bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum tentang...
TRANSCRIPT
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian.
1. Pengertian Perjanjian
Ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata. Pasal
1313 KUHPerdata memberikan pengertian perjanjian yakni “Suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih”.
Pengertian perjanjian menurut Subekti yaitu “Suatu perjanjian adalah
suatu peristiwa, di mana seorang berjanji kepada seseorang lain, atau di mana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.13 Selanjutnya
pengertian perjanjian menurut Sudikno Mertokusumo adalah “Hubungan hukum
antara dua orang yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak
sepakat untuk menentukan peraturan atau kaedah atau hak-hak dan kewajiban
yang mengikat mereka untuk ditaati atau dijalankan”.14
Dari kedua definisi di atas yang menekankan perjanjian yang melahirkan
adanya kewajiban bertimbal balik, Munir Fuady memberikan definisi lebih luas
bahwa kontrak adalah “Suatu kesepakatan yang diperjanjikan diantara dua orang
13 Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Cetakan XVI, Jakarta, Hal. 1
14 Sudikno Mertokusumo dalam Eko Puspita Ningrum, 2005, Tinjauan Yuridis Penyelesaian
Kredit Bermasalah Pada Perjanjian Pembiayaan Dengan Jaminan Fidusia Kendaraaan Bermotor
Roda Empat (Studi Kasus Di Astra Credit Companies (Acc) Cabang Semarang), Program Pasca
Sarjana Universitas Diponegoro Semarang, , Hal 24
18
atau lebih yang dapat menimbulkan, memodifikasi atau menghilangkan
hubungan hukum”.15
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan bahwa untuk syarat sahnya
perjanjian diperlukan empat syarat yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal;
Mariam Darus Badrulzaman menggambarkan pengertian sepakat
“sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (Overeenstemende
Wilsverklaring) antara pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan
dinamakan tawaran (Offerte). Dan pernyataan pihak yang menerima penawaran
dinamakan akseptasi (Acceptatie)”.16
Kemudian di dalam bukunya Komariah Hukum Perdata untuk syarat
sahnya perjanjian yang diatur di Pasal 1320 KUHPerdata diperlukan 4 syarat
yaitu:17
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya menyatakan bahwa
pengertian sepakat dapat dimaknai sebagai berikut “Dengan sepakat
dimaksudkan bahwa pihak pihak yang mengadakan perjanjian itu
harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal -hal yang
pokok dari perjanjian yang diadakan itu”.
15 Munir Fuady dalam Eko Puspita Ningrum, 2005, Tinjauan Yuridis Penyelesaian Kredit
Bermasalah Pada Perjanjian Pembiayaan Dengan Jaminan Fidusia Kendaraaan Bermotor Roda
Empat(Studi Kasus Di Astra Credit Companies (Acc) Cabang Semarang ), Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro Semarang, Tesis,Hal 24
16
Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Bandung, Alumni, Hal 24
17
Op.Cit, Hal 174-175
19
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Dalam pasal 1330 KUH
Perdata disebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat
suatu perjanjian, yaitu
1) Orang yang belum dewasa.
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
3) Orang perempuan yang telah kawin (dengan adanya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, ketentuan ini tidak berlaku lagi).
Menurut pasal 1330 KUHPerdata belum dewasa adalah mereka
yang belum mencapai umur 21 tahun, dan tidak lebih dahulu telah
kawin.
c. Suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu artinya barang yang menjadi
obyek perjanjian paling sedikit harus dapat ditentukan jenisnya,
sedangkan jumlahnya tidak menjadi soal asalkan dapat ditentukan
kemudian.
d. Suatu sebab yang halal. Sebab atau kausa ini yang dimaksudkan
undang-undang adalah isi perjanjian itu sendiri. Jadi sebab atau kausa
tidak berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat
perjanjian yang dimaksud.
Kemudian Menurut Abdulkadir Muhammad menjabarkan suatu sebab
yang halal tersebut adalah18
“akibat hukum perjanjian yang berisi tidak halal adalah batal (nietig,
void). Tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka
hakim, karena sejak semula dianggap tidak ada perjanjian. Apabila
perjanjian yang dibuat itu tanpa causa (sebab) maka ia dianggap tidak
pernah ada (Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)”.
Dalam rumusan pasal di atas disebutkan bahwa untuk sahnya perjanjian
diperlukan empat syarat. Kedua syarat pertama dinamakan syarat subyektif,
karena kedua syarat tersebut menyangkut subyek perjanjian, sedangkan kedua
syarat terakhir disebut syarat obyektif, karena menyangkut obyek dari
perjanjian.
18 Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan ke III, Bandung : PT.
Citra Aditya Bakti, Hal. 227.
20
3. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas-asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang ada di dalam dan
belakang tiap-tiap sistem hukum, yang telah mendapat bentuk sebagai
Perundang-Undangan atau putusan pengadilan, dan ketentuan-ketentuan dan
keputusan itu dapat dipandang sebagai penjabarannya. Dengan demikian, asas-
asas hukum selalu merupakan fenomena yang penting dan mengambil tempat
yang sentral dalam hukum positif.
Asas kebebasan berkontrak adalah setiap orang bebas mengadakan suatu
perjanjian apa saja baik perjanjian itu sudah diatur dalam Undang-Undang
ataupun belum diatur dalam Undang-Undang. Karena hukum perjanjian
mengikuti asas kebebasan berkontrak, oleh karena itu disebut juga menganut
sistem terbuka. Hal ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang berbunyi “semua persetujuan yang dibuat secara
sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.
Sedangkan menurut Sultan Remi Sjahdeni19
“asas kebebasan berkontrak dalam perkembangannya ternyata dapat
mendatangkan ketidakadilan karena prinsip ini hanya dapat mencapai
tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal mungkin, bila
para pihak memiliki bergaining power yang seimbang dalam
kenyataanya tersebut sering tidak terjadi demikian sehingga negara
menganggap perlu untuk campur tangan melindungi pihak yang lemah”.
4. Jenis-jenis Perjanjian
Perjanjian terdiri dari 2 macam, yaitu perjanjian obligatoir dan perjanjian
non obligatoir. Komariah menjelaskan di dalam buku hukum perdata perjanjian
19 Sutan Remi Sjahdeini, 1995, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang
Dalam Perjanjian Kredit Bank, Jakarta, Hal. 17
21
obligatoir yaitu ”suatu perjanjian dimana mengharuskan/mewajibkan seseorang
membayar atau menyerahkan sesuatu. Perjanjian obligatoir ada beberapa macam
yaitu”:20
a. Perjanjian sepihak ialah perjanjian yang hanya ada kewajiban hanya
pada satu pihak, dan hanya ada hak pada pihak lain.
Contoh: perjanjian hibah, perjanjian, pinjam pakai.
b. Perjanjian timbal balik ialah perjanjian dimana hak dan kewajiban ada
kepada kedua belah pihak. jadi pihak yang berkewajiban melakukan
suatu prestasi juga berhak menuntut suatu kontra prestasi.
Contoh: perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa.
c. Perjanjian cuma-cuma ialah perjanjian dalam mana pihak yang satu
memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan tiada
mendapatkan nikmat daripadanya.
Contoh: perjanjian hibah.
d. Perjanjian atas beban ialah perjanjian yang mewajibkan masing-
masing pihak yang memberikan prestasi (memberi sesuatu, berbuat
sesuatu dan tidak berbuat sesuatu).
Contoh: jual beli sewa menyewa.
e. Perjanjian konsensuil ialah perjanjian yang mengikat sejak adanya
kesepakatan (konsensus) dari kedua belah pihak. jadi perjanjian lahir
sejak detik tercapainya kata sepakat dari kedua belah pihak.
Contoh: jual beli, sewa menyewa.
f. Perjanjian riil ialah perjanjian yang mengikat jika disertai dengan
perbuatan/tindakan nyata. Jadi dengan adanya kata sepakat saja,
perjanjian tersebut belum mengikat kedua belah pihak.
Contoh: perjanjia penitipan barang, perjanjian pinjam pakai.
g. Perjanjian formil ialah perjanjian yang terikat pada bentuk tertentu,
jadi bentuknya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Jika bentuk perjanjian tersebut tidak sesuai dengan ketentuan, maka
perjanjian tersebut tidak sah.
Contoh: jual beli tanah harus dengan akte PPAT, pendirian Perseroan
Terbatas harus dengan akte Notaris.
h. Perjanjian bernama ialah perjanjian khusus yang diatur dan disebutkan
dalam KUHPerdata buku III bab V sampai bab XVII dan dalam
KUHD (kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
Contoh: perjanjian jual beli, sewa menyewa, penitipan barang, pinjam
pakai, asuransi, perjanjian pengangkutan.
i. Perjanjian tak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur dan tidak
disebutkan dalam KUHD maupun KUHPerdata.
20 Op. Cit., Hal 170
22
j. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai
unsur dari berbagai perjanjian. Perjanjian ini tidak diatur dalam BW
maupun dalam KUHD.
Contoh: perjanjian sewa beli (gabungan sewa menyewa dan jual beli)
Adapun pengertian perjanjian Non Obligatoir yaitu perjanjian yang tidak
mengharuskan seseorang membayar/menyerahkan sesuatu. Perjanjian obligatoir
ada beberapa macam yaitu:
a. Zakelijk Overeenkomst, ialah perjanjian yang menetapkan
dipindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain. Jadi
obyek perjanjian adalah hak.
