bab ii tinjauan umum 1.1. politik hukum dan politik hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah...
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN UMUM
1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum Pidana
1.1.1. Politik Hukum
Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa
Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari
dua kata recht dan politiek. Istilah ini seyogianya tidak dirancukan dengan istilah yang
muncul belakang, politiekrecht atau hukum politik, yang dikemukakan Hence van
Maarseveen karena keduanya memiliki konotasi yang berbeda. Istilah politiekrecht
berkaitan dengan istilah lain yang dikemukakan Hence van Maarseveen untuk
mengganti istilah hukum tata negara.1
Kata recht dalam bahasa Indonesia berarti hukum. Kata hukum sendiri berasal
dari bahasa Arab hukm (kata jamaknya ahkam), yang berarti putusan (judgement,
verdict, decision), ketetapan (provision), perintah (comand), pemerintahan
(goverment), kekuasaan (authority, power), hukuman (sentence) dan lain-lain.2 Politik
hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum antara lain:
yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku
di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Terdapatnya kata
1 Sri Soemantri, 2001. Undang-Undang Dasar 1945, Kedudukan dan Artinya dalam Kehidupan
Bernegara, Dalam Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm.19. 2 Ibid.
108
2
kebijakan ini berkaitan dengan adanya strategi yang sistematis, terinci dan mendasar.
Dalam merumuskan dan menetapkan hukum yang telah dan akan dilakukan, politik
hukum menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara negara, tetapi dengan
tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Keseluruhannya ditujukan
untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.3
Kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh van der Tas, kata Politiek mengandung
arti beleid.4 Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan (policy).
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa politik hukum secara singkat
berarti kebijakan hukum. Dengan kata lain, politik hukum adalah rangkaian konsep dan
asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan dan cara bertindak dalam bidang hukum.
Penjelasan pengertian politik hukum secara etimologis seperti yang diuraikan
di atas tentu tidak memuaskan, karena masih begitu sederhana dan dapat
membingungkan serta merancukan pemahaman tentang apa itu politik hukum. Oleh
karena itu perlu kiranya disajikan definisi politik hukum oleh para ahli hukum,
diantaranya:
Padmo Wahyono dalam bukunya “Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum”
mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk
maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Definisi ini masih bersifat abstrak dan
3 Imam Syaukani dan A. Ahsin Tohari, 2010. Dasar-dasar Politik Hukum, P.T. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm.32. 4 Ibid.
3
kemudian dilengkapi dengan sebuah artikelnya di majalah Forum Keadilan yang
berjudul: “Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan”. Dalam artikel
tersebut Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan
penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan
sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum,
penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.5
Definisi yang dikemukakan diatas, disimpulkan kembali oleh Padmo Wahjono
yaitu: politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat mendasar
dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan
tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan demikian,
politik hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa
datang (ius constituendum).6
Teuku Mohammad Radhie dalam sebuah tulisannya berjudul Pembaharuan
dan Politik Hukum dalam rangka Pembangunan Nasional mendefinisikan politik
hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang
berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.7
Pernyataan mengenai hukuman yang berlaku di wilayahnya mengandung pengertian
hukum yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) dan mengenai arah perkembangan
hukum yang dibangun mengandung pengertian hukum yang berlaku di masa yang
5 Padmo Wahjono, 1986. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet II, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hlm. 160. 6 Ibid. 7 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op.,Cit, hlm. 27
4
akan datang (ius constituendum). Dengan demikian, berbeda dengan definisi politik
hukum yang dikemukakan Padmo Wahjono, yang lebih mengarah pada hukum yang
bersifat ius constituendum, definisi politik hukum yang dirumuskan oleh Radhie
tampaknya memiliki dua wajah yang saling berkaitan dan berkelanjutan, yaitu ius
constitutum dan ius constituendum.
Soedarto (Ketua Perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),
mengemukakan politik hukum adalah: kebijakan dari negara melalui badan-badan
negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki,
yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.8 Pada bukunya yang lain yang
berjudul Hukum dan Hukum Pidana dijelaskan, Politik hukum adalah usaha untuk
mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada
suatu waktu.9
Pengertian politik hukum yang dikemukakan Soedarto di atas mencakup
pengertian yang sangat luas. Pernyataan mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat bisa ditafsirkan sangat luas sekali dan dapat memasukkan pengertian di
luar hukum, yakni politik ekonomi, sosial, budaya, dan Hankam. Sedangkan
pernyataan untuk mencapai apa yang dicita-citakan memberikan pengertian bahwa
politik hukum berkaitan dengan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).
8 Soedarto, 1979. Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum, dalam Hukum dan Keadilan
No. 5 Tahun ke-VII, Januari-Februari, hlm, 15-16; Soedarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan
Masyarakat Kajian terhadap Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hlm,20 9 Soedarto, 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni, Bandung, hlm. 151
5
Soedarto tidak hanya membahas mengenai pada kurun waktu apa hukum yang
diterapkan (ius constituendum), tetapi tampaknya sudah pula menyinggung kerangka
pikir macam apa yang harus digunakan ketika menyusun sebuah produk hukum.
Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan
cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam
masyarakat.10 Sebagai seseorang yang mendalami sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo
lebih menitik beratkan definisi politik hukumnya dengan menggunakan pendekatan
secara sosiologis. Hal tersebut bisa dilihat dari pernyataan bahwa politik hukum
digunakan untuk mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.
Satjipto Rahardjo menyatakan terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang
muncul dalam studi politik hukum, yaitu: (1) tujuan apa yang hendak dicapai dengan
sistem hukum yang ada; (2) cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk
bisa dipakai mencapai tujuan tersebut; (3) kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan
melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan; dan (4) dapatkah
dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa membantu kita memutuskan
proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.11
Sunaryati Hartono dalam bukunya Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, sebenarnya tidak pernah menjelaskan secara ekplisit pengertian politik
hukum. Hal tersebut bukan berarti bahwa ia tidak mempedulikan keberadaan politik
hukum dari sisi praktisnya. Dalam hal ini, ia melihat politik hukum sebagai sebuah alat
10 Satjipto Rahardjo, 1991. Ilmu Hukum. Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 352 11 Ibid, hlm. 352
6
(tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk
menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum
nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.12 Pernyataan “menciptakan
sistem hukum nasional yang dikehendaki” mengisyaratkan bahwa kerangka kerja
politik hukum menurut Sunaryati Hartono lebih menitik beratkan pada dimensi hukum
yang berlaku di masa yang akan datang atau ius constituendum.
Definisi politik hukum berikutnya dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda
Nusantara, dalam sebuah makalahnya berjudul: Politik Hukum Nasional, yang
disampaikan pada Kerja Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu). Menurut Garuda
Nusantara, Politik Hukum Nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan
hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh
suatu pemerintahan negara tertentu.13
Politik hukum Nasional bisa meliputi: (1) pelaksanaan ketentuan hukum yang
telah ada secara konsisten; (2) pembangunan hukum yang pada intinya adalah
pembaharuan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan
penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat; (3) penegasan fungsi lembaga penegak
atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya; (4) meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.14
12 C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional.
Alumni, Bandung, hlm.1. 13 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op.,Cit, hlm. 31 14 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op.,Cit, hlm. 31
7
Definisi politik hukum dari Garuda Nusantara ini merupakan definisi politik
hukum yang paling komprehensif di antara definisi-definisi politik hukum yang
dipaparkan diatas. Hal ini dikarenakan penjelasan yang disampaikan mengenai wilayah
kerja Politik Hukum sangat jelas, yang meliputi: pertama, teritorial berlakunya politik
hukum dan kedua, proses pembaharuan dan pembuatan hukum, yang mengarah pada
sikap kritis terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum
yang berdimensi ius constituendum. Lebih dari itu, Garuda Nusantara juga
menekankan pada pentingnya penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak
hukum, suatu hal yang tidak disinggung oleh para ahli hukum sebelumnya.
Berbagai definisi Politik hukum dari para sarjana diatas, dapat dielaborasi dan
dirumuskan dalam suatu pengertian politik hukum yaitu: kebijakan dasar
penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang
bersumber dari nilai-nilai kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang
dicita-citakan. Kata kebijakan berkaitan dengan adanya suatu strategi yang sistematis,
terinci dan mendasar. Dalam merumuskan dan menetapkan hukum yang telah dan akan
dilakukan, politik hukum menyerahkan otoritas-otoritas legislasi kepada
penyelenggara negara, tetapi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.
1.1.2. Politik Hukum Pidana
Sebagai bagian dari politik hukum, politik hukum pidana mengandung arti
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan
8
yang baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Peraturan perundang-
undangan yang baik harus mengakomodasi tujuan hukum yang diinginkan yaitu
adanya kepastian hukum, rasa keadilan dan bermanfaat dalam kehidupan masyarakat.
Politik hukum pidana merupakan suatu cara yang dipilih untuk melakukan
pembaharuan di bidang hukum pidana yang dalam hal ini berkaitan dengan euthanasia.
Pengaturan tentang euthanasia dalam KUHP di Indonesia belum
mencerminkan adanya kejelasan rumusan yang pasti mengenai euthanasia. Tidak ada
satu Pasalpun dalam KUHP yang menyebutkan euthanasia. Pasal-Pasal dalam KUHP
yang dapat dikaitkan dengan euthanasia adalah Pasal-Pasal yang mengatur tentang
kejahatan terhadap nyawa dan tubuh. Diperlukan suatu kebijakan formulasi dalam
pembentukan (penormaan) aturan hukum tentang euthanasia untuk menjamin
kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
Mengutip pendapat Sutherland and Cressey, menyebutkan empat karakteristik
hukum pidana, yaitu:
There are four characteristic of criminal law:
1. It is assumed by political authority. The state assumes the role of plaintiff
or the party bringing forth charges. Murder, for example, is no longer just
an offense against a person, but against the state. In fact, the state prohibits
individual revenge in such matters, perpetrators must pay their debt to
society, not to the individual wronged (Ini diasumsikan oleh otoritas politik.
Negara mengasumsikan peran penggugat atau pihak yang mengajukan
tuntutan. Pembunuhan, misalnya, tidak lagi hanya pelanggaran terhadap
seseorang, tetapi melawan negara. Bahkan, negara melarang balas dendam
individu dalam hal-hal seperti itu, pelaku harus membayar utang mereka
kepada masyarakat, bukan kepada individu yang dirugikan).
2. It must be specific, defining both the offense as well as the proscribed
punishment. (harus spesifik, mendefinisikan baik pelanggaran maupun
hukuman yang dilarang.)
9
3. The law is uniformly applied. That is, equal punishment and fairness to all,
irrespective of social position, is intended (Hukum diterapkan secara
seragam. Artinya, hukuman yang setara dan keadilanbagi semua orang,
terlepas dari posisi sosialnya, dimaksudkan)
4. The law contains penal sanctions enforced by punishment administered by the
state.15 (Undang-undang mengandung sanksi pidana yang ditegakkan dengan
hukuman yang dikelola oleh Negara).
Mengutip pendapat A. Mulder didalam buku Bahan Bacaan Politik karangan
Barda Nawawi, politik hukum pidana (Strafrechtpolitiek) ialah garis untuk
menentukan:
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
diperbaharui.
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana
harus dilaksanakan.16
Mengkaji pendapat yang disampaikan oleh A. Mulder tersebut diatas, urgensi
pembentukan peraturan tentang euthanasia sangat mendesak. Berdasarkan pada
pengalaman empiris dalam masyarakat, ternyata tanpa disadari praktek euthanasia
pasif maupun aktif sudah terjadi. Dalam KUHP, tidak ada satu Pasalpun yang
mengatur euthanasia, sehingga sangat diperlukan pengaturannya.
Kebijakan hukum pidana (penal policy) menurut pendapat Marc Ancel: “both
a science and art, of which the practical purposes ultimately are to anable the positive
rules better formulated and to guide not only the legislator who has to draft criminal
15 Hagan, Frank E., 1986. Introduction to Criminology (Theories, Methods, and Criminal
Behavior). Nelson – Hall. Chicago.p.12 16 Barda Nawawi Arief, 1992. Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana, Pasca Sarjana Universitas
Indonesia. Jakarta, hlm. 7.
10
subtitles, but the court by which they are applied and the prison administration which
gives practical effect to the court decision”.17 (suatu ilmu sekaligus seni yang pada
akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada
pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-
undang dan kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan).
Politik hukum pidana bertujuan untuk memformulasi pembentukan peraturan
perundang-undangan tentang euthanasia dalam hukum positif. Politik hukum sebagai
dasar untuk merumuskan kembali kebijakan formulasi tentang euthanasia oleh
pembentuk undang-undang, lembaga peradilan yang menerapkan undang-undang dan
kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan serta aparat penegak hukum.
1.2. Ruang Lingkup dan Esensi Euthanasia
1.2.1. Pengertian Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu: “Eu-Thanatos”. “Eu”
artinya baik dan “Thanatos” artinya mati. Jadi euthanasia dapat diartikan sebagai
“kematian yang senang dan wajar”.18 John Suryadi dan S. Koencoro mengemukakan
bahwa menurut arti bahasa euthanasia itu adalah obat untuk mati dengan tenang.19
17 Marc Ancel, 1965. Social Defence A Modern Approach Problem, Reuledge & Kegan Paul,
London, p. 209. 18 Imron Halimy, 1990, Euthanasia, Ramadani, Solo, hlm.35. 19 John Suryadu dan S. Koencoro, 1986, Kamus Lengkap Populer, Indah, Jakarta, hlm.112.
11
Euthanasia menurut Ahmad Ramli dan K. St. Pamuncah, berarti mati suci tanpa
derita.20
Kartono Muhammad secara harfiyah memberikan definisi euthanasia berarti
mati secara baik.21 Dalam pengertian medis, euthanasia menurut Kartono Muhammad
adalah membantu mempercepat kematian seseorang agar terbebas dari penderitaan.22
Anton M. Moeliono memberikan definisi tentang euthanasia yaitu: tindakan
mengakhiri dengan sengaja kehidupan mahluk (orang atau pun hewan piaraan) yang
sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar
perikemanusiaan.23
Berdasarkan berbagai pengertian euthanasia seperti yang dikemukakan diatas,
dapat diambil intisari bahwa euthanasia adalah usaha, tindakan dan bantuan yang
dilakukan oleh seorang dokter kepada seseorang untuk dengan sengaja mempercepat
kematian seseorang tersebut yang menurut perkiraannya sudah hampir mendekati
kematian, dengan tujuan untuk meringankan atau membebaskannya dari penderitaan
yang dialaminya.24
Berbagai definisi yang dikemukakan diatas tersebut, menurut penulis belum
lengkap karena tidak mencakup tindakan euthanasia aktif atau sikap pasif (diam) dari
20 Ahmad Ramli dan K.St. Pamuncah, 1986, Kamus Kedokteran, Jambatan, Jakarta, hlm. 68. 21 Kartono Muhammad, Euthanasia, dalam Kompas, Edisi 6 Mei 1989. 22 Ibid 23 Anton, M. Moeliono, et.al, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm
237. 24 H.Ahmad Wardi Muslich, 2014, Euthanasia Menurut Pandangan Hukum Positif dan Hukum
Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.13
12
dokter untuk membiarkan saja dan tidak melakukan tindakan apapun. Definisi yang
dikemukakan oleh Euthanasia Study Group dari Ikatan Dokter Balanda dan
menjadikan batasan konseptual, yakni: Euthanasia adalah dengan sengaja tidak
melakukan sesuatu (nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja
melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien dan
semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri.25
Definisi dari ikatan dokter Belanda tersebut diatas menggambarkan bahwa
euthanasia bukan hanya tindakan mengakhiri hidup seorang pasien yang sangat
menderita saja, melainkan juga sikap diam, tidak melakukan upaya untuk
memperpanjang hidupnya dan membiarkannya mati tanpa upaya pengobatan. Definisi
euthanasia tersebut, mencakup tiga kemungkinan, yaitu:
a. Memperbolehkan (membiarkan) seseorang mati,
b. Kematian karena belas kasihan, dan
c. Mencabut nyawa seseorang karena belas kasihan.26
Memperbolehkan seseorang mati, mengandung pengertian tentang adanya
kenyataan bahwa segala macam usaha penyembuhan terhadap penyakit seseorang,
sudah tidak ada manfaatnya lagi. Secara medis usaha penyembuhan tersebut
mempunyai prognose negatif atau tidak menunjukkan hasil yang positif. Dalam situasi
tertentu, pemaksaan terhadap upaya pengobatan yang sudah tidak bermakna tersebut
justru mengakibatkan bertambahnya penderitaan pasien. Dalam kondisi tersebut,
25 Ibid. 26 Ibid.
13
sebaiknya pasien dibiarkan meninggal dengan caranya sendiri tanpa campur tangan
orang lain dengan tenang dan damai.
Kematian karena belas kasihan, mempunyai pemahaman yang berkaitan
dengan suatu tindakan yang secara langsung dan disengaja untuk mengakhiri
kehidupan seseorang yang didasarkan atas izin atau permintaan pasien tersebut. Hal ini
disebabkan oleh kondisi penderita yang sudah tidak tahan lagi menanggung rasa sakit
yang demikian berat.
Mencabut nyawa seseorang karena belas kasihan, merupakan suatu tindakan
yang langsung untuk menghentikan kehidupan pasien tanpa izinnya. Tindakan ini
didasarkan atas asumsi bahwa kehidupan si pasien selanjutnya tidak ada artinya lagi.
Tentu saja ada perbedaan antara peristiwa ini dengan kematian karena kasihan, yaitu
bahwa dalam peristiwa yang terakhir ini tindakan dilakukan tanpa izin dan persetujuan
si pasien.
1.2.2. Sejarah Euthanasia
a. Euthanasia Jaman Dahulu
Perbuatan euthanasia telah banyak dilakukan sejak jaman dahulu dan banyak
memperoleh dukungan oleh tokoh-tokoh besar dalam sejarah, seperti Plato, yang
mendukung tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang pada masa itu, untuk
mengakhiri penderitaan dari penyakit yang dialaminya. Aristoteles telah membenarkan
tindakan infanticide, yaitu membunuh anak yang berpenyakit dari lahir dan tidak dapat
hidup menjadi manusia yang perkasa. Phytagoras dan kawan-kawan menyokong
14
perlakuan pembunuhan pada orang-orang yang lemah mental dan moral.27 Berdasarkan
laporan, euthanasia juga pernah terjadi di India dan Sardinia. Bahkan dalam perang
dunia ke dua, Hitler memerintahkan untuk membunuh orang-orang sakit yang tidak
mungkin disembuhkan dan bayi-bayi yang lahir dengan cacat bawaan.28
Hipokrates pertama kali menggunakan istilah euthanasia pada Sumpah
Hipokrates yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut antara lain berbunyi:
“saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada
siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu.” Kenyataan praktek-praktek euthanasia
jaman dahulu kala dapat ditemukan, misalnya di India pernah dipraktekkan suatu
kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga dan di
Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di jaman purba.29
b. Euthanasia Pada Masa Setelah Perang Dunia
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan
euthanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap
euthanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan euthanasia yang dilakukan secara
tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika. Uruguay mencantumkan
kebebasan praktek euthanasia dalam undang-undang yang telah berlaku sejak tahun
1933. Di beberapa negara Eropa, praktek euthanasia bukan lagi kejahatan kecuali di
Norwegia yang sejak tahun 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
27 Ibid. 28 Imron Halimy, 1990, Euthanasia, Ramdani, Solo, hlm.35. 29 Ibid.
15
Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh di Amerika Serikat, adalah
melanggar hukum. Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan euthanasia
bagi para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan
tertentu dapat meminta tindakan euthanasia atas dirinya. Ada beberapa anggota warga
Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya tidak
dilakukan euthanasia aktif, akan tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat
digolongkan kedalam euthanasia pasif.
c. Euthanasia dalam Dunia Modern
Sejak abad ke-19, euthanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan
pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa. Pada tahun 1828 undang-undang
anti euthanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa
tahun kemudian diberlakukan pula di beberapa negara bagian yang lain. Setelah masa
perang saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung diberlakukannya
euthanasia secara sukarela.
Kelompok-kelompok pendukung euthanasia mulanya terbentuk di Inggris pada
tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada
pelaksanaan euthanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan
euthanasia tidak berhasil di golkan di Amerika maupun Inggris. Pada tahun 1937,
euthanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang yang bersangkutan tidak
memperoleh keuntungan daripadanya.
16
Periode waktu yang sama, pengadilan di Amerika menolak beberapa
permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak
cacat yang mengajukan permohonan euthanasia oleh dokter sebagai bentuk
“pembunuhan berdasarkan belas kasihan”. Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman
melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu “program” euthanasia terhadap
anak-anak dibawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh,
ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tidak berguna. Program ini
dikenal dengan nama Aksi T4 atau “Action T4” yang pada masa berikutnya
diberlakukan juga terhadap anak-anak usia diatas 3 tahun dan para orang jompo atau
lansia.30
Jenis kematian euthanasia ini, menarik perhatian dunia setelah
dilangsungkannya konfrensi Hukum Se-Dunia, yang diselenggarakan oleh World
Peace Through Law Center di Manila (Filipina), tanggal 22 dan 23 Agustus 1977.
