bab ivlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-t 28053-penerapan... · arus modal asing, antara lain:2...

68
BAB IV PENERAPAN DAN PELAKSANAAN KETENTUAN KONVENSI NEW YORK 1958 SEHUBUNGAN DENGAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 A. Pelaksanaan UU Nomor 30 Tahun 1999 Tidak Sesuai Dengan Ketentuan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan Pembatalan Putusan Arbitrase Asing dalam Perkara Pertamina melawan KBC Pada dasarnya, para investor asing yang hendak menanamkan modalnya di Indonesia membutuhkan adanya kepastian hukum yang diwujudkan melalui kepatuhan terhadap kontrak atau kerjasama yang telah disepakati dan adanya kepastian tentang mekanisme penyelesaian jika terjadi sengketa. 1 Bagi Negara berkembang yang bermaksud menarik investor dari Negara maju untuk berinvestasi di Negaranya, ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk menarik arus modal asing, antara lain: 2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat berubah dan dapat menjamin adanya kepastian hukum, karena ketiadaan kepastian hukum akan menyulitkan perencanaan usaha jangka panjang mereka. 2. Prosedur perizinan yang tidak berbelit yang dapat menyebabkan high cost economy . 1 Erman Rajagukguk, Hukum Investasi Di Indonesia, op.cit., hlm. 39 2 Camelia Malik, “Jaminan Kepastian Hukum Dalam Kegiatan Penanaman Modal Di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis Volume 26 , (Nomor 4 Tahun 2007): 16, hlm. 16 Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Upload: others

Post on 05-Dec-2020

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

BAB IVPENERAPAN DAN PELAKSANAAN KETENTUAN

KONVENSI NEW YORK 1958 SEHUBUNGAN DENGAN

HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI

ARBITRASE DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 30

TAHUN 1999

A. Pelaksanaan UU Nomor 30 Tahun 1999 Tidak Sesuai Dengan

Ketentuan Konvensi New York 1958 sehubungan dengan Pembatalan

Putusan Arbitrase Asing dalam Perkara Pertamina melawan KBC

Pada dasarnya, para investor asing yang hendak menanamkan modalnya di

Indonesia membutuhkan adanya kepastian hukum yang diwujudkan melalui

kepatuhan terhadap kontrak atau kerjasama yang telah disepakati dan adanya

kepastian tentang mekanisme penyelesaian jika terjadi sengketa.1 Bagi Negara

berkembang yang bermaksud menarik investor dari Negara maju untuk

berinvestasi di Negaranya, ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk menarik

arus modal asing, antara lain:2

1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak

terlalu cepat berubah dan dapat menjamin adanya kepastian hukum,

karena ketiadaan kepastian hukum akan menyulitkan perencanaan

usaha jangka panjang mereka.

2. Prosedur perizinan yang tidak berbelit yang dapat menyebabkan

high cost economy.

1 Erman Rajagukguk, Hukum Investasi Di Indonesia, op.cit., hlm. 39

2 Camelia Malik, “Jaminan Kepastian Hukum Dalam Kegiatan Penanaman Modal DiIndonesia”, Jurnal Hukum Bisnis Volume 26 , (Nomor 4 Tahun 2007): 16, hlm. 16

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 2: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

3. Jaminan terhadap investasi mereka dan proteksi hukum mengenai

hak atas kekayaan investor.

4. Sarana dan prasarana yang dapat menunjang terlaksananya

investasi mereka dengan baik, antara lain meliputi komunikasi,

transportasi atau pengangkutan, perbankan dan perasuransian.

Selain itu, terdapat beberapa hal penting yang seringkali menjadi perhatian

calon investor dan ditujukan agar mereka dapat meminimalisir resiko dalam

berinvestasi sebelum mereka menanamkan modalnya disuatu Negara. Hal-hal

yang seringkali menjadi perhatian bagi investor antara lain:3

1. Keamanan investasi yang sering berkaitan dengan stabilitas politik

suatu Negara.

2. Bahaya tindakan nasionalisasi dan berkaitan dengan ganti kerugian.

3. Penghindaran pajak berganda.

4. Masuk dan tinggalnya staf atau ahli yang diperlukan.

5. Penyelesaian sengketa.

6. Perlakuan yang sama terhadap investor asing atau tidak adanya

pembedaan dari investor domestik.

7. Insentif untuk penanaman modal.

8. Transparency yaitu kejelasan mengenai peraturan perundang-

undangan, prosedur dan administrasi yang berlaku, serta kebijakan

investasi, dan

9. Kepastian hukum, termasuk enforcement putusan-putusan

pengadilan.

Secara umum diketahui bahwa PMA khususnya yang berlokasi di negara

berkembang sering merasa khawatir akan begitu banyak resiko. Hal ini

disebabkan oleh keadaan politik, sosial, ekonomi negara-negara berkembang atau

negara-negara yang kurang berkembang dimana PMA membutuhkan iklim yang

3 Ibid, hlm 17.

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 3: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

kondusif, seperti rasa aman dan tertib, serta adanya suatu kepastian atau jaminan

hukum dari negara penerima modal. Kepastian hukum meliputi ketentuan

peraturan perundang-undangan yang dalam banyak hal masih ada ketidakjelasan

atau bahkan bertentangan dan juga mengenai pelaksanaan keputusan pengadilan.

Kesulitan-kesulitan tersebut dapat dikatakan merupakan kesulitan-kesulitan yang

dihadapi oleh Negara berkembang yang mengundang penanaman modal asing

untuk membantu pertumbuhan ekonomi.4

Kepastian hukum di satu sisi merupakan salah satu faktor yang sangat

penting dalam pelaksanakan kegiatan penanaman modal asing serta bisnis dan

perdagangan disuatu negara, karena pada dasarnya kepastian hukum tersebut

mengandung arti konsistensi antara peraturan dan penegakan hukum yang dapat

memberikan kepastian dan perlindungan hukum. Menurut Soerjono Soekanto,

fungsi dari hukum adalah untuk mengatur hubungan antara Negara dan

masyarakat atau hubungan antara masyarakat yang bertujuan untuk membuat

kehidupan masyarakat sehari-hari berjalan tertib dan tenang. Selanjutnya untuk

mencapai ketertiban umum, harus dikuti dengan penegakan hukum, karena

dengan eksistensi dari penegakan hukum, maka kepastian akan dapat dicapai.

Oleh karena itu, tugas dari hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum untuk

menciptakan ketertiban umum dan keadilan di masyarakat.5 Guna mencapai

kepastian hukum tersebut, hukum dan penegakan hukum harus sejalan dan

harmonis satu sama lain untuk mencegah kontradiksi dan inkonsistensi dalam

menjalankan hukum dan penegakan hukum. Kepastian hukum juga berarti hukum

dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah, yang mana hukum dan peraturan

tersebut harus jelas, sejalan, menciptakan harmonisasi dan tidak tumpang tindih

atau berkontradiksi satu sama lain. Tidak adanya jaminan kepastian hukum hanya

akan menyebabkan munculnya berbagai macam permasalahan yang kemudian

4 Ibid, hlm 18

5 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta: Bina Cipta, 1981), hlm 42-43

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 4: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

akan mengakibatkan kurangnya minat pelaku usaha maupun investor untuk

menanamkan modalnya di Indonesia.

Sejak terjadi krisis ekonomi, sistem hukum Indonesia tidak mampu

menciptakan predictability, stability, dan fairness, dimana hal ini dapat dilihat dari

substansi peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron, aparatur penegak

hukum yang tidak mendukung perbaikan iklim investasi dan kualitas budaya

hukum yang rendah.6 Hal ini juga dibuktikan dengan adanya penurunan jumlah

investor yang signifikan sejak era reformasi yang disebabkan beberapa haambatan

bila dibandingkan dengan jumlah investor sebelum terjadinya krisis moneter.7

Washington Post bahkan menerbitkan artikel yang menyatakan bahwa

kurangnya sistem hukum yang pasti di Indonesia merupakan faktor utama

mengapa investor pergi. Kurangnya kepercayaan investor membuat perginya

modal asing yang sebenarnya sangat dibutuhkan Indonesia untuk memperbaiki

kondisi perekonomian yang belum pulih sepenuhnya akibat krisis finansial Asia

tahun 1997-1998. Disamping itu, investor asing juga sering mengeluh bahwa

mereka sering dijadikan subjek tuntutan sewenang-wenang oleh pejabat

pemerintah, petugas pajak, dan mitra lokal. Kasus tersebut jika diajukan ke

6 Suparji, Penanaman Modal Asing Di Indonesia: Insentif v. Pembatasan, Cet-1, (Jakarta:Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2008), hlm.146

7 Dalam era reformasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal mengatakan bahwa ada duahambatan yang dihadapi dalam menggerakkan investasi di Indonesia, sebagaimana telahdiinventarisasi, yaitu kendala internal dan eksternal. Kendala internal meliputi: (1) kesulitanperusahaan mendapatkan lahan atau lokasi proyek yang sesuai; (2) kesulitan memperoleh bahanbaku; (3) kesulitan dana/pembiayaan; (4) kesulitan pemasaran; dan (5) adanya sengketa atauperselisihan di antara pemegang saham. Kendala eksternal meliputi: (1) faktor lingkungan bisnis,baik nasional, regional dan global yang tidak mendukung serta kurang menariknya insentif ataufasilitas investasi yang diberikan pemerintah; (2) masalah hukum; (3) keamanan maupun stabilitaspolitik; adanya peraturan daerah, keputusan menteri, undang-undang yang turut mendistorsikegiatan penanaman modal; (5) masalah perburuhan; (6) kenaikan beberapa bahan-bahan untuksektor produksi; dan (7) harmonisasi tariff pajak. Dhaniswara K. Harjono pun menyatakan bahwaada beberapa hambatan dalam Penanaman Modal di Indonesia, yaitu: (1) beberapa permasalahanyang mempengaruhi iklim investasi Indonesia, seperti ketidakstabilan politik, dll; (2) tidak adanyajaminan kepastian hukum dan keamanan; (3) masalah rekrutmen (hiring) and pemecatan (firing)tenaga kerja yang bersifat kompleks dan menciptakan suatu bottlenecking; (4) masalah perpajakandan kepabeanan; (5) masalah infrastruktur; dan (6) masalah penyederhanaan sistem perizinan,didapat dari Salim HS. Dan Budi Sutrisno. Hukum Investasi di Indonesia, Ed. 1, (Jakarta:RajawaliPress, 2008), hlm. 96-98; Dhaniswara K. Harjono, op.cit., hlm. 14

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 5: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

pengadilan hanya akan berdampak sedikit. Hal ini dikarenakan budaya suap yang

merajalela dan standar hukum yang memihak.8

Telah dipaparkan diatas bahwa kepastian hukum dalam hal penyelesaian

sengketa merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian investor. Sehubungan

dengan kepastian hukum penyelesaian sengketa, Indonesia memiliki catatan yang

kurang mengesankan, dalam hal ini yaitu penyelesaian sengketa melalui arbitrase,

dimana dalam prakteknya, putusan arbitrase asing sangatlah sulit untuk diakui dan

dilaksanakan di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih ada beberapa kekurangan

dalam pengaturan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di

Indonesia sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab-Bab sebelumnya. Kekurangan-

kekurangan dalam pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di

Indonesia tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Tidak adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus

mengatur tentang arbitrase sejak masa kemerdekaan Indonesia.

2. Peraturan perundang-undangan yang berlaku di bawah ketentuan

sistem tata hukum Indonesia hanya mengakomodir ketentuan

arbitrase yang sengketanya diperiksa, diselesaikan serta diputus

dalam konteks hukum nasional Indonesia dan oleh Pengadilan serta

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

3. Peraturan pelaksana yang khusus membahas tentang putusan

arbitrase internasional yang diakui dan dilaksanakan setelah

Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional (Konvensi New

York) baru diterbitkan setelah 9 (Sembilan) tahun diratifikasinya

Konvensi New York.

4. Peraturan pelaksana yang secara khusus membahas tentang

pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia

masih tumpang tindih dengan hukum acara perdata yang diadopsi

Indonesia semasa kemerdekaan Indonesia, yang secara nyata

menolak dan tidak menerima suatu putusan pengakuan dan

pelaksanaan putusan arbitrase asing yang diselesaikan bukan di

8 Camelia Malik, loc.cit.

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 6: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

Indonesia. Pada akhirnya suatu putusan arbitrase asing yang

dimohonkan pelaksanaannya di Indonesia tidak dapat dilaksanakan

dan harus diperiksa ulang sebagai kasus baru.

Kekurangan-kekurangan yang menyebabkan suatu putusan arbitrase asing

yang diputus oleh badan arbitrase asing menjadi sangat sulit untuk dilaksanakan

di Indonesia pada dasarnya dilandasi oleh adanya suatu larangan pelaksanaan

putusan asing di wilayah Republik Indonesia yang muncul karena dianggap

sebagai suatu pelanggaran terhadap asas kedaulatan dari Negara Republik

Indonesia sebagai suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Terdapat suatu

“prinsip teritorialitas” atau “asas kedaulatan territorial” (Principle of Territorial

Sovereignty) yang mengisyaratkan bahwa putusan yang ditetapkan di luar negeri

tidak dapat secara langsung dilaksanakan dalam wilayah lain atas kekuatannya

sendiri. Agar supaya putusan luar negeri dapat dilaksanakan di Indonesia

diperlukan adanya perjanjian (treaty, verdrag) antara Indonesia dengan Negara

lain, serta adanya klausula tentang tempat putusan tersebut diambil, untuk

menyatakan secara resiprositas bahwa putusan dapat dilaksanakan dalam wilayah

masing-masing seperti halnya suatu putusan domestik.9

UU 30/1999 sendiri, merupakan undang-undang yang diterbitkan

Pemerintah Republik Indonesia setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997/1998

yang memang ditujukan untuk memberikan suatu rangsangan dan dorongan

terhadap kepastian hukum dalam hal penyelesaian sengketa penanaman modal

kepada para investor di Indonesia.10 Kehadiran dari UU 30/1999 memang didasari

keinginan untuk membenahi hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang

9 Tineke Louise, op.cit., hlm. 226-227

10 Penyempurnaan berbagai produk hukum dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan baru untuk menjamin iklim investasi sehat dan penyempurnaan proses penegakanhukum serta penyelesaian sengketa yang efektif dan adil merupakan kebijakan yang memberikanrangsangan dan jaminan penanaman modal yang dikeluarkan pemerintah yang dimaksudkan untukmengakomodir investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sebagaimana tertulis dalamHulman Panjaitan, Hukum Penanaman Modal Asing, (Jakarta: Ind-Hill Co, 2003), hlm. 17

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 7: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

sebelumnya sangat tidak bersahabat terhadap putusan arbitrase asing dan kurang

dapat mengakomodir kepastian serta perlindungan hukum bagi pelaku usaha

investasi serta bisnis dan dagang internasional. UU 30/1999 dalam 82 pasalnya

telah secara spesifik memberikan pengaturan-pengaturan terhadap arbitrase, untuk

mengakomodir kekurangan-kekurangan yang tidak diatur sebelumnya dengan

mengaturnya secara lebih rinci, khususnya dalam hal pengakuan dan pelaksanaan

putusan arbitrase asing sebagaimana telah diamanatkan Konvensi New York 1958

yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1981.

Pada kenyataannya diundangkannya UU 30/1999 belum dapat

memberikan angin segar, karena UU 30/1999 belum dapat memberikan suatu

kepastian hukum pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia.

UU 30/1999 bahkan masih menyisakan beberapa pertanyaan tentang pengakuan

dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah Negara Republik

Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari adanya fakta yang diungkapkan Karen Mills

dalam catatan pentingnya terhadap pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing di

bawah UU 30/1999 yaitu,11 “since the enactment of the New Law (August, 1999)

there have been sixteen foreign-rendered arbitral awards registered with the

District Court of Central Jakarta, and judicial enforcement has been sought with

respect only to nine of these, as at mid-February, 2005. Of these nine, exequatur

was issued quite promptly for five. Four related cases were granted cassation

(appeal) to the Supreme Court, and later judicial review by that court, with the

final outcome still pending. Of the five awards for which exequatur was issued, a

contest was lodged with respect to one, at least one award has already been

satisfied through court-ordered auction of assets of the losing party and the others

seem to have been satisfied voluntarily by the parties because there was no

further court involvement after judicial reminders were issued to the losing

parties. One award was never registered by the successful party, but the losing

party subsequently deemed it necessary to register the award itself in order to

seek annulment thereof, which annulment was granted by the District Court of

Central Jakarta.”

11 Karen Mills, “Enforcement of Arbitral Awards in Indonesia…”, op.cit., hlm. 8

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 8: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

Sebagaimana bukti statistik diatas, kurang mengakomodirnya UU 30/1999

dapat dilihat dari beberapa putusan arbitrase asing yang telah dibatalkan ataupun

tidak diproses. Dimana, salah satunya ditunjukkan dengan adanya perkara yang

cukup terkenal dan cukup rumit posisi kasusnya serta perkara ini dapat menambah

daftar sejarah tidak efektifnya dan kurang mengakomodirnya hukum penyelesaian

sengketa melalui arbitrase di Indonesia. Perkara tersebut adalah perkara

Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) melawan

Karaha Bodas Company L.L.C., (KBC).

