bab ii tinjauan pustaka - perpustakaan digital itb ... terhadap sifat ini (karantzeni dkk., 2003)....
TRANSCRIPT
7
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Stabilitas Termal Protein
Beberapa organisme telah teridentifikasi memiliki kemampuan untuk dapat
bertahan hidup pada lingkungan ekstrim (Lowe dkk., 1993; Adams dkk., 1995)
seperti pada palung bawah laut yang memiliki tekanan tinggi (Purcarea dkk.,
1999), daerah kontinental dan geotermal bertemperatur tinggi (Bonc-
Osmolovskaya dkk., 2003), daerah Antartika dengan temperatur yang sangat
rendah (Saunders dkk., 2003) dan daerah Laut Mati yang memiliki kadar garam
sangat tinggi (Ventosa dkk., 1998). Salah satu organisme yang paling banyak
diteliti pada saat ini adalah organisme termofilik yang umum dijumpai pada
daerah bertemperatur tinggi. Kemampuan termofil untuk dapat tumbuh pada
temperatur tinggi karena sistem selnya, mulai dari tingkat makromolekul hingga
organel (Tolner dkk., 1997) relatif lebih stabil terhadap denaturasi panas
dibandingkan padanan mesofilnya (Vieille dkk., 1996; Daniel dan Cowan, 2000).
Pada tingkat makromolekul, enzim dan protein yang diisolasi dari termofil
memiliki kestabilan dan fungsi yang optimal pada temperatur tinggi (Jaenicke dan
Zàvodszky, 1990). Sifat stabilitas termal dari enzim atau protein telah menjadi isu
penting dalam penelitian struktur protein (Kumar dkk., 2000), terutama untuk
mendapatkan pemahaman keterkaitan antara pelipatan (folding) protein dan
stabilitasnya serta untuk keperluan rekayasa enzim sehingga dapat bekerja lebih
optimal pada temperatur tinggi (Vieille dkk., 1996; Vieille dan Zeikus, 2001; Liu
dan Wang, 2003).
Stabilitas termal protein didefinisikan sebagai ketahanan suatu protein untuk tetap
dalam struktur alaminya (folded state) sedemikian rupa sebagai respon terhadap
energi termal (temperatur tinggi) sehingga tetap dapat menjalankan fungsinya
dengan baik (Zhang dkk., 2004). Penelitian melalui berbagai pendekatan baik
eksperimen (Bosshard dkk., 2004; Emond dkk., 2008), bioinformatik (Das dan
Gerstein, 2000; Kumar dkk., 2000) maupun komputasi (Liu dan Wang, 2003;
Zhang dkk., 2004) telah berusaha untuk mengelusidasi faktor penentu stabilitas
termal protein. Hasilnya mengindikasikan bahwa tidak adanya aturan baku
8
terhadap sifat ini (Karantzeni dkk., 2003). Sifat stabilitas termal tidak terfokus
pada satu jenis interaksi intramolekul dalam protein. Hasil penelitian
menyarankan bahwa mekanisme umum untuk menjelaskan sifat stabilitas enzim
ataupun protein hingga saat ini belum dapat dijelaskan secara pasti, karena sifat
tersebut dapat dipengaruhi parameter internal seperti komposisi asam amino,
ikatan disulfida, interaksi hidrofobik, interaksi aromatik dan ikatan hidrogen
maupun parameter ekstrinsik seperti garam, substrat maupun pengaruh tekanan
(Kumar dan Nussinov, 2001; Vieille dan Zeikus, 2001; Trivedi, 2006).
II.1.1 Komposisi Asam Amino
Penelitian terhadap enzim yang sama namun berasal dari dua kelompok
mikroorganisme yang berbeda, mesofil dan termofil menunjukkan bahwa enzim
yang dihasilkan oleh mikroorganisme termofilik umumnya memiliki ketahanan
dan kestabilan yang cukup besar pada temperatur tinggi, baik dalam hal
penyimpanan maupun pemakaian, dimana sifat ini tidak dimiliki oleh enzim dari
mikroorganisme mesofilik. Walaupun demikian, enzim termostabil memiliki
mekanisme katalitik yang sama dengan padanan enzim mesofilnya (Vieille dan
Zeikus, 2001) dengan adanya sedikit perbedaan pada urutan asam aminonya.
Perubahan substituen asam amino di satu atau lebih lokasi dapat menghasilkan
konformasi enzim yang berlainan, akibatnya pengaruh panas terhadap denaturasi
enzim berbeda (Kumar dan Nussinov, 2001).
Analisis statistik terhadap komposisi asam amino dari mesofil dan termofil
pertama kali dilakukan oleh Argos dkk. (1979), hasilnya mengindikasikan adanya
kecenderungan substitusi Gly�Ala dan Lys�Arg pada termofil. Meruahnya
komposisi Ala pada protein dari termofil diduga karena residu Ala bersifat sebagai
pembentuk helix. Dengan semakin lengkapnya koleksi genom mesofil maupun
termofil analisis komposisi asam amino dapat dilakukan lebih komprehensif.
Secara umum, enzim atau protein yang berasal dari mikroorganisme termofilik
memiliki persentase asam amino bermuatan (Lys, Arg, Glu dan Asp) yang lebih
tinggi dibandingkan padanan mesofilnya (Szilàgyi dan Zàvodszky, 2000; Farias
dan Bonato, 2003; Fukuchi dan Nishikawa, 2001; Nakashima dkk., 2003;
9
Saunders dkk., 2003; Tanaka dkk., 2004). Perbandingan komposisi asam amino
dari termofil dan mesofil (Gambar II.1) menyarankan bahwa beberapa asam
amino seperti Glu, Arg, Tyr, Asp, dan Lys terdapat dalam jumlah lebih banyak
pada termofil dibandingkan Ala, Asn, Gln, Thr, Ser dan Val (Szilàgyi dan
Zàvodszky, 2000). Ada dugaan bahwa rasio (perbandingan) asam amino tersebut
memainkan peranan terhadap fleksibilitas protein. Sedangkan komparasi antara
termofil dan hipertermofil, mengindikasikan bahwa jumlah asam amino
bermuatan (terutama Lys) pada hipertermofil jauh lebih tinggi, disamping itu
termofil umumnya lebih menyukai Arg dibandingkan Lys. Namun Vieille dan
Zeikus (2001) melaporkan sebaliknya, bahwa residu Arg memiliki peran
signifikan terhadap stabilitas protein yang diisolasi dari hipertermofil, karena
kemampuan Arg untuk membentuk multipel interaksi nonkovalen lebih tinggi
dibandingkan Lys. Selain itu, rantai samping Arg memiliki gugus metil yang lebih
pendek daripada Lys sehingga kontak yang tidak sesuai (unfavorable) dengan
pelarut dapat lebih diminimalkan.
Persentase asam amino Asp dan Met umumnya menurun pada hipertermofil
karena asam amino tersebut tidak stabil pada temperatur tinggi (Szilàgyi dan
Zàvodszky, 2000). Namun, hasil ini juga berlawanan dengan apa yang dilaporkan
oleh Tanaka dkk. (2004) yang menerangkan bahwa Tyr dan Asp berperan penting
terhadap stabilitas termal hipertermofil. Studi yang dilakukan terhadap protein
hipertemofil Aeropyrum pernix menunjukkan hasil yang menguatkan hipotesis
bahwa tidak ada aturan baku terhadap stabilitas termal karena ternyata asam
amino bermuatan (23.64%), residu hidrofobik (27.29%) dan aromatiknya (7.42%)
lebih sedikit dibandingkan padanan mesofilnya. Sehingga kemungkinan besar,
distribusi asam amino serta interaksinya memainkan peranan lebih penting
terhadap stabilitas termal dibandingkan hanya sekedar komposisi asam amino.
Dua jenis protease homolog subtilisin Bacillus amyloliquefaciens dan termitase
Thermoactinomyces vulgaris memiliki kesamaan dalam jumlah residu asam
amino bermuatan, namun enzim termitase termofil memiliki 8 interaksi
elektrostatik lebih banyak dibandingkan subtisilin (Teplyakov dkk., 1990).
10
Gambar II.1. Perbandingan komposisi asam amino protein yang diisolasi dari mikroorganisme mesofil (hijau) dan termofil (merah). (a) mesofil versus moderat termofil dan (b) mesofil versus hipertermofil. Warna kode asam amino satu huruf berdasarkan atas karakteristik fisikokimia asam amino, KRED : asam amino bermuatan; QNHST : asam amino polar; FYW : asam amino aromatik; PG : asam amino yang mempengaruhi fleksibilitas; AVLI : asam amino hidrofobik dan CM : asam amino yang mengandung atom Sulfur (Szilàgyi dan Zàvodszky, 2000).
11
II.1.2 Interaksi Elektrostatik
Interaksi elektrostatik yang sering disebut sebagai interaksi pasangan ion (ion
pairs interaction) (Vieille dan Zeikus, 2001) atau jembatan garam (salt bridge)
(Tomazic dan Klibanov, 1988) merupakan interaksi antara residu-residu asam
amino bermuatan. Penelitian mengenai pentingnya interaksi elektrostatik pertama
kali dilaporkan oleh Perutz (1978) yang menyatakan bahwa interaksi ini memiliki
kontribusi signifikan untuk menstabilkan protein. Namun karena rendahnya
tingkat lestari (not highly conserved) interaksi elektrostatik pada setiap protein,
menyebabkan interaksi tersebut akhirnya dianggap tidak memberikan kontribusi
terhadap stabilitas termal protein (Dill, 1990).
Secara kuantitatif, penelitian yang dilakukan terhadap enzim lisozim dari T4
bakteriofaga mengindikasikan bahwa satu pasang interaksi elektrostatik
menyumbang setidaknya 3-5 kkal/mol terhadap stabilitas enzim (Anderson dkk.,
1990). Meskipun tidak terlalu memberikan efek signifikan terhadap protein
mesofil -bahkan diduga memberikan efek destabilisasi- namun interaksi ini
memainkan peran sangat penting dalam menstabilkan protein-protein termofil dan
hipertermofil (Yip dkk., 1995; Karshikoff dan Ladenstein, 2001; Vieille dan
Zeikus, 2001). Studi denaturasi termal terhadap enzim amilase yang diisolasi dari
B.licheniformis, B.amyloliquefaciens dan B.stearothermophilus oleh Tomazic dan
Klibanov (1988) menyarankan bahwa enzim dari B.licheniformis memiliki
stabilitas termal yang lebih tinggi dibandingkan padanan lainnya karena adanya
interaksi elektrostatik terutama antara residu Lys dengan residu karboksilat
lainnya. Selain itu, interaksi elektrostatik juga memainkan peran penting terhadap
stabilitas termal beberapa enzim lain seperti O-metilguanin-DNA metiltransferase
dari Pyrococcus kodakaraensis (Hashimoto dkk., 1999), karboksipeptidase
Sulfolobus solfataricus (Villa dkk., 1993) dan β-glikosidase Thermosphaera
aggregans (Chi dkk., 1999).
12
Tabel II.1. Komparasi komposisi interaksi elektrostatik pada enzim GDH Clostridium symbiosum dan P.furiosus (Yip dkk., 1998)
Nilai Karakteristik
C.symbiosum P.furiosus Jumlah IE per subunit Jumlah IE per residu % residu bermuatan membentuk IE % IE dibentuk oleh Arg/Lys/His % IE dibentuk oleh Asp/Glu % Arg membentuk IE Jumlah residu membentuk 2 IE Jumlah residu membentuk 3 IE Jumlah 2/3/4 residu membentuk networks Jumlah 5/6/18 residu membentuk networks % networks IE > 3 residu Jumlah IE intersubunit Jumlah IE antardomain
26 0.06 40
46/31/23 46/54
55 6 1
72/24/12 0/0/0 23 30 1
45 0.11 54
64/27/9 47/53
90 17 5
54/24/12 12/6/3
62 54 7
IP = ion pairs /interaksi elektrostatik
Gambar II.2. Representasi jaringan interaksi elektrostatik pada antarmuka subunit GDH P.furiosus (Yip dkk., 1998).
