bab ii tinjauan pustaka a. kualitas team member exchangeeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4630/3/bab...
TRANSCRIPT
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kualitas Team Member Exchange
Tim dan kelompok sebenarnya merupakan istilah yang hampir sama,
oleh karena itulah dalam tim terdapat karakteristik dasar kelompok, seperti
memiliki tujuan, interaksi antar anggota, adanya saling kebergantungan
antar anggota, struktur dan kesatuan. Perbedaan tim dan kelompok ada
pada tingkat interaksi dimana dalam tim lebih terfokus dan berkelanjutan
(Forsyth dalam Paker, 2008). Tingkat saling kebergantungan anggota tim
menjadikan kinerja dari satu anggota dipengaruhi kinerja anggota lainnya.
Oleh sebab itu usaha dalam mencapai tujuan merupakan hasil dari usaha
bersama dan bila mendapatkan kesuksesan ataupun kegagalan juga menjadi
tanggung jawab bersama.
Pendekatan fungsional konsep teamwork menekankan pada upaya
efektif tim dalam mencapai tujuannya. Kerjasama tim (teamwork) adalah
proses psikologis, perilaku dan mental dari anggota tim dalam berkolaborasi
satu sama lain untuk melaksanakan tugas dan upaya untuk mencapai tujuan
(Foyisth, 2010). Dalam kerjasama tim (teamwork) hal yang menjadi penting
adalah fokusnya untuk mencapai tujuan bersama melalui berbagi
pengetahuan dan keterampilan (Puspasari, 2012).
14
1. Pengertian Kualitas Team Member Exchange
Sebelum Seers (1989) mengusulkan konsep TMX, para sarjana
pada masa itu lebih memperhatikan hubungan pertukaran vertikal
organisasi Leadership Member Exchange (LMX) yang memberi pengaruh
signifikan terhadap kinerja karyawan, kepuasan kerja, perilaku warga
organisasi, komitmen organisasi, dan keinginan pindah (Harris dan
Kirkman, 2014). Namun dengan munculnya model kepemimpinan
bersama dan tim mandiri (Bunderson & Boumgarden (2010), Perez &
Zarraga (2005)), menyebabkan pengaruh kepemimpinan terhadap tim
menjadi melemah, tetapi interaksi antar anggota tim memiliki efek yang
lebih jelas (Dierdoff, Bell & Belohlav, 2011). Walaupun konsep team
member exchange merupakan konstruksi yang relatif baru dalam studi
organisasi, namun dalam perkembangannya TMX sejajar dengan leader
member exchange (Seers,1989).
Pengertian team member exchange (TMX) menurut Srivastsva &
Singh (2015) Pertukaran antar anggota tim (TMX) sangat penting dalam
bidang perilaku organisasi, namun fenomena ini relatif belum banyak
dijelajahi oleh para peneliti. Team member exchange ingin menilai sejauh
mana anggota tim secara pribadi merasakan rasa “leamness” dalam hal
interaksi berbasis tugas (Bettenhausen, 1991; Seers, Petty, & Cashman,
1995).
15
Menurut Seers (1989) team member exchange (TMX) adalah
variabel tingkat individu, yang mencerminkan persepsi individu terhadap
kualitas hubungan kerja tim. TMX mencirikan kualitas hubungan kerja
dan timbal balik antara anggota tim dan kelompok sejawatnya. TMX
adalah "persepsi anggota individu tentang hubungan pertukarannya
dengan kelompok sebaya secara keseluruhan" (Seers, 1989). Pertukaran
anggota tim (TMX) biasanya dikonsepkan dari dua perspektif yang
berbeda namun saling terkait, yaitu berbagi informasi (information
sharing) dan berbagi usaha (effort sharing) (dalam Pelihat, 1989).
Definisi yang diusulkan oleh Kozlowski, Gully, Salas, dan Cannon-
Bowers (1996), team member exchange adalah persepsi anggota tim
tentang timbal balik dan kontribusi antara mereka dan anggota tim
dengan ciri-ciri terdiri dari beberapa individu, dibentuk untuk melakukan
fungsi yang relevan dengan tugas, saling berinteraksi, menunjukan
interdependensi tugas, memiliki satu atau lebih tujuan bersama, dan
tertanam dalam pengaturan organisasi yang lebih luas. Sedangkan dalam
perkembangan selanjutnya Seers, Petty, Cashman (dalam Chen, 2018),
mendefinisikan kualitas team member exchange sebagai proses
pertukaran ide, gagasan, umpan balik dan bantuan dengan anggota tim
berbagi informasi (information sharing), berbagi usaha (effort sharing)
dan penghargaan dari anggota lain.
16
Secara khusus, kualitas TMX, pada tingkatan tinggi atau rendah,
dapat secara signifikan mempengaruhi proses kerja di jaringan kelompok.
Liden dkk. (2000) mengemukakan, TMX berkualitas rendah merupakan
karakteristik pertukaran berdasarkan persyaratan kerja seperti
penyelesaian tugas sedangkan TMX berkualitas tinggi mewakili
pertukaran timbal balik yang melampaui apa yang dibutuhkan bukan
hanya untuk penyelesaian tugas.
Secara lebih rinci Tse, Dasborough & Marie (2008) mengemukan
indikator kualitas TMX tinggi yaitu, membantu, peduli, mendukung satu
sama lain, kesamaan nilai dan standar, dekat satu sama lain,
persahabatan, berbagi gagasan dan umpan balik, bertukar informasi dan
pengetahuan, pemecahan masalah terkait pekerjaan, komunikasi kerja
yang baik, saling menghormati dan mempercayai. Sedangkan TMX
berkualitas rendah menampakan sedikit penghargaan, perhatian dan
dukungan, komunikasi kerja yang buruk, kritik, pelecahan verbal, diskusi
yang berfokus pada tugas atau pekerjaan, kurangnya kepercayaan dan
rasa hormat, dan tidak ada kerjasama.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka, kualitas team
member exchange diartikan sebagai persepsi individu anggota tim
terhadap hubungan timbal balik secara keseluruhan dalam bentuk
berbagi informasi (information sharing) dan berbagi bantuan atau usaha
17
(effort sharing) antar anggota tim. Pengertian tersebut akan menjadi
batasan team member exchange yang digunakan dalam penelitian ini.
