bab iii pulau, pulau buatan, dan bebatuan karang...mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘...
TRANSCRIPT
104
BAB III
PULAU, PULAU BUATAN, DAN BEBATUAN KARANG
Pada bab ini, penulis akan memfokuskan diri pada hal-hal fundamental untuk
memahami pulau sebagai fitur di atas laut, perkembangan sains dan teknologi yang
turut mempengaruhi kebutuhan konseptual terhadap pulau buatan, metode
pembangunan pulau buatan, dilema bahasa dan konseptual KHL 1982 terhadap
definisi bebatuan karang, praktik pembangunan pulau buatan di atas bebatuan
karang, dan terakhir dalam bab ini, penulis akan menjustifikasi kompetensi negara
untuk membangun pulau buatan di atas bebatuan karang.
A. Rezim Pulau di dalam Hukum Laut Internasional
Pada dasarnya hukum internasional tidak memandang adanya perbedaan antara
kemampuan negara untuk meletakkan kedaulatan di atas pulau dengan daratan.
Hukum kebiasaan internasional mengakui adanya suatu asumsi bahwa apabila
dalam jarak laut teritorial negara pantai terdapat sebuah pulau, ia memiliki
kedaulatan atas pulau tersebut. Katter, dengan mengutip Bowett, menyebutkan
bahwa: “Where an island lies within the territorial sea, the presumption is that the
island is under the sovereignty of that nation.1
Dalam praktiknya, kita dapat memperhatikan bahwa tidak ada perbedaan
argumentasi antara pulau dengan daratan maupun usaha untuk mempertanyakan
apakah negara dapat meletakkan kedaulatannya di atas sebuah pulau. Beberapa
contoh atas sengketa tersebut dapat diperhatikan sebagi berikut: sengketa pulau
1 Dominic Henley Katter, The Sovereignty of Island: A Contemporary Methodology for the
Determination of Rights Over Natural Maritime Resources, (Disertasi), Queensland University of
Technology, 2003, h. 43
105
Graham/Ferdinandia di laut yang berada 30 km dari pulau Sisilia di mana pulau
tersebut muncul ke permukaan dari dasar laut mediterania antara Inggris dan
Sisilia2; sengketa pulau Senkaku/Diayou antara Jepang dan Cina3; sengketa pulau
Falkland antara Argentina dan Inggris 4 ; sengketa pulau sipadan/ligitan antara
Indonesia dan Malaysia5; dan sengketa-sengketa negara-negara Amerika Latin atas
beberapa pulau di laut karibia6. Tidak adanya perbedaan antara kedaulatan negara
di atas pulau dan di atas daratan menunjukkan bahwa kebiasaan internasional
mengimplikasikan adanya kesepahaman teori terhadap pulau dan daratan. Hal ini
adalah titik penting yang juga ditekankan oleh Grotius dalam bagian kedua Mare
Liberum di mana ia menekankan penolakannya terhadap kedaulatan Portugis atas
pulau-pulau di Srilanka dan Jawa berdasarkan alasan adanya penemuan
(invention). 7 Whitmore menjelaskan bahwa penemuan saja tidak dapat
menciptakan hak negara untuk berdaulat atas sebuah wilayah di mana ia
menjelaskan sebagai berikut:
2 Clive Howard Schofield, The Trouble with Island, (Tesis), University of British Columbia, 2009,
h. 1 3 Lihat Michal Kolmaš, Senkaku/Diaoyu Island Dispute and the Reconstructon of China as Japan’s
“Other”, Asia-Pacifc Social Science Review 17(2), pp. 267–280, 2017 4 Lihat Peter Willets dan Filipe Noguera, Prospect for a Settlement of the Falkland/Malvinas
Dispute: An Analysis of Public Opinion in Britain and Argentina, Institute for Conflict Analysis and
Resolution, George Mason University, 1992 5 Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (IndonesialMalaysia), Judgment, I. C.J. Reports
2002, p. 625 6 Lihat Dispute regarding Navigational and Related Rights (Costa Rica v. Nicaragua), Judgment,
I.C.J. Reports 2009, p. 213; Territorial and Maritime Dispute (Nicaragua v. Colombia), Judgment,
I.C.J. Reports 2012, p. 624; Territorial and Maritime Dispute between Nicaragua and Honduras in
the Caribbean Sea (Nicaragua v. Honduras), Judgment, I.C.J. Reports 2007, p. 659; Maritime
Dispute (Peru v. Chile), Judgment, I.C.J. Reports 2014, p. 3 7 Dalam pembelaannya secara anonim dalam magnum opus-nya, Mare Liberum, Grotius
mempertanyakan legitimasi Portugis yang mempergunakan dalil kepenguasaan laut secara biblikal
di mana hak Portugis untuk menguasai laut telah mendapatkan legitimasi baik dari Tahkta Suci, hak
penemuan wilayah, perang, di mana Portugis memiliki hak untuk menguasai laut. Grotius
membedakan secara tegas di mana perbedaan dominion dan communion—dimana perbedaan
tersebut memberikan implikasi logis yang berbeda dan memiliki akibat yang berbeda bagi negara.
Cicero, dalam kutipannya oleh Grotius, menyatakan: “For by nature nothing is private.” Hugo
Grotius, The Free Sea, terjemahan oleh Richard Hakluyt, 2004, Indianapolis: Liberty Funds, Hlm.
20
106
“While it is undoubtedly true that at an early date mere discovery
gave a good title, such is no longer the case. ... It is also correct
to say that a nation claiming title to certain territory will greatly
fortify such claim if it is possible to show discovery of such land
by the nation making the claim. Discovery, therefore, serves to
confirm subsequent occupation by the discovering power.”8
Schofield memberikan penjelasan yang menarik di mana ia menjelaskan adanya
ikatan dan semangat nasionalisme yang membuat negara begitu terikat dengan
wilayahnya tidak peduli betapa kecil maupun tidak bernilai ekonomis.9 Ia kemudian
menjelaskan sebagai berikut: “A threat to part of a State’s territory, however small,
can be construed, especially to a domestic audience politically, as an assault on the
territorial integrity of a given State and thus a threat to its legitimacy.”10 Dan Shaw
mengafirmasi posisi ini dengan mengungkapkan bahwa “Territorial sovereignty
remains a key concept in international law.” 11 Oleh karena itu kita dapat
menyimpulkan bahwa baik secara konsep maupun praktik, masyarakat
internasional memperlakukan pulau sebagaimana daratan yang ia kuasai. Namun
penjelasan ini memerlukan penelahaan lebih lanjut dengan menjelaskan kondisi
morfologis dari pulau dan karakter khusus yang dimiliki oleh pulau dan bagaimana
kondisi ini membedakannya dengan bebatuan karang yang terdapat di atas
permukaan laut. Lalu juga akan dijelaskan mengenai perkembangan normatif
hukum laut internasional untuk mendefinisikan dan mengatur hak dan kewajiban
negara pantai di atas pulau.
Usaha untuk mendefinisikan pulau secara normatif sudah dilakukan paska
Konferensi Konvensi Den Haag 1930 tentang Hukum Laut Internasional. Galea
8 Clifford C. Whitmore, The Doctrine of the Acquisition of Territory by Occupation in International
Law, Historical Theses and Dissertations Collection, 1896, h. 3 9 Schofield, op.cit, h. 18 10 Ibid. 11 Shaw, op.cit, h. 488
107
mencatat bahwa pada Konvensi Den Haag 1930, negara pantai memiliki
kewenangan untuk mengontrol ‘a zone on the high sea contiguous to the territorial
sea so as to prevent the infringement of its customs or sanitary regulations or
interference wih its security, by foreign vessels’12 di mana pada Konvensi tersebut,
isu hukum mengenai kemampuan pulau untuk mendapatkan hak zona maritim pun
sudah dikaji. Dalam dokumen Komite Persiapan Konvensi Den Haag 1930, komite
telah menyusun dokumen yang disusun berdasarkan usulan negara-negara peserta
konvensi di mana dalam dokumen tersebut, komite menyusun isu hukum yang
melatarbelakangi pulau sebagai berikut: “An island near the mainland. An island at
a distance from the mainland. A group of islands; how near must islands be to one
another to cause the whole group to possess a single belt of territorial waters?”13
Dalam tahap ini, terdapat kesepahaman antar negara-negara peserta mengenai
dibutuhkan prasyarat berupa jarak-jarak tertentu antara pulau dengan daratan utama
dan kemampuan pulau untuk mendapatkan hak laut teritorial.14 Konvensi Den Haag
1930 kemudian menyusun norma mengenai definisi pulau dalam Pasal 10 yang
menyebutkan sebagai berikut: “Every island has its own territorial sea. An island
is an area of land, surrounded by water, which is permanently above high water-
mark.” Dalam kesempatan yang berbeda setelah konferensi tersebut selesai, Gidel,
dengan dikutip oleh Galea, memberikan definisinya yang menggunakan aspek
geografis dari pulau secara detail sebagai berikut: “… an island is a natural
elevation of the earth’s sea-bed, which is surrounded by water and which is placed
12 Galea, op.cit, h. 23 13 Terasaki Naomichi Hiro, The Regime of Islands in International Conventions, Review Island
Studies, h. 4, diunduh di https://www.spf.org/islandstudies/wp/wpcontent/uploads/2014
/12/a00010r.pdf pada tanggal 18 September 2018 pada jam 21.25 14 Ibid.
108
permanently above the sea, where natural conditions allow for the permanent
establishment of a human population.” 15 Dari definisi Gidel tersebut, ia
menenakankan adanya satu unsur, yaitu permanent establishment of a human
population sebagai unsur yang harus dimiliki pulau, secara normatif, agar ia
mendapatkan hak zona maritim. Hal ini mengimplikasikan suatu prakondisi di
mana ketidakmampuan pulau untuk ditempati menjadi unsur determinan dan secara
eksplisit menginterpretasikan kondisi habitasi pulau tersebut sebagai syarat bagi
pulau untuk mendapatkan hak zona maritim. Implikasi lain dari definisi Gidel ini
adalah bahwa secara tidak langsung luas dari pulau juga menentukan apakah pulau
tersebut bisa dihuni atau tidak. Meski konferensi ini gagal mencapai kesepatakan
karena tidak disepakatinya lebar laut teritorial yang dapat dimiliki negara pantai,
isu ini tetap dibawa oleh Komisi Hukum Internasional pada tahun 1950 dalam usaha
untuk menyusun kodifikasi hukum laut internasional.
Dalam kesempatan lain, Florentina mencatat adanya dua pendekatan berbeda
dalam usaha Konferensi untuk menemukan definisi pulau. Argumen pertama
menjelaskan bahwa pulau adalah
‘an area of land remaining permanently above high-tide level and
having a right to a territorial sea quite irrespective of its area or
capability to provide settlement and even irrespective of whether
the seabed elevations had been naturally formed by the forces of
nature or by artificial means’16
Berbeda dengan argumen pertama yang menyatakan bahwa setiap pulau pada
dasarnya memiliki laut teritorialnya sendiri, argumen kedua, yang diajukan oleh
Inggris, menekankan bahwa agar pulau memiliki laut teritorialnya sendiri, pulau
tersebut harus ‘suitable for effective occupation and use’. Syarat ini diperlukan agar
15 Galea, op.cit, h. 25 16 Florentina Moise, Island and their Capacity to Generate the Maritime Zone, University of Oslo,
Norway, 2008, h. 7
109
tidak semua fitur-fitur maritim yang berada di atas permukaan laut ketika air pasang
dapat disebut sebagai pulau dan secara otomatis mengeliminasi fitur-fitur maritim
seperti bebatuan karang dan dangkalan yang berada di atas permukaan laut.17
Komisi Hukum Internasional membawa rancangan norma yang disusun oleh
Konvensi Den Haag 1930 sebagai bahan diskusi. Pada konferensi ini, terdapat
sebuah usulan untuk memasukkan unsur ‘normal circumstances’ untuk dimasukkan
sebelum frasa ‘permanently above the high water-mark’. Namun Amerika Serikat
mengajukan proposal untuk menghilangkan frasa ‘normal circumstances’ dan ini
menjadi cikal bakal paragraf pertama dalam Pasal 10 ayat (1) KHL 1958 yang
mengatur definisi pulau18 yang berbunyi: “An island is a naturally formed area of
land, surrounded by water, which is above water at high tide.” Dan ayat (2)
berbunyi: “This sovereignty is exercised subject to the provisions of these articles
and to other rules of international law.” Menurut Komisi Hukum Internasional,
definisi ini menegaskan instalasi-instalasi yang dibangun di di atas fitur-fitur
maritim yang berada di atas permukaan tidak memiliki hak untuk menikmati laut
teritorial. Komisi Hukum Internasional membagi fitur-fitur seperti yang tidak dapat
menikmati laut teritorial sebagai berikut:
1. Elevasi surut tidak menikmati hak laut teritorial meskipun terdapat
bangunan yang dibangun di atasnya;
2. Instalasi yang dibangun di atas seabed maupun setiap instalasi yang
dibangun di landas kontinen. Meskipun tidak menikmati hak laut teritorial,
17 Ibid. 18 Schofield, op.cit, h. 76
110
komisi mengusulkan agar instalasi ini diberikan zona pengamanan
disekitarnya terkecuali mercusuar yang dibangun di atas fitur maritim.19
Malta sendiri mengusulkan agar terhadap definisi pulau tersebut
mempertimbangkan adanya syarat luas minimal bagi pulau agar mendapatkan hak
zona maritim. 20 Romania menambahkan agar pulau-pulau kecil (islet) juga
mendapatkan perhatian yang sama dengan memberikan definisinya sebagai berikut:
“a naturally formed elevation of land less than one square
kilometer in area … a naturally formed elevation of land which is
more than one square kilometer, which is not or cannot be
inhabited permanently or which does not or cannot have its own
economic life.”21
Turki memberikan usulan lain dengan mengklasifikasikan ‘pulau’ dalam tiga
bagian: a) island having at least one tenth of the land area and population of
the state to which they belong; b) islands without economic life; c) rocks. Dan
kemudian, negara-negara Afrika mengusulkan pembagian antara pulau-pulau yang
mampu mendapatkan hak zona maritim sebagai berikut: a) islands; b) islets; c)
rocks.22
Dalam perkembangan berikutnya, rezim pulau tidak mengalami perubahan
yang radikal di dalam KHL 1982. Namun beberapa unsur yang terdapat dalam Pasal
121 hanyalah pengejewantahan hukum kebiasaan internasional terhadap rezim
pulau.23 Rezim pulau di dalam KHL 1982 diatur di dalam Pasal 121 di mana pasal
ini tediri dari tiga ayat sebagai berikut:
19 Hiro, op.cit, h. 7 20 Schofield, op.cit, h. 84 21 Ibid. 22 Florentina, op.cit, h. 9-10 23 Rezim pulau ini perlu dibedakan dengan Rezim kepulauan yang meskipun berangkat pada diskusi
yang sama mengenai pulau, rezim kepulauan dalam KHL 1982 mengatur secara spesifik mengenai
negara kepulauan dan negara pulau. Sementara Rezim pulau yang terdapat di dalam KHL 1982
mengatur pulau secara umum. Sebagai contoh yaitu kepemilikan negara pantai atas sebuah pulau.
111
PART VIII
REGIME OF ISLANDS
Article 121 Regime of islands
1. An island is a naturally formed area of land, surrounded by
water, which is above water at high tide.
2. Except as provided for in paragraph 3, the territorial sea, the
contiguous zone, the exclusive economic zone and the continental
shelf of an island are determined in accordance with the
provisions of this Convention applicable to other land territory.
3. Rocks which cannot sustain human habitation or economic life of
their own shall have no exclusive economic zone or continental
shelf.
Isi Pasal 121 ayat (1) KHL 1982 tersebut tidak mengalami perubahan terhadap
isi Pasal 10 ayat (1) KHL 1958. Pasal 121 ayat (2) hanya memperbaiki Pasal 10
ayat (2) KHL 1958 tanpa merubah esensinya. Sehingga pada prinsipnya suatu
pulau, sebagaimana halnya dengan daratan kontinen yang luas, dapat dipergunakan
sebagai garis pangkal untuk mengukur lebar laut. Namun terhadap rezim pulau di
dalam hukum laut internasional, KHL 1982 menambahkan satu ayat baru, yaitu ayat
(3) yang menetapkan bahwa bebatuan karang (rocks) tidak dapat menikmati zona
ekonomi eksklusif dan landas kontinen. Secara khusus, penulis akan membahas
Pasal 121 ayat (3) pada bagian berikutnya mengingat ada isu hukum yang menarik
di balik keberadaan ayat ini.