Komparasi terhadap struktur enzim heksamerik glutamat dehidrogenase (GDH)
yang berasal dari mesofil Clostridium symbiosum, dan hipertermofil
13
Thermococcus litoralis dan P.furiosus menunjukkan adanya perbedaan utama
pada komposisi interaksi elektrostatik (Tabel II.1). 90% residu Arg pada GDH
P.furiosus membentuk interaksi elektrostatik dengan residu karboksilat. Interaksi
ionik pada GDH P.furiosus, tidak hanya pada permukaan protein namun juga
bersilangan pada antarmuka subunit (subunit interfaces) menghasilkan suatu
jaringan (network) interaksi (Gambar II.2) yang tersusun atas 24 residu protein
terhubung melalui 18 interaksi elektrostatik (Yip dkk., 1998). Secara khusus
disarankan bahwa jaringan interaksi ionik merupakan suatu cara enzim
multisubunit untuk mempertahankan sifat stabilitas termalnya (Vetriani
dkk., 1998).
II.1.3 Ikatan Disulfida
Ikatan disulfida (jembatan disulfida) dipercaya mampu menstabilkan protein
hingga temperatur di atas 100oC (Kumar dkk., 2000) yaitu dengan menurunkan
entropi keadaan acak (unfolded state) protein, biasa disebut sebagai efek entropi
(Matsumura dkk., 1989). Hipotesis ini didasarkan pada pengamatan bahwa
putusnya jembatan disulfida seringkali diikuti dengan penurunan stabilitas
termodinamik, yaitu stabilitas suatu protein untuk mengalami denaturasi dapat
balik (reversible denaturation), yang akhirnya menyebabkan enzim atau protein
tersebut mengalami denaturasi irreversible (irreversible denaturation) (Wetzel
dkk., 1988). Pada umumnya, arkhea termofilik dan hipertermofilik memiliki
jembatan disulfida yang lebih banyak dibandingkan eubakteri termofilik.
Sedangkan termofil pada umumnya juga mempunyai jembatan disulfida yang
lebih banyak dibandingkan padanan mesofilnya (Mallick dkk., 2002). Sebagai
contoh serin protease dari arkhea hipertermofil Aquifex pyrohilus memiliki
delapan ikatan disulfida dibandingkan padanan mesofilnya yang sama sekali tidak
memiliki ikatan tersebut (Choi dkk., 1999). Sebagaimana halnya dengan
komposisi asam amino yang menimbulkan kontradiksi, beberapa peneliti lain
melaporkan bahwa ikatan disulfida tidak terlalu memainkan peran penting
terhadap stabilitas beberapa protein (Legio dkk., 1999; Tanaka dkk., 2004).
Setelah dilakukan komparasi, disarankan bahwa selain jumlah ikatan disulfida,
14
posisi atau lokasi ikatan disulfida turut berperan serta terhadap stabilitas termal
protein. Secara umum ikatan disulfida yang terkubur (burried) di dalam protein
lebih memiliki efek stabilisasi dibandingkan yang terekspos ke permukaan
(Kumar and Nussinov, 2001).
II.1.4 Interaksi Hidrofob
Di antara sekian banyak faktor penentu stabilitas termal protein, interaksi hidrofob
dipertimbangkan sebagai faktor dominan penentu kestabilan protein (Matthews,
1993). Hal ini didasari atas fenomena bahwa ketika protein melipat (folded)
sebagian besar residu non polar (~80%) akan terkubur di dalam interior protein,
terlindungi dari pelarut sehingga menyebabkan suatu protein dapat
mempertahankan integritasnya (Klapper, 1971). Fenomena tersebut dikenal
sebagai pengaruh hidrofobik (hydrophobic effect). Energi rata-rata untuk setiap
penambahan 1 gugus metil (-CH2-) yang terkubur di dalam protein menyebabkan
peningkatan energi stabilitas sebesar 1.3 ± 0.5 kkal/mol (Pace, 1992). Analisis
biokimia dengan menggunakan gel poliakrilamid yang mengandung urea pada
protein dimer WT maupun mutan-mutan 3-isopropilmalat dehidrogenase dari
E.coli dan T.thermophilus menyarankan bahwa interaksi hidrofobik menyebabkan
protein lebih sukar terdisosiasi karenanya interaksi tersebut berkontribusi terhadap
stabilitas protein (Kirino dkk., 1994). Studi mutagenesis acak maupun terarah
menunjukkan interaksi hidrofob memainkan peran penting terhadap stabilitas
termal chloramphenicol acetyltransferase (CAT-86) (Turner dkk., 1992; Chirakkal
dkk., 2001) dan RNase HI (Ishikawa dkk., 1993).
II.1.5 Interaksi Aromatik
Interaksi aromatik diketahui turut memiliki peran dalam menstabilkan protein
(Burley dan Petsko, 1985). Interaksi aromatik didefinisikan sebagai interaksi
cincin (ring interaction) antar centroid fenil dengan jarak 4.5-7.0 Å dan sudut
dihedral yang dibentuk ada pada kisaran 90o (Vieille dan Zeikus, 2001). Pada
umumnya, enzim dan protein yang diisolasi dari termofil akan memiliki jumlah
interaksi aromatik yang lebih banyak dibandingkan padanan mesofilnya dimana
lokasi interaksi aromatik tersebut turut berkontribusi terhadap stabilitas termal
15
protein (Kannan dan Vishveshwara, 2000). Besar energi bebas yang
disumbangkan terhadap stabilitas protein sangat tergantung pada lingkungan
disekitar residu aromatik tersebut. Interaksi aromatik yang terkubur di dalam
protein pada umumnya menyumbang sebesar -0.6 s/d -1.3 kkal/mol terhadap
stabilitas protein, 80% di antaranya mempengaruhi stabilitas struktur tersier
sedangkan 20% nya menstabilkan struktur sekunder protein (Serrano dkk., 1991).
Gambar II.3. Klaster aromatik yang teridentifikasi pada protein RnaseH dari termofil T.thermofilus HB8 (Kode PDB : 1RIL). (Ishikawa dkk., 1993; Kannan dan Vishveshwara, 2000)
Enzim termitase dari keluarga serin protease yang diisolasi dari
Thermoactinomyces vulgaris memiliki 16 residu aromatik saling berinteraksi
sedangkan homolog mesofilnya yaitu subtilisin dari B.amyloliquefaciens hanya
memiliki 6 pasang interaksi aromatik (Teplyakov dkk., 1990). Dua klaster
interaksi aromatik ditemui pada RNase H termostabil dari T. thermophilus HB8
(Gambar II.3), sedangkan padanan mesofilnya yang diisolasi dari E.coli tidak
memiliki klaster interaksi aromatik sama sekali (Ishikawa dkk.,1993). Rekayasa
protein juga menunjukkan bahwa penambahan interaksi aromatik serta klaster
aromatik mengakibatkan stabilitas termal protein meningkat (Serrano dkk., 1991).
Peningkatan stabilitas termal xylanase termolabil yang berasal dari mesofil
16
Streptomyces sp. S38 misalnya, dapat direkayasa melalui penambahan interaksi
aromatik terhadap enzim tersebut berdasarkan data interaksi aromatik padanan
termofilnya (Georis dkk., 2000).
II.1.6 Ikatan Hidrogen
Sebagian besar residu polar dalam keadaan tidak terlipat (unfolded state) akan
dikelilingi dan membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air (Myers dan Pace,
1996). Pada saat proses pelipatan (folding), sebagian besar residu polar (~65%)
dapat berada di dalam interior protein, umumnya antar residu polar tersebut akan
berinteraksi membentuk ikatan hidrogen intermolekul. Ikatan hidrogen
didefinisikan sebagai gaya intermolekul/intramolekul yang terjadi antara atom
yang memiliki keelektronegatifan tinggi dengan atom hidrogen yang terikat secara
kovalen pada suatu atom elektronegatif. Studi yang dilakukan oleh Stickle
dkk. (1992) menyarankan bahwa dominasi ikatan hidrogen umumnya dibentuk
oleh tulang punggung protein >C=O---H-N< (68.1%), sedangkan sisanya oleh
>C=O---rantai samping (10.9%), >N-H---rantai samping (10.4%), dan antar rantai
samping (10.6%) (Stickle dkk., 1992).
Gambar II.4. Normalisasi jumlah ikatan hidrogen pada sejumlah protein yang berasal dari mesofil, termofil dan hipertermofil (Szilàgyi dan Zàvodszky, 2000).
Selama hampir 40 tahun, ikatan hidrogen dipercaya hanya memberikan
sumbangan kecil terhadap stabilitas protein. Penelitian yang dilakukan terhadap
RNase T1 (Shirley dkk., 1992) menunjukkan bahwa ikatan hidrogen memainkan
17
peran yang setara dengan interaksi hidrofob terhadap stabilitas protein. RNase T1
memiliki 86 ikatan hidrogen intramolekul dengan panjang rata-rata setiap ikatan
sebesar 2.95Å. Melalui studi unfolding dan mutagenesis, keseluruhan ikatan
hidrogen yang terdapat pada RNase T1 berkontribusi sebesar 110 kkal/mol atau
rata-rata sebesar 1.3 ± 0.6 kkal/mol. Suatu nilai yang setara dengan kontribusi
interaksi hidrofob. Namun demikian, studi komparasi yang telah dilakukan
terhadap protein yang berasal dari mikroorganisme mesofil, termofil dan
hipertermofil (Gambar II.4) mengindikasikan bahwa belum adanya keterkaitan
antara jumlah ikatan hidrogen terhadap stabilitas termal protein (Szilàgyi dan
Zàvodszky, 2000).
II.1.7 Interaksi Antardomain
Studi terhadap enzim dan protein yang berasal dari hipertermofil mengindikasikan
bahwa pada umumnya enzim hipertermofil memiliki subunit yang lebih banyak
daripada padanan mesofilnya (Tabel II.2). Hal ini menyebabkan interaksi
antardomain atau intersubunit memainkan peran cukup signifikan terhadap
stabilitas termal enzim-enzim tersebut (Vieille dan Zeikus, 2001). Interaksi
antardomain atau intersubunit dapat berupa interaksi elektrostatik, interaksi
hidrofobik maupun interaksi-interaksi lain yang sudah disebutkan di atas. Jaringan
interaksi elektrostatik intersubunit dijumpai pada keseluruhan enzim GDH yang
berasal dari hipertermofil P.furiosus, P.kodakaraensis dan T.litoralis (Rahman
dkk., 1998; Vetriani dkk., 1998). Pentingnya interaksi subunit tersebut dievaluasi
melalui studi mutagenesis terarah (Rahman dkk., 1998; Lebbink dkk., 1999).
Studi mutagenesis yang sama dilakukan terhadap gliseragdehid 3-fosfat
dehidrogenase (GADPH) dari B.subtilis yang didasarkan atas urutan asam amino
yang dimiliki oleh GADPH termostabil dari B.stearothermophilus. Mutasi
Gly281Arg pada enzim GADPH dari B.subtilis menyebabkan stabilitas termal
enzim meningkat karena terbentuknya interaksi elektrostatik intersubunit
sebagaimana yang dimiliki oleh padanan termofilnya (Mrabet dkk., 1992).