Perkara ini (berkorelasi dengan penjabaran dalam bab I) bermula dari

adanya peristiwa dimana KBC membuat perjanjian Joint Operation Contract

(JOC) dengan Pertamina dan KBC menunjuk Pertamina sebagai kontraktor untuk

pembangunan pembangkit tenaga listrik. KBC dan Pertamina kemudian membuat

perjanjian Energy Sales Contract (ESC) dengan PLN, dimana PLN akan membeli

listrik dari Pertamina yang dihasilkan oleh pembangkit tenaga listrik milik KBC

yang akan dibangun oleh Pertamina. Seiring berjalannya waktu, terjadi krisis

moneter di Indonesia yang membuat Internasional Monetary Fund (IMF) dimana

KBC meminta kepada Pemerintah RI untuk meninjau kembali proyek-proyek

pembangunan. Kemudian Pemerintah RI mengeluarkan Keppres No. 39 Tahun

1997 yang berisi antara lain tentang penundaan pelaksanaan proyek KBC. KBC

meminta Pertamina dan PLN untuk melakukan lobi terhadap Pemerintah RI agar

proyek pembangunan pembangkit tenaga listrik dapat dilanjutkan. Tetapi hal itu

tidak berhasil, kemudian Pemerintah Indonesia mengeluarkan Keppres No 5

Tahun 1998 yang isinya menegaskan bahwa proyek-proyek yang memakan biaya

besar harus dihentikan. Atas dasar Keppres No. 5 Tahun 1998 Pertamina tidak

menjalankan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan dengan KBC dalam

JOC dengan alasan telah berlakunya Force Majeur, kemudian KBC menuntut

Pertamina dan PLN karena dianggap melanggar kontrak dan syarat Force Majeur

tidak berlaku. Syarat Force Majeur hanya berlaku untuk pihak KBC dan KBC

menuntut Pertamina dan PLN melalui Arbitrase karena KBC, Pertamina dan PLN

terikat oleh perjanjian Arbitrase. Tuntutan KBC terhadap Pertamina dan PLN

berupa ganti rugi terhadap pelanggaran kontrak berupa kerugian atas biaya yang

telah dikeluarkan sebesar US$ 96.000.000 (Sembilan puluh enam Juta Dollar

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 9: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

Amerika Serikat) dan kerugian atas kompensasi akibat kehilangan keuntungan

sebesar US$ 512.000.000 (lima ratus dua belas juta Dollar Amerika Serikat) dan

kerugian akibat diperolehnya harta yang tidak wajar dan adil (unjust enrichment)

digabung dengan kerugian yang diderita KBC dengan bunga diperhitungkan KBC

sejumlah US$ 58.600.000 (lima puluh delapan juta enam ratus ribu Dollar

Amerika Serikat) serta denda yang harus dibayarkan kepada KBC sejumlah US$

608.500 (enam ratus delapan ribu lima ratus Dollar Amerika Serikat) atau secara

alternatif sebesar US$ 51.300.000 (lima puluh satu juta tiga ratus ribu Dollar

Amerika Serikat) apabila majelis arbitrase memutuskan bahwa KBC berhak

memperoleh US$ 837.000.000 (delapan ratus tiga puluh tujuh juta Dollar Amerika

Serikat). Dalam perjanjian arbitrase disepakati bahwa choice of law adalah hukum

Indonesia dan arbitrase diselenggarakan di Jenewa, Swiss berdasarkan ketentuan

UNCITRAL. Dalam JOC disepakati bahwa Pertamina akan menunjuk seorang

arbiter dan KBC juga akan menunjuk seorang arbiter. Kemudian para arbiter

yang telah ditunjuk tersebut akan menunjuk seorang arbiter lagi untuk menjadi

ketua majelis arbitrase. Setelah melalui proses penyelesaian sengketa arbitrase,

majelis arbitrase memutuskan untuk menghukum Pertamina dan PLN secara

tanggung renteng, untuk:

a. Membayar US$ 111.000.000 (seratus sebelas juta Dollar Amerika

Serikat) untuk biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh KBC

ditambah dengan bunga 4% pertahun.

b. Membayar US$ 150.000 (seratus lima puluh juta Dollar Amerika

Serikat) untuk kehilangan keuntungan yang diharapkan ditambah

dengan bunga 4% pertahun.

c. Membayar US$ 66.654 (enam puluh enam ribu Dollar Amerika

Serikat untuk biaya arbitrase).

Terhadap putusan arbitrase tersebut, Pertamina sangat berkeberatan dan

kemudian mengajukan gugatan pembatalan terhadap putusan arbitrase ke

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan alasan putusan telah melanggar konvensi

New York dan UU No. 30 Tahun 1999. Dalam putusannya

No. 86/PN/Jkt.Pst/2001, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya mengabulkan

gugatan Pertamina dengan membatalkan putusan arbitrase internasional,

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 10: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

UNCITRAL di Jenewa, Swiss. Adapun beberapa alasannya antara lain

pengangkatan arbiter tidak dilakukan seperti apa yang diperjanjikan dan tidak

diangkat arbiter yang dikehendaki oleh para pihak berdasarkan perjanjian,

sementara Pertamina tidak diberikan proper notice mengenai arbitrase ini dan

tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Majelis Arbitrase telah salah

menafsirkan Force Majeur, sehingga semestinya Pertamina tidak

dipertanggungjawabkan atas sesuatu diluar kemampuannya. Disamping itu

majelis arbitrase dianggap telah melampaui kewenangannya karena tidak

menggunakan hukum Indonesia, padahal hukum Indonesia adalah yang harus

dipakai menurut kesepakatan para pihak. Majelis Arbitrase hanya menggunakan

hati nuraninya berdasarkan pertimbangan ex aequeo et bono. Salah satu

pertimbangan penting Pengadilan Jakarta Pusat dalam kasus ini menyatakan

bahwa: “dengan adanya penyebutan kata ‘antara lain’ dapat ditafsirkan bahwa

untuk mengajukan pembatalan dimungkinkan digunakan alasan lain”, alasan lain

yang dimaksud adalah alasan-alasan diluar ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase.

Dalam perkembangan di tingkat Mahkamah Agung, putusan Pengadilan Negeri

dibatalkan pada tingkat banding (kasasi) di Mahkamah Agung dengan alasan

bahwa berdasarkan Pasal V (1) e Konvensi New York,12 Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus kasus ini, mengingat

putusan arbitrase yang dipersoalkan adalah putusan arbitrase yang dijatuhkan di

Swiss. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tersebut, pertimbangan dan

penerapan pasal 70 UU Arbitrase sama sekali tidak ditentang dan dikoreksi oleh

Mahkamah Agung,13 namun akhirnya, oleh Mahkamah Agung, diputuskanlah12 Pasal V ayat 1 (e) United Nation Convention on the Recognation and Enforcement of

Foreign Arbital Awards : Recognation and enforcement of the award may be refused, at therequest of the party against whom it is revoked, only if the party furnishes to the competentauthority where the recognation and enforcement is sought, proof that: (e) the awars has not yetbecome binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of thecountry in which, or under the law of which, the award was made. Gunawan Widjaja dan MichaelAdrian, Peran Pengadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Oleh Arbitrase, Cet I, (Jakarta: KencanaPrenada Media Group, 2008), hlm 384.

13 Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Cet.I, (Yogyakarta: Citra Media,2006), hlm 145

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 11: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk menjatuhkan

putusan pembatalan tersebut. Pertamina kemudian mengajukan permohonan

Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, namun pada akhirnya Mahkamah

Agung menyatakan untuk menolak permohonan Peninjauan Kembali yang

diajukan Pertamina terhadap Putusan Banding Mahkamah Agung melalui Putusan

Mahkamah Agung Nomor 444 PK/Pdt/2007.

Sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut tentang perkara ini, pertama-

tama mari kita melihat bahwa terdapat setidaknya tiga hukum yang terkait dengan

proses arbitrase yaitu: (i) substantive law (hukum materil), hukum yang

digunakan untuk memutus perkara oleh arbitrer; (ii) hukum acara (procedural

law) yang mengikat bagi para arbiter dan para pihak dalam proses pemeriksaan

hingga adanya putusan; (iii) hukum dari suatu Negara yang mendasari

penyelesaian sengketa melalui arbitrase (lex arbitri).14 Selanjutnya, perlulah

terminologi competent authority yang diatur dalam Konvensi New York 1958

untuk dipahami secara mendalam. Pada dasarnya, terdapat dua pengertian

terhadap competent authority dibawah Konvensi New York 1958, yaitu, (i)

Pengadilan dari Negara dimana putusan tersebut dibuat; (ii) Pengadilan dari

Negara yang hukumnya digunakan sebagai dasar pembuatan putusan arbitrase.15

Berdasar kepada perkara tersebut diatas, adalah benar apabila Pertamina

tidak mendapatkan haknya untuk dapat membatalkan putusan arbitrase yang telah

dijatuhkan oleh Badan Arbitrase Swiss. Hal ini dikarenakan, dibawah Konvensi

New York dan UNCITRAL Arbitration Rules, Alasan-alasan penolakan dan

pembatalan sebagaimana tercantum dalam Konvensi New York maupun

UNCITRAL Model Law, seperti ketiadaan perjanjian arbitrase yang sah,

pelanggaran terhadap prinsip kepatutan dan keadilan dalam berperkara (due

process of law), misalnya: ketidakwajaran dalam pemilihan arbiter atau proses

arbitrase, tidak adanya pemberitahuan yang patut atau pemberian kesempatan14 Hikmahanto Juwana, “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan

Nasional”, dalam Arbitrase Dan Mediasi, Jakarta, 08 & 09 Oktober 2002, hlm. 138

15 ibid, hlm. 141-142

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 12: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

membela diri yang adil/berimbang, proses pemilihan arbiter yang bertentangan

dengan perjanjian, arbiter yang bertindak diluar kewenangan (excess of authority)

dan sengketa yang diputus tidak dapat diarbitrasekan (non arbitrable), maupun

alasan pelanggaran atas ketertiban umum (public policy), sepatutnya dibuktikan

oleh pihak pemohon pembatalan.

Terkait juga dengan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang

didasarkan pada Pasal 70 UU arbitrase, pemohon pembatalan seharusnya

membuktikan adanya “dugaan” yang sah bahwa putusan arbitrase tesebut

mengandung “unsur” pemalsuan, tipu muslihat, atau penyembunyian

fakta/dokumen. UU Arbitrase tidak secara tegas menjelaskan apa yang dimaksud

dengan kata “dugaan” ataupun kata “unsur” sebagaimana disebut dalam Pasal 70

tersebut. UU Arbitrase juga tidak memberikan definisi mengenai apa yang

dimaksud dengan kata “pemalsuan, tipu muslihat, atau penyembunyian

fakta/dokumen” sebagaimana yang termuat dalam Pasal 70. Mengingat UU

Arbitrase belum mengatur alasan-alasan yang dapat digunakan oleh Pengadilan

untu membatalkan putusan arbitrase, maka nilai-nilai hukum yang hidup di

masyarakat sehubungan dengan pembatalan putusan arbitrase dapat digali,

dipahami dan diikuti.

Terhadap pembatalan tersebut, Noah Rubbins mengatakan bahwa,16 “it

seems eminently clear that the Indonesian Court was not the proper location in

which to lodge an annulment of the Swiss Award. The Indonesian Court made two

initial errors with regard to the applicability and interpretation of the New York

Convention. First, while the Jakarta district court could have applied the

Convention to an enforcement proceeding in Indonesia, the Convention has no

place in an action to vacate an award. Second, even assuming the Convention

governs annulment proceedings, the court erred in concluding that the Indonesian

court is a “competent authority” to vacate the Swiss Award under the

Convention.”

Pernyataan tersebut merupakan fakta yang benar, Albert Jan Van Den Berg

mengatakan bahwa, “telah diterima secara umum bahwa pembatalan putusan

16 Noah Rubbins, op.cit., hlm. 385

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 13: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

arbitrase asing merupakan jurisdiksi eksklusif yang dimiliki oleh Pengadilan

dimana arbitrase tersebut diadakan serta berdasar kepada hukum arbitrase nasional

Negara tersebut.” Pengadilan di Negara anggota Konvensi New York 1958

lainnya (competent authority) hanya dapat menentukan dapat atau tidaknya

putusan tersebut dilaksanakan. Terhadap dijatuhkannya pembatalan putusan

arbitrase asing tersebut oleh Pengadilan country of origin adalah berdampak luas

terhadap pelaksanaannya di Negara-Negara anggota lainnya.17

Dasar dari pernyataan tersebut adalah Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New

York yang mengatur bahwa,18 “the award has not yet become binding on the

parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the

country in which, or under the law which, that award was made.”

Landasan pembatalan putusan arbitrase asing oleh Pengadilan Negeri

Indonesia selain mengacu kepada ketentuan ketertiban umum, juga berlandaskan

kepada Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New York yang mengatur ketentuan bahwa

“(under the law which), the award was made”, dimana hukum Indonesia

digunakan sebagai lex arbitri dalam persidangan arbitrase Swiss ini. Ketentuan

tersebut membuat Indonesia mengakui kompetensinya sebagai competent

authority dan country of origin serta berhak atas pembatalan terhadap putusan

arbitrase asing tersebut karena digunakannya hukum Indonesia sebagai lex arbitri.

Perlu diperhatikan lebih lanjut bahwa, pada dasarnya, Pasal V ayat 1 Konvensi ini,

tidak mengatur bahwa competent authority dapat membatalkan putusan dan Pasal

tersebut, Pasal V(1)(e) pada dasarnya mengacu kepada hukum acara dan bukanlah

hukum materiil (substantive law) maupun lex arbitri,19 dan definisi dari “law of

17 Albert Jan Van Den Berg, “Annulments of Awards in International Arbitration”, dalamRichard B. Lillich dan Charles N. Brower, International Arbitration in The 21st Century: Towards“Judicialization” and Uniformity?, (New York: Transational Publishers INC, 1994), loc.cit.

18 Pasal V ayat 1 (e), Convention on The Recognition and Enforcement of ForeignArbitral Awards 1958 (New York Convention)

19 Noah Rubbins, op.cit., hlm. 382

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 14: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

which” tersebut tetap mengaku kepada hukum Negara lain yang digunakan, tapi

kompetensinya dimiliki oleh “competent authorit in which the award was made.”

Adanya pembatalan terhadap putusan arbitrase asing yang dijatuhkan oleh

Pengadilan Negeri Indonesia tersebut melanggar ketentuan Pasal V ayat 1 (e)

Konvensi New York. Pada dasarnya adalah benar bahwa, dalam perkara ini

hukum arbitrase Indonesia digunakan sebagai lex arbitri karena digunakan

sebagai choice of law untuk menyelesaikan sengketa antara Pertamina dan KBC,

namun hal tersebut tidaklah membuat Indonesia menjadi country of origin karena

putusan tersebut tidak dijatuhkan di Indonesia. Pengadilan Negeri Indonesia, oleh

karena itu, bukanlah merupakan “country of origin” yang dapat membatalkan

putusan arbitrase tersebut, karena tempat diselenggarakannya dan dijatuhkannya

putusan dalam perkara tersebut adalah di Swiss dan bukan di Indonesia. Jadi,

unsur Indonesia sebagai “country of origin” tidaklah dipenuhi dalam perkara ini,

dan pada akhirnya, Pengadilan Negeri Indonesia tidak memiliki hak untuk

membatalkan suatu putusan. Pengadilan Negeri Indonesia hanya memiliki hak

sebatas menjatuhkan dapat atau tidaknya putusan arbitrase Swiss tersebut

dilaksanakan di Indonesia atau tidak, karena Pengadilan Negeri Indonesia adalah

competent authority dan bukan sebagai country of origin.

Prof. Hikmahanto Juwana, memberikan suatu fakta bahwa pada dasarnya,

banyak pihak yang kerap salah menafsirkan bahkan menyamakan antara

pembatalan dengan penolakan putusan arbitrase. Dimana terdapat perbedaan

mendasar antara kedua konsep ini, yaitu:20

1. Dilihat dari segi istilah, pembatalan dalam bahasa inggris

diistilahkan sebagai annulment atau set aside, sementara penolakan

dalam bahasa inggris diistilahkan sebagai refusal.

2. Dari segi pengaturan proses dan alasan, dimana proses dan

pembatalan putusan arbitrase diatur dalam peraturan perundang-

undangan suatu Negara dan tidak diatur dalam sebuah perjanjian

internasional. Sementara penolakan putusan arbitrase asing justru

mendapat pengaturan dalam bentuk perjanjian internasional yang

20 Hikmahanto Juwana, op.cit., 137-138

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 15: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

kemudian ditransformasikan dalam bentuk peraturan perundang-

undangan nasional.

3. Dari segi konsekuensi hukumnya, pembatalan putusan arbitrase

berakibat pada dinafikannya (seolah tidak pernah dibuat) suatu

putusan arbitrase. Terhadap putusan arbitrase asing yang

dibatalkan, Pengadilan dapat meminta agar para pihak mengulang

proses arbitrase. Sementara penolakan putusan arbitrase asing oleh

pengadilan tidak berarti menafikan putusan tersebut. Penolakan

mempunyai konsekuensi tidak dapatnya putusan arbitrase

dilakukan di yurisdiksi pengadilan yang telah menolaknya. Apabila

ternyata di Negara lain terdapat asset dari pihak yang dikalahkan,

pihak yang dimenangkan masih dapat meminta eksekusi di

Pengadilan Negara tersebut.

Melihat kepada perkara diatas, pembatalan Pengadilan Negeri Indonesia

terhadap putusan arbitrase asing yang dijatuhkan Badan Arbitrase Asing Swiss

berdasarkan suatu landasan bahwa, putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan di

Indonesia dikarenakan tidak sesuai dengan ketertiban umum dan sendi-sendi

hukum Indonesia sebagaimana diatur dalam Konvensi New York 1958, dan

dengan diterimanya permohonan pembatalan pelaksanaan oleh Pengadilan Negeri

Indonesia pun, pada dasarnya, merupakan suatu hal yang menarik.

Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Hikmahanto tersebut diatas, perkara ini

pada dasarnya telah disalah artikan, dimana pihak Pertamina memohonkan

pembatalan, dan Pengadilan pun menyalah artikan ketertiban umum sebagai

landasan pembatalan putusan arbitrase asing, dimana ketertiban umum tersebut

merupakan landasan penolakan putusan arbitrase asing dibawah UU 30/1999.

Menanggapi pernyataan Prof. Hikmahantor tersebut, barulah terlihat dimana letak

kesalahpahaman penerapan penolakan dan pembatalan oleh Pengadilan Negeri

Indonesia tersebut bila kita memperhatikan dasar penolakan dan pembatalan yang

diatur dalam UU 30/1999. Dasar penolakan tersebut diatur dalam Pasal 66 (c) dan

landasan pembatalan putusan arbitrase asing diatur dalam Pasal 70, UU 30/1999.

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 16: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

Sebagaimana Pasal 66 (c) mengatur bahwa:21

“Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah

hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat… (c) Putusan Arbitrase

Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di

Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum”

Selanjutnya Pasal 70:22

“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan

apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan,

diakui palsu atau dinyatakan palsu;

b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang

disembunyikan oleh pihak lawan ; atau

c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam

pemeriksaan sengketa.”

Selanjutnya, sehubungan dengan perkara ini, kalaupun Pengadilan Negeri

Indonesia memiliki hak untuk menolak dan membatalkan putusan arbitrase asing

Swiss, UU 30/1999 tidaklah mengatur secara komprehensif tentang ketentuan

pembatalan putusan arbitrase asing. Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahwa,

pertama, UU arbitrase Indonesia mengatur ketertiban umum sebagai dasar

penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang kewenangan penolakannya

dipegang secara penuh oleh Pengadilan Negeri Indonesia. Dalam hal ini, bila

dilihat dalam ketentuan pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang

diatur oleh UU arbitrase Indonesia, ketertiban umum bukanlah suatu ketentuan

yang dapat melandasi pembatalan putusan arbitrase asing. Pasal 70, UU 30/1999

21 Pasal 66, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan AlternatifPenyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLNNomor 3872

22 Pasal 70, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan AlternatifPenyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLNNomor 3872

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 17: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

diatas tidaklah mengatur tentang ketertiban umum sebagai landasan pembatalan

putusan arbitrase asing.

