bab iii potret penggunaan energi dan emisi - apki · 2013-01-04 · laporan akhir ”implementation...
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-1
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
BAB III
POTRET PENGGUNAAN ENERGI DAN PRODUKSI EMISI
DI INDUSTRI BAJA DAN INDUSTRI PULP-KERTAS
3.1 SEKTOR INDUSTRI BAJA
3.1.1 Deskripsi Proses Industri Baja
3.1.1.1 Proses Peleburan
A. Blast Furnace (Tanur Tinggi)
Blast furnace merupakan suatu reaktor tinggi untuk memproses bijih besi (pig
iron) menjadi cairan logam melalui rekayasa metalurgi yaitu “kokas (coke) dan
material karbon lainnya” dimanfaatkan sebagai reagent kimia untuk sumber
panas dalam prosesnya. Biji besi dan kokas diangkut ke atas tungku dalam
bentuk bongkahan kemudian jatuh secara gravitasi ke dalam tungku peleburan.
Panas pembakaran diperoleh dari pembakaran parsial antara kokas, bahan bakar
yang diinjeksikan dengan udara panas (preheated air) ke campuran gas karbon
mono oksida (CO), hydrogen (H2), dan metana (CH4).
Gambar 3.1. Layout proses blast furnace
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-2
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
Berikut ini merupakan fungsi masing-masing raw materials yang digunakan pada
proses blast furnace yaitu :
a. Biji besi (pig iron);
Biji besi yang digunakan bervariasi umumnya besi oxida hematite (Fe2O3),
besi oxida tersebut direaksikan secara inderect reductions. Proses reduksi
untuk mengubah besi oksida (Fe2O3) menjadi besi (Fe) sebagai berikut :
Gambar 3.2 Proses reduksi mengubah besi oksida (Fe2O3) menjadi besi (Fe)
b. Kokas;
Material kokas dalam proses pembakaran memiliki peranan sebagai
berikut:
� Menghasilkan panas
� Pembakaran tidak sempurna menghasilkan gas karbon monoksida
sebagai reduktor.
Mekanisme reaksinya sebagai berikut:
Begins at 450° C
Begins at 600° C
Begins at 700° C
Begins at 1535° C
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-3
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
c. Batu kapur;
Batu kapur berfungsi untuk mengikat kotoran (sulfur) dari FeS pada besi
cair menjadi terak (slag) yang terapung diatas besi kasar cair. Mekanisme
reaksinya sebagai berikut :
Produk yang dihasilkan pada proses di blast furnace adalah besi kasar cair
(belum ada penambahan material alloy). Logam cair dari blast furnace
kemudian dimasukkan ke dalam Basic Oxygen Furnace (BOF) disertai
dengan penambahan material alloy.
Berikut merupakan jenis material yang ditambahkan di dalam BOF yaitu :
� Besi kasar cair
� Baja bekas (steel scrap)
� Oksigen dibutuhkan untuk mengurangi kadar karbon hingga
mencapai yang dikehendaki.
� Batu kapur dibutuhkan untuk mengikat kotoran menjadi terak.
� Unsur-unsur paduan terdiri atas; Fe-Mn, Fe-Si, Fe-Cr, Fe-Ni, dst.;
berfungsi untuk membentuk paduan sehingga menghasilkan sifat
fisik dan kimia sesuai dengan spesifikasi customer.
Sesudah komposisi kimia baja tepat sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan,
selanjutnya dilakukan pemeriksaan komposisi kimia sample menggunakan
spectrometer, seterusnya dilakukan pouring (pemindahan caian logam ke dalam
ladle) untuk selanjutnya dituang melalui tundish menuju cetakan.
Gambar 3.3. Layout proses penuangan logam cair
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-4
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
Penuangan baja cair dapat dilakukan dengan dua cara, dalam bentuk balok baja
(ingot) dan slab atau billet dengan proses cor continue (continuous casting).
B. Direct Reduction Iron (DRI)
Direct reduction merupakan proses reduksi langsung menggunakan reduktor
yang berasal dari gas alam. Pabrik Besi Spons menerapkan teknologi berbasis
Gas Alam dengan proses reduksi langsung menggunakan teknologi Hyl. Pabrik ini
menghasilkan besi spons (Fe) dari bahan mentahnya berupa bijih pellet (Fe2 03
and Fe3 04) dengan menggunakan Gas Alam (CH4) dan air (H2O ).
Gambar 3.4. Flow chart proses DRI
Proses produksi spons secara garis besar sbb:
1. Proses Pemurnian Gas Alam
Pasokan gas alam sebelum diproses menjadi gas reduksi terlebih dahulu
dibersihkan dari fraksi berat hidro carbon bawaan, menghilangkan
kandungan mercury (Demercurizer), dan menghilangkan kandungan sulfur
(Desulfulizer).
2. Pembentukan Gas Reduksi ( Gas Proses )
Gas alam ( CH4) yang sudah bersih, pada reformer dipanaskan dan
direaksikan dengan air yang sudah berupa steam sehingga terbentuk gas
reduksi Carbon Monoksida (CO) dan Hidrogen (H2).
3. Proses Reduksi
Gas reduksi sebelum masuk reactor terlebih dahulu dipanaskan di unit Gas
Heater hingga mencapai temperature 935 0C, kemudian diinjeksi dengan
gas oksigen untuk menaikan temperatur hingga mencapai 960 ºC. Pada
reactor pellet mengalami proses reduksi langsung oleh gas reduksi
sehingga menghasilkan spons.
- Reformer; berfungsi Untuk menghasilkan gas proses dari reaksi gas
alam dan steam.
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-5
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
- Gas Heater; berfungsi Untuk memanaskan gas proses dari reformer
sebelum masuk ke reactor dan diinjeksi O2 untuk menaikan
tempratur.
- Reaktor; berfungsi Untuk mereduksi pellet menjadi spons dengan
menggunakan gas proses.
- Rotary valve; berfungsi Untuk mengontrol produksi spons yang keluar
dari reaktor.
C. Electric Arc Furnace
Electric Arc Furnace (EAF) menghasilkan panas dengan cara melewatkan arus AC
melalui suatu elemen resistansi berupa elektroda dari carbón atau graphite pada
furnace , kemudian terbentuk percikan bunga api listrik antara logam yang akan
dilebur dengan elektroda tersebut.
Gambar 3.5. Proses Electric Arc Furnace
Aliran Material Proses Pembuatan Slab dengan jalar EAF sebagai berikut:
1. Melting (Peleburan)
Bahan baku yang dilebur adalah Besi Spons dan Scrap dengan
perbandingan 80 : 20, Temperatur lebur sampai mencapai + 1680 0C.
2. Rinsing
Proses ini berfungsi untuk pengaturan komposisi kimia, homogenisasi,
dan pengaturan temperatur baja cair.
3. Casting
Dimensi slab, yaitu menyangkut format/lebar dan panjang slab mengacu
terhadap program casting yang telah di desain. Untuk tebal slab nilainnya
umumnya dibuat konstan yaitu sebesar 200 mm.
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-6
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
4. Scarfing
Proses ini berfungsi sebagai:
- Test line permukaan slab.
- Perbaikan permukaan slab.
5. Cutting/Ripping
Cutting adalah proses pemotongan slab ke arah lebar slab dan ripping
adalah proses pemotongan slab ke arah panjang slab.
3.1.1.2 Proses Pembentukan Baja (Forming)
A. Pembentukan Baja Lembaran Panas
Proses pembuatan baja lembaran panas merupakan proses pembentukan baja
dengan terlebih dahulu melakukan pengkondisian/menaikkan temperatur
material dasar baja. Jenis proses ini pada umumnya adalah pengerolan baja
(rolling) dengan menggunakan bahan baku billet, bloom atau slab. Fasilitas
produksi pada proses ini terdiri dari :
Reheating furnace.
Untuk persiapan proses pengerolan,baja slab dimasukan ke dalam
Reheating Furnace dimana baja akan dipanaskan hingga mencapai
temperatur pengerolan (1200–1250oC). Parameter-parameter penting
dalam proses ini seperti temperatur pemanasan,waktu pemanasan dan
metode penaikan temperature dikontrol secara otomatis oleh komputer.
Sizing Press.
Sizing Press berfungsi untuk mengurangi ukuran slab hingga 159 mm untuk
lebar tertentu dan lebar lainnya maksimum 100 mm untuk meningkatkan
fleksibilitas produksi.
Gambar 3.6. Diagram alir proses pembuatan baja lembaran panas
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-7
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
Reverse Roughing Mill
Reverse Roughing Mill digunakan untuk mereduksi slab dengan ketebalan
200mm menjadi transfer bar dengan ketebalan 28-40 mm. Lebar dari
transfer bar ini dikontrol oleh vertical rolledgear.
Finishing Mill
Proses pengerolan kontinyu pada finishing mill berfungsi untuk mereduksi
transfer bar menjadi baja lembaran (strip) dengan ketebalan akhir sesuai
permintaan konsumen (1,8 s/d 25 mm). Dalam proses pengawasan yang
ketat dilakukan terhadap parameter-parameter seperti ketebalan baja
lembaran,deviasi ketebalan,lebar baja lembaran dan temperatur
pengerolan akhir. Komputer proses dalam hal ini berperan untuk
melakukan pengontrolan secara otomatis.