Contoh: balik nama hak atas tanah
b. Bevifs Overeenkomst atau Procesrechtelijk Overeenkomst, ialah
perjanjian untuk membuktikan sesuatu. Perjanjian ini umumnya
ditukuan pada hakim, tak terjadi perselisihan, supaya memakai alat
bukti yang menyimpang dari apa yang ditentukan oleh Undang-
Undang.
c. Liberatoir Overeenkomst ialah perjanjian dimana seseorang
membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban.
Contoh: A berhutang kepada B sebanyak 1 juta. B mengadakan
perjanjian liberatoir yakni mulai sekarang A tidak usah membayar
utang 1 juta tersebut.
d. Vaststelling Overeenkomst ialah perjanjian untuk mengakhiri
keraguan mengenai isi dan luas perhubungan hukum antara kedua
belah pihak.
Contoh: dading (perjanjian antara kedua belah pihak untuk mengakhiri
perselisihan yang ada di muka pengadilan).
Kemudian Sutarno mendefinisikan jenis perjanjian Obilgatoir sebagai
berikut:21
a. Perjanjian timbal balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan
meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat
perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan
perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUHPerdata. Dalam perjanjian
jual beli hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual
berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat
21 Sutarno, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung, Alfabeta, Hal 82.
23
pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak
menerima barangnya.
b. Perjanjian sepihak
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan
kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah.
Dalam hibah ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan
yaitu memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah
tidak mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak
menerima barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada
orang yang menghibahkan.
c. Perjanjian dengan percuma
Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi
keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah (Schenking)
dan pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740 KUHPerdata.
d. Perjanjian konsensuil, riil dan formil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila
telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian.
Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi
barangnya harus diserahkan. Misalnya perjanjian penitipan barang
pasal 1741 KUHPerdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754
KUHPerdata.
Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat
tetapi Undang-Undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat
dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh
pejabat umum Notaris atau PPAT. Misalnya jual beli tanah, Undang-
Undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT,
perjanjian perkawinan dibuat dengan akta Notaris.
e. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama
Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur
dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga Bab V
sampai dengan bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa
menyewa, hibah dan lain-lain.
Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara
khusus dalam Undang-Undang. Misalnya perjanjian leasing,
perjanjian keagenan dan distributor, perjanjian kredit.
24
Sedangkan menurut Achmad Busro, jenis perjanjian dapat dibedakan
menurut berbagai cara, adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:22
a. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak
Perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang dapat menimbulkan
kewajiban pokok bagi kedua belah pihak yang melakukannya.
Misalnya: kewajiban yang timbul dalam perjanjian jual beli, pihak
penjual mempunyai kewajiban pokok menyerahkan barang yang
dijualnya, dipihak lain pembeli mempunyai kewajiban untuk
membayar harga yang telah disepakati.
Perjanjian sepihak yaitu perjanjian dimana salah satu pihak saja yang
dibebani suatu kewajiban. Misal: dalam perjanjian pemberian hibah,
hanya satu pihak saja yang mempunyai kewajiban.
b. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian dengan alas hak membebani
Perjanjian cuma-cuma yaitu suatu perjanjian yang memberikan
keuntungan bagi salah satu pihak tanpa adanya imbalan dari pihak
lain.
Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dimana
terhadap prestasi dari pihak yang lain, antara prestasi dan kontra
prestasi tersebut terdapat hubungan menurut hukum meskipun
kedudukannya tidak harus sama. Misal: Disatu pihak berprestasi
sepeda, di pihak lain berprestasi kuda. Jadi disini yang penting adanya
prestasi dan kontra prestasi.
c. Perjanjian konsensuil, riil dan formil
Perjanjian konsensuil yaitu adanya suatu perjanjian cukup dengan
adanya kata sepakat dari para pihak. Misalnya: Masing-masing pihak
sepakat untuk mengadakan jual beli kambing.
Perjanjian riil yaitu perjanjian disamping adanya kata sepakat masih
diperlukan penyerahan bendanya. Misalnya: Dalam jual beli kambing
tersebut harus ada penyerahan dan masih diperlukan adanya formalitas
tertentu.
Adapun untuk perjanjian formil dalam perjanjian jual beli kambing di
atas dengan dibuatkan akta tertentu.
d. Perjanjian bernama, tidak bernama dan perjanjian campuran
Perjanjian bernama, tidak bernama dan perjanjian campuran.
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang telah ada namanya seperti
dalam buku III KUHPerdata Bab V sampai dengan Bab XVIII.
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak ada namanya.
Ketentuannya diatur dalam buku III KUHPerdata Bab I sampai
dengan Bab IV yang merupakan ketentuan umum.
22 Achmad Busro, 1985, Hukum Perikatan, Semarang , Oetama, Hal 4
25
Perjanjian campuran adalah perjanjian yang terdiri dari beberapa
perjanjian bernama juga kemungkinan pula terdapat perjanjian tidak
bernama.
e. Perjanjian kebendaan dan obligatoir
Perjanjian kebendaan yaitu perjanjian untuk menyerahkan hak
kebendaan.
Perjanjian obligatoir yaitu perjanjian yang dapat menimbulkan
kewajiban kepada pihak-pihak, misal: jual beli.
f. Perjanjian yang sifatnya istimewa
1) Perjanjian liberatoir yaitu perjanjian untuk membebaskan dari
kewajiban. Misal dalam Pasal 1438 KUHPerdata mengenai
pembebasan hutang dan pasal-pasal berikutnya (Pasal 1440 dan
Pasal 1442 KUHPerdata).
2) Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian dimana para pihak sepakat
menentukan pembuktian yang berlaku bagi para pihak.
3) Perjanjian untung-untungan, seperti yang ada dalam Pasal 1774
yaitu perjanjian yang pemenuhan prestasinya digantungkan pada
kejadian yang belum tentu terjadi.
4) Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya
dikuasai oleh hukum publik karena salah satu pihak bertindak
sebagai penguasa. Contoh: Perjanjian yang dilakukan antara
mahasiswa tugas belajar (ikatan dinas).
Abdulkadir Muhammad juga mengelompokkan perjanjian menjadi
beberapa jenis, yaitu:23
a. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak
Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak Perjanjian timbal balik
(bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan
kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah
pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat,
misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, pemborongan bangunan,
tukar menukar.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban
kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian
hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang
menjadi obyek perikatan dan pihak yang lainnya berhak menerima
benda yang diberikan itu. Yang menjadi kriteria perjanjian jenis ini
adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau salah satu pihak.
Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik bergerak maupun tidak
bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk
menghuni rumah. Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam
praktek, terutama dalam soal pemutusan perjanjian menurut pasal
23 Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Bandung, Penerbit Alumni, Hal 86.
26
1266 KUHPerdata. Menurut pasal ini salah satu syarat ada pemutusan
perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik.
b. Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan
keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai,
perjanjian hibah.
Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam
mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra
prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada
hubungannya menurut hukum. Kontra prestasinya dapat berupa
kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif
(imbalan). Misalnya A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah
uang, jika B menyerahlepaskan suatu barang tertentu kepada A.
Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam soal warisan
berdasarkan Undang-Undang dan mengenai perbuatan-perbuatan yang
merugikan para kreditur (perhatikan Pasal 1341 KUHPerdata).
c. Perjanjian bernama dan tidak bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri,
yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus karena
jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa, tukar menukar,
pertanggungan.
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai
nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.
d. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir
Perjanjian kebendaan (Zakelijke Overeenkomst, Delivery Contract)
adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual
beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian
obligatoir.
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan,
artinya sejak terjadi perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-
pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak
atas pembayaran harga. Pembeli berkewajiban membayar harga,
penjual berkewajiban menyerahkan barang. Pentingnya pembedaan ini
adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan
(Levering) sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu sah menurut
hukum atau tidak.
e. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada
persetujuan kehendak antara pihak-pihak.
Perjanjian riil adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak
juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya
jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan pinjam pakai (Pasal
1694, 1740 dan 1754 KUHPerdata). Dalam hukum adat, perjanjian
real justru yang lebih menonjol sesuai dengan sifat hukum adat bahwa
setiap perbuatan hukum (perjanjian) yang obyeknya benda tertentu,
27
seketika terjadi persetujuan kehendak serentak keetika itu juga terjadi
peralihan hak. Hal ini disebut "kontan dan tunai".
Mengenai istilah perjanjian dalam hukum perdata Indonesia yang berasal
dari istilah Belanda sebagai sumber aslinya sampai saat ini belum ada kesamaan
dan kesatuan dalam menyalin ke dalam bahasa Indonesia dengan kata lain
belum ada kesatuan terjemahan untuk satu istilah asing ke dalam istilah teknis
yuridis dari istilah Belanda ke dalam istilah Indonesia. Para ahli hukum perdata
Indonesia menterjemahkan atau menyalin istilah perjanjian yang berasal dari
istilah Belanda didasarkan pada pandangan dan tinjauan masing-masing.
5. Bentuk perjanjian
Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu tertulis dan
lisan. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam
bentuk tulisan. Sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat
oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakan para pihak).
Menurut Salim dalam buku hukum kontrak menjelaskan ada 3 bentuk
perjanjian tertulis, sebagaimana dikemukakan berikut ini.24
a. Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang
bersangkutan saja. Perjanjian itu hanya mengikat para pihak dalam
perjanjian, tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga.