Kedua, UU 30/1999 tidaklah mengatur tentang adanya permohonan yang

dapat diajukan oleh pihak yang menginginkan penolakan maupun pembatalan

sebagaimana diatur oleh Konvensi New York 1958. UU arbitrase Indonesia

hanyalah mengakomodir ketentuan Pasal V ayat 2 Konvensi New York sebagai

landasan pengajuan keberatan terhadap pelaksanaan arbitrase asing di wilayah

Negaranya yang kewenangannya hanya dimiliki oleh Pengadilan Negeri. Pihak

yang bersengketa tidak dapat mengajukan permohonan penolakan pelaksanaan,

karena UU 30/1999 tidak mengaturnya.

Pertamina sehubungan dengan perkara ini pada dasarnya, memiliki

beberapa kesempatan untuk memperoleh pembatalan terhadap putusan arbitrase

asing tersebut, namun, Pertamina tidak memanfaatkan kesempatan-kesempatan

tersebut dengan tepat. Hal ini dibuktikan dengan:

1. Ditolaknya permohonan banding oleh Mahkamah Agung Swiss

karena tidak membayar deposit.

2. Tidak mengajukan pembuktian terhadap dasar-dasar pembatalan

yang diajukannya pada saat KBC mengajukan permohonan

pelaksanaan putusan arbitrase Swiss di Pengadilan Negeri Amerika

Serikat, dimana dasar-dasar pembatalan tersebut sangatlah

dijunjung tinggi dalam hukum arbitrase Amerika Serikat.

Kesempatan-kesempatan tersebut dapat membantu Indonesia memperoleh

pembatalan, mengingat: (i) Mahkamah Agung Swiss merupakan forum yang

paling tepat, karena Swiss merupakan country of origin; (ii) Pengadilan Negeri

Amerika Serikat memiliki suatu dasar pembatalan putusan arbitrase asing yang

didasari: (a) dalam penjatuhan putusan tersebut terdapat unsur korupsi, penipuan

dan tidak berdasar kepada Hukum; (b) pihak arbiter secara sendiri atau bersama-

sama (bila lebih dari satu dewan arbiter) melaksanakan tindak pidana korupsi; (c)

pihak arbiter melakukan kesalahan dengan menolak penundaan persidangan atau

menolak untuk mendengarkan bukti atau materi perselisihan atau kesalahan

lainnya yang menyebabkan salah satu pihak dirugikan; arbiter melampaui

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 18: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

kewenangannya atau secara sengaja menjatuhkan putusan yang tidak adil, final

ataupun pasti; (d) apabila putusan arbitrase telah dibatalkan sebelumnya dimana

waktu yang diatur dalam perjanjian terhadap putusan arbitrase tersebut belum

kadaluarsa, Pengadilan Federal dalam hal ini dapat meminta pengakuan dari

arbiter; (e) Pengadilan Negeri Amerika Serikat telah membatalkan putusan

arbitrase asing tersebut atas dasar permohonan salah satu pihak diluar pihak yang

bersengketa dalam arbitrase yang secara tidak langsung dirugikan oleh putusan

arbitrase asing tersebut.23

Kesempatan lainnya yang sebenarnya dapat ditempuh untuk

menyelesaikan perkara ini adalah dengan menyelesaikan perkara sengketa ini

berdasarkan BIT (Bilateral Investment Treaty) yang telah dibentuk antara

Indonesia dengan Inggris, (United Kingdom of Great Britain) yang

mempersyaratkan bahwa adanya sengketa terhadap penanaman modal dapat

diselesaikan dibawah International Centre for Settlement of Investment Disputes

(ICSID).24

Terhadap perkara ini, Profesor Hikmahanto Juwana memberikan komentar

lanjutan sehubungan dengan pendirian majelis hakim untuk menyatakan bahwa

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang melakukan pembatalan putusan

arbitrase Jenewa, antara lain:25

1. Dasar hukum yang dirujuk oleh majelis hakim untuk menyatakan

dirinya berwenang melakukan pembatalan. Dimana Majelis hakim

kerap merujuk kepada Konvensi New York 1958 sebagai alasan

kewenangan PN Jakarta Pusat melakukan pembatalan. Padahal

Konvensi New York 1958 tidak mengatur masalah pembatalan,

23 United States Code §§10, United States Federal Arbitration Act

24 Pasal 7, Agreement Between The Government of The Republic Of Indonesia And TheGovernment of The United Kingdom of Great Britain And Nothern Ireland For The PromotionAnd Protection of Investments 1976

25 Hikmahanto Juwana, op.cit., hlm. 143-145

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 19: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

melainkan mengatur tentang pelaksanaan putusan arbitrase.

Kalaupun ada ketentuan tentang pembatalan putusan arbitrase,

Konvensi New York 1958 membicarakan dalam konteks

pengadilan yang diminta untuk melakukan eksekusi dapat

menolaknya atas dasar adanya proses pembatalan putusan arbitrase

sebagai competent authority.

2. Penafsiran Majelis Hakim terhadap putusan arbitrase yang

dibatalkan oleh pengadilan Indonesia. Pengaturan pembatalan

putusan arbitrase dalam UU 30/1999 seharusnya ditafsirkan

sebagai lex arbitri yang mengatur proses dari pemeriksaan hingga

pelaksanaan. Namun karena di UU 30/1999 tidak jelas pengaturan

pasal 70, apakah pembatalan tersebut berlaku untuk putusan

arbitrase asing atau tidak, serta dalam prakteknya lex arbitri

hanyalah mengatur dalam konteks pelaksanaan putusan arbitrase

tersebut dan tidak mengatur konteks pembatalan putusan.

3. Dibenarkannya tindakan Pertamina oleh majelis hakim sebagai

pihak yang kalah untuk mendaftarkan pelaksanaan putusan

arbitrase Jenewa. Prof. Hikmahanto Juwana memberikan suatu

komentar terhadap berdasarkan logika apakah bisa diterima bahwa

pihak yang dikalahkan secara sukarela melakukan pendaftaran

putusan arbitrase asing untuk dilaksanakan di Indonesia.

4. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidaklah memberikan amar

putusan yang menentukan apa yang harus dilakukan oleh para

pihak setelah putusan arbitrase Jenewa tersebut dibatalkan.

Dalam perkara ini, Pertamina, Pengadilan Negeri Indonesia dan UU

30/1999 tidaklah menjunjung tinggi Konvensi New York 1958 dimana Indonesia

sendiri merupakan Negara anggota Konvensi tersebut. Adanya upaya pembatalan

putusan yang dilakukan oleh Pertamina dan Pengadilan Negeri Indonesia tidaklah

mencerminkan wujud keterikatan Indonesia yang pada dasarnya menjunjung

tinggi final dan mengikatnya putusan arbitrase asing yang diputus oleh Badan

Arbitrase Negara lain. Pertamina juga tidak menjunjung tinggi pelaksanaan

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 20: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

putusan arbitrase asing tersebut dengan mengajukan beberapa pengajuan banding

yang mengindikasikan keberatan pelaksanaan putusan dan bahkan mengajukan

permohonan pembatalan di Negara-Negara lain (forum shopping).

Pertamina sudah seharusnya berhenti memohon pembatalan putusan dan

banding terhadap pelaksanaan putusan tersebut setelah dijatuhkan putusan

pelaksanaannya oleh Pengadilan Negeri Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan UU

arbitrase Amerika Serikat menganut doktrin anti-suit injunction untuk menjaga

litigasi internasional, mencegah adanya forum shopping yang dilakukan oleh

pihak-pihak yang bersengketa atau mencegah terjadinya kerugian lebih lanjut

yang akan dialami oleh pihak yang mengajukan permohonan pelaksanaan putusan

arbitrase.26 Hal ini dikarenakan putusan tentang pelaksanaan putusan arbitrase

asing oleh suatu Negara merupakan putusan yang memiliki kekuatan hukum yang

tetap,27 dan sangat dihormati esensi putusannya.

Terlebih lagi, dengan adanya permohonan Peninjauan Kembali yang

diajukan Pertamina kepada Mahkamah Agung Indonesia pada tahun 2007 dalam

perkara ini,28 serta dengan diprosesnya Peninjauan Kembali tersebut oleh

Mahkamah Agung, secara tidak lanjut, telah telah menyalahi Pasal 72 ayat (4)

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 karena UU 30/1999 tidak mengatur

ketentuan Peninjauan Kembali. Dalam hal ini, dasar hukum diprosesnya

Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung adalah, yaitu Pasal 16, UU 4/2004

26 Daniel S. Tan, “Enforcing International Arbitration Agreements in Federal Courts:Rethinking the Court's Remedial Powers”, Virginia Journal of International Law, Vol. 47, Spring2007, didapat dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=942853, diakses pada 4Januari 2011, 12:27 WIB

27 Keren Tweeddale, op.cit., hlm. 177

28 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 444 PK/Pdt/2007 tentangPutusan Peninjauan Kembali Perkara Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi(Pertamina) melawan Karaha Bodas Company L.L.C., dan Perusahaan Listrik Negara (PLN), 9September 2008, didapat dari www. http://putusan.mahkamahagung. go.id/putusan/53470896b4ed5c05212ca1aa874fc609, diakses pada 16 Desember 2010, 13:00 WIB

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 21: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

yang mengatur bahwa,29 “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,

mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum

tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Dalam hal ini, Mahkamah Agung telah melakukan kesalahan yang sama

dengan Pengadilan Negeri, Pertamina dan UU 30/1999 itu sendiri, dimana

Mahkamah Agung tidak menjunjung tinggi esensi hukum arbitrase internasional.

Tidak komprehensifnya serta tidak mengakomodirnya kepastian hukum dalam

pengaturan UU arbitrasenya, tidak berkompetennya perangkat hukumnya dalam

melaksanakan UU arbitrase Negaranya sendiri dengan baik dan benar membuat

kondisi-kondisi pelaksanaan hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase di

Indonesia sangatlah memprihatinkan, mengingat Indonesia merupakan Negara

yang meratifikasi Kovensi New York.

B. UU 30 Tahun 1999 Tidak Menerapkan Secara Utuh Pasal V Konvensi

New York 1958

Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab sebelumnya bahwa, putusan

arbitrase dibawah Konvensi New York 1958 adalah final dan mengikat bagi para

pihak yang bersengketa dan pihak Negara anggota Konvensi tersebut telah

memberikan suatu pengakuan terhadap final dan mengikatnya putusan arbitrase

yang dijatuhkan oleh badan arbitrase asing yang berada didalam wilayah Negara

anggota Konvensi New York lainnya.30 Fakta tersebut kemudian, membuat para

pihak yang bersengketa memperhatikan kepentingannya sendiri-sendiri, dimana,

Pihak yang dimenangkan dalam putusan arbitrase akan memohon pelaksanaan

putusan kepada Pengadilan wilayah Negara Anggota lainnya agar putusan tersebut

dapat menimbulkan kewajiban hukum untuk dilaksanakan oleh para pihak

khususnya pihak yang tidak dimenangkan, sedangkan di satu sisi, pihak yang

29 Pasal 16, Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kuasa Kehakiman, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 8, TLN Nomor 4358

30 Pasal III, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards1958 (New York Convention)

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 22: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

tidak dimenangkan tersebut akan melakukan berbagai cara agar putusan arbitrase

yang mewajibkan dia melakukan kewajiban hukum tidak dapat dilaksanakan dan

bila perlu, dibatalkan.

Mengacu pada ketentuan Konvensi New York 1958, pada dasarnya, dalam

Pasal V, telah secara jelas ditetapkan dan diatur landasan-landasan penolakan

pelaksanaan putusan arbitrase asing yang dapat diadopsi oleh Negara-Negara

anggotanya yang mengatur bahwa:31

1. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dapat ditolak, berdasarkan

permohonan dari salah satu pihak yang mengajukan, apabila pihak tersebut telah

melengkapi atau membuktikan kepada pejabat yang berwenang (competent

authority) dimana pengakuan dan pelaksanaan tersebut dimintakan/dimohonkan

dengan alasan-alasan:

a. Menurut hukum yang berlaku, para pihak tidak berwenang membuat perjanjian

arbitrase, yang disebut sebagai incapacity atau onbevoegd. Ketidakwenangan

tersebut mungkin oleh karena salah satu pihak masih dibawah umur. Atau salah

satu pihak berada dibawah kuratela. Atau menurut hukum yang berlaku pada

Negara tempat mana permohonan eksekusi diminta dianggap tidak berwenang

untuk membuat perjanjian.

b. Salah satu pihak tidak diberitahu atas penunjukkan arbiter ataupun atas adanya

persidangan arbitrase maupun tidak memperoleh kesempatan yang wajar untuk

melakukan pembelaan dalam mempertahankan kepentingannya.

c. Putusan arbitrase yang dijatuhkan tidak sesuai dengan penegasan yang diberikan,

putusan yang dimohon eksekusinya tidak sesuai dengan penegasan yang

dilimpahkan, atau putusan menyimpang dari pokok sengketa yang diperjanjikan.

d. Pengangkatan arbiter atau prosedur persidangan arbitrase menyimpang dari

perjanjian yang dibuat oleh pihak yang bersengketa atau gagal dalam perjanjian

tersebut dan tidak sesuai dengan hukum nasional dari Negara dimana putusan

arbitrase dijatuhkan.

e. Putusan arbitrase yang bersangkutan belum mengikat atau putusan tersebut telah

dikesampingkan maupun telah ditunda eksekusinya oleh Pengadilan di Negara

mana putusan tersebut diajukan.

31 Pasal V, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards1958 (New York Convention)

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 23: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

2. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dapat pula ditolak apabila

Pejabat yang berwenang dalam suatu Negara dimana pengakuan dan pelaksanaan

tersebut dicari/dimintakan menemukan bahwa:

a. Masalah yang disengketakan menurut hukum dari Negara di tempat mana permohonan

diajukan, tidak boleh diselesaikan melalui forum arbitrase.

b. Pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing yang bersangkutan akan menimbulkan

pertentangan dengan “ketertiban umum”.

Berdasarkan kepada pengaturan diatas, dapatlah dilihat bahwa, Konvensi

New York mengatur dua macam penolakan pelaksanaan putusan arbitrase yaitu,

penolakan yang didasari oleh adanya permohonan penolakan yang diajukan oleh

salah satu pihak dan penolakan yang diberikan secara khusus kepada kewenangan

Pengadilan Nasional berdasarkan pelaksanaan putusan yang tidak sesuai dengan

hukum Negara tersebut, serta adanya ketertiban umum yang akan dilanggar

dengan pelaksanaan putusan tersebut.32

Terhadap penolakan yang diajukan oleh salah satu pihak yang keberatan

terhadap pelaksanaan putusan arbitrase tersebut, Konvensi telah mengakomodir

hak dari pihak yang tidak dimenangkan dalam putusan arbitrase untuk dapat

mengajukan keberatan dalam bentuk penolakan pelaksanaan putusan arbitrase

dalam Pasal V ayat 1-nya. Sesuai dengan ketentuan tersebut, perlu untuk

digarisbawahi bahwa, adanya permohonan penolakan terhadap suatu putusan

arbitrase asing haruslah memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal V ayat 1

tersebut, dimana, penolakan terhadap pengakuan dan pelaksanan putusan arbitrase

tersebut harus memenuhi unsur pembuktian yang mendukung alasan yang

diajukan tersebut.33

Sehubungan dengan penolakan yang diatur oleh Konvensi New York, di

bawah UU arbitrase Indonesia, yaitu UU 30/1999, suatu putusan arbitrase asing

tidak dapat dilaksanakan berdasarkan tiga hal yaitu:

32 Albert Jan Van Den Berg, “The New York Convention of 1958: An Overview”, op.cit.,hlm. 13-14

33 Noah Rubbins, op.cit., hlm. 386; Susan Choi, op.cit., hlm. 189

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 24: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

1. Putusan arbitrase internasional yang dijatuhkan bukan berasal dari

badan arbitrase di Negara anggota Konvensi New York.

Merupakan persyaratan dan kesepakatan awal ratifikasi Konvensi

New York 1958 yang harus dipenuhi oleh Negara anggotanya.

2. Putusan arbitrase internasional bukan merupakan sengketa dagang

internasional.

Serupa dengan poin pertama, ini merupakan suatu persyaratan dan

kesepakatan awal yang harus dipenuhi dibawah Konvensi New

York 1958. Untuk suatu putusan arbitrase dapat diakui dan

dilaksanakan oleh suatu Pengadilan Nasional Negara yang

dimohonkan pelaksanaannya memang harus berupa sengketa

dagang.34 Ketentuan Pasal ini tidaklah bertentangan dengan

ketentuan Konvensi New York 1958 dan telah dipertegas dalam

Lampiran Perpres 34/1981 yang mengatur bahwa, “pelaksanaan

penerapan Konvensi hanya terbatas mengenai perselisihan yang

timbul secara sah dari perjanjian yang berkenaan dengan bidang

Hukum Perdagangan menurut Hukum Dagang Indonesia.”35 Pasal

66 UU 30/1999 juga telah mengatur bahwa perniagaan; perbankan;

keuangan; penanaman modal; industri; dan hak kekayaan

intelektual termasuk kedalam unsur Hukum Dagang Indonesia.36

3. Putusan bertentangan dengan ketertiban umum.

Poin ini yang mengatur tentang ketertiban umum yang terdapat

dalam Pasal 66 (c) UU 30/1999. UU 30/1999 akan tetapi, hanya

34 Pasal I (c), Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign ArbitralAwards 1958 (New York Convention)

35 M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 50

36 Penjelasan Pasal 66 (b), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase danAlternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor138, TLN Nomor 3872

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 25: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

memberikan suatu pembatasan pelaksanaan putusan arbitrase asing

dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak bertentangan

terhadap ketertiban umum, dimana, definisi terhadap terminologi

“ketertiban umum” itu sendiri tidaklah diberikan oleh UU 30/1999.37

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya serta mengacu kepada perkara

Pertamina melawan KBC, UU 30/1999 tidaklah komprehensif dalam pengaturan

arbitrasenya dan salah satunya dibuktikan dengan melihat kepada ketentuan

diatas, dimana UU arbitrase Indonesia hanya menerapkan sebagian dari ketentuan

Pasal V Konvensi New York 1958. UU arbitrase Indonesia hanya mengenal

ketertiban umum sebagai landasan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing

di dalam wilayah Negara Republik Indonesia (karena dua poin sebelumnya sudah

merupakan persyaratan dan kesepakatan yang diatur dalam ratifikasi Konvensi

New York 1958) dan pada kenyataannya, definisi terhadapnya pun tidak diatur

dalam UU ini.