18
Studi komparasi terhadap 3-isopropilmalat dehidrogenase dari E.coli dan
T.thermophilus mengindikasikan bahwa interaksi hidrofobik pada antarmuka
subunit enzim termofil lebih banyak dibandingkan padanan mesofilnya (Kirino
dkk., 1994; Moriyama dkk., 1995) sehingga menyebabkan dimer enzim termofil
lebih tahan terhadap denaturasi. Studi mutasi yang dilakukan terhadap faktor
elongasi EF-Ts dari T.thermofilus mengindikasikan bahwa inti hidrofob
(hydrophobic core) pada antarmuka subunit berperan dalam menstabilkan dimer
enzim sehingga stabilitas termal enzim meningkat (Nesper dkk., 1998).
Tabel II.2. Komparasi jumlah subunit pada enzim hipertermofil dengan mesofil (diambil dari : Vieille dan Zeikus, 2001)
Jumlah subunit
Sumber Enzim Hipertermofil enzim
Mesofil enzim
Pyrococcus woesei Methanothermus fervidus Pyrococcus furiosus S.solfataricus Thermotoga maritima T. maritima T. maritima T. maritima S. solfataricus Thermosphaera aggregans Methanopyrus kandleri
PGK PGK β-Glucosidase β-Glucosidase β-Glucosidase Anthranilate synthase Dihydrofolate reductase Phosphoribosyl-anthranilate isomerase β-Glycosidase β-Glycosidase MkCH
2 2 4 4 2 2
1 atau 2 2 4 4 3
1 1 1 1 1 2 2
II.1.8 Parameter Ekstrinsik
Sebagian besar sifat stabilitas termal enzim atau protein termofil dan hipertermofil
sangat dipengaruhi oleh faktor intrinsik / internal enzim itu sendiri. Namun
stabilitas termal beberapa protein hipertermofil intrasel dipengaruhi oleh faktor
lingkungan intrasel tersebut seperti konsentrasi garam, koenzim, substrat, keadaan
lingkungan, interaksi dengan medium maupun modifikasi pascatranslasi seperti
glikosilasi (Jaenicke dan Zàvodszky, 1990; Vieille dan Zeikus, 2001; Trivedi,
2006).
19
II.1.8.1 Stabilisasi oleh garam
Dua mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan pengaruh garam terhadap
stabilitas termal enzim atau protein, yaitu (i) melalui pengaruh khusus (specific
effect) dimana ion logam dari garam akan berinteraksi dengan protein sehingga
mempengaruhi stabilitas konformasi protein tersebut dan (ii) melalui pengaruh
umum (general effect) yang terkait dengan aktivitas pelarut (air).
Enzim xylosa isomerase, misalnya, mengikat dua ion logam (Co2+ atau Mg2+ atau
Mn2+). Satu kation dibutuhkan untuk menjalankan aktivitas sedangkan kation
lainnya untuk mempertahankan konformasi struktur (Marg dan Clark, 1990;
Whitlow dkk., 1990). Studi terhadap xylosa isomerase B.licheniformis
menunjukkan bahwa pengikatan terhadap ion logam (Tabel II.3) berkontribusi
meningkatkan stabilitas termal enzim (Vieille dan Zeikus, 2001).
Feredoxin dari Sulfolobus sp. memiliki 40 residu tambahan pada ujung-N yang
membentuk link dengan inti (core) protein yaitu sisi pengikatan Zn sehingga ion
Zn2+ akan terikat oleh 3 residu His yang terdapat pada ujung-N tambahan dan 1
residu Asp yang terdapat pada inti protein. Struktur tambahan ujung-N ini tidak
dijumpai pada protein yang sama dari eubakteria, namun hampir dimiliki oleh
semua mikroorganisme termoasidofil (Fujii dkk., 1997).
Tabel II.3. Pengaruh garam klorida terhadap kinetika dan stabilitas termal xylosa isomerase B.licheniformis. (Vieille dan Zeikus, 2001)
Logam t½
(menit) Ea inaktivasi (kkal/mol)
Tm(oC)
-
Mg2+
Co2+
Mn2+
24 (40oC)
35 (56oC)
18 (70.5oC)
50 (71.5oC)
92
144
279
257
50.3
53.3
73.4
73.6
Sejumlah peneliti mempelajari pengaruh garam terhadap aktivitas dan stabilitas
termal 5 metanogenik enzim yang berasal dari Methanopyrus kandleri,
20
salah satunya adalah formiltransferase (MkFT). Hasilnya mengindikasikan bahwa
ion-ion logam pada garam terutama K+ dan NH4+ menstabilkan enzim baik secara
kinetik maupun termal (Breitung dkk., 1992; Ermler dkk., 1997). Kajian struktur
terhadap MkFT menunjukkan bahwa permukaan tetramer enzim didominasi oleh
muatan negatif (48 residu asam versus 24 residu basa). Dari ke 48 residu asam
tersebut, 33 di antaranya adalah Glu dan sisanya adalah Asp. Residu-residu asam
di atas dapat membentuk ikatan hidrogen tunggal maupun jaringan ikatan
hidrogen dengan molekul air. Peningkatan konsentrasi NaCl di dalam larutan
enzim ternyata meningkatkan stabilitas termal MkFT. Hal ini diduga karena ion-
ion logam pada garam dapat menstabilkan muatan pada permukaan protein yang
didominasi oleh muatan negatif sebagaimana tersebut di atas (Ermler dkk., 1997).
II.1.8.2 Stabilisasi oleh substrat
Beberapa enzim distabilkan oleh substrat ataupun molekul efektor, terutama
menstabilkan sisi aktif enzim tersebut (Fabry dan Hensel, 1987; Koch dkk., 1997;
Andreotti dkk., 1995; Klingeberg dkk., 1995). Glutamat sintetase dari
B.stearothermophilus distabilkan dengan kehadiran ammonia, glutamat dan
adenosin trifosfat (ATP) pada temperatur 65oC, temperatur pada keadaan normal
dimana enzim ini menjadi tidak aktif. Dihidrofolat reduktase T.maritima dengan
kehadiran substrat NADPH menunjukkan peningkatan stabilitas termal 6x lipat
dibandingkan tanpa substrat (Wilquet dkk., 1998).
II.2 Simulasi Dinamika Molekul
Biomolekul seperti halnya protein dan asam nukleat merupakan sistem yang
dinamis. Pergerakan biomolekul tergantung pada orde waktu yang diamati, seperti
pergerakan lokal (local motion) meliputi fluktuasi atom, pergerakan rantai
samping dan loop dengan deviasi jarak antara 0.01 hingga 5 Å dan berlangsung
pada orde 10-15 hingga 10-1 detik; pergerakan tulang punggung yang relatif kaku
(rigid body motion) meliputi pergerakan untaian α-helix dan pergerakan domain
maupun subunitnya terjadi pada rentang waktu 10-9 hingga 1 detik dengan deviasi
pergerakan sebesar 1 hingga 10 Å dan pergerakan skala besar (large-scale motion)
21
dengan deviasi jarak di atas 5 Å dan berlangsung pada skala waktu 10-7 hingga
104 detik seperti transisi helix-coil, proses disosiasi dan asosiasi serta pelipatan
dan pembukaan lipatan biomolekul (folding and unfolding). Simulasi dinamika
molekul merupakan salah satu bagian dari pendekatan komputasi dimana atom
dan molekul dibiarkan saling berinteraksi selama periode waktu tertentu sehingga
tingkah laku sistem dapat teramati. Teknik ini secara meluas digunakan dalam
biologi struktur karena mampu memberikan informasi detail mengenai fluktuasi
dan perubahan konformasi biomolekul sampai ke tingkat atom. Teknik ini
dikembangkan untuk mempelajari stabilitas protein, perubahan konformasi,
pelipatan protein, pengangkutan ion pada sistem biologi, evaluasi struktur hasil
kristalografi sinar-X maupun NMR hingga perancangan obat (drug desain)
sehingga teknik ini berperan sebagai “jembatan” antara eksperimen dengan teori
(Roux dkk., 2004).
Metode dinamika molekul pertama kali diperkenalkan oleh Alder dan Wainwright
pada akhir tahun 1950. Pada awalnya digunakan untuk mempelajari permukaan
keras (hard spheres) (Alder dan Wainwright, 1957). Kemudian metode ini
digunakan untuk mempelajari argon cair dengan menggunakan potensial nyata
(realistic potential) (Rahman, 1964). Sedangkan simulasi dinamika molekul
terhadap sistem nyata baru dilakukan pada tahun 1974 (Rahman dan Stilinger,
1974) dan pada tahun 1977 teknik ini pertama kali digunakan untuk kajian
biomolekul dengan menggunakan bovine pancreatic trypsin inhibitor (BPTI)
(McCammon dkk., 1977).
Secara umum, simulasi dinamika molekul didasarkan atas integrasi numerik
terhadap persamaan Newton tentang gerak (F = ma). Gaya interaksi antar atom
dalam simulasi dinamika molekul hanya tergantung pada posisi atom dan tidak
bergantung kepada kecepatannya yang diekspresikan sebagai gradien dari energi
potensial.
22
II.2.1 Gaya Intramolekul
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa stabilitas protein dipengaruhi oleh
berbagai tipe interaksi intramolekul antar atom penyusunnya. Secara umum,
interaksi intramolekul diekspresikan sebagai gradien energi potensial (notasi V)
yang bekerja pada atom-atom dalam struktur ruang 3D (notasi R) (Becker dkk.,
2001). Dua kelompok interaksi dapat memberikan pengaruh terhadap energi
potensial molekul yaitu interaksi internal dan eksternal (Persamaan 1 dan Gambar
II.5). Interaksi internal didefinisikan sebagai interaksi kovalen antar atom yang
selanjutnya disebut sebagai interaksi ikatan (bonded interaction), meliputi uluran
ikatan, sudut ikatan dan sudut dihedral (Persamaan 2), sedangkan interaksi
eksternal merepresentasikan interaksi non-kovalen atau non-ikatan (non-bonded
interaction) (Persamaan 3). Interaksi non-ikatan merepresentasikan interaksi
fleksibel di antara pasangan atom/partikel. Dua jenis interaksi non-ikatan paling
umum yang dapat mengakibatkan perubahan energi potensial adalah interaksi
elektrostatik (potensial Coloumb) dan interaksi van der Waals (potensial Lennard-
Jones).
dengan nilai b adalah panjang ikatan, θ adalah sudut valensi, χ merupakan sudut
dihedral atau sudut torsi sedangkan rij merepresentasikan jarak antara atom i dan
atom j.
23
Gambar II.5. Model hipotetik untuk mengilustrasikan energi potensial pada persamaan di atas. Molekul A terdiri atas atom 1, 2, 3 dan 4 sedangkan molekul B terdiri atas atom 5. Interaksi internal pada atom A meliputi uluran ikatan (panjang ikatan b) antara atom 1 dengan 2, atom 2 dengan 3 dan atom 3 dengan 4 ; sudut ikatan (θ) yang melibatkan atom 1-2-3 dan atom 2-3-4 ; sudut dihedral atau torsi (χ) melibatkan atom 1-2-3-4. Interaksi ikatan seringkali disebut sebagai interaksi 1,2 ; sudut ikatan disebut sebagai interaksi 1,3 ; dan sudut dihedral disebut sebagai interaksi 1,4. Sedangkan molekul B akan berinteraksi eksternal dengan ke empat atom A didasarkan atas jarak yang terbentuk antara kedua molekul A dan B tersebut. Interaksi eksternal juga dapat terjadi di antara ke empat atom A (Becker dkk., 2001)
II.2.1.1 Uluran Ikatan (Bond Streching)
Gambar II.6. Uluran ikatan antara atom i dan j Uluran ikatan didefinisikan sebagai interaksi kovalen antara dua atom pada jarak
kesetimbangan tertentu yang dapat digambarkan sebagai hubungan lurus antara
atom i dan j dengan bo adalah panjang ikatan pada nilai kesetimbangan, b panjang
ikatan pada waktu tertentu dan Kb merupakan konstanta (Gambar II.6). Persamaan
24
energi potensial ikatan sebagaimana tertulis pada Persamaan (2) yang diturunkan
dari persamaan gaya harmonik (hukum Hooke) yaitu :
20
202
1 )()(
.