Laminar Cooling
Proses didalam Water Laminar Cooling secara semi otomatis dikontrol oleh
sistem komputer dengan tujuan mendapatkan baja lembaran dengan
kualitas yang baik.
Down Coiler
Baja lembaran dibentuk menjadi gulungan ( coil ) dengan mengunakan 2
buah mesin down coiler.
Shearing Line
Baja lembaran panas yang berbentuk gulungan dapat diproses lebih lanjut
menjadi kondisi slit, trimmed atau recoiled.
Hot Skin Pass Mill
Tekanan kecil diberikan sepanjang baja lembaran untuk memperbaiki
kondisi fisik baja yang dihasilkan.
B. Proses Pembuatan Baja Lembaran Dingin
Proses pembuatan baja lembaran dingin merupakan proses pembentukan baja
pada temperatur ambien. Pada proses ini tidak diperlukan proses pengkondisian/
menaikkan temperatur material dasar baja. Fasilitas produksi pada proses ini
terdiri dari :
Continuous Pickling Line.
Proses paling awal dipabrik baja lembaran dingin adalah proses pickling,
dalam pembuatan cold reduced steel sheet / strip, oksida yang dihasilkan
selama proses pengerolan panas harus dihilangkan sebelum memasuki
proses cold reduction. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-8
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
ketidakseragaman dan untuk mehilangkan ketidakteraturan permukaan.
Proses eliminasi senyawa oksida dilakukan secara mekanik (mengunakan
scale breaker) dan juga secara kimiawi (menggunakan HCI). Continuous
Pickling Line juga dapat digunakan untuk proses oiling baja lembaran
panas ( kondisi pickled dan oiled ).
Tandem Cold Mill.
Proses penipisan baja lembaran terdiri dari pengerolan dingin ( setelah
descaling menggunakan continuous pickling ) dan oiling baja lembaran
panas dalam bentuk gulungan yang diproduksi di Pabrik Baja Lembaran
Panas.Tujuan dari proses pengerolan dingin adalah untuk mengurangi
ketebalan baja yang dihasilkan,untuk memperoleh permukaan yang halus
dan padat dengan atau tanpa pemanasan selanjutnya dan untuk
mendapatkan sifat-sifat mekanik yang dapat dikontrol.
Gambar 3.7. Diagram alir proses pembuatan baja lembaran dingin
Electrolytic Cleaning Line.
Walaupun residu minyak pelumas proses pengerolan diperlukan dalam
pembentukan rolled strip dengan derajat ketahanan tertentu terhadap
korosi,residu sematcam itu harus dihilangkan sebelum memasuki proses
selanjutnya dimana permintaan dari konsumen mensyratkan permukaan
baja yang bersih. Fasilitas ini juga dapat digunakan untuk mengeliminasi
iron fine pada permukaan strip.
Batch Annealing Furnace.
Selama proses pengerolan dingin, struktur grain dari produk yang dirol
menjadi rusak dan mengalami perpanjangan.Dengan adanya perubahan
tersebut, umunya diberikan pemanasan pada produk yang dirol tersebut
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-9
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
untuk mengembalikan ductility dan sifat mampu membentuk, sesuai
permintaan konsumen.
Continuous Annealing Line
Continuous Annealing Line ( CAL ) dapat disebut sebagai salah satu factor
kunci yang berperan dalam kemajuan teknologi produksi baja lembaran
dingin dalam tahun-tahun terakhit ini. CAL melalui proses pemanasan,
soaking, pendinginan dan over-aging, dapat menghasilkan produk mulai
dari deep-drawing quality sheet hingga high-tensile strength sheet.
Temper Mill
Temper rolling merupakan istilah yang digunakan pada proses akhir
pembuatan baja lembaran dingin yang bertujuan antara lain untuk
memberikan kekasaran yang tepat pada permukaan, memperbaiki keratan
dari baja lembaran, untuk menutupi kerusakan pada derajat tertentu, dan
utuk memeberikan tegangan yang cukup dalam upaya menekan yield point
untuk mengeliminasi strecher strains selama proses pembentukan
dipelangan.
Finishing Line
Baja lembaran dingin gulungan dapat diproses lebih lanjut menjadi bentuk
sheared,trimmed,atau recoiled.
C. Proses Pembuatan Batang Baja Kawat
Fasilitas produksi pabrik ini terdiri dari :
Reheating Furnace
Untuk persiapan pengerolan billet atau bloom dimasukan ke dalam
Reheating Furnace tipe walking beam dimana baja dipanaskan hingga
mencapai temperatur pengerolan ( 1200-1250º C). Parameter-parameter
penting dalam proses ini seperti temperatur pemanasan,waktu pemanasan
dan metode penaikan temperatur dikontrol secara otomatis oleh sistem
komputer.
Pre-roughing Mill
Unit ini berfungsi mereduksi billet atau bloom menjadi 107 x 107 mm (
maksimum) dengan tujuan meningkatkan fleksibilitas produksi.
Roughing Mill
Tandem Roughing Mill digunakan untuk mereduksi bar dengan dimensi
107 x 107 mm menjadi transfer bar dengan diameter 33 mm.
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-10
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
Gambar 3.8. Diagram alir proses pembuatan batang kawat
Finishing Mill
Finishing Mill berfungsi untuk mereduksi diameter baja batang kawat sesuai
permintaan konsumen dengan menggunakan proses no twist mill. Hasil
rolling ini akan menghasilkan beberapa diameter dari 5,5 s/d 20 mm
dengan grade Low Carbon, Medium Carbon, SWRY11,High Carbon dan
Cold Heading. Dalam proses pengawasan yang ketat dilakukan terhadap
parameter-parameter penting seperti diameter batang dan temperatur
pengerolan akhir. Komputer proses dalam hal ini berperan untuk
melakukan pengontrolan secara otomatis.
Cooling Zone
Proses pendinginan dengan menggunakan teknologi Stelmor dilakukan
untuk mendapatkan batang kawat baja berkualitas baik.
Down Coiler
Dengan fasilitas ini, baja batang kawat dibentuk menjadi gulungan.
3.1.2 Monitoring Pelaksanaan Audit
Monitoring merupakan salah satu kegiatan pada pekerjaan“Implementation of
Energy Conservation and CO2 Emission Reduction in Steel and Pulp & Paper
Industries (Phase I)”yang dilakukan oleh National Management Consultant (NMC)
pada pelaksanaan audit energi dalam rangka program konservasi energi dan
reduksi emisi. Dalam kegiatan ini NMC melakukan koordinasi dari data audit energi
dan emisi gas rumah kaca (GRK) yang diambil oleh tiap tim Regional Consultant
(RC) pada setiap industri yang telah ditunjuk untuk dilakukan audit energi.
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-11
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
A. Lingkup Monitoring
Dalam pelaksanaan monitoring ini lingkup kegiatan yang dilakukan oleh NMC
meliputi koordinasi dengan RC untuk melakukan audit energi, pengumpulan
data historis energi untuk disusun menjadi baseline energi, dan baseline emisi
CO2 dari seluruh industri yang dilakukan audit energi oleh masing – masing RC
diantaranya :
a. RC 1 untuk wilayah DKI Jakarta, Banten, dan Bandung melakukan audit
energi terdiri dari 12 indusri baja.
b. RC 2 untuk wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur melakukan audit energi
terdiri dari 16 industri baja.
c. RC 3 untuk wilayah Sumatera dan Kepulauan Riau kemudian melakukan
audit energi terdiri dari 7 industri baja.
Jumlah industri yang direncanakan dilakukan monitoring adalah sejumlah 35
industri baja.
Tabel 3.1. Daftar Industri baja yang telah dilakukan audit energi
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-12
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
Tabel 3.1. Lanjutan
B. Hasil Monitoring
Dari kegiatan monitoring yang telah dilakukan oleh NMC maka hasil yang dapat
diperoleh diantaranya : Pada umumnya industri obyek cukup terbuka dan
menyambut baik kegiatan IECER phase-1. Namun terdapat beberapa industri
yang kurang siap untuk mengukuti kegiatan ini khususnya pada kegiatan audit
energi.
a. Skedul pelaksanaan audit energi yang terlalu singkat sehingga hasil
yang diharapkan dari pekerjaan ini belum mencapai output yang
diharapkan, seperti masih perlu dilakukan kajian yang mendalam
terhadap identifikasi potensi penghematan energi pada masing – masing
industri.
b. Sulitnya mendapatkan kepastian jadwal masuk ke industri obyek yang
berdampak pada bergesernya rencana waktu pelaksanaan.
c. Kurangnya peralatan audit energi dari RC sehingga hasil audit energi
belum bisa maksimal untuk memenuhi requirement yang diharapkan.