2. Faktor-faktor Team Member Exchange
Berdasarkan pendapat beberapa ahli, maka faktor-faktor yang
mempengaruhi team member exchange adalah :
a. Trust (Kepercayaan)
Trust didefinisikan sebagai sebuah bentuk kepercayaan yang
bersifat resiprokal yang didasarkan atas intensi atau perilaku orang
lain (Kreitner & Kinicki, 2008). Trust dapat mengembangkan interaksi
yang berulang dalam tim dan memungkinkan anggota tim untuk
memperbarui informasi (Williams, 2001). Trust adalah hal mendasar
yang harus dimiliki dalam tim, karena mendorong terjadinya berbagi
sumber daya (resources), perilaku saling mempengaruhi dan
memperlakukan orang lain dalam kelompok dengan hormat (Deluga,
1994). Anggota tim mengembangkan trust dalam kelompok kerjanya
melalui berbagi informasi, tidak menyalahgunakan kepercayaan dari
anggota lain dan saling mempengaruhi (mutual influence) (Deluga,
1994).
b. Harapan
Harapan yang dimiliki individu terhadap anggota lain dalam
tim dapat mempengaruhi cara interaksi di dalam tim dan cara
menginterpretasi perilaku anggota lain dimana akan mempengaruhi
18
cara mereka berperilaku. Dalam tim, anggota memiliki harapan akan
anggota lain dan tim secara keseluruhan. Anggota tim yang bekerja
secara maksimal agar dapat menyelesaikan tugas secara efektif akan
mendukung harapan anggota tim dan mendorong meningkatnya
kualitas TMX (Murillo, 2006).
c. Compatibility (Similarity dan Liking)
Persepsi terhadap kesamaan (perceived similarity) dapat
memancing interaksi dengan anggota lain, interaksi ini mengarah
kepada perilaku berkomunikasi yang mendorong kepada perilaku
berbagi kepercayaan, ide dan akan terjadi umpan balik, dan perilaku
itu semua mengarah kepada terjadinya TMX (Murillo, 2006). Sedang
rasa suka (liking) dapat mengarah kepada evaluasi positif terhadap
anggota kelompok tersebut dan akan mendorong kepada perilaku
berbagi ide atau gagasan, umpan balik dan cara menyelesaikan
masalah (Weisband & Atwater, 1999).
d. Feedback environment (Umpan balik)
Feedback environment adalah persepsi seseorang akan
keberadaan umpan balik dari atasan atau rekan kerja dalam
lingkungan yang mendukung pertukaran umpan balik secara rutin
(Steelman, Levy & Snell, A.F, 2004). Umpan balik merupakan
informasi yang diterima oleh individu mengenai kinerja mereka pada
tugas tertentu (London, 2003). Umpan balik merupakan salah satu
19
proses komunikasi. Pada umpan balik pesan yang disampaikan berisi
informasi mengenai penerima pesan. Umpan balik yang didapatkan
secara berkala dan tepat sasaran dapat membantu komunikasi dan
delegasi tanggung jawab sehingga berpengaruh terhadap TMX
(Murillo & Steelman, 2004).
Berdasarkan uraian di atas maka, disimpulkan bahwa ada
empat faktor yang berpengaruh terhadap TMX, yaitu kepercayaan
(trust) yang dapat mengembangkan interaksi berulang dalam tim dan
memungkinkan anggota tim memperbarui informasi, kedua harapan
individu terhadap anggota lain dalam tim dapat mempengaruhi cara
interaksi di dalam tim dan cara menginterpretasi perilaku anggota lain
dimana akan mempengaruhi cara mereka berprilaku. Ketiga
compatibility adalah persepsi terhadap kesamaan (perceived
similarity) dapat memancing interaksi yang mengarah kepada perilaku
berkomunikasi dengan anggota lain serta rasa suka (liking) dapat
mengarahkan kepada evaluasi positif, sehingga mendorong anggota
tim untuk berbagi ide dan gagasan. Faktor yang keempat feedback
environment merupakan persepsi seseorang akan keberadaan umpan
balik dari lingkungan kerjanya yang mendukung pertukan informasi
dalam proses komunikasi.
20
3. Pengukuran Kualitas Team Member Exchange
Kualitas team member exchange diukur dengan menggunakan
metode skala sikap. Metode tersebut dipilih disebabkan dalam
penggunaannya mudah untuk disebarkan dan tidak sulit untuk
dikuantifikasikan. Lazimnya kualitas team member exchange diukur
dengan alat ukur TMX Quality Scale yang dikembangkan oleh Seers,
Petty & Cashman, (1995). Skala ini terdiri dari 10 item pertanyaan untuk
mengukur persepsi individu anggota tim mengenai hubungan timbal balik
dengan tim secara keseluruhan. TMX Quality Scale terdiri dari dua
komponen, yaitu :
1. Information Sharing
Information sharing atau berbagi informasi berkaitan dengan
persepsi anggota tim akan pengakuan dari lingkungan sosial yang
diterimanya, termasuk diantaranya adalah lingkungan memberikan
kesempatan bagi anggota tim untuk dapat mengekspresikan
pendapat dan kebutuhan, kesediaan anggota tim untuk bertukar
informasi, berbagi pengetahuan, gagasan dan pembagian umpan
balik, serta komunikasi kerja yang baik (Tse, Dasborough, Marie,
2008). Hal tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan Fawcett
(2007) bahwa hubungan yang dekat dan berkualitas dapat dibangun
melalui berbagi informasi.
2. Effort Sharing
21
Effort sharing atau berbagi usaha berkaitan dengan persepsi
anggota tim akan penerimaan satu sama lain, termasuk diantaranya
adalah anggota tim fleksibel dalam berbagi tanggung jawab dalam
bekerja dan memiliki keinginan untuk membantu, peduli mendukung
satu sama lain, dekat satu sama lain, saling menghormati dan
menghargai, memiliki kesamaan nilai dan standar tim pada
pemecahan masalah terkait pekerjaan (Tse, Dasborough, Marie,
2008).
Alat ukur TMX Quality Scale yang akan digunakan merupakan
hasil adaptasi Damayanie yang menterjemahkan kuesioner yang
dikembangkan oleh Seers ke dalam bahasa Indonesia, bertujuan untuk
mengukur tingkat kualitas hubungan antar rekan kerja. Kemudian pernah
diuji kembali oleh Puspasari (2012) dengan hasil α = 0,892 yang berarti
skala tersebut reliabel berdasarkan patokan nilai α ≥ 0,60. Namun dalam
penelitian ini, peneliti mencoba menambahkan jumlah skala TMX menjadi
20 butir dengan pertimbangan akan dilakukan uji coba (tryout) dan
melakukan uji validitas dan reliabilitas kembali. Hal tersebut dimaksudkan
untuk agar jumlah butir sehingga apabila ada butir yang tidak valid
adahanya butir yang valid dan reliabel yang akan digunakan dalam
pengambilan data penelitian.