.
bbKllk
kldldVV
ldlkFdldV
lkF
b −=−=
==
===
∫ ∫
(4)
Uluran ikatan dapat berubah setiap saat yaitu dapat memanjang ataupun
memendek. Ketika uluran tersebut menjauhi nilai kesetimbangan (memanjang
atau memendek) maka nilai energi potensial ikatannya akan meningkat.
Sedangkan energi potensial terendah akan dicapai pada nilai jarak kesetimbangan.
Nilai konstanta Kb merepresentasikan jenis interaksi ikatan, semakin besar nilai
tersebut maka energi yang dibutuhkan untuk memutuskan ikatan juga semakin
besar, demikian sebaliknya. Jenis ikatan C-C misalnya memiliki nilai Kb sebesar
450 kkal/mol.Å2, sedangkan nilai Kb ikatan S-S sebesar 500 kkal/mol.Å2 (Brooks
dkk., 1983).
II.2.1.2 Sudut Ikatan
Interaksi sudut ikatan merupakan interaksi antara 3 atom i, j dan k (Becker dkk.,
2001) dimana setiap atom tersebut terhubung melalui ikatan kovalen (Gambar
II.7). Seperti halnya uluran ikatan, sudut ikatan dapat memanjang ataupun
memendek dengan energi potensial terendah terdapat pada suatu nilai
kesetimbangan. Persamaan energi potensial sudut ikatan (Persamaan 2)
diturunkan dari gaya harmonik (hukum Hooke) (Persamaan 5) dengan nilai θ
merupakan besar sudut pada setiap saat, θ0 adalah besar sudut pada posisi
kesetimbangan dan nilai Kθ merupakan suatu tetapan. Nilai θ0 dan Kθ tergantung
pada jenis atom yang menyusun sudut ikatan.
25
Gambar II.7. Interaksi sudut ikatan yang dibentuk antara atom i, j dan k
20
202
1 )()(
.
.
θθθθ
θθθθθ
θ
θ −=−=
==
===
∫ ∫Kk
dkdVV
dkFddV
kF
(5)
II.2.1.3 Sudut Dihedral
Interaksi sudut dihedral seringkali disebut juga sebagai rotasi ikatan (bond
rotation) yang terjadi akibat interaksi 4 atom yaitu i, j, k dan l. Potensial interaksi
sudut dihedral dituliskan pada persamaan (2) dengan nilai χ merupakan sudut
dihedral, Kχ adalah tetapan sudut dihedral, n merepresentasikan periodesitas atau
multiplisitas dan σ menunjukkan fasa. Nilai tetapan Kχ menunjukkan besarnya
halangan untuk melakukan rotasi, Kχ ikatan rangkap akan memiliki nilai yang
lebih besar daripada ikatan tunggal. Periodesitas n mengindikasikan jumlah siklus
rotasi dihedral per 360o. Untuk ikatan sp3-sp3 pada etana misalnya, nilai n adalah 3
sedangkan ikatan sp2-sp2 pada ikatan C=C akan memiliki nilai n sebesar 2 (Becker
dkk., 2001). Sedangkan nilai fasa σ menunjukkan kapan suatu sudut dihedral
mengalami nilai maksimum dan minimum.
26
II.2.1.4 Interaksi van der Waals (Potensial Lennard-Jones)
Interaksi van der Waals dapat terjadi antara dipol-dipol parsial yang terbentuk
akibat awan elektron yang tersebar acak di sekitar atom menyebabkan distribusi
muatan tidak merata (Gambar II.8). Ketika dipol-dipol parsial tersebut saling
mendekat maka akan terjadi tumpangsuh orbital elektron terakhir menyebabkan
gaya tolak antar atom menjadi dominan. Pengaruh tolakan ini merupakan fungsi
dari jarak antara kedua atom tersebut (r) dengan nilai sebanding 1/r12. Sebaliknya,
ketika dipol-dipol parsial tersebut menjauh, maka gaya tarik antar atom menjadi
dominan. Gaya tarik ini juga merupakan fungsi dari jarak antara kedua atom yang
nilainya sebanding dengan 1/r6. Karenanya interaksi van der Waals sering
dinyatakan sebagai potensial Lennard-Jones (LJ)6-12. Nilai energi ini akan
mencapai suatu nilai maksimal pada jarak tertentu. Persamaan LJ6-12 dituliskan
pada persamaan (3) dengan rij merepresentasikan jarak antara atom i dan atom j,
εij merupakan suatu konstanta yang menggambarkan kedalaman sumur potensial
(besarnya interaksi dispersi antara atom i dan j), Rminij merupakan jari-jari atom
van der Waals.
Gambar II.8. Salah satu jeni interaksi van der Waals dimana suatu molekul menginduksi pembentukan dipol molekul lain (Modifikasi dari Matthew dan van Holde, 1996).
II.2.1.5 Interaksi Elektrostatik (Potensial Couloumb)
Interaksi elektrostatik terjadi akibat adanya distribusi muatan yang tidak merata
pada suatu atom (Gambar II.9) mengakibatkan dapat terjadinya tarik menarik
antar atom ataupun saling tolak menolak. Besarnya energi interaksi ini dinyatakan
oleh persamaan potensial Coulomb (Persamaan 3) dengan rij merupakan jarak
27
antara atom i dan j, qi dan qj merupakan muatan partikel i dan j dan ε merupakan
kontansta dielektrik media.
Gambar II.9. Interaksi elektrostatik antara partikel i dan j (Modifikasi dari
Matthew dan van Holde, 1996). II.2.2 Parameter Simulasi
Dalam suatu sistem simulasi diasumsikan bahwa sistem awal didefinisikan
sebagai S(t0) dengan posisi setiap atom adalah r dan kecepatan v pada waktu t0
tersebut. Untuk setiap keadaan sistem S(t0 + ∆t), S(t0 + 2∆t), ..., S(t0 + n∆t)
dilakukan perhitungan gaya total setiap atom i (Fi(t0 + n∆t)) berdasarkan hukum
Newton I yang merupakan penjumlahan interaksi suatu atom dengan atom
lainnya. Setiap gaya atom i (Fi(t0 + n∆t)) kemudian diintegralkan sehingga
diperoleh nilai kecepatan vi yang baru vi(t0 + n∆t). Dengan menggunakan nilai
kecepatan yang baru maka posisi atom dapat ditentukan ri(t0 + (n+1)∆t).
Pemilihan tahapan waktu (timestep) ∆t pada proses simulasi didasarkan atas
pertimbangan akurasi dan ekonomis dimana nilai ∆t dapat mempengaruhi
kesalahan (error) yang terkait dengan algoritma integrasi di atas. Nilai ∆t besar
menyebabkan proses simulasi berjalan lebih cepat dengan tingkat kesalahan lebih
besar, demikian sebaliknya nilai ∆t kecil akan mengurangi tingkat kesalahan
perhitungan integrasi namun menyebabkan simulasi berjalan lebih lambat.
Terdapat banyak interaksi yang harus di evaluasi pada saat dilakukan perhitungan
gaya total setiap atom i (Fi(t0 + n∆t)). Pada prinsipnya, interaksi non-ikatan terjadi
untuk setiap pasangan atom. Waktu simulasi yang dibutuhkan untuk menghitung
interaksi non-ikatan akan sangat besar karenanya dilakukan efisiensi perhitungan
dengan menggunakan parameter jari-jari cutoff (radius cutoff) dan daftar tetangga
28
(neighbour list). Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa kontribusi terbesar
terhadap gaya total atom i berasal dari atom tetangganya. Jari-jari cutoff Rco
merupakan suatu nilai batas bagi partikel agar masuk ke dalam perhitungan gaya
total atom i (Fi(t0 + n∆t)) (Gambar II.10). Ketika cutoff digunakan maka setiap
pasangan atom harus diamati seberapa jauh terpisah dari Rco. Hal ini dinamakan
sebagai daftar tetangga yaitu suatu daftar yang memuat informasi semua atom
dalam lingkup cutoff dan juga atom-atom yang sedikit lebih jauh dari cutoff yang
akan diperbaharui setiap 10-20 tahap selanjutnya. Dengan metode ini, pencarian
pasangan-pasangan atom tidak dilakukan setiap tahapan waktu ∆t sehingga
mengurangi beban perhitungan.
Gambar II.10. Representasi jari-jari cutoff Rco suatu sistem dalam simulasi dinamika molekul (Modifikasi dari Becker dkk., 2001).
II.2.2.1 Sistem Protein-Pelarut
Proses solvasi / pelarutan biomolekul yang akan disimulasikan bertujuan agar
proses simulasi mendekati sistem nyata. Dua jenis sistem solvasi yang biasa
dipergunakan yaitu implisit dan eksplisit (Becker dkk., 2001). Pada sistem solvasi
implisit (Onufriev dkk., 2000; Onufriev dkk., 2004), molekul pelarut hanya
berperan sebagai medium dan tidak terlalu terlibat dalam suatu proses simulasi.
Pada sistem ini pengaruh pelarut dimodelkan dengan menggunakan pelarut
kontinyu (continum solvent model) dimana pelarut diganti dengan suatu tetapan
29
dielektrik kontinyu yang dirumuskan sebagai Persamaan Generalized Born (GB)
yaitu :
(6)
dengan rij adalah jarak antara partikel i dan j, qi dan qj merupakan muatan partikel
tersebut dan f(rij,aij) merupakan suatu fungsi yang bergantung pada jarak antar
partikel dan jari-jari Born aij.
Sedangkan pada sistem solvasi eksplisit, molekul protein secara nyata dikelilingi
oleh molekul air. Untuk mensimulasikan keadaan tersebut, proses simulasi
melibatkan jumlah atom yang tidak sedikit setidaknya sekitar 103-105 atom
bahkan lebih. Sistem tunggal dengan partikel atom sebanyak ini akan merasakan
pengaruh lingkungan terbatas. Karenanya, hampir keseluruhan simulasi dilakukan
dengan menerapkan kondisi batasan berkala (Periodic Boundary Condition/PBC)
(Leeuw dkk., 1980a). Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, proses simulasi
dilakukan dalam suatu kotak komputasi, dimana kotak tersebut secara virtual akan
dikelilingi oleh kotak-kotak replika dengan ukuran yang sama (Gambar II.11).