Tidak diaturnya definisi tentang ketertiban umum dibawah UU 30/1999

berbeda dengan Perma 1/1990 yang secara khusus telah mengatur definisinya

dalam Pasal 4 (2)-nya yang mengatur bahwa,38 “Exequatur tidak akan diberikan

apabila putusan Arbitrase Asing itu nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi

asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum).”

Ketertiban umum sebagaimana diartikan dalam Perma 1/1990 ini kemudian,

secara umum telah diterima sebagai definisi universal oleh masyarakat hukum

Indonesia, walaupun, UU 30/1999 tidak mengatur didalamnya.

37 Pasal 66 (c), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan AlternatifPenyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLNNomor 3872

38 Pasal 4 (2), Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 26: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

Ketentuan penolakan berdasarkan prinsip ketertiban umum pada dasarnya,

telah diterima secara universal oleh masyarakat internasional khususnya dalam

lingkup pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing menurut Konvensi

New York 1958. Definisi ketertiban umum merupakan suatu perlindungan

terhadap kepentingan nasional dan merupakan suatu konsep yang samar-samar

yang berbeda-beda antara Negara dan Pengadilan Negara-Negara anggota telah

menerima suatu pandangan bahwa penentuan karakter dari definisi “ketertiban

umum” merupakan kebijakan masing-masing negara, dikarenakan setiap negara

bebas dalam menentukan definisi ketertiban umum dalam konteks sistem tata

hukum negara mereka.39

Sebagaimana kita lihat dalam perbandingan pengaturan ketentuan

penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing antara kedua perangkat hukum

(Konvensi New York 1958 dan UU 30/1999) diatas dan sebagaimana telah

dijelaskan pada Sub-Bab sebelumnya, dapatlah diambil kesimpulan bahwa

sebenarnya Indonesia benar-benar hanya menerapkan sebagian ketentuan

Konvensi New York 1958 dan pengaturan penolakan pelaksanaan putusan

arbitrase asing yang diatur dalam UU 30/1999 tersebut kurang memadai serta

tidak jelas dan tegas, terutama ketentuan yang mengatur ketertiban umum sebagai

landasan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Terlebih

lagi ketentuan “ketertiban umum” dengan tidak boleh bertentangannya

pelaksanaan putusan arbitrase asing dengan sendi-sendi asasi hukum nasional

Negara ditempat putusan tersebut dimohonkan, pada dasarnya, telah diatur dalam

Pasal V ayat 2 (a) Konvensi New York 1958. Dalam hal ini berarti, penolakan

pelaksanaan putusan arbitrase di Negara Republik Indonesia yang diatur dibawah

UU 30/1999 hanya menerapkan Pasal V ayat 2 Konvensi New York tanpa

mengikutsertakan ketentuan Pasal V ayat 1 Konvensi tersebut untuk dapat

diterapkan di dalamnya.

UU 30/1999 yang hanya menerapkan Pasal V ayat 2 tersebut, mengatur

ketertiban umum yang prosedur penolakan hanya dapat terjadi pada suatu putusan

39 Erman Rajagukguk, “Implementation of The 1958 New York Convention in SeveralAsian Countries: The Refusal of Foreign Arbitral Awards Enforcement On The Grounds of PublicPolicy”, op.cit., hlm. 11 & 3

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 27: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

yang telah didaftarkan namun setelah diperiksa ulang, putusan tersebut tidak dapat

dilaksanakan di Indonesia oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. UU 30/1999 ,

maka dari itu, tidaklah memberikan hak kepada pihak yang memohon penolakan

pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia dibawah Pasal V ayat 1

Konvensi New York, karena UU 30/1999 tidak mengaturnya. Dengan kata lain,

penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing dipegang sepenuhnya oleh

wewenang Pengadilan Negeri tanpa mengakui adanya prosedur permohonan

penolakan yang dapat diajukan oleh pihak yang tidak dimenangkan dalam putusan

arbitrase asing tersebut.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam Sub-bab sebelumnya, tidak diaturnya

ketentuan permohonan tersebut akan tetapi, sangatlah berbeda dengan praktek

pelaksanaan UU arbitrase di Indonesia, dimana Pihak yang tidak dimenangkan

dalam putusan arbitrase kerap kali mengajukan permohonan keberatan penolakan

pelaksanaan putusan arbitrase kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Fakta

yang menarik lainnya sehubungan dengan banyaknya permohonan penolakan

putusan arbitrase asing ini adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun menerima

dan memeriksanya, dimana pada dasarnya, pihak Pengadilan seharusnya tidak

berwenang untuk melakukan penerimaan dan pemeriksaan permohonan tersebut

terhadap tidak adanya ketentuan yang diatur dalam suatu perundang-undangan.

Adanya fakta-fakta ini dikarenakan (i) Baik para pelaku usaha maupun

perangkat hukum arbitrase Indonesia kerap menyalahartikan antara penolakan dan

pembatalan; (ii) dikarenakan adanya landasan hukum yang diatur dalam ketentuan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 (“UU 4/2004”) tentang Kuasa Kehakiman

yang mengatur bahwa,40 “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,

mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum

tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

UU 30/1999 mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase dimana hal

tersebut secara nyata berbeda dengan penolakan pembatalan pelaksanaan putusan

40 Pasal 16, Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kuasa Kehakiman, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 8, TLN Nomor 4358

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 28: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

arbitrase asing. Ketentuan tersebut secara lebih lanjut diatur dalam Pasal 70-nya

yang menentukan bahwa:“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan

apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan

dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang

disembunyikan oleh pihak lawan ; atau

c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak

dalam pemeriksaan sengketa.”

Selanjutnya, Pasal 71 mengatur bahwa:41

“Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling

lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase

kepada Panitera Pengadilan Negeri.”

Serta Pasal 72:42

1. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua

Pengadilan Negeri.

2. Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua

Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau

sebagian putusan arbitrase.

3. Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri

dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) diterima.

4. Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke

Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.

41 Pasal 71, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan AlternatifPenyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLNNomor 3872

42 Pasal 72, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan AlternatifPenyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLNNomor 3872

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 29: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

5. Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding

sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)

hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.

Melihat kepada ketentuan pembatalan tersebut, pada dasarnya

bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Konvensi New York karena

pada dasarnya, Konvensi New York tidak mengatur tentang adanya unsur

pembatalan pelaksanaan putusan arbitrase asing, Konvensi New York 1958

mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.43

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya juga bahwa,

pembatalan/pengesampingan terhadap putusan arbitrase asing terdapat dalam

Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New York 1958 dan Pasal tersebut mengatur secara

lebih lanjut terhadap adanya pengesampingan pelaksanaan putusan arbitrase asing

bila putusan arbitrase yang bersangkutan belum mengikat atau putusan tersebut

telah dikesampingkan maupun telah ditunda eksekusinya oleh Pengadilan di

Negara mana putusan tersebut diajukan. Konvensi New York dalam hal ini, secara

khusus mengatur adanya suatu pembatalan putusan arbitrase asing yang hanya

bisa diajukan kepada dan hanya diputus oleh Pengadilan Negara anggota dimana

penyelesaian sengketa arbitrase tersebut diadakan (country of origin).

Mengacu pernyataan Albert Jan Van Den Berg pada sub-bab sebelumnya

yang mengatakan bahwa, Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New York 1958

memberikan dua pendekatan terhadap pembatalan putusan arbitrase asing:44

1. Telah diterima secara umum bahwa pembatalan putusan arbitrase

asing merupakan jurisdiksi eksklusif yang dimiliki oleh Pengadilan

dimana arbitrase tersebut diadakan serta berdasar kepada hukum

arbitrase nasional Negara tersebut. Pengadilan di Negara anggota

Konvensi New York 1958 lainnya hanya dapat menentukan dapat

atau tidaknya putusan tersebut dilaksanakan. Terhadap

43 Albert Jan Van Den Berg mengatakan bahwa, “The actions governed by the Conventiondo not include the setting aside (vacatur, annulment) of anarbitral award,” sebagaimana tertulisdalam Albert Jan Van Den Berg, “The New York Convention of 1958: An Overview”, op.cit., hlm.4; Werner Melis, “Considering the advisability of preparing an additional Convention,complementary to the New York Convention,” dalam “Enforcing Arbitration Awards under theNew York Convention”, (New York: United Nations Publications, 1999), hlm. 45

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 30: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

dijatuhkannya pembatalan putusan arbitrase asing tersebut oleh

Pengadilan country of origin adalah berdampak luas terhadap

pelaksanaannya di Negara-Negara anggota lainnya.

2. Negara anggota lainnya dapat mengadopsi seluruh atau sebagian

dasar penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah

Negaranya. Sebagai contoh, UNCITRAL Model Law 1985 yang

menyediakan ketentuan penolakan tersebut dalam Pasal 34-nya

yang mengatur bahwa Pengadilan Negara anggota Konvensi New

York 1958 yang telah mengadopsi Model Law dapat

mengesampingkan putusan arbitrase asing yang dijatuhkan

berdasarkan Konvensi New York 1958 dengan dasar yang

pengaturannya hampir mirip dengan dasar penolakan yang diatur

dalam Pasal V Konvensi tersebut.

Selanjutnya mengacu kepada pernyataan Albert Jan Van Den Berg,

UNCITRAL Model Law 1985 mengatur dalam Pasal 34-nya, beberapa kriteria

pengesampingan putusan arbitrase asing yang serupa dengan Konvensi New York

serta yang dapat diajukan kepada Pengadilan Nasional dalam jangka waktu 3

bulan setelah putusan arbitrase asing diterima dengan syarat bahwa pihak tersebut

telah melengkapi atau membuktikan kepada pejabat yang berwenang (Pengadilan)

44 Albert Jan Van Den Berg, mengatakan bahwa, “First, it is a generally accepted rule thatthe setting aside of an arbitral award pertains to the exclusive jurisdiction of the courts in thecountry of origin (i.e., the country in which, or – rather theoretically - under the law of which, theaward was made) and is to be adjudicated on the basis of the arbitration law of that country. Thisrule appears to underlie the ground for refusal of enforcement set forth in Article V(1)(e) of theConvention (“The award ... has been set aside ... by a competent authority of the country in which,or under the law of which, that award was made”). The courts in the other Contracting States mayonly decide under the Convention whether or not to grant enforcement of the award within theirjurisdiction; Second, a country may adopt all or most of the grounds for refusal of enforcement setforth in Article V of the Convention as grounds for setting aside arbitral awards made within itsjurisdiction. An example is the UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitrationof 1985 which provides in Article 34 that a court of a country that has adopted the Model Law mayset aside an arbitral award rendered under that Law (as implemented) on grounds that are virtuallyidentical to the grounds for refusal of enforcement listed in Article V of the Convention (except forground (1)(e)), sebagaimana tertulis dalam Albert Jan Van Den Berg, op.cit., hlm. 138-156

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 31: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

dimana pengakuan dan pelaksanaan tersebut dicari/dimintakan dengan alasan-

alasan, yaitu:45

a. Bahwa pihak dalam arbitrase tidak berkapasitas terhadap putusan.

b. Perjanjian arbitrase tidak valid dibawah hukum yang diterapkan.

c. Pengumuman atau pemberitahuan terhadap penunjukkan

Pengadilan arbitrase ataupun persidangannya.

d. Salah satu pihak tidak dapat mempertahankan kepentingannya

dalam pembelaan.

e. Komposisi panel arbiter tidak sesuai dengan perjanjian para pihak

yang bersengketa.

f. Bahwa subjek sengketa tidak dapat diselesaikan dibawah arbitrase

berdasarkan hukum nasional dari tempat diadakannya persidangan

arbitrase tersebut atau bertentangan dengan ketertiban umum dari

Negara tersebut.

Berdasarkan kepada penjelasan diatas, perlu digarisbawahi bahwa,

Konvensi New York tidak mengatur tentang pembatalan pelaksanaan putusan

arbitrase yang dapat dilakukan oleh Pengadilan Negara anggotanya, kecuali

pembatalan tersebut dilakukan oleh Negara tempat dimana arbitrase tersebut

diselenggarakan (country of origin). Selanjutnya, Konvensi New York mengatur

bahwa Pengadilan-Pengadilan Negara anggota lainnya yang bukan merupakan

country of origin dan competent authority hanya berfungsi sebagai forum yang

dapat memberikan exequatur terhadap pelaksanaan putusan arbitrase asing

tersebut di wilayah Negaranya.

Sehubungan dengan ketentuan pembatalan yang diatur oleh UNCITRAL

Model Law diatas, Negara-Negara anggota Konvensi New York pada dasarnya,

diberikan hak untuk mengadopsi sebagian atau keseluruhan ketentuan-ketentuan

pengesampingan/pembatalan sebagaimana diatur dalam UNCITRAL Model Law

sebagai acuan terhadap pengesampingan/pembatalan putusan arbitrase asing

45 Pasal 34, United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL)Model Law 1985

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 32: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

maupun penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing di wilayah Negara yang

mengadopsinya tersebut.

Perlulah digarisbawahi bahwa dasar pembatalan dan penolakan

pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam UNCITRAL Model Law yang dapat

diadopsi oleh Negara-Negara anggota Konvensi New York tersebut, serta

diperbolehkannya penerapan dasar pembatalan dan penolakan pelaksanaan

putusan arbitrase asing di wilayahnya, tetap tidak melandasi pemberian hak

kepada Pengadilan suatu Negara untuk dapat membatalkan putusan arbitrase asing

yang dijatuhkan oleh badan arbitrase ketika Negara tersebut tidak menjadi tempat

diselenggarakannya penyelesaian sengketa arbitrase tersebut. Sesuai dengan

penjelasan sebelumnya, dibawah Pasal V ayat 1 (e) (yang tidak diadopsi dan

diterapkan Indonesia) Pengadilan Negara anggota yang bukan merupakan country

of origin (competent authority but not country of origin) hanyalah memperoleh

hak untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing terlepas Negara tersebut

mengadopsi UNCITRAL Model Law atau tidak.

Pada dasarnya, adopsi dasar-dasar pembatalan/pengesampingan putusan

arbitrase asing dibawah UNCITRAL Model Law hanyalah dapat digunakan sesuai

dengan ketentuan Pasal V ayat 1 (e) Konvensi New York, yaitu apabila Negara

anggota yang mengadopsi ketentuan tersebut merupakan country of origin,

dimana badan arbitrase nasional yang didirikan berdasarkan hukum nasional

Negaranya, ditunjuk oleh para pihak investor maupun pelaku usaha bisnis dan

perdagangan internasional sebagai forum penyelesaian sengketa mereka. Negara

anggota yang telah mengadopsi ketentuan pembatalan putusan arbitrase asing

dilarang mempergunakan ketentuan tersebut untuk melindungi kepentingan

nasionalnya apabila pihak pelaku usaha Negaranya terlibat dalam sengketa

tersebut.

Selanjutnya, terhadap Competent authority yang bukan merupakan

country of origin, putusan arbitrase asing yang hanya dapat diajukan pelaksanaan

ataupun penolakan sebagai perlawanan (challenge) terhadap kewenangan badan

arbitrase terhadap penjatuhan putusan arbitrase yang telah diputuskan dan

salinannya telah diberikan kepada para pihak. Konvensi New York hanya

memberikan hak kepada Negara anggotanya sebatas penolakan pelaksanaan

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 33: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

putusan arbitrase asing yang disertai dengan adanya pembuktian yang konkret

dalam persidangan arbitrase nantinya.

Alan Redfern dan Martin Hunter memberikan beberapa dasar untuk dapat

mengajukan keberatan terhadap penjatuhan putusan arbitrase oleh badan arbitrase

asing:46

1. Badan arbitrase asing tersebut kurang memiliki jurisdiksi untuk

menjatuhkan putusan arbitrase (arbitrability).

Ketentuan ini mengacu kepada adanya fakta yang didasari oleh

perjanjian antara pihak yang bersengketa, dimana kemudian

perjanjian tersebut dapat membuktikan bahwa Badan arbitrase

tersebut: (i) tidak dibentuk secara tepat, (ii) tidak berkompetensi

untuk menjatuhkan putusan terhadap subjek sengketanya; dan (iii)

subjek sengketa tersebut dapat diajukan penyelesaian sengketa di

hadapan arbitrase.

2. Kurangnya asas due process of law.

Dalam ketentuan ini, pihak yang bersengketa tidak diberitahukan

terhadap adanya pembentukan panel arbiter ataupun terhadap

adanya persidangan arbitrase itu sendiri

3. Perjanjian yang dibentuk para pihak yang bersengketa tidak valid.

Perjanjian yang dibentuk oleh para pihak tidak menyebutkan

arbitrase sebagai penyelesaian sengketa diantara mereka.

4. Permasalahan jurisdiksi

Pengadilan arbitrase melampaui kewenangannya dalam memutus

sengketa antara para pihak dimana sengketa tersebut tidak

didaftarkan kepada Pengadilan.

5. Ketertiban Umum

Adanya ketertiban umum yang dilanggar dapat diajukan

pengesampingan atau pembatalan berdasarkan definisi dari

ketertiban umum tersebut dimana setiap Negara berhak

menentukan definisi dari ketertiban umum itu sendiri.

46 Alan Redfern, op.cit., hlm. 425-431

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 34: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

Melihat kepada penjelasan-penjelasan diatas, dapatlah disimpulkan bahwa,

Konvensi New York tidaklah memberikan pengaturan terhadap pembatalan

putusan arbitrase internasional. Konvensi New York hanyalah memberikan suatu

gambaran kepada Negara anggotanya tentang siapa yang berwenang untuk

menjatuhkan pembatalan. Prof. Hikmahanto Juwana menambahkan bahwa,

pembatalan biasanya tidak diatur dalam konteks perjanjian internasional, tetapi

diatur dalam konteks hukum nasional suatu Negara.47

Bila melihat kepada pengaturan dan praktek pelaksanaan penolakan

putusan arbitrase di Indonesia merupakan fakta yang sangat memprihatinkan

mengingat Hal ini merupakan suatu fakta yang memprihatinkan mengingat, (i)

Konvensi New York tidak mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase asing di

wilayah Negara yang bukan merupakan Country of Origin; (ii) berdasarkan

Konvensi New York 1958, Indonesia yang pada faktanya, sering menjadi Negara

yang bukan merupakan country of origin, sering melakukan pembatalan terhadap

putusan arbitrase asing yang dijatuhkan oleh badan arbitrase Negara anggota

Konvensi New York lainnya; (ii) ketertiban umum digunakan sebagai dasar

pembatalan putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik Indonesia, pada

kenyataannya, tidak jelas pengaturan definisinya; (iii) tidak ada definisi pasti

tentang ketertiban umum (iv) dasar ketertiban umum tersebut bukanlah dasar

pembatalan putusan arbitrase asing, melainkan sebagai dasar penolakan

pelaksanaan putusan arbitrase asing; dan (v) dimana, dasar ketertiban umum yang

merupakan dasar penolakan pelaksanaan (bukan pembatalan) dibawah UU

arbitrase Indonesia tersebut, kewenangan penolakan putusan arbitrase asingnya

sepenuhnya dimiliki oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (tidak dimohonkan).