22
B. Pelatihan Trust Building
1. Pengertian Pelatihan
a. Definisi Pelatihan
Pelatihan merupakan sebuah usaha terencana yang dilakukan
oleh perusahaan untuk memfasilitasi pembelajaran karyawan
mengenai kompetensi yang terkait dengan pekerjaannya. Kompetensi
tersebut termasuk pengetahuan, keterampilan atau perilaku yang
penting untuk dapat menunjang kinerja yang sukses (Riggio, 2008).
Menurut Casto (2005), pelatihan merupakan suatu program
terencana untuk meningkatkan kinerja pada tingkat individu,
kelompok maupun organisasi. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa pelatihan merupakan sebuah usaha terencana untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan atau perilaku individu,
kelompok maupun organisasi agar dapat menghasilkan kinerja
optimal.
b. Tujuan Pelatihan
Menurut Noe (2005), tujuan dari pelatihan adalah agar
karyawan dapat menguasai pengetahuan, keterampilan dan perilaku
yang diajarkan dalam program pelatihan untuk kemudian dapat
diaplikasikan ke dalam situasi pekerjaan sehari-hari. Sikula (dalam
Munandar, 2001) menyatakan bahwa secara umum tujuan dari
pelatihan dan pengembangan antara lain adalah :
23
1. Meningkatkan produktivitas
Pelatihan dapat meningkatkan taraf prestasi tenaga kerja
pada jabatannya sekarang. Prestasi kerja yang meningkat
mengakibatkan peningkatan dari produktivitas.
2. Meningkatkan mutu
Pelatihan dan pengembangan yang tepat tidak hanya
meningkatkan kuantitas dari keluaran tetapi juga meningkatkan
kualitas atau mutu dari keluaran. Tenaga kerja yang
berpengetahuan dan berketerampilan baik hanya akan membuat
sedikit kesalahan dan cermat dalam pekerjaan.
3. Meningkatkan ketepatan dalam perencanaan sumber daya
manusia.
Pelatihan dan pengembangan yang tepat dapat membantu
perusahaan untuk memenuhi keperluannya akan tenaga kerja
dengan pengetahuan dan keterampilan tertentu dimasa yang
akan datang. Jika suatu saat diperlukan, maka lowongan yang
ada dapat secara mudah diisi oleh tenaga kerja dari dalam
perusahaan sendiri.
4. Meningkatkan semangat kerja
Iklim dan suasana organisasi pada umumnya menjadi
lebih baik jika perusahaan mempunyai program pelatihan yang
24
tepat. Suatu rangkaian reaksi positif dapat dihasilkan dari
program pelatihan perusahaan yang direncanakan dengan baik.
5. Menarik dan menahan tenaga kerja yang berpotensi baik
Para tenaga kerja, terutama para manajer, memandang
kemungkinan untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan sebagai
bagian dari imbalan jasa (compensation) dari perusahaan
terhadap mereka. Mereka berharap perusahaan membayar
program pelatihan yang mengakibatkan mereka bertambah
pengetahuan dan keterampilan dalam keahlian mereka masing-
masing. Oleh karena itu, banyak perusahaan yang menawarkan
program pelatihan dan pengembangan yang khusus untuk
menarik tenaga kerja dengan potensi baik.
6. Menjaga kesehatan dan keselamatan kerja
Pelatihan yang tepat dapat membantu menghindari
timbulnya kecelakaan kerja di perusahaan dan dapat
menimbulkan lingkungan kerja yang lebih aman dan sikap mental
yang lebih stabil.
7. Menghindari keusangan (obsolescence)
Usaha pelatihan dan pengembangan diperlukan secara
terus menerus supaya tenaga kerja dapat mengikuti
perkembangan terakhir dalam bidang kerja mereka masing-
25
masing. Hal ini berlaku baik untuk tenaga kerja pekerja (non
manajerial) maupun tenaga kerja manajerial.
8. Menunjang pertumbuhan pribadi (personal growth)
Pelatihan dan pengembangan tidak hanya menguntungkan
perusahaan, tapi juga menguntungkan tenaga kerja itu sendiri.
c. Tahap Penyusunan Program Pelatihan
Menurut Riggio (2008) terdapat beberapa tahapan dalam
menyusun program pelatihan, yaitu :
1. Menilai kebutuhan pelatihan
Sebuah program pelatihan yang efektif harus dimulai
dengan menilai kebutuhan pelatihan. Dengan kata lain, organisasi
harus mengetahui hal-hal apa saja yang perlu diketahui oleh
karyawan untuk melakukan pekerjaan mereka. Penilaian
kebutuhan pelatihan melibatkan analisis diberbagai level, yaitu
level organisasi (kebutuhan dan tujuan organisasi), level tugas
(persyaratan untuk melakukan pekerjaan), dan level individu
(keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk
melakukan pekerjaan). Sebagai tambahan, analisis juga dapat
dilakukan pada level demografis (kebutuhan pelatihan spesifik
dari kelompok demografis beragam, seperti wanita dan pria, latar
belakang usia pekerja yang berbeda, dan lain sebagainya).
2. Menetapkan tujuan pelatihan
26
Tahap kedua adalah menetapkan tujuan pelatihan.
Tujuan pelatihan harus spesifik dan dapat diasosiasikan dengan
hasil yang terukur. Tujuan pelatihan harus dapat menjelaskan apa
yang harus dicapai oleh peserta dalam sebuah program pelatihan.
Adanya tujuan pelatihan dapat membantu dalam mendesain
program pelatihan dan memilih teknik dan strategi pelatihan yang
tepat. Selain itu penekanan pada penyusunan tujuan pelatihan
yang spesifik dan terukur penting untuk dilakukan terkait dengan
evaluasi dari efektifitas program pelatihan.
3. Mengembangkan dan menguji materi pelatihan
Beberapa faktor perlu dipertimbangkan dalam
mengembangkan materi pelatihan, seperti latar belakang
pendidikan dan keahlian peserta, apakah pelatihan berfokus pada
hal yang berkaitan secara langsung dengan peningkatan kinerja
pekerjaan, dan metode pelatihan seperti apa yang dapat
memberikan manfaat yang terbaik, serta biaya yang sesuai. Selain
itu materi pelatihan juga harus diuji sebelum digunakan, misalnya
saja dengan melibatkan sekelompok karyawan yang dapat
memberikan reaksi terhadap materi dan program yang disusun.
Dengan begitu dapat dilakukan perbaikan terhadap materi dan
program pelatihan.