Hanya satu kotak saja yaitu ”kotak pusat” (ditandai dengan garis biru pada
Gambar II.11) yang akan disimulasikan karena kotak-kotak yang lain akan
memiliki tingkah laku yang sama. Dengan diterapkannya kondisi batasan berkala,
partikel-partikel dapat secara bebas berpindah dari satu kotak ke kotak lainnya
(Leeuw dkk., 1980b). Dalam suatu simulasi dengan kondisi batasan berkala setiap
partikel dipengaruhi oleh partikel-partikel lain yang terdapat dalam kotak yang
sama dan juga partikel-partikel lain disekitar kotak utama tersebut. Bentuk kotak
komputasi yang dapat digunakan adalah sedemikian rupa sehingga kotak tersebut
dapat ditumpuk di berbagai sisi. Untuk alasan efisiensi hanya kotak cembung
yang digunakan. Dalam ruang 3D terdapat lima tipe kotak yang memenuhi sifat-
(((( ))))
2
1 1 1
1 1
1 1 11 1
2
1 11
2 ,
N N Ni j i
elecij ii j i i
N Ni j
i i ij ij
q q qG
r a
q q
f r a
ε εε εε εε ε
εεεε
= = + == = + == = + == = + =
= == == == =
∆ = − − − −∆ = − − − −∆ = − − − −∆ = − − − −
= − −= − −= − −= − −
∑ ∑ ∑∑ ∑ ∑∑ ∑ ∑∑ ∑ ∑
∑∑∑∑∑∑∑∑
30
sifat di atas yaitu : kotak triklinik, prisma segi enam, 2 tipe dodekahedron dan
oktahedron terpotong (truncated).
Gambar II.11. Kondisi batasan berkala dalam penggambaran 2 dimensi (2D) pada proses simulasi (Modifikasi dari Becker dkk., 2001).
II.2.2.2 Parameter Temperatur dan Tekanan
Selain mengatur parameter solvasi, ditentukan pula parameter temperatur dan
tekanan ke dalam sistem yang akan disimulasikan sehingga mendekati keadaan
nyata. Sebagian besar pengukuran eksperimen dilakukan pada tekanan maupun
temperatur tetap, sehingga simulasi yang dilakukan pada isoterm-isobar akan
lebih relevan dengan data eksperimen. Kondisi ini disyaratkan dengan
mempertahankan secara tetap hubungan antara jumlah atom/partikel N, tekanan P
dan temperatur T; disebut sebagai NPT ansambel (ensemble). Sedangkan kondisi
lainnya dimana volume sistem dibuat tetap demikian juga dengan jumlah atom N,
dan temperatur T disebut sebagai NVT atau kanonikal ansambel.
II.2.2.2.1 Kontrol Temperatur dengan Metode Berendsen
Pada SDM, nilai temperatur dapat diketahui dari kecepatan pergerakan partikel
atom-atom di dalam sistem, sehingga untuk mengatur temperatur sistem maka
kecepatan pergerakan atom harus diatur dan dibatasi pada nilai tertentu. Untuk
31
mencapai kondisi tersebut, salah satu persamaan yang dapat digunakan untuk
mengatur temperatur adalah metode Berendsen (Berendsen dkk., 1984) dengan
cara memasang termostat pada sistem yang diset pada temperatur yang
diinginkan. Temperatur dijaga dengan mengalikan kecepatan dengan suatu faktor
λ sehingga sistem berfluktuasi pada T yang diinginkan. Besaran ∆t merupakan
tahapan waktu sedangkan parameter kopling τ merupakan besaran yang
menentukan seberapa kuat perbedaan antara temperatur termostat dan sistem
dikendalikan. Nilai τ besar menunjukkan kopling lemah sedangkan τ kecil
mengindikasikan kopling kuat (Persamaan 7).
(7)
II.2.2.2.2 Kontrol Temperatur dengan Metode Langevin Dynamics
Persamaan lain yang dapat digunakan untuk mengontrol temperatur sistem adalah
metode dinamika Langevin (Langevin dynamics) (Barth dan Schlick, 1998).
Metode ini didasarkan atas fenomena bahwa atom-atom pelarut dan zat terlarut
yang saling bergesekan dapat menyebabkan pergerakan acak yang dapat
mengganggu sistem. Karenanya persamaan Langevin (Persamaan 8) merupakan
koreksian atas hukum Newton kedua dengan adanya penambahan dua besaran
gaya yaitu gaya gesek dengan koefisien gesek γivi dan gaya acak iR yang
merupakan gambaran sifat acak dari pergerakan molekul pelarut pada temperatur
tertentu. Hubungan antara gaya gesek, gaya acak dan gaya internal partikel i dapat
dinyatakan sebagai berikut :
( )ti i i i i iF R m aγ ν− + = (8)
II.2.2.2.3 Kotrol Temperatur dengan Metode Noose-Hover
λτ
∆ = + −
12
bath1 1( )
TtT t
32
Mode Noose-Hover didasarkan atas fenomena bahwa kenaikan temperatur sistem
pada tekanan tetap akan menyebabkan sistem mengembang karenanya metode ini
disebut juga sebagai metode extended system (Ziff, 1998). Untuk mengurangi
pengaruh eksternal di luar sistem, maka sistem ditempatkan dalam suatu reservoir
panas (heat reservoir) yang diwakili sebagai derajat kebebasan tambahan s.
Reservoir panas tersebut akan mengatur temperatur T sistem sehingga nilainya
berfluktuasi disekitaran nilai target T tertentu. Adanya interaksi termal antara
reservoir dan sistem menghasilkan pertukaran energi kinetik di antara keduanya.
Sehingga reservoir akan memiliki energi potensial (Persamaan 9) dan juga energi
kinetik (Persamaan 10).
(f + 1)kBT ln s (9)
K = ½ Q (ds/dt)2 (10)
dengan f menyatakan jumlah derajat kebebasan dalam sistem, T adalah temperatur
yang diinginkan dan Q merupakan suatu parameter dengan dimensi energi x
waktu2. Parameter Q menentukan besarnya kopling antara sistem dengan reservoir
sehingga mempengaruhi fluktuasi temperatur dan aliran energi antara sistem dan
reservoir.
II.2.2.2.3 Kontrol Tekanan dengan Metode Berendsen
Pengaturan tekanan dilakukan pada sistem yang akan disimulasikan dengan tujuan
untuk menyamakan kerapatan molekul disemua bagian sistem khususnya simulasi
dengan kondisi PBC. Metode Berendsen disebut juga sebagai weak coupling,
dimana tekanan sistem dikendalikan dengan memasang pressure bath yang
identik dengan termostat (Berendsen dkk., 1984). Pada metode ini tekanan diatur
dengan faktor λ (Persamaan 11).
(11)
λ κτ∆= − −1 ( )bath
P
tP P
33
II.2.2.3 Minimisasi
Koordinat awal suatu biomolekul yang akan dipelajari umumnya diperoleh dari
hasil kristalografi sinar-X ataupun pemodelan struktur 3D, yang jarak antar satu
atom dengan yang lainnya terkadang sangat dekat ataupun sangat jauh dari posisi
kesetimbangan. Ketidaksesuaian geometri ini menyebabkan terjadinya interaksi
yang tidak disukai (bad van der Waals contact) maupun efek-efek sterik berenergi
tinggi yang nantinya mengakibatkan sistem yang disimulasikan menjadi tidak
stabil. Karenanya setelah parameter simulasi sistem disesuaikan sehingga
mendekati keadaan nyata, dilakukan proses minimisasi sehingga posisi geometri
atom yang tidak sesuai dapat dikembalikan sedemikian rupa menghasilkan energi
potensial terendah bagi sistem.
Gambar II.12. Permukaan energi potensial suatu protein (Modifikasi dari Matthew dan van Holde, 1996).
Berdasarkan tinjauan entropi (Gambar II.12), energi potensial permukaan protein
memiliki banyak sekali daerah minimum lokal (local minima), sehingga proses
minimisasi energi untuk mencari minimum global (global minima) merupakan
suatu proses yang tidak sederhana. Beberapa algoritma minimisasi telah
34
dikembangkan untuk mencari posisi geometri atom yang paling sesuai dengan
tingkat energi terendah. Namun karena proses melokalisasi minimum global
merupakan proses yang rumit sehingga pengembangan algoritma minimisasi
hingga saat ini hanya diarahkan pada pencarian minimum lokal terdekat. Secara
umum, terdapat 2 jenis algoritma minimisasi yaitu (i) yang tidak melibatkan
proses derivatif disebut sebagai algoritma orde ke 0 dan (ii) yang melibatkan
proses derivatif, terdiri atas algoritma orde pertama seperti metode steepest
descent (SD) dan conjugate gradient (CG) dan algoritma orde kedua misalnya
metode Newton Raphson. Adapun algoritma minimisasi yang paling banyak
digunakan dalam simulasi biomolekul adalah metode SD dan CG.
II.2.2.3.1 Metode Steepest Descent (SD)
Metode ini merupakan algoritma minimisasi yang paling sederhana (Deift dan
Zhou, 1993) yaitu dengan menggunakan turunan pertama untuk mencari
minimum lokal. Algoritma ini seringkali disebut sebagai perkiraan titik-pelana
(saddle-point approximation) dan memanfaatkan informasi tentang kemiringan
tetapi tidak bentuk kurva/kontur energi permukaan protein. Dalam melakukan
minimisasi, metode ini melakukan perulangan (iterasi) dimana posisi atom yang
baru pada langkah ke k (Rk) merupakan penjumlahan dari posisi sebelumnya Rk-1
dengan ukuran langkah yang diambil dan arah dari langkah ke k tersebut (IkSk).
Arah dari setiap langkah ke k yang dipilih (Sk) merupakan gradien dari energi
potensial (gk) namun dengan nilai berlawanan yang dapat dituliskan sebagai
berikut :
Sk = - gk (12)
Apabila konformasi / posisi geometri atom yang baru memiliki energi yang lebih
rendah dari sebelumnya, maka diasumsikan pendekatan arah langkah Sk yang
dipilih adalah benar dan ukuran langkah Ik kemudian diperbesar (biasanya 1.2
kalinya) untuk meningkatkan efisiensi algoritma. Sebaliknya, bila konformasi
terbaru memiliki energi yang lebih tinggi, mengindikasikan arah langkah Sk yang
dipilih menjauhi nilai minimum karenanya ukuran langkah Ik tersebut kemudian
35
diperkecil (umumnya 0.5 kalinya) sehingga algoritma minimisasi dapat
diperbaiki. Karena metode ini menggunakan ukuran langkah Ik yang terbatas
(finite) maka proses pencarian minimum lokal umumnya tidak pernah mendekati
nilai sebenarnya namun hanya berada pada batas kisaran nilai minimum saja.
Namun demikian algoritma SD ini cocok untuk mengendurkan konfigurasi awal
dengan banyak kontak buruk (bad contact) yg berenergi tinggi
II.2.2.3.2 Metode Conjugate Gradient (CG)
Sama halnya dengan SD, algoritma CG juga menggunakan turunan pertama untuk
mencari minimum lokal. Langkah awal CG sama seperti SD (Persamaan 12)
namun algoritma CG memperhitungkan langkah sebelumnya untuk melangkah
pada tahap berikutnya (Gambar II.13) karenanya metode ini dapat mengatasi
kekurangan metode SD dalam mengenali informasi bentuk kurva energi potensial
permukaan (Becker dkk., 2001). Untuk setiap iterasi berikutnya (k > 1), arah
langkah Sk diberi bobot rata-rata bk terhadap arah langkah sebelumnya Sk-1
(Persamaan 13).
Sk = - gk + bk Sk-1 (13)
Bobot rata-rata bk merupakan rasio kuadrat antara gradien saat ini gk dengan
gradien sebelumnya gk-1 yang dinotasikan sebagai berikut :
(14)
Dengan demikian metode CG lebih efisien dan lebih cepat mencapai minimum
lokal dibandingkan metode SD (Gambar II.13)
II.2.2.4 Ekuilibrasi
Ekulibrasi merupakan proses pemerataan kerapatan posisi atom di semua bagian
sistem sekaligus memberikan kondisi rileks pada molekul akibat pengekangan
ketika sistem dipanaskan. Tahapan ini umum dilakukan sebelum proses simulasi
dinamika molekul dilakukan pada temperatur tertentu.