Berdasar kepada tidak sesuainya ketentuan UU arbitrase Indonesia, maka,

perlulah dilakukan amandemen terhadapnya, khususnya amandemen terhadap

penerapan ketentuan penolakan dan pembatalan dengan mengadopsi ketentuan

pasal pembatalan dan penolakan yang telah diterima oleh dunia internasional

secara universal.

47 Hikmahanto Juwana, op.cit., hlm. 84

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 35: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

Indonesia pada dasarnya, dapat mengatur UU arbitrasenya secara lebih

detail dan dapat mengadopsi sebagian atau seluruh ketentuan UNCITRAL Model

Law 1985 sebagai landasan pengaturan UU arbitrase Indonesia, dan terhadap

ketentuan yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional Negara Indonesia, dapat

dilakukan perubahan demi tercapainya aspek hukum penyelesaian sengketa secara

keseluruhan. Cara lainnya yang dapat ditempuh oleh Indonesia adalah dengan

merubah secara keseluruhan ketentuan penolakan dan pembatalan yang diatur

dalam UU 30/1999 sehingga menjadi komprehensif sehingga seperti ketentuan

yang diatur UNCITRAL Model Law tanpa harus mengadopsinya seperti Inggris.

Sebagai suatu Negara yang telah meratifikasi Konvensi New York 1958

seharusnya Indonesia lebih aware dan careful dalam pembentukan Undang-

Undangnya agar dapat melaksanakan kewajiban internasionalnya yang diatur

dalam Konvensi yang telah diratifikasinya tersebut, oleh karena itu, maka UU

30/1999 perlu diamandemen. Setiawan menambahkan bahwa, “di dalam

kesempatan ini, kalau kita memang mau konsisten masuk ke dunia global,

memang kita tidak bisa menghindarkan diri untuk mengikuti apa yang sudah

disepakati di dunia luar.”48

C. Penerapan dan Pelaksanaan Konvensi New York dalam UU 30 Tahun

1999 mengalami Banyak Hambatan

Sebagaimana telah dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya, sebelum

hukum arbitrase Indonesia yaitu UU 30/1999 diundangkan, pada dasarnya

Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang membahas arbitrase secara

khusus terutama arbitrase internasional. Perma 1/1990 merupakan satu-satunya

perangkat hukum diluar Undang-Undang yang secara khusus telah mengatur tata

cara pelaksanaan arbitrase asing di Indonesia, hanya saja dalam pelaksanaannya,

Perma ini masih tumpang tindih dengan hukum acara perdata Indonesia yang

tidak menerima putusan luar negeri untuk dapat dilaksanakan di Indonesia. Belum

adanya peraturan khusus tersebut membawa Indonesia ke dalam suatu kondisi

dimana pihak investor asing maupun pelaku usaha transaksi bisnis serta

48 Winata E. Kusnandar, op.cit., hlm. 81

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 36: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

perdagangan internasional tidak percaya dengan penyelesaian sengketa yang

dilaksanakan di Indonesia. Hal tersebut sudah dibuktikan dengan banyaknya

putusan-putusan perkara arbitrase yang diputuskan oleh badan arbitrase asing

tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.

Diundangkannya UU 30/1999 sebagai UU arbitrase pertama Indonesia,

dimana di dalamnya, pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dibahas

secara khusus dalam Bab terpisah dan komprehensif, diharapkan dapat

memperbaiki pengaturan terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak

secara khusus membahas tentang arbitrase sebelum UU tersebut diundangkan,

serta berdasar kepada fakta bahwa meskipun Pemerintah Indonesia telah terikat

peraturan-peraturan internasional yang berkaitan dengan arbitrase. Pada

kenyataannya, akan tetapi, UU tersebut belumlah dapat mengakhiri kesulitan

pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia.49

Berdasar kepada fakta-fakta diatas. dapat dikatakan bahwa, UU 30/1999

belum dapat mengakomodir pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing

secara efektif di Indonesia. Ketidakefektifan hukum arbitrase yang diatur dalam

UU 30/1999 akan berakibat kepada suatu ketidakpastian serta ketiadaan jaminan

hukum yang dapat diberikan kepada suatu subjek dan objek hukum yang

diaturnya. Oleh karena itu, UU 30/1999 dapat dikatakan belum dapat memberikan

suatu jaminan dan kepastian hukum sehubungan dengan putusan arbitrase asing

yang dijatuhkan oleh badan arbitrase asing untuk dapat diakui dan dilaksanakan di

Indonesia. Beberapa hambatan dalam pelaksanaan UU 30/1999 disebabkan karena

substansi UU 30/1999 yang tidak serupa dengan ketentuan Konvensi New York,

aparat Hukum kurang mendukung pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase

asing di Indonesia, serta budaya Hukum masyarakat terhadap arbitrase asing

Lemah karena Landasan Prinsip Teritorial.

C.1. Substansi Hukum Arbitrase Indonesia tidak Serupa dengan Ketentuan

Konvensi New York

49 Wisnu Aryo Dewanto, “Tinjauan Hukum Mengenai Sulitnya Melaksanakan PutusanArbitrase,” Jurnal Yustika, Volume 7 Nomor 2, Desember 2004, hlm. 361

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 37: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

Pada dasarnya, Konvensi New York 1958 telah memberikan suatu

pengaturan yang spesifik tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase

asing dalam lingkup hukum internasional untuk kemudian diterapkan ke dalam

hukum nasional negara anggotanya. Ketentuan-ketentuan mengenai pengakuan

dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang diatur Konvensi ini telah menjadi

universalitas ketentuan yang digunakan oleh banyak negara di dunia internasional.

Sehubungan dengan penerapan ketentuan pengakuan dan pelaksanaan

putusan arbitrase asing dibawah Konvensi New York 1958, substansi hukum

arbitrase Indonesia dalam UU 30/1999 yang merupakan unsur yang sangat

penting dalam sistem hukum, telah mengatur pengakuan dan pelaksanaan putusan

arbitrase asing yang cukup jelas dan tegas, bila dibandingkan dengan masa

sebelum adanya pengaturan yang secara khusus mengatur tentang arbitrase asing

(sebelum adanya UU No. 30 Tahun 1999). Hal tersebut ternyata masih belum

dapat memberikan suatu titik tolak kepastian hukum penyelesaian sengketa yang

dapat membuktikan bahwa UU arbitrase Indonesia sudah dapat menerima suatu

putusan arbitrase yang dijatuhkan oleh badan arbitrase asing. Terdapat beberapa

hal yang menunjukkan bahwa substansi UU 30/1999 sebagai UU yang khusus

mengatur tentang arbitrase kurang dapat mengakomodir pengakuan dan

pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah Negara Republik Indonesia.

C.1.a. UU 30/1999 tidak Menerapkan Ketentuan Pengakuan dan

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Konvensi New York 1958

Diratifikasinya Konvensi New York 1958 oleh Indonesia pada dasarnya

telah menunjukkan penerimaan Indonesia terhadap ketentuan-ketentuan yang

diatur didalamnya serta menunjukkan kesiapan Indonesia dalam menerapkan

ketentuan-ketentuannya dalam UU arbitrase sehingga memiliki dampak

pelaksanaan Konvensi dalam lingkup hukum internasional. Namun pada

kenyataannya, UU 30/1999 tidak menerapkan ketentuan pengakuan dan

pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana diamanatkan Konvensi New

York 1958.

Sebelum memasuki pembahasan tentang UU 30/1999 tidak menerapkan

ketentuan Konvensi New York 1958, kita perlu melihat dasar-dasar penerapan

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 38: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

ketentuan-ketentuan arbitrase asing yang dibahas dalam UU 30/1999. Dapat kita

lihat ketentuan yang mengatur tentang definisi putusan arbitrase asing di UU

30/1999, yaitu pada Pasal 1 ayat 9 yang menyatakan bahwa,50 “putusan Arbitrase

Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau

arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu

lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum

Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional,”

cukup membuktikan bahwa, suatu putusan arbitrase internasional akan diakui

sebagai suatu putusan arbitrase asing, apabila ketentuan hukum Republik

Indonesia mengatur tentang hal tersebut. Hal ini membuktikan serta memberikan

garis batas yang jelas bahwa apabila hukum Indonesia mengatur bahwa putusan

tersebut merupakan suatu putusan arbitrase internasional, maka putusan tersebut

diakui oleh hukum Indonesia sebagai putusan arbitrase asing yang dapat

dilaksanakan di Indonesia, namun sebaliknya, bila hukum Indonesia tidak

mengatur putusan tersebut sebagai putusan arbitrase asing didasarkan oleh

beberapa alasan, maka putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.

Selanjutnya, melihat definisi tentang “putusan arbitrase asing” yang diatur

dibawah Konvensi New York mengacu kepada dua definisi yaitu:

1. Putusan yang dijatuhkan dalam teritori Negara lain diluar dari

Negara dimana pengakuan dan pelaksanaan putusan dimohonkan.51

Menurut ketentuan ini, pihak Negara anggota menyetujui terhadap

putusan yang dibuat di negara manapun.

2. Putusan yang dijatuhkan dalam teritori negara anggota Konvensi

New York lainnya.52

50 Pasal 1 ayat 9, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan AlternatifPenyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLNNomor 3872

51 Pasal I ayat 1, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign ArbitralAwards 1958 (New York Convention)

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 39: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

Ketentuan ini merupakan permohonan reservasi yang disediakan oleh

Konvensi ini untuk diterapkan dalam hukum nasional mereka berdasarkan

pasal XIV, dimana, ketika reservasi ini dibuat, maka pihak negara yang

melakukan reservasi tersebut hanya mengakui pengakuan dan pelaksanaan

terhadap putusan arbitrase asing yang dijatuhkan oleh badan arbitrase yang

terletak di Negara anggota Konvensi New York (Asas Resiprositas).

Definisi putusan arbitrase asing dalam UU 30/1999 serta pengaturan definisi

dibawah Konvensi New York, kemudian secara lebih lanjut dijelaskan dalam Bab VI, UU

30/1999 (bab yang secara khusus mengatur tentang arbitrase internasional) dalam Pasal

66-nya yang mengatur bahwa:53

“Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum

Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu

negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral

maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase

Internasional;

b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada

putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum

perdagangan.”

Pasal ini menandakan bahwa Indonesia mengakui dan melaksanakan putusan

arbitrase asing dalam wilayahnya apabila Indonesia memiliki hubungan yang terikat

melalui perjanjian bilateral maupun multilateral dengan negara lain sehubungan dengan

pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional (asas resiprositas), serta yang

termasuk dalam lingkup hukum dagang. Adanya ketentuan pasal tersebut, berarti52 Pasal I ayat 3, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards

1958 (New York Convention)

53 Pasal 66, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif PenyelesaianSengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 40: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

Indonesia telah menjalankan ketentuan asas resiprositas yang dianut Konvensi New York

1958. Telah dijelaskan pada Bab-Bab sebelumnya, Indonesia telah menjadi negara

anggota Konvensi New York dan mengikatkan diri kepada Konvensi tersebut dengan

diundangkannya Keppres 34/1981 sebagai wujud ratifikasi Indonesia terhadap Konvensi

tersebut. Diterbitkannya Keppres 34/1981 yang menganut asas resiprositas kemudian

diikuti oleh penerbitan Perma 1/1990 yang berlandaskan asas yang sama pula. Kehadiran

UU 30/1999 sendiri, pada dasarnya merupakan suatu penerapan asas resiprositas yang

ada dalam Keppres 34/1981 dan Perma 1/1990, akan tetapi, terdapat suatu hal yang

menarik dalam UU 30/1999 ini yang kemudian menimbulkan beberapa pertanyaan

terhadap konsistensi Indonesia sebagai negara anggota Konvensi New York 1958 dan

kompetensi UU 30/1999 sebagai UU penerapan ketentuan Konvensi tersebut.

Pada kenyataannya, UU 30/1999 tidak mendasari ketentuan pengakuan dan

pelaksanaan arbitrase asingnya sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi New York

1958, walaupun Undang - Undang ini telah mengakomodir pengakuan dan pelaksanaan

arbitrase asing sebagaimana diatur dalam Konvensi New York 1958. Hal ini dapat

dibuktikan pada sedikitnya ketentuan Konvensi New York yang diadopsi dan diterapkan

serta yang paling krusial terletak di bagian Konsideran UU 30/1999 dimana bagian

Konsideran UU 30/1999 tidak mempertimbangkan adanya Konvensi New York sebagai

landasan pengaturan arbitrase asing dalam Pasal-pasalnya. UU 30/1999 bahkan tidak

mempertimbangkan adanya beberapa peraturan yang telah ada sebelumnya sebagai

peraturan yang melaksanakan ketentuan Konvensi New York, yaitu Keppres 34/1981 dan

Perma 1/1990. Adapun bagian Konsideran yang dimaksud dalam UU 30/1999 tersebut

mempertimbangkan bahwa:54

a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa

perdata di samping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan

melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa;

54 Konsideran, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif PenyelesaianSengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 41: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

b. bahwa peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk penyelesaian sengketa

melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum

pada umumnya;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu

membentuk Undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Konsideran yang tidak merunut kepada pengakuan dan pelaksanaan putusan

arbitrase asing sebagaimana dimaksud dalam Konvensi New York 1958 serta Keppres

34/1981 dan Perma 1/1990, menunjukkan bahwa Indonesia tidak mempertimbangkan

pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dibawah Konvensi New York 1958.

Ketentuan mengenai Konsideran sebagai dasar pertimbangan diundangkannya UU

30/1999 adalah sangat berbeda dengan Konsideran yang digunakan dalam Perma 1/1990.

Dimana, Konsideran Perma 1/1990 tersebut menimbang:55

1. Bahwa dengan disahkan "Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign

Arbitral Awards " (New York Convention 1958) dengan Keputusan Presiden Republik

Indonesia No. 34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981, dipandang perlu untuk menetapkan

peraturan tentang tata cara pelaksanaan suatu putusan Arbitrase Asing.

2. Bahwa ketentuan-ketentuan hukum acara perdata Indonesia sebagaimana terdapat dalam

Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Stbl. 1914 No. 44), Reglemen Daerah-daerah Luar

Jawa dan Madura (S. 1927-227) maupun ketentuan-ketentuan Reglement op de

Rechtsvordering (S. 1847-52 yo 1849-63) tidak memuat ketentuan mengenai pelaksanaan

suatu putusan Arbritase Asing.

3. Bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk menuangkan ketentuan-ketentuan

tentang tata cara pelaksanaan suatu putusan Arbitse Asing itu dalam suatu peraturan

Mahkamah Agung.”

Merupakan suatu hal yang sangat menarik apabila kita melihat kepada Konsideran

UU 30/1999, dan menganggap UU 30/1999 sebagai Undang - Undang yang secara

khusus mengatur tentang arbitrase asing dan secara pasti telah mengakomodir ketentuan

pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang diamanatkan Konvensi New

55 Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata CaraPelaksanaan Putusan Arbitrase Asing

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 42: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

York dalam Pasal-Pasalnya. Undang - Undang ini, pada dasarnya tidak melandasi

Konvensi New York 1958 sebagai landasan pertimbangan pengundangannya, serta tidak

memperhatikan dan menimbang Keppres 34/1981 yang secara khusus telah mengatur

tentang pengakuan dan pengesahan Konvensi New York 1958 dan Perma 1/1990 yang

telah secara khusus mengatur tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing di

Indonesia.

Berdasar kepada fakta tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa konsistensi

Indonesia sebagai negara anggota Konvensi New York adalah tidak jelas, serta UU

30/1999 bukanlah Undang - Undang yang berkompeten untuk mengakui dan

melaksanakan putusan arbitrase asing dibawah Konvensi New York 1958 karena tidak

mengadopsi dan menerapkan ketentuan Konvensi tersebut dalam pengaturannya terhadap

pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.

Pertanyaan yang selanjutnya muncul dari pemaparan diatas adalah apakah

kemudian putusan arbitrase asing yang diputus oleh badan arbitrase asing yang memiliki

perjanjian dengan Indonesia tetap diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah Negara

Republik Indonesia. Berdasar kepada persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 66,

Penulis menyatakan bahwa putusan-putusan tersebut tetap diakui dan dapat dilaksanakan

di Indonesia, hanya saja ketentuan yang terdapat dalam UU 30/1999 tidak dapat

dikatakan sebagai peraturan yang khusus mengatur pengakuan dan pelaksanaan putusan

arbitrase asing sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi New York 1958.

C.1.b. UU 30/1999 tidak friendly dengan Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan

Arbitrase Asing

Sama halnya dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

arbitrase sebelumnya, UU 30/1999 juga dianggap tidak friendly dengan putusan arbitrase

asing. Serupa dengan pembahasan sebelumnya, dimana UU 30/1999 tidak menerapkan

ketentuan-ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang

komprehensif dalam Pasal-Pasalnya sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi New York

1968.

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 43: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

Tidak friendly-nya UU 30/1999 ditunjukkan dalam Pasal 67 yang mengatur

bahwa:56

1. Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut

diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat.

2. Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus

disertai dengan:

a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal

otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;

b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase

Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan

resminya dalam bahasa Indonesia; dan

c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan

Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon

terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik

Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

Ketentuan pengakuan dan pelaksanaan dalam UU 30/1999 sangatlah berbeda bila

dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi New York 1958

dan UNCITRAL Model Law 1985, dimana ketentuan pengakuan dan pelaksanaan

putusan arbitrase asing dibawah Pasal-Pasal mereka sangatlah mudah dan tegas.

Sebagaimana ketentuan Pasal IV Konvensi New York mengatur bahwa:57

1. Untuk memperoleh pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase asing yang diatur

dalam pasal-pasal sebelum ini, pihak yang memohon pengakuan dan pelaksanaan, pada saat

mengajukan permohonan harus menyediakan:

a. melampirkan/menyerahkan putusan asli arbitrase atau salinan yang telah disahkan secara

resmi sesuai dengan aslinya.