27
Berkaitan dengan metode pelatihan, saat ini metode yang tersedia
sangat bervariasi, mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks dan
canggih. Riggio (2008) membagi metode pelatihan karyawan menjadi 2
kategori umum, yaitu on-site method dan off-site method. On-site method
merupakan metode dimana pelatihan dilaksanakan di lokasi kerja, contohya
adalah on the job training, apprenticeship, vestibule training, dan job
rotation. Off-site method adalah metode dimana pelatihan dilakukan di dalam
sebuah setting lain yang berbeda dengan keadaan kerja yang sebenarnya,
contohnya seperti seminar, audiovisual instruction, behavior modeling
training, simulation techniques, programmed instruction, computer assited
instruction, dan management/ leadership training methods.
Kroehnert (dalam Puspasari, 2012) menyatakan bahwa terdapat lima
belas metode instruksi yang dapat membuat pelatihan menjadi efektif dan
efisien. Lima belas metode tersebut adalah ceramah, ceramah yang
dimodifikasi (melibatkan pembentukan grup untuk diskusi), latihan (peserta
mencobakan keterampilan yang mereka dapatkan dari pelatihan), membaca
(peserta diminta membaca bahan tertentu untuk kemudian didiskusikan),
grup diskusi (baik diskusi terstruktur, forum terbuka, maupun diskusi panel),
metode fishbowl (peserta dibagi menjadi lingkaran dalam lingkaran dalam
dan lingkaran luar dan secara bergantian menjadi pengamat dan orang yang
diamati), bermain peran, simulasi, permainan, video atau film, brainstorming,
28
metode instruksi terprogram (computer based instruction), fieldtrips
(melakukan tur atau ekspedisi), dan terakhir adalah metode tanya jawab.
d. Implementasi Program Pelatihan
Tahap selanjutnya dari model pelatihan adalah
mengimplementasikan program pelatihan. Ketika meng- implementasikan
program pelatihan, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, seperti
kesiapan dan harapan dari peserta dan iklim organisasi terhadap
pelatihan, yaitu apakah karyawan dan organisasi memandang positif
serta mendukung pelatihan. Hal yang juga penting untuk diperhatikan
adalah memberitahukan peserta mengenai alasan dilakukannya
pelatihan, untuk memberikan informasi kepada mereka mengenai
manfaat pelatihan bagi dirinya maupun organisasi (Riggio, dalam
Puspasari, 2012). Hal lainnya yang perlu dipertimbangkan juga adalah
kapan dan seberapa sering pelatihan dilaksanakan, siapa yang memimpin
pelatihan, sesi dalam pelatihan, dimana pelatihan diadakan, dan lain
sebagainya.
e. Evaluasi Program Pelatihan
Secara umum alasan diadakannya evaluasi program pelatihan
adalah untuk menentukan keefektifitasan dari program pelatihan
tersebut. Kirkpatrick (dalam Riggio, 2008) menjelaskan beberapa alasan
khusus perlu dilakukannya evaluasi pelatihan, yaitu :
29
1. Untuk membenarkan keberadaan dari departemen pelatihan dengan
menunjukan bagaimana hal tersebut berkontribusi terhadap tujuan
dan sasaran organisasi.
2. Untuk menentukan apakah program pelatihan dapat dilanjutkan atau
tidak.
3. Untuk memperoleh informasi mengenai bagaimana meningkatkan
program pelatihan di masa yang akan datang.
Pertama sekali yang harus dilakukan dalam membuat evaluasi
program pelatihan adalah menentukan kriteria yang mengindikasikan
kesuksesan program pelatihan dan mengembangkan cara untuk mengukur
kriteria tersebut.. Salah satu kerangka yang banyak digunakan adalah 4 level
yang mengukur efektifitas program pelatihan (Kirkpatrick, 1959-1960;
Latham & Saari, 1979; Warr, Allan & Birdi, 1999 dalam Riggio, 2008). Setiap
level adalah penting dan mempunyai dampak terhadap level selanjutnya.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai keempat level tersebut :
1. Level 1: Level Reaksi (Reaction)
Level ini mengukur kesan peserta terhadap kegiatan trust building
yang terjadi, termasuk makna dari kegiatan trust building, jumlah
pembelajaran yang diterima dan kepuasan terhadap program trust
building yang diberikan. Level reaksi biasanya diukur dengan
menggunakan survey evaluasi trust building berbentuk rating yang
diberikan kepada peserta segera setelah kegiatan trust building
30
dilaksanakan. Hal yang perlu diingat adalah tahap ini tidak mengukur
apakah terjadi pembelajaran, melainkan hanya mengukur pendapat
peserta tentang kegiatan trust building dan pembelajaran yang mereka
rasakan.
2. Level 2 : Level Pembelajaran (Learning)
Level kedua mengukur jumlah dari pembelajaran yang
didapatkan. Biasanya untuk melihat criteria ini digunakan form yang
berisi tes yang menguji jumlah informasi yang didapat dari program
trust building.
3. Level 3 : Level Tingkah Laku (Behavioral)
Level ini mengukur jumlah dari kemampuan baru yang didapat
dari kegiatan trust building yang ditunjukan ketika peserta kembali ke
pekerjaannya. Biasanya dilakukan observasi untuk mengukur level ini,
dimana pihak atasan memantau kemampuan baru yang muncul
tersebut.
4. Level 4 : Level Hasil (Result)
Level ini mengukur hasil yang penting bagi organsasi karena
adanya kegiatan trust building, misalnya peningkatan output kerja
peserta yang ditunjukan dengan peningkatan angka produksi,
tingginya angka penjualan, atau kualitas kerja yang lebih baik.
Dengan menggunakan level hasil, analisa biaya keuntungan dapat
dilihat dengan membandingkan biaya untuk program dengan hasil
31
yang didapatkan ketika diubah dalam nilai uang. Level ini biasanya
merupakan evaluasi yang paling penting dari efektifitas program,
namun sulit untuk dilakukan karena tidak semua hasil kegiatan trust
building dapat dengan mudah diubah ke dalam nilai uang.
f. Pelatihan dengan Experiential Learning
Salah satu konsep pembelajaran yang dapat membawa proses
pembelajaran dapat berjalan efektif adalah pembelajaran melalui
penghayatan (experiential learning) (Munandar, 2001). Konsep sentral
dari pembelajaran melalui penghayatan adalah bahwa harus ada Prektek
yang aktif agar orang dapat mengulang-ulang apa yang mereka pelajari
dan hayati sehingga akhirnya menguasai pengetahuan atau
keterampilannya (Munandar, 2001). Johnson (1997) menyatakan bahwa
experiential learning dibentuk berdasarkan tiga asumsi, yaitu : (1)
manusia akan belajar lebih baik jika mereka secara personal terlibat
dalam pengalaman belajar, (2) pengetahuan harus digali jika
pengetahuan tersebut ditujukan untuk membuat perubahan pada tingkah
laku, dan (3) komitmen terhadap pembelajaran lebih tinggi ketika
seseorang secara bebas dapat mengatur tujuan pembelajaran mereka
masing-masing dan secara aktif mencapai tujuan tersebut dalam sebuah
kerangka kerja tertentu.