Dengan kata lain, jika perjanjian tersebut disangkal pihak ketiga maka
para pihak atau salah satu pihak dari perjanjian itu berkewajiban
mengajukan bukti-bukti yang diperlukan untuk membuktikan bahwa
keberatan pihak ketiga dimaksud tidak berdasar dan tidak dibenarkan.
b. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para
pihak. Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokumen semata-mata
hanya untuk melegalisir kebenaran tanda tangan para pihak. Akan
tetapi, kesaksian tersebut tidaklah mempengaruhi kekuatan hukum
dari isi perjanjian. Salah satu pihak mungkin saja menyangkal isi
24 Op.Cit. Hal 43
28
perjanjian. Namun, pihak yang menyangkal itu adalah pihak pihak
yang harus membuktikan penyangkalannya.
c. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta
notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat dihadapan dan dimuka
pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk itu
adalah notaris, camat, PPAT dan lain-lain. Jenis dokumen ini
merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang
bersangkutan maupun pihak ketiga.
Adapun 3 fungsi akta notariel (akta autentik), yaitu
1. Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan
perjanjian tertentu
2. Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam
perjanjian adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak
3. Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu,
kecuali jika ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan
perjanjian dan bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak
para pihak
Akta notariel merupakan bukti prima Facie mengenai fakta, yaitu
pernyataan atau perjanjian yang termuat dalam akta notaris, mengingat notaris
di Indonesia adalah pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk
memberikan kesaksian atau melegalisir suatu fakta. Jika isi dari fakta semacam
itu disangkal disuatu pengadilan maka pengadilan harus menghormati dan
mengakui isi akta notariel, kecuali jika pihak yang menyangkal dapat
membuktikan bahwa bagian tertentu dari akta telah diganti atau bahwa hal
tersebut bukanlah yang disetujui oleh para pihak, pembuktian mana sangat
berat.
6. Prestasi dalam Perjanjian
Pengertian prestasi dalam hukum perdata dimaksudkan sebagai suatu
pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah
mengikatkan diri. Untuk itu pelaksanaan sesuai dengan istilah dan
29
keadaan sebagaimana disebutkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Dalam
Pasal 1234 KUHPerdata yaitu“memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, tidak
berbuat sesuatu”.
Berdasarkan penjelasan dari pasal 1235 KUHPerdata, bentuk prestasi
secara spesifik dijelaskan sebagai berikut “dalam perikatan untuk memberikan
sesuatu, termasuk kewajiban untuk menyerahkan barang yang bersangkutan dan
untuk merawatnya sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, sampai saat
penyerahan. Luas tidaknya kewajiban yang terakhir ini tergantung pada
persetujuan tertentu akibatnya akan ditunjuk dalam bab-bab yang
bersangkutan”.
Adapun pengertian dari pasal 1235 KUHPerdata menurut Wibowo
Tunardy sebagai berikut :25
1. Perikatan untuk memberikan sesuatu menurut ketentuan Pasal 1235
KUHPerdata, perikatan untuk memberikan sesuatu mewajibkan si
berutang (debitur) untuk menyerahkan suatu kebendaan dan
merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik sampai pada
waktu penyerahan. Dalam hal ini menyerahkan kebendaan adalah
kewajiban pokok. Sedangkan merawat adalah kewajiban Preparatoir,
yaitu hal-hal yang harus dilakukan oleh debitur menjelang penyerahan
dari benda tersebut. Sedangkan sebagai bapak rumah yang baik
maksudnya adalah agar benda tersebut dijaga dan dirawat secara
pantas dan patut sesuai dengan kewajaran yang berlaku di masyarakat,
sehingga tidak merugikan si yang akan menerima.
2. Perikatan untuk berbuat sesuatu, berbuat sesuatu berarti melakukan
perbuatan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam perikatan
(perjanjian). Contohnya adalah perjanjian untuk membangun rumah,
mengosongkan lahan, atau membuat karya seni
3. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu, yang dimaksud dengan tidak
berbuat sesuatu adalah tidak melakukan perbuatan seperti apa yang
telah diperjanjikan. Misalnya perjanjian antara pabrik dengan
distributor agar distributor tidak memasarkan produkdari pesaing
25 Wibowo Tunardy, 2012, Hukum Perikatan, http://www. Jurnal hukum.Com/Macam-Macam
Perikatan, Diakses Tanggal 20 Desember 2015.
30
pabrik tersebut, atau perjanjian agar pabrik tidak memasarkan produk
tertentu ke distributor lain.
7. Wanprestasi
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, Wanprestatie yang
berarti prestasi buruk. Menurut Prof. Subekti, Wanprestasi adalah “Apabila si
berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia
melakukan “wanprestasi’. Ia alpa atau “lalai” atau ingkar janji. ia melanggar
perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh
dilakukannya”..26
Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi dan juga pengertiannya Menurut
Abdulkadir Muhammad, adalah :27
a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali yaitu debitur tidak memenuhi
kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi dalam suatu
perjanjian atau tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan Undang-
Undang dalam perikatan yang timbul karena Undang-Undang.
b. Terlambat memenuhi prestasinya ialah debitur memenuhi prestasi
tetapi terlambat, waktu yang ditetapkan dalam perjanjian tidak
dipenuhi.
c. Memenuhi prestasi tetapi tidak sempurna artinya debitur
melaksanakan atau memenuhi apa yang diperjanjikan atau apa yang
ditentukan oleh Undang-Undang, tetapi tidak sebagaimana mestinya
menurut kualitas yang ditentukan dalam perjanjian atau menurut
kualitas yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.
Kemudian di dalam bukunya Komariah hukum perdata menyebutkan
sanksi apabila debitur melakukan wanprestasi, maka debitur dikenai sanksi atau
hukumansebagai berikut:28
26 Op. Cit. Hal 45
27
Op. Cit. Hal 20
28
Op.Cit, Hal 150
31
a. Dipaksa untuk memenuhi perikatan
b. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur
c. Pembatalan /pemecahan perikatan
d. Peralihan resiko
e. Membayar baiya perkara kalau sampai diperkarakan di pengadilan
Debitur yang melakukan wanprestasi, kreditur dapat memilih tuntutan
sebagai berikut :
a. Pemenuhan perjanjian
b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi
c. Ganti rugi saja
d. Pembatalan perjanjian
e. Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi
Dalam hubungannya dengan akibat Wanprestasi, yaitu masalah ganti
kerugian Subekti menyatakan bahwa.29
“Ganti kerugian sering diperinci dalam tiga unsur yaitu biaya, rugi dan
bunga. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-
nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Rugi adalah satu kerugian
karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan
oleh kelalaian si debitur. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan
keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur”.
Pada dasarnya ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur hanyalah
kerugian yang berupa sejumlah uang, oleh karena itu bentuk atau wujud dari
penggantian kerugian tersebut juga harus berbentuk uang. Lebih lanjut
R.Setiawan menentukan ukuran ganti rugi, yaitu sebagai berikut :30
1. Ukuran obyektif, yaitu harus diteliti berapa kerugian pada umumnya
dari seorang kreditur dalam keadaan yang sama seperti kreditur yang
bersangkutan.
2. Keuntungan yang akan diperoleh disebabkan karena adanya perbuatan
wanprestasi.
29 Op.Cit, Hal. 47
30
R. Setiawan, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung, PT. Bina Cipta, Hal 18
32
Wanprestasi tidak selalu terjadi dengan sendirinya, terutama pada
perikatan yang tidak dengan ketentuan waktu, sehingga tidak ada kepastian
kapan ia betul-betul wanprestasi. Jalan keluar untuk mendapatkaan kapan
debitur itu wanprestasi, maka undang-undang memberikan upaya hukum dengan
suatu pernyataan lalai (Sommasi, Ingebrekstelling), yang menurut Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 bahwa pengiriman turunan surat gugat
kepada tergugat dapat dianggap sebagai pernyataan lalai.
Lebih lanjut mengenai ganti kerugian akibat wanprestasi Abdulkadir
Muhammad, menyatakan “bahwa haruslah ada suatu teguran baik teguran
secara tertulis, dengan surat perintah atau dengan akta sejenis”.31
Penjelasan tersebut pada dasarnya sesuai dengan ketentuan Pasal 1243
KUHPerdata, yaitu “Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak
dipenuhinya suatu perjanjian barulah mulai diwajibkan apabila si debitur setelah
dinyatakan lalai memenuhi kewajibannya, masih tetap melalaikannya atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat
tenggat waktu yang telah dilampaukannya”. Dengan demikian pembayaran ganti
kerugian karena wanprestasi baru dapat dituntut pada debitur bilamana ia telah
menerima teguran untuk melaksanakan kewajibannya, namun masih tetap tidak
dilaksanakan.
31 Op.Cit, Hal 22
33
B. Tinjauan Umum Tentang Konsumen
1. Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah suatu hal yang sangat penting. Namun
terkadang masih sering diabaikan oleh para pelaku usaha. Berdasarkan
pemaparan Az. Nasution hukum perlindungan konsumen adalah32
“hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang
bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi
kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan
dengan barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup”.