Dalam konfrensi Hukum Se-Dunia tersebut, telah diadakan Sidang Peradilan Semu
(Sidang Tiruan), mengenai hak manusia untuk mati atau the right to die yang
melibatkan dokter-dokter dan tokoh-tokoh dibidang hukum dari berbagai dunia
sehingga masalah euthanasia ini mendapat perhatian luas.31
1.2.3. Konsep Kematian dan Hubungannya dengan Euthanasia
Peristiwa mati bagi seorang manusia merupakan suatu yang cepat atau lambat
pasti terjadi. Kematian akan menimbulkan perubahan status dan situasi, baik bagi
30 Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Op.,Cit, hlm. 10. 31 Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Op.,Cit, hlm. 10.
17
dirinya, keluarganya, maupun lingkungannya. Berkaitan dengan masalah kematian,
jika dilihat dari cara terjadinya dalam dunia ilmu pengetahuan membedakannya
menjadi tiga jenis kematian, yaitu:
1. orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah;
2. dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar; dan
3. euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak
dengan pertolongan dokter.32
Kematian itu sendiri bagi orang kebanyakan jarang sekali dipermasalahkan,
karena dianggap sudah sangat mudah dan jelas dapat dilihat, namun bagi seseorang
yang karena tugasnya diharuskan berhubungan dengan persoalan kematian manusia,
seperti tenaga medis, batasan hidup ini sangat penting. Dikenal beberapa istilah tentang
mati, yaitu: mati somatis, mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati batang otak.
Mati somatis, yang juga disebut dengan mati klinis terjadi akibat berhentinya
fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan yang menetap atau reversible. Ketiga sistem
penunjang kehidupan tersebut, antara lain: pertama susunan syaraf pusat atau secara
umum disebutnya otak, kedua sistem kardiovaskuler yang terdiri dari jantung dan
pembuluh darah dan yang ketiga sistem pernafasan. Istilah kematian somatis atau mati
klinis inilah yang sering diistilahkan oleh masyarakat pada umunya untuk menyatakan
bahwa seseorang sudah mati.
32 Loc.,Cit
18
Seseorang yang berada dalam keadaan mati somatis, secara klinis tidak
ditemukan lagi adanya reflex-refleks. Hasil pemeriksaan electro Encephalography
sudah tidak ada lagi gelombang atau garis menjadi mendatar, nadi tidak teraba, denyut
jantung tidak terdengar, tidak ada gerak pernafasan dan suara nafas tidak terdengar
pada pemeriksaan auskultasi. Akan tetapi, dengan ditemukannya alat artificial
respiration (respirator) maka kriteria kematian klinis kurang dipercaya karena jantung
yang berhenti segera dapat digerakkan lagi dengan massage atau pukulan. Dengan
adanya teknologi yang canggih, apa yang menurut ukuran pada masa lalu seharusnya
orang sudah dikatakan mati, kini ia dapat bertahan hidup walaupun hanya secara
vegetative. Dengan demikian kriteria kematian klinis sudah dianggap usang dan tidak
relevan dengan kualitas hidup dalam pengertian sekarang.33
Mati suri atau apparent death, yaitu terhentinya sistem penunjang kehidupan
yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana, namun bila diperiksa dengan
peralatan kedokteran yang canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem
tersebut masih berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur,
tersengat aliran listrik dan tenggelam.
Mati seluler atau juga disebut mati molekuler yaitu kematian organ atau
jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatik. Daya tahan hidup
dari masing-masing organ atau jaringan ternyata berbeda-beda, sehingga terjadinya
kematian seluler pada setiap organ atau jaringan juga tidak bersamaan. Mati serebral,
33 Petrus Yoyo Karyadi, 2001, Euthanasiadalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Media Presindo,
Yogyakarta, hlm. 20.
19
yaitu kematian yang disebabkan karena terjadinya kerusakan yang menetap pada kedua
hemisfer yaitu bagian kanan dan kiri dari otak, kecuali batang otak dan serebelum atau
otak kecil, sedangkan kedua sistem penunjang kehidupan yang lainnya yaitu sistem
pernafasan dan sistem kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat. Mati
batang otak, yaitu kematian yang terjadi dikarenakan adanya kerusakan seluruh neuron
intrakranial yang menetap, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya
mati batang otak, maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat
dinyatakan hidup lagi.
Saat-saat paling kritis dalam kehidupan seseorang adalah akhir dari kehidupan
tersebut. Dulu banyak pengarang termenung, ketakutan, akan dikuburkan hidup-hidup,
karena kematian yang sebenarnya belum terjadi namun sudah dikubur. Untuk itu ada
peti jenasah yang dilengkapi dengan berbagai peralatan untuk memberi tahu orang-
orang bahwa dirinya masih hidup, misalnya bel atau bahkan selang udara untuk
bernafas. Kamar jenasah mula-mula digunakan untuk mengamati jenasah, agar dapat
dipastikan bahwa orangnya sungguh-sungguh mati.34
Sehubungan dengan mati, dari sisi filsafat, seperti dikatakan oleh Drijarkara,
bahwa jiwa tidak terdiam di badan seperti jangkrik dalam bumbung.35 Dengan
demikian kita sulit akan melihat sebetulnya dibagian tubuh manusia yang mana jiwa,
kalau diidentikkan dengan nyawa, itu berada dalam tubuh manusia. Menurut Ibn Sina,
34 Thomas A. Shanon, 1995. Pengantar Bioetika, Diterjemahkan oleh K. Bartens, PT. Ikrar
Mandiri Abadi, Jakarta, hlm.56. 35 Drijarkara,1978. Filsafat Manusia,Yayasan Kanisius, Yogyakarta, hlm 95.
20
seperti ditulis oleh Harun Nasution, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri
dan mempunyai wujud yang terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap
kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini.36
Pada tahun 1968 suatu panitia ad-hoc dari Fakultas Kedokteran Harvard,
menyatakan bahwa secara medis seseorang baru dianggap mati kalau memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1. Unreceptivity and unresponsiveness (kehilangan daya tanggap/reaksi),
2. No spontaneous movements or breathing (tanpa gerak spontan dan nafas),
3. No reflexes (tanpa refleks),
4. A flat electroencephalogram/EEG (kerusakan otak).37
Untuk menentukan kematian seseorang diperlukan kriteria diagnostik yang
benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Kriteria diagnostik pertama yang dibuat oleh para ahli dibidang kedokteran
adalah berdasarkan konsep “permanent of heart beating and respiration is death”.
Setelah ditemukannya alat yang dapat mempertahankan fungsi paru-paru dan jantung
berupa respirator, maka disusunlah kriteria baru berdasarkan pada konsep “brain death
is death”. Terakhir, konsep diagnostik tersebut disempurnakan menjadi “brain stem
death is death”.
Menurut Soerarjo Darsono, direktur Rumah Sakit Dr. Kariadi, Semarang bila
dilihat dari saat terjadinya kematian, akan terdapat istilah somatic death dan biological
36 Harun Nasution, 1973. Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 37. 37 Petrus Yoyo Kariadi, Op.,Cit, hlm.22
21
death.38 Untuk menjelaskan kedua istilah tersebut, dapat dilihat pada bagan sebagai
berikut:
Gambar
Garis Kehidupan & Garis Kematian
A D
Garis hidup
Fungsi animal
Fungsi Vegetatif
Somatic - Level Mati Suri
B 1 2 3 4 5
Garis Mati C
Biological – Level Biological – Death
Penjelasan:
- Suatu siklus dalam kehidupan manusia, pasti akan mengalami suatu kematian. Oleh
karena itu, mempunyai apa yang disebut sebagai “garis hidup” dan “garis mati”.
Setiap orang yang masih hidup mempunyai fungsi kehidupan yang dinamakan
“fungsi animal” dan “fungsi vegetatif”. Fungsi animal adalah bahwa setiap orang
yang hidup itu mempunyai fungsi sebagaimana yang dimiliki oleh binatang, misalnya
dapat berjalan, berpindah kesana-kesini, dan lain sebagainya. Sedangkan yang
dimaksud fungsi vegetatif adalah semua fungsi yang dimiliki oleh tumbuh-tumbuhan.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa manusia adalah mahluk yang paling
sempurna dan tinggi derajatnya dibandingkan dengan binatang dan tumbuh-
tumbuhan.
- Garis hidup yang dilukiskan pada gambar diatas, makin lama makin menurun,
sedangkan garis mati makin lama makin naik. Apabila ditelusuri pada garis hidup,
maka pada suatu saat akan sampai pada suatu titik, dimana fungsi animal dan fungsi
38 Petrus Yoyo Kariadi, Op.,Cit, hlm.22
Som
atic
Dea
th
22
vegetatif sudah tidak menunjukkan aktivitasnya lagi (titik A). Kemudian, pada batas
waktu tertentu garis hidup ini akan bertemu dengan garis mati (titik B).
- Pada saat pertemuan antara garis hidup dan garis mati akan terjadi somatic death,
yakni kematian secara badaniah saja. Pada saat ini orang belum dapat dikatakan mati
yang benar-benar, karena masih dimungkinkan dengan timbulnya gejala-gejala hidup
lagi, walaupun kemungkinannya sangat kecil sekali. Tanda-tanda somatic death
adalah sebagai berikut:
1. livor mortis (lebam mayat);
2. rigor mortis (kaku mayat); dan
3. argor mortis (warna/dingin mayat).
Tanda-tanda ini hanya bersifat badaniah saja.
- Sejak terjadi somatic death ini, tanda-tanda kehidupan hampir tidak tampak lagi.
Begitu sebaliknya, tanda-tanda kematian semakin besar. Oleh karena itu, pada
gambar di atas setelah melalui titik B, maka garis hidup dilukiskan dengan titik-titik,
sedangkan garis mati dilukiskan dengan garis sempurna.
- Perkembangan selanjutnya, setelah terjadinya somatic death, kita harus menunggu
sampai kurang lebih dua jam untuk menentukan secara pasti kematian seseorang.
Pada saat inilah dapat dimungkinkan terjadinya apa yang disebut sebagai “mati suri”.
Jadi mati suri ini akan terjadi selama waktu antara somatic death dan biological
death. Sehubungan dengan hal ini, maka jika terjadi kematian di rumah sakit, setelah
dokter menyatakan mati (somatic death), keluarga orang yang meninggal tersebut
tidak diperkenankan langsung membawanya pulang ke rumah, tetapi harus
menunggu sampai kurang lebih selama dua jam. Selama dua jam ini, apabila tidak
ada kejadian yang disebut sebagai mati suri maka terjadilah gejala-gejala cel
degeneration dengan tanda-tanda sebagai berikut:
1. discoloration (terjadinya perubahan warna),
2. softening (jaringan menjadi lunak), dan
3. rotting (terjadinya pembusukan).
- Sesudah itu baru terjadi suatu kematian yang benar-benar mati, baik jasmaniah
maupun rohanianya dan ini dikenal dengan istilah medis sebagai biological death
atau kematian secara biologis (titik C).
- Biological death ini terjadi pada saat bertemunya garis hidup dengan biological level.
Pada saat garis hidup sampai kepada titik C, bersamaan itu pula, garis mati akan
sampai pada titik D, yang disertai gejala-gejala cel degeneration seperti disebutkan
di atas. Jarak serta waktu yang ditempuh dari titik B ke titik C, adalah sama dengan
jarak antara titik B ke titik D, dan memakan waktu yang sama pula, yaitu kurang
lebih selama dua jam.39
39 Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, 1984, Euthanasia, Hak Asasi Manusia dan
Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.
23
Kebutuhan akan definisi baru tentang kematian berkembang sebagai akibat
langsung daripada makin meningkatnya kemampuan profesi medis untuk
mempertahankan tanda-tanda kehidupan seseorang yang jantungnya terlihat terus
berdetak, tetapi otaknya telah tidak berfungsi secara permanen, karena adanya
kerusakan parah yang permanen. Sehubungan dengan persoalan ini, timbul bermacam-
macam pendapat, baik yang bersifat juridis, moral maupun medis.
Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati:
1. Mati adalah proses yang berlangsung secara berangsur. Tiap sel dalam tubuh
manusia mempunyai daya tahan yang berbeda-beda terhadap adanya oksigen
dan oleh karenanya, mempunyai saat kematian yang berbeda pula.
2. Bagi dokter, kepentingan bukan terletak pada tiap butir sel tersebut, tetapi pada
kepentingan manusia itu sebagai kesatuan yang utuh.
3. a. dalam tubuh manusia, ada tiga organ penting yang selalu dilihat dalam
penentuan kematian seseorang, yaitu jantung, paru-paru dan otak (khususnya
batang otak).
b. diantara ketiga organ tersebut, kerusakan permanen pada batang otak tidak
dapat dinyatakan hidup lagi.
4. Definisi mati, seseorang dinyatakan mati bilamana:
a. Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau
irreversible, atau
b. Bila terbukti telah terjadi kematian batang otak.
5. Untuk tujuan transplantasi organ, penentuan mati didasarkan pada mati batang
otak. Sebelum dilakukan pengambilan organ, semua tindakan medis diteruskan
agar organ tetap baik.
6. Sadar bahwa pernyataan tentang kematian ini akan mempunyai implikasi
hukum dan implikasi teknis lapangan, maka dengan ini Ikatan Dokter Indonesia
mengajukan usul perubahan dan penambahan terhadap PP. No. 18 tahun 1981,
terutama yang berkenaan dengan definisi seperti yang tercantum dalam Pasal 1
ayat 9 dari Peraturan Pemerintah tersebut.
7. Pada situasi dan keadaan penderita belum mati, tetapi tindakan terapeutik/
paliatif tidak ada gunanya lagi, sehingga bertentangan dengan tujuan ilmu
kedokteran, maka tindakan terapeutik/paliatif dapat dihentikan. Penghentian
24
tindakan terapeutik/paliatif di atas, sebaiknya dikonsultasikan dengan sedikit-
dikitnya seorang dokter lain.40
Ikatan Dokter Indonesia merumuskan bahwa seseorang dinyatakan mati
apabila: fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti, berarti
irreversible atau apabila terbukti telah terjadi kematian batang otak. Pernyataan
tersebut dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang, seperti Elektro Kardiogram atau
EKG dan Elektro Ensepalogram atau EEG. Upaya mengembalikan berfungsinya
jantung dan pernafasan ini, yang sering disebut resusitasi dalam kejadian ini tidak
memberikan banyak arti lagi.41 Upaya resusitasi darurat dapat diakhiri apabila terjadi
hal berikut:
1. Sesudah resusitasi paling sedikit setengah sampai dengan satu jam terbukti
tidak ada lagi nadi pada normotermia tanpa resusitasi jantung paru;
2. Ada tanda-tanda klinis mati otak;
3. Garis datar pada EKG selama paling sedikit 30 menit meskipun telah dilakukan
resusitasi dan pengobatan optimal; dan
4. Penolong terlalu lelah sehingga tidak dapat melanjutkan resusitasi.
Menurut hemat penulis, kriteria seseorang dapat dikategorikan mati adalah
sudah menunjukkan gejala-gejala organ vital yang secara permanen dinyatakan sudah
tidak berfungsi secara normal seperti jantung, paru-paru dan otak. Pada saat itulah
40 Tercantum dalam lampiran SK PB IDI No. 231/PB/A.4/07/90. 41 Samil Ratna Suprapti, 2001. Etika kedokteran Indonesia. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiraharjo, Jakarta.hlm. 93.
25
seseorang dapat dinyatakan sudah mati, terlebih apabila mengalami kerusakan batang
otak yang parah permanen.
1.2.4. Jenis-jenis Euthanasia
Menurut M. Yusuf Hanafiah, ditinjau dari pelaksanaannya, euthanasia ada dua
macam yaitu: euthanasia pasif dan euthanasia aktif. Euthanasia pasif merupakan
perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu
untuk mempertahankan hidup manusia. Sedangkan euthanasia aktif merupakan
perbuatan yang dilakukan secara medik melalui intervensi aktif seorang dokter dengan
tujuan untuk mengakhiri hidup manusia.
Euthanasia aktif masih dapat dibagi menjadi dua yaitu: euthanasia aktif
langsung atau direct dan euthanasia aktif tidak langsung atau indirect. Pada euthanasia
aktif langsung tindakan medis dilakukan secara terarah yang diperhitungkan akan
mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien, tindakan semacam ini
dikenal juga dengan istilah mercy killing. Euthanasia aktif tidak langsung merupakan
tindakan dimana dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medik untuk
meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko tindakan tersebut
yaitu dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
Ditinjau dari permintaan, euthanasia dibagi menjadi:
1. Euthanasia voluntir atau euthanasia sukarela yaitu euthanasia atas permintaan
pasien dan permintaan tersebut dilakukan secara sadar dan berulang-ulang.
2. Euthanasia involuntir atau euthanasia tidak atas permintaan, misalnya pada
pasien yang sudah tidak sadar, permintaan datang dari keluarganya.
26
Dua macam pembagian tersebut diatas dapat digabungkan, dengan demikian
dapat dikenal euthanasia pasif voluntir, pasif involuntir, aktif voluntir dan aktif
involuntir.42
Antara euthanasia pasif dan euthanasia aktif, seolah-olah ada perbedaan,
dimana pada euthanasia pasif dokter membiarkan pasien meninggal, sedangkan pada
euthanasia yang aktif dokter bisa dituduh melakukan pembunuhan. Namun dalam hal
membiarkan meninggal dan membunuh, menurut James F. Childress, secara moral
tidak ada bedanya.43 Memang dapat saja orang berpendapat bahwa euthanasia aktif
“lebih salah” dibandingkan euthanasia yang pasif, namun kenyataannya pasien
tersebut sama-sama meninggal akibat dari suatu keadaan dimana seorang dokter atau
pelayan kesehatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Senada dengan Childress, Bonnie Steinbock berpendapat tidak ada bedanya
antara penghentian perawatan untuk memperpanjang hidup dengan terminasi
kehidupan seorang manusia secara sengaja oleh orang lain.44 Berarti menurutnya antara
euthanasia aktif dan euthanasia pasif adalah sama. Selain euthanasia, Leenen, seperti
yang dikutip oleh Danny Wiradharma, menyebut ada keadaan yang mirip tindakan
euthanasia, tetapi bukan euthanasia, dan keadaan ini disebutnya sebagai Pseudo-
euthanasia atau euthanasia semu, yang dirinci menjadi empat keadaan:
42 M.Yusuf Hanafiah, Amri Amir, 1999, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta,
hlm. 207-208. 43 James F. Childress,1989, Prioritas-prioritas dalam Etika Biomedis, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, hlm. 31-33. 44 Bonnie Steinbock, 2001, Terminasi Kehidupan dengan Sengaja dalam Etika Terapan II, sebuah
pendekatan multi cultural, Editor: Larry May, Shari Collins-Chobanian dan Kai Wong, Penyunting
Imron Rosyidi, Zahra Nihayati, Cet I, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta. Hlm. 334-335.
27
1. Mati Batang Otak, pasien mengalami kehidupan vegetatif, hidup seperti
tumbuh-tumbuhan, karena memperoleh tindakan suportif dengan bantuan
mesin,
2. Keadaan darurat yang tidak dapat diatasi. Karena keterbatasan fasilitas
pelayanan kesehatan yang ada, misalnya kejadian-kejadian luar biasa seperti
bencana alam,
3. Penghentian tindakan/perawatan medis yang tidak ada gunanya lagi
berdasarkan kriteria ilmu kedokteran, dan
4. Penolakan perawatan medis.45
Penghentian tindakan/perawatan medis yang tidak ada gunanya lagi
berdasarkan kriteria ilmu kedokteran bukanlah euthanasia semu, tetapi memang itulah
yang disebut dengan euthanasia pasif. Hal ini memang masih dapat diperdebatkan.
Dalam hal keadaan darurat yang tidak dapat diatasi, Robert T. Francoeur mengatakan:
One of the most perplexing and disturbing problems of medical ethics is that of making
dicisions about who should receive medical treatment when only a few of those needing
treatment can be accommodated.46 (Terjemahan bebas: salah satu masalah etika medis
yang paling membingungkan dan mengganggu adalah membuat keputusan tentang
siapa yang harus menerima perawatan medis bila hanya sedikit dari mereka yang
memerlukan perawatan dapat diakomodasi).
Menjadi suatu renungan bagi dokter apabila harus mengambil suatu keputusan
cepat dalam situasi membingungkan dan mengganggu, dimana banyak sekali penderita
yang harus ditolong namun tenaga dan fasilitas sangat sedikit. Secara etis dokter akan
mengedepankan logika, mana yang masih dapat ditolong akan segera ditolong, tetapi
45 Danny Wiradharma, 1996. Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Bina Rupa Aksara, Jakarta,
hlm. 134-135. 46 Robert T. Francoeur, 1983. Biomedical Ethics, A Guide to Decisions Making, John Wiley
&Sons Inc. New York, hlm. 63.
28
bagi penderita yang kemungkinan hidupnya sangat kecil akan ditinggalkan untuk
menolong penderita yang lain.
Seorang pasien dapat menolak secara tegas dengan sadar untuk menjalani
perawatan medis dan dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau
mengakhiri hidupnya dan dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil atau
pernyataan tertulis tangan, maka hal seperti ini ada yang menyebutnya sebagai auto
euthanasia dan pada dasarnya ini merupakan euthanasia pasif atas permintaan.
