yang karena martabat, pekerjaan atau
jabatannya yang sah, diwajibkan merahasiakan akan
tetapi semata-mata hanya mengenai hal-hal yang
dipercayakan padanya.
Hakim dalam menilai alat pembuktian saksi, berdasarkan
Pasal 1908 KUH Perdata harus memperhatikan kesamaan atau
persesuaian antara keterangan para saksi, persesuaian antara
keterangan-keterangan dengan apa yang diketahui dengan segi
lain tentang perkara, sebab-sebab yang mendorong para saksi
mengemukakan keterangannya, pada cara hidup, kesusilaan,
kedudukan para saksi, dan segala apa yang berhubungan
dengan keterangan yang dikemukakan.
3) Persangkaan
Persangkaan diatur dalam Pasal 173 HIR, Pasal 310
Rechtreglement voor de Buitengewesten (Rbg), dan Pasal 1915
KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut: Persangkaan-
persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh Undang-
Undang atau oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang
terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal.
Persangkaan ini suatu peristiwa “dibuktikan” secara tak
langsung, artinya dengan melalui atau dengan perantara
26
pembuktian peristiwa-peritiwa lain (Subekti,2005:45).
Perangkaan dibagi menjadi dua, yaitu :
a) Persangkaan hukum atau undang-undang
Menurut Pasal 1916 KUH Perdata ialah persangkaan-
persangkaan yang oleh undang-undang dihubungkan
dengan perbuatan-perbuatan tertentu, antara lain :
(1) Perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang
dinyatakan batal, karena dari sifat dan keadaannya saja
dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-
ketentuan Undang-Undang.
Contoh : ketentuan Pasal 911 KUH Perdata,
“pembuatan surat wasiat untuk kepentingan orang yang
tidak berhak adalah batal”.
(2) Peristiwa-peristiwa yang menurut undang-undang dapat
dijadikan kesimpulan guna menetapkan hak
kepemilikannya atau pembebasan dari hutang.
Contoh : Pasal 633 KUH Perdata, “tiap-tiap tembok
yang dipakai sebagai batas antara dua kepemilikan,
dianggap sebagai tembok milik bersama kecuali ada
bukti sebaliknya”.
(3) Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada
putusan hakim.
(4) Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada
pengakuan atau sumpah oleh salah satu pihak.
Persangkaan menurut undang-undang dalam Pasal 1921
ayat (1) KUH Perdata membebaskan orang, untuk
kepentingan siapa persangkaan itu diadakan, dari setiap
pembuktian selanjutnya. Hakim terikat pada ketentuan
undang-undang, jadi kekuatan pembuktiannya bersifat
memaksa atau mempunyai nilai pembuktian yang lengkap.
27
Selain itu kekuatan persangkaan juga sempurna dan
menetukan.
Persangkaan-persangkaan atau vermoedens merupakan
alat bukti pelengkap atau accessory evidence. Artinya,
persangkaan-persangkaan bukanlah alat bukti yang mandiri.
Persangkaan-persangkaan dapat menjadi alat bukti dengan
merujuk pada alat bukti lainnya dengan demikian juga satu
persangkaan saja bukanlah merupakan alat bukti (Eddy O.S
Hiariej, 2012:81).
b) Persangkaan hakim atau kenyataan
Hakim bebas menyimpulkan persangkaan berdasarkan
kenyataan. Hakim bebas mempergunakan atau tidak
mempergunakan hal-hal yang terbukti dalam suatu perkara
sebagai dasar untuk melakukan persangkaan (Teguh
Samudera, 1992:81).
Persangkaan berdasarkan kenyataan kekuatan
pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim,
yang hanya boleh memperlihatkan persangkaan yang
penting, seksama, tertentu dan ada hubungannya satu sama
lain. Persangkaan-persangkaan semacam itu hanya boleh
diperhatikan dalam hal undang-undang membolehkan
pembuktian dengan saksi, demikian pula apabila diajukan
suatu bantahan terhadap suatu perbuatan atau suatu akta
berdasarkan alasan adanya iktikad buruk atau penipuan
diatur dalam Pasal 1922 KUH Perdata.