Noe (2005) menyatakan bahwa program yang berdasarkan pada
experiential learning memiliki empat tahapan, yaitu: (1) memperoleh
32
teori dan pengetahuan secara konseptual, (2) mengambil bagian pada
simulasi tingkah laku, (3) menganalisis aktifitas, dan (4) menghubungkan
teori dan aktifitas dengan situasi kehidupan nyata. Kolb merupakan
seorang tokoh yang memiliki pandangan bahwa untuk memperoleh
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang baru, melibatkan proses
konfrontasi terhadap empat tahapan experiential learning, yaitu concrete
experience (CE), reflective observation (RO), abstract conceptualization
(AC), dan active experimentation (AE).
Keempat tahap tersebut membentuk sebuah learning cycle atau
daur belajar (Buckley & Caple, 2009). Seperti terlihat pada gambar 1
berikut :
Gambar.1 Daur belajar Kolb (sumber, Buckley & Caple, 2009)
Secara lebih rinci keempat tahapan daur belajar dari Kolb di atas,
dijelaskan sebagai berikut :
33
a. Concrete Experience (CE)
Pada tahap ini, peserta harus memiliki kapasitas untuk
melibatkan diri mereka sepenuhnya dalam pengalaman baru (Buckley
& Caple, 2009). CE adalah proses pemberian kegiatan yang dapat
secara langsung memberikan pengalaman nyata kepada peserta
pelatihan untuk merasakan sendiri apa yang terjadi pada dirinya
ketika ia mengikuti kegiatan tersebut. Kegiatan yang dapat dilakukan
untuk menciptakan CE adalah simulasi, studi kasus, kunjungan
lapangan, pengalaman nyata, dan demonstrasi atau
mendemonstrasikan. Tugas pemandu dalam CE adalah memberikan
arahan dan instruksi kegiatan serta menjadi pengamat yang harus
mencatat setiap peristiwa penting yang terjadi di dalam kegiatan.
b. Reflective Observation (RO)
Pada tahap ini, peserta harus mampu melakukan pengamatan
dan merefleksikan pengalaman mereka dari berbagai sisi dan sudut
pandang (Buckley & Caple, 2009). Pengalaman tersebut harus dapat
direfleksikan ke dalam istilah-istilah seperti apa yang terjadi, dan apa
hasil dari tindakannya (Rae, 2000). Dengan kata lain, RO adalah
proses mengamati dan merefleksikan atau merenungkan kembali apa
yang telah dialami dalam peristiwa sebelumnya. RO diperlukan untuk
menggali pengalaman spesifik yang dimiliki oleh setiap peserta. RO
sering disebut juga dengan istilah debrief atau pembahasan.
34
Kegiatan yang dapat dilakukan pada tahap RO adalah diskusi,
pembahasan dalam kelompok kecil, buzz group, dan pengamat yang
ditunjuk. Hal yang penting pada tahap RO adalah bagaimana peserta
dapat mengenali dan memanfaatkan peristiwa-peristiwa penting
dalam pengalamannya sehingga dapat dijadikan bagian dalam proses
belajarnya (memunculkan disonansi kognitif). Tugas pemandu pada
tahap RO adalah mencatat setiap temuan peserta atau kelompok,
membagi hasil catatan mengenai yang terjadi selama CE kepada
peserta, membahas hasil catatan sambil dijadikan umpan balik bagi
peserta.
c. Abstract Conceptualization (AC)
Pada tahap ini, peserta harus mampu menggabungkan
observasi mereka dalam pemikiran yang berlandaskan teori (Buckley
& Caple, 2009). Peserta menggambarkan kesimpulan mengenai
pengalaman yang mereka lakukan (Rae, 2000). Dengan kata lain,
pada tahap RO, peserta dipandu untuk merumuskan atau
menyimpulkan sesuatu tentang dirinya atau tentang konsep tertentu.
Hal tesrsebut dapat berupa kelebihan atau kekurangan diri, kebiasaan
atau gambaran tingkah lakunya yang selama ini tidak disadari, dan
lain sebagainya, sehingga dapat menimbulkan insight tentang dirinya
dan memiliki keinginan untuk mengubahnya. Kegiatan yang bisa
35
dilakukan untuk melaksanakan AC adalah dengan melakukan
pembahasan topic atau konsep.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengajukan
pertanyaan pada fase AC, yaitu: (1) kesimpulan harus datang dari
peserta, (2) pemandu menggiring jawaban peserta pada topic yang
ingin dibahas, (3) pemandu mengaitkan pembahasan dengan
kehidupan nyata, dan (4) pemandu membulatkan pembahasan
dengan ceramah singkat.
d. Active Experimentation (AE)
AE adalah tahap dimana peserta bertingkah laku di masa yang
akan datang, dengan situasi yang serupa, dan khususnya mengenai
apa yang akan dilakukan terkait pembelajaran yang diperoleh dari
tahap pembelajaran sebelumnya (Rae, 2000). Dengan kata lain,
tahap AE adalah proses mencobakan tingkah laku baru yang
merupakan tujuan yang hendak dicapai dari sebuah program atau
kegiatan pelatihan. Peserta diharapkan berusaha memunculkan
tingkah laku baru atau mengurangi atau menghilangkan kebiasaan
lama yang dimilikinya. Perubahan ini dapat terjadi atas kehendak
pribadi dari peserta, atau apabila telah dirancang oleh pemandu,
tingkah laku yang sebaiknya ditampilkan secara sengaja atau yang
harus dilakukan oleh peserta.
36
Ada beberapa hal penting terkait AE. Pertama, pemandu
diharapkan secara terbuka memberikan umpan balik positif bagi
peserta yang menampilkan tingkah laku baru (ideal) secara tepat.
Kedua, pemandu perlu memberikan positive reinforcement dan tidak
perlu memberikan funishment apalagi extinction, walaupun peserta
tidak mau atau salah menampilkan tingkah laku yang diharapkan.