Berikutnya, penulis akan membedah Pasal 121 KHL 1982 untuk mengetahui
unsur-unsur apa saja yang harus dimiliki oleh suatu fitur maritim agar ia dapat
disebut sebagai pulau oleh hukum laut internasional dan, sebagai konsekuensinya,
menikmati hak zona maritim sama seperti negara pantai seperti yang diatur di dalam
Pasal 121 ayat (2) KHL 1982.
Secara gramatikal, unsur normatif dari pulau terdapat di dalam ayat (1) dan
secara eksplisit terdapat di dalam ayat (3). Maka dari itu unsur-unsur pulau sesuai
dengan ketentuan di dalam Pasal 121 ayat (1) dan (3) KHL 1982 adalah:
112
o Wilayah daratan yang terbentuk secara alami;
o Dikelilingi oleh air;
o Berada di atas permukaan laut ketika air pasang;
o Dapat didiami oleh manusia; dan
o Melangsungkan kegiatan ekonominya sendiri.
Sementara itu, Sodik mengajukan satu unsur lagi, yaitu ukuran yang cukup luas. 24
Sodik, dengan mengutip McDougal dan Burke, menjelaskan bahwa apabila ada
wilayah daratan yang cukup luas, maka tidak perlu dipersoalkan jenis-jenis
daratannya selama wilayah tersebut mampu membentuk laut teritorial.25 Terhadap
hal ini, penulis menyatakan ketidaksetujuannya. Meskipun perlu diklarifikasi
terlebih dahulu bahwa syarat luas minimal suatu fitur maritim agar dapat disebut
sebagai pulau terdengar praktikal, namun menolak suatu ‘pulau’ karena ia tidak
cukup luas adalah alasan yang tidak logis dan rasional. Belum tentu pulau yang
lebih besar secara otomatis layak disebut sebagai pulau. Putusan Mahkamah Agung
Norwegia terhadap status Pulau Abel kiranya dapat mencerahkan posisi ini. Dalam
perkara ini, mahkamah berpendapat bahwa meskipun Pulau Abel memiliki luas 13
km2 yang membuatnya sulit untuk tidak disebut sebagai pulau, karena kondisi pulau
tersebut tidak memungkinkan untuk dihuni dan tidak mampu menopang kondisi
ekonominya sendiri, Pulau Abel tidak dapat disebut sebagai pulau dan tidak
menikmati hak zona maritim sebagaimana diatur dalam Pasal 121 ayat (1) dan (2)
KHL 1982.26 Meskipun penulis sudah mengafirmasi kepentingan negara-negara
24 Sodik, op.cit, h. 221 25 Ibid, h. 222-223 26 Alex G. Oude Elferink, Clarifying Article 121(3) of the Law of the Sea Convention:
The Limits Set by the Nature of International Legal Processes, IBRU Boundary and Security
Bulletin, 1998, h. 60
113
maritim atas diferensiasi pulau dan islet, argumen Yunani kiranya perlu
diperhatikan dalam membantah diperlukannya luas minimal pulau dimana Yunani
menyimpulkan bahwa pulau adalah bagian integral dari negara tempat dia berasal:
“…the regime of islands could not be legally based on criteria of size, population,
geographical location or geological configuration without jeopardising the
principles of sovereign equality and the integrity of territorial sovereignty.”27
Delegasi Inggris juga memberikan pendapatnya atas isu ini dimana mereka
menyatakan sebagai berikut:
“...there was an immense diversity of island situations, ranging
from large and populous islands of even larger continental
states to small islands with selfsufficient populations, and that,
inter alia, the attempt by some delegations to categorise islands
in terms of size would not result in any generally applicable rules
which would be equitable in all cases; and there was grave
danger of discounting many islands of both absolute and
relative importance.”28
B. Dilema Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 tentang Bebatuan Karang
a) Kompleksitas Pasal 121 ayat (3) KHL 1982
Dalam bab 1, penulis telah menyinggung isu ini di mana Pasal 121 ayat (3)
KHL 1982 telah menegasikan frasa ‘human habitation’ dan ‘economic life’.
Dengan mengambil unsur di dalam Pasal 121 ayat (3) ini, penulis mengambil
makna eksplisitnya dan mengambil proposisi: “Bebatuan karang adalah sebuah fitur
yang dapat mendukung kehidupan manusia dan kehidupan ekonominya sendiri.”
Dan apabila proposisi ini dihubungkan dengan Pasal 121 ayat (2), maka
kesimpulannya adalah: “Bebatuan karang yang tidak dapat mendukung kehidupan
manusia atau kehidupan ekonominya sendiri adalah tidak dapat memiliki hak
27 Schofield, op.cit, h. 85 28 Ibid, h. 86
114
maritim berupa zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen.” Namun apabila
kesimpulan tersebut dinegasikan, maka kesimpulan tersebut dapat dibaca sebagai
berikut: “Bebatuan karang yang dapat mendukung kehidupan manusia atau
kehidupan ekonominya sendiri adalah dapat memiliki hak maritim berupa zona
ekonomi eksklusif dan landas kontinen.” Makna tersirat yang penulis ambil ini,
meski hanyalah retorika semata, dapat memberikan ilham berupa adanya
interpretasi hipotetikal di mana apabila bebatuan karang tersebut dapat dihuni atau
menjalankan kehidupan ekonominya sendiri, ia dapat menikmati hak zona maritim
berupa zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen.
Perhatian yang lebih khusus dihadapkan kepada Pasal 121 ayat (3) KHL 1982
di mana ayat ini—meskipun secara gramatikal mudah untuk dipahami, pada
praktiknya menjadi ambigu. Secara khusus Pasal 121 ayat (3) berbunyi: “Rocks
which cannot sustain human habitation or economic life of their own shall have no
exclusive economic zone or continental shelf.” Elferink mengomentari keberadaan
ayat ini dengan mengatakan bahwa ayat ini digunakan oleh negara-negara yang
bersengketa untuk menyangkal karakter kepulauan yang dimiliki secara alami.29
Florentina menyebutkan bahwa ayat ini menjadikan kata ‘rocks’ atau bebatuan
karang menjadi ambigu karena dalam kata bebatuan karang saja banyak fitur
maritim yang termasuk di dalamnya seperti terumbu karang, dangkalan, pulau-
pulau kecil, dan fitur-fitur lain yang dalam penggunaan bahasa tersebut menjadi
melebar. 30 Hampir sama dengan Florentina, Rebello menjelaskan bahwa
keberadaan ayat ini menimbulkan ketidakpastian hukum di mana ia menjelaskan
sebagai berikut:
29 Elferink, op.cit, h. 58 30 Florentina, op.cit, h. 10
115
“As a result of these provisions, theoretically, even minute
islands have the potential capacity to generate massive maritime
jurisdictional zones. These claims often also have significant
resource and security implications. To put thing in perspective, if
an island has no maritime neighbours within a 400 nm radius, it
may generate 431,014 km² of territorial sea, EEZ and continental
shelf rights.”31
Namun, Dahalan., et.al., memberikan interpretasi yang menarik di mana ia
mempertimbangkan adanya kemungkinan perubahan status dari bebatuan karang
menjadi pulau. Ia menjelaskan sebagai berikut: “it is an important provision
because of its potential to generate for a ‘naturally formed area of land
surrounded by water, ....above water at high tide' including even tiny island in the
middle of the ocean with no other land within 400 nautical miles.”32
Beberapa sarjana sendiri mengungkapkan sulitnya memahami Pasal 121 ayat
(3). Rebello menjelaskan sulitnya menginterpretasikan Pasal 121 ayat (3) KHL
1982 sebagai berikut:
“The text of Article 121 was designed to be interpreted in a
variety of ways, making any attempt at arriving at a clear
interpretation of Article 121 a herculean task. Whilst Articles
121(1) and 121(2) are relatively straight forward, Article 121(3)
is largely ambiguous. Article 121(3) comprises of a host of
textual elements that can all be interpreted in different ways,
making interpreting the Article a complex task. Thus, correctly
distinguishing between islands and rocks in the context of Article
121 will be impossible until the various textual elements of Article
121(3) … have been clarified.”33
Sementara itu, Schofield menginterpretasikan Pasal 121 ayat (3) dengan lebih
permisif di mana ia secara sederhana menyamakan kedudukan pulau dan bebatuan
karang dimana ia menjelaskan sebagai berikut:
“Rocks are islands, since they are defined as part of Article 121
dealing with the regime of islands, but are a disadvantaged sub-
31 Xavier Rebello, Island and Rocks: Moving Towards Certainty on the Interpretation of Article 121
of the Law of the Sea, (Disertasi), University of Cape Town, 2017, h. 13 32 Dahalan, op.cit, h. 232 33 Rebello, op.cit, h. 23
116
category of islands whose zone-generative capacity, and thus
value to a potential claimant, is significantly reduced.”34
Hampir sama dengan Schofield, Florentina berpendapat bahwa Pasal 121 KHL
1982 ‘connotating that ‘rocks’ are also ‘islands’ in legal terms’. 35 Dan ia
menyimpulkan bahwa Pasal 121 ayat (3) juga seharusnya berlaku sebagai unsur
bagi pulau. Franckx berpendapat bahwa bebatuan karang ‘should be interpreted in
its generic, non-restrictive meaning and includes fairly small island composed of
rock or sand indiscriminately’.36
Rebello menjelaskan bahwa dalam praktiknya, sengketa maritim terhadap
pulau dapat dibagi menjadi dua: pertama, sengketa kedaulatan di atas pulau yang
menjadi objek sengketa; dan kedua, sengketa kewenangan negara pantai/negara
pulau atas zona maritim yang diakibatkan dari keberadaan pulau tersebut dan
keberadaan beberapa fitur maritim yang digunakan oleh negara maritim untuk
mendelimitasi zona maritimnya.37
Sengketa negara maritim atas fitur-fitur maritim tersebut biasa terjadi di atas
fitur-fitur maritim yang kecil dan secara kasat mata terlihat tidak memiliki nilai
ekonomi sama sekali. Keberadaan fitur-fitur maritim ini, di dalam KHL 1982,
memegang peranan yang penting bagi usaha negara pantai untuk mendelimitasi
zona maritimnya. Pasal 6 KHL 1982 menegaskan bahwa karang (reefs) dapat
digunakan sebagai titik pangkal penarikan garis pangkal laut teritorial dan secara
implisit juga berlaku pada zona ekonomi eksklusif dan landas kontinennya. Definisi
normatif terhadap bebatuan karang yang paling mendekati terdapat di dalam Pasal
13 ayat (1) KHL 1982 yang mengatur mengenai elevasi surut (low-tide elevations)
34 Schofield, op.cit, h. 81 35 Florentina, op.cit, h. 32 36 Franckx I, op.cit, h. 20 37 Rebello, op.cit, h. 11
117
di mana pasal tersebut menjelaskan bahwa elevasi surut adalah: “… naturally
formed area of land which is surrounded by and above water at low tide but
submerged at high tide …” Unsur elevasi surut memiliki kemiripan dengan unsur
pulau yang diatur di dalam Pasal 121 KHL 1982. Namun, berbeda dengan unsur
pulau yang menekankan bahwa suatu fitur maritim tersebut harus berada di atas
permukaan laut ketika air pasang, unsur yang terdapat di dalam Pasal 13 ayat (1)
KHL 1982 mensyaratkan bahwa fitur tersebut harus berada di atas air saat air surut
dan tenggelam saat air pasang. Sehingga, apabila suatu fitur maritim, entah dalam
pemaparan negara-negara yang bersengketa yang diperkuat dengan norma hukum
nasionalnya yang menyatakan bahwa suatu fitur maritim tertentu di wilayah
teritorialnya adalah pulau, apabila ia berada di atas permukaan laut ketika air surut
dan tenggelam saat air pasang, hukum laut internasional menegaskan bahwa fitur
tersebut bukanlah pulau. Sehingga elemen ‘berada di atas permukaan laut’ adalah
elemen determinan untuk membedakan pulau dengan bebatuan karang (rocks).
Pasal 13 ayat (1) juga mengamanatkan bahwa fungsi dari elevasi surut ini adalah
untuk delimitasi zona maritim sebagaimana KHL 1982 menyebut: “… the low-
water line on that elevation may be used as the baseline for measuring the breadth
of the territorial sea.” Tetapi usaha untuk menganalogikan Pasal 121 ayat (3)
dengan Pasal 6 dan Pasal 13 KHL 1982 tidak dapat menjadi argumen yang kuat
untuk menelaah unsur definitif dari bebatuan karang (rocks) yang terdapat di dalam
Pasal 121 ayat (3). Elferink menjelaskan bahwa dilema yang dihadapi dalam Pasal
121 ayat (3) juga diakibatkan dengan penggunaan kata ‘atau’ yang secara eksplisit
dapat dipahami bahwa negara pantai tidak memiliki kewajiban untuk mematuhi
118
dua unsur ini. 38 Ia menjelaskan bahwa kebingungan ini dapat mengakibatkan
negara mengeksploitasi kelemahan norma ini. Terlebih dengan tidak menjelaskan
apa yang dimaksud dengan kemampuannya untuk dapat dihuni oleh manusia.
Dalam pembahasan sebelumnya, penulis telah menyinggung unsur-unsur
normatif pulau yang terdapat di dalam Pasal 121 KHL 1982 di mana dua unsur
diambil dari Pasal 121 ayat (3), yaitu: a) dapat didiami oleh manusia; dan b) dapat
melangsungkan kegiatan ekonominya sendiri. Namun, demi konsistensi penulisan
dan dalam usaha pemaparan penulis agar makna dari kata tersebut tidak hilang
akibat pengalihbahasaan bahasa inggris ke dalam bahasa indonesia, penulis akan
menggunakan frasa asli dalam bahasa inggris, yaitu sustain human habitation dan
economic life dengan menghubungkannya dengan penerjemahannya ke dalam
bahasa Indonesia. Selain itu, penulis akan menggunakan terma bebatuan karang dan
‘rocks’ secara bergantian agar kata tersebut tidak kehilangan makna karena
penerjemahannya.
Meskipun KHL 1982 tidak memberikan definisi terhadap bebatuan karang
(rocks), beberapa sarjana berusaha untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan
fitur-fitur seperti apa, dalam hukum internasional, yang dapat dikategorikan sebagai
bebatuan karang dan bagaimana hukum membedakan bebatuan karang dan pulau.
Definisi ‘rocks’ di dalam Pasal 121 ayat (3) bisa diinterpretasikan dalam dua
garis besar: pertama, sebagai bebatuan yang tidak terpisahkan dari kerak bumi;39
kedua, dengan melebarkan makna tersebut dengan memasukkan fitur-fitur maritim
38 Elferink, op.cit, h. 58 39 Park Sun Choon, The Legal Status of Dokdo under Article 121 of the 1982 UNCLOS : Is Dokdo
Entitled to Generate EEZ or Continental Shelf?, World Maritime University Dissertation, 2009, h.
22
119
seperti pulau kecil (islet), dangkalan (sandbank), dan pulau-pulau terpencil. 40
Mengingat usaha yang kompleks bagi para yuris untuk mendefinisikan bebatuan,
Dahalan, et.al., mengingatkan bahwa menginterpretasikan Pasal 121 ayat (3) KHL
1982 tersebut harus memperhatikan aspek geografis dari bebatuan.41 Secara umum,
‘rock’ dapat didefiniskan sebagai berikut: “a rock is an isolated, hard mass of the
compact part of the earth’s crust.”42 Park menjelaskan karakteristik umum dari
bebatuan adalah bahan mineral yang terkonsolidasi, bagian kerak bumi, massa yang
keras, dan terbentuk secara alami.43 Tetapi kemudian ia menjelaskan bahwa definisi
umum ini tidak menjelaskan perbedaan bebatuan dengan pulau di mana ia
menjelaskan: “this ordinary meaning of rock, which is extracted from the
dictionaries, does not suggest clearly an applicable standard distinguishing ‘rock’
from an ‘island’ or a ‘feature mixed two characteristics.”44
Meskipun kita tidak dapat menemukan definisi normatif dari terma bebatuan
karang (rocks) di dalam KHL 1982, sebagai unsur normatif yang memberikan hak
zona maritim kepada pulau, fitur-fitur maritim harus memenuhi semua unsur norma
yang terdapat di dalam Pasal 121, secara umum. Dan seperti yang telah dipaparkan
oleh penulis sebelumnya, dua unsur normatif dari pulau terdapat di dalam Pasal 121
ayat (3) yang terdiri dari ‘human habitation’ dan ‘economic life’. Apa yang
dimaksud dari dua frasa tersebut? Dua frasa ini adalah unsur pembeda dan
mewajibkan pulau untuk memiliki fungsi tertentu yang ditentukan oleh Pasal 121
ayat (3). Hal ini menyebabkan bahwa meskipun suatu fitur maritim memenuhi
40 Florentina, op.cit, h. 10 41 Dahalan, et.al., op.cit, h. 232 42 Park, op.cit, h. 22 43 Ibid, h. 21 44 Ibid, h. 22
120
ketentuan Pasal 121 ayat (1), apabila ia tidak dapat dihuni oleh manusia dan tidak
dapat menyelenggarakan kehidupan ekonominya sendiri, ia tidak dapat disebut
sebagai pulau dalam hukum laut internasional dan tidak mendapatkan hak zona
maritimnya. Dilema yang dihadapai oleh Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 juga
mengakibatkan makna elevasi surut di dalam KHL 1982 menjadi ambigu. Begitu
eratnya makna dalam Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 dengan Pasal 13 KHL 1982
yang mengatur elevasi surut menyebabkan fitur maritim berupa elevasi surut dapat
dikategorikan sebagai ‘rocks’ di mana hal tersebut menyebabkan elevasi surut
hanya dapat digunakan sebagai peletakkan titik garis pangkal laut teritorial saja.