Persangkaan berdasarkan kenyataan, hakim bebas dalam
menemukan persangkaan berdasarkan kenyataan. Setiap
peristiwa yang telah dibuktikan dalam persidangan dapat
digunakan sebagai persangkaan.
28
4) Pengakuan
Alat bukti pengakuan diatur dalam Pasal 174-176 HIR.
Pengakuan adalah keterangan yang membenarkan peristiwa,
hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan.
Pengakuan yang dilakukan di muka hakim memberikan suatu
bukti yang sempurna terhadap siapa yang melakukannya.
Pengakuan yang dilakukan di muka hakim tidak boleh ditarik
kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa yang telah dilakukan
itu sebagai akibat dari suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang
terjadi. Pengakuan yang dikemukakan di sidang pengadilan
mempunyai kekuatan pembuktian yang lengkap terhadap yang
mengemukakan dan merupakan bukti yang menentukan. Oleh
karena itu apabila ada salah satu pihak yang mengaku, maka
hakim harus menganggap pengakuan itu sebagai benar dan hal
itu membawa akibat tidak perlu dibuktikan lebih lanjut tentang
tuntutannya yang telah diakui tadi (Teguh Samudera, 1992:87).
Pengakuan terdiri dari tiga macam, yaitu :
a) Pengakuan murni, yaitu pengakuan yang sifatnya sederhana
dan sesuai dengan tuntutan para pihak lawan;
b) Pengakuan dengan kualifikasi, pengakuan yang disertai
dengan sangkalan terhadap sebagian tuntutan pihak lawan;
dan
c) Pengakuan dengan klausa, pengakuan yang disertai
keterangan tambahan yang bersifat membebaskan dari
tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan (Yahya
Harahap, 2013: 734-738).
5) Sumpah
Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 155, Pasal 156, Pasal
157, Pasal 177 HIR. Sumpah adalah pernyataan yang khidmat
yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau
29
keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada
Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi ketarangan
atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya (Sudikno
Mertokusumo, 2009:189).
Sumpah diajukan apabila bukti-bukti lain tidak meyakinkan
dan merupakan upaya untuk mengakhiri sengketa. Sumpah
dapat terdiri dari :
a) Sumpah promissoir, sumpah yang isinya adalah suatu janji
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Contoh :
sumpah seorang pejabat.
b) Sumpah assertoir atau confirmatoir, sumpah untuk
memberikan keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu
itu benar demikian atau tidak.
c) Sumpah suppletoir atau pelengkap, sumpah yang
diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah
satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang
menjadi sengketa sebagai dasar putusannya (Sudikno
Mertokusumo, 2009 : 190).
d) Sumpah decisoir atau pemutus, sumpah yang dibebankan
oleh salah satu pihak kepada pihak lawan karena sama
sekali tidak ada alat bukti jika ada, alat buktinya lemah.
Macam-macam alat bukti selain yang diatur dalam Pasal
164 HIR, terdapat pula alat bukti yang diatur secara terpisah,
yaitu :
1) Keterangan ahli
Keterangan ahli merupakan keterangan pihak ketiga
yang obyektif dan bertujuan untuk membantu Hakim dalam
pemeriksaan guna menambah pengetahuan Hakim sendiri
(Sudikno Mertokusumo, 2009:197).
30
Pentingnya suatu alat bukti saksi ahli juga diungkapkan
dalam sebuah jurnal oleh Liz Heffernan,
“The law has long recognised that where
litigation touches upon matters calling for
special knowledge or expertise, the finder of
fact, whether judge, may be poorly equipped
to draw accurate inferences from the facts
presented. The assistance of one or more
experts, qualified to locate the fact in a
meaningful context, may be indispensable to
the proper resolution of the case. Such
experts are drawn from all walks of life and,
in the context of tort actions, include
doctors, engineers, actuaries and
accountants. The contribution of the expert
to legal proceedings is proffered in the from
of testimoni. Line any other witness, the
expert is called by a party to testify at tal, is
administered the oath or affirmation and is
subject to examination and cross-
examination” (Liz Heffernan, 2006:142).