Ketiga, AE bisa dilakukan ketia pelatihan ataupun sesudah pelatihan,
yaitu dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu bergantung pada tujuan
dari pelatihan yang telah ditetapkan sebelumnya.
g. Metode Penyampaian materi dalam Pelatihan
Metode penyajian pelatihan yang dijelaskan oleh Munandar
(2001) & Noe (2005), yaitu :
1. Kuliah (lecture)
Merupakan suatu ceramah yang disampaikan secara lisan
untuk menyampaikan suatu pengetahuan. Keuntungan dari metode
ini adalah dapat digunakan pada kelompok besar dalam waktu yang
efektif singkat. Sedangkan kelemahannya adalah komunikasi yang
dilakukan searah sehingga tidak ada umpan balik dari peserta
(Munandar, 2001).
2. Konferensi
Konfrensi adalah pertemuan formal dimana terjadi diskusi
mengenai topic-topik penting. Dalam konferensi, ditekankan 3 hal
37
yaitu bahan yang terorganisir, diskusi kelompok kecil, dan
keterlibatan peserta secara aktif. Metode ini sangat berguna untuk
pengembangan dari pengertian dan pembentukan sikap-sikap baru.
Kelemahan metode ini adalah hanya dapat diikuti oleh sedikit peserta
dengan jumlah maksimal 20 orang untuk mendapatkan hasil yang
efektif (Munandar, 2001).
3. Studi Kasus
Studi kasus merupakan uraian tertulis mengenai keadaan
suatu organisasi selama waktu tertentu yang nyata dan terdapat
hipotesis. Para peserta diminta untuk mengidentifikasikan masalah
dan merekomendasikan kemampuan analisa dan pemecahan masalah
(Munandar, 2001).
4. Role Play
Pada metode ini peserta diminta untuk bermain peran
berdasarkan skenario yang telah disiapkan. Metode ini memberikan
kesempatan kepada peserta untuk mempelajari keterampilan
hubungan antara manusia dan untuk mengembangkan pemahaman
mengenai dampak perilaku diri sendiri terhadap orang lain.
Keuntungan metode ini adalah memungkinkan untuk belajar melalui
perbuatan (learning by doing), menekankan kepekaan dan interaksi
manusia, memberitahu secara langsung hasilnya, menimbulkan minat
38
serta keterlibatan yang tinggi, dan menunjang transfer of learning
(Munandar, 2001).
5. Simulasi
Metode ini berupaya meniru keadaan nyata. Merupakan
metode yang digunakan sebagai alat atau teknik menyalin/ meniru
setepat mungkin kondisi-kondisi nyata yang ditemukan dalam
pekerjaan (Munandar, 2001).
6. Induction Program
Metode ini khusus ditujukan untuk karyawan baru dan tidak
dilakukan untuk melatih suatu keterampilan. Metode ini bertujuan
agar para karyawan baru dalam waktu singkat dapat mengenali dan
familiar dengan organisasi dan budaya organisasi tempat mereka
bekerja. Proses ini juga seringkali disebut sebagai orientasi, induksi,
atau persiapan (Munandar, 2001).
7. Permainan
Permainan merupakan aktivitas, ilustrasi atau latihan yang
dapat mendukung inti materi yang ingin disampaikan kepada peserta.
Penggunaan permainan sebagai salah satu metode dalam trust
building membantu peserta untuk menemukan makna (insight) dari
aktivitas yang telah dilakukan. Permainan dapat menstimulasi
pembelajaran karena partisipan secara aktif terlibat untuk
berpartisipasi dalam permainan dan secara umum terdiri dari poin-
39
poin pembelajaran yang dapat disesuaikan dengan situasi yang
dialami oleh peserta (Kroenhert, dalam Noe, 2005).
8. Brainstorming
Brainstorming merupakan bentuk diskusi terstruktur.
Keuntungan menggunakan metode ini adalah dapat memancing
peserta untuk mengeluarkan ide dan pemikiran mereka sehingga
dapat memunculkan makna (insight) dan meningkatkan motivasi
peserta untuk berpartisipasi (Kroenhert, dalam Noe, 2005).
2. Pengertian Trust Building
Doney et.al. (dalam Ojha & Gupta, 1998) mendefenisikan trust
sebagai sesuatu yang diharapkan dari kejujuran dan perilaku kooperatif
yang berdasarkan saling berbagi norma-norma dan nilai bersama.
Tschannen, Moran & Hoy (1999) mengatakan trust adalah kesediaan
seseorang atau kelompok untuk menjadi rentan terhadap pihak lain
didasarkan pada keyakinan dari tindakan terakhirnya dalam menunjukan
benevolent (niat baik), reliable (dapat dipercaya), competent
(kompetensi), honest (kejujuran), dan open (keterbukaan). Sementara
Kreitner & Kinicki (2007) mengemukakan trust merupakan timbal balik
keyakinan niat dan perilaku orang lain. Trust juga di artikan sebagai
tautan penting untuk semua hubungan baik, baik secara pribadi maupun
profesional.
40
Pengertian trust building menurut Stahle & Laento (2009)
merupakan suatu proses yang lambat dan membutuhkan waktu lama
dikaitkan dengan proses suatu pekerjaan, tetapi dapat mempercepat
proses terjadinya interaksi terbuka dan komunikasi serta keterampilan
yang baik. Jalali dan Zlatkovic (2009) mengartikan trust building adalah
serangkaian kegiatan yang dapat membangun kepercayaan dengan
melibatkan aspek kognitif dan afektif seseorang. Pendapat lain
menyatakan trust building adalah suatu program yang mengajarkan
pimpinan dan anggota timnya tentang bagaimana mengimplementasikan
elemen able, believable, connected dan dependable untuk meningkatkan
keterikatan, kreativitas dan komitmen pada organisasi (Blanchard, 2010).
Merangkum beberapa pengertian di atas, maka trust building
adalah suatu upaya yang melibatkan komponen kognitif dan afektif
individu untuk layak dipercaya (trustworthy) dengan menunjukan perilaku
membangun kepercayaan yang meliputi elemen able, believable,
connected dan dependable (Blanchard, 2010).
3. Pengertian Pelatihan Trust Building
Berdasarkan rangkuman pengertian pelatihan dan trust building,
maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan trust building adalah
serangkaian proses pembelajaran dengan pendekatan experiential
learning untuk meningkatkan aspek kognitif dan afektif individu dengan
tujuan mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku
41
membangun kepercayaan yang meliputi elemen able, believable,
connected dan dependable (Blanchard, 2010).