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-13
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
2768; 61,5%
1089; 24,2%
632; 14,1%10; 0,2%
Steel Making Reheating furnace Rolling mill Off ice
d. Kurang tersedianya metering dan sistem monitoring energi pada
beberapa industri sehingga proses pengumpulan data cukup sulit untuk
dilakukan sesuai dengan kebutuhan data yang diperlukan.
e. Kelompok industri baja yang dilakukan obyek dibagi menjadi 2 :
1. Steel Making (mempunyai peleburan)
2. Metal Forming (tidak mempunyai peleburan)
3.1.3 Potret Penggunaan Energi
Penggunaan energi di industri baja pada umumnya digunakan untuk proses
peleburan scrap baja menggunakan tungku peleburan, proses perlakuan panas
(heat treatment) menggunakan reheating furnace, proses pembentukan logam
(metal forming) seperti rolling, wire drawing, ekstrusi, forging, piercing dan
proses finishing seperti grinding dan permesinan. Gambar dibawah merupakan
breakdown distribusi pemakaian energi di integrated steel making setelah
disetarakan ke konversi energi (TOE) berdasarkan hasil survei audit energi yang
dilakukan.
Gambar 3.9. Pie chart distribusi pemakaian energi di industri baja
Pada pie chart diatas, persentase pemakaian energi terbesar adalah untuk
proses peleburan sebesar 61,5%, reheating 24,2%, metal forming (rolling)
14,1%, dan untuk office 0,2%.
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO
Kementerian Perindustria
PT. Energy Management Indonesia (Persero)
Tabel.3.2. Daftar Produksi,
Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia
Management Indonesia (Persero)
Daftar Produksi, Komsumsi Energi, dan IKE Industri Baja Objek
Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
3-14
2011
Energi, dan IKE Industri Baja Objek
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-15
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
A. Peleburan Baja
Sesuai dengan karakter proses, sumber energi yang digunakan di proses
peleburan baja adalah energi listrik, kokas dan energi yang berasal dari reaksi
eksotermik di tungku peleburan. Penggunaan bahan energi listrik lainnya
banyak digunakan untuk peralatan utilitas (pompa, fan, blower, mesin
pengangkat, kompresor, dll). Peralatan penggunaan energi terbesar adalah
peralatan Electric Arc Furnace (EAF) dan/atau Induction Furnace. Potret
konsumsi energi untuk kelompok industri yang memiliki fasilitas peleburan EAF
dan fasilitas peleburan IF dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.3. Potret konsumsi energi di industri baja yang memiliki fasilitas EAF
No Nama Industri Produksi
Konsumsi
Energi
IKE
Baseline Keterangan
Ton/tahun GJ/tahun GJ/Ton
1 PT. Jakarta Steel Megah Utama (JSMU)
46.514 114.936 2,47 Hanya energi listrik di EAF Proses
2 PT. Jakarta Cakratunggal Steel (JCS)
500.000 975.000 1,95 Hanya energi listrik di EAF Proses
3 PT. Power Steel Indonesia (PSI)
180.000 433.800 2,41 Hanya energi listrik di EAF Proses
4 PT. Ispatindo 460.752 2.059.561 4,47 Listrik dan Energi Primer, Plant
5 PT. Hanil Jaya Steel (HJS) 171.304 799.990 4,67 Listrik dan Energi Primer, Plant
6 PT. Growth Sumatera Industri (GSI)
197.000 642.220 3,26 Listrik di EAF dan Natural gas, Plant
7 PT. Gunung Gahapi Sakti (GGS)
75.000 350.250 4,67 Listrik dan Energi primer, Plant
TOTAL 1.630.570 5.375.757
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-16
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
Tabel 3.4. Potret konsumsi energi di industri baja yang memiliki fasilitas induction furnace.
No Nama Industri Produksi
Konsumsi Energi
IKE Keterangan
Ton/tahun GJ/tahun GJ/Ton
1 PT. Bangun Sarana Baja (BSB)
18.145 49.218 2,71 Hanya energi listrik plant
2 PT. Bintang Timur Steel (BTS)
31.214 105.628 3,38 Hanya energi listrik plant
3 PT. Era Baja Prima (EBP)
26.438 106.542 4,03 Hanya energi listrik plant
4 PT. Sanex Steel (SS)
252.300 574.739 2,28 Hanya energi listrik plant
5 PT. Trieka Aimex (Foundry)
444 3.907 8,80 Energi listrik dan energi primer
6 PT. Pindad (Foundry)
2.876 8.225 2,86 Hanya energi listrik plant
7 PT. Indohanco (Rolling)
559 872 1,56 Hanya energi listrik IF
8 PT. Inti General (IG) (Rolling)
27.453 245.979 8,96 Energi listrik dan energi primer
9 PT. Ria Sarana Putra Jaya (RSPJ) (Rolling)
11.140 81.567 7,32 Energi listrik dan energi primer
10 PT. Jaya Pari Steel (JPS) (Rolling)
40.152 134.108 3,34 Hanya energi listrik plant
11 PT. Yuan Teai (YT) (Wire Drawing)
829 6.748 8,14 Energi listrik dan energi primer
12 PT. Itokoh (Foundry)
24.000 354.720 14,78 Energi listrik dan energi primer
13 Koperasi Batur Jaya (KBJ) (Foundry)
432 2.143 4,96 Hanya energi listrik plant
14 PT. Jindal (Rolling) 140.000 152.600 1,09 Hanya energi listrik rolling
15 PT. Abadi Jaya Manunggal (AJM) (Rolling)
18.744 44.986 2,40 Hanya energi listrik plant
16 PT. Growt Asia Foundry (GAF) (Foundry)
40.779 210.827 5,17 Energi listrik dan natural gas
17 PT. Asia Raya Foundry (ARF) (Foundry)
9.830 54.950 5,59 Energi listrik dan natural gas
18 PT. Baja Pertiwi (BP) (Foundry)
429 2.490 5,81 Energi listrik dan BBM
TOTAL 645.764 2.140.249
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-17
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
Dari hasil pengolahan data audit energi, intensitas konsumsi energi listrik rata-
rata diproses EAF 2,49 GJ/ton produk. Jika dibandingkan besaran tersebut
dengan intensitas konsumsi energi listrik kondisi best practice di EAF steel mini
mills (1,5 GJ/ton) maka dapat dikatakan konsumsi energi di industri obyek
masih lebih boros. Kondisi yang sama juga terjadi untuk total konsumsi energi.
Rata-rata industri baja obyek berada pada besaran 3,1 – 3,5 GJ/ton produksi
(lihat laporan masing-masing RC). Hasil pengolahan data produksi dan
konsumsi energi dari industri obyek diperoleh kurva hubungan intensitas energi
dan produksi rata-rata di proses peleburan pada Gambar berikut. Terlihat
bahwa semakin besar kapasitas produksi, nilai IKE akan menurun. Dari nilai
kapasitas yang ada, kelompok industri baja dengan menggunakan tungku EAF
lebih efisien dibandingkan dengan industri baja yang menggunakan tungku
induksi.
Gambar 3.10. Grafik sebaran intensitas konsumsi energi terhadap tingkat produksi
Gambar 3.11. Grafik sebaran konsumsi energi terhadap tingkat produksi
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO
Kementerian Perindustria
PT. Energy Management Indonesia (Persero)
Perbandingan neraca energi pada EAF antara best world practice dan kondisi
rata-rata EAF proses di Indonesia berdasarkan hasil audit energi ICCTF
a. best world EAF condition
Gambar 3.12.
Tabel 3.5 Intensitas konsumsi energi di proses peleburan baja EAF dengan bahan baku
scrap (world best
Hasil dari analisis keseimbangan energi, diperoleh konsumsi energi spesifik di
EAF industri obyek rata
practice sebesar 637,3 kWh/ton. Terlihat bahwa k
industri obyek rata
best world practice
yang menggunakan tungku induksi dalam proses peleburannya. Gambar berikut
merupakan hasil perhitungan neraca energi pada tungku induksi di industri
obyek.
Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia
Management Indonesia (Persero)
Perbandingan neraca energi pada EAF antara best world practice dan kondisi
rata EAF proses di Indonesia berdasarkan hasil audit energi ICCTF
best world EAF condition b. kondisi rata-rata audit di industri baja EAF
Perbandingan neraca energi di EAF antara world best practice dan
kondisi EAF di hasil audit energi di industri baja
Intensitas konsumsi energi di proses peleburan baja EAF dengan bahan baku
world best practice). Sumber: Berkeley National Laboratory, 2008.
Hasil dari analisis keseimbangan energi, diperoleh konsumsi energi spesifik di
EAF industri obyek rata-rata 902,0 kWh/ton sedangkan besaran best world
practice sebesar 637,3 kWh/ton. Terlihat bahwa konsumsi energi spesifik di
industri obyek rata-rata lebih tinggi sebesar 264,7 kWh/ton (
best world practice. Konsumsi energi akan jauh lebih tinggi pada industri baja
yang menggunakan tungku induksi dalam proses peleburannya. Gambar berikut
merupakan hasil perhitungan neraca energi pada tungku induksi di industri
Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
3-18
2011
Perbandingan neraca energi pada EAF antara best world practice dan kondisi
rata EAF proses di Indonesia berdasarkan hasil audit energi ICCTF-2010.
di industri baja EAF
Perbandingan neraca energi di EAF antara world best practice dan
kondisi EAF di hasil audit energi di industri baja.