Kondisi seorang pasien yang menderita suatu penyakit kanker pada stadium
yang masih dini, pengobatannya dapat dengan menggunakan cara pembedahan atau
operasi karena masih operable. Apabila proses persiapan operasinya tertunda, dapat
karena pemeriksaan penunjang yang terlalu lama, atau antri karena banyaknya pasien
yang akan dioperasi, maka dapat terjadi keterlambatan dan kankernya sudah tidak
dapat dioperasi lagi atau dikatakan sudah menjadi keadaan yang nonoperable. Apabila
hal ini terjadi, maka dapat dianggap ada kelalaian oleh dokternya.
Kartono Muhammad, menyatakan definisi tentang euthanasia dengan membagi
dalam lima kelompok yaitu:
1. Euthanasia pasif, mempercepat kematian dengan cara menolak
memberikan/mengambil tindakan pertolongan biasa, atau menghentikan
pertolongan biasa yang sedang berlangsung.
2. Eutanasia aktif, mengambil tindakan secara aktif, baik langsung maupun tidak
langsung yang mengakibatkan kematian.
3. Euthanasia sukarela, mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan
pasien.
4. Eutanasia tidak sukarela, mempercepat kematian tanpa permintaan atau
persetujuan pasien, sering disebut juga sebagai mercy killing.
29
5. Euthanasia non volountary, mempercepat kematian sesuai dengan keinginan
pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga, atau atas keputusan
pemerintah.47
Penolakan perawatan oleh pasien atau keluarganya karena alasan biaya dan
ternyata dokternya mengijinkan, dapat saja terjadi kematian pasien tersebut
dirumahnya dan kejadian ini dapat dianggap sebagai suatu pembiaran seseorang dalam
keadaan bahaya dan dapat terjadi kematian. Menurut Fletcher tindakan euthanasia
dapat dilakukan melalui beberapa cara seperti berikut:
1. Langsung dan sukarela, cara ini memberi jalan kematian yang dipilih pasien,
tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri,
2. Sukarela tetapi tidak langsung, cara ini dikerjakan dengan jalan pasien
diberitahu bahwa harapan untuk hidup kecil sekali sehingga pasien ini berusaha
agar ada orang lain yang dapat mengakhiri penderitaan dan hidupnya,
3. Langsung tetapi tidak sukarela, cara ini dilakukan tanpa sepengetahuan pasien,
misalnya dengan memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat, dan
4. Tidak langsung dan tidak sukarela, cara ini merupakan euthanasia pasif yang
mendekati moral.48
Menurut pandangan penulis, jenis euthanasia non volountary yang paling tepat
dijadikan dasar konsepsi terhadap definisi euthanasia karena euthanasia non
volountary bertujuan untuk mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien
yang disampaikan oleh pasien sendiri atau melalui pihak ketiga (keluarga) atau atas
keputusan pemerintah, dalam hal ini putusan pengadilan.
47 Kartono Muhamad, Op.Cit, hlm. 19 48 Fletcher, dalam Eddy O.S. Hiariej, Op.,Cit, hlm. 38.
30
1.3. Pengertian Pidana dan Sanksi Pidana
1.3.1. Pengertian Pidana
Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi pidana, selain
istilah-istilah yang lainnya yaitu, hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan
hukuman, pemberian pidana, dan hukuman pidana. Moeljatno menyatakan, istiah
hukuman yang berasal dari “straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari “wordt
gestraf” merupakan istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-is-
tilah itu dan menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana untuk
menggantikan kata “straf” dan diancam dengan pidana untuk menggantikan kata
“wordt gestraf”. Menurut Moeljatno, kalau “straf” diartikan “hukuman”, maka
“strafrecht” seharusnya diartikan sebagai “hukum hukuman”.49
Istilah “hukuman” yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat
mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi
dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam
bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama
dan sebagainya.50 Oleh karena “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, maka
perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri
atau sifat-sifatnya yang khas.
Sudarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
49 Muladi dan Barda Nawawi Arief II, Op.,Cit, hlm. 1. 50 Muladi dan Barda Nawawi Arief II, Op.,Cit, hlm. 2
31
tertentu.51 Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik, dan
ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pelaku delik
itu.52 Dalam kamus “Black's Law Dictionary” dinyatakan bahwa punishment adalah:
any fine, or penalty or confinement inflicted upon a person by authority of the law and
the judgement and sentence of a court, for some crime or offence committed by him, or
for his omission of a duty enjoined by law.53
(setiap denda atau hukuman yang dijatuhkan pada seseorang melalui sebuah kekuasaan
suatu hukum dan vonis serta putusan sebuah pengadilan bagi kejahatan atau
pelanggaran yang dilakukan olehnya, atau karena kelalaiannya terhadap suatu
kewajiban yang dibebankan oleh aturan hukum).
Berdasarkan pengertian pidana di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana
mengandung unsur-unsur dan ciri-ciri, yaitu; (1) pidana itu pada hakikatnya merupakan
suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak
menyenangkan; (2) pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); dan (3) pidana itu dikenakan kepada
seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang; dan (4) pidana
itu merupakan pernyataan pencelaan oleh negara atas diri seseorang karena telah
melanggar hukum.54
51 Sudarto,Op.,Cit, hlm. 109-110. 52 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, dalam Mahrus Ali, Op.,Cit,
hlm. 186 53 Henry Campbell Black, Op.,Cit, hlm. 111 54 Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 186
32
1.3.2. Sanksi Pidana dan Tindakan
Sanksi diartikan sebagai tanggungan, tindakan, hukuman untuk memaksa orang
menepati perjanjian atau menaati ketentuan undang-undang. Sanksi juga berarti bagian
dari (aturan) hukum yang dirancang secara khusus untuk memberikan pengamanan
bagi penegakan hukum dengan mengenakan sebuah ganjaran atau hukuman bagi
seseorang yang melanggar aturan hukum itu, atau memberikan suatu hadiah bagi yang
mematuhinya. Jadi, sanksi itu sendiri tidak selalu berkonotasi negatif. Tindakan
diartikan sebagai pemberian suatu hukuman yang sifatnya tidak menderitakan, tetapi
mendidik, mengayomi. Tindakan ini dimaksudkan untuk mengamankan masyarakat
dan memperbaiki pembuat, seperti pendidikan paksa, pengobatan paksa, memasukkan
ke dalam rumah sakit, dan lainnya.
Berdasarkan dua arti kata di atas, sanksi tindakan adalah suatu sanksi yang
bersifat antisipatif bukan reaktif terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada
filsafat determinisme dalam ragam bentuk sanksi yang dinamis (open system) dan
spesifikasi nonpenderitaan atau perampasan kemerdekaan, dengan tujuan untuk
memulihkan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban baik perseorangan, badan
hukum publik maupun perdata.55
Sanksi tindakan dalam KUHP memiliki beberapa jenis, yaitu:
a. penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat dipertanggung
jawabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu pe-nyakit.56
b. bagi anak yang belum berumur 16 tahun melakukan tindak pidana, hakim dapat
mengenakan tindakan berupa:
55 Andi Hamzah,Op.,Cit. 56 Pasal 44 ayat (2) KUHP.
33
1) mengembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, atau;
2) memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada pemerintah;
3) dalam hal ini yang ke-2, anak tersebut dimasukkan dalam rumah
pendidikan negara yang penyelenggaraannya diatur dalam Peraturan
Pendidikan Paksa (Dwangopvoedingregeling, Stb. 1916 No.741);
4) penempatan di tempat bekerja Negara bagi penganggur yang malas bekerja
dan tidak mempunyai mata pencaharian, serta mengganggu ketertiban
umum dengan melakukan pengemisan, bergelandangan atau perbuatan
asosial. (Stb. 1936 No. 160)57
Sanksi pidana diartikan sebagai suatu nestapa atau penderitaan yang ditimpakan
kepada seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum
pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan orang tidak akan melakukan tindak
pidana. Pengertian tentang sanksi pidana menurut Herbert L. Packer dalam bukunya
The Limits of Criminal Sanction adalah:
Criminal punishment means simply any particular disposition or the range or
permissible disposition that the law authorizes (or appears to authorize) in cases
of person who have been judged through the distinctive processes of the criminal
law to be guilty of crime.58
Black's Law Dictionary Henry Campbell Black memberikan pengertian sanksi
pidana sebagai punishment attached to conviction at crimes such fines, probation and
57 Di samping ketentuan yang terdapat dalam KUHP, sesungguhnya sanksi tindakan juga diatur
dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP, yaitu Pasal 8 UU Drt Tahun 1955, yang berupa
penempatan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan untuk selama waktu tertentu (3 tahun untuk
kejahatan TPE dan 2 tahun untuk pelanggaran TPE); (1) pembayaran uang jaminan selama waktu
tertentu; (2) pembayaran sejumlah uang menurut taksiran yang diperoleh dari tindak pidana yang
dilakukan; (3) kewajiban melakukan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan
tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya
si terhukum sekadar hakim tidak menentukan lain. 58 Herbert L. Packer, Op.Cit, hlm. 35
34
sentences.59 (suatu pidana yang dijatuhkan untuk menghukum suatu penjahat
(kejahatan) seperti dengan pidana denda, pidana pengawasan dan pidana penjara).
Berdasarkan deskripsi pengertian sanksi pidana di atas dapat disimpulkan, bahwa pada
dasarnya sanksi pidana merupakan suatu pengenaan suatu derita kepada seseorang
yang dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan (perbuatan pidana) melalui suatu
rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan (hukum) yang secara khusus diberikan
untuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak
melakukan tindak pidana lagi.
Jenis-jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis-jenis pidana ini
berlaku juga bagi delik yang tercantum di luar KUHP, kecuali ketentuan undang-
undang itu menyimpang.60 Jenis-jenisnya dibedakan antara pidana pokok dan pidana
tambahan. Pidana pokok terdiri dari: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan,
pidana denda, dan pidana tutupan.61 Sedangkan pidana tambahan terdiri dari:
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan
hakim. Pidana tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan, kecuali dalam
hal tertentu.
Pertama adalah pidana pokok yang terdiri dari lima jenis pidana. Pertama,
pidana mati. Pidana mati adalah salah satu jenis pidana yang paling tua, setua umat
manusia. Pidana mati juga merupakan bentuk pidana yang paling menarik dikaji oleh
59 Henry Campbell Black, Op.Cit., hlm. 337 60 Pasal 103 KUHP. 61 Pidana tutupan merupakan jenis pidana berdasarkan KUHP terjemahan BPHN berdasarkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946.
35
para ahli karena memiliki nilai kontradiksi atau pertentangan yang tinggi antara yang
setuju dengan yang tidak setuju. Kalau di negara lain satu persatu menghapus pidana
mati, maka sebaliknya yang terjadi di Indonesia.62 Semakin banyak delik yang diancam
dengan pidana mati.
Delik yang diancam pidana mati dalam KUHP ada 9 buah, yaitu sebagai
berikut:
1. Pasal 104 KUHP (makar terhadap presiden dan wakil presiden).
2. Pasal 111 ayat (2) KUHP (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau
berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau berperang).
3. Pasal 124 ayat (1) KUHP (membantu musuh waktu perang).
4. Pasal 124 ayat (3) KUHP (menyebabkan atau memudahkan atau menganjurkan
huru hara).
5. Pasal 140 ayat (1) KUHP (makar terhadap raja atau presiden atau kepala negara
sahabat yang direncanakan atau berakibat maut).
6. Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana).63
7. Pasal 365 ayat (1) KUHP (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan
luka berat atau mati).
62 Beberapa Negara telah mencabut pidana mati seperti Brazil Tahun 1979, Republik
FederasiJermanTahun 1949, KolumbiaTahun 1919, Kosta Rika Tahun 1882, Denmark Tahun 1978,
Dominika tahun 1924, Ekuadortahun 1897, Fiji tahun 1979, Firlandia tahun 1972, Honduras tahun 1965,
Luvemburg tahun 1979, Norwegia tahun 1979, Australia tahun 1968, Portugal tahun 1977, Uruguay
tahun 1907, Venezuela tahun 1863, Eslandia tahun 1928, Swedia tahun 1973, Swiss tahun 1973. Andi
Hamzah, Asas...Op.Cit. him. 179-180. 63 Khusus untuk pidana mati terhadap pembunuhan berencana sebagaimana tercantum dalam
Pasal 340 KUHP, uraian lengkap tentang hal itu, Lihat J.E Sahetapy, Suatu Studi...Op.Cit, hlm. 279-336.
36
8. Pasal 444 KUHP (pembajakan di laut, di pesisir dan di sungai yang meng-
akibatkan kematian).
9. Pasal 479k ayat (2) dan Pasal 479o ayat (2) KUHP. (kejahatan penerbangan dan
kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan).
Kedua, pidana penjara. Pidana penjara adalah berupa pembatasan kebebasan
bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menempatkan orang tersebut
di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang menyebabkan orang tersebut
harus mentaati semua peraturan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar.64 Pidana
penjara adalah jenis pidana yang dikenal juga dengan istilah pidana pencabutan
kemerdekaan atau pidana kehilangan kemerdekaan, pidana penjara juga dikenal
dengan sebutan pidana pemasyarakatan.
Pidana penjara dewasa ini merupakan jenis utama dan umum dari pidana
kehilangan kemerdekaan. Pada jaman dahulu, pidana penjara tidak dikenal dalam
sistem hukum di Indonesia (hukum adat), yang dikenal adalah pidana pembuangan,
pidana badan berupa pemotongan anggota badan, atau dicambuk, pidana mati dan
pidana denda atau berupa pembayaran ganti kerugian.65 Pidana penjara dalam KUHP
bervariasi dari pidana penjara sementara minimal 1 hari sampai pidana penjara seumur
hidup. Pidana penjara seumur hidup hanya tercantum dimana ada ancaman pidana mati
(pidana mati atau seumur hidup atau pidana dua puluh tahun).
64 P.A.F. Lamintang, 1986. Hukum Panitensir Indonesia, Aremico, Bandung, hlm. 58. 65 Barda Nawawi Arief, 2000. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, (Cetakan Ketiga), Badan Penerbit UNDIP, Semarang.hlm, 37.
37
Ketiga, pidana kurungan. Pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua
tujuan. Pertama, sebagai custodia hunesta untuk delik yang tidak menyangkut
kejahatan kesusilaan, yaitu delik-delik culpa dan beberapa delik dolus, seperti Pasal
182 KUHP tentang perkelahian satu lawan satu dan Pasal 396 KUHP tentang pailit
sederhana. Kedua Pasal tersebut diancam dengan pidana penjara. Kedua, sebagai
custodia simplex, yaitu suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran.66
Pidana kurungan tidak dijatuhkan terhadap delik dolus, kecuali dalam Pasal 483
dan Pasal 484 KUHP tentang unsur sengaja dan culpa. Sebaliknya terdapat pidana
penjara pada delik culpa, alternatif dari pidana kurungan yang dalam satu Pasal juga
terdapat unsur sengaja dan culpa, seperti dalam Pasal 293 KUHP.67 Pidana kurungan
hakikatnya lebih ringan daripada pidana penjara dalam hal penentuan masa hukuman
kepada seseorang. Hal ini sesuai dengan stelsel pidana dalam Pasal 10 KUHP, dimana
pidana kurungan menempati urutan ketiga di bawah pidana mati dan pidana penjara.
Stelsel tersebut menggambarkan bahwa pidana yang urutannya lebih tinggi memiliki
hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan stelsel pidana yang berada di
bawahnya.
Salah satu contoh mengenai pidana kurungan adalah Pasal 359 KUHP. Pasal
tersebut menyatakan bahwa Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya)
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Demikian halnya dengan Pasal 483
66 Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 183. 67 Andi Hamzah, Op.Cit., hlm.184
38
KUHP yang menyatakan: barangsiapa menerbitkan sesuatu tulisan atau sesuatu gambar
yangkarena sifatnya dapat diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun
empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak
tiga ratus rupiah.
Mengkaji pendeknya jangka waktu pidana kurungan dibandingkan dengan
pidana penjara, dapat menarik kesimpulan bahwa pembuat undang-undang
memandang pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana penjara. Terdapat dua
perbedaan antara pidana kurungan dengan pidana penjara. Pertama, dalam hal
pelaksanaan pidana. Terpidana yang dijatuhi pidana kurungan tidak dapat dipindahkan
ke tempat lain di luar tempat ia berdiam pada waktu menjalankan pidana, kecuali kalau
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atas permintaan terpidana membolehkan
menjalani pidananya di daerah lain.68 Dalam pidana penjara terpidana dapat
dipindahkan ke tempat (LP) lain di luar tempat tinggal atau tempat kediamannya.69
Kedua, pekerjaan yang dibebankan kepada terpidana yang dijatuhi pidana kurungan
lebih ringan daripada terpidana yang dijatuhi pidana penjara.70
Keempat, pidana denda. Pidana denda adalah jenis pidana yang dikenal secara
luas di dunia, dan bahkan di Indonesia. Pidana ini diketahui sejak zaman Majapahit
dikenal sebagai pidana ganti kerugian. Menurut Andi Hamzah, pidana denda
merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua daripada pidana penjara, mungkin setua
68 Pasal 21 KUHP. 69 Muhammad Taufik Makarao, Op.Cit. hlm. 157. 70 Pasal 19 ayat (2) KUHP.
39
pidana mati.71 Pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa
pelanggaran atau kejahatan ringan. Dengan pemahaman ini, pidana denda adalah satu-
satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana.
Pidana denda diatur dalam Pasal 30 dan Pasal 31KUHP.
Pasal 30 KUHP menyatakan:
(1) Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen;
(2) Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan;
(3) Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama
enam bulan;
(4) Dalam putusan hakim lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan de-
mikian: jika pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang, dihitung
satu hari: jika lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu
hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen;
(5) Jika ada pemberatan pidana denda, disebabkan karena ada perbarengan atau
pengulangan, atau karena ketentuan Pasal 52, maka pidana kurungan pengganti
paling lama delapan bulan;
(6) Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan".
Pasal 31 KUHP menyatakan:
(1) Terpidana dapat menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas
waktu pembayaran denda.
(2) Ia selalu berwenang membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti
dengan membayar dendanya.
(3) Pembayaran sebagian dari pidana denda, baik sebelum maupun sesudah dan
mulai menjalani pidana kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari
sebagian pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.
Kelima, pidana tutupan. Pidana tutupan merupakan jenis pidana yang tercantum
dalam KUHP sebagai pidana pokok berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946.
Pasal 2 UU No. 20 Tahun 1946 menyatakan:
71 Andi Hamzah, Op.Cit, hlm. 189.
40
(1) Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan
hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim
boleh menjatuhkan hukuman tutupan.
(2) Peraturan dalam ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan
kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi
adalah sedemikian rupa, sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara
lebih pada tempatnya.
Andi Hamzah menyatakan bahwa pidana tutupan disediakan bagi para politisi
yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya.72 Namun
demikian, dalam praktik peradilan dewasa ini tidak pernah ketentuan tentang pidana
tutupan diterapkan. Hal ini karena biasanya, hakim terikat dengan ketentuan hukum
yang ada di mana ketentuan hukum yang mengatur tentang pelanggaran yang dilakukan
oleh seseorang tidak menyebutkan sanksi yang dikenakan adalah pidana tutupan.73
Kedua adalah pidana tambahan yang terdiri dari tiga jenis. Pertama, pencabutan
hak-hak tertentu. Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti
hak-hak terpidana dapat dicabut.74 Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak-
hak kehidupan dan juga hak-hak sipil dan hak-hak ketatanegaraan. Pencabutan hak-
72 Andi Hamzah, 1983, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademika
Pressindo, Jakarta, hlm. 46. 73 Muhammad Taufik Makarao, Op.Cit, hlm. 154. 74 Dari segi sejarahnya pidana pencabutan hak-hak tertentu ini ditemukan dalam hukum Romawi.
Misalnya infamia (hilangnya sejumlah hak istimewa sebagai warga Romawi atau hilangnya
kehormatan), deminutioexistimationis fpengurangan kehormatan) yang dijatuhkan terhadap perbuatan
melakukan pekerjaan-pekerjaan tidak terhormat, termasuk pada pelanggaran kontrak, dan juga
berhubungan dengan vonis terhadap sejumlah kejahatan tertentu. Cirinya adalah bahwa hukuman
demikian tidak dijatuhkan melainkan berlaku berlaku secara otomatis dan sejauh mungkin berupaya
mewujudkan restitutio in integrum yangterkadang berarti seumur hidup. Hukuman ini berwujud
pencabutan keseluruhan hak privat maupun hak publik terpidana. Sering juga berhubungan dengan delik
yang dilakukan, namun semata-mata dimaksudkan untuk merendahkan kehormatan pelaku pelanggaran
bersalah melakukan pelanggaran hukum tersebut dan menempatkannya sebagai warga kelas bawah. van
Remmelink, Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Undang-Undang Hukum
Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 492 : 93.