Pengertian Perlindungan Konsumen berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1
No 1 adalah “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
2. Pengertian Konsumen
Konsumen dapat diartikan sebagai “setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”.33
Kemudian untuk pengertian konsumen berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1
No 2 “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
32 Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Grasindo, Hal. 9
33
Jonathan Eliewzer H G, 2011, Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Obat Impor
Ditinjau Dari Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Universitas
Indonesia, Skripsi, Hal 20
34
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
3. Pengertian Pelaku Usaha
Menurut Abdulkadir Muhammad, pelaku usaha diartikan “orang yang
menjalankan perusahaan maksudnya mengelola sendiri perusahaannya baik
dengan dilakukan sendiri maupaun dengan bantuan pekerja”.34
Pengertian pelaku usaha berdasarkan isi dari Undang-Undang Republik
Indonesia No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 No 3
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
4. Hak dan Kewajiban Konsumen
Sebagai pemakai barang dan/ atau jasa, konsumen memiliki hak dan
kewajiban. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4, ada sembilan hak dari konsumen,
yaitu 8 diantaranya merupakan hak secara eksplisit diatur dalam Undang-
Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
dan satu hak lainnya diatur dalam ketentuan peraturan Perundang-Undangan
lainnya. Hak tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsurnsi barang dan/atau jasa
34 Op. Cit., Hal 7
35
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif
h. hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan Perundang-Undangan
lainnya.
Selain mempunyai hak, konsumen juga mempunyai kewajiban yang
harus dipenuhinya sebelum mendapatkan haknya tersebut, sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 5, antara lain sebagai berikut:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
5. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Sebagai salah satu subyek perlindungan konsumen yang sesuai dengan
Undang-Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen Pasal 6, ada 5 hak dari pelaku usaha, yaitu 4 diantaranya merupakan
hak yang secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan satu lainnya diatur dalam
36
ketentuan peraturan Perundang-Undangan lainnya. Hak-hak tersebut antara lain
sebagai berikut:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan Perundang-Undangan
lainnya
Selain hak-hak yang tersebut diatas, pelaku usaha juga memiliki
kewajiban-kewajiban tersebut diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 7, antara lain sebagai
berikut:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
37
6. Ketentuan Pencantuman Klausula Baku
Undang-Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) huruf (a) menyatakan pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen
dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual
beli jasa
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli olch konsumen secara angsuran.
Dari beberapa penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tidak melarang perjanjian baku, namun harus sesuai
dengan itikad baik dan peraturan. Berdasarkan pasal 18 ayat (2) Undang-
Undang Perlindungan Konsumen apabila dalam perjanjian ditemukan klausula
yang bersifat mengalihkan tanggung jawab atau merugikan konsumen, maka
38
pengadilan dapat membatalkan demi hukum, dan apabila kalusula berisi unsur
esenselia maka mungkin saja dapat membatalkan seluruh perjanjian.
C. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Pembiayaan Konsumen dan
Jaminan Fidusia
1. Pengertian Pembiayaan Konsumen
Dalam rangka memasuki era pasar bebas dan dalam menunjang
pertumbuhan perekonomian Nasional, maka sarana penyediaan dana yang
dibutuhkan masyarakat perlu diperluas. Salah satu usaha dalam rangka
mewujudkan maksud tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan pembiayaan,
salah satunya pembiayaan konsumen.
Secara substansial, pengertian pembiayaan konsumen pada dasarnya
tidak berbeda dengan kredit konsumen. Menurut A. Abdurrahman sebagaimana
disisir oleh Munir Fuady bahwa “kredit konsumen adalah kredit yang diberikan
kepada konsumen guna pembelian barang konsumsi dan jasa seperti yang
dibedakan dari pinjaman yang digunakan untuk tujuan produktif atau dagang”.35
Kredit yang demikian itu dapat mengandung resiko yang lebih besar dari kredit
dagang biasa, maka dari itu, biasanya kredit ini diberikan dengan tingkat bunga
yang lebih tinggi.
Adapun yang dimaksud dengan pembiayaan konsumen menurut Pasal 1
angka 6 Keppres No.61 Tahun 1988 jo. Pasal 1 huruf (p) Keputusan Menteri
Keuangan No.125/KMK.013/1988 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
84/PMK.012/2006 Tentang Perusahaan pembiayaan Pasal 1 huruf (g) serta
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009 tentang Lembaga
35 Op.Cit, Hal.205
39
Pembiayaan maka “Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah
kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan
konsumen dengan pembayaran secara angsuran”.
Berdasarkan defenisi tersebut, Abdulkadir Muhammad dan Rilda
Murniati telah merinci unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian
pembiayaan konsumen yaitu sebagai berikut:36
a. Subjek adalah pihak-pihak yang terkait dalam hubungan hukum
pembiayaan konsumen, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen
(kreditur), konsumen (debitur) dan penyedia barang
(pemasok/Supplier)
b. Objek adalah barang bergerak keperluan konsumen yang akan dipakai
untuk keperluan hidup atau keperluan rumah tangga, misalnya televisi,
kulkas, mesin cuci, alat-alat dapur, perabot rumah tangga dan
kendaraan
c. Perjanjian, yaitu perbuatan persetujuan pembiayaan yang diadakan
antara perusahaan pembiayaan konsumen dan konsumen, serta jual
beli antara pemasok dan konsumen, perjanjian ini didukung oleh
dokumendokumen
d. Hubungan hak dan kewajiban, yaitu perusahaan pembiayaan
konsumen wajib membiayai harga pembelian barang yang diperlukan
konsumen dan membayarnya secara tunai kepada pemasok.
Konsumen wajib membayar secara angsuran kepada perusahaan
pembiayaan konsumen, dan pemasok wajib menyerahkan barang
kepada konsumen
e. Jaminan, yaitu terdiri atas jaminan utama, jaminan pokok dan jaminan
tambahan. Jaminan utama berupa kepercayaan terhadap konsumen
(debitur) bahwa konsumen dapat dipercaya untuk membayar
angsurannya sampai selesai. Jaminan pokok secara fidusia berupa
barang yang dibiayai oleh perusahaan pembiayaan konsumen di mana
semua dokumen kepemilikan barang dikuasai oleh perusahaan
pembiayaan konsumen (Fiduciary Transfer Of Ownership) sampai
angsuran terakhir dilunasi. Adapun jaminan tambahan berupa
pengakuan utang (Promissory Notes) dari konsumen.
Selanjutnya berdasarkan defenisi beserta unsur-unsur sebagaimana
diuraikan di atas, dapat diidentifikasikan karakteristik dari pembiayaan
36 Op.Cit, Hal. 246
40
konsumen serta perbedaannya dengan kegiatan sewa guna usaha khususnya
dalam bentuk Financial Lease. Karakteristik dari pembiayaan konsumen yaitu
sebagai berikut:37
a. Sasaran pembiayaan jelas, yaitu konsumen yang membutuhkan
barang-barang konsumsi
b. Objek pembiayaan barang berupa barang-barang untuk kebutuhan
atau konsumsi konsumen
c. Besarnya pembiayaan yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan
konsumen kepada masing-masing konsumen relatif kecil sehingga
resiko pembiayaan relatif lebih aman karena pembiayaan tersebar
pada banyak konsumen
d. Pembayaran kembali oleh konsumen kepada perusahaan pembiayaan
konsumen dilakukan secara berkala atau angsuran
Adapun perbedaan pembiayaan konsumen dengan sewa guna usaha,
khususnya yang dengan hak opsi (Finance Lease) menurut Budi Rachmad
adalah sebagai berikut:38
a. Pada pembiayaan konsumen, pemilikan barang/objek pembiayaan
berada pada konsumen yang kemudian diserahkan secara fidusia
kepada perusahaan pembiayaan konsumen. Adapun pada sewa guna
usaha, pemilikan barang/objek pembiayaan berada pada Lessor
b. Pada pembiayaan konsumen, tidak ada batasan waktu pembiayaan
dalam arti disesuaikan dengan unsur ekonomis barang/objek
pembiayaan. Adapun pada sewa guna usaha jangka waktu diatur
sesuai dengan umur ekonomis objek/barang modal yang dibiayai oleh
Lessor
c. Pada pembiayaan konsumen tidak membatasi pembiayaan kepada
calon konsumen yang telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) mempunyai kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas.
Adapun pada sewa guna usaha calon lessee diharuskan ada atau
memiliki syarat-syarat di atas
37 Op.Cit, Hal. 97
38
Budi Rachmad, 2002, Multi Finance Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan
Konsumen, Jakarta, Navindo Pustaka Mandiri, Hal. 137
41
2. Para Pihak dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen
Dalam perjanjian konsumen terdapat 3 pihak, yaitu pertama, Perusahaan
Pembiayaan yang bertindak sebagai kreditur. Perusahaan pembiayaan konsumen
adalah.39
“Badan usaha berbentuk PT atau koperasi yang melakukan kegiatan
pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen
dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala oleh konsumen.
Perusahaan tersebut menyediakan jasa kepada konsumen dalam bentuk
pembayaran harga barang secara tunai kepada Supplier. Antara
perusahaan dan konsumen harus ada terlebih dahulu kontrak pembiayaan
konsumen yang sifatnya pemberian kredit. Dalam kontrak tersebut,
perusahaan wajib menyediakan kredit sejumlah uang kepada konsumen
sebagai harga barang yang dibelinya dari Supplier, sedangkan pihak
konsumen wajib membayar kembali kredit secara angsuran kepada
perusahaan tersebut”.
Kewajiban pihak-pihak dilaksanakan berdasarkan kontrak pembiayaan
konsumen. 40
“Sejumlah uang dibayarkan tunai kepada Supplier untuk kepentingan
konsumen. Pihak konsumen wajib membayar secara angsuran sampai
lunas kepada perusahaan sesuai dengan kontrak selama angsuran belum
dibayar lunas, maka barang milik konsumen tersebut menjadi jaminan
hutang secara fidusia”.