Intensitas konsumsi energi di proses peleburan baja EAF dengan bahan baku
Sumber: Berkeley National Laboratory, 2008.
Hasil dari analisis keseimbangan energi, diperoleh konsumsi energi spesifik di
kWh/ton sedangkan besaran best world
onsumsi energi spesifik di
kWh/ton (41%) dibanding
Konsumsi energi akan jauh lebih tinggi pada industri baja
yang menggunakan tungku induksi dalam proses peleburannya. Gambar berikut
merupakan hasil perhitungan neraca energi pada tungku induksi di industri
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-19
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
Gambar 3.13. Neraca energi di IF berdasarkan audit energi di industri baja.
Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan, beberapa hal yang menjadi faktor
pengaruh besarnya konsumsi energi spesifik di proses peleburan baja (EAF)
tersebut antara lain adalah:
1. Pengontrolan penggunaan energi listrik, kokas, dan bahan bakar lainnya
dalam setiap peleburan (heat).
2. Sistem dan kondisi pemasukan umpan (scrap charging) mencakup
metode charging, kapasitas, frekwensi charging dan temperatur scrap.
- Kebersihan & jenis alloy material charging
- Bentuk dan packing density darimaterial charging
- Rasio material charging yaitu (rasio scrap baja vs starting block/besi
spons)
- Jarak stok material (raw materials) terhadap tungku peleburan
- Jenis pengangkutan raw materials yang digunakan
- Frekuensi material charging
3. Kualitas kokas, elektroda karbon dan oksigen yang digunakan.
4. Kualitas parameter kelistrikan (power factor, voltage unbalance, load
unbalance).
5. Perbandingan kapasitas terpasang furnace dan kapasitas operasi.
6. Kondisi dinding furnace (temperatur dinding) dan sumber-sumber
kebocoran panas pada dinding.
7. Temperatur peleburan (molten steel temperature).
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-20
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
8. Lama proses peleburan (tap to tap time) dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
- Waktu alloying.
- Waktu pengambilan sample material untuk analisa struktur mikro
dan komposisi.
- Intrusi udara dari luar yang masuk ke dalam proses peleburan baja.
- Persentase oksigen untuk fasilitas tungku konvensional.
- Persentase karbon pada proses peleburan
9. Proses mixing & pouring dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
- Waktu preheating ladle pouring paling optimum
- Cycle time tapping dan pouring
- Jarak antara ladle pouring dengan molding
- Jenis material refraktori dan konstruksi penutup ladle pouring
10. Sistem penyaringan debu off gas (dedusting system) dan pemanfaatan
panas buang off gas.
11. Laju air pendingin dan sistem pengaturannya.
12. Kondisi peralatan listrik (motor auxiliaries) mencakup kualitas parameter
kelistrikan, kapasitas terpasang dan kapasitas operasi, pola operasi dan
kondisi mekanikal motor.
Berdasarkan hasil evaluasi kondisi industri baja yang ada dan hasil audit RC,
beberapa identifikasi peluang konservasi energi di EAF adalah sebagai berikut:
1. Pengaturan temperatur Tapping Metal pada T = 1530 – 1550OC.
2. Perbaikan kebocoran radiasi panas pada EAF untuk mengurangi laju
radiasi panas.
3. Mengurangi frekwensi charging melalui penggunaan scrap pressing.
4. Pemanfaatan panas buang off gas untuk pemanasan umpan scrap
(scrap preheating).
5. Penggunaan variable speed drive control pada pompa air pendingin
sehingga laju aliran dapat disesuaikan dengan tingkat pembebanan di
EAF.
6. Pemeriksaan dan perbaikan terminal kelistrikan EAF.
7. Pemeriksaan tahanan kabel distribusi dan detail analisis untuk
penggantian.
8. Pemasangan kapasitor bank/static variable compensator pada panel
EAF.
Faktor-faktor yang sama juga terjadi pada tungku induksi (IF) dengan
tambahan beberapa faktor:
1. Spesifikasi tungku yang digunakan (kapasitas, range frekwensi, metode
pengaturan frekwensi).
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-21
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
2. Sistem tutup tungku dan penyaringan debu off gas (dedusting system)
dan pemanfaatan panas buang off gas.
3. Waktu proses mixing komposisi yang secara langsung berdampak pada
penurunan temperatur molten steel.
B. Pembentukan Baja (Forming)
Beberapa industri yang menjadi obyek kegiatan ini memiliki fasilitas proses
pembentukan baja (foundry, rolling mill, wire drawing). Terdapat beberapa
industri yang hanya melakukan proses forming (rolling dan wire drawing).
Potret penggunaan energi kelompok industri tersebut dapat dilihat pada Tabel
berikut.
Tabel 3.6. Potret penggunaan energi kelompok industri
No Nama Industri Produksi
Konsumsi
Energi IKE
Keterangan
Ton/tahun GJ/tahun GJ/Ton
1 PT. Ispat Bukit Baja (IBB)
(Rolling) 49.332 196.835 3,99
Energi listrik dan energi
primer
2 PT. Krakatau Wajatama
(KW) (Rolling) 190.214 824.007 4,33
Energi listrik dan energi
primer
3 PT. Maju Warna Steel
(MWS) (Wire Drawing) 390 2.204 5,65
Energi listrik dan energi
primer
4 PT. Gunawan Dian Jaya
Steel (GDJS) 272.265 547.253 2,01 Hanya energi listrik plant
5 PT. Surabaya Wire (SW)
(Wire Drawing) 3.410 8.593 2,52 Hanya energi listrik plant
6 PT. Liyang Ying (LY) (Wire
Drawing) 4.620 20.282 4,39
Energi listrik dan energi
primer
7 PT. Bumisaka Steelindo
(BS) (Wire Drawing) 420 1.134 2,70 Hanya energi listrik plant
8 PT. Surya Steel (SS) (Wire
Drawing) 4.172 5.215 1,25 Hanya energi listrik plant
9 PT. Putra Baja Deli (PBD)
(Rolling) 60.000 140.400 2,34 Hanya energi listrik plant
10 PT. Surya Buana Mandiri
(SBM) (Galvanizing) 17.178 16.319 0,95
Energi listrik dan energi
primer
TOTAL 602.001 1.762.241
Proses reheating atau heat tretmentmerupakan tahapan proses yang banyak
dilakukan khususnya untuk proses foundry dan pengerolan (rolling).
Temperatur perlakuan panas tergantung pada proses forming yang diinginkan.
Proses rolling pada umumnya menggunakan reheating furnace untuk
memanaskan billet/bloom/slab pada temperatur 1100-1200OC yang merupakan
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-22
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
tahap awal sebelum material di deformasi plastis seperti pada proses rolling,
forging, dan piercing. Sesuai dengan fungsinya, sumber energi yang digunakan
di proses reheating furnace (RF) adalah bahan bakar (BBM, natural gas,
gasifikasi batubara). Penggunaan energi listrik digunakan untuk peralatan
utilitas (pompa air pendingin, fan udara pembakaran, mesin pendorong dan
conveyor slab/billet). Neraca energi pada RF (kondisi bahan baku dingin) dapat
dilihat pada gambar berikut.
Gambar 3.14. Neraca energi di reheating furnace (world best practice). Sumber:
Energy recovery in Mini Mills, Hyundai Steel, 2010
Perlakuan panas juga dilakukan pada produk tertentu yang bertujuan
memperoleh sifat mekanik yang diinginkan, umumnya perlakuan panas jenis ini
digunakan pada produk hasil pengecoran dengan menggunakan cetakan pasir.
Peralatan yang digunakan adalah heat treatment furnace (HTF) yang
menggunakan sumber bahan bakar gas atau BBM. Kebutuhan jumlah energi
sangat tergantung pada temperatur awal billet/bloom/slab. Semakin tinggi
kondisi temperatur masuk, konsumsi energi akan semakin rendah. Gambaran
unjuk kerja reheating furnace dari industri yang diaudit dapat dilihat pada
Gambar berikut.
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO
Kementerian Perindustria
PT. Energy Management Indonesia (Persero)
Gambar
Eisiensi RF berada pada range 15
dengan kondisi RF best world practice (~46%). Berdasarkan hasil identifikasi
yang dilakukan, rendahnya efisiensi RF disebabkan oleh bebera
lain:
1. Tingginya kandungan oksigen pada saluran gas buang
pengontrolan pembakaran
2. Kapasitas operasi 50
3. Sistem dan kondisi pemasukan
4. Kondisi dinding furnace (temperatur dinding) dan sumber
kebocoran panas pada dinding dan pintu masuk keluar
5. Tingginya persentase idle running yang disebabkan stagnasi di rolling
mill dan beberapa penyebab lainnya.
6. Pemanfaatan panas gas bu
preheater
7. Sistem pengaturan
control).
Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia
Management Indonesia (Persero)
Gambar 3.15. Neraca energi di reheating furnace objek
Eisiensi RF berada pada range 15 – 18% yang relatif rendah jika dibandingkan
dengan kondisi RF best world practice (~46%). Berdasarkan hasil identifikasi
yang dilakukan, rendahnya efisiensi RF disebabkan oleh bebera
Tingginya kandungan oksigen pada saluran gas buang
pengontrolan pembakaran hanya menggunakan sensor temperatur)
Kapasitas operasi 50-60% dari kapasitas terpasang.
Sistem dan kondisi pemasukan slab/billetyang kurang baik
ndisi dinding furnace (temperatur dinding) dan sumber
kebocoran panas pada dinding dan pintu masuk keluar
Tingginya persentase idle running yang disebabkan stagnasi di rolling
mill dan beberapa penyebab lainnya.
Pemanfaatan panas gas buang dan performa peralatan
preheater kurang efektif (pada umumnya menggunakan recuperator)
Sistem pengaturan air pendingin kurang optimal (manual & throthling
Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
3-23
2011
Neraca energi di reheating furnace objek
18% yang relatif rendah jika dibandingkan
dengan kondisi RF best world practice (~46%). Berdasarkan hasil identifikasi
yang dilakukan, rendahnya efisiensi RF disebabkan oleh beberapa faktor, antara
Tingginya kandungan oksigen pada saluran gas buang (sistem
hanya menggunakan sensor temperatur).
yang kurang baik.
ndisi dinding furnace (temperatur dinding) dan sumber-sumber
kebocoran panas pada dinding dan pintu masuk keluar slab/billet.
Tingginya persentase idle running yang disebabkan stagnasi di rolling
ang dan performa peralatan combustion air
kurang efektif (pada umumnya menggunakan recuperator).
manual & throthling
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-24
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
8. Kondisi peralatan listrik (motor auxiliaries) mencakup kualitas parameter
kelistrikan, kapasitas terpasang dan kapasitas operasi, pola operasi dan
kondisi mekanikal motor kurang baik.
Berdasarkan hasil evaluasi kondisi industri baja yang ada dan hasil audit RC,
beberapa identifikasi peluang konservasi energi di RF/HTF adalah sebagai
berikut:
1. Pengontrolan udara pembakaran melalui pemasangan oxygen sensor,
minimasi lubang udara masuk dan setting pressure damper. Target
kandungan oksigen pada gas buang adalah 4%-6% tergantung pada
jenis bahan bakar yang digunakan.
2. Perawatan dan repair recuperator untuk meningkatkan efektivitas
perpindahan panas.
3. Perbaikan isolasi RF/HTF
4. Mengurangi idle running RF melalui peningkatan performa rolling mill
dengan mengganti motor-motor AC menjadi motor DC.
5. Mengupayakan secara terus menerus by pass line billet dari CCM
langsung ke rolling mill (direct rolling) yang diselaraskan dengan
pencarian material mould CCM yang handal pada temperatur yang lebih
tinggi.
6. Minimasi celah opening gate (input & output billet).
C. Proses Pengerolan dan Wire Drawing
Sesuai dengan fungsinya, sumber energi yang digunakan di proses pengerolan
(rolling mill) adalah energi listrik untuk menggerakkan motor-motor rolling mill,
pompa air pendingin, mesin potong, hoist & crane dan motor lainnya. Neraca
energi pada RF (kondisi bahan baku dingin) dapat dilihat pada gambar berikut.
Tabel 3.7 Intensitas konsumsi energi di proses pengerolan baja (rolling mill) (world
best practice). Sumber: Berkeley National Laboratory, 2008.
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-25
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
Beberapa hal yang menjadi faktor utama penggunaan energi di proses
pengerolan baja (steel rolling mill) antara lain adalah:
1. Kondisi slab/billet ke roughing mill.
- Temperatur Billet keluar dari reheating furnace
- Distribusi ketidakhomogenan temperatur benda kerja/billet
- Komposisi kimia benda kerja/billet.
- Kandungan scale. Proses descaling yang kurang baik akan
mempengaruhi besaran konsumsi energi dan yield production.
2. Jenis dan dimensi produk yang dihasilkan.
3. Jenis, tipe dan kapasitas motor yang digunakan untuk masing-masing
tahapan pengerolan.
4. Laju pengerolan.
5. Kualitas parameter kelistrikan (power factor, voltage unbalance, load
unbalance).
6. Laju air pendingin, sensor temperatur dan sistem pengendaliannya.
7. Frekwensi stagnasi dan idle running time yang terjadi dalam kurun
waktu tertentu (perhari).
8. Kondisi peralatan listrik (motor auxiliaries) mencakup kualitas parameter
kelistrikan, kapasitas terpasang dan kapasitas operasi, pola operasi dan
kondisi mekanikal motor.
9. Sistem monitoring dan pengendalian operasi yang dipergunakan.
Berdasarkan hasil evaluasi kondisi industri baja yang ada dan hasil audit RC,
beberapa identifikasi peluang konservasi energi di RF/HTF adalah sebagai
berikut:
1. Perbaikan performa rolling mill melalui penggantian motor-motor AC
dengan motor DC.
2. Pemasangan peralatan voltage stabilizer dan kapasitor bank (package)
untuk menjaga stabilitas tegangan dan menaikkan faktor daya di rolling
machine.
3. Pemisahan jalur distribusi listrik rolling mill.
4. Secara terus-menerus melakukan analisis kualitas dan pengaturan laju
air pendingin rolling mill untuk mendapatkan gradien penurunan
temperatur material selama proses rolling (Aplikasi VSD control).
5. Meningkatkan kecepatan proses rolling.
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia 3-26
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
3.1.4 Potret Produksi Emisi
Potret produksi emisi pada kegiatan ini lebih difokuskan pada produksi emisi yang
dihasilkan dari penggunaan energi. Namun beberapa industri tidak memiliki
database penggunaan energi terutama data penggunaan energi primer. Oleh
karena itu produksi dibeberapa industri adalah hasil perhitungan konversi produksi
emisi yang dihasilkan oleh penggunaan energi listrik. Potret produksi dan faktor
emisi dari masing-masing industri baja (35 industri) dapat dilihat pada Tabel
berikut.
Tabel 3.8. Daftar produksi dan faktor emisi pada industri baja (35 industri)
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian 3-27
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
Log Yard Debarking Chipping Chip Screening Chip StorageLog
3.2 SEKTOR INDUSTRI PULP DAN KERTAS
3.2.1 Deskripsi Proses
3.2.1.1 Proses Pembuatan Pulp dan Kertas
A. Persiapan Kayu (wood preparation)
Kayu merupakan bahan baku utama untuk pembuatan pulp. Persiapan bahan
baku bisa didapat dari hutan berupa batang kayu (log) atau berupa serpihan
kayu yang diperoleh dari pengerjaan dari industri kayu yang berbeda. Kayu
biasanya dipersiapkan dalam bentuk serpih kayu.
Persiapan kayu melibatkan proses pemotongan kayu di slasher untuk dipotong
sesuai dengan ukuran yang diinginkan untuk proses selanjutnya dalam
pembuatan pulp. Proses utama dari persiapan kayu adalah debarking (pelepasan
kulit kayu) dan chipping. Konsumsi energi pada kedua proses tersebut relatif
kecil. Proses persiapan kayu secara lengkap diberikan pada di bawah.
Gambar.1.16. Proses persiapan kayu
B. Pulping
Selama proses pembuatan pulp, serpih kayu dipisahkan menjadi serat individu
untuk menghilangkan lignin. Ada lima jenis pembuatan pulp, yaitu kimia,
mekanis, semi-kimia, daur ulang dan lainnya (misalnya dissolving). Proses
pembuatan pulp yang paling umum adalah proses kimia (yaitu kraft, soda dan
sulfit).
Proses pembuatan chemical pulp menggunakan bahan kimia white liquor berupa
natrium hidroksida (NaOH) dan sodium sulfida (Na2S) sebagai bahan kimia aktif.
Proses memasak dapat dilakukan baik dalam digester batch atau dalam digester
kontinyu. Pada proses pemasakan dengan batch digester, serpihan kayu white
liquor dan weak black liquor dimasukkan ke dalam bioreaktor batch dan
dipanaskan hingga mencapai temperature pemasakan (cooking) yaitu sekitar
55 -175 oC . Pada proses pemasakan secara kontinu, serpihan kayu dan white
liquor dipanaskan dan dimasak secara bertahap pada stage yang berbeda dan
dipanaskan hingga mencapai temperature pemasakan. Pada proses pemasakan
kontinu, digester dipanaskan dengan menggunakan injeksi steam langsung
(direct steam injection) sehingga dapat menghemat konsumsi fresh steam secara
signifikan.
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian 3-28
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
Kedua jenis metode pemasakan dengan batch digester dan continues digester
memiliki keuntungan yang berbeda. Batch digester memiliki biaya kapital yang
rendah dan fleksibilitas produk yang lebih bervariasi sedangkan continuous
digester lebih hemat tempat, lebih mudah dikontrol, tidak memerlukan banyak
operator dan lebih energi-efficient.