56 Pasal 67, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif PenyelesaianSengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872

57 Pasal IV, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958(New York Convention)

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 44: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

b. melampirkan/menyerahkan asli surat perjanjian atau salinan yang telah disahkan secara

resmi.

2. Sekiranya putusan maupun perjanjian tersebut belum dibuat atau diterjemahkan ke dalam

bahasa resmi Negara tempat dimana permohonan diajukan, yang bersangkutan harus

menyampaikan terjemahannya yang harus dibuat oleh penerjemah tersumpah atau badan

resmi maupun pejabat diplomatik atau konsuler.

Selanjutnya dalam Pasal 35 Model Law 1985 yang menentukan bahwa:58

1. Sebuah putusan arbitrase, terlepas dari tempat dijatuhkannya putusan tersebut, harus

dianggap mengikat dan terhadap adanya permohonan dalam bentuk tertulis yang ditujukan

kepada suatu Negara, harus dilaksanakan sesuai dengan Pasal ini dan Pasal 36.

2. Pihak yang memohon pelaksanaan putusan arbitrase asing harus menyerahkan atau

melampirkan putusan asli arbitrase atau salinan yang telah disahkan secara resmi sesuai

dengan aslinya serta melampirkan/menyerahkan asli surat perjanjian atau salinan yang telah

disahkan secara resmi. Sekiranya putusan ataupun perjanjian tersebut tidak dibuat dalam

bahasa resmi Negara yang dimohonkan pelaksanaannya, pihak yang memohon pelaksanaan

tersebut harus menyerahkan terjemahan yang resmi (penerjemah tersumpah atau badan resmi

maupun pejabat diplomatik atau konsuler) ke dalam bahasa resmi tersebut.

Melihat ketentuan tentang permohonan pelaksanaan putusan arbitrase asing

sebagaimana diatur oleh ketiga perangkat hukum diatas, dapatlah disimpulkan bahwa UU

30/1999 tidak bersahabat terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di

dalam wilayah Negara Republik Indonesia karena mengatur persyaratan pengakuan dan

pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam konteks yang sulit dan/atau merepotkan pihak

yang ingin memohon pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut. Konvensi New York

dan UNCITRAL Model Law 1985 yang mengatur hal yang serupa, telah membuktikan

bahwa prosedur pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing pada dasarnya adalah

simple, tidak merepotkan dan pasti.

C.1.c. Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing dalam UU

30/1999 Tidak Konsekuen

58 Pasal 35, United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Model Law1985

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 45: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

Bila kita melihat ketentuan yang diatur dalam Pasal 66 (d), UU 30/1999,

dijelaskan bahwa,59 “putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia

setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.” Dengan

adanya ketentuan tersebut, maka putusan arbitrase internasional/asing dalam ketentuan

ini dapat dilaksanakan setelah memperoleh exequatur oleh Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat.

Hal ini disatu sisi akan sangat berbeda dengan putusan arbitrase asing ketika

melibatkan Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihaknya, dimana ketentuan

tersebut menambah sisi tidak friendly-nya UU 30/1999. Pasal 66 (e) mengatur bahwa,60

“putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut

Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat

dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia

yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.”

Berdasarkan kepada kedua ketentuan diatas, maka sebenernya, siapakah yang

menjatuhkan exequatur terhadap pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah

hukum Negara Indonesia, mengapa hal ini dibedakan ketika melibatkan Negara Republik

Indonesia sebagai salah satu pihaknya. Hal ini berakibat kepada ketidakadilan kepada

pelaku usaha asing yang ingin memohon pelaksanaan putusan arbitrase asing dan

kemungkinan suatu permohonan tersebut ditolak adalah sangat tinggi, mengingat pihak

Negara Indonesia terlibat disini, dan permohonan pelaksanaan kemungkinan akan ditolak

demi untuk melindungi kepentingan nasional.

Sebagaimana telah terjadi dalam perkara-perkara arbitrase yang melibatkan pihak

pelaku usaha Indonesia, (Nizwar Case, Bakrie Brother Case, dll), dimana ketertiban

umum diberlakukan demi melindungi kepentingan nasional.61 Walaupun kedua perkara

59 Pasal 66 (d), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif PenyelesaianSengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872

60 Pasal 66 (e), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif PenyelesaianSengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 46: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

tersebut merupakan contoh ketika UU 30/1999 belum diberlakukan, namun terlihat jelas

bahwa kepentingan nasional dalam hal ini sangatlah dilindungi.

Pada dasarnya, Indonesia dapat melindungi kepentingan nasional dengan

mengaturnya kedalam UU arbitrasenya secara jelas dengan tetap tidak membeda-bedakan

perlakuan terhadap pelaku usaha asing. Hal ini mengakibatkan Indonesia tidak

menjunjung tinggi asas penanaman modal, yaitu asas perlakuan yang sama dan tidak

membedakan asal Negara, asas efisiensi berkeadilan, asas kepastian hukum; asas

transparansi / keterbukaan; asas akuntabilitas.62

C.1.d. Pengaturan Landasan Penolakan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Indonesia

sangatlah Sempit Cakupannya dan Tidak Jelas

Sebagaimana telah dijelaskan dalam Sub-bab sebelumnya, bahwa pada

kenyataannya, ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang

diamanatkan oleh Konvensi New York belum sepenuhnya diterapkan dalam lingkup

sistem tata hukum nasional Indonesia, khususnya dalam UU 30/1999. Belum

diterapkannya ketentuan Konvensi tersebut dapat dilihat dari adanya ketentuan dalam UU

30/1999 mengenai penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah

Republik Indonesia yang cakupannya sangat sempit bila dibandingkan dengan ketentuan

yang diatur dalam Konvensi New York 1958.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pula bahwa, Konvensi New York telah

secara jelas menetapkan dan mengatur landasan-landasan penolakan pelaksanaan putusan

arbitrase asing yang dapat diadopsi oleh Negara-Negara anggotanya dalam Pasal V-nya

yang mengatur bahwa:63

61 Lihat Bab III

62 Pasal 3 (1), Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Penanaman Modal, UU Nomor 25Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724 Tahun 2007

63 Pasal V, Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958(New York Convention)

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 47: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

1. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dapat ditolak, berdasarkan permohonan dari

salah satu pihak yang mengajukan, apabila pihak tersebut telah melengkapi atau

membuktikan kepada pejabat yang berwenang (Pengadilan) dimana pengakuan dan

pelaksanaan tersebut dicari/dimintakan dengan alasan-alasan:

a. Menurut hukum yang berlaku, para pihak tidak berwenang membuat perjanjian arbitrase,

yang disebut sebagai incapacity atau onbevoegd. Ketidakwenangan tersebut mungkin

oleh karena salah satu pihak masih dibawah umur. Atau salah satu pihak berada dibawah

kuratela. Atau menurut hukum yang berlaku pada Negara tempat mana permohonan

eksekusi diminta dianggap tidak berwenang untuk membuat perjanjian.

b. Salah satu pihak tidak diberitahu atas penunjukkan arbiter ataupun atas adanya

persidangan arbitrase maupun tidak memperoleh kesempatan yang wajar untuk

melakukan pembelaan dalam mempertahankan kepentingannya.

c. Putusan arbitrase yang dijatuhkan tidak sesuai dengan penegasan yang diberikan, putusan

yang dimohon eksekusinya tidak sesuai dengan penegasan yang dilimpahkan, atau

putusan menyimpang dari pokok sengketa yang diperjanjikan.

d. Pengangkatan arbiter atau prosedur persidangan arbitrase menyimpang dari perjanjian

yang dibuat oleh pihak yang bersengketa atau gagal dalam perjanjian tersebut dan tidak

sesuai dengan hukum nasional dari Negara dimana putusan arbitrase dijatuhkan.

e. Putusan arbitrase yang bersangkutan belum mengikat atau putusan tersebut telah

dikesampingkan maupun telah ditunda eksekusinya oleh Pengadilan di Negara mana

putusan tersebut diajukan.

2. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dapat pula ditolak apabila Pejabat yang

berwenang dalam suatu Negara dimana pengakuan dan pelaksanaan tersebut

dicari/dimintakan menemukan bahwa:

a. Masalah yang disengketakan menurut hukum dari Negara di tempat mana permohonan

diajukan, tidak boleh diselesaikan melalui forum arbitrase.

b. Pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing yang bersangkutan akan menimbulkan

pertentangan dengan “ketertiban umum”.

Selanjutnya, sebagai perbandingan tambahan, UNCITRAL Model Law 1985 juga

telah mengatur secara jelas alasan-alasan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing

kepada Negara yang mengadopsinya dalam Pasal 36-nya, yang menentukan bahwa:

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 48: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

1. Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing, terlepas dari tempat di Negara mana

putusan tersebut dijatuhkan, hanya dapat ditolak:64

a. berdasarkan permohonan dari salah satu pihak yang mengajukan, apabila pihak tersebut

telah melengkapi atau membuktikan kepada pejabat yang berwenang (Pengadilan)

dimana pengakuan dan pelaksanaan tersebut dicari/dimintakan dengan alasan-alasan:

a. Menurut hukum yang berlaku, para pihak tidak berwenang membuat perjanjian arbitrase,

yang disebut sebagai incapacity; atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak adalah tidak valid

dibawah hukum dimana putusan arbitrase tersebut dijatuhkan;

b. Pihak yang mengajukan permohonan tidak diberitahu atas penunjukkan arbiter ataupun atas

adanya persidangan arbitrase maupun tidak memperoleh kesempatan yang wajar untuk melakukan

pembelaan dalam mempertahankan kepentingannya.

c. Apabila putusan yang dijatuhkan tidak sesuai dengan ketentuan sengketa yang diatur dalam

penegasan penyelesaian sengketa arbitrase yang diberikan, atau mengandung putusan terhadap subjek

sengketa tidak sesuai dengan dengan penegasan yang dilimpahkan atau Putusan yang dijatuhkan tidak

sesuai dengan atau diluar kompetensi jurisdiksi penanganan subjek sengketa Pengadilan arbitrase

yang memutus.

d. Komposisi panel arbiter tidak sesuai dengan perjanjian para pihak yang bersengketa.

e. Putusan arbitrase belum mengikat atau telah dikesampingkan atau ditunda pelaksanaannya

oleh Pengadilan Nasional yang berada di satu teritori dengan tempat diselenggarakannya persidangan

arbitrase.

b. Apabila Pengadilan tersebut menemukan bahwa:

i. Masalah yang disengketakan tidak dapat diselesaikan melalui forum arbitrase

menurut hukum dari Negara di tempat mana permohonan diajukan.

ii. Pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing yang bersangkutan akan

menimbulkan pertentangan dengan “ketertiban umum”.

2. Apabila permohonan terhadap pengesampingan atau penundaan pelaksanaan putusan arbitrase telah

diajukan kepada Pengadilan yang diatur dalam Pasal (1)(a)(v) UNCITRAL Model Law, Pengadilan

yang dimintakan pengakuan dan pelaksanaan putusan dapat, apabila dianggap pantas, menunda

putusannya dan juga, berdasar kepada permohonan pihak yang memohon pengakuan dan pelaksanaan

64 Pasal 36, United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Model Law1985

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 49: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

putusan arbitrase tersebut, memerintahkan pihak yang tidak memohonkan pelaksanaan untuk

memberikan jaminan yang pantas.

Sehubungan dengan penolakan yang diatur oleh Konvensi New York dan

UNCITRAL Model Law 1985, di bawah UU arbitrase Indonesia, yaitu UU 30/1999,

diatur bahwa suatu putusan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan berdasarkan tiga hal

yaitu:

1. Putusan arbitrase internasional yang dijatuhkan bukan berasal dari badan

arbitrase di negara anggota Konvensi New York.

2. Putusan arbitrase internasional bukan merupakan sengketa dagang

internasional.

Dibawah Konvensi New York 1958, suatu putusan arbitrase untuk dapat

diakui dan dilaksanakan oleh suatu Pengadilan Nasional Negara yang

dimohonkan pelaksanaannya memang harus berupa sengketa dagang.65

Ketentuan Pasal ini tidaklah bertentangan dengan ketentuan Konvensi

New York 1958 dan telah dipertegas dalam Lampiran Perpres 34/1981

yang mengatur bahwa, “pelaksanaan penerapan Konvensi hanya terbatas

mengenai perselisihan yang timbul secara sah dari perjanjian yang

berkenaan dengan bidang Hukum Perdagangan menurut Hukum Dagang

Indonesia.”66 Pasal 66 UU 30/1999 juga telah mengatur bahwa perniagaan;

perbankan; keuangan; penanaman modal; industri; dan hak kekayaan

intelektual termasuk kedalam unsur Hukum Dagang Indonesia.67

65 Pasal I (c), Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958(New York Convention)

66 M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 50

67 Penjelasan Pasal 66 (b), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan AlternatifPenyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor3872

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 50: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

3. Putusan bertentangan dengan ketertiban umum.

Poin yang mengatur tentang ketertiban umum terdapat dalam Pasal 66 (c)

UU 30/1999. UU 30/1999 hanya memberikan suatu pembatasan

pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayah Negara Republik

Indonesia yang tidak bertentangan terhadap ketertiban umum, dimana,

definisi terhadap terminologi “ketertiban umum” itu sendiri tidaklah

diberikan oleh UU 30/1999.68

Melihat kepada landasan penolakan yang diatur dalam UU 30/1999, dapatlah

dilihat bahwa, UU arbitrase Indonesia hanya mengatur sedikit ketentuan tentang

penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam wilayahnya. Ditambah dengan

tidak adanya ketentuan yang mengatur tentang definisi dari “ketertiban umum” sangatlah

menunjukkan bahwa UU arbitrase Indonesia tidak mengatur secara jelas dan tegas

pelaksanaan putusan arbitrase asing di Negara Indonesia.

Berdasarkan kepada fakta-fakta diatas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa UU

30/1999 pada dasarnya, tidak menerapkan ketentuan penolakan sepenuhnya dan

mencerminkan semangat Konvensi New York, walaupun Indonesia telah meratifikasi

Konvensi tersebut. Dalam prakteknya, pelaksanaan dan interpretasi terhadap UU 30/1999

pun menimbulkan beberapa kontroversi bahkan sengketa-sengketa antara para pihak, dan

pada akhirnya, Pengadilan Negeri berperan kembali terhadap pelaksanaan dan penafsiran

hukum arbitrase tersebut.69

68 Pasal 66 (c), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif PenyelesaianSengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872

69 Huala Adolf mengatakan bahwa, “The Law however does not embody or even reflect the spiritof the New York Convention, despite Indonesia ratified the Convention. In practice, as one may envisage,the implementation and the interpretation of the Law yield controversies or even dispute between theparties. In the face of it, the district court, again, play its role in enforcing and interpreting the ArbitrationLaw,” sebagaimana tertulis dalam “Improving the Enforcement of International Arbitration Awards inASEAN Countries”, op.cit., hlm. 5

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 51: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

C.2. Aparat Hukum Kurang Mendukung Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan

Arbitrase Asing di Indonesia

Unsur dari sistem hukum yang turut menentukan terciptanya kepastian hukum

adalah aparatur hukum. Menurut Friedman, aparatur hukum atau structure sebagai bagian

dari sistem hukum meliputi institusi-institusi eksekutif, judikatif dan legislatif.

Komponen struktur hukum merupakan representasi dari aspek institusional yang

memerankan pelaksanaan hukum dan pembuatan undang-undang. Struktur dalam

implementasinya merupakan sebuah keseragaman yang berkaitan satu dengan yang lain

dalam suatu sistem hukum.70

Pada saat krisis ekonomi, aparatur hukum Indonesia kurang mendukung

peningkatan investasi, hal ini dapat dilihat dari sisi legislatif, eksekutif dan yudikatif,

antara lain:71

1. Sejak era reformasi, telah terjadi pergeseran kekuasaan dimana legislatif

lebih dominan dibandingkan dengan eksekutif pada masa orde baru.

2. Undang-Undang yang dilahirkan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) tidak

dapat menciptakan stability karena tidak dapat menyeimbangkan

kepentingan yang saling bersaing di masyarakat.

3. Undang-Undang yang dilahirkan oleh DPR juga kurang dapat

menciptakan predictability, sehingga setiap orang tidak dapat

memperkirakan langkah-langkah atau perbuatan yang dilakukan.

4. Pada tahap implementasi, Undang-Undang yang dilahirkan DPR tidak

disertai norma-norma pelaksanaannya, tidak diikuti dengan perintah

kepada institusi atau tidak dilengkapi dengan prosedur dan prasarana yang

seharusnya menjadi bagian dari Undang-Undang tersebut, hingga akhirnya

70 Lawrence M. Friedman, Legal Theory, (London: Macmillan Press, 1998), hlm. 5, sebagaimanatertulis dalam Suparji, op.cit., hlm. 152

71 Suparji, op.cit., hlm. 152-155

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 52: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

berakibat kepada Undang-Undang yang dilahirkan tidak dirumuskan

dengan bahasa yang dimengerti masyarakat.

5. Dari sisi eksekutif, adanya perebutan kewenangan dalam penyelenggaraan

penanaman modal, terutama berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi

daerah yang cenderung memperburuk daya saing investasi di Indonesia.

6. Pemerintah daerah cenderung untuk berorientasi untuk memperoleh

keuntungan jangka pendek dan melihat investor sebagai sumber

penghasilan daerah. Serta pejabat di daerah semakin birokratis, tidak

efisien serta peraturan daerah yang dibuat hanya untuk meningkatkan

pendapatan asli daerah yang diperburuk dengan banyaknya pungutan-

pungutan dalam prakteknya di lapangan.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Konvensi New York mengatur tentang

universalitas pengaturan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam

konteks hukum nasional negara anggotanya. Peran hukum arbitrase nasional dan

Pengadilan Negeri sangatlah berperan terhadap pelaksanaan putusan arbitrase asing

dalam wilayahnya.

Albert Jan Van Den Berg, mengatakan pentingnya peran Pengadilan Nasional

terutama para hakim-hakim dalam pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing

sebagaimana diamanatkan Konvensi New York 1958. Pernyataannya adalah,72 “The

Convention is widely acclaimed as being an incredible success. I would like to use this

occasion to express my gratitude for this to one group of persons in particular: the

judges in most countries around the world who have supported the Convention so

strongly. Without them, we would not be celebrating here the most successful

international convention in international private law of this century.”

Terhadap peran penting Pengadilan dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing

sebagaimana telah disampaikan oleh Albert Jan Van Den Berg diatas, Timur Sukirno

memberikan gambaran terhadap pelaksanaan putusan arbitrase di Indonesia bahwa,73 “in

72 Albert Jan Van Den Berg, “Striving for Uniform Interpretation”, dalam “Enforcing ArbitrationAwards under the New York Convention”, (New York: United Nations Publications, 1999), hlm. 41

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 53: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

Indonesia, certain issues in arbitration are court-dependent… Enforcement of arbitral

awards is conducted through the judiciary system.”

Diundangkannya UU 30/1999 sebagai UU arbitrase pertama Indonesia, dimana di

dalamnya, pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dibahas secara khusus

dalam Bab terpisah dan komprehensif, diharapkan dapat memperbaiki pengaturan

terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak secara khusus membahas tentang

arbitrase sebelum UU tersebut diundangkan, serta berdasar kepada fakta bahwa meskipun

Pemerintah Indonesia telah terikat peraturan-peraturan internasional yang berkaitan

dengan arbitrase, belumlah dapat mengakhiri kesulitan pelaksanaan putusan arbitrase

asing di Indonesia.74

Pengadilan Negeri Indonesia sebagai tempat dimohonkannya pelaksanaan putusan

arbitrase asing belumlah dapat mengakomodir permohonan pihak yang dimenangkan

dalam arbitrase. Pengadilan Negeri Indonesia seperti tidak berkeinginan untuk

memberikan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik

Indonesia. Thomas E. Carbonneau mengatakan bahwa,75 “the willingness of any national

legal system to endorse the process of arbitral adjudication can be measured by whether

its governing statutory law and accompanying case law sustain the validity of arbitration

agreements and limit judicial supervision of arbitral proceedings and awards.”

Pengadilan Negeri Indonesia memang terlihat seperti tidak berkeinginan untuk

memberikan exequatur terhadap putusan arbitrase asing di Indonesia, semenjak UU

30/1999 belum diundangkan hingga setelah diundangkannya UU tersebut. Noah Rubbins

73 Timur Sukirno & Reno Hirdarisvita, “Indonesia”, Baker Mckenzie Internatinal ArbitrationYearbook, Jakarta, hlm. 29, didapat dari http://www.bakermckenzie.com/files /Uploads/Documents/Global%20Dispute%20Resolution/Dispute%20Resolution%20Around%20the%20World/dratw_indonesia_2009.pdf, diakses pada 3 Januari 2011, 14:57 WIB

74 Wisnu Aryo Dewanto, “Tinjauan Hukum Mengenai Sulitnya Melaksanakan Putusan Arbitrase,”Jurnal Yustika, Volume 7 Nomor 2, Desember 2004, hlm. 361

75 Thomas E. Carbonneau, “The Reception of Arbitration in United States Law,” didapat dariWisnu Aryo Dewanto, op.cit., hlm. 358

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 54: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

mengatakan bahwa,76 “historically, Indonesian courts have engendered little confidence

among foreign investors that the dispute resolution systems they and their Indonesian

partners devise in their contracts will be given full effect when a conflict ultimately

arises.”

Noah menambahkan bahwa,77 “in the decade following ratification, local courts

remained reluctant to enforce foreign arbitral award.” Hal tersebut dapat dilihat dari

beberapa perkara yang telah dibahas dalam Bab-Bab sebelumnya, seperti Trading

Corporation of Pakistan Limited v. PT Bakrie Brothers, Navigation Maritime Bulgare v.

PT Nizwar, E.D. Dan F.MAN (SUGAR) Ltd. v. Yani Harianto, PT Batu Mulia Utama v.

Sainrapt et Brice Societe Auxiliarre d’ Enterprises Societe Routiere Colas (SSC).

Adapun setelah diundangkannya UU 30/1999, kesulitan pemberian exequatur

terhadap putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik Indonesia tetap

berlangsung. Hal ini disebabkan masih tidak berkeinginannya Pengadilan Negeri

Indonesia dalam memberikan exequatur terhadap pelaksanaan putusan arbitrase asing di

wilayah Negara Indonesia serta Hakim-Hakim yang memeriksa serta mengutus perkara

pelaksanaan putusan arbitrase yang didasarkan pada permohonan pelaksanaan yang

diajukan pihak yang menang dalam arbitrase maupun permohonan pembatalan yang

diajukan pihak yang tidak dimenangkan tidaklah berkompeten dan tidak fasih terhadap

hukum arbitrase, ditambah ketidakoptimalan pengetahuannya tentang arbitrase tersebut,

membawa kepada suatu penjatuhan putusan yang salah.

Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perkara Pertamina melawan KBC diatas

serta adanya beberapa contoh perkara lainnya yang menambah daftar yang memalukan

bagi reputasi Indonesia dalam dunia arbitrase internasional.78 Beberapa perkara yang

dapat dijadikan contoh untuk membuktikan masih kurang efektifnya pengakuan dan

pelaksanaan putusan arbitrase asing di Negara Indonesia pasca diundangkannya UU

30/1999, salah satunya adalah Perkara Bankers Trust Company & Bankers Trust

76 Noah Rubbins, op.cit., hlm. 361-362

77 Noah Rubbins, op.cit., hlm. 367

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 55: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

International v. Mayora Indah yang perkaranya adalah serupa dengan Bankers Trust

Company & Bankers Trust International v. PT. Jakarta International Hotels and

Development, Tbk.79

Kedua perkara ini bermula dengan adanya transaksi derivatif pertukaran mata

uang dan bunga (currency and interest swaps) antara pihak Bank Bankers Trust (“Bank”)

dengan PT Jakarta International Hotels and Development (“Konsumen”) dan Mayora

Indah (“Konsumen”) dibawah suatu perjanjian dengan nama, International Swaps and

Derivatives Association Master Agreement (“ISDA”) yang dilakukan oleh kedua belah

pihak pada tahun 1995 dan diatur dengan Hukum Inggris. Mengacu kepada adanya krisis

ekonomi pada tahun 1997 – 1998 yang menyebabkan nilai mata uang rupiah turun hingga

15% - 25% dari nilai sebelumnya, pihak konsumen pada akhirnya tidak dapat melakukan

kewajibannya untuk melakukan pembayaran dibawah perjanjian.

Ketika permasalahan tersebut masih berada dibawah negosiasi antar pihak,

konsumen menggugat pihak Bank di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk

membatalkan perjanjian ISDA dengan dasar bahwa perjanjian tersebut bertentangan

dengan ketertiban umum (dengan menyatakan bahwa swap trading merupakan perbuatan

hukum yang dilarang di Indonesia) dan dengan menandatangani dan terlibat dalam

perjanjian tersebut adalah diluar kekuasaan kemampuan corporate pihak konsumen.

Pihak bank di satu sisi membawa perkara ini ke London Court of International

Arbitration (“LCIA”) untuk menyelesaikan sengketa yang muncul di bawah Perjanjian

ISDA ini. LCIA kemudian memenangkan pihak Bank serta kemudian didaftarkan oleh

78 Karen Mills mengatakan bahwa perkara Bankers Trust Company & Bankers Trust Internationalv. Mayora Indah yang perkaranya adalah serupa dengan Bankers Trust Company & Bankers TrustInternational v. PT. Jakarta International Hotels and Development, Tbk merupakan perkara yangmemalukan bangsa Indonesia di mata hukum arbitrase internasional. Sebagaimana pernyataannya, “Onceagain, the first applications for exequatur under new legislation, this time under the New Law, havebrought further embarrassment to Indonesia’s reputation in the world of arbitration,” sebagaimana tertulisdalam Karen Mills, “Enforcement of Arbitral Awards in Indonesia …”, op.cit., hlm. 28

79 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan No. 454/Pdt.G/1999/PN.Jak.Sel, 30 May, 2000; danMahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan terhadap Arbitrase Internasional No.. 001/Pdt/Arb.Int/1999dan No. 8199 tertanggal 18 Juni 1999; serta No. 004/Pdt/Arb.Int/1999 sehubungan dengan putusanarbitrase yang diputus oleh LCIA No. 9128 tertanggal 19 October, 1999, didapat dari Karen Mills,“Enforcement of Arbitral Awards in Indonesia…”, op.cit., hlm. 28-30; Tony Budidjaja, op.cit., hlm. 85-90

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 56: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

pihak Bank ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk pelaksanaannya. Sementara

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan pihak Konsumen. Pihak Bank

kemudian mengajukan pembelaan bahwa pihak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak

memiliki jurisdiksi untuk memutuskan perkara ini, karena di dalam klausula Perjanjian

ISDA, penyelesaian sengketa yang muncul dari Perjanjian ini akan diajukan kepada

badan arbitrase internasional LCIA. Pihak Pengadilan mengatakan bahwa klausula

tersebut tidak tercantum dalam Perjanjian ISDA oleh karena itu tidak mengikat kepada

para pihak, dimana pada kenyataannya, para pihak yang bersengketa telah sepakat dalam

Perjanjian tersebut.

Pihak Bank kemudian mengajukan banding kepada keputusan Pengadilan tinggi

dan pada saat yang bersamaan memohon pelaksanaan putusan arbitrase kepada

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pihak Bank menyatakan bahwa keputusan Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan tidaklah mengikat hingga putusan tersebut adalah bersifat tetap

dan putusan arbitrase tersebut adalah final dan mengikat dan juga mengatakan bahwa

putusan tersebut adalah untuk dilaksanakan dan tidak perlu diperiksa ulang. Adanya

kontradiksi penjatuhan putusan oleh Pengadilan Negeri, LCIA membawa Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat tidak berkeinginan untuk memutuskan pelaksanaan terhadap

putusan arbitrase yang dijatuhkan oleh LCIA. Pihak Bank kemudian mengajukan kasasi

kepada Mahkamah Agung terhadap putusan Jakarta Pusat tersebut, namun hingga saat ini

belum ditentukan lebih lanjut tentang adanya putusan terbaru mengenai kasus ini.

Perkara lainnya adalah Permohonan Pembatalan terhadap putusan arbitrase

internasional terdapat pada kasus PT. Bungo Raya Nusantara dengan PT. Jambi

Resources.80 Dalam keputusan pengadilan permohonan pembatalan ditolak Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat karena keputusan arbitrase yang dimohonkan pembatalan adalah

keputusan arbitrase internasional. Kasus ini bermula kerja sama antara PT Nusantara

Termal Coal (NTC) dengan PT Bungo Raya Nusantara (BRN) pada tahun 2006. NTC

adalah kontraktor Pemerintah RI berdasarkan Perjanjian Karya Pengusahaan

80Curi batubara, warga korea menjadi tersangka, http://www.indonesia-monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=3492&Itemid=37, Diakses pada 1 Desember2009, 15:00 WIB

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 57: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

Pertambangan Batubara (PKP2B) tertanggal 19 Januari 1998 dengan lokasi seluas 2.832

hektar, sekitar 31 km sebelah barat Muara Bungo, Provinsi Jambi. BRN melalui

perjanjian tanggal 28 Juli 2006, menjadi subkontraktor penambangan, pengangkutan dan

pemasaran batubara dari wilayah NTC. Pada tanggal yang sama (28/07/06), direksi BRN

menandatangani perjanjian dan mengalihkan hak penambangan, pengangkutan dan

pemasarannya kepada PT Jambi Resources Limited. (semula bernama PT Basmal Utama

Internasional atau BUI). Perjanjian itu berisi uraian mengenai hak dan kewajiban masing-

masing pihak dan disebutkan jika ada sengketa dipilih arbitrase atau SIAC (Singapore

International Arbritation Centre).

Setelah berkali-kali melakukan teguran dan peringatan keras karena menilai BUI

tidak memenuhi kewajiban (royalti fee kepada BRN selama tiga bulan berturut-turut)

sebagaimana disepakati dalam kontrak, akhirnya BRN, September 2007 melakukan

pemutusan kontrak atau perjanjian. Pihak JR tidak sependapat dan menilai terundanya

pembayaran adalah masalah perdata, bukan menyangkut hubungan kontrak

penambangan, pengangkutan dan pemasaran batubara. Sengketa JR dan BRN itu 31

Oktober 2007 dibawa ke arbritase Singapura.

Sementara kasus itu di proses di Singapura, pihak Departemen Energi dan

Sumberdaya Mineral melakukan peninjauan ke wilayah konsesi pertambangan PT NTC

dan mendapatkan berbagai kekurangan dalam perjanjian karya. Di antaranya, PT NTC

dinilai keliru karena mengalihkan kontrak pengangkutan dan pemasaran batubara di

wilayah PKP2B-nya. Dalam ketentuan PKP2B, yang boleh disubkontrakan hanya

kegiatan penambangannya saja. Akibatnya, tanggal 10 Juli 2008 Direktorat Pembinaan

Pengusahaan Minerba Departemen ESDM menerbitkan surat No 1634/30.01/DBM/2008

yang isinya melarang NTC menerbitkan SPK penambangan maupun mengalihkan hak

jual, karena menilai SPK itu tidak sesuai dengan ketentuan PKP2B. Tanggal 1 September

2008, Gubernur Jambi menerbitkan surat No 541.13/3638/Dispertamben,

memerintahkan agar NTC tidak menerbitkan SPK penambangan dan tidak melimpahkan

hak jual batubara kepada pihak lain. Berdasarkan surat Direktorat Pembinaan

Pengusahaan Minerba dan surat Gubernur Jambi tersebut, tanggal 25 September 2008

pihak NTC dan BRN sepakat mengakhiri perjanjian kerja tertanggal 28 Juli 2006.

Direktorat Pembinaan Pengusahaan Minerba menerbitkan surat No 681/37.08/DBT/2008

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 58: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

tertanggal 27 Oktober 2008, yang isinya antara lain memerintahkan NTC menghentikan

kegiatan penambangan, disusul surat No2562/30.01/DBM/2008 yang menegaskan

pertimbangan larangan kegiatan penambangan di wilayah NTC.

Direksi PT NTC kemudian meminta agar BRN menghentikan semua kegiatan di

wilayah PKP2B tersebut melalui surat tanggal 25 September 2008. Menindaklanjuti

permintaan NTC sebagai pemegang konsesi, pihak BRN menerbitkan surat No

067/Dir03-01/BRN/XI/2008 tertanggal 13 November 2008 kepada seluruh

subkontraktornya, menegaskan penghentian kegiatan penambangan di wilayah konsesi

NTC.

Kembali kepada sengketa antara PT. BRN dan JR, berdasarkan final award pada

tanggal 6 Agustus 2009, SIAC memutuskan pemutusan kontrak antara PT. BRN dan PT.

JR tidak sah dan tidak berlaku. Perjanjian antara kedua perusahaan dinyatakan sah dan

berlaku sehingga PT. JR berhak untuk menambang. Setelah ditinjau ulang oleh BRN,

keseluruhan perjanjian seharusnya tidak lahir. Sebab menabrak sejumlah aturan tentang

pertambangan.

Karena itu BRN akhirnya mengajukan pembatalan putusan SIAC ke Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat akhir September 2009. Perkaranya teregister No.

03/PembatalanArbitrase/2009/PN.JKT.PST. Dasar yang digunakan BRN sebagai

pembatalan putusan arbitrase adalah Ketika proses arbitrase berlangsung, Direktorat

Pembinaan Pengusahaan Minerba Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

(ESDM) melarang PT NTC menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) Penambangan

maupun mengalihkan hak jualnya. Departemen ESDM menilai SPK Penambangan

kepada PT BRN bertentangan dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan

Batubara (PKP2B) tertanggal 19 Februari 1998 antara pemerintah dengan PT NTC.

Sebab, yang disubkontrakan tidak hanya penambangan, melainkan termasuk

mereklamasi, mengangkut, memasarkan dan menjual batu bara. Padahal seharusnya

terbatas pada penambangan. Selanjutnya Gubernur Jambi juga memerintahkan PT NTC

tidak menerbitkan SPK penambangan dan tidak melimpahkan hak jual batu bara ke pihak

lain. Karena itu pada 25 September 2008, PT NTC dan PT BRN sepakat menghentikan

perjanjian kerja, lalu meminta PT BRN untuk menghentikan kegiatan penambangan. Lalu

sebulan kemudian, Departemen ESDM kembali memerintahkan PT NTC untuk

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 59: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

menghentikan kegiatan penambangan di wilayah konsesi PT NTC. Pada 13 November

2008, PT BRN memerintahkan seluruh subkontraktornya agar menghentikan kegiatan

penambangan di wilayah konsesi PT Nusantara. Berdasarkan keterangan diatas, dapat

diketahui bahwa sebenarnya perjanjian antara PT. BRN dan PT. JR batal demi hukum dan

dianggap tidak pernah ada, karena bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan

ketertiban umum.

Selain itu pihak PT. BRN juga menggunakan ketentuan Pasal 70 huruf c bahwa

putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam

pemeriksaan sengketa, karena PT Jambi tidak memberitahukan pada arbiter bahwa

perjanjian subkontraktor antara PT Bungo dan PT Nusantara sendiri bertentangan dengan

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Nusantara, PKP2B dan perundang-undangan

yang berlaku.

Dalam keputusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat81, menyatakan bahwa

pengadilan tidak berwenang, dalam putusan selanya pengadilan menyatakan bahwa

putusan SIAC dalam perkara PT. BRN vs PT. JR adalah putusan arbitrase internasional

sehingga tidak bisa dibatalkan di pengadilan Indonesia. Putusan majelis hakim itu

sekaligus mengabulkan eksepsi kuasa hukum PT Jambi. Dalam eksepsi disebutkan,

putusan arbitrase internasional hanya bisa diajukan di Negara atau berdasarkan hukum

dimana putusan dijatuhkan. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dinilai tidak berwenang

mengadili permohonan pembatalan arbitrase. Seharusnya di Singapura, tempat SIAC

berkedudukan.

Penilaian majelis hakim bahwa putusan SIAC sebagai putusan internasional itu

merujuk pada Pasal 1 angka 9 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa. Definisi putusan arbitrase internasional menurut pasal itu adalah

putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan diluar

wilayah hukum RI, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan

menurut ketentuan hukum RI dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.

81 Putusan SIAC tidak bisa dibatalkan di Indonesia, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b03edd17320c/putusan-siac-tidak-bisa-dibatalkan-di-indonesia, diakses pada 15Desember 2009, 20:00 WIB

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 60: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

Selain itu mengacu kepada Pasal 70 UU Arbitrase tentang alasan-alasan permohonan

pembatalan arbitrase hanya menyebutkan para pihak dapat mengajukan permohonan

pembatalan putusan arbitrase. Tidak disebut permohonan pembatalan arbitrase

internasional. Majelis hakim menyimpulkan bahwa permohonan pembatalan arbitrase di

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase

nasional, bukan putusan arbitrase internasional. Berdasarkan putusan PN Jakarta Pusat ini

dapat dilihat bahwa penafsiran hakim atas Pasal 70 ini hanya berlaku untuk arbitrase

nasional.