Dijelaskan bahwa sebenarnya yang terjadi pada
kenyataannya bahwa hukum telah lama mengakui bahwa
dimana litigasi menyentuh pada hal menyerukan
pengetahuan khusus atau keahlian, pencarian fakta. Hakim
mungkin kurang dapat menarik kesimpulan yang akurat dari
fakta-fakta yang disajikan. Bantuan dari satu atau lebih ahli,
memenuhi syarat untuk menemukan fakta-fakta dalam
konteks bermakna, mungkin sangat diperlukan untuk
resolusi yang tepat pada kasus. Ahli tersebut diambil dari
semua lapisan masyarakat dan dalam konteks tindakan
melawan hukum, termasuk dokter, insinyur, aktuaris, dan
akuntan. Kontribusi ahli untuk hukum proses yang
disodorkan dalam bentuk kesaksian. Seperti saksi yang lain,
31
ahli untuk bersaksi di Pengadilan juga diberikan sumpah
atau janji dan tunduk pada pemeriksaan.
3. Tinjauan tentang Perceraian
a. Pengertian Perceraian
Dalam kehidupan rumah tangga, tidak luput dari suatu
permasalahan. Hal ini dikarenakan perkawinan merupakan
penyatuan dua manusia yang berbeda dengan sifat, kebiasaan dan
latar belakang yang berbeda pula. Tidak jarang perbedaan tersebut
menimbulkan permasalahan yang menjadi pemicu adanya
perceraian.
Perceraian merupakan bagian dari dinamika rumah tangga,
meskipun tujuan perkawinan bukanlah perceraian, perceraian
merupakan sunnatullah dengan penyebab yang berbeda-beda (Beni
Ahmad Saebani, 2008:47). Perceraian merupakan jalan terakhir
yang ditempuh oleh suami istri karena ikatan perkawinan yang
tidak mungkin untuk dipertahankan lagi dan pengajuan perceraian
harus disertai dengan alasan-alasan yang mendasar (Wiwin
Suryani, 2010:
Divorce or dissolution is the termination of a
marriage, canceling the legal duties and
responsibilities of marriage and dissolving the
bonds of matrimony between two persons. In most
countries, divorce requires the sanction of a judge or
other authority in a legal process to complete a
divorce. A divorce does not declara a marriage null
and void, as in an annulment, but divorce cancels
the marital status of the parties, allowing them to
marry another (http://www.hg.org/divorce.html).
Jurnal tersebut menjelaskan bahwa perceraian merupakan
pemecahan masalah di dalam sebuah perkawinan antara suami istri
dan masalah perceraian haruslah diselesaikan di pengadilan yang
berwenang.
32
b. Hukum Perceraian
Perceraian atau talak dalam ilmu fikih merupakan perbuatan
yang tidak disenangi Nabi. Hukum asal dari talak adalah makruh,
namun melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka
hukum talak adalah sebagai berikut (Amir Syarifuddin, 2007:201):
a) Nadab atau sunnah, yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah
tidak dapat dilanjutkan dan seandainya dipertahankan juga
kemudaratan yang lebih banyak akan timbul;
b) Mubah atau boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadi
perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan
perceraian itu sedangkan manfaatnya juga ada kelihatannya;
c) Wajib, yaitu perceraian yang pasti dilakukan oleh hakim
terhadap seseorang yang telah bersumpah untuk tidak
menggauli istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak
mau pula membayar kafarat sumpah agar ia dapat bergaul
dengan istrinya. Tindakan itu memudharatkan istrinya;
d) Haram talak itu dilakukan tanpa alasan, sedangkan istri dalam
keadaan haid atau suci yang dalam masa itu ia telah digauli.