Gambar 3.17. Proses pemasakan dengan continuous digester
C. Bleaching
Bleaching merupakan proses untuk meningkatkan tingkat kecerahan kertas untuk
keperluan menulis, printing atau kertas dekoratif. Proses ini memisahkan lignin
yang melekat pada serat kayu. Pemutihan pulp dari proses kimia dilakukan
dengan menggunakan oxidizing agent dan larutan alkali. Proses Kraft
menghasilkan kertas dengan kualitas warna yang lebih gelap sehingga
memerlukan proses pemutihan (bleaching). Pulp yang dibuat dari proses
mekanik diputihkan dengan menggunakan hydrogen peroksida atau sodium
hydrosulfite untuk mengurangi tingkat absorpsi lignin.
D. Pemulihan Bahan Kimia (Chemical Recovery)
Sistem pemulihan bahan kimia di proses kraft pulping memiliki tiga fungsi, yaitu:
1. Pemulihan bahan kimia anorganik
2. Pemulihan energi dari black liquor yang dapat digunakan untuk
membangkitkan listrik dan steam
3. Pemulihan bahan organik (by-product) yang bernilai (misalnya tall oil)
Nilai kalori atau energi yang terkandung dalam black liquor biasanya dapat
memenuhi seluruh kebutuhan energi listrik dan steam di industri pulp dan kertas.
Proses utama di chemicalrecovery adalah proses evaporasi black liquor, insinerasi
black liquor di recovery boiler dan kaustisasi.
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian 3-29
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
E. Pengeringan Pulp (Pulp Drying)
Setelah proses pembuatan pulp dan pemutihan, pulp diolah menjadi stok yang
dapat digunakan untuk pembuatan kertas. Pada pabrik non-integrasi, pulp yang
akan dijual dikeringkan, dikemas dan kemudian dikirim ke pabrik kertas. Pada
pabrik terintegrasi, pabrik kertas langsung menggunakan pulp yang diproduksi
oleh pabrik pulp.
Proses pengeringan pulp termasuk salah satu proses dengan konsumsi energi
thermal, yang cukup besar. Dengan adanya proses pulp drying pada non-
integrated pulp mill, maka konsumsi atau intensitas energi untuk menghasilkan
pulp akan lebih besar dari integrated pulp and paper mills yang tidak perlu
melewati proses pengeringan pulp.
3.2.1.2 Proses Pembuatan Kertas (Papermaking)
Kertas terbuat dari serat selulosa dengan tambahan substansi lainnya untuk
meningkatkan kualitas kertas yang diproduksi sesuai dengan grade yang
diinginkan. Pulp untuk pembuatan kertas dapat dibuat dari virgin fiber dengan
proses mekanik atau kimia atau dengan menggunakan kertas bekas (re-pulping
of recovered paper). Pada proses pembuatan pulp, material selulosa dipecah
menjadi serat-serat. Kayu merupakan bahan baku pembuatan kertas utama,
tetapi bahan baku lain seperti jerami, rumput, kapas dan material lainnya yang
mengandung material selulosa dapat juga digunakan sebagai bahan baku
pembuatan kertas. Komposisi bahan baku akan sangat bergantung pada jenis
dan spesies kayu atau material, terutama untuk kandungan cellulose, ligin, dan
hemicellulose.
Kertas yang diproduksi dengan menggunakan kertas bekas akan melibatkan
proses pembersihan kontaminan akibat pemakaian sebelumnya dan dapat
melibatkan proses de-inking yang bergantung pada kualitas material dan kualitas
produk yang diinginkan. Produk kertas biasanya terdiri dari hingga 45% dari
beratnya terdiri dari filler,coating dan aditif lainnya.
Setiap jenis kertas yang diproduksi membutuhkan spesifikasi dan properti
tertentu, sehingga untuk tiap jenis kertas dapat berbeda dalam hal proses
manufakturnya.Dalam hal ini, jenis produk yang dihasilkan juga sangat
mempengaruhi penggunaan bahan baku dan konsumsi energi yang diperlukan
untuk memproduksi pulp dan kertas. Proses pembuatan pulp dan kertas dapat
dibedakan berdasarkan bahan baku dan metode yang digunakan pada
pengolahan bahan baku.
Papermaking terdiri dari proses persiapan (preparation), pembentukan (forming),
penekanan (pressing) dan pengeringan (drying). Proses yang paling banyak
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian 3-30
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
menggunakan energi adalah tahapan persiapan dan pengeringan (drying).
Selama proses persiapan, pulp dibuat menjadi lebih fleksibel melalui proses
beating, mechanical pounding dan squeezing. Penambahan pigmen, warna dan
material filler dilakukan pada tahap ini.Forming dilakukan dengan menyebarkan
pulp pada screen. Air dipisahkan melalui tahapan proses yang kontinu yaitu
melalui proses penekanan (pressing) dan pengeringan. Keseluruhan tahapan
pembuatan kertas diberikan di bawah.
Gambar 1.18. Mesin pembuat lembaran kertas
3.2.1.3 Gambaran Umum Penggunaan Energy di Industri Pulp dan Kertas
A. Overview
Industri pulp dan kertas merupakan salah satu sektor industri dengan intensitas
energi yang tinggi. Karakteristik teknologi yang digunakan untuk industri pulp
dan kertas bergantung dari jenis bahan baku, proses pembuatan pulp dan jenis
produk akhirnya. Setiap proses pada pembuatan pulp dan kertas memerlukan
energi yang berasal dari bahan bakar seperti batubara, gas,minyak, listrik, black
liquor dan biomassa. Energi input tersebut digunakan untuk membangkitkan
steam atau listrik yang sebagian besar digunakan di proses pembuatan pulp dan
kertas.
Secara teori, produksi kertas dari pulp dapat didesain tanpa memerlukan
tambahan energi dari luar karena adanya pemanfaatan by product seperti black
liquor dan biomassa yang dapat digunakan untuk membangkitkan listrik dan
steam yang diperlukan di keseluruhan proses. Dari keseluruhan proses utama,
proses pengeringan merupakan tahap yang sangat boros energi. Secara teknis,
potensi untuk mengurangi penggunaan energi dapat mencapai 30% atau lebih,
tetapi potensi yang secara ekonomis dapat diterapkan hanya sekitar 15 – 20%.
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian 3-31
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
B. Gambaran umum distribusi energi di industri pulp dan kertas
Ada berbagai sistem layanan energi dan utilitas untuk menyediakan energi
sekunder yang dibutuhkan seperti uap, kompresi udara, air dingin dan untuk
fasilitas produksi di pabrik. Sumber energi tersebut bisa didapatkan dari
pembangkit energi yang dimiliki oleh industri itu sendiri atau melalui pembelian
energi.
Energi yang dihasilkan merupakan energi listrik dan steam. Listrik digunakan
untuk menggerakkan mesin – mesin produksi dan steam sebagai energi utama
dalam proses pengeringan dan sebagai pendukung pada proses kimia. Gambar di
bawah memberikan alur distribusi energi listrik, bahan bakar dan distribusi steam
yang digunakan pada proses pembuatan pulp dan kertas. Dari alur distribusi
energi tersebut, energi listrik dan steam merupakan jenis energi yang paling
signifikan penggunaannya. Dalam hal ini, distribusi kuantitas konsumsi tiap jenis
energi akan sangat dipengaruhi oleh jenis proses dan peralatan yang digunakan.
Gambar. 3.19. Distribusi energi pada masing – masing proses industri pulp dan kertas
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian 3-32
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
B. Penggunaan energi di proses utama
Sumber energi utama dalam pembuatan pulp dan kertas meliputi energi panas
dalam bentuk steam dan energi mekanik yang berasal dari listrik. Dari
keseluruhan proses, penggunaan energi panas mencapai 70-80% dari total energi
yang dikonsumsi, dimana sebagian besar energi digunakan di proses pulping dan
pengeringan (drying). Steam dapat dibangkitkan dari black liquor dan tambahan
bahan bakar lainnya seperti batubara, minyak, gas dan biomassa. Untuk
integrated pulp and paper mill, biasanya energi listrik yang dapat dibangkitkan
sendiri (self-generated energy) mencapai 0-60% dari total konsumsi energi.
3.2.2 Gambaran Umum Distribusi Energy di Industri Pulp dan Kertas
A. Distribusi energi total pada proses pulp making
Distribusi energi pada pembuatan pulping terdiri dari wood preparation, cooking,
grinding, screening, evaporation, chemical preparation dan bleaching. Secara garis
besar, persentase konsumsi energi pada masing-masing area dipresentasikan pada
di bawah, dengan konsumsi energi terbesar terdapat pada proses evaporasi black
liquor dengan konsumsi energi sekitar 30% dari total penggunaan energi di pulp
mill.
Gambar 3.20. Distribusi konsumsi energi di proses pembuatan pulp
Sumber: AicHE, Pulp and Paper Industri: Energi Bandwith Study,2006
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian 3-33
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
B. Distribusi Energi Total pada Papermaking
Proses papermaking diindustri pulp dan kertas dilakukan dengan menggunakan
mesin – mesin untuk proses pengepresan dan pengeringan. Gambar di bawah ini
memberikan gambaran distribusi energi di proses pembuatan kertas. Proses
pengeringan merupakan proses yang mengkomsumsi energi terbesar dengan
persentase konsumsi energisekitar 61,9% (AIche,2006).