Pihak yang kedua yaitu konsumen. Konsumen adalah pihak pembeli
barang dari Supplier atas pembayaran oleh pihak ketiga, yaitu perusahaan
pembiayaan konsumen. Konsumen tersebut dapat berstatus perorangan dapat
pula badan hukum. Dalam hal ini ada 2 (dua) hubungan kontraktual yaitu:
a. Perjanjian pembiayaan yang bersifat kredit antara perusahaan dan
konsumen
b. Perjanjian jual beli antara supplier dan konsumen yang bersifat tunai
39Ibid, Hal 121
40
Ibid
42
Pihak konsumen umumnya masyarakat karyawan, buruh tani, yang
berpenghasilan menengah kebawah yang belum tentu mampu bila membeli
barang kebutuhannya itu secara tunai. Dalam pemberian kredit ini, resiko
menunggak angsuran merupakan hal yang biasa terjadi. Oleh karena itu, pihak
perusahaan dalam pemberian kredit kepada konsumen masih memerlukan
jaminan terutama jaminan fidusia atas barang yang dibeli itu, di samping
pengakuan hutang dari pihak konsumen.
Dalam perjanjian jual beli antara Supplier dan konsumen, 41
“Pihak Supplier menetapkan syarat bahwa harga barang akan dibayar
oleh pihak ketiga yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Apabila
karena alasan apapun, perusahaan tersebut melakukan wanprestasi, yaitu
tidak melakukan pembayaran sesuai dengan kontrak, maka jual beli
antara Supplier dan konsumen akan dibatalkan. Dalam perjanjian jual
beli, pihak Supplier (penjual) menjamin barang dalam keadaan baik,
tidak ada cacat tersembunyi”.
Pihak ketiga adalah Supplier/Dealer. Untuk pengertian Supplier/Dealer
Sunaryo menjelaskan di dalam bukunya hukum lembaga pembiayaan adalah. 42
“Pihak penjual barang kepada konsumen atas pembayaran oleh pihak
ketiga yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Hubungan kontraktual
antara Supplier dan konsumen adalah jual beli bersyarat. Syarat yang
dimaksud adalah pembayaran dilakukan oleh pihak ketiga yaitu
perusahaan pembiayaan konsumen.Antara perusahaan pembiayaan dan
konsumen terdapat hubungan kontraktual, dimana konsumen wajib
membayar harga barang secara angsuran kepada perusahaan pembiayaan
konsumen yang telah melunasi harga barang tersebut secara tunai kepada
Supplier/Dealer”.
Antara perusahaan pembiayaan dan Supplier tidak ada hubungan
kontraktual, kecuali sebagai pihak ketiga yang diisyaratkan. Oleh karena itu,
“apabila perusahaan pembiayaan melakukan wanprestasi, padahal kontrak jual
41 Op.Cit, 105
42
Ibid, Hal 104-105
43
beli dan kontrak pembiayaan telah selesai dilaksanakan, maka jual beli bersyarat
tersebut dapat dibatalkan oleh Supplier”.43
3. Hak dan Kewajiban Para Pihak Perjanjian Pembiayaan Konsumen
Terjadinya hubungan antara perusahaan pembiayaan konsumen dan
konsumen karena sebelumnya telah terlebih dahulu dilakukan kontrak, yaitu
kontrak pembiayaan konsumen. Atas dasar kontrak yang sudah mereka tanda
tangani, secara yuridis para pihak terikat akan hak dan kewajban masing-
masing. Konsekwensi yuridis selanjutnya adalah kontrak tersebut harus
dilaksanakan dengan itikat baik dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak.
Beberapa hak dan kewajiban perusahaan pembiayaan konsumen menurut
Sunaryo adalah sebagai berikut:44
a. Kewajiban perusahaan konsumen
Kewajiban perusahaan pembiayaan konsumen adalah menyediakan
dana (kredit) kepada konsumen sejumlah uang yang dibayarkan secara
tunai kepada pemasok atas pembelian barang yang di butuhkan
konsumen.
b. Hak perusahaan pembiayaan konsumen
Menerima pembayaran kembali dana secara berkala sampai lunas dari
konsumen
Selain itu yang menjadi hak dan kewajiban konsumen adalah sebagai
berikut:
a. Kewajiban konsumen
Membayar kembali dana secara berkala sampai lunas kepada
perusahaan pembiayaan konsumen
b. Hak konsumen
Menerima pembiayaan dalam bentuk dana sejumlah uang yang
dibayarkan secara tunai kepada pemasok untuk pembelian barang
yang dibutuhkan konsumen
Supplier/Dealer juga memiliki hak dan kewajibannya, yaitu sebagai
berikut:
a. Kewajiban Supplier/Dealer
Supplier/Dealer wajib menyerahkan barang kepada konsumen
43 Ibid
44
Ibid, Hal 110
44
b. Hak Supplier/Dealer
Menerima pembayaran secara tunai dari perusahaan pembiayaan
konsumen
Hal di atas sesuai dengan ketentuan Pasal 1513 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang menyatakan ”Kewajiban utama sipembeli ialah membayar
harga pembelian, pada waktu dan tempat sebagaimana ditetapkan menurut
perjanjian” dan bilamana hal itu tidak ditetapkan dalam perjanjian, maka
menurut Pasal 1514 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang bunyinya
adalah ”Jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang itu, si
pembeli harus membayar di tempat dan waktu dimana penyerahan harus
dilakukan”.
4. Bentuk Perjanjian Pembiayaan Konsumen
Perundang-Undangan di bidang hukum perdata, perjanjian pembiayaan
konsumen merupakan salah satu bentuk perjanjian khusus yang tunduk pada
ketentuan buku III KUH Perdata. Di Indonesia, lembaga pembiayaan ini
merupakan salah satu lemabag formal yang masih relative baru. Sumber hukum
utama pembiayaan konsumen adalah ketentuan mengenai perjanjian pinjam
pakai habis dan perjanjian jual beli bersyarat yang diatur dalam KUH Perdata.
Kedua sumber hukum utama tersebut dibahas dalam konteksnya dengan
pembiayaan konsumen.
Perjanjian pembiayaan konsumen yang terjadi antara perusahaan
pembiayaan konsumen dan konsumen digolongkan dalam perjanjian pinjam
pakai habis yang diatur dalam pasal 1754-1773 KUHPerdata menyatakan bahwa
“pinjam pakai habis adalah perjanjian, dengan mana pemberi pinjaman
45
menyerahkan sejumlah barang pakai habis kepada pihak peminjam dengan
syarat bahwa peminjam akan mengembalikan barang tersebut kepada pemberi
pinjaman dalam jumlah dan keadaan yang sama”.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
“perjanjian pembiayaan konsumen tergolong perjanjian khusus yang
objeknya dalah barang habis pakai yang diatur dalam pasal 1754-1773
KUH Perdata. Dengan demikian ketentuan Pasal-Pasal tersebut berlaku
terhadap perjanjian pembiayaan konsumen dan sudah relevan, kecuali
apabila dalam perjanjian diatur secara khusus menyimpang”.45
Sedangkan perjanjian jual beli bersyarat adalah perjanjian yang terjadi
antara konsumen sebagai pembeli, dan produsen sebagai penjual, dengan syarat
bahwa yang melakukan pembayaran secara tunai kepada penjual adalah
perusahaan pembiayaan konsumen. Perjanjian jual beli ini merupakan perjanjian
Acceessoir dari perjanjian pembiayaan konsumen sebagai perjanjian pokok.
Perjanjian ini digolongkan dalam perjanjian jual beli yang diatur dalam Pasal
1457-1518 KUHPerdata, tetapi pelaksanaan pembayaran digantungkan pada
syarat yang disepakati pada perjanjian pokok, yaitu perjanjian pembiayaan
konsumen. Menurut Pasal 1513 KUH Perdata “bahwa pembeli wajib membayar
harga pembelian pada waktu dan ditempat yang ditetapkan menurut perjanjian”.
“Syarat waktu dan tempat pembayaran ditetapkan dalam perjanjian pokok, yaitu
pembayaran secara tunai oleh perusahaan pembiayaan konsumen ketika penjual
menyerahkan nota pembelian yang ditanda tangani”.46
Di era Globalisasi ini, ekonomi dan hukum mengalami perkembangan
yang cukup pesat. Khususnya di bidang hukum terdapat kecenderungan untuk
45 Ibid, Hal 99
46
Ibid
46
menggunakan perjanjian baku sebagai instrumen dalam menciptakan hubungan
hukum antara para pihak.
Perjanjian baku merupakan salah satu jenis perjanjian yang lahir, karena
perkembangan praktek bisnis. Beberapa contoh mengenai penggunaaan
perjanjian baku dalam transaksi bisnis adalah Perjanjian Pembiayaan
Konsumen, Perjanjian Credit Card, Perjanjian Kredit Bank, Perjanjian/jual beli
perumahan dari real estate dan masih banyak contoh lain.
Dalam praktek bisnis belum terdapat keseragaman mengenai istilah yang
dipergunakan untuk perjanjian baku, ada yang menyebutnya dengan istilah
perjanjian standar, kontrak standar atau perjanjian adhesi. Di dalam pustaka
hukum ada beberapa istilah bahasa Inggris yang dipakai untuk perjanjian baku
tersebut yaitu “Standardized Agreement”.“Pad Contract” dan “Contract Of
Adhesion”.47
Sementara itu Menurut Mariam Darus Badrulzaman, mengemukakan
bahwa “Perjanjian baku adalah perjanjian yang didalamnya dibakukan syarat
eksenorasi dan dituangkan dalam bentuk formulir”.48
Berdasarkan rumusan pengertian di atas tampak bahwa perjanjian baku
sudah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak yang umumnya
mempunyai kedudukan ekonomi lebih tinggi/kuat (pelaku usaha, dalam hal ini
perusahaan pembiayaan sebagai kreditur) dibandingkan pihak lain (konsumen
sebagai debitur).