1 1
.
.
k kk
k k
g gb
g g− −− −− −− −====
36
Gambar II.13. Representasi perbedaan algoritma minimisasi antara metode SD dan CG. Berdasarkan algoritma yang dikembangkan dalam mencari minimum lokal maka metode SD akan memilih jalur A-B-C atau A-D-E yang dapat mengakibatkan konformasi yang baru memiliki energi potensial yang lebih tinggi dibandingkan konformasi sebelumnya. Sedangkan jalur yang dipilih oleh metode CG dalam menentukan minimum lokal adalah A-B-O (Modifikasi dari Becker dkk., 2001).
II.2.3 Simulasi Dinamika Molekul Untuk Mempelajari Stabilitas Protein
Penggunaan SDM pertama kali untuk memberikan gambaran pergerakan dinamis
protein dilakukan oleh McCammon dkk. (1977) terhadap BPTI. Namun, teknik
SDM baru digunakan secara meluas dalam dua dekade terakhir untuk mempelajari
keterkaitan akan struktur fungsi protein dengan stabilitas termalnya (Bartolucci
dkk., 2003) karena metode ini dapat memberikan gambaran hingga ke tingkat
atom terhadap pergerakan dinamik protein (Pikkemaat dkk., 2002). Wampler dkk.
(1993) menggunakan pendekatan ini untuk mempelajari stabilitas termal
rubredoksin (Rd) dengan melakukan komparasi antara hipertermostabil Rd dari
P.furiosus dengan pedanan mesofilnya. Hasilnya menyarankan bahwa dinamika
37
mesofilik dan hipertermofilik Rd sangat berbeda dan stabilitas termal Rd
hipertermofil diduga karena kekompakkan (compactness) pada penataan
konformasi strukturnya. Stabilitas termal dan mekanisme unfolding dihidrofolat
reduktase dari E.coli dipelajari dengan melakukan simulasi pada temperatur tinggi
(Sham dkk., 2002). Studi dengan pendekatan yang sama dilakukan pula terhadap
faktor elongasi Tu dari mesofil dan termofil (Melchionna dkk., 2006) yang
memiliki penataan molekul yang sama. Hasil SDM menyarankan bahwa faktor
elongasi Tu dari termofil memiliki ikatan hidrogen intramolekul lebih banyak
serta interaksi elektrostatik lebih kuat daripada padanan mesofilnya. Pentingnya
interaksi elektrostatik terhadap stabilitas β-hairpin pada domain B1 protein G
turut dipelajari melalui pendekatan SDM (Tsai dan Levitt, 2002).
Selain itu, SDM digunakan secara meluas untuk menentukan residu-residu
potensial untuk dimutasi sehingga stabilitas termal protein dapat ditingkatkan.
Dengan demikian kesalahan rekayasa protein akibat mutasi acak dapat
diminimalkan (Pikkemaat dkk., 2002). Termostabilitas glukoamilase dari
A.awamori dapat ditingkatkan dengan menambahkan ikatan disulfida pada daerah
flexibel enzim maupun dengan mengganti residu Gly�Ala pada daerah
hidrofobik enzim tersebut. Rekayasa enzim ini dilakukan berdasarkan hasil yang
diperoleh dari simulasi dinamika molekul menggunakan software INSIGHT II
(Liu dan Wang, 2003). Perangkat lunak Amber versi 6.0 digunakan untuk
merekayasa termostabilitas thioredoksin dengan melakukan mutasi titik terhadap
residu asam amino bermuatan yang akan menstabilkan interaksi elektrostatik jarak
jauh pada permukaan protein (Bartolucci dkk., 2003).
II.3 DNA Polimerase
Transmisi materi genetik (DNA) dari satu generasi ke generasi berikutnya
merupakan suatu proses kompleks yang membutuhkan keakuratan tinggi dalam
upaya sel atau organisme untuk mempertahankan hidup. Keluarga DNA Pol
merupakan salah satu enzim penting yang terlibat dalam proses replikasi genom,
rekombinasi maupun perbaikan DNA (Albà, 2001) dengan tingkat fidelitas yang
tinggi dimana rata-rata frekuensi kesalahan sebesar 10-5 per nukleotida (Kunkel
38
dan Loeb, 1981; Kunkel dkk., 1994; Echols dan Goodman, 2003). Gen pengkode
enzim DNA Pol merupakan suatu housekeeping gene yang aktivitasnya diatur
sesuai dengan siklus hidup suatu sel ataupun melalui respon terhadap kondisi
lingkungan yang beragam yang akhirnya menyebabkan suatu sel dapat memiliki
beragam tipe DNA Pol (Friedberg dkk., 2000). DNA Pol E.coli merupakan enzim
Pol yang pertama kali ditemukan (Kornberg dkk., 1955) yang kemudian
terkarakterisasi ke dalam keluarga Pol I serta paling banyak dipelajari hingga saat
ini sebagai prototipe untuk reaksi polimerisasi di dalam sel (in vivo) (Joyce dan
Steitz, 1994; Patel dkk., 2001).
II.3.1 Klasifikasi DNA Polimerase
Klasifikasi enzim pada mulanya didasarkan pada analisis biokimia dengan
membandingkan kesamaannya dengan keluarga Pol yang terdapat di E.coli yaitu
kelompok Pol I, Pol II dan Pol III (Delarue dkk., 1990; Ito dan Braithwaite, 1991).
Analisis biokimia (Tabel II.4) yang dilakukan untuk proses pengklasifikasian
meliputi kemampuan melakukan reaksi polimerisasi terhadap berbagai substrat
seperti dNTP dan dideoksinukleotida (ddNTP), maupun sensitifitas terhadap
inhibitor seperti afidikolin dan N-ethylmaleimide (Perler dkk., 1996). Pada
kingdom eubakteria, Pol III merupakan enzim replikatif utama. Pol I berperan
dalam pemrosesan fragmen Okazaki pada untai DNA lagging serta perbaikan dan
pemotongan nukleotida (Kornberg dan Baker, 2005), sedangkan Pol II terlibat
dalam perbaikan cross-link DNA setelah teradiasi sinar ultra violet (UV)
(Rangarajan dkk., 1999).
Saat ini, setelah kloning gen telah dilakukan dengan baik, proses
pengklasifikasian enzim DNA Pol didasarkan atas kesamaan urutan asam amino
penyusunnya. DNA Pol dikelompokkan ke dalam tujuh keluarga yaitu A, B, C, D,
X, Y dan RT (Ito dan Braithwaite, 1991; Rothwell dan Waksman, 2005).
Klasifikasi keluarga A, B dan C secara berurutan didasarkan atas kesamaan urutan
asam amino yang dikode oleh gen polA (produknya adalah DNA Pol I), polB
(DNA Pol II) dan polC (DNA Pol III subunit α) dari E.coli (Braithwaite dan Ito,
1993).
39
Tabel II.4. Karakteristik klasifikasi DNA Polimerase (Perler dkk., 1996)
Sifat Pol I Pol II Pol III
Struktur protein
BM (kDa)
Subunit (kDa)
Jumlah molekul/sel
103
-
400
90
27.5 ; 10
130
Banyak
10-20
Aktivitas
Replikasi
Perbaikan DNA
3’�5’ eksonuklease
5’�3’ eksonuklease
Km dNTP
Inhibisi oleh ddNTP
Inhibisi oleh afidikolin
+
+
+
+
Rendah
-
-
-
+
+
-
Rendah
+
+
+
-
+
-
Tinggi
+
Keterangan : (+) ada aktivitas, (-) tidak ada aktivitas / tidak memiliki subunit
Pol I E.coli, Pol I Bacillus, Pol I T.aquaticus, Pol γ mitokondria, T5 (Delarue
dkk., 1990) dan T7 DNA polimerase (Doublie dkk., 1998) termasuk ke dalam
keluarga Pol A (Braithwaite dan Ito, 1993). Keluarga Pol A memiliki tiga
kelompok residu asam amino lestari yang disebut sebagai motif, yaitu motif A, B
dan C. Motif A dengan urutan asam amino DYSQIELR dan motif C (QVHDEL)
terdapat pada subdomain telapak yang merupakan sisi katalitik (Albà, 2001),
sedangkan motif B yang memiliki residu lestari lisin berperan dalam pengikatan
dNTP. Motif ini terletak pada subdomain jemari (Pandey dkk., 1994; Astatke
dkk., 1998). Motif A tersusun atas anti-paralel β-sheet diikuti dengan α-helix
dengan konstituen utama merupakan asam amino hidrofobik, sedangkan motif B
tersusun atas α-helix dan motif C pada umumnya berbentuk dua anti-paralel β-
sheet (Patel dkk., 2001)
40
Keluarga Pol B diwakili oleh DNA Pol eukarya meliputi pol α, pol δ, dan pol ε
(Hubscher dkk., 2002), DNA Pol virus, DNA Pol bakteriofaga T4 (Wang
dkk., 1996) dan RB69 (Wang dkk., 1997). Analisis homologi asam amino
menunjukkan bahwa keluarga Pol B memiliki 6 daerah lestari. Daerah I (motif
YGDTDS) dan II (DxxSLYPS), yang juga terletak pada sisi aktif enzim,
diasumsikan ekivalen dengan motif A dan C keluarga Pol A (Patel dan Loeb,
2000). Daerah III merupakan daerah dengan residu asam amino lestari yang
berperan penting dalam pengikatan dNTP yang terletak pada subdomain jemari.
Daerah IV terletak pada ujung-N yang merupakan bagian dari sisi aktif
eksonuklease 3’�5’. Dua daerah lestari lainnya yaitu V dan VI, terletak pada
subdomain ibu jari dan jemari (Hubscher dkk., 2002).
Berdasarkan perbandingan urutan asam amino, keseluruhan DNA Pol III
eubakteria dikelompokkan ke dalam keluarga polimerase C (Steitz, 1999) di
antaranya E.coli DNA Pol III, Salmonella typhimurium DNA polymerase III α
subunit (Lancy dkk., 1989) dan B.subtilis DNA polymerase III (Hammond dkk.,
1991). Keluarga Pol C ini merupakan enzim replikasi utama, karenanya
membutuhkan interaksi dengan berbagai protein lain yang terlibat dalam proses
replikasi. Holoenzim tersebut akan membentuk kompleks enzim yang terdiri atas
~10 subunit di antaranya subunit α, ε, θ, γ, dan δ (Maki and Kornberg, 1988).
Subunit α merupakan subunit enzim yang memiliki aktivitas polimerisasi dan
berinteraksi secara kuat dengan subunit ε yang mempunyai aktivitas eksonuklease
3’�5’ (Kelman dan O’Donnell, 1995).
Sedangkan keluarga D didasarkan pada kesamaan dengan urutan asam amino
dengan Pol II arkea (Pol D). Keluarga Pol D terkarakterisasi sebagai enzim
heterodimer. Subunit terkecilnya menunjukkan homologi tinggi dengan DNA Pol
δ, sedangkan subunit terbesarnya diduga sebagai pusat aktif enzim (Cann dkk.,
1998). Karakterisasi DNA Pol D dari P.furiosus menunjukkan bahwa enzim ini
memiliki aktivitas polimerase serta eksonuklease 3’�5’ (Uemori dkk., 1997).