Gambar 3.21. Distribusi konsumsi energi di proses pembuatan kertas
Sumber: AicHE, Pulp and Paper Industri: Energi Bandwith Study,2006
C. Distribusi energi listrik dan thermal pada di Industri Pulp dan Kertas
Distribusi Energi Listrik
Berdasarkan data EPA report 4712, pemakaian energi dan steam pada industri
pulp dan kertas dengan proses bahan baku kayu dan bahan baku kertas cukup
bervariasi. Gambar 2.4 memberikan gambaran pemakaian energi listrik di industri
pulp dan kertas berbahan baku kayu, dimana energi listrik paling banyak
dikonsumsi di proses pembuatan kertas (papermaking). Sedangkan distribusi
energi listrik pada industri kertas dengan bahan baku kertas bekas ditunjukkan
pada gambar di bawah ini, dimana konsumsi energi listrik terbesar juga digunakan
di proses papermaking, dengan total konsumsi yang sangat signifikan, yaitu
sekitar 90 % dari total energi listrik yang digunakan di proses pembuatan kertas.
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO
Kementerian Perindustrian
PT. Energy Management Indonesia (Persero)
Gambar 3.22. Piechart distribusi energi listrik pada pembuatan
Gambar 3.23
D. Distribusi Steam
Selain energi listrik, energi utama yang digunakan di proses pembuatan pulp dan
kertas adalah energi thermal dalam bentuk
energi thermal pada industri kertas dengan bahan baku kayu
gambar 3.24, sedangkan distribusi pemakaian
bahan baku kertas bekas diberikan di
Persentase Energi Listrik Pada Industri Kertas Berbahan
Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)
Kementerian Perindustrian
Management Indonesia (Persero)
Piechart distribusi energi listrik pada pembuatan
bahan baku kayu
Sumber: SEPA report 4712
3.23. Piechart distribusi energi listrik pada industri pulp dan kertas
dengan bahan baku kertas bekas
Sumber: SEPA report 4712
Distribusi Steam
Selain energi listrik, energi utama yang digunakan di proses pembuatan pulp dan
kertas adalah energi thermal dalam bentuk steam. Distribusi persentase konsumsi
energi thermal pada industri kertas dengan bahan baku kayu
angkan distribusi pemakaian steam pada industri kertas dengan
bahan baku kertas bekas diberikan di gambar 3.25. Pada proses pembuatan pulp
Deinking
4%
Washing dan
screening
0%
Bleaching
0%
Paper Machine
96%
Persentase Energi Listrik Pada Industri Kertas Berbahan
Baku Kertas Bekas
Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
3-34
2011
Piechart distribusi energi listrik pada pembuatan kertas dengan
Piechart distribusi energi listrik pada industri pulp dan kertas
Selain energi listrik, energi utama yang digunakan di proses pembuatan pulp dan
. Distribusi persentase konsumsi
energi thermal pada industri kertas dengan bahan baku kayu terlihat pada
pada industri kertas dengan
. Pada proses pembuatan pulp
BleachingStock
Preparation
0%
Persentase Energi Listrik Pada Industri Kertas Berbahan
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO
Kementerian Perindustrian
PT. Energy Management Indonesia (Persero)
dan kertas, konsumsi energi thermal terbesar digunakan pada proses
yaitu pada tahap pengeringan kertas (
bahan baku kayu dan kertas bekas masing
Gambar 3.24. Piechart distribusi
Gambar 3.25. Piechart distribusi
Persentase Steam Pada Industri Kertas Berbahan Baku Kertas
Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)
Kementerian Perindustrian
Management Indonesia (Persero)
dan kertas, konsumsi energi thermal terbesar digunakan pada proses
yaitu pada tahap pengeringan kertas (drying) dengan persentase konsumsi untuk
bahan baku kayu dan kertas bekas masing-masing sebesar 41% dan 96%.
Piechart distribusi steam pada pembuatan kertas dengan bahan
baku kayu
Sumber: SEPA report 4712
Piechart distribusi steam pada pembuatan kertas dengan bahan
baku kertas bekas
Sumber: SEPA report 4712
Deinking
4% Washing dan
Bleaching
0%Stock
Preparation
0%
Paper Machine
96%
Persentase Steam Pada Industri Kertas Berbahan Baku Kertas
Bekas
Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
3-35
2011
dan kertas, konsumsi energi thermal terbesar digunakan pada proses papermaking
) dengan persentase konsumsi untuk
masing sebesar 41% dan 96%.
pada pembuatan kertas dengan bahan
pada pembuatan kertas dengan bahan
Washing dan
screening
0%
Bleaching
0%
Persentase Steam Pada Industri Kertas Berbahan Baku Kertas
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian 3-36
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
3.2.2 Potret Penggunaan Energi
Menurut Direktori APKI tahun 2009, terdapat sekitar 81 industri pulp dan kertas
yang terdiri dari 3 industri pulp dan kertas terpadu, 2 industri pulp, dan 76 industri
kertas. Pada kegiatan Konservasi Energi dan Reduksi Emisi CO2 di Sektor Industri
Pulp dan Kertas oleh Kementerian Perindustrian, telah dilakukan audit energi dan
evaluasi di 15 industri obyek, yang terdiri dari 3 industri pulp dan kertas terpadu,
2 industri pulp dan 10 industri kertas.
Industri pulp dan kertas merupakan salah satu industri lahap energi. Berdasarkan
data pada 2010, diperoleh gambaran konsumsi energi di industri pulp dan kertas
seperti yang berikan pada tabel Total konsumsi energi dari 15 industri obyek
sebesar 5.261.865 TOE (2010).
Table 3.9. Konsumsi Energi di Industri Pulp dan Kertas (2010)
Industri Pulp (ton) Kertas (ton) Produksi
Total
(ton)
Total Energi
(TOE)
IKE (GJ/ton)
IPK1 388.906 388.906 284.292 30,61
IPK2 170.000 170.000 226.807 55,86
IPK3 128.524 128.524 25.203 8,21
IPK4 372.843 372.843 93.245 10,47
IPK5 59.145 59.145 30.890 21,87
IPK6 752.630 752.630 157.422 8,76
IPK7 1.441.510 1.441.510 536.773 15,59
IPK8 49.536 49.536 18.531 15,66
IPK9 32.380 32.380 3.508 4,54
IPK10 1.245.964 1.245.964 238.296 8,01
IPK11 48.320 48.320 11.844 10,26
IPK12 19.838 19.838 6.413 13,53
IPK13 2.304.343 726.350 3.030.693 1.466.184 20,25
IPK14 696.789 63.220 760.009 560.849 30,90
IPK15 2.070.000 833.444 2.903.444 1.601.609 23,10
Total 5.630.038 5.773.705 11.403.743 5.261.865 278
Rata-rata 1.126.008 444.131 760.250 261.447 19
Sumber: Hasil Audit Energi (2010)
Tidak memproduksi
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian 3-37
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
Jenis bahan bakar utama yang digunakan di industri pulp dan kertas terdiri dari
bahan bakar fosil dan biomassa seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.2. Secara
keseluruhan, sumber energi terbesar berasal dari limbah pulping (biomassa dan
black liquor) dengan total konsumsi energi sebesar 3,06 juta TOE (58 %), diikuti
oleh bahan bakar fosil sebesar 2,15 juta TOE (40,9 %). Pembelian listrik dari PLN
hanya berkontribusi sebesar 43.342TOE (0,8 %) karena sebagian industri pulp dan
kertas tersebut telah memiliki pembangkit listrik sendiri untuk memenuhi
kebutuhan energinya. Dari 15 industri pulp dan kertas obyek, terdapat 9 industri
pulp dan kertas yang memiliki pembangkit sendiri, baik dengan menggunakan
teknologi steam turbine maupun CHP.
Gambar.3.26. Distribusi konsumsi energy per jenis energi di Industri Pulp dan Kertas
Sumber: Data audit energy di industri pulp dan kertas (2010)
Tabel 3.10 memberikan perbandingan penggunaan energy di 3 kluster industri
pulp dan kertas yaitu industry pulp, industry kertas dan industry pulp dan kertas
terintegrasi.Untuk industri pulp dan industri pulp dan kertas terpadu, hampir
seluruh kebutuhan energy (sekitar 90%) berasal dari limbah (by product) yang
dihasilkan dari proses pulping yaitu biomassa dan black liquor yang tergolong
sebagai renewable energy. Sedangkan untuk industri kertas, seluruh sumber
Electricity
(PLN)
0.8%
BBM
1.6%
Gas Alam
7.4%
Batubara
31.8%
Gambut
0.2%Biomass
12.2%
Black Liquor
46.0%
Total 5,2 JUTA TOE
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian 3-38
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
energy masih bergantung pada bahan bakar fosil yang didominasi oleh batubara
(59,8%) dan gas alam (36,2%).