Ketentuan yang mewajibkan pulau agar dapat dihuni oleh manusia dan dapat
menyelenggarakan kehidupan ekonominya sendiri memiliki beberapa interpretasi
dari yuris dan sama seperti bagaimana terma bebatuan karang (rocks) memiliki
kompleksitasnya sendiri, dua unsur normatif tersebut memiliki dilemanya sendiri-
sendiri. Untuk gambaran sederhana, hukum kebiasaan internasional mengakui
penarikan garis pangkal laut teritorial dapat ditarik dari suatu elevasi surut apabila
di atas elevasi surut tersebut terdapat mercusuar. Elevasi surut yang tidak dibangun
mercusuar di atasnya tidak dapat digunakan sebagai peletakkan titik garis pangkal
laut teritorial. Hukum tidak tertulis ini bisa diperhatikan di dalam Pasal 7 ayat (4)
KHL 1982, di mana pasal ini mengatur:
“Straight baselines shall not be drawn to and from low-tide
elevations, unless lighthouses or similar installations which are
permanently above sea level have been built on them or except in
instances where the drawing of baselines to and from such
elevations has received general international recognition.”
Franckx menyusun isu ini dengan menjelaskan dilema yang dihadapi frasa ini
dengan mempertanyakan apakah yang dimaksud economic life itu adalah
kemampuan untuk mendapatkan akses zona maritimnya atau economic life tersebut
121
tercipta karena adanya sumber daya alam yang membuatnya dapat menyokong
kehidupan ekonominya sendiri? Dan bagaimana dengan kemampuannnya untuk
dihuni oleh manusia? Berapa banyak penduduk yang harus tinggal di fitur tersebut
agar dapat disebut sebagai pulau dan membedakkan dengan bebatuan karang
(rocks)? Kwiatkowska dan soons menjelaskan bahwa untuk dapat
menyelenggarakan kehidupan ekonominya sendiri untuk menyokong kehidupan
manusia itu, negara pantai dapat membangun mercusuar di atas elevasi surut
tersebut di mana Kwiatkowska dan Soons berpendapat bahwa keberadaan
mercusuar ini telah memenuhi unsur ‘economic life of its own’ karena bebatuan
tersebut digunakan untuk kepentingan navigasi.45
Isu lain yang juga diakibatkan dari dilema frasa ini adalah apakah ukuran pulau
menentukan status kemampuannya untuk dihuni oleh manusia dan
menyelenggarakan kehidupan ekonominya sendiri? Pada beberapa paragraf
sebelumnya, penulis telah menjelaskan bahwa ukuran pulau bukan faktor utama
yang menentukan apakah suatu fitur maritim dapat dikategorikan sebagai pulau di
dalam KHL 1982. Namun hal yang menarik dari pembahasan hal tersebut dalam
sejarah perkembangannya memperlihatkan kehendak dan kepentingan negara-
negara maritim untuk memasukkan ukuran sebagai unsur yang harus dipenuhi oleh
suatu fitur maritim sebagai pulau yang diatur di dalam KHL 1982. Hal ini berkaitan
dengan pertanyaan apakah fitur maritim tersebut dapat menghidupi dirinya sendiri
atau tidak. Tentu hal ini menjadi problema yang menarik: apakah suatu fitur
maritim harus mampu secara mandiri menyelenggarakan kehidupan ekonominya
sendiri? Dalam argumen pembelaan Ukraina dalam kasus Black Sea Case di ICJ,
45 Franckx I, op.cit, h. 21
122
Delegasi Ukraina menjelaskan bahwa hal tersebut akan menolak fakta yang ada dan
hal tersebut dapat berpotensi menjadikan frasa tersebut bermakna independensi
pulau adalah absolut meskipun pulau pun juga wajar untuk hidup secara
interdependensi dengan kebutuhan primernya disokong dari daratan. Hal tersebut
dapat diperhatikan sebagai berikut:
“Surely, the fact that an island depends on the mainland for basic
resources is quite common and the terms ‘economic life of its
own’ cannot mean complete self-sufficiency, since such a
restrictive interpretation would rule out a great number of small
islands around the world.”46
Breitling menegaskan hal ini bahwa ukuran tidak menjadi dasar menolak
kedaulatan negara-negara pulau kecil. 47 Ia mencontohkan negara-negara pulau
kecil sepert Tuvalu, Nauru, Marshall Island, Saint Kitts dan Nevis, Maldives, dan
Malta yang memiliki ukuran yang termasuk ke dalam negara-negara terkecil di
dunia juga memiliki zona maritimnya sendiri.
Selain kemampuannya untuk menyelenggarakan kehidupan ekonominya
sendiri, bebatuan karang (rocks) harus dapat dihuni oleh manusia. Sama seperti
dilema yang dihadapi dalam frasa ‘economic life’, frasa ‘human habitation’ dalam
Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 tidak menegaskan berapa banyak manusia yang harus
hidup di atas bebatuan karang. Apakah itu kelompok masyarakat tertentu atau
segelintir orang saja seperti ilmuwan, tentara, maupun pejabat pemerintahan?
Untuk menerangi dilema yang dihadapi pasal ini, berikutnya penulis akan
menerangkan yurisprudensi-yurisprudensi internasional yang telah membahas
keberadaan bebatuan karang (rocks) di dalam sengketa maritim internasional.
46 Public sitting held on Friday 12 September 2008, at 10 a.m., at the Peace Palace, President Higgins
presiding, in the case concerning Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraine), h.
17 47 Dustin Breitling, Small Island Developing State and Statehood, (Tesis), Faculty of Social Science,
Charler University in Prague, 2018, h. 41
123
b) Studi Putusan terhadap Penafsiran dan Penginterpretasian Pasal 121 ayat (3)
KHL 1982
Pasal 121 ayat (3) memiliki kompleksitas dan kerumitan yang membuatnya
sulit untuk dipahami secara literal. Penulis sudah menjelaskan pada bagian
sebelumnya mengapa pasal ini sulit untuk dipahami dan dimengerti yang
mengakibatkan posisi bebatuan/bebatuan karang menjadi ambigu. Kompleksitas
pasal ini akan dipaparkan dalam kajian beberapa putusan pengadilan internasional
yang mengkaji sengketa negara maritim atas status fitur maritim ini.
1. South China Sea Arbitration (Filipina v. Tiongkok)
Laut Cina Selatan merupakan laut terbesar di dunia yang luas lautnya sendiri
melingkupi garis 3o lintang selatan antara Pulau Sumatra dan Kalimantan yang
ditandai dengan Selat Karimata dan di utara berbatasan dengan Selat Taiwan48—
dari wilayah paling ujung di utara Taiwan sampai ke Pesisir Fukien Cina. Luas
dasar lautnya saja adalah 1.7 juta kilometer persegi dan berada di atas Lempeng
Sunda seluas 2 juta kilometer persegi. Laut Cina Selatan diprediksi cadangan
hidrokarbon, bahan bakar fosil, dan gas alam yang sangat melimpah49 . Secara
ekonomis Laut Cina Selatan memiliki nilai ekonomi yang amat tinggi. Seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, Laut Cina Selatan memiliki kekayaan biologis yang
amat tinggi seperti jenis-jenis ikan yang langka dan komersil.50 Selain kekayaan
alam hayatinya, Laut Cina selatan juga memiliki cadangan hidrokarbon dan disebut
sebagai “second persian gulf” karena kekayaannya. U.S Energy Information
48 Hasjim Djalal, op.cit, h. 364 49 Gillian Triggs, Maritime Boundary Disputes in the South China Sea: Internasional Legal Studies,
Sydney Law School, Sydney, 2009, h. 1 50 Clarence J. Bouchat, The Paracel Island and U.S. Interest and Approaches in the South China
Sea, U.S. Army College Strategis Studies Institute, 2014, h. 7
124
Administration (USIEA) pada tahun 2013 memperkirakan bahwa Laut Cina Selatan
memiliki cadangan 1 Triliun cubic feet atau setara dengan 28,3 miliar m3.51
Secara politis, wilayah Laut Cina Selatan merupakan wilayah perairan yang
paling strategis. Sejak tahun ’70-an negara-negara besar di dunia banyak menaruh
mata pada laut ini karena fungsinya yang amat besar bagi perkembangan sebuah
negara.52 Laut Cina Selatan adalah jalan masuk dan keluar dari perairan negara-
negara Asia Tenggara. Paling tidak ada sekitar 10 selat yang menjadi penghubung
antara Samudera Hindia dan Pasifik dengan jalur lintas damai di perairan Laut Cina
Selatan, yaitu Selat Malaka, Selat Singapura, Selat Sunda, Selat Bangka, Selat
Karimata, Selat Gasper, Selat Balabak, Selat Mindoro, Selat Bashi, dan Selat
Taiwan.53 Oleh karena perannya yang amat besar bagi stabilitas kawasan Asia
Tenggara, pihak yang mengontrol Laut Cina Selatan akan mendapatkan posisi geo-
politik dan geo-ekonomi yang sangat unggul54.
Untuk menjelaskan secara sederhana tentang apa yang terjadi di Laut Cina
Selatan adalah dengan menjelaskan bahwa konflik ini terjadi karena diletakkannya
sembilan garis putus-putus (9 Dash-line) oleh Cina di atas Laut Cina Selatan yang
membuat negara-negara pantai di sekitar Laut Cina Selatan geram seperti Malaysia,
Vietnam, Filipina, Brunei Darusalam, dan melibatkan kepentingan negara besar
seperti Amerika Serikat, dan juga isu paska perang saudara Cina yang memisahkan
Republik Rakyat Cina dengan Taiwan.
Dalam perkara ini, mahkamah telah mengkaji argumen dan bukti yang
dihadapkan di dalam persidangan. Dalam analisanya, mahkamah menyusun isu atas
51 Ibid. h. 8 52 Hasjim Djalal. Op.cit. hlm. 368. 53 Ibid. 54 Ibid. Hlm. 375.
125
Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 tentang bebatuan karang, yaitu: “… was Article 121(3)
intended to apply only to features that are composed of solid rock or that are
otherwise rock-like in nature?”55 Dalam isu ini, mahkamah mengemukakan bahwa
interpretasi Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 dibagi dalam dua fitur maritim, yaitu fitur
bebatuan murni atau fitur-fitur maritim yang menyerupai bebatuan. Mahkamah
menjelaskan bahwa terma ‘rock’ atau bebatuan atau bebatuan karang tidak
memiliki makna yang sempit dan eksklusif di mana mahkamah menyebut bahwa,
“The dictionary meaning of ‘rock’ does not confine the term so strictly …”56
Berikutnya mahkamah menekankan bahwa menolak bebatuan sebagai pulau
adalah hal yang absurd. Mahkamah menjelaskan bahwa, “Within Article 121, rocks
are category of island.” 57 Dan kemudian mahkamah memperhatikan frasa
‘naturally formed area of land’ yang digunakan di dalam Pasal 121 ayat (1) KHL
1982 tidak mensyaratkan adanya kualifikasi geologis atau geomorfologis. 58
Mahkamah memperhatikan pentingnya keberadaan Pasal 121 ayat (3) dengan
menjelaskan bahwa makna yang dihasilkan dari frasa ‘naturally formed area of
land’ dapat mengakibatkan fitur-fitur seperti gundukan pasir, lumpur, dangkalan,
bahkan bebatuan karang menikmati penambahan zona maritim.59 Oleh karena itu,
mahkamah kemudian menyimpulkan bahwa terma ‘rocks’ di dalam Pasal 121 ayat
(3) tidak harus terdiri dari bebatuan saja. Mahkamah juga menekankan satu poin
penting mengenai penggunaan bahasa seperti dilema yang dihadapi karena
penggunaan bahasa yang dipakai untuk mengidentifikasi pulau atau bebatuan.
55 South China Sea Arbitration (Philippines v China) (Award) (UNCLOS Arbitral Tribunal, Case
No 2013-19, 12 July 2016) (‘Merits Award'), para. 479 56 Ibid, para. 480 57 Ibid, para. 481 58 Ibid. 59 Ibid.
126
Mahkamah berpendapat bahwa penggunaan bahasa yang merepresentasikan fitur
maritim tidak dapat menjadi perhatian utama. Sebagaimana mahkamah
menjelaskan sebagai berikut:
“A feature may have “Island” or “Rock” in its name and
nevertheless be entirely submerged. Conversely a feature with
“Reef” or “Shoal” in its name may have protrusions that remain
exposed at high tide. In any event, the name of a feature provides
no guidance as to whether it can sustain human habitation or an
economic life of its own.”60
Isu kedua yang mahkamah angkat di dalam Pasal 121 ayat (3) adalah
keberadaan kata ‘tidak dapat’ yang di mana mahkamah menyebut bahwa kata ini
bermakna kapasitas yang harus dipenuhi.61 Mahkamah menyusun isu ini sebagai
berikut: “Does the feature in its natural form have the capability of sustaining
human habitation of an economic life?”62 di mana atas jawaban dari pertanyaan ini,
ada dua jawaban yang bisa disajikan: pertama, fitur tersebut tidak dapat disebut
sebagai bebatuan apabila ia dapat dihuni oleh manusia dan memiliki kehidupan
ekonominya sendiri; kedua, fitur tersebut dapat disebut sebagai bebatuan apabila ia
tidak dapat dihuni oleh manusia dan tidak memiliki kehidupan ekonominya sendiri.
Mahkamah berpendapat bahwa terma ‘tidak dapat’ di dalam Pasal 121 ayat (3) tidak
memiliki suatu makna bahwa bebatuan harus dihuni atau memiliki kehidupan
ekonominya sendiri. Di dalam terma ini, mahkamah berpendapat bahwa terma
‘tidak dapat’ memiliki makna “It is concerned with whether, objectively, the feature
is apt, able to, or lends itself to human habitation or economic life.”63 Mahkmah
mengemukakan bahwa suatu fitur maritim tidak memiliki kewajiban untuk dihuni
atau memiliki kehidupan ekonominya sendiri. Terma ini kemudian memiliki makna
60 Ibid, para. 482 61 Ibid, para. 483 62 Ibid. 63 Ibid.
127
bahwa suatu fitur disebut sebagai bebatuan karena ‘tidak dapat’ dihuni dan ‘tidak
dapat’ kehidupan ekonominya sendiri. Oleh karena itu sangat tidak relevan apabila
menolak suatu fitur sebagai pulau hanya karena ia tidak dihuni dan tidak terdapat
aktivitas ekonomi di fitur tersebut. Mahkamah kemudian menyimpulkan bahwa,
“… the fact that a feature is currently not inhabited does not prove that it is
uninhabitable. The fact that it has no economic life does not prove that it cannot
sustain an economic life.”64
Berikutnya, mahkamah menjelaskan terma ‘sustain’ atau ‘mendukung’. Dalam
penafsiran mahkamah, terma ‘sustain’ memiliki tiga komponen:
The concept of the support and provision of the essentials
The temporal concept: the support and provision must be over a period
of time and not one-off short lived
The qualitive concept, entailing at least a minimal “proper standart”.65
Berdasarkan tiga komponen tersebut, mahkamah kemudian menyimpulkan bahwa
frasa ‘mendukung kehidupan manusia’ berarti: “… provide that which is necessary
to keep humans alive and healthy over a continuous period of time, according to a
proper standard.”66 Dan frasa ‘mendukung kehidupan ekonomi’ berarti: “provide
that which is necessary not just to commence, but also to continue, an activity over
a period of time in a way that remains viable on an ongoing basis.”67
Mahkamah kemudian menganalisa frasa ‘human habitation’ dengan
menjelaskan bahwa frasa tersebut adalah syarat kualitatif yang harus dimiliki oleh
fitur maritim agar dapat menikmati hak zona maritim. Agar suatu fitur maritim
64 Ibid. 65 Ibid, para. 487 66 Ibid. 67 Ibid.
128
dapat disebut sebagai pulau dan menikmati hak zona maritimnya, keberadaan
tempat pemukiman sementara yang memungkinkan seseorang untuk mendiami
fitur tersebut tidak serta merta memenuhi syarat kualitatif ini. Mahkamah
berargumen bahwa, “Human habitation would thus require all of the elements
necessary to keep people alive on the feature, but would also require conditions
sufficiently conducive to human life and livelihood for people to inhabit, rather than
merely survive on, the feature.”68 Argumen mahkamah ini menekankan bahwa
keberadaan manusia di fitur tersebut harus didukung oleh kemampuan fitur maritim
tersebut untuk memenuhi kebutuhan dasar dari manusia yang mendiami fitur
tersebut.69 Mahkamah juga memberikan argumentasi tambahannya bahwa Pasal
121 ayat (3) tidak menjelaskan batas minimal manusia yang hidup di fitur ini.