41
Polimerase σ eukarya (Burgers dkk., 2001), terminal deoksinukleotidiltransferase
(TdT) DNA Pol (Delarue dkk., 2002) dan Pol X dari virus demam swine Afrika
(Martins dkk., 1994) menunjukkan adanya kesamaan struktur, namun berbeda
dengan keluarga Pol yang lain karenanya dikelompokkan keluarga DNA Pol X
(pol β eukariot) (Ito dan Braithwaite, 1991). Keluarga DNA Pol X ini merupakan
bagian dari superkeluarga (superfamily) nukleotidiltransferase (Aravind dan
Koonin, 1998). Keluarga Pol X berperan dalam pemotongan perbaikan basa (base
excision repair / BER). Enzim ini terorganisasi sedemikian rupa sehingga domain
ujung-N (8kDa) terhubung dengan domain ujung-C (31 kDa) melalui suatu hinge
yang hipersensitif terhadap protease. Domain ujung-N ini memiliki aktivitas 5’-
deoksiribosa fosfatase (dRP) yang dibutuhkan untuk proses BER, sedangkan
domain besar ujung-C memiliki aktivitas polimerisasi (Matsumoto dan
Bogenhagen, 1991).
Radiasi UV dan juga mutagen lainnya dapat menyebabkan kerusakan pada DNA
seperti hilangnya basa nukleotida maupun terjadinya silang-jalur DNA. Keluarga
Pol Y merupakan keluarga Pol terbaru yang ditemukan di berbagai organisme
mulai dari E.coli hingga manusia yang berfungsi untuk mengenali berbagai
kerusakan DNA dan kemudian mem-bypass-nya dengan memperlambat garpu
replikasi (Johnson dkk., 1999). Sebagian besar daripadanya merupakan error-
prone seperti UmuC/UmuD (DNA Pol IV dan V) dan DinX (damage-induced)
dari E.coli (Tang dkk., 1999) serta Rad30, DinB, REV1 dari eukarya (Friedberg
dkk., 2000).
Pada mulanya Reverse Transcriptase (RT), RNA-dependent RNA polimerase dan
eukarya telomerase dikelompokkan ke dalam keluarga pol X (Ito dan Braithwaite,
1991). Bertambah banyaknya RT yang berhasil diisolasi dan kemampuannya
untuk menggunakan substrat yang bervariasi (RNA/RNA, DNA/RNA,
RNA/DNA, DNA/DNA, pengklasifikasian DNA Pol terkini mengkelompokannya
ke dalam keluarga tersendiri yaitu keluarga RT (Rothwell dan Waksman, 2005).
Struktur protein keluarga RT bervariasi, virus human immunodeficiency (HIV) RT
misalnya merupakan suatu protein dimer yang terdiri atas subunit 1 dan 2,
42
sedangkan Moloney murine leukemia (MULV) RT merupakan suatu monomer.
Keseluruhan keluarga RT ini memiliki domain polimerase dan juga domain
RnaseH yang diperlukan untuk memotong RNA virus selama proses sintesis
DNA.
II.3.2 Struktur dan Fungsi DNA Polimerase
Fragmen Klenow (KF) Pol I E.coli merupakan struktur kristal DNA Pol yang
pertama kali ditentukan (Ollis dkk., 1985) dan setelah itu struktur DNA Pol
lainnya telah berhasil ditentukan seperti DNA Pol I Taq (Eom dkk., 1996), T7
DNA Pol (Sousa dkk., 1993), RB69 DNA Pol B (Wang dkk., 1997), DNA Pol
dari spesies Thermococcus (Hopfner dkk., 1999; Rodriguez dkk., 2000), DNA Pol
dari hipertermofil arkhea (Hashimoto dkk., 2001). Hingga saat ini, koleksi
struktur kristal DNA Pol yang tersimpan di PDB telah mencapai 274 buah kristal.
Secara umum, selain memiliki aktifitas polimerisasi yang terdapat pada domain
polimerase, enzim ini juga memiliki aktivitas lain seperti perbaikan DNA dan
pelepasan primer Okazaki yang biasanya terdapat pada domain berbeda.
Keseluruhan studi struktur kristal ditunjang dengan analisis biokimia
menunjukkan bahwa DNA Pol selain memiliki domain polimerase 5’�3’, juga
memiliki domain eksonuklease 3’�5’ dan atau eksonuklease 5’�3’. Jika kedua
aktivitas ini dimiliki, maka domain eksonuklease 5’�3’ akan terdapat pada
daerah ujung-N (N-terminal), domain polimerase 5’�3’ akan terdapat pada
daerah ujung-C (C-terminal), sedangkan domain eksonuklease 3’�5’ akan
terletak di antaranya sehingga disebut sebagai domain penghubung (intervening)
(Joyce dan Steitz, 1994). Gambar II.14 menunjukkan struktur kristal Taq Pol I
dengan ketiga domain yang dimilikinya dalam dua orientasi posisi domain
eksonuklease 5’�3’ (Kim dkk., 1995; Urs dkk., 1999). Beberapa Pol lainnya
memiliki domain tertentu yang dibutuhkan untuk berinteraksi dengan sub unit
lain, seperti Pol α eukarya yang juga memiliki sub domain zinc finger untuk
berinteraksi dengan kompleks polimerase-primase (Albà, 2001).
43
Gambar II.14. Struktur Kristal 3D dari Taq Pol I. Enzim ini merupakan enzim multifungsi dan multidomain yang terdiri atas : domain eksonuklease 5’�3`, domain eksonuklease 3’�5’ dan domain polimerase 5’�3’. Pada domain polimerase terdapat tiga subdomain yaitu: ibu jari (thumb), jemari (fingers), dan telapak (palm). Visualisasi dilakukan dengan perangkat lunak VMD terhadap 1TAQ (Kim dkk., 1995) dan 1CMW (Urs dkk., 1999). α-helix digambarkan dalam bentuk helix berwarna ungu dan β-sheet dalam bentuk anak panah berwarna kuning.
II.3.2.1 Aktivitas dan Domain Eksonuklease 5’�3’
Aktivitas ini sering disebut juga sebagai 5’nuklease dan diperlukan untuk proses
translasi celah (nick translation) yaitu terputusnya ikatan fosfodiester pada salah
satu untai DNA yang menyebabkan kerusakan DNA, maupun proses
pendegradasian RNA primer pada fragmen Okazaki (Kaiser dkk., 1999).
Penjajaran urutan asam amino pada daerah eksonuklease 5’�3’ dari beberapa
kelas polimerase eubakteri dan bakteriofaga, serta komparasi data struktur domain
ini dari T5 (Ceska dan Sayers, 1998), Taq Pol I (Kim dkk., 1995) dan T4 RNase H
(Mueser dkk., 1996), menunjukkan adanya enam motif lestari yaitu motif A, B, C,
D, E dan F (Joyce dkk., 1982; Perler dkk., 1995) sebagaimana terangkum pada
Tabel II.5 Sisi aktif domain ini terdiri atas sejumlah residu karboksilat yang
diduga berperan dalam pembentukan ikatan koordinasi dengan ion logam untuk
44
menjalankan aktivitasnya. Sedangkan untuk kelas eukarya dan arkhea, aktivitas
5’nuklease disebut dengan flap endonuklease (FEN1) karena kesamaan struktur
dan aktivitas, namun berbeda urutan asam aminonya (Turchi dkk., 1994; Bambara
dkk., 1997).
Tabel II.5. Motif lestari yang terdapat pada domain eksonuklease 5’�3’ (Perler dkk., 1996).
Motif Urutan asam amino
A
B
C
D
E
F
leu
ile
phe
GLU
ile
leu
LEU
val
ARG
ala
ile
Xaa
leu
leu
Xaa
ASP
ser
GLY
val
Xaa
GLU
ASP
Xaa
ASP
ASP
PHE
Xaa5
val
ASP
Xaa2
GLY
Xaa
TYR
Xaa
lys
ser
ASP
LYS
ala
ASP
ASP
Xaa2
Xaa
asn
ARG
leu
Asam amino yang ditulis dengan huruf kapital merupakan asam amino yang selalu ada pada posisi tersebut; asam amino yang dimulai dengan huruf kecil merupakan asam amino yang umum dijumpai pada posisi tersebut. Xaa menunjukkan asam amino lain atau tidak ada asam amino
II.3.2.2 Aktivitas dan Domain Eksonuklease 3’�5’
Pada umumnya, domain ini terdapat pada rantai polipeptida yang sama dengan
domain polimerase tetapi dengan aktivitas yang saling berlawanan dimana
aktivitas eksonuklease 3’�5’ ini dibutuhkan untuk pembacaan kesalahan
(proofreading) ketika reaksi polimerisasi berlangsung (Kroutil dkk., 1996).
Namun pada beberapa keluarga Pol, misalnya Pol C E.coli, aktivitas eksonuklease
ini terdapat pada sub unit terpisah dari enzim inti (core enzyme) (Perler dkk.,
1996). Data struktural menunjukkan bahwa jika domain ini terdapat pada
polipeptida yang sama dengan polimerase, maka sisi aktif kedua domain terpisah
sekitar 3 Å (Ollis dkk., 1985; Freemont dkk., 1988), mengindikasikan bahwa
ketika polimerisasi berlangsung terdapat 2 jenis pengikatan terhadap DNA
cetakan-primer (Gambar II.15) tergantung apakah enzim sedang melakukan
pemasangan atau pengeditan nukelotida (Joyce dan Steitz, 1994; Steitz, 1999).
45
Kombinasi hasil penjajaran urutan asam amino, data struktural dan mutagenesis
terhadap sejumlah DNA Pol menunjukkan adanya tiga motif lestari (Tabel II.6)
yaitu motif ExoI, ExoII dan ExoIII. Adapun mekanisme reaksi eksonuklease
3’�5’ diduga dipengaruhi oleh pembentukan ikatan koordinasi dengan dua ion
logam. Studi terhadap KF menunjukkan bahwa mutasi pada residu aspartat
(Asp355, Asp424, Asp501) menyebabkan penurunan afinitas terhadap ion logam
dan secara langsung menurunkan aktifitas eksonuklease 3’�5’ (Beese dan Steitz,
1991; Kroutil dkk., 1996).
Gambar II.15. Model yang diajukan untuk proses polimerisasi maupun pengeditan pada DNA Pol. Sisi aktif eksonuklese 3’�5’ akan mengikat DNA untai tunggal sedangkan sisi aktif polimerase akan mengikat DNA untai ganda (Joyce dan Steitz, 1994; Steitz, 1999).
Tabel II.6. Motif lestari yang terdapat pada domain eksonuklease 3’�5’ (Perler dkk., 1996)
Xaa menunjukkan asam amino yang lain atau tidak ada
Motif Urutan asam amino
ExoI
ExoII
ExoIII
Asp Xaa Glu
Asn Xaa2-3 (Phe/Tyr)Asp
Tyr Xaa3 Asp
46
II.3.2.3 Aktivitas dan Domain Polimerase 5’�3’
Komparasi struktur 3D DNA Pol yang telah ditentukan menunjukkan bahwa
domain polimerase memiliki morfologi seperti tangan kanan, terdiri atas tiga
subdomain yaitu jemari (fingers), ibu jari (thumb) dan telapak (palm) serta terletak
pada daerah ujung-C enzim (Joyce dan Steitz, 1994). Subdomain jemari tersusun
atas struktur α-helix dan memiliki peranan untuk mengikat nukleotida serta
mengorientasikan DNA cetakan untai tunggal agar bersilangan dengan ujung
primer. Kombinasi data struktural dan studi mutagenesis menyarankan bahwa
residu Arg754, Lys758 dan Phe762 yang terdapat pada subdomain jemari pada
KF berperan penting dalam pengikatan dNTP (Joyce, 1997; Astatke dkk., 1998).
Secara umum pada subdomain ini terdapat 2 jenis struktur sekunder protein :
keseluruhan α-helix seperti pada KF (Ollis dkk., 1985), Taq Pol I (Kim dkk.,
1995), RB69 dan campuran struktur α-helix dan β-sheet yang dijumpai pada
keluarga Pol yang menggunakan RNA sebagai cetakan seperti Reverse
Transkriptase.