4. Elemen trust building
Untuk membangun kepercayaan (trust building) dibutuhkan
pemahaman terhadap titik kunci yang dapat meningkatkan kepercayaan.
Ada empat elemen dalam trust building menurut Blanchard (2010) yaitu
able (mampu), believable (dapat dipercaya), connected (terhubung), dan
dependable (dapat diandalkan). Keempat elemen tersebut selanjutnya
disebut dengan ABCD trust model yang secara lebih rinci dijelaskan
sebagai berikut:
a. Able (mampu menunjukan kompetensi)
Apakah seorang individu mampu melakukan sesuatu dengan
memperoleh hasil terbaik. Apakah mereka sudah memiliki
keterampilan untuk menyelesaikan suatu persoalan, termasuk
memahami organisasi dan berbagi sumber daya dan informasi
dengan orang lain dalam menyelesaikan pekerjaan.
b. Believable (dipercaya bertindak dengan integritas)
Seorang karyawan harus jujur dalam diri mereka ketika
berurusan dengan orang lain. Dalam istilah Praktis ini berarti
membuat dan mengikuti proses yang adil. Seseorang perlu merasa
bahwa mereka diperlakukan secara adil. Itu bukan berarti bahwa
setiap orang harus diperlakukan dengan cara yang sama dalam
42
semua keadaan, tetapi itu berarti bahwa seorang individu dengan
tepat dan adil berdasarkan keunikan keadaan mereka sendiri.
c. Connected (Mendemonstrasikan kepedulian terhadap orang lain).
Berarti bahwa fokus terhadap kebutuhan orang lain. Hal ini
dapat didukung oleh kemampuan berkomunikasi, maksudnya ketika
seseorang berbagi sedikit informasi tentang diri mereka sendiri, itu
menciptakan rasa koneksi.
d. Dependable (dapat diandalkan)
Artinya mengikuti dengan yakin apa yang dikatakan oleh para
pemimpin mengenai apa yang akan mereka lakukan. Hal ini berarti
bertanggung jawab atas tindakan dan keberadaan orang lain,
responsip terhadap kebutuhan mereka.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
membangun kepercayaan (trust building) dilakukan dengan cara
menunjukan kemampuan disertai tindakan yang berintegritas,
mendemonstrasikan kepedulian terhadap orang lain dan dengan
penuh tanggung jawab dalam melaksanakan perintah kerja.
C. Pengaruh Pelatihan Trust Building Terhadap Kualitas Team
Member Exchange
Penggunaan tim dalam menyelesaikan suatu pekerjaan sekarang ini
diakui sebagai komponen sukses dari setiap perusahaan (Jordan, Field &
43
Armenakis, 2002; Bartlett, Probber & Mohammed, 2007). De Grosky, Riggio,
Lyod, Kotze (dalam Puspasari, 2012) menyatakan bahwa penggunaan tim
dalam menyelesaikan pekerjaan dirasa lebih efektif disebabkan dalam tim
terdapat anggota-anggota yang memiliki kemampuan, bakat dan
pengalaman yang berbeda-beda, hal ini menyebabkan kerja tim lebih dapat
meningkatkan inovasi, kualitas, efisiensi biaya, memperbaiki produktivitas,
menghasilkan pemecahan masalah dan keputusan yang lebih efektif.
Tim terdiri sekelompok individu yang terorganisasi dan bekerjasama
untuk mencapai tujuan tim (Forsyth, 2010). Seberapa efektif tim bekerja
tergantung dengan kualitas hubungan antar individu anggota tim yang
disebut dengan team member exchange (Seers, 1989; Seers, Petty, &
Cashman, 1995, dalam HM Tse, Herman, T. Dasborough, Marie, 2008).
Menurut Wech (2003), kualitas TMX menunjukan efektifitas hubungan
kerja masing-masing anggota dalam suatu kelompok. Penelitian HM Tse, T.
Dasborough, Marie (2008) menemukan bahwa pertukaran yang berorientasi
tugas dan hubungan merupakan elemen penting kualitas team member
exchange. Oleh sebab itu kualitas team member exchange (TMX) sangat
penting dalam meningkatkan efektifitas tim (Jordon, Field, & Armenakis,
2002; Liden, Wayne & Sparrowe, 2000; Seers, 1989).
Intinya konsep kualitas pertukaran anggota tim (TMX) adalah sebagai
cara untuk mengakses timbal balik antara anggota dan kelompok sebaya
(Seers, 1989), sedangkan kesuksesan atau kegagalan yang diraih oleh
44
sebuah tim bergantung pada interaksi antar anggota tim tersebut. Pada
pengaturan kerja, upaya tim yang terfokus dengan baik sering dikaitkan
dengan hasil yang lebih efektif melalui proses sosial dengan cara
meningkatkan kualitas interaksi anggota tim terhadap pekerjaan (Campion,
Medsker & Higgs, 1993; Campion, Papper & Medsker, 1996; Hackman,
1987).
Perusahaan adalah sebuah institusi sosial tempat orang bekerja
dalam satu sistem sosial (Gibson, et. Al, 2001 (dalam Ancok, 2002). Teori
Kozlowski, Gully, Salas, & Cannon-Bowers (1996) menyatakan beberapa
individu dibentuk untuk melakukan fungsi yang relevan dengan tugas yang
saling berinteraksi, menunjukkan saling ketergantungan tugas, memiliki satu
atau lebih tujuan bersama dan terikat dalam pengaturan organisasi yang
lebih luas. Secara khusus tim dengan kelompok kualitas TMX yang lebih
tinggi menunjukan hasil kerja yang lebih baik pada tugas dengan tingkat
interdependensi tinggi dibandingkan dengan tim yang kualitas TMX nya
rendah (Alge et al, 2003). Sejalan dengan itu, Shaw (1973), mengungkapkan
bahwa faktor interdependensi memberikan pengaruh positif terhadap
peningkatan kerjasama di dalam tim.
Hal sangat penting yang menjadi penentu dari tercapainya interaksi
dan sinergi yang baik adalah kepercayaan (trust) antar anggota tim. Menurut
Erdem & Ozen (2003), bahwa faktor paling penting untuk menciptakan
interaksi dan sinergi di antara anggota tim adalah adanya iklim kepercayaan
45
di antara sesama rekan kerja. Kepercayaan terhadap rekan kerja
menumbuhkan dan melindungi semangat tim dengan menimbulkan
kerjasama dan solidaritas antar anggota tim, kepercayaan terhadap rekan
kerja juga mempengaruhi output dari sebuah tim, sehingga secara langsung
maupun tidak langsung juga akan mempengaruhi output organisasi ( Erdem
dan Ozen, 2003).