41
hak tertentu itu adalah suatu pidana di bidang kehormatan dengan melalui dua cara,
yaitu (1) tidak bersifat otomatis, tetapi harus ditetapkan dengan putusan hakim; dan (2)
tidak berlaku selama hidup, tetapi menurut jangka waktu menurut undang-undang
dengan suatu putusan hakim.75
Pasal 35 KUHP menyatakan hak-hak tertentu yang dapat dicabut, yaitu:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
2. Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan
umum;
4. Hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali
pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang-orang yang bukan
anak sendiri;
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwakilan atau pengampuan
atas anak sendiri;
6. Hak menjalankan pencaharian tertentu.
Kedua, perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini merupakan
pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana denda. Ada dua macam barang
yang dapat dirampas, yaitu barang-barang yang didapat karena kejahatan, dan barang-
barang yang dengan sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan. Dalam hal ini
berlaku ketentuan umum, yaitu haruslah kepunyaan terpidana, kecuali terhadap
kejahatan mata uang, dimana pidana perampasan menjadi imperatif.
Pasal 39 KUHP menyatakan:
(1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja
dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
(2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja,
atau karena pelanggaran, dapat juga dirampas seperti di atas, tetapi hanya dalam
hal yang ditentukan dalam undang-undang.
75 Andi Hamzah, Op.Cit, hlm. 192.
42
(3) Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh
Hakim diserahkan kepada Pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang
disita.
Ketiga, pengumuman putusan hakim. Dalam Pasal 43 KUHP ditentukan bahwa
apabila hakim memerintahkan supaya diumumkan berdasarkan kitab undang-undang
ini atau aturan umum yang lain, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara
melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Menurut Andi Hamzah, kalau
diperhatikan delik-delik yang dapat dijatuhi tambahan berupa pengumuman putusan
hakim, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pidana tambahan ini adalah agar
masyarakat waspada terhadap kejahatan-kejahatan seperti penggelapan, perbuatan
curang dan lainnya.76
1.3.3. Perbedaan antara Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan
Sanksi pidana bersumber dari ide dasar, mengapa diadakan pemidanaan?
Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari dari ide dasar untuk apa diadakan
pemidanaan? Sanksi pidana pada dasarnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan,
sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut.
Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan
penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera), maka fokus sanksi tindakan terarah
pada upaya memberi pertolongan agar pelaku berubah.77 Dengan demikian, sanksi
pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). la merupakan penderitaan
76 Andi Hamzah, 1985, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi,
Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 53 77 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005. Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 88.
43
yang sengaja dibebankan kepada si pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber
dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pelanggar.78
Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa kepada pelanggar
supaya ia merasakan akibat perbuatannya, dan merupakan bentuk pernyataan
pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih
bersifat mendidik. Jika ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan, maka sanksi
tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. la semata-mata ditujukan pada
prevensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan
kepetingannya.
Perbedaan orientasi dasar dari dua jenis sanksi tersebut sebenarnya memiliki
kaitan pula dengan paham filsafat yang memayunginya, yakni filsafat indeterminisme
sebagai sumber sanksi pidana dan filsafat determinisme sebagai sumber sanksi
tindakan. Sebagaimana diketahui, asumsi dasar filsafat indeterminisme adalah
sejatinya manusia memiliki kehendak bebas, termasuk ketika ia melakukan kejahatan.
Karenanya sebagai konsekuensi pilihan bebasnya, maka setiap pemidanaan harus
diarahkan pada pencelaan moral dan pengenaan penderitaan bagi pelaku.79
Determinisme bertolak dari asumsi bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia,
baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok masyarakat, ditentukan oleh
faktor-faktor fisik, geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis, dan
78 Sudarto, 1973. Hukum Pidana I (Jilid 1 A), Badan Penyediaan Kuliah FH UNDIP, Semarang,
hlm. 7. 79 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit.,hlm. 89.
44
keagamaan yang ada. Perilaku jahat seseorang ataupun masyarakat ditentukan oleh
berbagai faktor itu, dan karenanya setiap pemidanaan hanya dapat dibenarkan dengan
maksud merehabilitasi pelaku, atau, kejahatan sebenarnya merupakan manifestasi dari
keadaan jiwa seseorang yang abnormal.80 Dengan demikian, si pelaku tidak dapat
dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana.
Perbedaan ide dasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan seperti tersebut
di atas, dapat pula ditemukan dalam teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Substansi
teori absolut ataupun teori relatif sesungguhnya berkisar pada perbedaan hakikat ide
dasar sanksi pidana dan sanksi tindakan. Teori absolut (teori retributif), misalnya,
memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah
dilakukan. Jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu
sendiri. Teori retributif mencari pendasaran pemidanaan dengan memandang ke masa
lampau (backward looking), yakni memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan
yang telah dilakukan. Menurut teori ini, pemidanaan diberikan karena si pelaku harus
menerima sanksi itu demi karugian yang sudah diakibatkan. Karenanya teori ini disebut
juga sebagai teori proporsionalitas. Demi alasan itu, pemidanaan dibenarkan secara
moral.81
Teori relatif (teori tujuan), berporos pada tiga tujuan pemidanaan, yaitu
preventif, deterrence, dan reformatif. Tujuan prevention dalam pemidanaan adalah
untuk melindungi masyarakat, dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari
80 Sudarto, Op.,Cit, hlm. 89-90. 81 Sudarto, Op.,Cit, hlm. 90-91.
45
masyarakat. Tujuan menakuti atau deterrence dalam pemidanaan tidak lain agar timbul
rasa takut untuk melakukan kejahatan. 82 Teori relatif memandang, pemidanaan bukan
sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapi tujuan
yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini
muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang
ditujukan pada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat.83
1.4. Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana Terkait Euthanasia
1.4.1. Pengertian Melawan Hukum
Wedderechtelijk merupakan bahasa Belanda yang mempunyai padanan kata
dengan melawan hukum, yang menunjukkan sifat tidak sah suatu tindakan atau suatu
maksud. Penggunaan kata Wedderechtelijk oleh pembentuk undang-undang untuk
menunjukkan sifat tidak sah suatu tindakan itu dijumpai dalam rumusan-rumusan delik
dalam Pasal KUHP seperti Pasal 167 ayat (1), 179,180 dan Pasal 190.84
Pasal 167 ayat (1) KUHP:
Barangsiapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup
yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan
melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi
dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 179 KUHP:
82 M. Sholeduddin, Op.,Cit. hlm. 40-41. 83 Ibid 84 Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 141.
46
Barangsiapa dengan sengaja menodai kuburan atau dengan sengaja dan melawan
hukum menghancurkan atau merusak tanda peringatan di tempat kuburan, diancam
dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.
Pasal 180 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menggali atau mengambil
jenazah atau memindahkan atau mengangkut jenasah yang sudah digali atau
diambil, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 190 KUHP:
Barangsiapa pada waktu ada, atau akan ada banjir, dengan sengaja dan melawan
hukum menyembunyikan atau membikin tak dapat dipakai bahan-bahan untuk
tanggul atau perkakas-perkakas atau menggagalkan usaha untuk membetulkan
tanggul-tanggul atau bangunan-bangunan pengairan, atau merintangi usaha untuk
mencegah atau menahan banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
Sedangkan penggunaan kata wederrechtelijk untuk menunjukkan sifat tidak sah suatu
maksud dapat dijumpai antara lain dalam rumusan-rumusan delik dalam Pasal KUHP
seperti Pasal 328, 339, 362 dan Pasal 389.85
Pasal 328 KUHP:
Barangsiapa membawa pergi seseorang dari tempat kediamannya atau tempat
tinggalnya sementara dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara
melawan hukum di bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau untuk
menempatkan dia dalam keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 339 KUHP:
85 Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, dalam Mahrus Ali, 2011, Dasar-
Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 141.
47
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana,
yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari
pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan
barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Pasal 362 KUHP:
Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 389 KUHP:
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, menghancurkan, memindahkan, membuang atau
membikin tak dapat dipakai sesuatu yang digunakan untuk menentukan batas
pekarangan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
Para ahli hukum pidana memberikan pengertian melawan hukum dalam makna
yang beragam. Bemmelen mengartikan melawan hukum dengan dua pengertian, yaitu
sebagai bertentangan dengan ketelitian yang pantas dalam pergaulan masyarakat
mengenai orang lain atau barang dan bertentangan dengan kewajiban yang ditetapkan
oleh undang-undang.86 Hazewinkel el-Suringa mengartikan melawan hukum dengan
86 Van Bemmelen, 1984. Hukum Pidana Hukum Pidana Material Bagian Umum, dalam Mahrus
Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 141.
48
tiga makna, yaitu tanpa hak atau wewenang sendiri, bertentangan dengan hak orang
lain dan bertentangan dengan hukum objektif.87
Kata hukum dalam frase melawan hukum dalam Memorie van Toelichting
(MvT) atau sejarah pembentukan KUHP di Belanda tidak ditemukan. Jika merujuk
pada postulat contra legem facit qui id facit quod lex prohibit; in fraudem vero qui,
salvis verbis legis, sententiam ejus circumuenit, maka dapat diartikan bahwa seseorang
dinyatakan melawan hukum ketika perbuatan yang dilakukan adalah suatu perbuatan
yang dilarang oleh hukum.88
Van Hamel mencoba menjelaskan apakah yang dimaksudkan dengan kata
hukum dalam frase melawan hukum sebagai berikut:
Gelijk is opgemerkt, wordt in vele artikelen van het starfwetboek het
deliktsbestanddeel der onrechtmatigheid uitgedrukt door het wederrechtelijk,
gebruikt ten aan zien of van de handeling........... Tegenover elkaar zijn dan gesteld
twee verklaringen. 1. De positieve: wederrechtelijk beduit, in strijd met het recht
(objectief, b.v Simons Leerb. 191 v.) of met krenking van eens anders recht
(subjectief, b.v Noyon); de negatieve: wederrechtelijk beduit, niet steunend op het
recht (objectief) of zonder bevoegdheid (subjectief, b.v H.R.).89
(Seperti telah dinyatakan, banyak Pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana,
unsur-unsur delik tentang melawan hukum dinyatakan dengan istilah melawan
hukum yang digunakan terhadap kelakuan..............Jadi ada dua keterangan yang
berseberangan. 1. Positif: melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum
(objektif, seperti ajaran Simons dalam bukunya halaman 191) atau merusak hak
orang lain (subyektif, seperti Noyon); Negatif, melawan hukum berarti tidak
berdasarkan hukum (objektif) atau tanpa kewenangan (subyektif seperti Mahkamah
Agung).
87 Ibid. 88 Eddy O.S Hiariej, 2014. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta,
hlm. 190. 89 G.A van Hamel, 1913. Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlanssche Strafrecht, Derde Druk,
De Erven F. Bohn Haarlem & Gebr. Belinfante’s-gravenhage.p.270.
49
Pengertian melawan hukum itu sendiri, dikemukakan oleh Simons sebagai
berikut:
Welke is de beteekenis, die in hier aangegeven bepalingen aan de uitdrukking
wederrechtelijk moet worden toegekend? Terwijl naar veler meening die term niet
anders beteekent dan zonder eigen recht, schijnt mij alleen eene opvatting
aannemrlijk, welke voor het bestaan van de wederrechtelijkheid vordert, dat er is
gehandeld in strijd met het recht. Zonder recht is iets anders dan tegen het recht
en de uitdrukking wederrechtelijk wijst ontegenzeggelijk oplaatstbedoelde
beteekenis. Het recht, waartegen handeling gericht is, behoeftniet te zijn een
subjectief recht, maar ook zijn het recht in het algemeen. Of het een of het ander
geval is, zal afhangen van den aard van het strafbare feit, bij welks omschrijving
de wetgever dien term gebruikt.90
(Apa arti yang harus diberikan mengenai istilah melawan hukum dalam ketentuan-
ketentuan ini? Sedangkan menurut pandangan orang banyak istilah tersebut tidak
lain dari pada tanpa hak sendiri. Menurut pendapat saya, hanya ada satu pandangan
yang dapat diterima mengenai adanya melawan hukum bahwa ada kelakuan yang
bertentangan dengan hukum. Tanpa hukum mempunyai arti yang lain dari pada
bertentangan dengan hukum, dan istilah melawan hukum menunjuk hanya pada arti
yang terakhir. Hukum yang dituju oleh perbuatan tersebut tidak harus suatu hak
yang subjektif tetapi juga dapat merupakan suatu hak pada umumnya. Mana yang
benar, tergantung pada sifat perbuatan pidana dan tergantung pada rumusan
pembentuk undang-undang untuk istilah tersebut).
Melanjuti pendapatnya Simon menyatakan:
..............terwijl die beantwoording naar onngeschreven regelen den grondslag van
het positieve recht geheel wankel maakt. Wel mag worden erkend, dat eene
handeling, die onder een verbiedend rechtsvoorschrift valt, daarom niet
onvoorwaardelijk wederrechtelijk is, doch de niet-wederrechtelijkheid mag slechts
worden aangenomen, indien in het positieve recht de grondslag te vinden is voor
eene uitzondering op de algemeenheid der verbodsbepaling. ................. dat waar
het onregelmatig karakter twijfelachtig is schuldig verklaring niet kan volgen, acht
ik niet juist, in verband met de door mij gevolgde opvatting, dat de
wederrechtelijkheid voortvloeit uit de omstandigheid, dat de wederrechtelijkheid
voortvloeit uit de omstandigheid, dat de handeling met het verbodsvoorschrift in
strijd is en slechts wegvalt, indien eene uitzonderingop dat voorschrift aanwijsbaar
is.91
90 D. Simons, 1937. Leerboek van Het Nederlandsche Strafrecht, Eerste Deel, Zesde Druk, P.
Noordhoof, N.V.-Groningen-Batavia. 91 Ibid, hlm, 275
50
(..............sementara jawaban-jawaban yang didasarkan pada hukum yang tidak
tertulis menggoncangkan dasar-dasar hukum positif. Meskipun diakui bahwa tidak
perlu perbuatan yang mencocoki rumusan delik adalah bersifat melawan hukum,
akan tetapi pengecualian yang demikian hanya boleh diterima apabila mempunyai
dasar-dasar dalam hukum positif itu sendiri..................dalam hal ada keraguan
tentang ketidak beraturan karakter, tidak dapat diikuti dengan pernyataan salah,
saya tidak sependapat dengan itu, sehubungan dengan pandangan yang saya ikuti
bahwa sifat melawan hukum berasal dari keadaan bahwa perbuatan bertentangan
dengan larangan tertulis dan hanya hapus bilamana dapat ditunjuk suatu
pengecualian terhadap ketentuan tersebut).
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Van Hamel dan Simons paling tidak
ada tiga pengertian hukum dalam frase melawan hukum. Pertama, hukum dalam
pengertian objectief recht yang dikemukakan Simons yakni hukum dalam pengertian
hukum tertulis dan menolak hukum tidak tertulis. Kedua, hukum dalam pengertian
subjectief recht seperti yang dikemukakan oleh Noyon. Artinya, melawan hak
seseorang. Ketiga, pengertian hukum dalam frase melawan hukum diartikan sebagai
tanpa kewenangan.
Pandangan Simons terkait pengertian hukum semata hanyalah hukum tertulis
atau undang-undang ditentang oleh Noyon dan Langemeijer sebagai berikut:
Nu laat zich reeds aantonds voorop stellen, dat de eerste opvatting en taalkundig
en systematisch het sterkst staat. ”Wederrechtelijk” wijst in de richting van een
botsing met, niet van enkel gemis aan steun in het recht, maar dan ook van een
botsing met het recht zonder onderscheid, ongeacht of het geschreven of
ongestchrevenis en of het aan iemand op het achterwege blijven van het betreffende
gedrag een subjectief recht verleent in den technisch jusrisdischen trouwens nog
weinig vaststaanden zin. Ook ligt het apriori meer voor de hand om te
veronderstellen dat de wetgever de strafbaar heid van eenig gedrag daarvan laat
afhangen, of het met het objectieve recht al dan niet in sttrijd komt, dan dat hij
ofwel die strafbaarheid reeds zou laten intreden wanner geen subjectief recht
bestaat om zich aldus te gedragen ofwel eerstdan wanneer bahalve op strijd met
51
het objectieve recht ook op inbreuk in het subjectieve recht van een ander valt te
wijzen.92
(Dari dulu sudah kelihatan bahwa pendapat pertama adalah yang terkuat baik
menurut tata bahasa sistematis. ”Melawan Hukum” menunjuk pada bertentangan
dengan bukan hanya kehilangan dukungan dalam hukum, tetapi juga bertentangan
dengan hukum tanpa membeda-bedakan apakah tertulis ataukah tidak tertulis dan
apakah pada seseorang karena tidak adanya kelakuan itu lalu demikian suatu hal
subjektif dalam arti teknis juridis. Juga secara apriori lebih gampang menduga
bahwa pembentuk undang-undang menggantungkan dapat dipidananya suatu
kelakuan yaitu bertentangan atau tidak dengan dengan hukum obyektif yang
melanggar hak subjektif orang lain).
Pendapat Noyon dan Langemeijer mendapat sokongon dari Pompe yang secara
tegas menyatakan:
Intussen is de term wederrechtelijk thans in de wettelijke omschrijving van
verscheidene strafbare feiten opgenomen. De vraag doet zich nu voor, wat deze
term in de wet betekent. Dit is geen vraag van algemene rechstheoretische aard,
maar van interpretatie der wet. Het is niet moelijk een algemeen antwoord op deze
vraag te geven. Wederrechtelijk betekent: in strijd met het recht.93
(istilah melawan hukum banyak dipakai dalam rumusan delik. Apa arti istilah ini
dalam undang-undang. Ini bukan soal teori hukum umum tetapi interpretasi
undang-undang. Tidak sukar untuk memberi jawaban umum atas pertanyaan ini.
Bahwa melawan hukum berarti: bertentangan dengan hukum).
Pompe melanjutkan pendapatnya, ”Wederrechtelijk betekent: in strijd met het
recht, hetgeen ruimer is dan: in strij met de wet. Behalve wettelijke voorschriften
komen hier ongeschreven regelen in annmerking”94 (melawan hukum berarti:
bertentangan dengan hukum, tidak hanya sebatas: bertentangan dengan undang-
undang. Selain dari peraturan perundang-undangan tertulis, harus diperhatikan aturan-
92 T.J Noyon & G.E. Lengemeijer, 1947. Het Wetboek Van Strafrecht, Vijfde Druk, Eerste Deel
Inleiding Boek I, S. Gouda Quint-D. Brouwer En Zoon, Uitgevers Het Huis De Grabbe-Arnhem. 93 W.P.J. Pompe, 1959. Hanboek Van Het Nederlandse strafrecht , Vijfde Herziene Druk, N.V.
Uitgever-Maatschappij W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, p. 103-104 94 Ibid.
52
aturan tidak tertulis). Demikian juga menurut van Bemmelen dan van Hatum yang
menyebutkan: ”In deze geschiedenis vind ik geen aanwijzing dat de betekenis van
wederrechtelijk niet beperkt zou zijn tot: in strijd met het geschreven recht”95 (dalam
sejarah saya tidak menemukan bahwa arti dari melawan hukum itu tidak terbatas pada
bertentangan dengan hukum tertulis).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dikelompokkan pengertian hukum
dalam frase melawan hukum meliputi empat pengertian, yaitu: pertama: hukum tertulis
atau objectief recht. Kedua, subjectief recht atau hak seseorang. Ketiga, tanpa
kekuasaan atau tanpa kewenangan. Hal ini berdasarkan Putusan Hoge Raad 18
Desember 1911 W. Nr. 9263. Keempat, hukum tidak tertulis. Dalam konteks hukum di
Indonesia termasuk dalam hukum tidak tertulis adalah hukum adat norma-norma
lainnya yang terkandung dalam masyarakat.
Komariah Emong Supardjadja dalam disertasinya menjelaskan arti melawan
hukum dalam hukum perdata dengan menyandingkan ketentuan Pasal 1382 Code Civil
Perancis, Pasal 1401 Burgerlijk Wetboek Belanda dan Pasal 1365 KUH Perdata. Secara
tegas Pasal 1382 Code Civil Perancis menentukan: ”tour fait quencongue de L’homme,
quil cause un dommage, oblige celui pa la faute duquel il est arrive, a le reparer”.
Sementara dalam Pasal 1401 Burgerlijk Wetboek Belanda disebutkan ”Elke on
Rechtmatige daad, waardoor aan een Ander schade wordt toegebracht, stelt dengene
door wiens sculd die schade veoorzaakt is in de verplicgting om dezelft te goeden”.
95 J.M.van Bemmelen En W.F.C. van Hattum, Op.Cit,hlm.224.
53
Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia menentukan: ”tiap perbuatan melanggar hukum
yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”96
Menyandingkan ketiga peraturan tersebut di atas, terlihat bahwa teks Belanda
berisikan ketentuan onrechtmatige daad yang tidak ada dalam Pasal 1382 Code Civil
Perancis. Pembentuk undang-undang di Belanda yang sengaja merubah perkataan
”..........tout fair quelconque de L’homme.....” yang sama artinya dengan
wederrechtelijk dengan perkataan onrechtmatige daad, untuk menegaskan bahwa tidak
setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada seseorang adalah melawan
hukum.97
Penulis sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Noyon, Langemeijer
dan Pompe, yang menyatakan dengan jelas bahwa melawan hukum tidak hanya
terbatas pada perbuatan yang bertentangan/melawan hukum dalam suatu peraturan
perundang-undangan tertulis, tetapi juga bertentangan dengan peraturan-peraturan
yang tidak tertulis. Jika dikaitkan dengan euthanasia, maka tidak ada perbuatan yang
dikategorikan melawan hukum baik dalam peraturan perundang-undangan tertulis
maupun peraturan tidak tertulis. Euthanasia pada hakekatnya merupakan suatu proses
mempercepat kematian yang diinginkan oleh pasien yang mengalami sakit kronis
(terminal) yang sudah dalam kondisi menuju kematian.