Subdomain ibu jari pada umumnya terdiri atas dua untai antiparalel α-helix
dimana setiap α-helix tersebut berinteraksi dengan lekuk minor (minor groove)
dari produk templat-primer. Subdomain ini berperan dalam memposisikan untai
ganda DNA, mengikat lekuk minor poduk DNA yang dihasilkan serta
menentukan prosesivitas enzim (ukuran sejumlah nukleotida yang ditambahkan
oleh DNA Pol sebelum enzim tersebut terdisosiasi dari substratnya) (Joyce dan
Steitz, 1994; Kelman dkk., 1998). Sedangkan pada subdomain telapak yang
berbentuk beberapa β-sheet anti-paralel, terdapat sisi katalitik enzim, sisi
pengikatan terhadap ujung 3’ primer serta sisi lain yang berkontribusi terhadap
pengikatan dNTP (Patel dkk., 2001).
Keseluruhan DNA polimerase mengkatalisis reaksi polimerisasi yang sama yaitu
menambahkan dNTP pada ujung 3’ primer, diringkaskan sebagai berikut :
DNAn + dNTP ↔ DNAn+1 + PPi
47
Di dalam sel, reaksi di atas bersifat irreversible karena kehadiran pirofosfatase
anorganik yang akan menghidrolisis pirofosat yang dihasilkan pada proses di atas.
Reaksi polimerisasi melibatkan serangkaian tahapan meliputi pengikatan primer-
DNA cetakan, pengikatan dNTP, perubahan konformasi, tahap reaksi kimia,
perubahan konformasi tahap kedua, pelepasan pirofosfat, pelepasan primer dari
DNA cetakan ataupun terjadinya pengulangan tahapan polimerisasi (Perler dkk.,
1996). Hasil studi struktur fungsi Pol yang ada (Joyce dan Steitz, 1994; Joyce dan
Steitz, 1995; Steitz, 1999) mengindikasikan bahwa reaksi transfer fosforil
dikatalisis oleh dua ion logam. Ion logam 1 berinteraksi dengan ujung 3’ OH dari
primer sedangkan ion logam 2 memfasilitasi lepasnya gugus β- dan γ-fosfat
menghasilkan pirofosfat. Kedua ion logam ini juga diduga berperan dalam
menstabilkan struktur dan muatan keadaan transisi pentakovalen yang terjadi pada
setiap tahap reaksi polimerisasi (Gambar II.16). Dalam keluarga Pol I dan Pol X,
Mg2+ merupakan ion logam yang umum terikat pada residu asam karboksilat
lestari yang hanya terpisah pada jarak 4 Å (Joyce dan Steitz, 1995).
Gambar II.16. Mekanisme reaksi polimerisasi yang dimediasi oleh dua ion logam divalent. Kedua ion logam (Mg2+) akan terikat pada enzim melalui residu asam karboksilat lestari. (Joyce dan Steitz, 1994; Joyce dan Steitz, 1995).
48
II.3.3 DNA Polimerase I (Pol I)
DNA Pol yang paling banyak diteliti hingga saat ini adalah DNA Pol dari
keluarga Pol A yaitu DNA Pol I yang memiliki kelimpahan yang meruah di dalam
sel (400 buah) serta dijadikan prototipe untuk mempelajari reaksi polimerisasi in
vivo (Joyce dkk., 1982 ; Patel dkk., 2001). Selain itu, enzim ini digunakan secara
meluas dalam riset bioteknologi di antaranya untuk pengembangan teknik PCR
yang dapat diterapkan dalam banyak bidang meliputi diagnosis medik, forensik,
biologi molekul maupun rekayasa genetika (Vieille dan Zeikus, 2001). Di antara
sejumlah DNA Pol I yang telah diisolasi dari berbagai jenis mikroorganisme, Pol I
E.coli dan Taq Pol I dari T.aquaticus merupakan Pol I yang terkarakterisasi paling
lengkap.
II.3.3.1 DNA Pol I E.coli
DNA Pol I E.coli merupakan enzim Pol yang pertama kali ditemukan dan
terkarakterisasi sebagai enzim multi fungsi dengan aktivitas eksonuklease 5’�3’,
eksonukelase 3’�5’ dan polimerase 5’�3’ (Kornberg dkk., 1955). Analisis
biokimia menunjukkan bahwa setiap aktivitas terdapat pada domain tersendiri
meskipun enzim ini merupakan polipeptida tunggal. Proteolisis dengan enzim
subtilisin atau tripsin terhadap DNA Pol I E.coli menghasilkan dua fragmen yaitu
fragmen kecil yang memiliki aktivitas eksonuklease 5’�3’ dan fragmen besar
yang memiliki aktivitas eksonukelase 3’�5’ dan polimerase 5’�3’ (Klenow dan
Henningsen, 1970). Fragmen besar ini selanjutnya disebut sebagai fragmen
Klenow (KF) dengan BM 68 kDa. Hingga saat ini, struktur kristal DNA Pol I utuh
dari E.coli belum berhasil ditentukan (Karantzeni dkk., 2003). Sedangkan struktur
kristal KF pertama kali ditentukan pada tahun 1985 (Ollis dkk., 1985) dengan
resolusi 3.3 Å (kode PDB : 1DPI) dan kemudian diperhalus lagi dengan resolusi
2.6 Å (kode PDB : 1KFD) (Beese dkk., 1993). Pada subdomain telapak terdapat
sisi aktif yang terdiri atas empat residu asam amino karboksilat yaitu Aspartat
pada posisi 705 dan 882 (Polesky dkk., 1990; Polesky dkk., 1992), Glutamat pada
posisi 710 dan 883 (Steitz, 1999; Gangurde dkk., 2000) serta berperan juga dalam
mengikat dNTP (Joyce dan Steitz, 1994; Patel dkk., 2001). Sebelum
49
diperkenalkannya DNA Pol termostabil, KF diaplikasikan untuk reaksi PCR
(Jacobsen dkk., 1974) dengan tingkat kesalahan pemasangan nukleotida rata-rata
10-5 hingga 10-6 (Bebenek dan Kunkel, 1990). Namun aplikasi KF untuk proses
PCR rutin mengalami kendala karena enzim ini bersifat termolabil dan memiliki
aktivitas polimerase optimum pada 30-37oC, sehingga alikuot enzim harus selalu
ditambahkan untuk setiap siklus PCR (Villbrandt dkk., 2000).
II.3.3.2 DNA Pol I ITB-1
Bakteri-bakteri termofilik dari berbagai sumber alam lokal telah diisolasi
(Soeharto, 2000; Nurbaiti, 2002; Indrajaya dkk., 2003). Salah satunya adalah
bakteri termofilik yang diisolasi dari sumber air panas Cimanggu, Jawa Barat.
Dari hasil analisis 16S rRNA disarankan bahwa bakteri yang diisolasi termasuk ke
dalam kelas Geobacillus thermoleovorans (Akhmaloka dkk., 2000;
Pramono, 2004). Kloning dan ekspresi gen pengkode enzim DNA Polimerase
yang diisolasi dari bakteri tersebut telah berhasil dilakukan (Pramono, 2004;
Akhmaloka dkk., 2007). Enzim ini diberi nama DNA Pol I ITB-1. Dari studi
homologi telah diketahui bahwa enzim DNA Pol I ITB-1 memiliki homologi yang
tinggi dengan enzim DNA Pol I B.caldolyticus (99%) dan juga dengan DNA Pol I
B.stearotermophillus (89%), dimana struktur kristal dari protein ini telah
diketahui (Akhmaloka dkk., 2002). Tingginya tingkat homologi menunjukkan
adanya ekivalensi fungsi dari setiap domain dengan kedua DNA Pol I
B.caldolyticus dan B.stearotermophillus yang terkarakterisasi memiliki domain
eksonuklease 5’�3’, eksonuklease 3’�5’ dan polimerase 5’�3’. Sifat-sifat
biokimia dan kajian struktur fungsi DNA Pol I ITB-1 masih terus dipelajari. Hasil
analisis biokimia menunjukkan bahwa temperatur dan pH aktivitas polimerase
optimum enzim ini sebesar 65oC dan pH 7.4 (Akhmaloka dkk., 2007). Struktur 3D
DNA Pol I ITB-1 telah diramalkan menggunakan program Predict Protein dan
SWISS-MODEL, dengan memanfaatkan struktur kristal BF B.stearotermophillus
sebagai cetak biru (Kiefer dkk., 1997).
50
II.3.3.3 DNA Pol I T.aquaticus
Enzim DNA Pol I dari termofil T.aquaticus (Taq Pol I) pertama kali diisolasi pada
tahun 1980 oleh Kaledin dkk., selanjutnya gen pengkode enzim tersebut diklon
dan diekspresikan di E.coli, dan bentuk aktif enzim ini merupakan polipeptida
tunggal dengan BM 93.9 kDa (Kaledin dkk., 1982; Lawyer dkk., 1989). Hasil
homologi asam amino menunjukkan bahwa enzim Taq Pol I memiliki identitas
38% dengan padanan E.coli Pol I (Suzuki dkk., 2000). Berdasarkan analisis
biokimia dan studi struktur 3D Taq Pol I, enzim ini terkarakterisasi atas 3 domain
yaitu domain eksonuklease 5’�3’, eksonuklase 3’�5’ dan polimerase 5’�3’
(Kim dkk., 1995; Eom dkk., 1996; Li dkk., 1998). Komparasi struktur 3D Pol I
E.coli dengan Taq Pol I menunjukkan adanya kesamaan struktur terutama pada
domain polimerase dengan struktur serupa tangan kanan dan terdiri atas
subdomain jemari, ibu jari dan telapak (Ollis dkk., 1985; Korolev dkk., 1995).
Perbedaan secara signifikan ditemui pada domain eksonuklease 3’�5’ yang
merupakan domain penghubung (intervening domain) dan sebagai
konsekuensinya aktivitas pembacaan kesalahan eksonuklease 3’�5’ pada enzim
Taq Pol I menjadi tidak aktif (Lawyer dkk., 1989; Kim dkk., 1995 ; Korolev dkk.,
1995). Proteolisis terhadap Taq Pol I menunjukkan hasil yang serupa dengan Pol I
dari E.coli, yaitu dihasilkannya fragmen ujung-N kecil dan fragmen besar yang
terdiri atas 2 domain yaitu domain eksonuklease 3’�5’ dan polimerase 5’�3’.
Fragmen besar ini disebut sebagai fragmen Stoffel atau Klenow Taq I (Klentaq)
(Barnes, 1994; Korolev dkk, 1995). Stabilitas termal Taq Pol I maupun Klentaq
yang lebih tinggi daripada Pol I E.coli menyebabkan enzim ini dipergunakan
secara meluas dalam bidang bioteknologi seperti pengembangan teknik PCR dan
penentuan urutan nukleotida (Barnes, 1994; Kermekchiev dkk., 2003). Hanya
saja, tingkat kesalahan pemasangan nukleotida enzim ini relatif lebih tinggi yaitu
sekitar 2 x 10-4 hingga 1.2 x 10-5 (Eckert dan Kunkel, 1990) karena tidak aktifnya
aktivitas eksonuklease 3’�5’. Namun, studi mutagenesis yang dilakukan oleh
Suzuki dkk. (2000) menyarankan bahwa asam amino Phe667, yang terdapat di O-
helix subdomain jemari, ikut berkontribusi terhadap fidelitas enzim yaitu untuk
membedakan nukleotida yang masuk.