Model pembentukan kepercayaan awal The McKnight et al. (1998)
menawarkan serangkaian faktor dan proses dimana kepercayaan itu
dibangun pada awalnya, Sebelum pihak memiliki waktu untuk mengenal satu
sama lain melalui interaksi.
Kepercayaan adalah pusat kehidupan manusia dan dianggap penting
untuk hubungan yang stabil, penting untuk memelihara kerjasama, penting
untuk pertukaran apapun, dan diperlukan bahkan untuk yang paling rutin
dalam setiap interaksi (Spielberger, 2004). Meskipun kepercayaan bukanlah
solusi utama untuk semua masalah, namun sebagai organisasi yang meyakini
konsep tersebut, maka akan mengarahkan semua kegiatan organisasi dalam
bentuk kerja tim yang secara interpersonal khususnya kepercayaan
merupakan elemen terpenting dalam mencapai kerjasama yang efektif
(Spielberger, 2004).
Antar (2012), dalam penelitian disertasinya yang dilakukan terhadap
pekerja lepas pantai menemukan hubungan positif dan signifikan antara
kepercayaan (trust) dan kualitas team member exchange (TMX). Pertukaran
46
sumber daya antar anggota tim (TMX) dalam arti saling berbagi informasi,
pengetahuan, keterampilan, dan usaha terjalin dengan baik apabila individu
dapat membangun perasaan saling percaya. Hal ini disebabkan kepercayaan
(trust) terbentuk melalui rangkaian perilaku antara orang yang memberikan
kepercayaan dan orang yang dipercayakan (Johnson & Johnson, 1997).
Menurut Blanchard (2011), Kepercayaan (trust) didasarkan pada persepsi
yang dibentuk oleh perilaku.
Menurut Reina & Reina (2010) menyatakan bahwa pelatihan trust
building dapat dilakukan dengan berbagai macam bentuk di antaranya
kegiatan lokakarya yang memberikan kesempatan kepada orang-orang untuk
berinteraksi, atau dengan melalui metode learning experience yang dapat
merubah kebiasaan seseorang dalam menghadapi pekerjaan. survival
training dan program-program yang bertujuan untuk meningkatkan
hubungan interpersonal. Trust building juga berguna untuk meningkatkan
fungsi internal kelompok seperti kerjasama di antara sesama anggota tim,
meningkatkan kualitas komunikasi dan mengurangi konflik disfungsional
(Kreitner & Kinicki, 2008).
Penelitian ini menggunakan intervensi pelatihan trust building
berkonsep experience learning model Kolb yang isi materi dalam pelatihan
trust building ini selalu menekankan pentingnya membangun kepercayaan.
Pertimbangan lainnya teknik ini akan melibatkan setiap peserta secara
langsung dalam pengalaman belajar dan hal tersebut untuk sangat cocok
47
diterapkan pada training yang bertujuan untuk meningkatkan aspek kognisi
dan afeksi yang berpengaruh terhadap perilaku (Johson, 1997). Sesuai
dengan tujuan penelitian ini untuk meningkatkan kualitas team member
exchange. Selain itu teknik pembelajaran experiential memiliki pendekatan
yaitu permainan, simulasi dan bermain peran, observasi, tugas menulis,
mental imajeri dan action learning (Silberman, 2006).
Rancangan pelatihan yang digunakan dalam penelitian ini lebih
menekankan pada metode permainan agar peserta dapat merasakan
langsung manfaat dari kegiatan yang dilakukan jika diterapkan di tempat
kerja, selain itu metode ini dapat mencegah kebosanan peserta pelatihan.
Suatu permainan menurut Newstorn & Scannell (1998) adalah salah satu
metode yang dapat mencegah kebosanan karena permainan meliputi variasi
aktifitas yang beragam, latihan yang dapat membuat pelatihan trust building
menjadi lebih menyenangkan, membangkitkan semangat serta dapat
menunjukan emosi dan perasaan anggota tim.
Bersandar pada penjelasan di atas, maka diasumsikan pelatihan trust
building dapat meningkatkan kualitas team member exchange. Hal ini
disebabkan dalam konsep TMX harus ada interaksi berbasis tugas yang kuat
(Bettenhausen, 1991; Seers, Petty, & Cashman, 1995.). Sementara
interaksi yang kuat terjadi jika ada kepercayaan dan untuk
membangun kepecayaan diantara rekan kerja dibutuhkan pengalaman
bersama. Dengan demikian pelatihan trust building berkaitan dengan
48
konsep kualitas team member exchange seperti tercermin pada kerangka
pemikiran penelitian pada gambar 2 berikut :
Gambar. 2 Kerangka Pemikiran Penelitian
D. Hipotesis
Berdasarkan kajian pustaka, kerangka pemikiran yang telah dijelaskan
khususnya keterkaitan atau dinamika psikologis antara efektifitas pelatihan
trust building dengan kualitas team member exchange, maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah:
Intervensi Pelatihan
Trust Building ABCD Model’s:
Demonstrating trust, Sharing information, Telling it straight, Providing
opportunities for everyone to win, Providing feedback, Resolving concerns head
on, Admitting Mistakes, Walking the talk
Kualitas Team Member Exchange
Tinggi :
Melakukan interaksi lebih banyak
dengan anggota lain dalam bentuk
membantu, peduli, mendukung satu
sama lain, kesamaan nilai dan standar
kerja, dekat satu sama lain,
persahabatan, berbagi gagasan dan
umpan balik, bertukar informasi dan
pengetahuan, pemecahan masalah
terkait pekerjaan, komunikasi kerja
yang baik, bertanggungjawab,
pengakuan, dorongan, saling
menghormati dan mempercayai.
Kualitas Team Member Exchange
Rendah :
Karakteristik pertukaran berdasarkan
persyaratan kerja, hanya fokus pada
penyelesaian tugas atau pekerjaan
dengan sedikit penghargaan,
perhatian dukungan, komunikasi kerja
yang buruk, kritik, pelecehan verbal,
kurangnya kepercayaan dan rasa
hormat, dan tidak ada tim/kerjasama
49
H1 : Kelompok karyawan yang mendapatkan pelatihan trust building
mengalami peningkatan kualitas team member exchange
dibandingkan dengan kelompok karyawan yang tidak mendapatkan
pelatihan trust building.
H2 : Ada perbedaan kualitas team member exchange antara sebelum
diberikan pelatihan trust building dengan sesudah diberikan pelatihan
trust building pada kelompok eksperimen.