47 Op.Cit, Hal. 66.
48
Op. Cit, Hal. 47- 48.
47
Secara singkat dapat dikatakan bahwa perjanjian baku mempunyai ciri-
ciri sebagai berikut :49
a. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh produsen yang posisinya relatif
lebih kuat dari konsumen. Apabila dalam suatu perjanjian kedudukan
para pihak tidak seimbang, maka pihak yang memiliki posisi kuat
biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan
klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku, sehingga perjanjian
yang seharusnya dibuat atau dirancang oleh para pihak yang terlibat
dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam perjanjian baku, karena
format
b. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi
perjanjian. Dalam hal ini, pelaku usaha cenderung berdalih pada
kurang mengertinya konsumen akan permasalahan hukum atau tidak
semua konsumen memahami inti-inti dari perjanjian
c. Dibuat dalam bentuk tertulis dan masal perjanjian disini ialah naskah
perjanjian keseluruhan dan dokumen bukti perjanjian yang memuat
syarat-syarat baku, kata-kata atau kalimat pernyataan kehendak yang
termuat dalam syarat-syarat baku dibuat secara tertulis berupa akta
otentik atau akta dibawah tangan. Format dari pada perjanjian baku
mengenai model, rumusan dan ukurannya sudah ditentukan
dibakukan, sehingga tidak dapat diganti, diubah atau dibuat dengan
cara lain karena sudah dicetak. Model perjanjian dapat berupa blangko
naskah perjanjian, atau dokumen bukti perjanjian yang memuat
syarat-syarat baku
d. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh
kebutuhan. Karena adanya kebutuhan yang mendorong untuk
memiliki/memperoleh suatu barang dan jasa maka konsumen mau
atau tidak harus menerima seluruh dari isi perjanjian yang ditawarkan
oleh pelaku usaha.
Digunakannya perjanjian baku dalam dunia bisnis oleh para pelaku usaha
dimaksudkan agar lebih praktis dan efisien. Dalam penerapannya landasan yang
dipakai adalah asas kebebasan berkontrak, dimana konsumen diberi kebebasan
untuk menyepakati isi dari perjanjian yang telah dibakukan oleh pelaku usaha
tersebut. Namun, dengan digunakannya perjanjian baku dalam dunia bisnis
membatasi daya kerja dari asas kebebasan berkontrak.
49 Sudaryatmo, 1999, Hukum Dan Advokasi Konsumen, Jakarta, PT. Citra Aditya Bakti, Hal
93
48
Sehingga bagi konsumen kebebasan yang tertinggal adalah pilihan antara
menerima atau menolak (Take It Or Leave It) isi atau syarat-syarat perjanjian
baku yang disodorkan oleh pelaku usaha terbukti dengan tidak adanya
kesempatan bagi konsumen untuk mengadakan perubahan atas isi atau syarat-
syarat pada perjanjian baku tersebut.
D. Tinjauan Umun Tentang Jaminan Fidusia
1. Pengertian Jaminan Fidusia
Lembaga jaminan fidusia merupakan lembaga jaminan yang secara
yuridis formal diakui sejak berlakunya Undang-Undang No. 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia. Menurut asal katanya berasal dari “fides”.50 Yang
berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan hukum antara
debitur (pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusia)merupakan hubungan
hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima
fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah
dilunasi utangnya. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia
tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya.
Pranata jaminan fidusia sudah dikenal dan diberlakukan dalam
masyarakat hukum Romawi. “Ada dua bentuk jaminan fidusia, yaitu Fiducia
Cum Creditore dan Fiducia Cum Amico”.51Keduanya timbul dari perjanjian
yang disebut “Pactum Fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak
atau In Iure Cessio. Dalam bentuk yang pertama atau lengkapnya Fiducia Cum
Creditore Contracta, yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan
50 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani,2005, Jaminan Fidusia, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, Hal 113.
51
Ibid
49
kreditur, dikatakan bahwa kreditur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu
benda kepada kreditur sebagai jaminan atas hutangnya dengan kesepakatan
bahwa kreditur akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur
apabila utangnya sudah dibayar lunas”.52
Jika dihubungkan dengan sifat yang ada pada setiap pemegang hak, maka
dikatakan bahwa debitur mempercayakan kewenangan atas suatu barang kepada
kreditur untuk kepentingan kreditur sendiri (sebagai jaminan pemenuhan
perikatana oleh kreditur).
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang tentang Fidusia memberikan batasan
dan pengertian sebagai berikut “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan
suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda”. Kemudian
pasal 1 ayat 2 Undang-Undang tentang Fidusia memberikanpengertian jaminan
fidusia sebagai berikut “Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani jaminan fidusia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai
agunana bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya”.
Dari defenisi yang diberikan di atas, jelas bahwa
“fidusia dibedakan dari jaminan fidusia, dimana fidusia merupakan suatu
proses pengalihan hak kepemilikan dan jaminan fidusia adalah jaminan
52 Ibid, Hal 114
50
yang diberikan dalam bentuk fidusia. Ini berarti pranata jaminan fidusia
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 ini adalah
pranata jaminan fidusia sebagaimana dimaksud Fiducia Cum Creditore
Contracta di atas”.53
2. Ruang Lingkup Obyek Fidusia
Pasal 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia memberikan batas ruang
lingkup berlakunya Undang-Undang Jaminan Fidusia, yaitu berlaku terhadap
setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan
fidusia, yang dipertegas kembali oleh rumusan yang dimuat dalam Pasal 3
Undang-Undang Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa Undang-Undang
Jaminan Fidusia ini tidak berlaku terhadap:
a. Jaminan fidusia yang berkaitan dengan tanah dan bangunan,
sepanjang peraturan Perundang-Undangan yang berlaku menentukan
jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar. Namun demikian,
bangunan di atas milik orang lain yang tidak dapat dibebani jaminan
fidusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang
Hak Tanggungan dapat dijadikan Objek Jaminan Fidusia.
b. Hipotik atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua
puluh) m3 atau lebih.
c. Hipotik atas pesawat terbang, dan
d. Gadai.
Adapun yang dimaksud dengan subjek dari Jaminan Fidusia adalah
mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian Jaminan Fidusia, yang dalam
hal ini terdiri atas pemberi dan penerima fidusia. Antara objek Jaminan Fidusia
dan subjek Jaminan Fidusia mempunyai kaitan yang erat, oleh karena benda-
benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia menurut Munir Fuady, yaitu:54
a. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum
b. Dapat atas benda berwujud.
c. Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang
53 Ibid, Hal 123
54
Op.Cit., Hal 23
51
d. Benda bergerak
e. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan jaminan fidusia
f. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hiopotek
g. Baik atas benda yang sudah ada, maupun terhadap benda yang akan
diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian,
tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri.
h. Dapat atas satuan jenis benda.
i. Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda.
j. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia.
k. Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek
jaminan fidusia.
l. Benda persediaan (inventory, stock perdagangan) dapat juga menjadi
objek jaminan fidusia.
Sedangkan menurut J. Satrio, bahwa yang menjadi objek Jaminan
Fidusia adalah:55
a. Benda bergerak
b. Benda tidak bergerak
c. Khususnya yang berupa bangunan yang tidak dibebani dengan jaminan
fidusia
d. Dan harus bisa dimiliki dan dialihkan
Selanjutnya tentang objek jaminan kredit dalam kredit angsuran sistem
fidusia merupakan jaminan tambahan dari perjanjian pokok berupa perjanjian
hutang piutang antara Perum Pegadaian selaku Kreditur dengan pengusaha
mikro dan pengusaha kecil selaku Debitur. Yang bisa dijadikan objek jaminan
kredit adalah semua benda bergerak dan tidak bergerak, berwujud dan tidak
berwujud. Untuk sementara, objek jaminan kredit dibatasi pada kendaraan
bermotor roda empat atau lebih, baik plat hitam maupun plat kuning, dan
kendaraan bermotor roda dua, yang memenuhi persyaratan berikut:
a. Kendaraan bermotor tersebut adalah milik sendiri yang dibuktikan
dengan nama yang tertera di BPKB dan STNK adalah sama dengan
KTP
55 J.Satrio, 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Bandung , PT.Citra
Aditya Bakti, Hal179
52
b. Bila kendaraan bermotor tersebut milik istri/suami/pengurus usaha,
harus menyertakan surat persetujuan menjaminkan kendaraan dari
pemilik (KUMK-18)
c. Bila kendaraan bermotor tersebut belum dibaliknamakan, harus ada
surat pernyataan dari pemilik lama bahwa kendaraan tersebut adalah
benar-benar milik pemohon kredit yang belum dibalik namakan
(KUMK-19)
d. Jenis dan merk kendaraan merupakan jenis dan merk yang sudah
dikenal dan umum digunakan masyarakat serta pemasarannya tidak
sulit
e. Usia dan kondisi fisik kendaraan masih memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur menurut ketentuan yang berlaku
f. Sistem dan prosedur menaksir kendaraan bermotor harap mengikuti
ketentuan perusahaan tentang tata cara penerimaan kendaraan
bermotor yang diatur dalam ketentuan yang masih berlaku di Perum
Pegadaian
g. Berplat nomor Polres/Polda setempat;
h. Sebagai tindakan antisipasi terhadap penyalahgunaan BPKB, maka
setelah proses hutang piutang disepakati, harap membuat surat
pemberitahuan ke Kapolres (Unit Regiden) bahwa BPKB atas nama
nasabah tersebut sedang dijaminkan sebagai agunan kredit di Perum
Pegadaian dari tanggal ....... sampai dengan tanggal ....... (selama
jangka waktu kredit). Pada saat kredit dilunasi harap dibuat surat
(selama jangka waktu kredit). Pada saat kredit dilunasi harap dibuat
surat kepada Ditserse dan Ditlantas Polda setempat.