Namun mahkamah juga mengingatkan bahwa keberadaan satu orang saja tidak
dapat disebut bahwa hal ini telah memenuhi syarat kualitatif ini dan hal tersebut
tidak termasuk di dalam ‘ordinary understanding of human habitation’ di mana
mahkamah menekankan bahwa, “human needs company and community over
sustain period of time.”70
Syarat kualitatif kedua yang dipersyaratkan oleh Pasal 121 ayat (3) KHL 1982
adalah ‘economic life of their own’. Mahkamah menjelaskan dilema yang dihadapi
dalam frasa ini adalah bahwa keberadaan frasa ‘economic life’ tidak berdiri sendiri.
Frasa ini dibaca bersama-sama dengan pronomina persona: ‘of their own’. 71
Artinya, kehidupan ekonomi dari fitur maritim tersebut harus berdiri secara mandiri
68 Ibid. 69 Ibid, para. 489 70 Ibid, para. 491 71 Ibid, para. 498
129
dan tidak tergantung dari sokongan atau bantuan daratan utamanya atau pulau
utamanya.
Mahkamah menginterpretasikan frasa ‘economic life’ dengan memisahkan ke
dalam dua bagian, yaitu ‘economic’ dan ‘life’. Dalam ‘economic’, hal ini
berhubungan dengan “… process or system by which goods and services are
produced, sold and bought, or exchange.” 72 Sementara ‘life’ mengindikasikan
bahwa, “… the mere presence of resources will be insufficient and that some level
of local human activity to exploit, develop, and distribute those resources would be
required.”73 Mahkamah menekankan bahwa frasa ini harus dibaca bersama-sama
dengan ‘sustain’. Oleh karena itu, mahkamah berargumen bahwa,
“A one-off transaction or short-lived venture would not constitute
a sustained economic life. The phrase presupposes ongoing
economic activity. … the need for economic activity to be
sustained over a period of time does presuppose a basic level of
viability for the economic activity.”74
Lalu pronomina persona ‘of their own’ diinterpretasikan oleh mahkamah
sebagai unsur esensial dalam frasa ‘economic life’ di mana fitur maritim tersebut
harus memiliki ‘ability to suport an independent economic life, without relying
predominantly on the infusion of outside resources or serving purely as an object
for extractive activities, without the involvement of a local population’.75 Dalam
pandangan mahkamah, agar aktivitas ekonomi di fitur tersebut memenuhi syarat
dalam frasa ini, aktivitas ekonomi di fitur tersebut harus ‘… local, not imported, as
must be the benefit of such activity’.76 Pemanfaatan nilai ekonomi di atas suatu fitur
maritim yang tidak dilakukan secara permanen dan ketergantungan ekonomi dari
72 Ibid, para. 499 73 Ibid. 74 Ibid. 75 Ibid, para. 500 76 Ibid.
130
luar tidak dapat disebut telah memenuhi unsur dalam frasa ‘economic life of their
own’. Hal yang sama juga berlaku terhadap eksploitasi ekonomi atas fitur maritim
di mana hal ini tidak dapat disebut telah memenuhi unsur di dalam Pasal 121 ayat
(3) KHL 1982.
Namun bagaimana bila fitur tersebut memanfaatkan laut di yang
mengelilinginya? Apakah hal ini dapat disebut telah termasuk di dalam frasa
‘economic life of its own’? Mahkamah menjawab bahwa zona ekonomi eksklusif
(ZEE) dan landas kontinen harus dikecualikan dari jawaban pertanyaan ini.
Mahkamah menjelaskan bahwa Pasal 121 ayat (3) mengatur apakah suatu fitur
maritim dapat menikmati ZEE dan landas kontinen atau tidak, sehingga untuk
menyebut suatu fitur maritim dapat menikmati kedua zona maritim tersebut hanya
karena terdapat ‘economic life’ adalah tidak masuk akal di mana mahkamah
berargumen sebagai berikut: “It would be circular and absurd if the mere presence
of economic activity in the area of the possible exclusive economic zone or
continental shelf were sufficient to endow a feature with those very zones.”77 Dalam
menjawab ini, mahkamah berpendapat bahwa ‘economic life’ ini harus
dihubungkan fitur maritim ini sendiri dari pada perairan di sekitarnya. Aktivitas
ekonomi dari fitur maritim dapat terjadi karena pemanfaatan laut teritorialnya di
mana hal ini harus dihubungkan dengan keberadaan suatu populasi penduduk atau
komunitas di fitur ini. Keberadaan nelayan yang memanfaatkan fitur ini untuk
menangkap ikan dan aktivitas eksploitasi bahan tambang di dasar laut yang
berhubungan dengan fitur tersebut tidak cukup untuk menciptakan kehidupan
ekonominya sendiri.78
77 Ibid, para. 502 78 Ibid, para. 503
131
Meskipun analisa terhadap dua syarat kualitatif ini telah dilakukan oleh
mahkamah, Pasal 121 ayat (3) masih menyisakan masalah terkait dengan
keberadaan kata ‘or’ atau ‘atau’. Pasal 121 ayat (3) berbunyi: “Rocks which cannot
sustain human habitation [or] economic life of their own shall have no exclusive
economic life of its own or continental shelf.” Mengenai keberadaan kata ‘or’,
Filipina berpendapat sebagai berikut:
“As a matter of logic, the combination of a negative verb form
with the disjunctive “or” creates a cumulative requirement. It is,
in essence, a double negative. It follows that to be entitled to an
EEZ and continental shelf, an insular feature must be able both
to sustain human habitation and to sustain economic life of its
own.”79
Dalam hal ini, mahkamah sependapat dengan Filipina mengenai pentingnya
penggunaan logika formil dalam menginterpretasikan kata ‘or’ di dalam Pasal 121
ayat (3), namun mahkamah tidak setuju dengan kesimpulan Filipina.80 Mahkamah
menjelaskan bahwa meskipun dalam kalimat “Rocks which cannot sustain human
habitation or economic life of its own” yang setara dengan “Rocks which cannot
sustain human habitation and which cannot sustain economic life of its own”
memiliki makna konjungtif di mana kedua syarat kualitatif ini memiliki posisi yang
setara dalam Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 dan memiliki konsekuensi bahwa kedua
syarat ini bersifat kumulatif, 81 mahkamah berpendapat pengaplikasian logika
formil pada Pasal 121 ayat (3) bertentangan dengan aspek linguistik yang
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi pada saat pasal ini disusun.82 Secara praktikal,
mahkamah memperhatikan bahwa manusia akan lebih memilih menyelenggarakan
aktivitas ekonomi pada fitur yang memungkinkannya untuk hidup di tempat
79 Ibid, para. 493 80 Ibid, para. 494 81 Ibid. 82 Ibid, para. 495
132
tersebut, sehingga untuk menyebut bahwa suatu fitur dapat menikmati hak zona
maritim hanya karena telah memenuhi salah satu unsur kualitatif adalah absurd dan
akan menjadi tidak logis apabila penyusun konvensi ini memaksudkan seperti itu.
oleh karena itu, mahkamah menafsirkan keberadaan kata ‘or’ sebagai berikut: “Or,
expressed more straightforwardly and in positive terms, an island that is able to
sustain either human habitation or an economic life of its own is entitled to both an
exclusive economic zone and a continental shelf …”83
2. Territorial Maritime Dispute (Nikaragua v. Kolombia)
Para pihak dalam perkara ini—Nikaragua dan Colombia—memiliki perbedaan
pandangan terhadap status 6 (enam) fitur maritim di laut karibia, yaitu Albuquerque
Cay, East-southeast Cay, Roncador, Serrana, Quitasueño, Serralina, dan Bajo
Nuevo dan berujung kepada kemampuan negara pantai untuk mendelimitasi
wilayah lautnya.84 Terhadap fitur-fitur ini, para pihak mempertanyakan bagaimana
hukum internasional memandang fitur-fitur ini, apakah fitur ini termasuk ke dalam
definisi pulau dan mempertanyakan kemampuan fitur ini untuk diletakkan
kedaulatan di atasnya.85
Para pihak mengajukan interpretasi mereka yang berbeda-beda terhadap fitur-
fitur tersebut. Nikaragua menganggap bahwa Quitasueño sebagai dangkalan yang
berada di bawah permukaan laut ketika air pasang dengan mendasarkan
argumennya pada survei yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri Kolombia
pada tahun 1937 yang menyatakan bahwa “The Quitasueño Cay does not exist” dan
83 Ibid, para. 496 84 Territorial and Maritime Dispute (Nicaragua v. Colombia), Judgment, I.C.J. Reports 2012, p. 624,
para. 24 85 Ibid, para. 15
133
“There is no guano or eggs in Quitasueño because there is no firm land.” 86
Sementara itu Kolombia berargumen bahwa Quitasueño adalah pulau dengan dasar
survei yang dilakukan oleh Angkatan Laut Kolombia pada tahun 2008 dan
penelitian yang dilakukan oleh Dr. Robert Smith terhadap salah satu fitur di
Quitasueño yang ia sebut sebagai QS 32 yang menyatakan bahwa: “… there are 34
individual features within Quitasueño which ‘qualify as islands because they are
above water at high tide’ and at least 20 low-tide elevations situated well within 12
nautical miles of one or more of those islands.”87 Perbedaan perspepsi terhadap
status QS 32 ditambah dengan argumentasi Nikaragua yang menyatakan bahwa QS
32 adalah ‘individual piece of coral debris, that is, a part of the skeleton of dead
animal, is not naturally formed area of land’88 . Namun hal ini dibantah oleh
Kolombia yang menjawab bantahan Nikaragua yang mempertanyakan status
‘naturally formed area of land’ dari QS 32 dengan mengatakan, “coral islands are
naturally formed and generate a territorial sea as do other islands” dan
menegaskan bahwa Quitasueño ‘is not a coral debris’ dan merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari gugusan karangnya.89 Nikaragua menekankan bahwa ukuran
adalah parameter penting untuk menentukan apakah suatu fitur maritim dapat
disebut sebagai pulau atau suatu fitur yang tersebut di dalam Pasal 121 ayat (3)
KHL 1982.90
Dalam analisa mahkamah, kemampuan suatu fitur maritim untuk menikmati
hak maritimnya dalam Pasal 121 ayat (2) KHL 1982 harus memperhatikan
86 Ibid, para. 28 87 Ibid, para. 29 88 Ibid, para. 32 89 Ibid. 90 Ibid, para. 170
134
ketentuan Pasal 121 ayat (3) KHL 1982. Mahkamah menjelaskan bahwa dengan
menolak kemampuan bebatuan karang yang tidak dapat dihuni oleh manusia atau
kehidupan ekonominya sendiri untuk menikmati hak zona ekonomi eksklusif dan
landas kontinen, norma yang terdapat dalam ayat (3) ini memperkuat keberadaan
prinsip hukum internasional yang telah terbentuk sebagai kebiasaan internasional
bahwa ‘island, regardless of their size … enjoy the same status, and therefore
generate the same maritime rights, as other land territory.”91
Terhadap status Albuquerque Cays, East-southeast Cays, Roncador, Serrana,
Serranila, dan Bajo Nuevo, mahkamah berpendapat bahwa sekalipun suatu pulau
(baca: fitur maritim) masuk sebagai kategori bebatuan dalam Pasal 121 ayat (3)
KHL 1982, dan meskipun ia tidak berhak menikmati zona ekonomi eksklusif dan
landas kontinen, ia tetap berhak menikmati hak laut teritorial.92 Mahkamah lalu
menjelaskan bahwa upaya untuk menjelaskan status fitur-fitur maritim ini tidak
pokok dan karena ‘any entitlement to maritime spaces which they might generate
within the relevant area (outside the territorial sea) would entirely overlap with the
entitlement to a continental shelf and exclusive economic zone generated by the
islands of San Andrés, Providencia and Santa Catalina’ yang mana San Andrés,
Providencia, dan Santa Catalina adalah pulau yang berhak menikmati hak-hak zona
maritim. 93 Terkhusus untuk Quitasueño, mahkamah berpendapat bahwa tidak
peduli metode penghitungan seperti apa yang digunakan untuk menghitung
kemampuan Quitasueño untuk dapat berada di atas permukaan laut ketika air
pasang, bukti-bukti yang telah ditunjukkan oleh Nikaragua dan Kolombia
91 Maritime Delimitation and Territorial Questions between Qatar and Bahrain (Qatar v. Bahrain),
Judgement, ICJ Report 1994, para 185 92 Nicaragua v. Colombia, op.cit, para. 176 93 Ibid, para. 180
135
menunjukkan bahwa fitur yang terdapat di Quitasueño, yaitu QS 32, adalah
‘capable of appropriation’.94 Meskipun mahkamah menerima status QS 32 sebagai
pulau, mahkamah membantah bahwa fitur lain di Quitasueño dapat disebut sebagai
pulau, sebagaimana telah didefinisikan oleh hukum internasional. Hal itu
disebabkan karena fitur-fitur maritim tersebut sulit untuk berada di atas permukaan
laut saat air pasang karena ukurannya yang kecil. Mahkamah kemudian
menjelaskan bahwa status fitur-fitur ini adalah sebagai elevasi surut sebagaimana
telah dibuktikan melalui bukti foto yang menunjukkan bahwa “… those features
to be above water at some part of the tidal cycle and thus to constitute
low-tide elevations.”95 Meskipun mahkamah setuju bahwa QS 32 dapat disebut
sebagai pulau, namun karena tidak ada bukti yang dapat menunjukkan bahwa QS
32 dapat dihuni oleh manusia dan memiliki kehidupan ekonominya sendiri,
mahkamah menyimpulkan bahwa QS 32 tidak dapat menikmati hak zona ekonomi
eksklusif dan landas kontinen.
3. Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraina)
Sengketa ini bermula sebagai perbedaan persepsi antara para pihak—Romania
dan Ukraina—terhadap suatu fitur maritim di Laut Hitam, yaitu Pulau Serpent.
Pulau Serpent sendiri adalah suatu fitur maritim yang berada di barat daya Laut
Hitam, kira-kira 20 mil laut dari timur Delta Danube. Pulau Serpent adalah suatu
94 Ibid, para. 37 95 Ibid, para. 38
136
fitur maritim yang berada di atas permukaan laut ketika air pasang yang memiliki
luas 0.17 m2 dan keliling selebar 2000 m.96
Dalam perkara ini, Romania berpendapat bahwa Pulau Serpent tidak bisa
digunakan sebagai peletakkan titik garis pangkal penarikan batas delimitasi zona
maritim yang melebihi 12 mil laut karena ia adalah bebatuan yang tidak
memungkinkan kehidupan manusia dan kehidupan ekonominya sendiri, dan oleh
karena itu, sebagai konsekuensi Pasal 121 ayat (3) KHL 1982, ia tidak dapat
menikmati zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen. Menurut Romania, Pulau
Serpent termasuk kategori bebatuan dalam Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 karena: “it
is a rocky formation in the geomorphologic sense; it is devoid of natural water
sources and virtually devoid of soil, vegetation and fauna.”97 Dalam penjelasan
Romania, kita dapat mengambil beberapa alasan mengapa Pulau Serpent tidak
dapat disebut sebagai pulau: pertama, kurangnya sumber air mineral; dan kedua,
tanahnya tidak subur yang mengakibatkan sedikitnya tumbuhan dan hewan yang
dapat hidup di pulau itu. Hal ini mengakibatkan ketidakmampuan Pulau Serpent
untuk dihuni oleh manusia yang mana Romania berpendapat bahwa, “… human
survival on the island is dependent on supplies, especially of water, from elsewhere
and that the natural conditions there do not support the development of economic
activities.”98 Romania menambahkan juga bahwa keberadaan pejabat pemerintah
dan pengurus mercusuar di pulau itu tidak menciptakan ‘human habitation’ untuk
memenuhi unsur kualitatif dalam Pasal 121 ayat (3) KHL 1982.99
96 Maritime Delimitation in the Black Sea (Romania v. Ukraine), Judgment, ICJ Reports 2009, para.
16 97 Ibid, para. 180 98 Ibid. 99 Ibid.
137
Sementara itu, Ukraina menjelaskan bahwa Pulau Serpent adalah Pulau yang
berhak menikmati hak zona maritim berdasarkan Pasal 121 ayat (2) KHL 1982.
Ukraina berpendapat bahwa Pulau Serpent dapat menopang kehidupan manusia dan
mampu menyelenggarkan kehidupan ekonominya sendiri. Secara khusus, pulau ini
memiliki jenis tumbuhan yang hidup secara khusus di pulau ini dan memiliki
cadangan air minum yang memungkinkan manusia untuk tinggal di atasnya.
Ukraina juga menjabarkan bahwa Pulau Serpent adalah pulau dengan ‘appropriate
buildings and accommodation for an active population’. Dengan mengomentari
penggunaan Pasal 121 ayat (3) KHL 1982, Ukraina berpendapat bahwa pasal ini
tidak mengatur delimitasi zona maritim melainkan pemberian hak zona maritim
kepada fitur maritim yang dapat menopang kehidupan manusia dan memiliki
kehidupan ekonominya sendiri.100
Dalam pertimbangannya, mahkamah berpendapat bahwa Pulau Serpent tidak
dapat digunakan untuk peletakkan garis pangkal zona maritim karena Pulau Serpent
tidak berada pada susuran garis pantai Ukraina karena ia berada pada 20 mil laut
dari garis pantainya101 sehingga keberadaan Pulau Serpent tidak dapat dijadikan
sebagai bagian dari laut teritorial Ukraina maupun bagian dari pantainya.
Mahkamah menyebutkan kondisi ini merombak praktik dan kebiasaan internasional
di mana mahkamah menjelaskan sebagai berikut: “To count Serpents’ Island as a
relevant part of the coast would amount to grafting an extraneous element onto
Ukraine’s coastline; the consequence would be a judicial refashioning of
geography, which neither the law nor practice of maritime delimitation
100 Ibid, para. 184 101 Ibid, para. 187
138
authorizes.”102 Oleh karena itu, mahkamah menyimpulkan bahwa Pulau Serpent
tidak dapat dijadikan sebagai peletakan titik garis pangkal zona maritim
sebagaimana mahkamah menjelaskan sebagai berikut: “… the court consider it
inappropriate to select any base points on Serpents’ Island for the construction of
a provisional equidistance line between the coast of Romania and Ukraine.”103
Namun pada akhirnya mahkamah tidak menanggapi perbedaan pendapat dari
para pihak mengenai status fitur maritim dari Pulau Serpent atas dua alasan besar:
bahwa zona yang dipersengketakan ini berada pada jarak 200 mil laut yang berarti
termasuk pada zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen dari Ukraina dan bahwa
Pulau Serpent berada pada jarak 20 mil laut dari garis pantai Ukraina. Oleh karena
itu, keberadaan Pulau Serpent tidak mempengaruhi keberadaan zona ekonomi
eksklusif dan landas kontinen yang ditimbulkan dari garis pantai Ukraina bagian
barat dan timur. Mahkamah memperhatikan bahwa meskipun Ukraina memandang
bahwa Pulau Serpent berhak mendapatkan zona maritim sebagai konsekuensi Pasal
121 ayat (2) KHL1982, keberadaan zona maritim tersebut ‘did not extend the
relevand area beyond the limit generated by its mainland coast, as a consequence
of the presence of Serpents’ Island.”104
c) Kesimpulan
Rezim pulau di dalam KHL 1982 patut dipuji karena telah menyelesaikan isu
pendefinisian pulau dan mempositifkan norma tersebut ke dalam KHL 1982.
102 Ibid, para. 149 103 Ibid. 104 Ibid, para. 187
139
Keberhasilan definisi pulau dalam Pasal 121 ayat (1) KHL 1982 adalah refleksi
historis terhadap bagaimana norma ini berkembang baik sebagai suatu prinsip dan
hukum kebiasaan internasional. Namun dibalik keberhasilan KHL 1982
menyelesaikan definisi pulau di dalam Pasal 121 ayat (1) KHL 1982, rezim pulau
di dalam KHL 1982 menyisakan tanda tanya besar terhadap ambiguitas dan
absurditas Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 tentang bebatuan. Bahkan dalam usaha
penulis untuk menjabarkan dilema yang dihadapi dalam Pasal 121 ayat (3), dari
pada keberhasilan untuk mendapatkan interpretasi yang menerangkan makna
aksiologis maupun teleologis dari Pasal 121 ayat (3), penulis mendapati bahwa
dilema Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 tidak hanya dilema hukum positif
internasional, melainkan melibatkan peran kebimbangan bahasa dan logika dalam
penyampaian makna Pasal 121 ayat (3). Kebimbangan tersebut ditambah dengan
variasi praktis hubungan internasional yang meski pada satu sisi memperkaya
interpretasi Pasal 121 ayat (3), turut menambah semakin beragamnya kebimbangan
tersebut.
Secara singkat, kebimbangan tersebut diawali dari keberadaan terma bebatuan
karang, yang penulis terjemahkan dari terma ‘rocks’ dalam KHL 1982. Dalam
pandangan penulis, penggunaan terma bebatuan karang yang penulis pilih sebagai
pengalihbahasaan tersebut hanyalah satu bagian dari berbagai kategori kelas bahasa
yang dihasilkan dari dilema ini. Makna ‘rocks’ bisa berafiliasi pada bebatuan saja,
sebagai hasil dari penumpukkan mineral di tengah laut, maupun bisa dimaknai
secara meluas meliputi berbagai fitur maritim di tengah laut. Untuk menerangi hal
ini, penggunaan terma bebatuan karang dalam penelitian juga selayaknya
mendapatkan perhatian kritis dari literatur berbahasa indonesia. Penulis
140
mengkhawatirkan dilema ini akan bertransformasi ke dalam bagaimana bahasa
Indonesia mengadopsi terma ini. Meskipun penggunaan terma ‘bebatuan’
sepertinya sudah cukup untuk menggambarkan makna ‘rocks’ dalam Pasal 121 ayat
(3) KHL 1982, namun hal tersebut akan menyempitkan makna ‘rocks’ itu sendiri.
Sehingga dalam hal ini penulis berpendapat bahwa terma ‘rocks’ ini harus diperluas
dari pada dipersempit. Hal ini berkaitan dengan keberadaan elevasi surut yang
diatur dalam Pasal 13 KHL 1982 dan keberadaan elevasi surut yang digunakan
untuk penarikan garis pangkal lurus dalam Pasal 7 KHL 1982. Apabila keberadaan
bebatuan karang di dalam Pasal 121 ayat (3) tidak mendapatkan penerangan, maka
dilema ini akan merambah praktik delimitasi zona maritim yang melibatkan
keberadaan elevasi surut. Meski dalam analisa yurisprudensi sebelumnya, kita
dapat menyimpulkan bahwa perubahan status fitur maritim dari ‘pulau’ menjadi
bebatuan karang dapat terjadi karena fitur tersebut kehilangan status yang
diakibatkan tidak dipenuhinya unsur kualitatif dari Pasal 121 ayat (3) KHL 1982
mengenai kemampuan fitur tersebut untuk dihuni manusia dan kemampuannya
untuk menyelenggarakan kehidupan ekonominya secara mandiri.
Setelah melakukan analisa terhadap yurisprudensi internasional ini, penulis
mendapati bahwa status fitur maritim dapat berubah seiring dengan kemampuannya
untuk dapat dihuni oleh manusia dan kemampuannya untuk menyelenggarakan
kehidupan ekonominya secara mandiri. Dalam hal ini, penulis akan
mengembangkan argumentasi ini pada kemampuan pulau buatan untuk merubah
status bebatuan karang agar dapat dihuni oleh manusia. Pada bagian berikutnya,
penulis akan menjawab rumusan masalah penulis mengenai hal ini dan bagaimana
141
keberadaan pulau buatan dapat mempengaruhi ‘peningkatan’ status bebatuan
karang agar layak dihuni oleh manusia.
C. Rekayasa Fitur Bebatuan Karang dan Elevasi Surut menjadi Pulau
Buatan
Ketika Cina memutuskan untuk melakukan reklamasi daratan di beberapa fitur
maritim yang berada di laut cina selatan pada tahun 2013105, negara-negara yang
mengelilingi laut cina selatan, seperti Malaysia, Filipina, Brunei Darusalam,
Vietnam, dan Taiwan melakukan protes kepada Cina atas keputusannya itu. Hal ini
disebabkan oleh klaim Cina atas kedaulatannya di atas laut cina selatan dan fitur-
fitur maritim di atasnya di mana pada kenyataannya, Cina menguasai 8 fitur maritim
di laut cina selatan.106 Klaim sepihak yang didasarkan atas hak sejarah ini107 diikuti
oleh beberapa negara asia tenggara yang turut menguasai beberapa fitur maritim di
laut cina selatan seperti Malaysia yang menguasai 8 fitur maritim, Filipina
menguasai 9 fitur maritim, Taiwan menguasai 1 fitur maritim, dan Vietnam
menguasai fitur maritim paling banyak, yaitu sejumlah 22 fitur maritim.108
Reklamasi pulau dan pembangunan yang dilakukan oleh Cina di atas fitur-fitur
maritim yang ia kuasai109 menjadikan fitur tersebut berubah yang pada mulanya ia
hanyalah bebatuan karang dan gugus karang 110—fitur maritim yang berada di
bawah permukaan laut ketika air pasang dan di atas permukaan laut ketika air
105 Marcos Enrique Romero Tejada, China’s Artificial Island Construction Activities in the South
China Sea: Impact on the Southeast Asian Security Complex, Faculté des sciences économiques,
sociales, politiques et de communication (ESPO), 2015, h. 8 106 Ibid. h. 7 107 Bouchat, op.cit, h. 30 108 Marcos Enrique Romero Tejada, op.cit, h. 7 109 Yi-Hsuan Chen, South China Sea Tension on Fire: China’s Recent Moves on Building Artificial
Island in Troubled Waters and Their Implications on Maritime Law, Maritime Safety and Security
Law Journal, 2015, h. 8 110 Swaran Singh & Lilian Yamamoto, China’s Artificial Island in the South China Sea: Geopolitics
versus Rule of Law, Revista de Direito Economico e Socioambienta, Curitiba, 2017, h. 7
142
surut—menjadi suatu fitur artifisial yang disebut pulau buatan.111 Hal ini menjadi
suatu tantangan kepada hukum laut internasional dalam menjawab isu ini.
Apa yang telah dilakukan oleh Cina tentunya menghasilkan konflik bagi
hubungan politik dengan negara-negara asia tenggara, namun penulis berpendapat
bahwa apa yang dilakukan oleh Cina ketika melakukan pembangunan pulau buatan
di atas fitur-fitur maritim yang ada di laut cina selatan harus dilihat dari perspektif
lain, yaitu adanya transformasi fungsional elevasi surut yang secara normatif hanya
dapat digunakan sebagai peletakkan titik garis pangkal zona maritim negara pantai
dan bebatuan karang yang tidak menikmati zona ekonomi eksklusif dan landas
kontinen menjadi dapat dihuni oleh manusia. Sub-bab ini akan membahas isu
pembangunan pulau buatan di atas bebatuan karang yang berakibat pada
berubahnya paradigma hukum laut internasional terhadap eksistensi pulau buatan
sebagai suatu fitur buatan yang dapat mempengaruhi delimitasi zona maritim
negara pantai. Penulis akan melakukan analisa terhadap kemampuan pulau buatan
yang dibangun di atas bebatuan karang untuk merubah status elevasi surut dan
bebatuan karang yang awalnya tidak dapat dihuni oleh manusia menjadi dapat
dihuni oleh manusia dan kemampuan manusia untuk menjalankan aktivitas
ekonomi di atasnya.
a) Unsur Buatan sebagai Karakter Normatif Pulau Buatan
Terciptanya konsep dan teknologi pembangunan pulau buatan menciptakan
suatu pemahaman baru terhadap kemungkinan diciptakannya suatu ruang hunian
111 Yi-Hsuan Chen, op.cit, h. 9. Lihat juga F. Swannon Sweeney, Rock v. Islands: Natural Tension
Over Artificial Features in the South China Sea, Temple International and Comparative Law
Journal, Volume 31, Number 2, 2017, h. 617
143
manusia yang baru selain daratan112, wahana rekreasi113, eksplorasi dan eksploitasi
bahan tambang di dasar laut 114 , bagaimana keberadaan pulau buatan dapat
memberikan harapan baru kepada negara-negara pulau kecil untuk menyelematkan
negara mereka dari ancaman pemanasan global yang dapat menenggalamkan
negara mereka. 115 Keberadaan pulau buatan yang menantang pemahaman
konvensional mengenai rezim hukum laut internasional dan secara khusus
mengenai rezim pulau telah diterangkan oleh Young Elizabeth dalam konferensi
internasional mengenai hukum laut internasional, Pacem In Maribus, di mana ia
menjelaskan bahwa,
“Traditional International Law did not anticipate the creation of
an island by means of engineering but confined itself to the title
derived from effective occupation of uninhabited land masses.
The fate of such activities will be determined by two factors: the
number of sites available for such constructions and the
objectives.”116
Secara kontekstual, Dahal dan Prakash mendefinisikan pulau buatan sebagai:
“… man-made island constructed over sea, ocean or river beds.
The construction of artificial island is done by land reclamation,
expansion of existing islets, combining small group of islets and
filling different materials over sea or an ocean bed.”117
112 Lihat Orvar Lofgren, Island Magic and The Making of a Transnational Region, The Geographical
Review 97 ( 2 ) 244-259, 2007, h. 244-245; dan Su Yin Chee, et.al., Land Reclamation and Artificial
Island: Walking the Tightrope between Development and Conservation, Global Ecology and
Conservation 12, pp. 80-95, 2017, h. 81 113 Fabrizio Bozzato, Dryland: Artificial Island as New Oceanscapes, Journal of Futures Studies,
17(4): 1-16, 2012 h. 2-3. Lihat juga Karang Ghaffari, et.al., Construction of Artificial Islands in
Southern Coast of the Persian Gulf from the Viewpoint of International Environmental Law, Journal
of Politics and Law; Vol. 10, No. 2; 2017, h. 264, yang menyebutkan keberadaan pulau buatan di
Uni Emirat Arab sangat kental dengan motif ekonomi dan wisata di mana faktor yang
menguntungkan ini dibayangi oleh risiko dampak lingkungan yang besar. 114 R. H. Charlier dan C. P. De Meyer, An Enviromental Purpose of Artificial Island in Belgium,
Intern. J. Enviromental Studies, Vol. 40, pp. 246-265, 1992, h. 252. 115 Michael Gagain, Climate Change, Sea Level Rise, and Artificial Islands: Saving the Maldives’
Statehood and Maritime Claims Through the ‘Constitution of the Oceans’, Colo. J. Int’l Envtl. L. &
Pol’y, Vol. 23:1, 2012, h. 81-82 116 Galea, op.cit, h. 14 117 Ishwar Dahal & Om Prakash, The Study on Construction of Artificial Island Using Land
Reclamation Techniques, Imperial Journal of Interdiciplinary Research Vol-3, Issue 2, 2017, h. 2013
144
Dalam perspektif yang diajukan oleh Soons, pembangunan pulau buatan oleh
negara pantai merupakan usaha mereka untuk memanfaatkan wilayah perairannya.
Kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan di daratan dapat dilakukan di tengah
wilayah perairannya dengan keberadaan pulau buatan ini. 118 Soons juga
mengungkapkan bahwa adanya suatu kemungkinan untuk menciptakan sebuah kota
di atas fitur buatan ini,119 sehingga manusia dapat hidup di fitur buatan ini dan dapat
bertahan hidup di dalamnya.
Dalam aspek historisnya, keberadaan pulau buatan bukanlah hal baru dalam
praktik pemanfaatan wilayah perairan negara pantai. Belanda sendiri telah
melakukan praktik pembangunan pulau buatan dengan mengeruk tanah dan
mereklamasi daratan di wilayah perairannya. Hannon dan LeBlanc menjelaskan
bahwa praktik pembangunan pulau buatan itu meliputi pereklamasian
semenanjungnya, membangun pulau buatan, dan memperbesar pulau buatan itu.120
Jepang sendiri telah melaksanakan praktik pembangunan pulau buatan sejak abad
ke-19 dan praktik reklamasi daratan untuk pulau buatan yang dilakukan secara
ekspansif yang dilakukan sejak tahun 1985 telah menghasilkan luas wilayah baru
seluas 169,200 hektar. Jepang sendiri memandang bahwa keberadaan pulau buatan
lebih efektif dari pada perluasan wilayah teritorial dengan reklamasi pantai.
Keuntungan pembangunan pulau buatan bagi Jepang adalah: a) penyesuaian gaya
hidup yang lebih adaptif; b) terciptanya perairan yang lebih tenang; c) penyesuaian
aktifitas masyarakat di bibir pantai; d) meningkatkan pengamanan wilayah pantai
118 Alfred H. A. Soons, Artificial Island and Installation in International Law, Occasional Paper
Series, Law of the Sea Institute University of Rhode Island, 1974, h. 1 119 Ibid. 120 Patrick J.F Hannon & J. Wayne LeBlanc, Artificial Offshore Island, Mining Society of Nova
Scotia, 1987, h. 7
145
dan perlindungan terhadap lingkungan; e) pemanfaatan wilayah pantai dengan lebih
efektif.121
Dalam perkembangannya, pulau buatan mengalami perkembangan dalam
penggunaannya. Hannon dan LeBlanc menjelaskan tujuan pembangunan pulau
buatan sebagai berikut122:
Sebagai lokasi industri metalurgi;
Untuk melebarkan bandara123;
Sebagai tempat instalasi pemurnian air laut;
Sebagai tempat instalasi eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi;
Sebagai fasilitasi ventilasi penambangan batu bara
Selain itu, ada beberapa variabel yang harus diperhatikan sebelum pembangunan
pulau tersebut dilaksanakan, yaitu124:
Kedalaman air;
Rentang ketinggian gelombang air;
Kondisi es;
Kisaran pasang surut;
Arus air;
Kondisi fondasi bangunan;
Risiko Gempa bumi;
Sumber material pembangunan;
Jalur pelayaran; dan
121 R. H. Charlier dan C. P. De Meyer, op.cit, h. 253 122 Ibid, h. 8 123 Sebagai perbandingan, lihat Erik Jaap Molenaar, Airport at Sea: International Legal
Implications, Netherland Institute for the Law of the Sea, University of Utrecht, 1999, h. 372-373. 124 Ishwar Dahal & Om Prakash, op.cit, h. 2014
146
Keberadaan pipa dan kabel bawah laut.
Soons menambahkan analisanya terhadap dampak keberadaan pulau buatan dengan
menjelaskan sebagai berikut: “… the choice of the type of structure depends on such
factors as the water depth at the proposed site, enviromental impact, and the
expected duration of the activities. Of course, the cost-effectiveness of the operation
is finally determining.”125
Secara teknis, pembangunan fitur buatan di lepas pantai ini dapat dilakukan
dengan 4 cara. Cara pertama adalah dengan membangun fitur buatan yang
mengapung di atas permukaan laut yang ditahan dengan jangkar yang dipasang di
bawah laut. Cara kedua adalah dengan membangun suatu fitur buatan yang berada
pada posisi yang tetap (fixed position). Fitur buatan ini bisa berada pada posisi yang
tepat karena ditahan dengan tiang pancang yang ditanam dari dasar laut. Cara ketiga
adalah dengan membangun fitur buatan dengan beton yang biasa digunakan untuk
menyimpan cadangan minyak di tengah laut. Cara keempat adalah membangun
fitur buatan dengan cara reklamasi daratan yang dilakukan dengan menumpuk
gundukan pasir, bebatuan, dan kerikil di mana cara ini adalah cara yang paling
sering digunakan untuk membangun pulau buatan.126
Pembangunan pulau buatan memungkinkan negara pantai untuk
memaksimalkan pemanfaatan wilayah lautnya secara ekonomis dan juga
memberikan manfaat positif lain yang dapat menguntungkan negaranya. Namun
bagaimana KHL 1982 memandang keberadaan pulau buatan?
125 Alfred H. A. Soons, op.cit, h. 2 126 Ibid.
147
KHL 1982 mengatur kewenangan negara pantai untuk membangun pulau di
dalam rezim zona ekonomi eksklusif yang diatur di dalam Pasal 58 ayat (1) huruf
(b) sebagai berikut: “Jurisdiction as provided for in the relevant provisions of this
Convention regard to: the establishment and use of artificial island, instalation and
structure;” Pada pengaturan ini, KHL 1982 memberikan kewenangan kepada
negara pantai untuk membangun pulau buatan, instalasi, dan struktur. Meskipun
tidak memberikan definisi atas pulau buatan dan perbedaannya dengan instalasi dan
struktur, Pasal 11 KHL 1982 membedakan fungsi pulau buatan dengan pelabuhan
di mana Pasal 11 mengatur sebagai berikut:
“For the purpose of delimiting the territorial sea, the outermost
permanent harbour works which form an integral part of the
harbour system are regarded as forming part of the coast. Off-
shore installations and artificial islands shall not be considered
as permanent harbour works.”
Hal tersebut memberikan konsekuensi bahwa keberadaan pulau buatan tidak dapat
dipersamakan dengan dengan instalasi-instalasi terluar dari pelabuhan. Galea
memberikan interpretasinya terhadap keberadaan Pasal 11 ini dengan mengamati
unsur ‘permanen’ dalam Pasal 11 dengan menyebutkan sebagai berikut: “The use
of word ‘permanent’ is significant as it implies a distinction between the nature of
a temporary structure and permanent works.”127
Sebelum membahas karakter alamiah yang membedakan pulau alamiah dengan
pulau buatan, perhatian yang lebih khusus harus diperhatikan kepada kewenangan
negara pantai di zona ekonomi eksklusifnya untuk membangun pulau buatan,
instalasi, dan struktur dalam Pasal 56 KHL 1982. Dalam pasal ini, keberadaan pulau
buatan memiliki status yang sama dengan instalasi dan struktur. Ketiadaan definisi
127 Galea, op.cit., h. 40
148
pulau buatan menjadikan pemahaman konsep normatif dari pulau buatan menjadi
ambigu dan dapat dimaksudkan ke dalam berbagai pengertian praktis pembangunan
pulau buatan. Isu hukum dari masalah ini adalah apa yang membedakan pulau
buatan, instalasi, dan struktur?
Soons membedakan keberadaan pulau buatan dan instalasi di mana ia
mendefinisikan pulau buatan sebagai: “… those construction which have been
created by the dumping of natural substances like sand, rocks, and gravel”128 dan
instalasi sebagai: “… construction resting upon the seafloor by means of piles and
tubes driven into the bottom, and to concrete structures.”129 . Perhatikan definisi
Soons yang memfokuskan pendefinisian pulau buatan dalam bentuk reklamasi
daratan dan tidak memasukkan teknik pembangunan fitur buatan lain yang
menjadikannya berbeda dengan keberadaan kilang minyak yang berada di tengah
laut dan juga fitur-fitur buatan lain yang tidak dibangun dengan cara reklamasi
daratan. Dimasukkannya unsur teknik reklamasi daratan ini sebagai unsur
konseptual definisi pulau buatan menjadikan faktor artifisial ini sebagai unsur
pembeda yang menjadikannya berbeda dengan karakter ‘naturally formed’ yang
terdapat dalam pasal 121 ayat (1) KHL 1982.
Perkembangan normatif konsep pulau buatan di dalam hukum laut
internasional telah terjadi sejak pembahasan rancangan awal Pasal 10 KHL 1958
yang menjadi dasar terciptanya Pasal 121 ayat (1) KHL 1982. Dimasukkannya
unsur pembentukan secara alami sebagai unsur normatif pulau dalam KHL 1958
mengecualikan dua fitur maritim—meskipun tidak secara eksplisit menyebut
mengenai pulau buatan, yaitu elevasi surut dan instalasi buatan yang dibangun
128 Soons, op.cit h. 3. 129 Ibid.
149
untuk tujuan pengeboran minyak. 130 Keberadaan unsur alamiah sebagai unsur
normatif konseptual juga terdapat dalam definisi KHL 1982 terhada elevasi surut
yang terdapat dalam Pasal 13 ayat (1) KHL1982 yang menjelaskan bahwa elevasi
surut adalah: “… a naturally formed area of land which is surrounded by and
above water at low tide but submerged at high tide.” Oleh karena itu, untuk bisa
menciptakan suatu kaidah hukum untuk mendefinisikan pulau buatan, unsur
pertama yang harus dimasukkan adalah kondisinya yang artifisial atau buatan.
Tetapi bagaimana dengan keberadaan mercusuar (lighthouse) yang berada
dibangun di atas elevasi surut, apakah pembangunan seperti ini juga dapat
dikategorikan sebagai pulau buatan? Dalam perkara Fur Seal Arbitration (1893),
Sir Charles Russel berpendapat bahwa keberadaan mercusuar, yang dibangun pada
posisi manapun di laut, adalah ‘extension of state sovereignty and territoriality and
in such respect should be given the right of territorial sea’.131 Terkait dengan hal
ini, Oppenheimer, di dalam Galea, mengkritik pendapat ini dengan menyatakan
sebagai berikut: “… if Sir Charles Russell’s view were to be adopted, it would be
necessary to give all States a right of sovereignty on the territorial sea surrounding
a lighthouse. … such action cannot be justified.” 132 Dalam hal ini, penulis
sependapat dengan pandangan Oppenheimer. Keberadaan mercusuar saja tidak
cukup untuk menciptakan kedaulatan negara pantai di sekitar wilayah mercusuar
itu. Apabila hanya dengan mercusuar saja cukup untuk menciptakan kedaulatan
bagi negara pantai, hal ini akan membawa rezim hukum laut internasional ke dalam
anarkisme masyarakat internasional dan oleh karena itu, keberadaan mercusuar
130 Michael Gagain, op.cit, h. 104 131 Galea, op.cit, h. 26 132 Ibid. h. 26
150
hanya dapat digunakan sebagai peletakkan titik garis pangkal lurus. KHL 1982
mengatur keberadaan mercusuar sebagai bagian dari delimitasi zona maritim negara
pantai di dalam Pasal 7 ayat (4) KHL 1982 untuk negara pantai dan Pasal 47 ayat
(4) KHL 1982 untuk negara kepulauan.
Ketentuan teknis pulau buatan di dalam KHL 1982 diatur di dalam Pasal 60
KHL 1982. Pasal 60 KHL 1982 memberikan pengatur yang lebih detail terhadap
teknis pelaksanaan Pasal 58 ayat (1) huruf (b). Terdapat 8 ayat di dalam Pasal 60
ini di mana penulis akan menjabarkannya satu persatu. Pasal 60 ayat (1)
menjelaskan bahwa negara pantai memiliki kewenangan untuk membangun pulau
buatan, instalasi, dan bebatuan karang. Ayat (1) ini sendiri berbunyi:
In the exclusive economic zone, the coastal State shall have the
exclusive right to construct and to authorize and regulate the
construction, operation and use of:
(a) artificial islands;
(b) installations and structures for the purposes provided for in
article 56 and other economic purposes;
© installations and structures which may interfere with the
exercise of the rights of the coastal State in the zone.
Di dalam ayat ini, terdapat satu unsur yang tidak memiliki penjelasan, namun unsur
ini begitu penting di dalam ayat ini, yaitu keberadaan unsur ‘exclusive right’ atau
‘hak khusus’. Meskipun tidak memiliki definisi, hak ini bisa diartikan sebagai hak
yang hanya dimiliki oleh negara pantai saja dan mengecualikan negara yang tidak
memiliki pantai. Artinya, pembangunan pulau buatan, instalasi, dan struktur di zona
ekonomi eksklusif hanya boleh dilakukan oleh negara pantai. Sebagai konsekuensi
atas hak khusus ini, negara pantai memiliki kewenangan untuk: a) membangun; b)
pemberian izin dan pengaturan pembangunan; dan c) pengoperasian dan
pemanfaatannya. Ketiga aspek ini harus diikuti agar negara pantai memiliki
keabsahan pembangunan fitur buatan/fitur artifisial ini di zona ekonomi eksklusif.
151
Selain mengatur kewenangan negara pantai untuk membangun pulau buatan, KHL
1982 memberikan kewenangan kepada negara pantai untuk membangun instalasi
dan struktur yang ditujukan: pertama, pembangunan instalasi dan struktur yang
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 56 yang berarti pembangunan tersebut sah
apabila ditujukan untuk tujuan penelitian ilmiah dan perlindungan dan konservasi
wilayah maritim; kedua, pembangunan instalasi dan struktur yang bertujuan untuk
mempengaruhi hak negara pantai di atas zona ekonomi eksklusif.
Ayat (2) mengatur bahwa negara pantai memiliki yurisdiksi khusus atas pulau
buatan, instalasi, dan struktur. Yurisdiksi negara pantai atas fitur artifisial ini
berhubungan dengan cukai, fiskal, kesehatan, keamanan dan hukum imigrasi
beserta regulasinya. Ayat (3) mengatur bahwa keberadaan fitur artifisial ini harus
memperhatikan pemberitahuan yang wajar kepada negara lain dan pemberitahuan
atas keberadaan fitur buatan tersebut harus terus dipelihara. Apabila suatu instalasi
dan struktur tidak digunakan lagi, maka keberadaannya harus dibongkar dengan
tetap memperhatikan standard internasional yang berlaku atas penanganan fitur
buatan ini
Ayat (4) memberikan kewenangan kepada negara pantai untuk membangun
suatu zona pengamanan di sekitar fitur artifisial ini. Negara pantai harus
memperhatikan keberadaan zona pengamanan ini untuk tidak mengganggu jalur
pelayaran demi keamanan jalur pelayaran itu sendiri dan demi keamanan fitur
buatan ini.
Ayat (5) mengatur lebar zona pengamanan ini selebar 500 meter di sekitar fitur
artifisialnya. Lebar zona pengamanan ini juga harus memperhatikan alasan-alasan
yang wajar yang bertujuan untuk mengamankan fitur artifisialnya. Zona
152
pengamanan ini diukur dari batas terluarnya dan negara pantai memiliki kewajiban
untuk memberitahukan keberadaan zona pengamanan ini kepada negara lain.
Ayat (6) mewajibkan setiap kapal untuk mematuhi keberadaan zona
pengamanan ini dan mengikuti standard internasional yang terkait dengan
pelayaran di sekitar fitur artifisial ini. Masih berhubungan dengan status pelayaran,
ayat (7) mengatur kewajiban bagi negara pantai untuk tidak membangun fitur
buatan ini apabila keberadaan fitur buatan ini dapat mengganggu jalur pelayaran
internasional.
Ayat (8) mengatur bahwa pulau buatan, instalasi, dan struktur tidak memiliki
status yang sama dengan pulau. Fitur ini tidak menikmati hak laut teritorialnya
sendiri dan keberadaannya tidak akan mempengaruhi proses delimitasi laut
teritorial, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif.
b) Legitimasi Pembangunan Pulau Buatan di Bebatuan Karang dan Pengaruhnya
terhadap Delimitasi Zona Maritim Negara Pantai
Keberadaan laut sebagai penghubung antara daratan dan benua sudah
memainkan peran dan menjadi penyambung peradaban manusia dan kehidupan
ekonomi masing-masing bangsa. Pendekatan hegelian ini memberikan sebuah
interpretasi pada sejarah yang secara dialektis menciptakan rasionalisasi
konseptual.133 Rasionalisasi tersebut, bagi penulis, adalah sebuah unsur terpenting
133 Secara lebih tepat kemudian, Hegel memandang bahwa sejarah merupakan inti dari whole being
yang geist-nya terdapat dalam keseluruhan. Sejarah, dalam aspek filsafat, dilihat sebagai sejarah ide
dan oleh karenanya sejarah harus dilihat sebagai keseluruhan dan tidak bisa dipandang secara partial.
Ide atau akal budi ini nampak sebagai satu kesatuan dengan sejarah sehingga ia membentuk
kebenaran yang nampak dengan sendirinya. Bagi Hegel, keberadaan akal budi—dalam interpretasi
Kojeve, akal budi mewujudkan diri dalam keinginan dan keinginan tersebut memanifestasikan
aksi—merupakan substansi yang membentuk alam semesta. Sejarah tidak bisa dipandang hanya
melalui kacamata sejarawan yang memposisikan dirinya sebagai narator yang kental dengan nuansa
keberpihakan pada seorang aktor saja. Untuk memahami hal tersebut, lihat G. W. F. Hegel, The
Philosophy of History, terjemahan, Batoche Books, Kitchener, 2001. Untuk interpretasi terhadap
153
untuk menetapkan sebuah justifikasi yuridis terhadap pengalaman empiris—yang
dalam hal ini berpijak pada sebuah praktik internasional yang bekerja dalam
kungkungan masyarakat internasional yang anarki. Apabila sejarah manusia yang
hidup sebagai sejarah ide, seturut dengan cara padang Hegel, maka hal tersebut
seharusnya merefleksikan sebuah geist yang ideal untuk menunjukkan keterkaitan
antara manusia dengan laut.
Satu hal yang dapat mendorong pembaca untuk lebih awas terhadap
masyarakat internasional di dalam sebuah gerakan modernisasi dan globalisasi abad
ini adalah pada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat yang
tidak meratifikasi UNCLOS 1982 dengan alasan yang lebih politis dari pada sebuah
permasalahan hukum yang kompleks. Alasan tersebut lebih tepatnya berkaitan
dengan kepentingan nasional Amerika yang menitiberatkan pada kepentingan
ekonomi dan pertahanan Amerika Serikat yang memiliki perhatian secara khusus
di wilayah lautnya. Keberatan Amerika ditujukan kepada pengaturan mengenai
pertambangan di wilayah dasar laut yang, menurut Presiden Reagan, berakibat pada
kerugian Amerika yang lebih komplek. Rabkin memberikan komentarnya sebagai
berikut:
“In its basic framework and underlying premises, it is a
monument to the failed socialist thinking of a bygone era. Its
ratification would enshrine this thinking in a prominent fixture of
international law. Down the road, this might lead to the revival
of unsound legal principles which ought to be firmly repudiated.
In the meantime, it establishes a number of new institutions that
are likely to cause considerable trouble. The treaty ought to be
rejected, as it represents a threat to American sovereignty,
national security, and economic interests.”134
karya Hegel, lihat Alexandre Kojève, Introduction to the Reading of Hegel, Cornell University
Press, 1969. 134 Jeremy Rabkin, The Law of the Sea Treaty: A Bad Deal for America, Issue Analysis, 1 Juni 2006,
h. 1
154
Selain itu, Galdorisi & Vienna menjelaskan hal ini sebagai berikut:
“This failure to ratify is a result of American politicians’ refusal
to accept the central bargain of UNCLOS, which consisted of
developing coastal and landlocked states recognizing the right of
freedom of navigation in the exclusive economic zone and key
international straits, in exchange for greater rights to natural
resources within the EEZ and the high seas.”135
Dalam hal ini pengaruh internal di dalam negara untuk mengambil kebijakan
politik internasional memiliki pengaruh yang dominan terhadap karakter
kebijakannya. Aspek yang diperhatikan dalam UNCLOS dipandang sebagai sebuah
karakter yang tidak mendukung kapitalisme Amerika di mana bentuk pengaturan di
dalam UNCLOS sendiri memiliki kesan yang menunjukkan karakter kebijakan
kolektif dan tidak mendukung kebijakan ekonomi Amerika Serikat. Gompert
menekankan hal ini dengan menyatakan bahwa: “Obviously, sea power figures
importantly in U.S. strategic thinking, globally and in the Pacifc, as it has for a
century.”136 Gompert juga menekankan sebuah analisis, dengan mengacu pada
Mahan, bahwa posisi Amerika di atas laut semata-mata untuk menekankan
posisinya di wilayah laut yang mana, dalam perebutan hegemoni Amerika dan Cina,
wilayah laut akan memainkan peran yang amat penting, baik dari segi keamanan
dan ekonomi masing-masing negara.137 Perihal hal tersebut, kritik di dalamnya
meletakkan posisi negara adidaya atas sebuah dominasi politik di atas laut di mana
hal tersebut tidak hanya mengaburkan konsep kedaulatan namun kembali
mengangkat tema sentral yang diangkat oleh Grotius terhadap dominasi negara di
atas laut.138
135 Odell, op.cit, h. 17 136 Gompert, op.cit, h. 69 137 Ibid. 69. 138 Dalam pembelaannya secara anonim dalam magnum opus-nya, Mare Liberum, Grotius
mempertanyakan legitimasi Portugis yang mempergunakan dalil kepenguasaan laut secara biblikal
di mana hak Portugis untuk menguasai laut telah mendapatkan legitimasi baik dari Tahkta Suci, hak
155
Contoh tersebut merefleksikan suatu kenyataan bahwa faktor di luar hukum
memainkan peran yang vital terhadap kedudukan suatu negara di dalam masyarakat
internasional. Hal ini memberikan suatu kesimpulan bahwa hegemoni negara di atas
laut mentransformasikan rasionalisme hukum menjadi legitimasi bagi negara pantai
untuk menjustifikasi perbuatan negara secara normatif. Meskipun pada hal ini
Connor memberikan kritiknya terhadap argumentasi ini dengan berargumen
sebagai berikut: ““… it is also hard to justify treating legitimacy as a normative
factor.”139 Connor, dengan mengutip Applbaum, menjelaskan bahwa legitimasi
normatif adalah: “Genuinely having the moral right to rule.”140 Berbeda dengan
Connor, argumentasi Milano lebih mendukung pandangan penulis dengan
menjelaskan bahwa:
“… while recognition is the process through which states and
international organisations recognise the legal effects produce by
an unlawful territorial situation, …, legitimasy provides the
conceptual element to explain why in some cases such recognition
is widespread, while in some others it is only isolated. In other
words, legitimacy is the key concept in reconciling a violationg
effectiveness and the principles of territorial unlawfulness.”141
Dalam usaha untuk mendefinisikan legitimasi, Shaw menjelaskan bahwa pada
abad kesembilan belas, para yuris hukum internasional memahami hukum
internasional dalam aspek kesejarahannya dan menganalisanya secara
kronologis. 142 Namun setelah Perang Dunia ke-II berakhir, sistem hukum
penemuan wilayah, perang, di mana Portugis memiliki hak untuk menguasai laut. Grotius
membedakan secara tegas di mana perbedaan dominion dan communion—dimana perbedaan
tersebut memberikan implikasi logis yang berbeda dan memiliki akibat yang berbeda bagi negara.
Cicero, dalam kutipannya oleh Grotius, menyatakan: “For by nature nothing is private.” Hugo
Grotius, The Free Sea, terjemahan oleh Richard Hakluyt, 2004, Indianapolis: Liberty Funds, Hlm.
20 139 James O’Connor, The Meaning of “Legitimacy”in World Affairs: Does Law + Ethics + Politics
= A Just Pragmatism or Mere Politics?, SGIR conference presentation, 13 September 2007, h. 5 140 Ibid, h. 11 141 Milano, Unlawful Territorial Situations in International Law: Reconciling Effectiveness,
Legalitiy and Legitimacy, Martinus Nijhoff, Leiden, 2006, h. 190 142 Shaw, op.cit, h. 53
156
internasional yang ‘eropasentris’ itu secara perlahan memudar143 dan memasuki
suatu era di mana hubungan antara negara berubah secara drastis. Hal ini kemudian
melahirkan suatu isu, apa yang menyebabkan negara mematuhi suatu hukum
internasional? Pertanyaan ini merupakan suatu isu yang menjadi permasalahan
tersendiri bagi teoris politik, hukum, dan etika internasional. Connor menjelaskan
bahwa terma legitimasi sendiri mengandung ‘ketidakjelasan’ untuk didefinisikan.
Connor mengklasifikan legitimasi ke dalam dua kategori: pertama, legitimasi
empiris (empirical legitimacy) dan legitimasi normatif (normative legitimacy).
Connor mendasari perbedaan kedua kategori tersebut berdasarkan atas analisa
Weber atas perbedaan karakteristik antara aspek empiris dan normatif dari
legitimasi. 144 Dalam legitimasi empiris, legitimasi dapat dilihat sebagai suatu
variabel yang dapat diteliti dan dianalisa. Max Weber, proponen terhadap
pengklasifikasian legitimasi, mendeskripsikan legitimasi sebagai berikut: “… a
norm of an institutional arrangement is legitimate if, as a matter of fact, it finds the
approval of those who are supposed to live in group.”145 Secara sederhana, menurut
Meyer, legitimasi adalah ‘simple the fact that the subjects of the norm of
institutional arrangement believe that norm or arrangement to be legitimate.”146
O’Kane, dengan dikutip oleh Connor, berargumen sebagai berikut: “… a
population’s failure to revolt against an oppressive regime may indicate that the
regime’s subjects are dominated by fear, restricted by the difficulty of
coordinationg resistance actions under conditions of intimidation and surveillance,
143 Ibid, h. 43 144 Connor, op.cit, h. 5 145 Lukas H. Meyer, (ed), Legitimacy, Justice and Public International Law, Cambridge University
Press, Cambridge, 2009, h. 2 146 Ibid.
157
or by other factors the variety of which will probably depend on conditions specific
to the case at hand.”147 Bagi Kane, hal tersebut dapat mengimplikasikan suatu
kenyataan bahwa ‘the population is thereby expressing its belief in the ruling
regime’s “legitimacy”.’. 148 Hurd, dengan dikutip oleh Connor, menjelaskan
legitimasi sebagai konsep memerintah (the governing concept) yang berhubungan
dengan otoritas. Ia mengawali pendapatnya tersebut dengan mengajukan
pertanyaan: ‘why does one need any term for the quality of becoming authoritative
other than authority itself?’149 Ia kemudian berargumen bahwa, “… legitimacy
‘refers to an actor’s normative belief that a rule or institution ought to be obeyed
… The Council’s authority depends on its legitimacy, and therefore its legitimation
and delegitimation are of the highestt importance to states.150
Dalam legitimasi normatif, Shaw mendeskripsikan legitimasi sebagai berikut:
“a property of a rule or rule-making institution which itself exerts
a pull toward compliance on those addressed normatively
because those addressed believe that the rule or institution has
come into being and operates in accordance with generally
accepted principles of right process.”151
Meyer sendiri menjelaskan bahwa agar norma atau institusi mendapatkan
legitimasi, maka norma atau institusi tersebut harus ‘satisfies certain specified
conditions for possessing legitimacy’. 152 Oleh karena itu, Meyer menjelaskan
bahwa legitimasi normatif tidak memperdebatkan apakah norma atau institusi yang
sah (legitimate) adalah bermoral atau tidak bermoral. Legitimasi normatif
membicarakan tentang syarat-syarat kualitatif tertentu yang menjadi dasar apakah
147 Ibid, h. 6 148 Ibid. 149 Ibid, h. 7. 150 Ibid. 151 Shaw, op.cit, h. 60 152 Meyer, op.cit, h. 2
158
suatu norma atau institusi memiliki legitimasi moral (moral legitimacy) atau tidak.
Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa legitimasi moral bukanlah legitimasi
normatif itu sendiri. Applabaum, dengan dikutip oleh Meyer menjelaskan hal ini
sebagai berikut: “… this is a claim about the normative criteria for having moral
legitimacy – a particular conception – not a claim about the meaning of moral
legitimacy.” 153 Oleh karena itu, Meyer menyimpulkan sebagai berikut: “It is
possible, then, for a political authority to be legitimate in the descriptive sense while
being illigetimate in the normative sense.”154 Ian Hurd, dengan mengutip Milano,
mendefinisikan karakter normatif dari legitimasi dengan menjelaskan sebagai
berikut: “… the normative belief by an actor that a rule or a institution ought to be
obeyed.”155 Shaw berpendapat bahwa ada syarat-syarat yang memiliki sifat objektif
yang dapat digunak an untuk menganalisa mengapa suatu norma atau institusi
memiliki legitimasi yang menjadi dasar bagi negara untuk menaati norma atau
institusi tersebut. Ia berpendapat bahwa syarat-syarat objektif itu terdiri dari:
determinasi (berkaitan dengan ketersediaan suatu norma atau transparansinya);
validasi simbolis (persetujuan otoritas); koherensi (konsistensi atau pengaplikasian
secara umum); ketaatan (termasuk ke dalam hirarki norma yang terorganisasi).156
Karakter legitimasi itu kemudian akan berhubungan dengan bagaimana
rekayasa artifisial terhadap suatu fitur buatan dapat menjadi legitimasi bagi negara
pantai untuk menjustifikasi pengenaan zona maritim atas pulau buatan.
Pada bagian ini, keambiguan frasa bebatuan karang di dalam Pasal 121 ayat (3)
berkontribusi terhadap dilema yang dihadapi negara pantai terhadap praktik
153 Ibid. 154 Ibid. 155 Milano, op.cit, h. 191 156 Shaw, op,cit, h. 60
159
pembangunan pulau buatan. Hal ini mengakibatkan status pembangunan pulau
buatan di atas bebatuan karang seperti terombang-ambing dalam kebingungan yang
diakibatkan dari ketidakjelasan KHL 1982 dalam mendefinisikan apa itu pulau
buatan.
Oleh karena itu, analisa ini akan dibagi ke dalam dua bagian: pertama,
legitimasi negara pantai untuk membangun pulau buatan di atas bebatuan karang;
dan kedua, pengaruh keberadaan pulau buatan ini terhadap status delimitasi zona
maritim negara pantai. Apakah pengaruh Reklamasi Daratan terhadap Bebatuan
karang merubah status Bebatuan Karang tersebut menjadi Pulau Buatan, yakni
sebagai suatu Fitur Buatan? Dan bagaimana pengaruhnya terhadap delimitiasi zona
maritim negara pantai?
KHL 1982 tidak mengatur mengenai adanya kemungkinan untuk merekasaya
bebatuan karang yang tidak dapat dihuni oleh manusia atau tidak memiliki
kehidupan ekonominya sendiri. Secara normatif, KHL 1982 mengatur fitur-fitur
alamiah dan buatan yang dapat digunakan sebagai basis delimitasi zona maritim
seperti bibir pantai157, karang158, elevasi surut159, teluk160, dan hilir sungai161 dan
fitur-fitur buatan seperti pelabuhan162 dan roadstead163.
Faris Bey el-Khouri dari Suriah memiliki pandangan yang positif terhadap
keberadaan pulau buatan di mana ia berpendapat bahwa, “… artificial islands
could no doubt be useful for various purposes and Governments should not be
157 Pasal 5 KHL 1982 158 Pasal 6 KHL 1982 159 Pasal 13 KHL 1982 160 Pasal 10 KHL 1982 161 Pasal 9 KHL 1982 162 Pasal 11 KHL 1982 163 Pasal 12 KHL 1982
160
discouraged from undertaking their construction.”164 Keberadaan pulau buatan
juga, seperti yang sudah penulis utarakan sebelumnya, memiliki kemampuan untuk
menciptakan pemukiman penduduk baru.165 Pembangunan pulau buatan di atas
bebatuan karang oleh karena reklamasi daratan yang dilakukan negara pantai tidak
bisa dijawab hanya dengan mengandalkan KHL 1982 karena beberapa alasan:
Dilema yang dihadapi KHL 1982 dalam mendefinisikan bebatuan karang
yang terdapat di dalam Pasal 121 ayat (3) KHL 1982;
Ketidakmampuan KHL 1982 untuk mengkategorikan, mendefinisikan,
dan membedakan bebatuan karang, elevasi surut, dan karang (reefs);
Ketiadaan definisi KHL 1982 terhadap pulau buatan dan perbedaannya
dengan pulau alamiah;
Perkembangan teknologi kemaritiman memungkinkan negara pantai untuk
merubah status bebatuan karang yang tidak dapat dihuni yang hanya dapat
digunakan sebagai peletakkan titik garis pangkal lurus zona maritim menjadi dapat
dihuni dengan merekayasa status dari bebatuan karang menjadi pulau buatan. Kritik
terhadap hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan: apakah rekayasa fitur alamiah
menjadikan fitur tersebut bertransformasi menjadi fitur buatan?
Bagaimana dengan keberadaan infrastruktur di atas bebatuan karang seperti
ini? Tejada mengomentari keberadaan infrastruktur di atas fitur alamiah dengan
menolak keberadaan kemampuan infrastruktur untuk memiliki kemampuan yang
sama dengan pulau di mana ia menjelaskan sebagai berikut: “For instance,
infrastructure above pre-existing naturally-formed piece of land that is always
164 Gagain, op.cit, h. 107. Lihat juga Summary Record of the 260th Meeting, [1954] 1Y.B. Int’l L.
Comm’n 90, 94, U.N. Doc. A/CN.4/SR.260. 165 Lihat juga Conway, op.cit, h. 31 yang mendiskusikan adanya kemungkinan menciptakan negara
di atas pulau buatan.
161
above water; and which does not involve changing or altering the natural
configuration land territory, is not considered an artificial island.” 166 Namun
penulis mengamati bahwa argumentasi Tejada, dengan mengutip Papadakis,
didasarkan pada keambiguan KHL 1982 di mana Tejada memasukkan instalasi dan
struktur sebagai bagian dari pulau buatan. Ia menjelaskan pulau buatan sebagai
berikut: “… all man made structure, installations, and other devices on the seas.”167
Penulis berpendapat bahwa definisi seperti ini semakin mengacaukan apa yang
dimaksud sebagai pulau buatan karena KHL 1982 dengan jelas membedakan
keberadaan tiga fitur buatan ini, yaitu pulau buatan, instalasi, dan struktur. Galea
mencatat keambiguan ini dengan menjelaskan adanya beberapa konsep yang
diselubungi oleh pulau buatan dengan memasukkan fitur-fitur buatan lain seperti,
perangkat (device), perlengkapan (equipment), dan mesin-mesin (machinery).168
Namun penulis juga mengamati adanya satu poin penting dari penjelasan Tejada,
yaitu pada kalimat kedua yang menyebutkan “… and which does not involve
changing or altering the natural configuration land territory, is not considered
an artificial island.” 169 Secara eksplisit, hal ini menerangkan kepada penulis
mengenai adanya kebutuhan untnuk merubah ‘natural configuration’ dari suatu
fitur alamiah seperti bebatuan karang untuk menjadi pulau buatan. Isu mengenai
luas dari rekayasa bebatuan karang menjadi pulau buatan juga diangkat oleh
Saunders yang mempertanyakannya sebagai berikut: “Are these artificial
166 Tejada, op.cit, h. 10 167 Ibid. 168 Galea, op.cit, h. 39 169 Supra note, Tejada, op.cit, h. 10
162
structures—perhaps now quite large and intended to be permanent—territory at
international law, notwithstanding the lack of accompanying territorial sea?”170
Mengenai perbedaan antara elevasi surut dan pulau, dalam sengketa Maritime
Delimitation and Territorial Question between Qatar and Bahrain yang
mempertanyakan status elevasi surut dari Qit’at Jaradah, pertama-tama mahkamah
menganalisa kondisi geografis dari Qit’at Jaradah sebagai suatu pulau yang sangat
kecil yang berada dalam jarak 12 mil laut dari masing-masing negara yang
bersengketa. Dalam penjelasan oleh Bahrain, saat berada pada kondisi pasang
Qit’at Jaradah memiliki panjang dan lebar sebesar 12 dan 4 meter, dan saat surut
panjang dan lebarnya adalah 600 dan 75 meter. Saat pasang, ketinggiannya dari
permukaan laut adalah 0.4 meter.171 Mengenai status dari Qit’at Jaradah, para pihak
bersepekat bahwa Qit’at Jaradah adalah Elevasi surut. 172 Dalam pandangan
mahkamah, hukum internasional tidak memberikan jawaban atas status elevasi
surut sebagai suatu wilayah.173 Oleh karena itu mahkamah memberikan jawaban
sebagai berikut:
“The few existing rules do not justify a general assumption that
low-tide elevations are territory in the same sense as islands. It
has never been disputed that islands constitute terra firma, and
are subject to the rules and principles of territorial acquisition;
the difference in effects which the law of the: sea attributes to
islands and low-tide elevations is considerable. It is thus not
established that in the absence of other rules and legal
principles, low-tide elevations can, from the viewpoint of the
acquisition of sovereignty, be fully assimilated with islands or
other land territory.”174
170 Imogen Saunders, The South China Award, Artificial Island and Territory, Australian Year Book
of International Law, Vol 34, 2016, h. 33 171 Qatar v. Bahrain, para. 197 172 Ibid, Para. 200 173 Ibid, Para. 205. 174 Ibid, para. 206
163
Mahkamah mendasarkan jawabannya atas prinsip yang diatur di dalam hukum laut
internasional bahwa elevasi surut yang berada di luar batas laut teritorial tidak
memiliki laut teritorial untuk dirinya sendiri. Mahkamah kemudian menegaskan
sebagai berikut:
“The law of the sea does not in these circumstances allow
application of the so-called “leapfrogging” method. In this
respect it is irrelevant whether the coastal State has treated such
a low-tide elevation as its property and carried out some
governmental acts with regard to it; it does not generate a
territorial sea.”175
Keberadaan elevasi surut harus difungsikan sebagaimana hukum laut internasional
mengatur keberadaan fitur maritim ini di mana elevasi surut hanya dapat digunakan
sebagai basis peletakkan titik garis pangkal lurus zona maritim negara pantai
apabila terdapat mercusuar yang dibangun di atasnya yang mana hal ini
merefleksikan hukum kebiasaan internasional yang membentuk norma ini.176
Lalu terhadap modifikasi fitur alamiah yang dilakukan dengan reklamasi
daratan, di dalam perkara South China Sea Arbitration antara Filipina dan Cina,
mahkamah berargumen bahwa Kepulauan Spratly adalah bebatuan karang (rocks)
yang tunduk pada Pasal 121 ayat (3) KHL 1982.177 Mahkamah memperhatikan
keberadaan ‘artificial population’ yang berada di atas beberapa fitur maritim di
kepulauan tersebut tidak dapat menciptakan klaim zona maritim karena hal tersebut
tidak didasarkan atas itikad yang baik dalam mengelola zona ekonomi eksklusifnya
di mana mahkamah berpendapat sebagai berikut:
“The introduction of the exclusive economic zone was not
intended to grant extensive maritime entitlements to small
features whose historical contribution to human settlement is as
slight as that. Nor was the exclusive economic zone intended to
encourage States to establish artificial populations in the hope of
175 Ibid, para. 207 176 Ibid, para. 208. 177 South China Sea Arbitration, para. 554, 560, 563, 566, & 569.
164
making expansive claims, precisely what has now occurred in the
South China Sea.”178
Dalam konteks mengenai pulau, bebatuan karang, dan elevasi surut, mahkamah
berpendapat sebagai berikut: “Just as a low-tide elevation or area of seabed cannot
be legally transform into an island through human efforts, the tribunal considers
that a rock cannot be transformed into a fully entitled island through land
reclamation. The status of features must be assessed on the basis of its natural
condition.” 179 Mahkamah juga mengkritik kemajuan teknologi sebagai dasar
negara untuk menciptakan pulau buatan dengan menjelaskan sebagai berikut:
“If States were allowed to convert any rock incapable of
sustaining human habitation or an economic life into a fully
entitled island simply by the introduction of technology and
extraneous materials, then the purpose of Article 121(3) as a
provision of limitation would be frustrated. It could no longer be
used as a practical restraint to prevent States from claiming for
themselves potentially immense maritime space.”180
Dan kemudian, mahkamah memperhatikan bahwa keberadaan fitur maritim harus
memperhatikan ‘natural condition’ dari fitur alamiah ini dimana mahkamah
menjelaskan sebagai berikut:
“In such circumstances, the Tribunal considers that the
Convention requires that the status of a feature be ascertained on
the basis of its earlier, natural condition, prior to the onset of
significant human modification, taking into account the best
available evidence of the previous status of the high-tide features,
before intensive modification.”181
Merekayasa fitur alamiah menjadi pulau buatan tidak dimungkinkan secara
normatif maupun dalam yurisprudensi pengadilan internasional yang tidak
memberikan justifikasi bagi negara pantai untuk memodifikasi elevasi surut
maupun bebatuan karangnya untuk dapat dihuni oleh manusia. Dalam kritiknya
178 Ibid, para. 621 179 Ibid, para. 508. 180 Ibid, para, 509 181 Ibid, para. 511
165
terhadap putusan Mahkamah Arbitrasi Internasional, Saunders mengkritik
pertimbangan mahkamah pengadilan internasional yang tidak menggunakan
kesempatan ini untuk mengembangkan diskursus terkait dengan keberadaan pulau
buatan. 182 Penulis memiliki pendapat yang sama dengan Saunders di mana
kemampuan pulau buatan untuk turut menikmati zona maritim harus mengalami
kritik yang mampu mengembangkan konsep pulau buatan di dalam rezim hukum
laut internasional. Menyelesaikan diskusi mengenai keberadaan pulau buatan hanya
dalam batasan limitatif yang diatur di dalam Pasal 13 ayat (1), Pasal 60 ayat (8),
dan Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 tidak akan dapat mengembangkan konsep dan
doktrin hukum laut internasional. Konsep pulau buatan menciptakan harapan baru
bagi negara-negara yang terdampak pemanasan global maupun negara-negara kecil
yang tidak memiliki daratan yang cukup untuk mengembangkan kemampuan
ekonomi negaranya. Oleh karena alasan itu, analisa terhadap modifikasi fitur
alamiah menjadi titik pangkal yang fundamental—bukan dalam rangka untuk
memberikan diskresi yang tidak berdasar bagi negara-negara untuk membangun
pulau buatannya di wilayah laut manapun—tetapi atas dasar-dasar humanis demi
kepentingan negara yang membutuhkan keberadaan pulau buatan.
Dalam menganalisa modifikasi fitur alamiah ini, penulis berpendapat bahwa
pulau buatan yang dibangun di atas fitur alamiah memiliki tiga konsekuensi hukum
sebagai akibat dari berlakunya KHL 1982, yaitu sebagai berikut:
Skenario pertama
Keberadaan pulau buatan tidak merubah status ‘natural condition’ dari
fitur alamiah ini karena batasan yang ditetapkan oleh Pasal 121 ayat (3)
182 Imogen Saunders, op.cit, h. 38-39
166
membuatnya tidak menikmati zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen
dan hanya menikmati zona laut teritorial dan zona lanjutan.
Skenario kedua
Keberadaan pulau buatan merubah status ‘natural condition’ dari fitur
alamiah ini karena batasan yang ditetapkan oleh Pasal 60 ayat (8) KHL 1982
membuatnya tidak dapat menikmati hak laut teritorial, zona lanjutan, zona
ekonomi eksklusif, dan landas kontinen dan hanya memiliki zona
pengamanan selebar 500 meter.
Skenario ketiga
Rekayasa fitur alamiah menjadi pulau buatan memiliki status yang berbeda
dari fitur-fitur lain seperti bebatuan karang, elevasi surut, dan pulau alamiah
sehingga hal tersebut menciptakan konsekuensi yang berbeda dari pada
yang telah diatur di dalam KHL 1982.
Dan dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa rekayasa terhadap fitur alamiah
menjadi pulau buatan, yang merupakan fitur buatan, memiliki status yang berbeda
dan tidak dapat dipersamakan dengan keberadaan bebatuan karang dan elevasi
surut. Tetapi hal ini tidak dapat menjadi dasar bahwa penulis mendukung argumen
bahwa pulau buatan dapat menikmati hak zona maritim. Penulis berada pada posisi
bahwa pada dasarnya fitur artifisial tidak dapat menikmati hak zona maritim. Hal
ini untuk mencegah potensi pelanggaran hak negara pantai atas pembangunan pulau
buatan yang dibangun di posisi manapun di wilayah maritimnya. Apakah hal ini,
dengan demikian, menjadi legitimasi bagi penulis untuk dengan tegas berargumen
bahwa pulau buatan tidak dapat menikmati zona maritim? Penulis berpandangan
bahwa isu ini harus diperhadapkan pada kebutuhan negara pantai atas potensi pulau
167
buatan untuk mengembangkan negaranya meskipun pada praktiknya pembangunan
pulau buatan membutuhkan biaya yang amat besar, tetapi hal ini tidak menutup
kemungkinan terhadap keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan pulau buatan
oleh negara pantai.
Mengingat beberapa faktor seperti dilema yang dihadapi dalam Pasal 121 ayat
(3) KHL 1982, ketidakmampuan fitur-fitur buatan untuk menikmati zona maritim
dalam Pasal 60 ayat (8) KHL 1982, ketiadaan definisi dan perbedaan secara
normatif terhadap keberadaan pulau alamiah dan pulau buatan, penulis menyadari
bahwa, pertama-tama, usaha untuk mendefinisikan pulau buatan adalah tidak dapat
menjangkau ranah teoritis maupun filosofis seperti layaknya bagaimana yuris
internasional pada abad 17 merangkai diskurus fundamental terhadap eksistensi
hukum laut internasional. Meski kita membutuhkan definisi terhadap pulau buatan,
penulis berpendapat bahwa hal ini akan memperpanjang rangkaian diskursus yang
tidak akan menghasilkan kesimpulan yang memberikan jawaban terhadap isu ini.
Oleh karena itu penulis menawarkan usulan untuk mengonsentrasikan pembahasan
definitif itu pada unsur-unsur pembeda yang dapat menerangkan secara konseptual
definisi pulau buatan.
Terkait dengan hal ini, penulis berpendapat bahwa agar rekayasa fitur alamiah
dapat disebut sebagai pulau buatan, syarat limitatif yang diatur secara eksplisit
dalam Pasal 121 ayat (3) KHL 1982 harus dimiliki oleh pulau buatan di mana hal
ini akan menjadi unsur pembeda yang membedakannya dengan instalasi dan
struktur yang diatur di dalam Pasal 56 ayat (1) huruf (b) dan Pasal 60 ayat (1) KHL
1982. Adapun syarat limitatif tersebut adalah: pertama, kemampuan suatu fitur
untuk dapat dihuni oleh manusia; kedua, kemampuan suatu fitur agar dapat
168
memiliki atau menyokong kehidupan ekonominya sendiri. adapun alasan penulis
mengapa penulis berpandangan seperti ini adalah:
Perkembangan teknologi memungkinkan manusia hidup dan
membangun komunitas masyarakat di atas pulau buatan dan
memungkinkan pulau buatan memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri.
Urgensi negara-negara pulau kecil terhadap ancaman pemanasan global
yang meningkatkan permukaan laut secara signifikan di mana hal ini
dapat menenggelamkan negara-negara ini.
Lalu bagaimana dengan proses delimitasi zona maritim yang diakibatkan dari
reklamasi daratan yang dilakukan di atas fitur-fitur maritim ini? Penulis dalam hal
ini berargumen bahwa fitur maritim yang dapat direkayasa menjadi pulau buatan
adalah fitur maritim yang berada di dalam zona laut teritorialnya. Hal ini berarti
negara pantai hanya memiliki kewenangan untuk merekayasa fitur maritim yang
berada pada jarak maksimul 12 mil laut. Penulis dengan tegas menolak rekayasa
fitur maritim menjadi pulau buatan apabila rekayasa tersebut tidak dilaksanakan di
dalam zona laut teritorialnya.
Lalu bagaimana dengan rekayasa fitur maritim menjadi pulau buatan yang
dibangun di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinennya? Penulis berargumen
bahwa segala aktivitas pembangunan pulau buatan di dua zona ini bertentangan
dengan hukum laut internasional dengan alasan bahwa negara pantai hanya
memiliki hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam hayati dan non-
hayati di zona ini. Negara pantai hanya memiliki kedaulatan di dalam laut teritorial,
laut pedalaman, dan laut kepulauan. Segala aktivitas negara pantai yang dapat
169
menciptakan kedaulatan di luar tiga zona ini adalah bertentangan dengan hukum
laut internasional.
Kritik berikutnya adalah, bagaimana dengan kewenangan negara pantai untuk
membangun pulau buatan di laut lepas yang diatur di dalam Pasal 87 KHL 1982
yang mengatur prinsip Freedom of the High Seas? Penulis berargumen bahwa
dikarenakan unsur pulau buatan yang penulis jelaskan memiliki status yang berbeda
dengan pulau buatan yang ditentukan oleh KHL 1982, penulis berargumen bahwa
negara pantai tidak memiliki hak untuk menciptakan kedaulatan di laut lepas karena
hal ini akan bertentangan dengan prinsip Freedom of the High Seas di dalam Pasal
89 KHL 1982 yang tidak memberikan kewenangan kepada negara pantai untuk
menguasai wilayah laut lepas. Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa negara
pantai hanya dapat membangun fitur buatan seperti instalasi dan struktur. Penulis
tetap berada pada posisi untuk mempertahankan batasan yang telah ditentukan
dalam Pasal 60 ayat (8) KHL 1982 yang tidak memberikan hak kepada fitur-fitur
buatan untuk menikmati hak zona maritim seperti laut teritorial, zona lanjutan, zona
ekonomi eksklusif, dan landas kontinen.
Dan kritik terakhir, apakah rekayasa fitur alamiah menjadi pulau buatan
mempengaruhi proses delimitasi zona maritim negara pantai? Apakah rekayasa ini
memiliki status yang sama terhadap keberadaan mercusuar yang dibangun di atas
elevasi surut yang diatur di dalam Pasal 7 ayat (4) KHL 1982? Penulis berargumen
bahwa proses delimitasi negara pantai yang diakibatkan dari rekayasa fitur alamiah
tidak merubah status delimitasi zona maritim negara pantai karena penulis berada
pada posisi bahwa negara pantai memiliki kewenangan untuk membangun pulau
buatan di dalam zona laut teritorial saja dan tidak memberikan kewenangan kepada
170
negara pantai untuk membangun pulau buatan di luar wilayah ini. Mengenai
perbedaan antara rekayasa fitur alamiah menjadi pulau buatan ini dengan fungsi
mercusuar yang dibangun di atas elevasi surut agar elevasi surut dapat digunakan
sebagai basis penghitungan garis pangkal lurus, penulis berpandangan keberadaan
pulau buatan adalah berbeda dengan keberadaan mercusuar. Keberadaan pulau
buatan utamanya adalah untuk dihuni oleh manusia dan fungsi mercusuar adalah
untuk membantu proses navigasi kapal yang berlayar di atas laut. Penulis
berpandangan bahwa, sebagai konsekuensi kewenangan negara untuk membangun
pulau buatan di laut teritorialnya, pembangunan pulau buatan tidak dapat dijadikan
alasan bagi negara pantai untuk merekontruksi ulang zona maritimnya.