96 E. Utrecht, 1960. hukum Pidana I, dalam Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana,
Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 143. 97 Mahrus Ali, Op.,Cit, hlm.144
54
Tindakan euthanasia secara umum dibagi dalam dua kelompok yaitu euthansia
aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia pasif merupakan perbuatan yang dilakukan
pasien atau keluarga pasien untuk menghentikan segala jenis pengobatan yang sedang
berlangsung karena memandang penyakit yang diderita pasien sudah tidak dapat
diobati dan disembuhkan. Euthanasia aktif umumnya selalu berkaitan dengan suatu
penyakit yang parah, dengan tindakan aktif yang dilakukan yang bertujuan untuk
mengurangi penderitaan pasien dengan resiko kehidupannya diperbaiki. Jadi perbuatan
euthanasia bukan merupakan perbuatan melawan hukum, yang bertentangan dengan
hukum atau perbuatan yang tergolong anti sosial, baik euthanasia pasif maupun
euthanasia aktif.
1.4.2. Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana
Kedudukan sifat melawan hukum dalam hukum pidana mempunyai ciri
tersendiri. Telah terjadi kesepahaman secara umum di kalangan para ahli hukum pidana
dalam melihat sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan perbuatan pidana.
Bersifat melawan hukum mutlak untuk setiap perbuatan pidana. Andi Zainal Abidin
mengatakan bahwa salah satu unsur esensial delik adalah sifat melawan hukum
(Wederrechtelijkheid) yang dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu Pasal
undang-undang pidana, karena alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana ketika
melakukan perbuatan yang tidak melawan hukum.98
98 Andi Zainal Abidin Farid,2007, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm, 47.
55
Roeslan Saleh menyatakan memidana sesuatu yang tidak melawan hukum tidak
ada artinya.99 Berdasarkan dua pendapat tersebut dapat kiranya disimpulkan bahwa
untuk dapat dikatakan seseorang melakukan perbuatan pidana, maka terhadap
perbuatan tersebut haruslah bersifat melawan hukum.
1.4.2.1. Sifat Melawan Hukum Umum
Melawan hukum sebagai elemen perbuatan pidana dapat dikatakan sebagai sifat
melawan hukum umum atau generale wederrechtelijkheid. Sifat melawan hukum ini
adalah syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan
pidana oleh Ch.J. Enschede sebagai, ”een menselijke gedraging die valt binnen de
grenzen van delictsomsschrijving, wederrechtelijk is en aan schuld te wijten”
(perbuatan pidana adalah suatu perbuatan manusia yang termasuk dalam rumusan
delik, melawan hukum, dan kesalahan yang dapat dicelakan padanya).100
Melawan hukum sebagai syarat umum perbuatan pidana tersimpul dalam
pernyataan van Hamel, ”De onrechtmatigheid van het delik is een bestanddeelen van
het algemeen begrip............De strafwetgever stelt dit bestanddeel meestal niet, maar
hij veronderstelt het altijd.101 (sifat melawan hukum dari suatu perbuatan pidana adalah
bagian dari suatu pengertian yang umum..........Pembuat undang-undang pidana tidak
pernah menyatakan bagian ini tetapi selalu merupakan dugaan).
99 Roeslan Saleh 1987, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta,
hlm. 1. 100 Ch. J. Enschede, 2002, Beginselen van Strafrecht, Kluwer, Deventer, hlm.156. 101 G.A. van Hamel, Op.Cit, hlm.263-264.
56
Ketentuan KUHP yang berlaku sekarang adakalanya perkataan melawan
hukum dirumuskan secara tegas dan eksplisit di dalam rumusan delik dan adakalanya
tidak dirumuskan secara tegas dan eksplisit. Memperhatikan rumusan yang terdapat
dalam Pasal yang paling mendekati tindakan euthanasia yaitu Pasal 344 KUHP,
kalimat melawan hukum tidak dirumuskan secara tegas dan ekplisit. Hal ini memiliki
arti ruang lingkup rumusan delik dalam Pasal 344 KUHP sangat luas. Apabila kalimat
melawan hukum dirumuskan dan dicantumkan secara tegas dalam rumusan delik, hal
demikian memiliki arti penting untuk memberikan perlindungan atau jaminan tidak
dipidananya orang yang berhak atau berwenang melakukan perbuatan-perbuatan
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.102
Schaffmeister berpendapat, ditambahkannya perkataan melawan hukum
sebagai salah satu unsur dalam rumusan delik dimaksudkan untuk membatasi ruang
lingkup rumusan delik yang dibuat terlalu luas. Hanya jika suatu perilaku yang secara
formal dapat dirumuskan dalam ruang lingkup rumusan delik, namun secara umum
sebenarnya bukan merupakan perbuatan pidana, maka syarat melawan hukum
dijadikan satu bagian dari rumusan delik.103 Konsekuensinya adalah pencantuman
melawan hukum dalam rumusan delik menyebabkan jaksa penuntut umum harus
membuktikan unsur tersebut.
102 Tongat, 2008. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, UMM
Press, Malang, hlm.211. 103 Chairul Huda, 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada Pertanggung
jawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, hlm. 50.
57
Perkataan melawan hukum jika tidak disebutkan atau dicantumkan secara tegas
dan eksplisit dalam rumusan delik, maka unsur melawan hukum tersebut tidak perlu
dibuktikan. Unsur melawan hukumnya perbuatan itu secara otomatis telah terbukti
dengan telah terbuktinya perbuatan yang dilarang.104 Dengan perkataan lain, walaupun
kata melawan hukum tidak disebutkan dalam rumusan delik, maka secara diam-diam
sifat melawan hukum tersebut telah ada dalam suatu delik.105 Merampas nyawa orang
lain yang terdapat dalam rumusan Pasal 344 KUHP merupakan unsur melawan hukum
yang secara otomatis telah terbukti dengan telah terbuktinya perbuatan yang dilarang
yaitu merampas nyawa orang lain.
1.4.2.2. Sifat Melawan Hukum Khusus
Sifat melawan hukum khusus atau speciale wederrechtelijkheid, biasanya kata
melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian sifat melawan
hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Sebenarnya
penyebutan kata melawan hukum secara eksplisit dalam rumusan delik merujuk pada
ilmu hukum Jerman yang diajarkan sejumlah pakar antara lain, Zevenbergen dan
pengikutnya di Belanda, Simons. Menurut pandangan ini, melawan hukum hanya
merupakan unsur delik sepanjang disebutkan dengan tegas dalam peraturan perundang-
undangan.
Sebagai misalnya Pasal 372 KUHP, ”Barangsiapa dengan sengaja dan melawan
hukum mengaku sebagai milik sendiri barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
104 Tonggat, Op.Cit, hlm. 214. 105 Chairul Huda, Op.Cit, hlm.52
58
adalah kepunyaan orang lain, tetapi barang yang ada dalam kekuasaannya bukan hasil
kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.
Dalam Pasal tersebut kata-kata melawan hukum disebut secara ekspresiv verbis.
Konsekuensi lebih lanjut melawan hukum merupakan unsur delik yang harus
dibuktikan. Mengenai hal ini Hazewinkel Suringa menyatakan:
Bij die delicten, waarin als element wederrechtelijk voorkomt, is de delictsinhoud
dus niet verwerkelijkt, als de gedraging blijkt een rechtmatige te zijn. Dit effect nu
kan de toestemming van de betrokkeneteweeg brengen. In tal van
delictsomschrijvingen werd de factor wederrechtelijk opgenomen om te
voorkomen, dat iemand, die krachtens een eigen recht handelde, onder de worden
van de strafwet zou vallen.106
(pada delik-delik yang mencantumkan melawan hukum sebagai unsur, maka isi
dari delik itu tidak terwujud jika kelakuan itu ternyata sesuatu yang menurut
hukum. Akibat demikian ini dapat ditimbulkan oleh persetujuan dari orang yang
bersangkutan. Dalam banyak rumusan-rumusan delik faktor melawan hukum itu
dimasukkan untuk mencegah, bahwa seseorang yang berbuat berdasarkan haknya
sendiri berbuat akan termasuk dalam lingkup rumusan undang-undang).
Van Bemmelen dan van Hattum, menyatakan: ”Bij delicten waarbij de
wederrechtelijkheid in de delictsomschrijving is opgenomen is ieder het er over eens
dat bij twijfel dit bestaddel dus niet is bewezen zodat vrijspraak moet volgen”.107
(Terhadap delik-delik yang sifat melawan hukum dalam rumusan delik dan unsur-
unsur lain tidak terbukti, terdakwa dibebaskan). Oleh karena itu Schaffmeister
berpendapat bahwa melawan hukum tidak perlu disebut dalam rumusan delik
sebagaimana pernyataannya, ”Daarom hoefde de wetgever in zijn visie niet steeds de
106 Hazewinkel Suringa, 1953. Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Stafrecht, H.D.
TjeenkWillink &Zoon N.V.-Harleem. 107 Ibid, hlm.197
59
wederrechtelijkheid en de verwijtbaarheid in de wetteks op te nemen: het zijn algemene
vorrwaarden van strafbaarheid.....108 (Karena itu pembuat Undang-Undang menurut
pendapat saya, tidak perlu selalu mencantumkan sifat melawan hukum dan kesalahan
dalam teks undang-undang: hal itu merupakan syarat umum bagi sifat dapat
dipidananya suatu perbuatan).
Sifat melawan hukum seperti yang dikemukakan oleh Schaffmeister seperti
diatas, dapat disimpulkan dengan argumentasi bahwa: pertama: melawan hukum
adalah syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sehingga tidak perlu
dimasukkan dalam rumusan delik. Kedua: jika melawan hukum dimasukkan ke dalam
rumusan delik, maka akan memberikan pekerjaan tambahan kepada penuntut umum
untuk membuktikannya di pengadilan. Ketiga: merujuk pada pengertian kata hukum
dalam frase melawan hukum di atas, jika kata-kata melawan hukum dimasukkan dalam
rumusan delik, penafsirannya terlampau luas sehingga bertentangan dengan prinsip lex
certa (ketentuan pidana harus jelas) dan lex stricta (ketentuan pidana harus ditafsirkan
secara ketat) sebagai prinsip-prinsip yang terkandung dalam asas legalitas.
1.4.2.3. Sifat Melawan Hukum Formil
Menurut doktrin hukum pidana, ajaran sifat melawan hukum dapat dibagi
menjadi dua, yaitu: sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil.
Sifat melawan hukum formil adalah suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan
108 Komariah Emong Supardjadja, Op.Cit, hlm. 24.
60
hukum, apabila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik
dalam undang-undang.109
Moeljatno menyatakan bahwa suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan
hukum apabila perbuatan tersebut telah mencocoki larangan undang-undang.110 Jadi
menurut pemikiran ini suatu perbuatan tidak bisa dianggap bersifat melawan hukum
apabila perbuatan tersebut tidak secara eksplisit dirumuskan dalam undang-undang
sebagai perbuatan pidana, sekalipun perbuatan tersebut sangat merugikan masyarakat.
Ukuran untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum atau
tidak adalah undang-undang.
Mencermati pernyataan suatu perbuatan bersifat melawan hukum jika secara
eksplisit dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan sebagai perbuatan
melawan hukum. Dikaitkan dengan euthanasia, perbuatan yang dilakukan adalah
untuk meringankan penderitaan pasien yang mengalami sakit parah pada tahap akhir
yang mengakibatkan kematian pasien. Peraturan perundang-undangan tidak ada
mengatur tentang euthanasia. Perbuatan euthanasia jika dikaji dari KUHP, yang paling
mendekati terdapat dalam rumusan Pasal 344 KUHP yang menyatakan: barangsiapa
merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Dalam rumusan Pasal tersebut, jelas dinyatakan bahwa setiap orang yang merampas
109 Sudarto, 1975. Hukum Pidana Jilid 1 A-B, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Semarang, hlm. 62. 110 Moeljatno, Op.,Cit, hlm.140.
61
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri adalah perbuatan yang bersifat
melawan hukum formil.
Salah satu penganut ajaran sifat melawan hukum formil adalah Simons. Dia
mengatakan bahwa untuk dapat dipidana maka perbuatan yang dilakukan harus
dicakup oleh uraian undang-undang, sesuai dengan isi delik berdasarkan ketentuan
pidana di dalam undang-undang. Dalam hal terjadi demikian, maka pada umumnya
tidaklah lagi tepat untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang sifat melawan
hukum bilamana suatu perbuatan memenuhi rumusan delik, sehingga telah ada sifat
melawan hukum.111
Terdapat dua pemahaman dalam ajaran sifat melawan hukum formil, yaitu:
pertama, dalam ajaran sifat melawan hukum formil, suatu perbuatan dikatakan bersifat
melawan hukum, ketika perbuatan tersebut sudah dirumuskan dalam undang-undang
sebagai perbuatan yang diancam pidana. Menurut ajaran ini, perbuatan yang dianggap
bersifat melawan hukum hanyalah perbuatan-perbuatan yang secara formil telah
dirumuskan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana.
Kedua, hal yang dapat menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan
hanyalah undang-undang. Sekalipun suatu perbuatan secara materiil (nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat) tidak dianggap sebagai perbuatan yang bersifat melawan
hukum, dalam arti perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tetapi apabila secara
111 A. Zainal Abidin Farid, Op.,Cit. hlm.242-243.
62
formil tidak dirumuskan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana yang
dilarang, maka perbuatan tersebut secara formil tetap dianggap sebagai perbuatan yang
bersifat melawan hukum. Dengan demikian, sifat melawan hukumnya perbuatan yang
telah dirumuskaan dalam undang-undang hanya dapat dihapuskan oleh undang-
undang.112
Sifat melawan hukum formil direfleksikan dengan dianutnya asas legalitas
formal yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang di dalam
perkembangannya telah melahirkan berbagai kritik. Salah satu kritik tajam yang
muncul berkenaan dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 tersebut adalah, bahwa
ketentuan Pasal tersebut seringkali menjadi sarana berlindung bagi para pelaku tindak
pidana. Dengan berdalih bahwa belum ada ketentuan tertulis yang mengatur, mereka
seringkali lepas dari jeratan hukum pidana, sekalipun perbuatan tersebut sangat
merugikan dan menelantarkan rasa keadilan masyarakat.
Ajaran sifat melawan hukum formil hakikatnya tidak seiring dengan nilai-nilai
yang berkembang dalam masyarakat. Ajaran ini mengandung kelemahan yang cukup
mendasar, sebab tidak setiap perbuatan yang memenuhi rumusan delik dalam undang-
undang senantiasa bersifat melawan hukum, karena mungkin ada hal-hal yang
menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu.
112 Tongat, Op.,Cit. hlm. 196.
63
1.4.2.4. Sifat Melawan Hukum Materiel
Sifat melawan hukum materiel atau materieel wederrechtelijkheid terdapat dua
pandangan. Pertama, sifat melawan hukum materiel dilihat dari sudut perbuatannya.
Hal ini mengandung arti perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan
hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik
tertentu. Biasanya sifat melawan hukum materiil ini dengan sendirinya melekat pada
delik-delik yang dirumuskan secara meteriel. Kedua, sifat melawan hukum materiel
dilihat dari sudut sumber hukumnya. Hal ini mengandung makna bertentangan dengan
hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas kepatutan
atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial dalam masyarakat.113
Sifat melawan hukum materiel dalam hukum pidana sebenarnya berasal dari
Jerman dengan salah satu tokohnya adalah Von Liszt, yang secara tegas menyatakan
bahwa setiap perbuatan yang anti sosial adalah wederrechtelijk.114 Hal ini juga jelas
tersurat dalam pernyataan van Bemmelen dan van Hattum sebagai berikut:
Het spreekt welhaast van zelf dan onzen wetgever de materiele
wederrechtelijkheidsleer allerminst voor ogen heeft gestaan en dat we voor deze
leer in de wet derhalve geen aanknopingspunten kunnen vinden. Immers in 1875
werd ongeschreven recht in Nederland nauwelijks geduld. Voor onze vraag blijkt
dit duiderlijk uit de geschiedenid van het woord wederrechtelijk in het
strafwetboek.115
(Terhadap pembentuk undang-undang kita, ajaran sifat melawan hukum meteriil
tidak dipikirkan, maka untuk ajaran ini dalam undang-undang tidak ada ketentuan
tersebut. Bahkan di tahun 1875, hukum tidak tertulis hampir tidak dibolehkan di
113 Barda Nawawi Arief, 2005. Masalah Kodifikasi, Unifikasi dan Konsep Ajaran Sifat Melawan
Hukum Material dalam RUU KUHP, Focus Group Discussion terhadap RUU KUHP, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 25 Juni 2005, hlm. 8. 114 E. Utrecht, 1960. Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas, Bandung, hlm.270. 115 J.M Bemellen En W.F.C. van Hattum, Op.,Cit, hlm. 222-223
64
Belanda. Pertanyaan bagi kita, ternyata jelas dari sejarah istilah melawan hukum
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditemukan dalam banyak Pasal).
Menurut pendapat Hazewinkel Suringa: in Duitsland bestaat een stroming, die
aan deze zogenaamde meterile wederrechtelijkheid een plaats wil inruimen; die dus
aan een gedraging, welke formeel en delict oplevert, formeel wederrechtelijke is......116
(Di Jerman ada aliran sifat melawan hukum materiil; kelakuan yang secara formil
merupakan suatu delik secara hukum adalah bersifat melawan hukum). Kemudian Vos
mengemukakan pendapatnya: ”De leer der materiele wederrechtelijkheid vindt men
voornamelijk door, duitse schrijvers ontwikkeld. Zo noemt Von Liszt een handeling
wederrechtelijk, als zij anti-sociaal is117 (Ajaran sifat melawan hukum materiel
dikemukakan oleh seorang penulis Jerman. Dia adalah Von Liszt yang menyatakan
kelakuan yang melawan hukum adalah anti sosial).
Ajaran sifat melawan hukum materiil berpandangan bahwa sifat melawan
hukumnya perbuatan itu tidak hanya didasarkan pada undang-undang saja atau hukum
tertulis saja, tetapi harus juga didasarkan pada asas-asas hukum yang tidak tertulis.
Menurut ajaran ini, sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata diatur dalam
undang-undang dapat hapus baik karena ketentuan undang-undang maupun aturan-
aturan yang tidak tertulis. Oleh karena itu, melawan hukum berarti bertentangan
dengan undang-undang maupun hukum tidak tertulis atau nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat yaitu tata susila, nilai kepatutan, nilai moral, dan nilai agama. Suatu
116 Hazewinkel Suringa, Op.,Cit. hlm.192 117 H.B. Vos, Op.,Cit, hlm. 133.
65
perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut bertentangan
dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.118
Suatu perbuatan dikatakan telah memenuhi unsur melawan hukum materiel,
apabila perbutan itu merupakan pelanggaran terhadap norma kesopanan yang lazim
atau kepatutan yang hidup dalam masyarakat.119 Setiap perbuatan yang dianggap atau
dipandang tercela oleh masyarakat merupakan perbuatan melawan hukum secara
materiel. Bagi orang Indonesia belum pernah pada saat itu bahwa hukum dan undang-
undang dipandang sama. Pandangan ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap
pendapat yang menyatakan bahwa hukum adalah undang-undang.
Moeljatno menyatakan pikiran bahwa hukum adalah undang-undang belum
pernah dialami. Bahkan sebaliknya, hampir semua hukum Indonesia asli adalah hukum
yang tidak tertulis. Peraturan-peraturan hukum pidana sebagian besar telah dimuat di
dalam KUHP dan perundang-undangan yang lain, maka pandangan tentang hukum dan
sifat melawan hukum materiel di atas, hanya mempunyai arti dalam perkecualian
perbuatan yang meskipun masuk dalam rumusan undang-undang itu tidak merupakan
perbuatan pidana. Biasanya itu yang dinamakan fungsi negatif dari sifat melawan
hukum materiil.120
118 Sudarto, Op.,Cit, hlm.63 119 Muladi (Ketua Tim), 2003. Pengkajian tentang Asas-Asas Pidana Indonesia dalam
Perkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang. Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, hlm.43. 120 Moeljatno, Op.,Cit. hlm.143
66
Penjelasan Moeljatno di atas mengisyaratkan bahwa di dalam ajaran sifat
melawan hukum materiel terkandung dua jenis sifat melawan hukum materiel, yaitu
sifat melawan hukum meteriel dalam fungsinya yang negatif dan sifat melawan hukum
materiil dalam fungsinya yang positif. Ajaran melawan hukum materiil dalam
fungsinya yang negatif berpandangan, bahwa hal-hal atau nilai-nilai yang berada di
luar undang-undang hanya diakui kemungkinannya sebagai hal yang dapat menghapus
atau menegatifkan melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-
undang. Artinya, terhadap suatu perbuatan yang secara formil dirumuskan dalam
undang-undang dapat hapus atau hilang sifat melawan hukumnya karena nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat. Jadi, dalam fungsi yang menegatifkan atau menghapus
sifat melawan hukumnya perbuatan yang secara formal telah dirumuskan dalam
undang-undang itulah nilai-nilai atau hal-hal yang berada di luar undang-undang
diakui. Misalnya dapat dilihat pada Pasal 283 ayat (1) KUHP mengenai dilarangnya
memperlihatkan alat pencegah kehamilan atau alat kontrasepsi seperti kondom kepada
seseorang yang belum cukup umur.121
Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif memiliki
pandangan yang berseberangan dengan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam
fungsinya yang negatif. Menurutnya, sumber hukum materiil atau hal-hal di luar
undang-undang dapat digunakan untuk menyatakan atau mempositifkan bahwa suatu
perbuatan tetap dipandang sebagai tindak pidana atau perbuatan melawan hukum
121 Tonggat, Op.,Cit. hlm.200-201
67
walaupun menurut undang-undang tidak merupakan tindak pidana.122 Dengan
pengertian yang sama dapat dikatakan bahwa perbuatan itu tidak dilarang oleh undang-
undang, tetapi oleh masyarakat perbuatan itu dianggap keliru.123 Ajaran sifat melawan
hukum materiil dalam fungsinya yang positif, dengan demikian, mengakui hal-hal yang
berada di luar undang-undang, yaitu nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat atau
hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum positif.