Table 3.10. Persentase Penggunaan Energy di 12 Industry Pulp Dan Kertas Nasional
Industri Produksi
(MT)
Total
Konsumsi
Energi (TOE)
Persentase
konsumsi
bahan bakar
fosil
Industri Pulp (2 industri) 558.906 511.099 5%
Industri Kertas (8 industri) 4.150.692 1.122.124 100%
Industri Pulp dan Kertas Terpadu
(3 industri)
6.694.145 3.628.642
29%
Sumber: Data audit energi (2010)
*Dihitung berdasarkan persentase konsumsi energi untuk masing-masing klaster industry (dari 15
industri obyek)
A. Intensitas Energi di Industri Pulp dan Kertas Indonesia
Intensitas energi di industri pulp dan kertas ditentukan oleh beberapa faktor
antara lain: teknologi, bahan baku, product mix, dan tingkat kapasitas produksi.
Dibandingkan industri kertas, industri pulp dapat menggunakan hampir seluruh
byproduct-nya (black liquor dan biomassa) untuk memenuhi kebutuhan energi
bagi seluruh mill. Hal ini menyebabkan biaya energi per ton produk akan lebih
rendah dibandingkan dengan industri kertas yang masih memiliki ketergantungan
yang tinggi terhadap bahan bakar fosil. Tabel 3.3 memberikan gambaran
intensitas energi di industri pulp dan kertas berdasarkan jenis kertas pada 2010.
Table 3.11. Intensitas Konsumsi Energi di Industei Pulp dan Kertas (2010)
Industri Jenis Produk IKE Steam (GJ/ton) IKE Listrik (kWh/ton)
Pulp Market Pulp 18,5 680,0
Kertas Corrugated 21,9 731,0
Cigarette 8,9 1.569
Container Board 7,1 531,7
Kertas Berharga 9,9 897,0
Liner 5,4 557,0
Newsprint 5,8 1.140,0
Pulp dan Kertas
Terintegrasi Pulp 24,5 1.036,0
Kertas 6,6 642,6
Tissue 8,7 1.230,0
Sumber: Hasil Audit energy (2010)
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian 3-39
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
B. Intensitas Energi di Proses Pulping
Sumber energi utama dalam pembuatan pulp meliputi energi panas dalam bentuk
steam dan energi mekanik yang berasal dari listrik. Dari keseluruhan proses,
penggunaan energi panas (steam) mencapai 70-80% dari total energi yang
dikonsumsi. Dari data tahun 2010, intensitas energi di industri pulp berdasarkan
penggunaan bahan bakar atau total energi input di industri pulp berada pada
kisaran 45-56 GJ/ton pulp (lihat Tabel 3.3). Sedangkan nilai IKE untuk pemakaian
listrik dan steam untuk energi listrik dan steam yang digunakan masing-
masingsebesar 788 kWh/ton dan 13,5 GJ/ton. Gambar 3.2 memberikan
perbandingan nilai intensitas energi di tiap proses utama proses pulping. Dari
perbandingan intensitas energy, ternyata pada proses – proses tertentu, industry
pulp dan industry pulp dan kertas terintegrasi sudah ada yang mencapai intensitas
untuk level best available technology (BAT). Dalam hal ini, upaya konservasi
energy dapat difokuskan pada proses yang masih memiliki intensitas energy yang
lebih tinggi dibandingkan level BAT.
Gambar 3.27. Perbandingan intensitas energi di industry pulp Indonesia dan world average
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian 3-40
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
C. Intensitas Energi di Papermaking
Berdasarkan data tahun 2010, intensitas konsumsi energi rata-rata untuk industri
kertas berada pada kisaran 8- 22 GJ/ton kertas. Nilai intensitas konsumsi energi
(IKE) ini diperoleh dari total energi dari bahan bakar input yang digunakan, baik
untuk membangkitkan listrik atau steam. Nilai IKE untuk masing-masing industri
bervariasi yang antara lain bergantung pada jenis kertas, tingkat efisiensi proses
dan jenis teknologi.
Untuk konsumsi per jenis energi, IKE listrik berada pada kisaran 500 dan 1750
kWh/ton kertas dan IKE steam berada pada kisaran 4,5 dan 13,5 GJ/ton kertas.
Nilai IKE untuk listrik dan steam pada industri kertas beragam dan dipengaruhi
oleh jenis kertas yang diproduksi. Tabel 3.4 memberikan perbandingan antara nilai
konsumsi listrik (kWh/ton kertas) dan steam (ton steam/ton kertas) untuk tiap
jenis kertas dari hasil audit BPPK dan Kemenperin (2010). Dari data tersebut
terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk IKE hasil audit dan
data dari BPPK, kecuali untuk konsumsi steam pada jenis kertas Koran, dimana
terdapat perbedaan nilai konsumsi steam yang cukup jauh.
Table 3.12. Perbandingan konsumsi steam dan listrik untuk tiap jenis kertas
No Jenis Kertas
BBPK Audit Energi (2010)
Konsumsi
Steam
(ton/ton)
Konsumsi
Listrik
(kWh/ton)
Konsumsi
Steam
(ton/ton)
Konsumsi
Listrik
(kWh/ton)
1 Newsprint/ koran 4,4 939,1 2,2 1011,0
2 Cigarette 4,1 1750,0 N/A 1569,0
3 Liner and Medium (Karton) 2,4 420,0 2,2 531,7
4 Pulp Kraft 2,2 468,0 2,3 478,4
5 Print paper (cetak -tulis) 1,7 600,0 1,6 571,0
Sumber: Data BPPK dan Audit energi 2010
3.2.3 Potret Produksi Emisi di Industri Pulp dan Kertas
Industri pulp dan kertas merupakan salah satu sektor yang menghasilkan emisi
gas rumah kaca akibat adanya penggunaan bahan bakar fosil. Pada sektor ini,
intensitas emisi CO2 yang dihasilkan bervariasi dan bergantung pada intensitas
konsumsi energi dan jenis bahan bakar yang digunakan. Gambar 3.4
menggambarkan persentase emisi CO2 di industri pulp dan kertas nasional,
dimana sumber emisi terbesar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dengan
kontribusi emisi sebesar 91% dari total emisi yang dihasilkan.
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian 3-41
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
Gambar 3.28. Persentase emisi berdasarkan jenis bahan bakar
Sumber : Data audit energy 2010
Table 1.13. Produksi Emisi CO2 eq di masing-masing industri pulp dan kertas
Industri Pulp Paper Produksi
(ton)
Emisi CO2
(Ton CO2 eq)
Faktor Emisi
(Ton CO2/ton
product)
IPK1 388.906 388.906 64.111 0,16
IPK2 170.000 170.000 125.189 0,74
IPK3 128.524 128.524 154.191 1,20
IPK4 372.843 372.843 179.053 0,48
IPK5 59.145 59.145 140.512 2,38
IPK6 752.630 752.630 375.935 0,50
IPK7 1.441.510 1.441.510 2.096.083 1,45
IPK8 49.536 49.536 96.882 1,96
IPK9 32.380 32.380 17.998 0,56
IPK10 1.245.964 1.245.964 701.693 0,56
IPK11 48.320 48.320 66.040 1,37
IPK12 19.838 19.838 35.209 1,77
IPK13 2.304.343 726.350 3.030.693 3.110.677 1,03
IPK14 696.789 63.220 760.009 786.731 1,04
IPK15 2.070.000 833.444 2.903.444 360.696 0,12
Rata-rata 1.126.008 444.131 760.250 567.879 1,02
Tabel 3.13 menggambarkan besar emisi CO2 dari 15 industri pulp dan kertas
obyek.Berdasarkan data audit energi pada 2010, diperkirakan produksi emisi dari
industri pulp dan kertas mencapai 8,3juta ton CO2 eq. Produksi emisi untuk
masing-masing klaster diberikan pada tabel 3.14.
BBM
3.6%
Batubara
88.7%
Gambut
1.4%
Biomass
0.5%
Black Liquor
2.8%
Electricity
2.9%
Emisi CO2 (2010)
LAPORAN AKHIR
”Implementation of Energy Conservation and CO2 Emission Reduction In Industrial Sector (Phase 1)”
Kementerian Perindustrian 3-42
PT. Energy Management Indonesia (Persero) 2011
Table 3.14 Produksi dan Intensitas Emisi di Industri Pulp dan Kertas
Industri Produksi
(MT)
CO2 Emission
(Ton CO2 eq)*
Range
Intensitas
Emisi (ton CO2
eq/ton)
Industri Pulp (2 industri) 558.906 189.300 0,16 -0,7
Industri Kertas (8 industri) 4.150.692 3.863.596
0,4-2,4
Industri Pulp dan Kertas
Terpadu (3 industri)
6.694.145 4.258.103 0,13 - 1,04
Sumber : Audit Energi (2010)
* Emisi dihitung berdasarkan metode IPCC Tier 1
Dengan membandingkan nilai emisi CO2 padatTabel 3.14, maka dapat dilihat
bahwa tingkat intensitas emisi CO2 eq di industri pulp dan industri pulp dan
kertas tergolong sangat rendah karena penggunaan sebgaian besar energi yang
berasal dari biomassa dan black liquor yang bersifat carbon neutral (sumber
biogenic). Sebaliknya, tingginya intensitas emisi industri kertas disebabkan
ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil.