bab iv makna pelaksanaan ritual tiris sopi bagi...
TRANSCRIPT
BAB IV
MAKNA PELAKSANAAN RITUAL TIRIS SOPI BAGI KEHIDUPAN
MASYARAKAT ROMKISAR
A. Mendeskripsikan Upacara Perkawinan Adat Ritual Tiris Sopi
Ritual tiris sopi merupakan salah satu bentuk adat perkawinan di desa
Romkisar. Yang menjadi penekanan utama yaitu pada ritus atau tindakan yang
terkandung dalam ritual tersebut. Artinya nilai sopan santun atau menghargai,
menghormati yang muncul dari ritual tiris sopi tersebut sangat dipriotaskan. Begitu
pula melalui tiris sopi dapat menjadi sebuah media untuk membentuk kehidupan
yang harmonis antara orang basudara yang mungkin saja sementara ada dalam
sebuah pertengkaran dan lebih khusus bagi pasangan yang baru saja menikah. Nilai
atau makna yang terkandung dalam adat tiris sopi tidak terletak pada sopi yang ditiris
dan kemudian diminum, melainkan untuk memperkuat tatanan kehidupan orang
basudara agar tetap terpelihara.
Nilai sopan santun, saling menghormati dan menghargai yang lahir dari adat
tiris sopi ini, bagi penulis merupakan suatu kontribusi positif yang patut untuk
diterapkan dalam membangun sebuah bingkai kebersamaan ketika ada dalam sebuah
persekutuan keluarga, dan masyarakat, konflik, perselisihan, perbedaan pemahaman
bukan hanya mewarnai hubungan persekutuan keluarga saja, tetapi juga persekutuan
bermasyarakat apalagi dalam kehidupan bermasyarakat, masalah perbedaan lebih
kompleks lagi. Perbedaan yang harmonis, persaudaraan yang mampu melihat dan
menyelesaikan persoalan secara kekeluargaan penting sekali untuk menjadi bagian
hidup bermasyarakat yang hidup dalam sebuah kebudayaan. Sebab bagaimana
mungkin masyarakat sebagai sebuah persekutuan yang bertumbuh dan berkembang,
79
apabila tidak dilandasi dengan nilai-nilai yang timbul dari makna ritual tiris sopi,
sehingga dapat membentuk rasa kekeluargaan yang saling memberi dan menerima.
Dengan demikian makna tiris sopi sebagai alat atau sarana yang dapat memberikan
kontribusi positif harus betul lahir dalam kehidupan suami istri yang baru menikah.
Apalagi dalam kehidupan masyarakat yang heterogen, tentu tidak dapat dipungkiri
ada berbagai perbedaan antara satu dengan yang lain. Sehinggan sangat diharapkan
ada sebuah keyakinan terhadap nilai-nilai yang muncul untuk memperkaya rasa
kebersamaan dalam menjalani sebuah kehidupan soaial.
Pada Bab II telah penulis paparkan teori perkawinan dan teori ritus yang akan
mendasari analisis pada bab ini. Menurut Malinowski1 bahwa, kekuatan yang
terkandung dalam ritus dapat membuat orang patuh dari generasi ke generasi
terhadap apa yang diyakini, yang mengandung nilai-nilai sakral, yang di mana
Malinowski menyebutnya sebagai supranatural. Sehingga melalui pemahaman
tersebut, maka berdasarkan hasil temuan dilapangan penulis menemukan masyarakat
Romkisar memaknai ritual tiris sopi sebagai berikut:
1. Tiris sopi adalah serangkaian ritual adat yang dilakukan sebagai bentuk
penghargaan terhadap leluhur. Tete nene moyang atau leluhur sebagai yang di
“hormati” karena berjasa dalam menata negeri atau desa dengan berbagai norma, dan
nilai yang dikemas dalam adat sebagai peraturan yang harus ditaati. Hal ini terlihat
dengan dilakukannya ritual tiris sopi dalam perkawinan adat di Romkisar. Bagi
masyarakat Romkisar penghargaan kepada leluhur atau tete nene moyang memiliki
suatu prasyarat yang begitu penting, yaitu adanya suatu keyakinan bahwa
1J. Van Baal, Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya; Jilid 1, (Jakarta: Gramedia,
1987), 105.
80
sesungguhnya orang yang telah meninggal masih hidup dalam bentuk yang lain dan
dia mempunyai hubungan sosial dengan orang-orang yang hidup, serta memiliki
sifat-sifat ilahi dan senantiasa memperhatikan dan memelihara keturunannya. Karena
itu penghargaan terhadap leluhur atau tete nene moyang yang telah meninggal masih
mempunyai wewenang terhadap keturunannya, baik itu dalam bentuk memberi
berkat maupun dalam bentuk hukuman (kutukan). Jadi leluhur atau orang-orang yang
telah meninggal dikuatkan lagi melalui kematiannya menjadi roh yang bisa
menolong tetapi juga bisa mencelakakan orang yang masih hidup.
2. Tiris sopi sebagai salah satu cara masyarakat Romkisar dapat mengahayati
kehidupan kolektif atau kehidupan bergotong royong serta membangun kekerabatan
dengan keluarga dan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dimana pada saat ada anggota
keluarga atau masyarakat yang mau menikah, maka keluarga, kerabat dan
masyarakat datang untuk membantu, memberikan sumbangan, seperti; babi, sopi,
beras, dan lain-lain, serta turut hadir dalam upacara perkawinan adat saat itu. Di
mana dalam upacara perkawinan ini seluruh keluarga dan kenalan diberitahu yang
berada di desa-desa tetangga bahkan sampai ke pulau seberang. Sehingga
keterlibatan seluruh keluarga bertujuan untuk mempererat hubungan kekeluargaan.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ter Haar2 bahwa, upacara
perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan
martabat dan urusan pribadi, satu sama lain dalam hubungannya yang berbeda-beda.
Dengan melakukan upacara adat perkawinan berarti semakin mempererat hubungan
kekerabatan anatar seluruh keluarga. Hubungan kekerabatan ini ditunjukan dalam
bentuk keikutsertaan seluruh keluarga dalam upacara adat perkawinan dan
2 Ter Haar Ben, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat: Terjemahan Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Pradnja Paramita, 1985), 158.
81
penyelesaian perselisihan dalam keluarga. Sehingga melalui upacara perkawinan
yang dilakukan dapat mendorong masyarakat Romkisar melalukan dan menaati
tatanan sosial dalam kehidupan setiap hari. Begitu pula, menurut Van Gennep yang
dikutip oleh Johannes Supriyono3 bahwa, ritus yang diadakan secara kolektif
berfungsi agar masyarakat disegarkan dan dikembalikan akan pengetahuan dan
makna-makna kolektif, terkhusus makna realitas dalam masyarakat (makna sosial).
Ritus memberikan motivasi dan nilai pada tingkat yang paling dalam. Oleh sebab itu,
upacara mempunyai peran dalam masyarakat, antara lain: menghilangkan konflik,
mengatasi perpecahan dan membangun solidaritas masyarakat, menyatukan prinsip
yang berdeda-beda dan memberi motivasi serta kekuatan baru untuk hidup dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam masyarakat Romkisar ketika ada
perselisihan dalam keluarga maka semua keluarga diharuskan untuk
menyelesaikannya secara bersama melalui upacara tiris sopi sehingga melalui tiris
sopi ini keluarga yang masih berselisih akan kembali bersama mambangun hubungan
kekeluargaan dengan saling memaafkan satu dengan yang lain.
Kehadiran seluruh keluarga dan masyarakat dalam upacara perkawinan adat,
itu berarti ada solidaritas yang dibangun bersama yaitu tolong menolong dalam
kekerabatan yang tercipta ditengah-tengah keluarga, maupun masyarakat. Dimana
semua lapisan masyarakat sama-sama terlibat dalam upacara perkawinan adat, baik
itu pihak gereja, pemerintah dan masyarakat. Keterlibatan semua lapisan masyarakat
dalam perkawinan adat ini dapat memperlihatkan adanya hubungan kebersamaan
yang dibangun secara bersama antara keluarga yang berbahagia dengan semua
3 Johannes Supriyono, “Paradigma Kultural Masyarakat Durkheimian,” in Teori-Teori
Kebudayaan, ed. Mudji Sutrisno and Hendar Putranto (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 96-97.
82
masyarakat, yang pada dasarnya adalah bahwa semua akan saling mengasihi,
menghormati, tolong menolong dalam susah maupun senang atau suka maupun duka.
3. Tiris sopi sebagai bentuk ungkapan terima kasih. Dari pelaksanaan upacara
perkawinan adat, tiris sopi mengungkapkan bahwa setiap orang harus mempunyai
rasa terima kasih terhadap keluarga, kerabat yang telah menolong. Terima kasih
dalam pemahaman masyarakat Romkisar adalah suatu cara yang dilakukan untuk
membalas budi terhadap kebaikan, kerelaan dari masyarkat yang membantu keluarga
yang melangsungkan adat perkawinan mereka. Ucapan terima kasih tidak hanya
disampaikan dalam bentuk kata-kata, tetapi juga disertai dengan makan bersama
dalam keluarga dan membagi sisa material yang digunakan saat perkawinan tersebut.
Sehingga melalui tiris sopi ini kepercayaan yang dibangun berupa ritus atau tindakan
merupakan simbol yang mempersatukan keluarga, kelompok serta berfungsi untuk
meningkatkan kesatuan di dalam masyarakat yang memiliki adat dan budaya.
Oleh karena itu dalam pandangan penulis, bagi masyrakat Romkisar ritual tiris
sopi mesti dilihat sebagai warisan dari leluhur yang perlu dijaga dan dilestarikan,
sebab bagi mereka ritual tiris sopi ini bukan ada pada zaman mereka disaat ini, tetapi
sudah ada sejak zaman dahulu oleh sebab itu ritual atau upacara perkawinan adat ini
harus tetap dilestarikan oleh generasi. Sehingga tujuan umum dari pelaksanaan ritual
adat tiris sopi adalah untuk membentuk individu, kelompok maupun masyrakat yang
berbudi luhur. Secara khusus adat tiris sopi dilakukan sebagai wujud penghargaan
terhadap leluhur. Menurut Koentjaraningrat4 bahwa rasa cinta, hormat dan bukti
adalah pendorong bagi manusia untuk melakukan berbagai perbuatan yang bertujuan
ancaman dengan dunia gaib. Upacara tiris sopi ini dimaksudkan untuk mencapai
4 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2003), 76.
83
kehidupan yang tentram dan sejahtera, diberi kemudahan dalam memenuhi
kebutuhan hidup baik dalam rumah tangga, keluarga, kelompok maupun diantara
masyarakat. Selain itu tiris sopi juga dimak sudkan untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan, dijauhkan dari malapetaka yang dikhawatirkan akan menimpa
keluarga, masyarakat apabila tidak dilaksanakan.
Selain kegunaan sopi yang disakralkan guna kelangsungan ritual adat di
Romkisar, maka sopi yang adalah minuman beralkohol ini, juga telah ada sejak dulu
kalah dan merupakan warisan leluhur. Adapun tujuan diciptakannya sopi ini adalah
untuk membantu kebutuhan manusia, dan inilah yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat Maluku Barat Daya (Romkisar) ketika menciptakan sopi mengingat
terisolasinya pulau Maluku Barat Daya zaman dahulu, maka sopi bukan hanya
sekedar dipakai sebagai alat pemenuhan kebutuhan sehari-hari, tetapi juga dipakai
sebagai alat untuk merekonsiliasi sebuah permasalahan. Dengan kandungan yang
dalam alkohol sendiri, bisa memberi dampak positif dan negatif bagi manusia
sebagai pengkonsumsi. Sebagai masyarakat yang sudah tersentuh dengan kemajuan
zaman, mayarakat Romkisar sendiri memahami dampak yang diakibatkan oleh sopi
tersebut.
Walaupun demikian sopi tetap menjadi sesuatu yang sangat penting dalam
kehidupan mereka. Hal ini terbukti dengan sebotol sopi bisa menyelesaikan
permasalahan dalam kehidupan mereka. Dengan demikian bagi mereka, makna sopi
dipakai sebagai media rekonsiliasi dalam kehidupan mereka, sopi sendiri bukan
sekedar sebuah minuman, tetapi sopi adalah alat yang disakralkan dalam kehidupan
mereka. Hal ini sudah merupakan sebuah tradisi yang telah dipelihara sejak dari
leluhur mereka sampai saat ini.
84
Ketika orang melihat sopi itu dari sisi negatifnya, maka masyarakat Romkisar
justru sebaliknya melihat sopi dari sisi positifnya. Bagi mereka minuman berkadar
alkohol ini bukan semata-mata minuman yang memiliki dampak negatif dan positif
bagi tubuh manusia. Namun lebih dari itu, sopi merupakan sesuatu yang sangat
sakral dalam kehidupan mereka karena minuman tersebut memiliki banyak fungsi,
dan hal tersebut sudah menjadi tradisi mereka secara turun temurun.
Pada akhirnya minuman beralkohol ini mempunyai arti yang berbeda bagi
banyak orang tergantung dari sudut pandang mereka menilainya. Hal ini bisa terlihat
dalam kehidupan masyarakat Romkisar yang membuktikan bahwa tidak selamanya
minuman beralkohol (sopi) memiliki kesan yang buruk sehingga fungsi dari
minuman dan simbol-simbol dari budaya sangat ditentukan oleh pemakaiannya
dalam tradisi budaya tertentu.
Sopi telah berada dalam illegal pemerintah atau negara, namun minuman sopi
ini telah berakar dalam kehidupan masyarakat Romkisar. Sopi hadir dalam banyak
upacara atau pesta-pesta adat. Dalam keseharian pun sopi selalu hadir misalnya,
ketika ada yang datang bertamu di rumah, dan tidak ada gula untuk disuguhkan maka
sopilah yang akan disuguhkan oleh tuan rumah sebagai tanda solidaritas dan itu juga
telah merupakan tradisi masyarakat Romkisar.
Sehingga hal-hal tersebut yang mungkin membuat pemerintah dilema unuk
menertibkan sopi tersebut. Ada rencana pemerintah daerah untuk melegalkan,
tujuannya untuk mengontrol produksinya. Sebab sopi yang beredar saat ini di
masyarakat mempunyai kandungan alkohol di atas 30% sehingga sopi masuk ke
dalam minuman keras. Pada akhirnya, ada yang minum berlebihan sehingga mabuk
85
dan tidur di jalanan, tiris-tiris rumah, dan terjadi pula keributan atau kekacauan antar
kelompok bahkan antar keluarga.
Walaupun terus disita aparat kepolisian, tetap saja sopi masih dikonsumsi dan
digemari masyarakat. Karena banyaknya permintaan maka produksinya tak pernah
berhenti. Di desa Romkisar yang merupakan salah satu agen sopi yang masih
memproduksikan sopi secara masal, bahkan di pualu-pulau, banyak titik-titik lokasi
di tengah hutan yang masih memproduksi sopi secara tradisional. Kualitas sopi itu
berbeda-beda, tergantung dari cara pengolahan atau pemasakannya, sekali
penyulingan menghasilkan dua jerigen atau 10 liter/hari yang dijual seharga kurang
lebih Rp.200.00. per jerigen.
Maka tidak heran jika banyak pembuat sopi bisa menyekolahkan anak atau
keluarganya sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Boleh dikatakan melalui sopi lahir
para sarjana, magister, doctor, bahkan professor karena orang tua mereka
menyekolahkan anak-anak mereka dengan hasil berjualan sopi. Banyak di tengah-
tengah hutan sopi masih terus diproduksi, sopi memang dipandang illegal oleh
pemerintah, tetapi keberadaannya tetap dibutuhkan untuk memutar roda ekonomi
masyarakat Romkisar dan juga karena sopi telah berakar dalam kehidupan
masyarakat setempat.
B. Berteologi Dalam Konteks Budaya
Dalam penulisan ini, penulis mengangakat beberapa nilai dasar dari tiris sopi
untuk disistimatisasikan dalam pikiran-pikiran teologi kontekstual. Antara lain: tiris
sopi sebagai media dalam pembentukan karakter masyarakat Romkisar terlebih
khususnya muda-mudi dalam perkawianan adat. Oleh sebab itu, mengapa harus
menggunakan teologi kontekstual, atau alasan-alasan mendasar dalam membangun
86
dan mengembangkan teologi kontekstual di Maluku Barat Daya, khususnya di desa
Romkisar yang didukung oleh gereja dalam hal ini majelis jemaat Romkisar.
Teologi dan berteologi adalah dua hal yang harus dipetakan secara jelas, karena
dapat berhubungan dengan kreatifitas seseorang atau kelompok. Teologi pada
hakekatnya kontekstual, sebab teologi biasanya dibangun dan dikembangkan terkait
dengan konteks khusus. Stephen B. Bevans mendefinisikan teologi kontekstual
sebagai suatu cara berteologi (the way of doing theology) yang mengangkat semangat
dan pesan Injil; serta tradisi masyarakat Kristen dan budaya suatu masyarakat yang
dari dalamnya seseorang berteologi. Bevans selanjutnya menjelaskan bahwa
berteologi kontekstual bukanlah sebuah pilihan melainkan sebuah perintah teologis
(theological imperative).5
Gereja dalam hal ini majelis jemaat perlu menyadarkan dan memperlengkapi
umat sebagai subjek bertelogi dengan perangkat pengetahuan praktis yang
membentuk atau memberi kepekaan terhadap nilai-nilai moral, menghormati
lembaga keluarga dan melindungi kemanusiaan. Gereja dapat melakukan
pemahaman Alkitab bersama umat tentang pentingnya budaya sebagai suatu
keutuhan hidup dalam lingkup gereja dan masyarakat. Gereja perlu merefleksikan
sanksi adat berdasarkan terang Injil sehingga masyarakat Romkisar tidak kehilangan
identitas sebagai masyarakat adat yang melestarikan warisan leluhur dan juga tidak
kehilangan identitas sebagai masyarakat beriman. Keduanya menjadi satu paket yang
komplit bagi kehidupan bersama yang harmonis, gereja mesti mengembangkan adat
yang benar dan dengan sadar berani mempertahankan nilai-nilai dalam tradisi,
budaya tiris sopi di Romkisar.
5 Stephen B. Bevans, Models of Contextual Theology, (New York: Orbis Books, 1996), 1.
87
Berteologi dalam budaya tiris sopi adalah upaya menerjemahkan realitas sosial
masyarakat Romkisar dan memberi respons terhadap penyataan Allah di dalam
seluruh pengalaman dan aktifitas hidup masyarakat Romkisar. Penyataan Allah yang
dimaksud disini ada di dalam budaya dan pengalaman sosial komunitas masyarakat
Romkisar. Penyataan Allah itu ada di dalam seluruh tindakan masyarakat dan
membimbing tindakan itu untuk mencapai tujuan ideal. Dalam hal ini, Allah
menggunakan tiris sopi sebagai media untuk menyatakan kehadiranNya.6 Berteologi
dalam konteks budaya tiris sopi, berarti menjawab penyataan Allah, yaitu sejauh
Allah menyatakan diriNya, kepada masyarakat Romkisar melalui aktivitas sesehari
mereka khususnya melalui praktek tiris sopi, karena aktivitas Allah tidak terikat
dengan ruang dan waktu7.
Terkait dengan apa yang dijelaskan diatas, maka teologi yang digunakan untuk
menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat Romkisar terkait dengan tiris sopi
harus kontekstual (sesuai konteks). Tiris sopi di Romkisar mengharuskan kita
memahami secara komprehensip realita kebudayaan itu sendiri. Tiris sopi adalah
basis teologi kontekstual di Romkisar. Membangun teologi kontekstual dengan
konsep tiris sopi berarti kita melakukan sebuah kegiatan eksistensial, sebab
berteologi adalah kegiatan yang melibatkan manusia dengan seluruh eksistensinya
dalam konteks hidup setiap hari. Aktifitas masyarakat Romkisar melaluit iris sopi
adalah cara mereka berteologi. Melalui tiris sopi karakter mereka dibentuk untuk
hidup saling menghargai dan mengasihi sebagaimana yang diajarkan oleh Tuhan
Yesus.
6 Judo Poerwowidagdo, Mengkomunikasi Injil Melalui Lambang-Lambang dan Citra-Citra
Indonesia Dahulu dan Sekarang: Dalam Berteologi Lewat Lambang-Lambang dan Citra-Citra Rakyat (Jakarta: Buletin Persetia 1992), 123.
7Poerwowidagdo, Mengkomunikasi Injil Melalui Lambang-Lambang,124.
88
Tiris sopi adalah media pembentukan karakter masyarakat Romkisar yang
tercermin dalam nasihat-nasihat yang disampaikan oleh tua-tua adat kepada muda-
mudi pada umumnya dan pasangan suami istri pada khususnya. Coan. S. Song
mengatakan bahwa Allah hadir di dalam seluruh eksistensi hidup manusia. Allah
bekerja bersama-sama dengan manusia termasuk di dalam aktivitas tiris sopi8. Tanpa
tiris sopi kemanusian masyarakat Romkisar tidak berarti. Melalui tiris sopi harus
didasarkan pada pengakuan bahwa tanpa Allah, maka tidak ada tiris sopi, karena adat
istiadat termasuk tiris sopi adalah pemberian Allah. Bagi Bevans, untuk memahami
suatu budaya harus didasarkan pada pemahaman bahwa, segala sesuatu yang
dikerjakan manusia berada di dalam otoritas Allah. Tanpa Allah, manusia tidak dapat
melakukan aktivitas.9
Masyarakat Romkisar memiliki kekhasan budaya yang tercermin dalam
bahasa, yang diucapkan dalam tiris sopi dan ini merupakan budaya yang harus dijaga
dan dilestarikan. Dari sini pula kita dapat melihat betapa masyarakat Romkisar
memiliki dinamika pergumulan dengan budaya lokal, juga dengan masala-masalah
kemanusian, dan alam yang ada di sekitarnya. Kenyataan ini mesti disikapi secara
teologis. Disinilah pentingnya gereja dalam hal ini majelis jemaat untuk menghadapi
dan menjawab problematika riel masa kini. Sehingga budaya ritual tiris sopi ini perlu
didukung oleh majelis jemaat Romkisar.
Tiris sopi menggambarkan konsep kebudayaan masyarakat Romkisar secara
utuh. Berbagai ekspresi yang mencuat dalam komunikasi kultural masyarakat
Romkisar tidak dapat dipisahkan dari nilai dasar (basic value)tiris sopi itu sendiri.
8 Coan.S Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami, Teologi Cerita Dari Perspektif Asia, (Jakarta:
Gunung Mulia, 2001), 50. 9Bevans, Models Of Contextual Theology, 12.
89
Ungkapan-ungkapan seperti: Mliola la a mli la a kukum limu mtoom permu mhoru
plola mtau mneneha loi kalwiedon talla paitiota. Artinya: Dalam perjalanan hidup
haruslah engkau sopan santun, hidup sesuai aturan jalan yang benar.10
Nasihat seperti
ini sangat menyentuh rasa kultural dan mengintegrasikan ke dalam konsekuensi
tanggung jawab kultural ditengah masyarakat Romkisar yang berbudaya. Nilai dasar
tiris sopi itu sendiri merupakan produk refleksi sosio-historis terhadap seluruh
realitas sosial dan pengalaman masyarakat Romkisar.
Hal yang sama juga dapat dilihat dalam komunitas masyarakat Yahudi,
menurut kesaksian Alkitab. Suku-suku Yahudi yang kemudian menamakan dirinya
sebagai Israel, terikat dalam latar belakang budaya yang sama. Bahwa mereka adalah
orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dari sisi geneologis dan biologis.
(band. Cerita tentang Abraham, Ishak dan Yakub).11
Dengan demikian dalam
merekonstruksi realitas kesukuan Isreal adat-istiadat juga menjadi spirit untuk
membangun kebersamaan di dalam masyarakat Israel.
Tiris sopi sebagai media pembentukan karakter masyarakat Romkisar bila
diteliti secara baik, menjadi fondasi-fondasi pemahaman dan etika beragama di
Romkisar. Hal ini menunjukan kesadaran berpikir dan bertindak dari masyarakat
Romkisar. Kata-kata nasihat yang disampaikan orang tua kepada anak melalui tiris
sopi memiliki relevansi dengan kata-kata nasihat yang terdapat di dalam Amsal 1: 8
“Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran
ibumu” secara implisit, ungkapan nasihat ini berisi ajaran moral kepada anak-anak
agar hidup sesuai dengan kehendak Tuhan yaitu menghormati orang tua sebagai
mandataris Allah.
10
Hasil Wawancara dengan Bpk. Y.K, (Saniri Barat), 16 April 2016. 11
Wismoadi Wahono, Disini Kutemukan, (Jakarta: Gunung Mulia, 1993), 170.
90
Bagi penulis tiris sopi juga bisa menjadi format baru bagi teologi agama-agama
dalam konteks Romkisar. Sebab berbicara tentang tiris sopi berarti berbicara tentang
sebuah proses kehidupan, peradaban dan kemanusian. Sebab ketika kita memberikan
penghargaan kepada kehidupan dan kemanusiaan berarti kita memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya bagi sebuah proses pertumbuhan peradaban yang
harmonis.
Berteologi tentang tiris sopi merupakan bentuk kontekstualisasi teologi dengan
matriks kehidupan masyarakat Romkisar secara sosial, kultural dan religius.
Berteologi tentang tiris sopi berarti menjadikan tiris sopi sebagai komunitas basis
(basic communities), yang mengandung nilai-nilai kultural religius dan sosial etis.
Berteologi tentang tiris sopi berarti berteologi tentang manusia dalam relasi-relasi
persaudaraan yang setara sebagai subjek dalam realitas kebudayaan dan
kemasyarakatan. Karenanya teologi harus dimulai dengan cerita-cerita kehidupan
yang tertutur dalam masyarakat sebagai subjek sejarah manusia. Dengan demikian
konsep tiris sopiakan menjadi agen “transformasi” nilai etik moral masyarakat di
Romkisar.