Ajaran sifat melawan hukum, dalam fungsinya yang negatif maupun yang
positif mengandung dua pemahaman, yaitu: Pertama, sifat melawan hukumnya
perbuatan itu tidak hanya didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat atau
hukum tidak tertulis (living law). Suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum
apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang atau bertentangan
dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Kedua, pengakuan terhadap nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar untuk menentukan sifat melawan
hukumnya perbuatan tersebut baik dalam fungsinya yang negatif maupun yang positif.
Pada fungsi negatif, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat hanya diakui sebagai hal
yang dapat menegatifkan atau menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan.
Sedangkan pada fungsi yang positif, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat diakui
sebagai sumber hukum positif, dalam arti sekalipun suatu perbuatan tidak
diformulasikan secara positif dalam peraturan perundang-undangan sebagai suatu
122 Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 28. 123 Molejatno, Op.,Cit, hlm.144.
68
tindak pidana, tetapi apabila perbuatan itu bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat, maka perbuatan itu berdasarkan nilai-nilai yang hidup tadi dapat
dipositifkan sebagai perbuatan pidana.124
Ajaran sifat melawan hukum dalam hukum pidana Indonesia yang diakui
eksistensinya oleh para ahli hukum pidana adalah ajaran sifat melawan hukum materiil
dalam fungsinya yang negatif. Loebby Loqman mengatakan bahwa melawan hukum
secara materiil haruslah dipergunakan secara negatif, ini berarti bahwa apabila terdapat
suatu perbuatan nyata-nyata merupakan hal yang melawan hukum secara formil,
sedangkan di dalam masyarakat perbuatan tersebut tidak tercela, jadi secara materiil
tidak melawan hukum, maka perbuatan tersebut seyogianya tidak dijatuhi pidana.125
Sudarto juga mengatakan bahwa ajaran sifat melawan hukum materiil yang dianut di
Indonesia adalah ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif.126
Pendapat Loebby Loqman dan Sudarto tersebut di atas sama dengan pendapat
ahli hukum pidana Belanda seperti Vos dan Hulsman yang menyatakan bahwa belum
tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat
melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang
saja, karena selain undang-undang ada juga hukum yang tidak tertulis berupa norma-
norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku di masyarakat, meskipun Hulsman tidak
124 Tongat, Op.,Cit, hlm.202-203. 125 Loebby Loqman, 1991, Beberapa Ikhwal di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Datacom, Jakarta, hlm. 31. 126 Sudarto, Op.,Cit, hlm. 66.
69
secara nyata menyatakan hal tersebut sebagai hukum tidak tertulis sebagai salah satu
ciri dari pengertian perbuatan melawan hukum materiil.
Pentingnya memperhatikan norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang
berlaku di masyarakat merupakan tujuan hukum yang diharapkan selain kepastian
hukum, keadilan dan kemanfaaatan. Tindakan euthanasia yang bertujuan untuk
mendapatkan kematian yang tenang tanpa rasa sakit akibat menderita penyakit yang
berkepanjangan dan tidak tertahankan merupakan suatu hal yang perlu mendapatkan
pertimbangan berdasarkan nilai kepatutan, nilai moral, nilai agama dan tentunya nilai
kemanusiaan.
Pandangan penulis dalam menganalisis tindakan euthanasia ini, berpedoman
kepada tindakan melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Mencermati
peraturan perundang-undangan yang paling mendekati euthanasia adalah berdasarkan
Pasal 344 KUHP, yang menyatakan: barang siapa merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Ini berarti terdapat suatu perbuatan
merampas nyawa orang lain yang nyata-nyata merupakan hal yang melawan hukum
secara formil, namun di dalam masyarakat perbuatan tersebut tidak tercela karena
dilakukan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan yang beradab jadi secara materiil
tidak melawan hukum, maka perbuatan tersebut seyogianya tidak dijatuhi pidana.
70
1.4.3. Alasan-Alasan Penghapus Sifat Melawan Hukum Suatu Perbuatan
Alasan penghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan merupakan alasan-
alasan yang menyebabkan suatu perbuatan walaupun telah memenuhi isi rumusan
undang-undang mengenai suatu tindak pidana, tetapi kemudian karena alasan-alasan
tersebut, perbuatan itu menjadi dibenarkan. Dalam hal ini sifat melawan hukum yang
ada pada perbuatan tersebut menjadi hilang karena adanya alasan-alasan tadi.127
Fletcher menyatakan, yang pada intinya bahwa dalam alasan pembenar,
perbuatan pelaku telah memenuhi ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam
undang-undang, namun masih dipertanyakan apakah perbuatan tersebut dapat
dibenarkan ataukah tidak; dalam alasan pemaaf, perbuatan tersebut salah, akan tetapi
masih dipertanyakan, apakah pelaku dapat dipertanggungjawabkan ataukah tidak.
Alasan pembenar membicarakan tentang kebenaran dari suatu perbuatan; alasan
pemaaf mempertanyakan apakah pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya yang salah.128
Pendapat yang dikemukakan Fletcher sangatlah erat kaitannya dengan elemen-
elemen perbuatan pidana yang terdiri dari memenuhi unsur delik, melawan hukum dan
dapat dicela. Elemen memenuhi unsur delik identik dengan perbuatan pidana itu
sendiri, sedangkan gabungan elemen melawan hukum dan elemen dapat dicela
melahirkan pertanggungjawaban pidana. Dalam kaitannya dengan alasan penghapus
pidana yang pada hakikatnya adalah alasan penghapus pertanggungjawaban pidana,
127 Mahrus Ali, Op.,Cit, hlm.151 128 Eddy, O.S. Hiariej, Op.,Cit, hlm. 209.
71
dapat disimpulkan bahwa alasan pembenar menghapuskan elemen melawan hukumnya
perbuatan, sedangkan alasan pemaaf menghapuskan elemen dapat dicelanya pelaku.
Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana kepada pelaku dalam
Memorie van Toelichting dibedakan menjadi dua. Pertama, alasan yang berada di
dalam diri pelaku (inwendige orrzakken van ontoerekenbaarheid) sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 44 KUHP perihal kemampuan bertanggung jawab yang
dirumuskan secara negatif. Kedua, alasan yang berada di luar diri pelaku (uitwendige
oorzaken van ontoerekenbaarheid)129 Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 48
sampai dengan Pasal 51 KUHP.
Alasan-alasan penghapus pidana dibedakan menjadi alasan pembenar, alasan
pemaaf, alasan yang ada pada diri pelaku, alasan yang ada di luar diri pelaku. Terdapat
pembagian alasan penghapus pidana yang lainnya, yaitu: alasan penghapus pidana
umum dan alasan penghapus pidana khusus. Alasan penghapus pidana yang umum
adalah alasan penghapus pidana yang terdapat baik di dalam KUHP maupun di luar
KUHP. Sedangkan alasan penghapus pidana yang khusus yaitu alasan penghapus
pidana yang hanya berlaku untuk delik-delik tertentu saja.130
Alasan penghapus pidana dalam konteks alasan pembenar dan alasan pemaaf
memiliki arti penting dalam kaitannya dengan tindakan euthanasia. Tindakan dokter
129 Marcus Priyo Gunarto, 2014, Alasan Penghapus Pidana, Alasan Pengahpus Penuntutan dan
Gugurnya Menjalani Pidana, Makalah pada Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi yang
Diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan Masyarakat Hukum
Pidana dan Kriminologi Indonesia, Yogyakarta, 23-27 Februari 2014, hlm.1 130 Eddy O.S. Hiariej, Op.,Cit, hlm. 210.
72
yang membantu euthanasia kepada seorang pasien yang dinyatakan sudah tidak dapat
tertolong dan menderita kesakitan yang tidak tertahankan dalam jangka waktu yang
tidak menentu. Apakah terdapat alasan pembenar dari tindakan dokter tersebut untuk
melakukan euthanasia, ataukah alasan pemaaf yang terdapat dalam diri seorang dokter
yang tidak sampai hati melihat kondisi pasien yang kesakitan dan berdasarkan ilmu
pengetahuan yang dimiliki, si pasien tersebut sudah tidak mungkin dapat disembuhkan.
Menurut hemat penulis, seorang dokter yang melakukan tindakan euthanasia
tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana, karena dalam perbuatannya
terdapat alasan pemaaf. Terdapatnya alasan pemaaf dalam euthanasia karena
sebenarnya dokter tidak secara langsung bertujuan untuk merampas nyawa orang lain,
tetapi untuk mengurangi penderitaan akibat rasa sakit yang tidak tertahankan yang
dialami pasien dengan memberikan obat bius penghilang rasa sakit yang berdampak
pada kelangsungan hidup pasien. Hati nurani seorang dokter tidak akan sampai hati
membiarkan pasien mengalami penderitaan yang luar biasa akibat penyakitnya serta
ada desakan dari pasien dan keluarga pasien secara terus menerus dan berulang-ulang
untuk memohon agar dokter membantu mengakhiri kehidupan si pasien dengan cara
cepat dan mudah berdasarkan harkat dan martabat kemanusiaan.
Alasan penghapus pidana dalam konteks alasan pembenar dan alasan pemaaf
ini juga memiliki arti penting terhadap delik penyertaan dalam euthanasia. Jika dua
orang atau lebih dokter dan perawat melakukan suatu perbuatan euthanasia dan salah
seorang baik dokter ataupun tenaga perawat dilepaskan dari tanggungjawab pidana
73
karena terdapat alasan pembenar, maka semua pelaku peserta lainnya juga harus
dibebaskan. Sebaliknya, jika dua orang atau lebih melakukan suatu perbuatan
euthanasia dan salah seorang dilepaskan dari tanggungjawab pidana karena
terpenuhinya alasan pemaaf pada dirinya, maka tidak serta merta pelaku lainnya juga
dilepaskan karena alasan pemaaf. Ini berarti bahwa alasan pemaaf lebih bersifat
individual yang hanya berlaku pada diri individu pelaku.
1.5. Pertanggungjawaban Pidana Terkait Tindakan Euthanasia
1.5.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pengertian pertanggungjawaban
pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan
dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian
dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam melakukan perbuatan itu orang
tersebut memiliki kesalahan.131 Dengan demikian, membicarakan pertanggungjawaban
pidana mau tidak mau harus didahului dengan penjelasan tentang perbuatan pidana.
Sebab seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu
ia melakukan perbuatan pidana. Dirasakan tidak adil apabila tiba-tiba seseorang harus
bertanggung jawab atas suatu tindakan, sedang ia sendiri tidak melakukan tindakan
tersebut.132
131Moejatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Rineka Cipta, Jakarta, hlm
165. 132Roeslan Saleh, 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian
Dasar dalam Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 20-23.
74
Konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana merupakan konsep sentral
yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal
dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak
mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa
Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guilty,
unless the mind is legally blameworthy. Berdasar hal tersebut, ada dua syarat yang
harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang
terlarang/perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).133
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang
objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi
syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana
adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidannya pembuat adalah asas
kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia
mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan seseorang
dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.134
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak
pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah
tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah
ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada
133 Hanafi, 1999. Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Jurnal Hukum, Vol. 6 No. 11
Tahun 1999, hlm. 27. 134 Roeslan Saleh, Op.Cit, hlm. 75.
75
hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk
bereaksi terhadap pelanggaran atas ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu.135
Sudarto menyatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila
orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat
melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam
undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat
penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan
pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah.
Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari
sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang
tersebut.136
Kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana
seseorang. Tanpa kesalahan, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada.
Makanya tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa
kesalahan” (geen straf zander schuld). Asas kesalahan ini merupakan asas yang
fundamental dalam hukum pidana.
Seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila dalam diri
seseorang tersebut terdapat sikap bathin yang jahat/tercela (mensrea) serta adanya
perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus). Jika dilihat dari
135 Chairul Huda, 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertang-
gungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, hlm. 68. 136Sudarto, 1988. Hukum Pidana I, Badan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah, FH UNDIP,
Semarang, hlm. 85.
76
tujuannya dengan mengkaitkan perbuatan euthanasia, sebenarnya tidak ada keinginan
atau niat jahat dokter untuk membunuh pasien. Tujuan dari euthanasia adalah untuk
mempercepat proses kematian dengan cara yang mudah dan tenang berdasarkan
kemanusiaan. Hal yang penting yang tidak boleh dihilangkan untuk dapat memidana
seseorang dokter yang melakukan euthanasia adalah adanya kesalahan. Tanpa
kesalahan, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada.
1.5.2. Hubungan Kesalahan dengan Pertanggungjawaban Pidana
Terdapat berbagai macam pengertian kesalahan yang disampaikan oleh para
ahli hukum pidana, tetapi secara umum pengertian yang dikemukakan mengarah pada
dua jenis kesalahan, yaitu: kesalahan psikologis dan kesalahan normatif. Kesalahan
psikologis tidak dijelaskan lebih jauh karena kurang memberikan jawaban yang
memuaskan khususnya terhadap penjatuhan pidana bagi orang yang melakukan
perbuatan pidana sehingga akan dijelaskan lebih lanjut pengertian mengenai kesalahan
dalam pengertian yang normatif.
Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat dari
segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan
perbuatan tersebut.137 Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada
waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela
karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal
137 Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 77.
77
mampu untuk mengetahui makna perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan
harus menghindari perbuatan demikian.138
Seorang dokter yang melakukan euthanasia tidak dapat dianggap melakukan
kesalahan. Tindakan euthanasia yang dilakukan dokter berdasarkan pada kepentingan
terbaik bagi si pasien dan keluarga pasien yang sudah tidak mempunyai harapan untuk
sembuh dan pasien mengalami kesakitan yang tidak tertahankan serta adanya
permintaan untuk mengakhiri kehidupan pasien secara terus-menerus yang
disampaikan oleh pasien atau keluarga pasien. Dokter tidak mempunyai pilihan untuk
berbuat lain selain melakukan tindakan euthanasia. Perbuatan yang dilakukan oleh
dokter tersebut dalam pandangan keluarga pasien bukan merupakan perbuatan tercela,
karena berdasarkan atas permintaan.
Pengertian kesalahan secara psikologis menitik beratkan pada keadaan batin
(psychis) yang tertentu dari si pembuat dan hubungan antara keadaan batin tersebut
dengan perbuatannya sedemikian rupa. Pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya, tidak diikuti karena menimbulkan persoalan dalam praktik hukum yang
dipicu oleh ketiadaan unsur “dengan sengaja” atau “karena kealpaan” dalam rumusan
tindak pidana.139
KUHP yang berlaku saat ini, tindak pidana pelanggaran tidak memuat unsur
“dengan sengaja” atau “karena kealpaan”. Oleh sebab itu, praktik hukum sempat
138 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 169. 139 Tongat, 2008. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, UMM
Press, Malang, hlm. 222.
78
diliputi pertanyaan sekitar apakah tidak dirumuskannya unsur “dengan sengaja” atau
“karena kealpaan” dalam pelanggaran, menyebabkan pembuatnya tetap dipidana,
sekalipun tidak ada salah satu dari kedua bentuk kesalahan tersebut. Persoalan ini
timbul dan menyebabkan adanya keragu-raguan atas kemampuan teori kesalahan
psikologis untuk menjelaskan masalah kesalahan.140
Persoalan itulah yang menyebabkan mengapa teori kesalahan normatif
dijadikan dasar untuk menentukan masalah kesalahan. Dalam pengertian kesalahan
normatif di atas, terdapat tiga komponen utama yang perlu dijelaskan, yaitu dapat
dicela, dilihat dari segi masyarakat, dan dapat berbuat lain. Pertama adalah “dapat
dicela.” Dapat dicela di sini mempunyai dua pengertian, yaitu: pertama, dapat dicela
berarti dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. kedua, dapat dicela berarti
dapat dijatuhi pidana. Arti yang pertama, kesalahan diberi makna dalam hubungannya
dengan fungsi preventif hukum pidana. Kata ‘dapat’ di sini menunjukkan bahwa celaan
atau pertanggungjawaban pidana itu hilang, jika pembuat mempunyai alasan
penghapus kesalahan. Dalam arti yang kedua, kesalahan diberi makna dalam
hubungannya dengan fungsi represif hukum pidana. Kata ‘dapat’ dalam hal ini
menunjukkan bahwa celaan atau penjatuhan pidana tidak harus dilakukan hakim.
Hakim dapat saja hanya mengenakan tindakan, sekalipun tindak pidana terbukti
dan terdakwa bersalah melakukannya. Selain itu, dapat saja celaan atau penjatuhan
pidana tidak dilakukan, jika hakim memutuskan untuk memberi pengampunan. Dalam
140 Chairul Huda, Op.Cit, hlm. 73.
79
keputusannya, hakim dapat saja menyatakan seseorang terbukti melakukan tindak
pidana dengan kesalahan, tetapi tidak menjatuhkan pidana terhadapnya.141
Kedua adalah “dilihat dari segi masyarakat”. Roeslan Saleh mengatakan bahwa
komponen tersebut merupakan penegasan penilaian normatif terhadap kesalahan. Pada
subjek hukum manusia, ada tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam
keadaan senyatanya batin terdakwa, tetapi tergantung pada batin itu, apakah dipernilai
ada ataukah tidak ada kesalahan.142 Jadi, titik tekannya terletak pada penilaian normatif
terhadap keadaan batin pembuat dan hubungan antara keadaan batin tersebut dengan
tindak pidananya, sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatannya itu.143
Singkatnya, yang dinilai bukan pada keadaan batin orang itu, tetapi bagaimana hakim
mempernilai keadaan batinnya dan menilai fakta-fakta yang ada.144
Sepanjang terhadap subjek hukum manusia, pengertian kesalahan yang
normatif berpangkal tolak pada penilaian hukum terhadap psikologis pembuat. Bukan
psikologinya yang penting, tetapi penilaian normatif terhadap keadaan psikologis
pembuat, ketika melakukan tindak pidana. Pengertian kesalahan yang normatif di
dalamnya mengandung pengertian psikologis.145 Sebenarnya penilaian berdasarkan
norma-norma hukum pidana di sini, ditujukan atas perbuatan, pembuatnya dan
hubungan antara keduanya. Pada subjek manusia, hubungan antara pembuat dan
141 Ibid., hlm. 75. 142 Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 77. 143 Roeslan Saleh, 1994, Masih Saja tentang Kesalahan, Karya Dunia Fikir, Jakarta, hlm. 55. 144 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 175. 145 Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 54.
80
perbuatannya, lebih banyak dipusatkan pada hubungan antara keadaan batin pembuat
dan tindak pidananya. Dari situ, dapat disimpulkan bahwa “dilihat dari segi
masyarakat”, pembuatnya dapat dicela karena telah melakukan tindak pidana.146
Ketiga adalah “dapat berbuat lain”, maksudnya adalah selalu terbuka bagi
pembuat untuk menghindari terjadinya tindak pidana, dalam arti sebenarnya pembuat
dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan tindak pidana. Inti pengertian kesalahan
justru terletak pada penilaian hukum terhadap kenyataan bahwa pembuat dapat berbuat
lain. Ketiadaan kemungkinan pembuat dapat berbuat lain, selain melakukan tindak
pidana, menyebabkannya dapat dilepaskan dari keadaan bersalah.147 Oleh karena itu,
ada kesalahan jika kelakuan tidak sesuai dengan norma yang harus diterapkan.148
Kesalahan normatif merupakan dasar dapat dipertanggungjawabkan perbuatan.
Seorang dokter yang melakukan kewajibannya untuk berusaha menyembuhkan
pasiennya bukan merupakan suatu kesalahan. Dokter berdasarkan keahliannya akan
berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan penyakit yang diderita oleh
pasiennya. Apabila penyakit yang diderita pasien terlalu parah, dan sudah tidak dapat
disembuhkan, kondisi pasien sangat kesakitan dalam jangka waktu lama secara terus
menerus. Melihat kondisi seperti ini, dalam pandangan hukum perbuatan dokter yang
menghentikan pengobatan karena sudah tidak berpotensi lagi, bukan merupakan
perbuatan yang dapat dicela. Penghentian pengobatan oleh dokter termasuk euthanasia
146 Chairul Huda, Op.Cit., hlm. 76. 147 Chairul Huda, Op.Cit., hlm. 76. 148 Roeslan Saleh, Op.Cit. hlm. 110
81
pasif, namun tindakan dokter tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana
karena terdapat alasan penghapus kesalahan.