i. Satu perjanjian kredit diperbolehkan didukung sampai dengan 3 jenis
agunan, asalkan semua agunannya memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dan sudah dibaliknamakan atas nama calon nasabah atau
setidaknya atas nama istri/suami/pengurus usaha yang telah
menandatangani form KUMK-18.
j. Khusus kendaraan bermotor roda empat atau lebih dengan plat kuning,
selain harus memenuhi persyaratan yang dibutuhkan, juga harus
dilengkapi dengan Surat Izin Trayek dan Buku Kir dari Dinas Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Raya setempat yang masih berlaku.
3. Sifat Jaminan Fidusia
Ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Jaminan fidusia menyatakan
bahwa jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani jaminan fidusia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang
53
tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima
fidusia terhadap kreditur lainnya. Ini berarti Undang-Undang Jaminan Fidusia
secara tegas menyatakan jaminan fidusia adalah agunan atas kebendaan atas
jaminan kebendaan (Zakelijke Zekerheid, Security Right In Rem) yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia, yaitu hak
yang didahulukan terhadap kreditur lainnya. Hak ini tidak hapus karena adanya
kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia. demikian, tidak alasan untuk
menyatakan bahwa jaminan fidusia hanya merupakan perbankan obligatoir yang
melahirkan hak yang bersifat “Persoonlijk” (perorangan) bagi kreditur.
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia juga secara tegas
menyatakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian assesoir dari suatu
perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk
memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu,
atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang. Sebagai suatu
perjanjian assesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut:
a. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok. Keabsahannya,
semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok
b. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika
ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak
dipenuhi.
4. Pembebanan Jaminan Fidusia
Sebagaimana perjanjian jaminan hutang lainnya, seperti perjanjian gadai,
hipotik, atau jaminan fidusia, maka perjanjian fidusia juga merupakan perjanjian
assessoir (perjanjian ikatan). Maksudnya adalah “perjanjian assessoir ini tidak
54
mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/membuntuti perjanjian lainnya yang
merupakan perjanjian pokok adalah perjanjian hutang piutang”.56
Ada beberapa tahapan formal yang melekat dalam jaminan fidusia, di
antaranya adalah:57
a. Tahapan pembebanan dengan pengikatan dalam suatu akta notaris.
b. Tahapan pendaftaran atas benda yang telah dibebani tersebut oleh
penerima fidusia, kuasa atau wakilnya kepada kantor pendaftaran
fidusia, dengan melampirkan pernyataan pendaftaran.
c. Tahapan administrasi, yaitu pencatatan jaminan fidusia dalam buku
daftar fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan
permohonan pendaftaran.
d. Lahirnya jaminan fidusia yaitu pada tanggal yang sama dengan
tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia.
Pembebanan kebendaan dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta
notaris dalam Bahasa Indonesia yang merupakan akta jaminan fidusia. Dalam
akta jaminan fidusia selain dicantumkan hari tanggal, juga dicantumkan
mengenai (jam) pembuatan akta tersebut.
Akta jaminan fidusia sekurang-kurangnya memuat:58
a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia
Identitas tersebut meliputi nama lengkap, agama, tempat tinggal, atau
tempat kedudukan dan tanggal lahir, jenis kelamin, staus perkawinan,
dan pekerjaan.
b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, yaitu mengenai macam
perjanjian dan utang yang dijamin dengan fidusia.
c. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia cukup
dilakukan dengan mengidentifikasikan benda tersebut, dan dijelaskan
mengenai surat bukti kepemilikannya. Jika benda selalu berubah-ubah
seperti benda dalam persediaan, haruslah disebutkan tentang jenis,
merek, dan kualitas dari benda tersebut.
d. Nilai penjaminan
e. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
56 Op.Cit, Hal 19
57
Muhammad Jumhana, 2003, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti,
Hal 417
58
Op.Cit, Hal 142
55
Akta jaminan fidusia harus dibuat oleh dan atau di hadapan pejabat yang
berwenang. Pasal 1870 KUH Perdata menyatakan bahwa akta notaris
merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna tentang
apa yang dimuat di dalamnya di antara para pihak beserta para ahli warisnya
atau para pengganti haknya. Itulah mengapa sebabnya Undang-Undang Jaminan
fidusia menetapkan perjanjian fidusia harus dibuat dengan akta Notaris.
Kemudian hutang yang pelunasannya dapat dijamin dengan jaminan fidusia
adalah berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 :
a. Hutang yang telah ada
b. Hutang yang akan ada di kemudian hari, tetapi telah diperjanjian dan
jumlahnya sudah tertentu.
c. Hutang yang dapat ditentukan jumlahnya pada saat eksekusi
berdasarkan suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban
untuk dipenuhi.
Misalnya, hutang bunga atas perjanjian pokok yang jumlahnya akan
ditentukan kemudian. Pasal 8 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan
bahwa “Jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia
atau kepada kuasa atau wakil dari penerima fidusia”. Kuasa adalah orang yang
mendapat kuasa khusus dari penerima fidusia untuk mewakili kepentingannya
dalam penerimaan jaminan fidusia dari pemberi fidusia. Sedangkan yang
dimaksud dengan wakil adalah orang yang secara hukum dianggap sebagai
mewakili penerima fidusia dalam penerimaan jaminan fidusia, misalnya Wali
Amanat dalam mewakili kepentingan pemegang obligasi.
56
Pasal 9 angka 1 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa
“Jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis
benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan,
maupun yang diperoleh kemudian”. Hal ini berarti benda tersebut demi hukum
akan dibebani dengan jaminan fidusia pada saat benda tersebut tidak perlu
dilakukan dengan perjanjian jaminan tersendiri. Khusus mengenai hasil atau
ikutan dari kebendaan yang menjadi objek jaminan fidusia. Pasal 10 Undang-
Undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa kecuali diperjanjikan lain:
a. Jaminan fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi objek jaminan
fidusia
b. Jaminan fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang
menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan
Ketentuan tentang adanya kewajiban pendaftaran jaminan fidusia dapat
dikatakan merupakan terobosan yang penting, mengingat bahwa pada umumnya
objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang tidak terdaftar sehingga sulit
mengetahui siapa pemiliknya. Terobosan ini akan lebih bermakna jika dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 1977 KUHPerdata yang menyatakan bahwa barang
siapa yang menguasai benda bergerak, maka ia akan dianggap sebagai
pemiliknya (Bezit Geldt Als Volkomen Title).
Untuk memberikan kepastian hukum, Pasal 11 Undang-Undang Jaminan
fidusia menyatakan bahwa jaminan fidusia didaftarkan pada kantor pendaftaran
fidusia yang terletak di Indonesia. Kewajiban ini bahkan tetap berlaku meskipun
kebendaan yang dibebani dengan jaminan fidusia berada di luar wilayah Negara
Republik Indonesia. Kemudian diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan
57
Nomor 130/PMK.010/2012 Tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi
Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk
Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia pada pasal 1 ayat 1
yang menyatakan Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan
konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia wajib
mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia,
sesuai Undang-Undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia. Dan pada
pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 Tentang
Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan
Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan
Jaminan Fidusia yang menjelaskan Perusahaan Pembiayaan wajib mendaftarkan
jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia paling lama 30 (tiga puluh)
hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen.
E. Tinjauan Umum Tentang Penyelesaian Konflik
Pada prakteknya pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen sering
terjadi ingkar janji dan ini pada umumnya dilakukan oleh pihak debitur, dan
biasa juga ingkar janji itu berkisar mengenai soal pembayaran angsuran atau
pembayaran lainnya yang sudah merupakan kewajiban pihak debitur atau juga
mengenai dilanggarnya kewajiban-kewajiban ataupun larangan-larangan bagi
pihak debitur seperti yang tercantum dalam perjanjian.
Dalam hal-hal ini, ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk
menyelesaikan persengketaan-persengketaan yang timbul dari kedua belah
pihak, yaitu dengan cara damai, pengadilan negeri, arbitrase.
58
1. Penyelesaian Litigasi
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase dan
APS) berbunyi “Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh
para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad
baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan
Negeri”. Frans Hendra Winarta dalam bukunya Hukum Penyelesaian
Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional mengatakan bahwa59
“Secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti
dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas,
energi, infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melalui proses
litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan
satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan
sarana akhir (Ultimum Remidium) setelah alternatif penyelesaian
sengketa lain tidak membuahkan hasil”.