c. Bentuk-bentuk Perceraian
Ditinjau dari segi tatacara beracara di Pengadilan Agama maka
bentuk perceraian dibedakan menjadi 2 bagian yaitu :
a) Cerai talak, ialah putusnya perkawinan atas kehendak suami
karena alasan tertentu dan kehendaknya itu dinyatakan dengan
ucapan tertentu (Amir Syafruddin, 2007: 197).
b) Cerai gugat, ialah gugatan yang diajukan oleh istri terhadap
suami kepada pengadilan dengan alasan-alasan serta meminta
pengadilan untuk membuka persidangan itu, dan perceraian atas
dasar cerai gugat ini terjadi karena adanya suatu putusan
pengadilan.
33
d. Alasan Perceraian
Alasan bercerai diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 1
Tahun1974, yang menyebutkan :
a) Ayat (1) : “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
b) Ayat (2) : “untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan,
bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai
suami istri.”
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan sebagai
berikut:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun
berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c) Salah satu pihak mendapatkan hukuman lima tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak yang lain;
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat atau tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami istri;
f) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.
34
B. Kerangka Pemikiran
1.
2.
3.
P
E
R
T
I
M
B
A
N
G
A
N
k
k
k
k
Penggugat Gugatan Cerai Gugat Tergugat
Pengadilan Agama
Sengeti, Muaro Jambi
Pemeriksaan Perkara dan Pembuktian
Alat Bukti (Pasal 1866 KUH
Perdata)
Bukti Surat Saksi
Persangkaan Hakim
Putusan Pengadilan Agama Sengeti
Nomor 216/Pdt.G/2015/PA.Sgt
Fotocopy Kutipan Akta
Nikah
Fotocopy Kartu Tanda
Penduduk (KTP)
Saksi I Melihat
Penggugat dengan
Tergugat Bertengkar
Saksi II Tidak
Melihat Pertengkaran
Tersebut
35
Keterangan
Bagan kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur berfikir
penulis dalam menyusun penelitian hukum. Berdasarkan alur tersebut
dijelaskan bahwa penggugat mengajukan gugatan cerai gugat kepada
tergugat melalui Pengadilan Agama Sengeti, Muaro Jambi. Gugatan
dilakukan pemeriksaan perkara dan pembuktian. Majelis Hakim
memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk mengajukan alat
bukti. Pada proses berperkara tergugat tidak mengajukan alat bukti dalam
persidangan, sedangkan penggugat mengajukan 2 (dua) alat bukti surat
yang berupa fotocopy kutipan akta nikah dan fotocopy kartu tanda
penduduk (KTP). Penggugat mengajukan 2 (dua) saksi dalam persidangan,
yaitu saksi I dan saksi II. Saksi I merupakan tetangga penggugat, yang
memberikan kesaksian bahwa sering melihat penggugat dan tergugat
bertengkar karena tergugat memiliki wanita idaman lain (WIL) bernama
FULANAH. Saksi kedua penggugat merupakan abang ipar penggugat,
saksi kedua memberikan keterangan bahwa penggugat dan tergugat sudah
tidak harmonis, penggugat dan tergugat sering bertengkar meskipun saksi
kedua tidak pernah melihat penggugat dan tergugat bertengkar secara
langsung.
Mengingat bahwa saksi II tidak melihat dan mendengar secara
langsung pertengkaran antara penggugat dan tergugat (testimonium de
auditu), Majelis Hakim berpendapat keterangan testimonium de audiu
tidak digunakan sebagai alat bukti, tetapi kesaksian de auditu dikontruksi
sebagai alat bukti persangkaan (vermoeden),dengan pertimbangan yang
objektif dan rasional, sehingga persangkaan itu dapat dijadikan dasar untuk
membuktikan sesuatu. Berdasarkan dalil-dalil penggugat yang dikaitkan
dengan bukti-bukti dan fakta di persidangan akhirnya Hakim mengabulkan