1.5.3. Perkembangan Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban dalam hukum pidana mengalami perkembangan sejak
diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana di samping manusia. Manakala
korporasi juga diakui sebagai subjek hukum di samping manusia, maka konsep
pertanggungjawaban pidana pun harus “diciptakan” agar korporasi juga dapat dijatuhi
pidana ketika terbukti melakukan tindak pidana.
Secara teoretis terdapat tiga teori atau sistem pertanggungjawaban pidana pada
subjek hukum korporasi, yaitu: teori identifikasi, teori strict liability dan teori vicarious
liability. Ketiga teori pertanggungjawaban pidana tersebut hakikatnya merupakan
respon terhadap eksistensi korporasi yang dewasa ini diakui sebagai subjek hukum
dalam hukum pidana.
1. Teori Identifikasi
Dalam rangka mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana, di negara
Anglo Saxon seperti di Inggris dikenal konsep direct corporate criminal liability atau
pertanggungungjawaban pidana korporasi secara langsung. Menurut doktrin ini,
korporasi dapat melakukan sejumlah delik secara langsung melalui orang-orang yang
sangat berhubungan erat dengan korporasi dan dipandang sebagai korporasi itu sendiri.
Dalam keadaan demikian, mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu,
82
pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi.149 Teori ini
dikenal dengan nama teori identiflkasi.
Teori identifikasi pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari anggota
tertentu dari korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap
sebagai tindakan dari korporasi itu sendiri.150 Teori ini juga berpandangan bahwa agen
tertentu dalam sebuah korporasi dianggap sebagai “directing mind” atau “alter ego”.
Actus reus dan mens rea para individu itu kemudian dikaitkan dengan korporasi. Jika
individu diberi kewenangan untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis
korporasi, maka mens rea para individu itu merupakan mens rea korporasi.151
Rumah sakit sebagai korporasi juga dapat dikenakan pertanggungjawaban
pidana apabila orang-orang yang bekerja atas nama rumah sakit tersebut melakukan
kesalahan dalam melaksanakan tugasnya. Korporasi mempunyai sifat yang mandiri
dalam hal pertanggungjawaban pidana sehingga tidak dapat disamakan dengan model
pentanggungjawaban pengganti (vicarious liability). Perbedaan ini bisa dilihat pada
pertimbangan putusan pengadilan dalam memutus kasus Tesco Supermarket Ltd vs
Nattrass, yaitu:
A living person as a mind which can have knowledge or intention or be negligent
and he has hand to carry out his intention. A corporation has none of these; it must
act through living persons, through not always one and the same person then the
person who act is not speaking or acting for the company. There is no question to
the company being vicarious liability. He is not acting as a servant,
149 Barda Nawawi Arief, 2002, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 154. 150 Hanafi, Op.Cit., hlm. 35. 151 Dwidja Priyino, 2004, Kebijakan Legislatif tentang Sistem Pertanggungjawaban Korporasi
di Indonesia, Utomo, Bandung, hlm. 89.
83
representatives, agent or delegate. He is a body of the company, or one could say,
he hears and speaks through the person of the company, within the appropriate
sphere, and his mind is the mind of the company. If it is a guilty mind then that
guilt is the guilt of the company.”152
(Orang yang hidup sebagai pikiran yang dapat memiliki pengetahuan atau niat atau
lalai dan dia memiliki tangan untuk melaksanakan niatnya. Sebuah perusahaan
tidak memilikinya; ia harus bertindak melalui orang yang hidup, tidak selalu
melalui satu orang yang sama maka per orang yang bertindak tidak berbicara atau
bertindak untuk perusahaan. Tidak ada pertanyaan bagi perusahaan yang menjadi
tanggung jawab perwakilan. Dia tidak bertindak sebagai pelayan, perwakilan, agen
atau delegasi. Dia adalah badan perusahaan, atau dapat dikatakan, dia mendengar
dan berbicara melalui orang perusahaan, dalam lingkup yang sesuai, dan
pikirannya adalah pikiran perusahaan. Jika itu adalah pikiran yang bersalah maka
kesalahan itu adalah kesalahan perusahaan).
Tindakan yang dilakukan individu pada dasarnya bukan mewakili korporasi,
tetapi dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri. Ketika individu melakukan
suatu kesalahan, maka kesalahan itu pada dasarnya adalah kesalahan korporasi. Jadi,
individu identik dengan korporasi. Muncul pertanyaan, siapa yang dimaksud identik
dengan korporasi? Jawabannya adalah direkturlah yang identik dengan korporasi,
sehingga dikatakan bahwa tindakan direktur merupakan tindakan dari korporasi, asal
saja tindakan tersebut masih dalam ruang lingkup pekerjaannya dan demi keuntungan
korporasi.153
Korporasi dalam banyak hal juga disamakan dengan tubuh manusia. Korporasi
memiliki otak dan pusat syaraf yang mengendalikan apa yang dilakukannya. la
memiliki tangan yang memegang alat dan bertindak sesuai dengan arahan dari pusat
syaraf. Beberapa orang di lingkungan korporasi itu hanyalah karyawan dan agen yang
152 Richard Card, 1984, Introduction to Criminal Law, Tenth Edition, Butterworths, London, hlm.
123. 153 Hanafi, Op.Cit., hlm. 36.
84
tidak lebih dari tangan dalam melakukan pekerjaannya dan tidak dapat dikatakan
sebagai sikap batin atau kehendak perusahaan. Pada pihak lain, direktur dan manajer
mewakili sikap batin yang mengarahkan dan mewakili kehendak perusahaan serta
mengendalikan apa yang dilakukan. Sikap batin direktur dan manajer ini merupakan
sikap batin dari korporasi.154
Terhadap kasus-kasus di mana undang-undang mensyaratkan kesalahan
seseorang dalam pertanggungjawaban di bidang perdata, maka kesalahan direktur
adalah kesalahan korporasi. Begitu juga dalam bidang hukum pidana, dalam kasus-
kasus di mana undang-undang mensyaratkan kesalahan dalam suatu perbuatan pidana,
maka kesalahan direktur dipandang sebagai kesalahan dari korporasi itu sendiri.
Demikian pula dalam tindakan direktur rumah sakit, tindakan direktur tersebut
merupakan tindakan rumah sakit. Dengan demikian, untuk tujuan hukum,
Direktur/pejabat senior adalah orang yang mengendalikan rumahsakit baik sendiri
maupun bersama-sama pejabat senior lainnya, ia mewakili sikap batin dan kehendak
korporasi, dan ia dibedakan dari mereka yang semata-mata sebagai pegawai dan agen
korporasi yang harus melaksanakan petunjuk-petunjuk dari pejabat senior.
2. Teori Strict Liability
Strict liability, diartikan sebagai suatu perbuatan pidana dengan tidak
mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih dari actus
154 Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 91.
85
reus.155 Strict liability merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability
without fault), yang dalam hal ini si pelaku perbuatan pidana sudah dapat dipidana jika
ia telah melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah dirumuskan dalam
undang-undang tanpa melihat lebih jauh sikap batin si pelaku.
Pengertian di atas merupakan pengertian yang lazim diterima di dalam doktrin
hukum pidana, tanpa mempersoalkan apakah pengertian tersebut masih relevan
dipakai. Sebab dalam pengertian itu, dalam perbuatan pidana yang bersifat strict
liability, hanya dibutuhkan dugaan atau pengetahuan dari pelaku (terdakwa), sudah
cukup menuntut pertanggungjawaban pidana dari padanya. Jadi tidak dipersoalkan
adanya mens rea, karena unsur pokok strict liability adalah actus reus (perbuatan),
sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus (perbuatan), bukan mens rea
(kesalahan).156
Pengertian strict liability apabila dikaji dari kesalahan normatif yang
dikemukakan sebelumnya, maka konsekuensinya akan berlainan. Kesalahan normatif
pada intinya menyatakan bahwa kesalahan ada jika kelakuan tidak sesuai dengan
norma. Kesalahan dipandang ada sepanjang norma hukum menentukan bahwa
pembuatnya dapat dicela karena melakukan tindak pidana.157 Kesalahan dalam konteks
155 Sesungguhnya konsep strict liability merupakan konsep yang ada dalam sistem hukum
Common Law. Pada mulanya sistem pertanggungjawaban tersebut diterapkan dalam kasus-kasus
perdata. Namun dalam perkembangannya, konsep strict liability juga diterapkan pada kasus-kasus
pidana tertentu yang dianggap membahayakan sosial, seperti narkotika, pelanggaran lalu lintas,
makanan, dan lain-lain. Lihat Sue Titus Reid, 1995, Criminal Law, Third Edition, Englenood Cliffs,
New Jersey, USA, hlm. 414. 156 Hanafi, 1997, Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum Pidana, Lembaga
Penelitian, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 63-64. 157 Chairul Huda, Op.Cit, hlm. 83.
86
ini diartikan sebagai dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena dilihat dari segi
masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan
tersebut.158
Sebagai suatu pengertian yang normatif, kesalahan merupakan masalah
penilaian yang dilakukan berdasarkan sistem norma. Sistem norma yang menjadi
patron penilaian tentang kesalahan diorientasikan terhadap fungsi dan sistem norma
tersebut. Kesalahan berarti pembuat (seseorang atau badan hukum) telah berbuat
bertentangan dengan yang diharapkan. Pembuat telah berbuat bertentangan dengan
harapan masyarakat. Hukum sebenarnya mengharapkan kepadanya untuk dapat
berbuat lain, selain tindak pidana. Dilakukannya tindak pidana pembuatnya dikatakan
bersalah karena telah berbuat berbeda dari yang diharapkan masyarakat. Padahal pada
dirinya selalu terbuka kemungkinan untuk dapat berbuat lain, jika tidak ingin
melakukan tindak pidana tersebut.159
Konsep strict liability berdasarkan teori kesalahan normatif tidak dianggap
sebagai bentuk pengecualian dari konsep tiada pidana tanpa kesalahan, tetapi sebagai
bentuk pertanggungjawaban pidana berdasar kesalahan. Oleh karena itu, teori ini
menolak pandangan Schaffmeister yang menganggap digunakannya strict liability
sebagai penyimpangan atas asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Selain itu, teori ini
berbeda dengan pendapat Barda Nawawi Arief yang memandang strict liability sebagai
158 Roeslan Saleh,Op.Cit, hlm. 77. 159 Chairul Huda, Op.Cit, hlm. 54.
87
pengecualian berlakunya asas “tiada pidana tanpa kesalahan”.160 Pada strict liability
pembuatnya tetap diliputi kesalahan; kesalahan dalam pengertian normatif.161
Strict liability sering juga dikatakan sebagai “the nature of strict liability
offences is that they are crimes which do not require any mens rea with regard to at
least one element of their “actus reus” (pada dasanya, konsep pertanggungjawaban
mutlak merupakan suatu bentuk pelanggaran/kejahatan yang di dalamnya tidak
mensyaratkan adanya unsur kesalahan, tetapi hanya disyaratkan adanya suatu
perbuatan).162 Sehubungan dengan hal ini Romli Atmasasmita menyatakan, hukum
Inggris selain menganut asas “actus nonfacit reum nisi mens sit rea” (a harmful act
without a blameworthy mental state is not punishable), juga menganut prinsip
pertanggungjawaban pidana mutlak tanpa harus membuktikan ada atau tidak adanya
unsur kesalahan pada si pelaku perbuatan pidana. Prinsip pertanggungjawaban pidana
tersebut dikenal sebagai strict liability crimes.163
Prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak (strict liability) menurut hukum
pidana Inggris hanya diberlakukan terhadap perkara pelanggaran ringan, yaitu
pelanggaran terhadap ketertiban urnum atau kesejahteraan umum. Termasuk kedalam
kategori pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas adalah sebagai berikut:
a. Pelanggaran terhadap tata tertib pengadilan.
b. Pencemaran nama baik seseorang.
160 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 108. 161 Chairul Huda, Op.Cit., hlm. 84. 162 Barda Nawawi Arief I, Op. Cit., hlm. 28. 163 Romli Atmasasmita, 2000. Perbandingan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, hlm. 76.
88
c. Mengganggu ketertiban masyarakat.164 Akan tetapi, kebanyakan strict liability
terdapat pada delik-delik yang diatur dalam undang-undang (statutory offences;
regulatory offences, mala prohibita) yang pada umumnya merupakan delik
kesejahteraan umum. Termasuk regulatory offences adalah penjualan makanan
dan minuman atau obat-obatan yang membahayakan, penggunaan gambar
dagang yang menyesatkan dan pelanggaran lalu lintas.165
Romli Atmasasmita juga mengatakan bahwa pembentuk undang-undang telah
menetapkan bila aturan tentang strict liability crimes dapat diberlakukan sebagai
berikut:
a. Kejahatan yang dilakukan bukan kejahatan berat.
b. Ancaman hukuman yang berlaku adalah ringan.
c. Syarat adanya mens rea akan menghambat tujuan perundang-undangan.
d. Kejahatan yang dilakukan secara langsung merupakan paksaan terhadap hak-
hak orang lain.
e. Menurut undang-undang yang berlaku mens rea secara kasuistik tidak
diperlukan.166
Contoh kasus berkaitan dengan penerapan strict liability adalah kasus Prince
yang intinya sebagai berikut:
Prince dituduh menarik dari kekuasaan orang tua seorang gadis berumur 16 tahun
tanpa izin orang tuanya (melanggar Pasal 55 Offences Againtst the Person Act
1861 yang diperbarui dengan Pasal 20 Sexual Offences Act 1956). Di muka sidang
Prince mengemukakan alasan, bahwa ia memang mengetahui gadis itu di bawah
kekuasaan orang tuanya, tetapi ia mengira/berkeyakinan bahwa gadis itu berumur
18 tahun, berdasarkan juga pengakuan gadis itu kepada Prince. Pengadilan
berpendapat bahwa terhadap perbuatan “menarik gadis dari kekuasaan orang tua”
harus tetap membuktikan adanya kesengajaan, tetapi terhadap “usia gadis
tersebut”, yaitu 16 tahun tidak harus membuktikan karena undang-undang tidak
mensyaratkan pengetahuan terhadap umur dari gadis itu. Prince tetap dipidana.167
164 Ibid. 165 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 29. 166 Romli Atmasasmita, Op.Cit, hlm. 78. 167 Hanafi, Op.Cit, hlm. 74.
89
Contoh kasus pidana lainnya adalah kasus Alphaceel Ltd vs Woodward (1972),
yaitu:
Sebuah perusahaan dihukum oleh pengadilan tingkat pertama dengan tuduhan
sebagai penyebab terpolusinya air sungai. Terdakwa menentang tuduhan itu
dengan mengatakan bahwa jaksa harus membuktikan adanya kesengajaan,
kealpaan atau kesembronoan dari terdakwa. House of Lord menolak argumen
terdakwa dan tetap menjatuhkan hukuman kepada terdakwa.168
Adapun kriteria penerapan strict liability dalam perkara pidana pada prinsipnya
tidak bersifat generalisasi. Jadi tidak terhadap semua tindak pidana boleh diterapkan.
Akan tetapi bercorak khusus, yaitu:
1. Ketentuan undang-undang sendiri menentukan atau paling tidak undang-
undang sendiri cenderung menuntut strict liability.
2. Penerapannya hanya ditentukan terhadap tindak pidana yang bersifat larangan
khusus atau tertentu.
Penerapan strict liability sangat erat kaitannya dengan ketentuan tertentu dan
terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi landasan penerapan strict liability, dapat
dikemukakan beberapa patokan antara lain:
1) Tidak berlaku umum terhadap semua jenis tindak pidana, tetapi sangat terbatas
dan tertentu, terutama mengenai kejahatan anti sosial atau yang membahayakan
sosial.
2) Perbuatan itu benar-benar bersifat melawan hukum yang sangat bertentangan
dengan kehati-hatian yang diwajibkan hukum dan kepatutan.
3) Perbuatan itu dilarang dengan keras oleh undang-undang karena dikategorikan
sebagai aktivitas atau kegiatan yang sangat potensial mengandung bahaya
kepada kesehatan, keselamatan, dan moral bublik.
4) Perbuatan atau aktivitas tersebut secara keseluruhan dilakukan dengan cara
tidak melakukan pencegahan yang sangat wajar.169
168 Hanafi, Op.Cit, hlm. 75. 169 Hanafi, Op.Cit, hlm. 77
90
Berkaitan dengan konsep pertanggungjawaban mutlak (strict liability)
sebagaimana diuraikan di atas, ada pertanyaan mendasar setelah memahami ciri-ciri
dan syarat-syarat tertentu untuk adanya pertanggungjawaban mutlak ini, yaitu apakah
memang konsep ini sesuai jika diterapkan untuk kejahatan korporasi mengingat
pertanggungjawaban mutlak (strict liability) ini hanya diterapkan khusus untuk
kejahatan ringan dan bersifat statutory offences, dan perbuatan tersebut termasuk dalam
kategori mala prohibita, bukan mala in se, sedangkan kejahatan korporasi itu sendiri
termasuk dalam jenis kejahatan yang bersifat serius (serious crime)
Penerapan konsep pertanggungjawaban mulak (strict liability) tidak sesuai atau
bertolak belakang dengan karakteristik kejahatan korporasi yang termasuk dalam
kategori serious crime, sedangkan konsep pertanggungjawaban mutlak tersebut
“hanya” untuk jenis kejahatan yang sifatnya ringan seperti pelanggaran lalu lintas,
penghinaan pengadilan yang sifatnya berupa pelanggaran. Pijakan yuridis yang
dibangun untuk menuntut korporasi atas konsep pertanggungjawaban mutlak tidak kuat
dan tidak beralasan.
3. Teori Vicarious Liability
Negara-negara Anglo Saxon dan Anglo American dikenal pula konsep
pertanggungjawaban pidana yang disebut vicarious liability, yaitu the legal
responsibility of one person for wrongful acts of another, as for example, when the acts
are done witihin scope of employment (suatu konsep pertanggungjawaban seseorang
91
atas kesalahan yang dilakukan orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih
berada dalam ruang lingkup pekerjaannya).170
Vicarious liability diartikan oleh Henry Black sebagai indirect legal
responsibility, the liability of an employer for the acts of an employee, of a principle
for torts and contracts of an agent (pertanggungjawaban pengganti adalah
pertanggungjawaban hukum secara tidak langsung, pertanggungjawaban majikan atas
tindakan dari pekerja; atau pertanggungjawaban prinsipal terhadap tindakan agen
dalam suatu kontrak).171 Berdasarkan pengertian ini vicarious liability adalah
pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan
orang lain. Kedua orang tersebut harus mempunyai hubungan, yaitu hubungan atasan
dan bawahan atau hubungan majikan dan buruh atau hubungan pekerjaan. Perbuatan
yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus masih dalam rung lingkup pekerjaannya.
Secara singkat pertanggungjawaban ini disebut pertanggungjawaban pengganti.
Vicarious liability mensyaratkan mens rea menjadi syarat utama yang harus
dipenuhi untuk memidana seseorang yang melakukan perbuatan pidana. Dengan kata
lain, harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa seseorang telah melakukan suatu
kesalahan, sehingga ia patut dipidana atas kesalahannya itu. Selain itu, harus ada
hubungan kerja antara pelaku dengan orang lain yang harus mempertanggungjawabkan
perbuatan pidana yang dilakukan, misalnya antara majikan dan buruh, dan perbuatan
170 Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, hlm. 33. 171 Henry Campbell Black, Op.,Cit, hlm. 1404.
92
pidana tersebut masih dalam ruang lingkup pekerjaannya. Yang terakhir inilah yang
kemudian disebut dengan prinsip delegasi.
Prinsip delegasi pada dasarnya berkaitan dengan pemberian izin kepada
seseorang untuk mengelola suatu usaha. Si pemegang izin tidak menjalankan langsung
usaha tersebut, tetapi ia memberikan kepercayaan (mendelegasikan) secara penuh
kepada seorang manager untuk mengelola korporasi tersebut. Jika manager itu
melakukan perbuatan melawan hukum, maka si pemegang izin (pemberi delegasi)
bertanggung jawab atas perbuatan manager itu. Sebaliknya, apabila tidak terdapat
pendelegasian maka pemberi delegasi tidak bertanggung jawab atas perbuatan
melawan hukum manager tersebut. Contoh kasus yang menarik mengenai tidak
terdapat pendelegasian ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
Izin pembukaan sebuah restoran yang menyediakan minuman beralkohol hanya
dapat dijual kepada seseorang yang memesan makanan. Pelayan menjual minuman
itu kepada seseorang yang tidak memesan makanan. Pemegang izin didakwa
melanggar Pasal 22 (1) Licensing Act 1961, atas dasar pengetahuannya menjual
minuman beralkohol. Pemegang izin tidak mengetahui mengenai tindakan pelayan
tersebut. Jaksa mengabaikan pembelaan tersebut. Mahkamah Agung menerima
pembelaan pemegang izin, sehingga majikan tidak dipidana.172
Terdapat dua syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan suatu
perbuatan pidana berdasarkan teori vicarious liablitiy, yaitu:
1. Harus terdapat suatu hubungan, seperti hubungan pekerjaan antara majikan
dengan pekerja.