Hal serupa juga dikatakan Rachmadi Usman dalam bukunya Mediasi di
dalam Teori dan praktek pengadilan.60
“Bahwa selain melalui pengadilan (Litigasi), penyelesaian sengketa juga
dapat diselesaikan di luar pengadilan (Non Litigasi), yang lazim
dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif
Penyelesaian Sengketa”.
Upaya hukum dibedakan antara upaya hukum terhadap upaya hukum
biasa dengan upaya hukum luar biasa.61
a. Upaya hukum biasa merupakan upaya hukum yang digunakan untuk
putusan yang belum berkekuatan hukum tetap. Upaya ini mencakup:
1. Perlawanan/verzet
59 Frans Hendra Winarta, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia
dan Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, Hal 1-2
60
Rachmadi Usman, 2012, Mediasi di Pengadilan dalam Teori dan Praktek, Jakarta, Sinar
Grafika, Hal 8
61
___, 2011, Upaya Hukum dalam Hukum Acara Perdata, https://www. djkn. kemenkeu. go.
id/artikel/detail/upaya-hukum-dalam-hukum-acara-perdata-, Diakses Tgl 20 Maret 2016,
59
Suatu upaya hukum terhadap putusan di luar hadirnya tergugat
(putusan verstek). Dasar hukum verzet dapat dilihat di dalam pasal
129 HIR.
2. Banding
Upaya hukum yang dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas
terhadap putusan pengadilan negeri. Dasar hukumnya adalah UU
No 4/2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Pokok
Kekuasaan dan UU No 20/1947 Tentang Peradilan Ulangan.
3. Kasasi
Menurut Pasal 29 dan 30 UU No 14/1985 Jo. UU No 5/2004 kasasi
adalah pembatalan putusan atas penetapan pengadilan dari semua
lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan akhir. Putusan yang
diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan banding. Alasan
yang dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan
dalam Pasal 30 UU No 14/1985 Jo. UU No 5/2004 adalah:
a) Tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif)
untuk melampaui batas wewenang
b) Salah menerapkan/melanggar hukum yang berlaku
c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian dengan
batalnya putusan yang bersangkutan.
b. Upaya hukum luar biasa
Dilakukan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dan pada asasnya upaya hukum ini tidak menangguhkan
eksekusi. Mencakup:
1. Peninjauan kembali (Request Civil)
Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan
dengan Undang-Undang, terhadap putusan pengadilan yang telah
berkekuatan huikum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh
pihak-pihak yang berkempentingan. (Pasal 66-77 UU No 14/1985
Jo. UU No 5/2004).
2. Perlawanan pihak ketiga (Denderverzet) terhadap sita eksekutorial Apabila dalam suatu putusan pengadilan merugikan kepentingan
dari pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan
perlawanan terhadap putusan tersebut. Dasar hukumnya adalah
378-384 Rv dan Pasal 195 (6) HIR.
Dari hal-hal di atas dapat kita ketahui bahwa Litigasi itu adalah
penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.
60
2. Penyelesaian Non Litigasi
Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Arbitrase dan APS Alternatif
Penyelesaian Sengketa adalah “Lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli”.
Arbitrase sendiri adalah “Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di
luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian Arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa” (Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Arbitrase dan APS).
Frans Hendra Winarta dalam bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa
Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional menguraikan pengertian masing-
masing lembaga penyelesaian sengketa di atas sebagai berikut :62
a. Konsultasi suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak
tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan,
dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai
dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
b. Negosiasi suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui
proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas
dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.
c. Mediasi cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
d. Konsiliasi penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan
kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat
diterima.
e. Penilaian pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan
sesuai dengan bidang keahliannya.
Akan tetapi dalam perkembangannya, ada juga bentuk penyelesaian di
luar pengadilan yang ternyata menjadi salah satu proses dalam penyelesaian
62 Op.Cit, Hal 7-8
61
yang dilakukan di dalam pengadilan (Litigasi). Kita ambil contoh mediasi. Dari
pasal tersebut kita ketahui bahwa mediasi itu adalah penyelesaian di luar
pengadilan, akan tetapi dalam perkembangannya, mediasi ada yang dilakukan di
dalam pengadilan.
Rachmadi Usman, mengatakan63
“Dengan diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun
2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sebagai pengganti
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan, maka setiap perkara perdata tertentu yang akan
diadili oleh hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan
peradilan agama diwajibkan terlebih dahulu untuk menempuh prosedur
mediasi di pengadilan”.
Lebih lanjut, Rachmadi Usman sebagaimana ia kutip dari naskah
akademis yang dibuat oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan
Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, mengatakan bahwa64
“Lembaga mediasi bukanlah merupakan bagian dari lembaga litigasi,
dimana pada mulanya lembaga mediasi berada di luar pengadilan.
Namun sekarang ini lembaga mediasi sudah menyeberang memasuki
wilayah pengadilan. Negara-Negara maju pada umumnya antara lain
Amerika, Jepang, Australia, Singapore mempunyai lembaga mediasi,
baik yang berada di luar maupun di dalam pengadilan dengan berbagai
istilah antara lain Court Integrated Mediation, Court Annexed Mediation,
Court Dispute Resolution, Court Connected ADR, Court Based ADR, dan
lain-lain”.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa arbitrase, konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli merupakan alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Artinya, bukan merupakan bagian dari
lembaga litigasi meskipun dalam perkembangannya adapula yang menjadi
bagian dari proses litigasi, seperti mediasi yang dilakukan di pengadilan.
63 Op.Cit Hal 7-8
64
Tri Jata Ayu Pramesti,Litigasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail, Diakses Tgl 8 Januari 2016
62
Sedangkan yang dimaksud dengan litigasi itu sendiri adalah penyelesaian
sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.
F. Teori Efektifitas Hukum
Efektivitas mengandung arti “keefektifan pengaruh efek keberhasilan
atau kemanjuran/kemujaraban, membicarakan keefektifan hukum tentu tidak
terlepas dari penganalisisan terhadap karakteristik dua variable terkait yaitu
karakteristik/dimensi dari obyek sasaran yang dipergunakan”.65
Ketika berbicara sejauh mana “efektivitas hukum maka kita pertama-
tama harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak
ditaati. Jika suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi
sasaran ketaatannya maka akan dikatakan aturan hukum yang bersangkutan
adalah efektif”.66
Derajat dari efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto, ditentukan
oleh taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum,termasuk para penegak
hukumnya, sehingga dikenal asumsi bahwa, “taraf kepatuhan yang tinggi adalah
indikator suatu berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum
merupakan pertanda hukum tersebut mencapai tujuan hukum yaitu berusaha
untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup”.67
65 Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya, Ctk
Ketiga, Hal 67
66
Salim, H.S dan Erlis Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Tesis dan
Disertasi, Jakarta, Rajawali Press, Ctk Kesatu Edisi Pertama, Hal 375
67
Soerjono Soekanto, 1985, Efektivitas Hukum dan Peranan Saksi, Bandung , Remaja Karya,
Hal 7
63
Beberapa pendapat mengemukakan tentang teori efektivitas seperti
Bronislav Molinoswki. Bronislav Malinoswki mengemukakan bahwa 68
“teori efektivitas pengendalian sosial atau hukum, hukum dalam
masyarakat dianalisa dan dibedakan menjadi dua yaitu masyarakat
modern, masyarakat primitif, masyarakat modern merupakan masyarakat
yang perekonomiannya berdasarkan pasar yang sangat luas, spesialisasi
di bidang industri dan pemakaian teknologi canggih, didalam masyarakat
modern hukum yang di buat dan ditegakan oleh pejabat yang
berwenang”.
Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa “dalam sosiologi hukum masalah
kepatuhan atau ketaatan hukum terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya
telah menjadi faktor yang pokok dalam mengukur efektif tidaknya sesuatu yang
ditetapkan dalam hukum ini”.69
Efektivitas Hukum yang dikemukakan oleh Anthoni Allot sebagaimana
dikutip Felik adalah sebagai berikut 70
“Hukum akan mejadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannya
dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dapat
menghilangkan kekacauan. Hukum yang efektif secara umum dapat
membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan. Jika suatu kegelapan
maka kemungkinan terjadi pembetulan secara gampang jika terjadi
keharusan untuk melaksanakan atau menerapkan hukum dalam suasana
baru yang berbeda, hukum akan sanggup menyelsaikan”.
Studi efektivitas hukum merupakan suatu kegiatan yang memperlihatkan
suatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatu perbandingan
“antara realitas hukum dan ideal hukum, secara khusus terlihat jenjang antara
hukum dalam tindakan (Law In Action) dengan hukum dalam teori (Law In
68 Op.Cit., Hal 308
69
Soerjono Soekanto, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar, Bandung, Rajawali Pers, Hal 20
70
Op.Cit. Hal 303
64
Theory) atau dengan kata lain kegiatan ini akan memperlihatkan kaitannya
antara Law In The Book dan Law In Action”.71
Bustanul Arifin yang dikutip oleh Raida L Tobing dkk, mengatakan
bahwa dalam negara yang berdasarkan hukum, berlaku efektifnya sebuah
hukum apabila didukung oleh tiga pilar, yaitu:72
a. Lembaga atau penegak hukum yang berwibawa dapat diandalkan
b. Peraturan hukum yang jelas sistematis
c. Kesadaran hukum masyarakat tinggi
d.
71 Soleman B Taneko, 1993, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta, Rajawali
Press, Hal 47-48
72
Raida L Tobing, 2011, Efektivitas Undang-Undang Money Loundering, Jakarta, Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Kementrian Hukum dan HAM RI, Hal 11