Berdasarkan kepada kedua perkara diatas, dapatlah dilihat bahwa pelaksanaan UU

30/1999 yang pada dasarnya substansi hukumnya sendiri tersebut sudah tidak jelas,

keputusan Pengadilannya pun pada akhirnya tegak lurus dengan substansi UU yang tidak

jelas pengaturannya, karena tidak dilandasi oleh suatu landasan hukum yang pasti. Selain

tidak berkeinginannya Pengadilan Negeri dalam memberikan putusan pelaksanaan serta

tidak kompetennya Hakim-Hakim seperti disebutkan diatas, pihak pelaku usaha juga

sering salah dalam memahami serta menginterpretasikan esensi penolakan dan

pembatalan.

Wisnu Aryo Dewanto menambahkan gambaran yang lebih luas terhadap sulitnya

melaksanakan putusan arbitrase asing di Indonesia dilihat dari sistem hukum aparaturnya,

antara lain:82

1. Hakim, sebagai ujung tombak hukum, tidak berperan secara optimal

karena seringkali menerima kasus-kasus yang memiliki klausula arbitrase,

tanpa mempertimbangkan kompetensitasnya terhadap kasus tersebut.

Selain itu, istilah kebebasan seorang hakim diartikan terlalu luas, sehingga

seringkali putusan pengadilan negeri dan tinggi bertentangan dengan

putusan Mahkamah Agung, padahal bebas disini harusnya dipahami

sebagai bebas dari intervensi badan eksekutif maupun legislatif. Lebih

lanjut, hakim di Indonesia kurang memiliki wawasan internasional,

sehingga banyak aturan-aturan internasional yang telah diratifikasi

82 Wisnu Aryo Dewanto, op.cit., hlm. 361-362

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 61: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

Pemerintah Indonesia tidak dijadikan bahan pertimbangan hukum dalam

memutus perkara.

2. Pengusaha dan pengacara juga menjadi bagian kebobrokan hukum di

Indonesia karena mereka seringkali memanfaatkan kelemahan hakim

untuk melakukan penyuapan agar putusan hakim sesuai dengan keinginan

dan kepentingan mereka. Dan pengusaha Indonesia seringkali tidak

memiliki itikad baik untuk mematuhi dan melaksanakan putusan arbitrase,

padahal dasar adanya klausula arbitrase adalah adanya itikad baik dari para

pihak untuk melaksanakan kesepakatan yang mereka setujui.

Fakta-fakta tersebut diatas sangatlah memprihatinkan Indonesia karena

inkonsistensi pihak-pihak Indonesia untuk mematuhi aturan-aturan arbitrase yang pada

akhirnya menyebabkan citra Indonesia di mata pengusaha asing tidak bertambah baik,

sekalipun Pemerintah Indonesia telah bersedia mengakui dan melaksanakan keputusan

arbitrase asing melalui Keppres 34/1981 dan Perma 1/1990,83 dimana, kesuksesan

arbitrase komersial internasional sebagai sistem bergantung kepada bagian terbesar dalam

prediktabilitas pada tahap pelaksanaannya.84

C.3. Budaya Hukum Masyarakat terhadap Arbitrase Asing Lemah karena

Landasan Prinsip Teritorial

Legal culture menurut Friedman meliputi pandangan, nilai, ide dan sikap yang

menentukan bekerjanya sistem hukum. Pandangan dan sikap masyarakat terhadap budaya

hukum dipengaruhi oleh sub-culture. Pandangan dan sikap ini yang dapat mempengaruhi

tegaknya hukum. Tanpa budaya hukum, suatu sistem hukum tidak akan berdaya.85

83 ibid, hlm. 359

84 Noah Rubbins mengatakan bahwa, “the success of international commercial arbitration law asa system depends in large part on predictability at the enforcement stage,” sebagaimana tertulis dalamNoah Rubbins, op.cit., hlm. 363

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 62: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

Pada saat terjadinya krisis ekonomi, budaya hukum (legal culture) masyarakat

Indonesia belum mampu mendukung sistem hukum yang baik. Rendahnya kualitas

budaya hukum tersebut sangat dipengaruhi tingkat pemahaman masyarakat yang

beragam, termasuk para investor. Setidak-tidaknya ada dua budaya yang menunjukkan

bahwa budaya hukum Indonesia belum mampu mendukung investasi, yaitu:86

1. Berdasarkan hasil survei Transparancy internasional, lembaga anti korupsi

Indonesia, menemukan fakta bahwa pengusaha asing terbiasa menyuap

para pejabat Negara, terutama Negara berkembang.

2. Penyelenggaraan perizinan penanaman modal belum efisien, dimana,

kebijakan perizinan usaha merupakan salah satu bentuk birokrasi dalam

bidang ekonomi.

Dalam hukum penanaman modal yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007

tentang Penanaman Modal, penyelesaian sengketa diatur dalam Pasal 32-nya yang

menentukan bahwa:1. Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam

modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan

mufakat.

2. Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai,

penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian

sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam

modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase

berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak

disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.

4. Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam

modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional

yang harus disepakati oleh para pihak.

85 Lawrence M. Friedman, op.cit., hlm. 6-7

86 Suparji, op.cit., hlm. 173

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 63: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

Dapatlah dilihat dalam ketentuan Pasal tersebut bahwa, Indonesia merupakan

Negara yang sangat menjunjung tinggi penyelesaian sengketa diluar pengadilan.

Indonesia sendiri sangat menganut prinsip teritorial Negara, dimana, lebih mementingkan

peraturan dalam negerinya dibandingkan dengan dunia internasional. Hal ini dibuktikan

juga dengan banyaknya ketentuan yang mengatur tentang konsultasi, negosiasi, mediasi,

konsiliasi, atau penilaian ahli serta arbitrase nasional dalam UU 30/1999, dan ketentuan

dari arbitrase internasional sangatlah sedikit diatur dalam UU 30/1999.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pula, bahwa kekurangan-kekurangan

dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia sebelum dikeluarkannya UU

30/1999 dikarenakan oleh adanya “prinsip teritorialitas” atau “asas kedaulatan territorial”

(Principle of Territorial Sovereignty) yang mengisyaratkan bahwa putusan yang

ditetapkan di luar negeri tidak dapat secara langsung dilaksanakan dalam wilayah lain

atas kekuatannya sendiri. Hal ini dikarenakan putusan yang dijatuhkan diluar wilayah

Negara Indonesia dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap asas kedaulatan Negara

Republik Indonesia sebagai suatu Negara yang merdeka dan berdaulat.

Adapun asas prinsip teritorialitas tersebut merupakan pembentukan perilaku

hukum Negara Indonesia yang terletak di antara dualisme paham yaitu, pada teori liberal

(liberal theory) dimana Indonesia di satu sisi sangatlah membutuhkan adanya penanaman

modal asing ataupun transaksi bisnis dan perdagangan dengan perusahaan lain, namun di

satu sisi, Indonesia juga menganut paham ketergantungan (dependency theory) dimana

selalu membatasi pihak asing dalam melakukannya. Merupakan hal yang dapat dipahami

apabila Indonesia melindungi kepentingan nasionalnya dalam hal pembatasan dominasi

pihak asing dalam lingkup perekonomian Indonesia, tetapi perlu diperhatikan juga bahwa

Indonesia tetap membutuhkan modal asing tersebut untuk perkembangan

perekonomiannya.

Dualisme paham inilah yang membatasi budaya hukum Negara Indonesia untuk

memberikan perlakuan yang adil kepada pihak asing dalam wilayah jurisdiksi hukum

Negaranya karena pembatasan ini dimaksudkan untuk membatasi dominasi asing di

Indonesia. Adanya Pembatasan terhadap dominasi bila dihubungkan dengan kepentingan

nasional dan kedaulatan pada dasarnya adalah sah. Suatu Negara berhak melakukan

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 64: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

pembatasan terhadap pihak asing melalui hukum nasionalnya, namun, akan lebih baik

apabila pembatasan tersebut diakomodir oleh adanya suatu kepastian hukum khususnya

hukum penyelesaian sengketa karena akan lebih memberikan jaminan dan perlindungan

hukum kepada pihak-pihak yang berhubungan dalam suatu perjanjian, khususnya dalam

penyelesaian sengketa. Belum terakomodirnya ketentuan mengenai pengakuan dan

pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam UU 30/1999 tidak memberikan kepastian

hukum kepada para investor asing atau pelaku usaha bisnis maupun perdagangan

internasional.

Unsur lain yang harus dipenuhi untuk tercapainya kepastian hukum dalam hukum

penyelesaian sengketa yang menjamin perlindungan kepada pihak perusahaan PMA

yaitu, Indonesia haruslah memiliki sistem hukum yang terdiri dari tiga unsur,87 yaitu

structure, substance dan legal culture yang efektif karena sistem hukum yang efektif

tersebut akan memperluas kesempatan berusaha, mengundang investasi dan membangun

ekonomi.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan mengatur bahwa,88 materi muatan suatu Peraturan Perundang-

undangan harus mengandung asas: (1) pengayoman; (2) kemanusiaan; (3) kebangsaan;

(4) kekeluargaan; (5) kenusantaraan; (6) bhinneka tunggal ika; (7) keadilan; (8)

persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; (9) ketertiban dan kepastian

hukum; (10) keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yang menganut asas-asas tersebut merupakan salah satu syarat

dalam rangka perwujudan hukum nasional yang berkoordinasi satu sama lain.

Berdasar kepada Undang-Undang tersebut diatas, Indonesia sebagai Negara

anggota Konvensi New York, seharusnya dapat memberikan kepastian hukum dengan

mengikuti dan menerapkan ketentuan yang diamanatkan Konvensi yang diratifikasi

87 Lawrence M. Friedman, op.cit., hlm. 5-6

88 Pasal 6, Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, LN Tahun 2004 Nomor 53, TLN Nomor 4389

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 65: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

kedalam lingkup hukum nasional. Konvensi sebagai sumber hukum utama internasional

dan perjanjian, mengikat Negara anggotanya. Sifat mengikat ini berarti Negara pihak

suatu perjanjian harus menaati dan menghormati pelaksanaan perjanjian tersebut karena

perjanjian ini mengikat para pihak yang termasuk didalamnya.89 Sebagai Negara yang

sangat menjunjung tinggi perjanjian sebagai peraturan perundang-undangan yang

mengatur para pihak yang terlibat, sudah sepantasnya dan seharusnya Indonesia

menerapkan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing ke dalam hukum

nasionalnya secara jelas dan pasti serta dapat memberikan kepastian hukum kepada pihak

yang bersengketa, khususnya pihak asing.

Kepastian hukum mempunyai arti penting bagi suatu kegiatan pembangunan,

dalam hal ini kegiatan investasi. Bagi investor sendiri, arti penting kepastian hukum

adalah tolak ukur utama, dimana pentingnya hukum tersebut dikaitkan dengan investasi

adalah investor membutuhkan adanya kepastian hukum dalam menjalankan usahanya.

Artinya, para investor membutuhkan satu ukuran yang menjadi pegangan dalam

menjalankan kegiatan investasinya. Ukuran inilah yang disebut aturan yang dibuat oleh

yang mempunyai otoritas untuk itu karena aturan tersebut berlaku untuk semua pihak.90

Ketiadaan suatu kepastian dan perlindungan hukum yang dapat disediakan oleh peraturan

perundang-undangan, membuat para investor tidak akan berinvestasi di Indonesia baik

dalam bentuk fortfolio, apalagi dalam bentuk direct investment.91 Oleh karena itu, untuk

mengundang modal asing masuk ke Indonesia diperlukan perilaku hukum yang

mendukung kegiatan penanaman modal asing serta diperlukan suatu sistem hukum yang

89 Dr. Boermauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era DinamikaGlobal, cetakan ketiga, (Bandung: Alumni, 2003), hlm. 135

90 Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, cet. I, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), hlm. 37.

91 Ridwan Khairandy, “Iklim Investasi dan Jaminan Kepastian Hukum Dalam Era OtonomiDaerah”, dalam Seminar Nasional Sinkronisasi Kebijakan Pusat dan Daerah Mengenai Investasi,Kepastian Hukum dan Peluang Kerja di Era Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Ikatan Keluarga MahasiswaPalawan Indonesia dan PT. Riau Pulp Paper, 15 April 2006), hlm 6

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 66: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

memberikan kepastian hukum, yang mana didalamnya terdapat satu paket lengkap yaitu

produk-produk hukum yang responsif, perilaku aparat hukum yang mampu melaksanakan

law enforcement, dan budaya hukum masyarakat maupun budaya hukum dari aparat

hukum yang baik.92

Salah satu cara yang dapat ditempuh Indonesia untuk memberikan kepastian

hukum terhadap penyelesaian sengketa adalah dengan melakukan amandemen terhadap

UU 30/1999 sehingga Indonesia dapat memberikan suatu pengaturan hukum yang pasti

dengan mengadopsi ketentuan yang diatur dalam UNCITRAL Model Law. Lengkapnya

pengaturan arbitrase yang diatur oleh UNCITRAL Model Law sebagai hukum arbitrase

internasional telah diterima sebagai universalitas hukum penyelesaian sengketa melalui

arbitrase khususnya dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing oleh

para Negara anggotanya. Indonesia sendiri telah menandatangani resolusi UNCITRAL

Arbitration Rules pada tahun 1976, dimana penandatanganan ini telah membuktikan

bahwa Indonesia siap dengan ketentuan yang diatur dalam UNCITRAL Arbitration

Rules.

Penerapan UNCITRAL Model Law dalam konteks hukum arbitrase nasional

Indonesia dapat memberikan suatu kepastian hukum yang dapat menjamin serta

memberikan perlindungan hukum kepada para investor atau pelaku usaha bisnis dan

perdagangan internasional. Indonesia dapat menerapkan beberapa perubahan dalam

pengadopsian ketentuan-ketentuan UNCITRAL Model Law tersebut kedalam hukum

arbitrase nasional Indonesia. Mengingat UNCITRAL Model Law tersebut telah diterima

secara luas, penerapan UNCITRAL Model Law dalam hukum arbitrase Indonesia akan

92 Mengacu kepada pendapat Erman Rajagukguk, bahwa usaha untuk menciptakan iklim investasiyang kondusif penanaman modal juga dapat melalui penegakan hukum dalam arti dihilangkanketidakpastian hukum (legal uncertainty), kekusutan hukum (legal entanglement), penyelundupan hukum(legal encirlement), dan tidak terlaksananya hukum (legal enforcibility). Bagi investor-investor Amerikayang sudah terbiasa hidup dalam budaya hukum yang demokratis, berbagai deregulasi di bidangPenanaman Modal Asing bisa menjadi begitu tidak berarti, manakala tidak diikuti oleh kepastian hukum.Salah satu yang perlu dilaksanakan adalah pembaharuan hukum diberbagai bidang seperti PerseroanTerbatas, Pasar Modal, eksekusi barang jaminan, persaingan usaha yang sehat. Begitu juga denganpenyempurnaan aparatur hukum, suatu pengadilan yang bersih perlu ditegakkan karena sebagian sengketa-sengketa dagang dalam penyelesaiannya bergantung kepada kepercayaan kepada pengadilan tersebut,sebagaimana tertulis dalam Erman Rajagukguk, “Masalah Investasi Dalam Pembangunan Lima Tahun KeVI: Suatu Tinjauan Hukum dan Ekonomi”, dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan, op.cit.,hlm 550

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 67: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

menjamin harmonisasi hukum pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional

serta akan dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para subjek dan

objek yang diaturnya. Serupa dengan Amerika Serikat, bahwa Pengadilan Amerika

Serikat merupakan forum yang paling banyak dimohonkan pelaksanaan putusan arbitrase

asing di wilayahnya. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat memberikan suatu pengaturan

hukum arbitrase yang sangat lengkap serta dapat memberikan kepastian dan perlindungan

hukum kepada para pemohon pelaksanaan putusan arbitrase asing di wilayahnya.

Salah satu cara lainnya adalah Indonesia dapat melakukan amandemen UU

30/1999 dengan lebih lengkap dan tanpa harus mengadopsi UNCITRAL Model Law,

sebagaimana telah dilakukan oleh Inggris (United Kingdom of Great Britain). Inggris

sebagai Negara yang memiliki hukum arbitrase tertua di dunia tidak mengadopsi

ketentuan UNCITRAL Model Law, namun, ketentuan yang diatur didalam UU

arbitrasenya (AA 1996) telah mengakomodir ketentuan pengakuan dan pelaksanaan

putusan arbitrase asing sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi New York 1958.

Bahkan hampir keseluruhan ketentuan yang diaturnya, hampir menyerupai ketentuan

UNCITRAL Model Law tanpa harus mengadopsinya.

Adanya suatu hukum yang pasti tersebut pasti akan dapat memberikan kepastian

dan perlindungan hukum terhadap penyelesaian sengketa kepada pihak-pihak pelaku

usaha, dan dengan adanya kepastian dan perlindungan hukum dalam penyelesaian

sengketa tersebut, Indonesia dapat memperoleh kembali kepercayaan investor untuk

menanamkan modalnya di Indonesia.

Dalam mewujudkan suatu hukum yang dapat meningkatkan perekonomian dan

perkembangan pembangunan suatu Negara, suatu hukum haruslah mampu menciptakan

kepastian (predictability), stabilitas (stability), dan keadilan (fairness) untuk dapat

berperan dalam pembangunan ekonomi.93 Dimana, prediktabilitas mengandung arti

bahwa hukum harus dapat menciptakan kepastian, yaitu kepastian hukum dan dengan

adanya kepastian hukum, investor dapat mengukur tindakan-tindakan yang akan

93 Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, loc.cit.

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.

Page 68: BAB IVlib.ui.ac.id/file?file=digital/136042-T 28053-Penerapan... · arus modal asing, antara lain:2 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat

dilakukannya dan mampu memprediksikan kemungkinan pelanggaran yang terjadi dan

perkembangan ekonomi pasar.94

Hukum juga harus dapat menciptakan stabilitas karena hukum harus

mencerminkan keseimbangan kepentingan para pihak yang terlibat didalamnya. Sesuai

dengan ini, hukum haruslah dapat menciptakan keterpaduan antara para pihak. Fungsi

hukum yang terakhir adalah hukum selain harus dapat menciptakan prediktabilitas dan

stabilitas, hukum juga harus dapat menciptakan nilai-nilai keadilan bagi para pihak dan

mencegah terjadinya praktek-praktek diskriminasi atau ketidakadilan bagi para pihak

yang terlibat didalamnya.

94 Siti Anisah, loc.cit.

Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.