172 Hanafi, Op.Cit., hlm. 92-94.
93
2. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus berkaitan atau
masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.
Teori vicarious liability jika dihubungkan dengan kejahatan korporasi,
merupakan suatu upaya untuk menjerat korporasi atas tindak pidana yang dilakukan
oleh pegawainya. Pembebanan pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada
atasan (direktur) atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh bawahan dalam sebuah
struktur organisasi korporasi, dikarenakan perbuatan yang dilakukan oleh bawahan
tersebut adalah untuk kepentingan korporasi itu sendiri, sehingga dengan sendirinya
pertanggungjawaban tersebut dibebankan kepada atasan (direktur) yang dalam hal ini
bertindak untuk dan atas nama korporasi. Keuntungan yang diperoleh dari hasil
kejahatan yang dilakukan oleh bawahan pada dasarnya akan kembali dan merupakan
keuntungan dari korporasi. Alangkah tidak adil jika yang dibebani
pertanggungjawaban adalah bawahan atas kesalahan yang dia lakukan, sedangkan dia
sendiri bekerja untuk kepentingan korporasi, dan keuntungan yang diperoleh tidak
dimiliki olehnya, tetapi dimiliki oleh korporasi.
Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada atasan (direktur) atas dasar
pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dimaksudkan untuk mencegah atau
paling tidak meminimalisir tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi melalui
pengurusnya. Hal ini karena korporasi memainkan peranan penting dalam segala aspek
kehidupan, dan tidak jarang korporasi mempunyai peranan yang sangat besar bagi
terjadinya kejahatan-kejahatan yang menimbulkan korban dan kerugian yang sangat
besar bagi masyarakat. Dengan adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana
94
kepada atasan (direktur) yang merupakan kepanjangan tangan korporasi atas perbuatan
pidana yang dilakukan oleh bawahan, diharapkan korporasi (melalui
pengurus/direktur) dapat lebih berhati-hati di dalam menjalankan aktivitasnya,
khususnya yang bersinggungan langsung dengan kepentingan masyarakat luas.
Aktivitas korporasi tidak hanya memikirkan bagaimana memperoleh
keuntungan yang sebanyak-banyaknya, tetapi lebih jauh juga memikirkan atau
mengkaji kemungkinan-kemungkinan negatif yang akan timbul akibat aktivitasnya itu,
yang tidak jarang menimbulkan kerugian yang sangat besar baik dibidang ekonomi,
sosial dan lain sebagainya.
1.5.4. Kemampuan Bertanggungjawab
Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang
normal atau sehat dan mampunyai akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal
yang baik dan yang buruk.173 Atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat
melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk
menentukan kehendaknya.174 Jadi, paling tidak ada dua faktor untuk menentukan
adanya kemampuan bertanggung jawab, yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal,
yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak
diperbolehkan. Sedangkan kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya
dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.
173 M. Abdul Kholiq, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 129. 174 Roeslan Saleh, Op.Cit, hlm. 80.
95
Keadaan batin yang normal atau sehat ditentukan oleh faktor akal pembuat.
Akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan perbuatan yang
tidak boleh dilakukan. Kemampuan pembuat untuk membeda-bedakan perbuatan yang
boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, menyebabkan yang bersangkutan dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, ketika melakukan tindak pidana. Dapat
dipertanggungjawabkan karena akalnya yang sehat dapat membimbing kehendaknya
untuk menyesuaikan dengan yang ditentukan oleh hukum. Padanya diharapkan untuk
selalu berbuat sesuai dengan yang ditentukan hukum.175
Pembuat dapat dipertanggungjawabkan dalam hal ini berarti pembuat
memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan. Mengingat asas ‘tiada
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan’ maka pembuat dapat
dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Keadaan batin pembuat yang
normal atau akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan, atau mampu bertanggung jawab, merupakan sesuatu yang
berada di luar pengertian kesalahan. Mampu bertanggung jawab adalah syarat
kesalahan, sehingga bukan merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena
itu, terhadap subjek hukum manusia mampu bertanggung jawab merupakan unsur
pertanggungjawaban pidana, sekaligus sebagai syarat kesalahan.176
Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa kebanyakan undang-undang
merumuskan syarat kesalahan secara negatif. KUHP di seluruh dunia pada umumnya
175 Chairul Huda, Op.Cit, hlm. 89. 176 Ibid.
96
tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab. Yang diatur ialah
kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggung jawab.177 Demikian halnya dengan
ketentuan Pasal 44 KUHP yang berbunyi:
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan
padanya, karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena
penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya
karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka
Hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit
jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
Pasal ini menentukan bahwa pelaku perbuatan pidana baru bisa dianggap tidak
mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, apabila dalam dirinya terjadi salah satu
di antara dua hal, yaitu sebagai berikut:
1. Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak pertumbuhannya, hingga akalnya
menjadi kurang sempurna untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Contohnya adalah orang idiot yang melakukan perbuatan pidana.
2. Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan oleh suatu
penyakit, hingga akalnya menjadi kurang berfungsi secara sempurna atau
kurang optimal untuk membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk.
Contohnya adalah orang gila atau orang yang berpenyakit epilepsi yang
melakukan perbuatan pidana.178
Rancangan KUHP (RKUHP) tahun 2018, menyatakan kemampuan
bertanggung jawab tidak hanya dua hal sebagaimana dalam KUHP, tetapi diperluas
ruang lingkupnya.
Pasal 42 RKUHP 2018 menyatakan:
177 Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 260.
Lihat juga Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 82. 178 M. Abdul Kholiq AF, Op.Cit, hlm. 130.
97
Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menderita disabilitas
mental dan/atau disabilitas intelektual tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban dan tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai
tindakan.
Pasal 43 RKUHP 2018 menyatakan:
Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana kurang dapat dimintai
pertanggungjawaban karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, retardasi
mental, atau disabilitas mental lainnya dapat dikurangipidananya dan dikenai
tindakan.
Pasal 42 konsep RKUHP di atas menentukan bahwa tidak dapat dipertang-
gungjawabkan seseorang dalam hukum pidana ditandai oleh adanya disabilitas mental
dan/atau disabilitas intelektual. Gangguan jiwa, penyakit jiwa, retardasi mental, atau
disabilitas mental lainnya juga menjadi pertanda orang kurang mampu bertanggung
jawab, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 RKUHP. Chairul Huda mengatakan bahwa
tidak jelas betul batas antara tidak dan kurang dapat dipertanggungjawabkan itu. Kapan
gangguan jiwa, penyakit jiwa, dan retardasi mental mengakibatkan pembuatnya tidak
dapat atau kurang dapat dipertanggungjawabkan, tidak dengan mudah menentukannya.
Padahal konsekuensinya sangat berlainan.179
Tidak dapat dipertanggungjawabkan mengakibatkan tidak dapat dijatuhi
pidana. Berarti, ketika ditemukan tanda seseorang tidak mampu bertanggung jawab dan
179 Chairul Huda, Op.Cit., hlm. 96.
98
karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, maka
proses pertanggungjawabannya berhenti sampai di sini. Orang itu hanya dapat
dikenakan tindakan, tetapi tidak dapat dikenakan pidana. Tidak pula perlu diperiksa
apakah ada salah satu bentuk kesalahan dan alasan penghapus kesalahan dalam dirinya.
Sementara itu, kurang dapat dipertanggungjawabkan hanya berakibat pengurangan
pidana, tetapi tidak dimaksudkan untuk menghapuskan pidana. Persoalan lainnya,
apakah terhadap orang yang kurang mampu dapat dipertanggungjawabkan itu, proses
hukumnya diteruskan hingga diselidiki mengenai bentuk kesalahan dan ketiadaan
alasan penghapus kesalahan.180
Tindakan dokter dalam euthanasia tergolong perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan, karena menurut penulis walaupun kriteria yang terdapat
dalam Pasal 44 KUHP tidak terpenuhi tetapi keadaan batin seorang dokter saat itu
dalam kondisi yang tidak normal. Keadaan batin seorang dokter pasti akan terganggu
saat melihat kondisi pasien yang memprihatinkan dengan keadaan amat kesakitan
dalam jangka waktu yang tidak menentu. Desakan untuk mengakhiri hidup pasien terus
disampaikan oleh pasien sendiri atau melalui keluarganya sehingga dokter tidak
memiliki kehendak yang bebas untuk memilih berbuat lain selain euthanasia. Dalam
hal inilah dokter dikatakan tidak mempunyai kemampuan bertanggungjawab.
180 Ibid.
99
1.5.5. Kesengajaan dan Kealpaan Kaitannya dengan Euthanasia
1.5.5.1. Pengertian Kesengajaan dan Bentuk-Bentuknya
Wetboek van Srafrecht tahun 1908 mengartikan kesengajaan sebagai kehendak
untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau
diharuskan oleh undang-undang.181 Sedangkan menurut Memorie van Toelichting
kesengajaan sama dengan “willens en wetens”atau diketahui atau dikehendaki.182
Satochid Kartanegara berpendapat bahwa yang dimaksud “willens en wetens” adalah
seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki
(willen) perbuatan itu serta harus menginsyafi atau mengerti (weten) akan akibat dari
perbuatan itu.183
Sehubungan dengan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang
berisi menghendaki dan mengetahui, maka dalam ilmu hukum pidana terdapat dua
teori, yaitu teori kehendak yang dikemukakan oleh Von Hippel dalam “Die Grenze von
Vorsatz und Fahrlassigkeil”1903 dan teori membayangkan yang dikemukakan oleh
Frank dalam “Festcshrift Gieszen”1907. Teori kehendak menyatakan bahwa kehendak
membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat karena tindakan itu.
Dengan demikian, “sengaja” adalah apabila akibat suatu tindakan dikehendaki, apabila
akibat itu menjadi maksud benar-benar dari tindakan yang dilakukan tersebut.
181 D. Schaffmeister, N. Keijzer, PH. Sutorius, 1995, Hukum Pidana, Editor Penerjemah, J.E
Sahetapy, Liberty, Yogyakarta, hlm. 87. 182 E Utrecht, 1986, Hukum Pidana I, PustakaTinta Emas, Surabaya, hlm. 300. 183 Satochid Kartanegara, TanpaTahun, Hukum Pidana, Bagian Satu, Hukum Pidana, Bagian
Dua, Balai Lektur Mahasiwa, Jakarta, hlm. 291.
100
Teori membayangkan adalah manusia hanya dapat menghendaki suatu
tindakan, manusia tidak mungkin menghendaki suatu akibat, manusia hanya dapat
menginginkan, mengharapkan atau membayangkan kemungkinan adanya suatu akibat.
Rumus Frank berbunyi: “sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu
tindakan dan oleh sebab itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan
bayangan yang lebih dahulu telah dibuat tersebut.”184
Kesengajaan yang merupakan corak sikap batin yang menunjukkan tingkatan
atau bentuk kesengajaan dibagi menjadi tiga, yaitu kesengajaan sebagai maksud (opzet
als oogmerk), kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidswustzijri),
dan kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij noodzakelijkheids). Kesengajaan sebagai
maksud mengandung unsur willes en wetens, yaitu bahwa pelaku mengetahui dan
menghendaki akibat dan perbuatannya; arti maksud disini adalah maksud untuk
menimbulkan akibat tertentu. Kesengajaan sebagai kepastian adalah dapat diukur dari
perbuatan yang sudah mengerti dan menduga bagaimana akibat perbuatannya atau hal-
hal mana nanti akan turut serta mempengaruhi akibat perbuatannya. Pembuat sudah
mengetahui akibat yang akan terjadi jika ia melakukan suatu perbuatan pidana.
Sedangkan kesengajaan sebagai kemungkinan terjadi apabila pelaku memandang
akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak sebagai hal yang niscaya terjadi,
melainkan sekedar sebagai suatu kemungkinan yang pasti.
184 Dwidja Priyatno, Op.Cit.,hlm. 44.
101
Secara teoretis terdapat dua bentuk kesengajaan (dolus), yaitu dolus malus dan
dolus eventualis. Dolus malus hakikatnya merupakan inti dari gabungan dari teori
pengetahuan (voorstelling theorie) dan teori kehendak (wilstheorie). Menurut teori
pengetahuan seseorang sudah dapat dikatakan sengaja melakukan perbuatan pidana
jika saat berbuat orang tersebut mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya itu
merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum.185 Teori ini menitik beratkan pada
apa yang dikehendaki atau yang dibayangkan oleh pelaku pada saat melakukan
perbuatan pidana.186 Sedangkan teori kehendak menyatakan, bahwa seseorang
dianggap sengaja melakukan suatu perbuatan pidana apabila orang itu menghendaki
dilakukannya perbuatan itu. Dalam konteks ini, kesengajaan merupakan kehendak
yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan dalam undang-
undang.187
Dolus eventualis adalah sengaja yang bersifat kemungkinan. Dikatakan
demikian karena pelaku yang bersangkutan pada waktu ia melakukan perbuatan untuk
menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari
kemungkinan akan timbulnya suatu akibat lain dari akibat yang memang ia kehendaki.
Jika kemungkinan yang ia sadari itu kemudian menjadi kenyataan, terhadap kenyataan
tersebut ia katakan mempunyai suatu kesengajaan.188
185 M. Adul Kholiq, Op.Cit, hlm. 133. 186 Sudarto, Diktat Hukum Pidana Jilid A-B, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,
1975, hlm. 16. 187 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 186. 188 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm. 301.
102
Van Bemmelan mengatakan bahwa yang dinamakan dolus eventualis adalah
kesengajaan bersyarat yang bertolak dari kemungkinan, dalam arti tidak pernah lebih
banyak dikehendaki kemungkinan matinya orang lain itu misalnya. Seseorang yang
menghendaki kemungkinan matinya orang lain, tidak dapat dikatakan bahwa ia
menghendaki supaya orang itu mati. Tetapi, jika seseorang melakukan suatu perbuatan
dengan kesadaran bahwa perbuatannya akan dapat menyebabkan matinya orang lain,
hal itu menunjukkan bahwa ia memang menghendaki kematian orang itu.189
Berdasarkan uraian mengenai dolus eventualis di atas dapat disimpulkan bahwa
pelaku tindak pidana menyadari bahwa perbuatannya itu sangat mungkin akan
menimbulkan terjadinya akibat tertentu yang dilarang hukum. Namun meski ia
menyadari hal itu, sikap yang muncul pada dirinya bukannya menjauhi perbuatan itu,
melainkan justru tetap melakukannya dengan berpandangan bahwa kalaupun akibat
tertentu yang dilarang hukum akan terjadi, ya apa boleh buat. Dalam hubungan inilah,
dolus eventualis juga disebut dengan inklauf nehmen theorie atau teori apa boleh
buat.190 Hal ini serupa dengan tindakan seorang dokter yang mencabut alat bantu
pernafasan (repirator), seorang pasien yang dinyatakan sudah tidak dapat disembuhkan
lagi penyakitnya. Dokter yang mencabut respirator tersebut mengetahui pasien tidak
akan bertahan lama dan akan segera mengalami kematian.
189 Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 18. 190 Tongat, Op.Cit, hlm. 247.
103
1.5.5.2. Pengertian Kealpaan dan Bentuk-Bentuknya
KUHP tidak memberikan penjelasan tentang pengertian kealpaan (culpa),
sehingga secara formal tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan
kealpaan. Oleh karena itu, pengertian kealpaan harus dicari dalam pendapat para ahli
hukum pidana dan dijadikan sebagai dasar untuk membatasi apa itu kealpaan. Terdapat
beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk pada kata ‘kealpaan’, seperti
recklessness, neglience, sembrono, dan teledor.191
Simons menyatakan pada umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu
tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, di samping dapat menduga akibatnya.
Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin juga
terjadi kealpaan yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin
akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang. Kealpaan terjadi apabila
seseorang tetap melakukan perbuatan itu meskipun ia telah mengetahui atau menduga
akibatnya. Dapat diduganya akibat itu lebih dahulu oleh pelaku adalah suatu syarat
mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai kealpaan.192
Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu struktur yang sangat
gecompliceerd, yang di satu sisi mengarah pada kekeliruan dalam perbuatan seseorang
secara lahiriah, dan di sisi lain mengarah pada keadaan batin orang itu. Dengan
pengertian demikian, maka di dalam kealpaan (culpa) terkandung makna kesalahan
191 Tongat, Op.Cit, hlm. 276. 192 Leden Marpaung, Op.Cit., hlm. 25.
104
dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan. Terdapat perbedaan antara
kesengajaan dan kealpaan, di mana dalam kesengajaan terdapat suatu sifat positif, yaitu
adanya kehendak dan persetujuan pelaku untuk melakukan suatu perbuatan yang
dilarang. Sedangkan dalam kealpaan sifat positif ini tidak ditemukan.193
Berdasarkan pengertian kealpaan di atas dapat disimpulkan bahwa dikatakan
culpa jika keadaan batin pelaku perbuatan pidana bersifat ceroboh, teledor, atau kurang
hati-hati sehingga perbuatan dan akibat yang dilarang oleh hukum terjadi. Jadi dalam
kealpaan ini, pada diri pelaku sama sekali memang tidak ada niat kesengajaan sedikit
pun untuk melakukan suatu perbuatan pidana yang dilarang hukum. Meskipun
demikian, ia tetap patut dipersalahkan atas terjadinya perbuatan dan akibat yang
dilarang hukum itu karena sikapnya yang ceroboh tersebut. Hal ini dikarenakan nilai-
nilai kepatutan yang ada dalam kehidupan masyarakat mengharuskan agar setiap orang
memiliki sikap hati-hati dalam bertindak.
Modderman menyatakan terdapat dua bentuk kealpaan (culpa), yaitu kealpaan
yang disadari (bewuste culpa) dan kealpaan yang tidak disadari (onbewuste culpa). Dia
mengatakan bahwa corak kealpaan yang paling ringan adalah orang menggunakan
pelanggaran hukum dengan tidak diinsyafi sama sekali. Dia tidak tahu, tidak berfikir
dengan panjang atau tidak bijaksana. Tetapi corak kealpaan yang lebih berat adalah
yang dinamakan dengan bewuste shuld, yaitu kalau pada waktu berbuat kemungkinan
menimbulkan akibat yang dilarang itu telah diinsyafi, tetapi karena kepandaiannya atau
193 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 217.
105
diadakannya tindakan-tindakan yang mencegahnya, kemungkinan itu diharapkan tidak
akan timbul.194
Bentuk kealpaan yang disadari (bewuste culpa) adalah pelaku dapat menyadari
tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, tetapi ia percaya dan berharap bahwa
akibat buruk itu tidak akan terjadi.195 Pelaku telah membayangkan atau menduga akan
timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, akibat itu terjadi
juga.196 Sedangkan dalam kealpaan yang tidak disadari (onbewuste culpa) pelaku tidak
membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam
pidana oleh undang-undang, padahal ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya
akibat itu.197 la tidak memperhitungkan adanya kemungkinan akan timbulnya akibat
yang dilarang dan diancam pidana.
Berkaitan dengan penjelasan mengenai kealpaan yang disadari (bewuste culpa),
perlu dikemukakan bahwa selintas bentuk kealpaan yang disadari ini mirip atau hampir
sama dengan dolus eventualis. Memang, terdapat persamaan antara bewuste culpa dan
dolus eventualis, yaitu pelaku perbuatan pidana baik pada bewuste culpa maupun dolus
eventualis sejak semula sama-sama telah memiliki kesadaran atau pikiran bahwa
perbuatannya sangat mungkin dapat menimbulkan akibat tertentu yang dilarang
hukum.198 Namun demikian, antara bewuste culpa dan dolus eventualis memiliki
194 Ibid., hlm. 227. 195 Tongat, Op.Cit., hlm. 289. 196 Leden Marpaung, Op.Cit, hlm. 26 197 Ibid. 198 M. Abdul Kholiq, Op.Cit., hlm. 139.
106
perbedaan, yaitu pada tindak lanjut dan sikap pelaku terhadap akibat yang dilarang
hukum yang benar-benar terjadi. Dalam bewuste culpa sikap pelaku perbuatan pidana
terhadap akibat yang terjadi adalah menyesalinya. Hal ini karena sebenarnya ia tetap
ingin menghindari kemungkinan terjadinya akibat. Sedangkan dalam dolus eventualis
sikap pelaku perbuatan pidana terhadap akibat yang terjadi adalah apa boleh buat,
dalam arti tidak ada penyesalan pada diri pelaku.199
Sejak awal, dokter berusaha untuk menyembuhkan penyakit pasiennya. Dokter
akan berusaha sekuat tenaga dengan menerapkan ilmu pengetahuan kedokteran untuk
menyembuhkan pasien-pasiennya. Namun, apabila penyakit pasien sudah kritis dan
tidak dapat tertolong lagi maka dokter akan menghentikan perawatan dan pengobatan
yang sia-sia tersebut. Pihak keluarga sudah kehabisan dana untuk biaya pengobatan di
rumah sakit, sehingga menginginkan agar dirawat di rumah. Dokter sengaja
menghentikan pengobatannya dan mengetahui apabila dibiarkan dirawat di rumah
maka dalam waktu yang tidak lama, si pasien akan meninggal dunia. Walaupun dokter
sudah berusaha menyembuhkan pasien, namun pasien tetap meninggal akibat
penyakitnya. Hal ini merupakan bentuk kealpaan yang disadari.
199 Ibid., hlm. 140.