bab+3-masalah_hn-edited

55
MASALAH KEBIJAKAN – 3 – Masalah Kebijakan Kita lebih sering gagal karena kita memecahkan masalah yang salah, daripada menemukan solusi yang salah terhadap masalah yang tepat (Russell L. Ackoff, 1974) Ketika pengendalian kerusakan hutan untuk mengurangi dampaknya bagi perubahan iklim telah menjadi keputusan global, semestinya keputusan itu dapat diwujudkan secara nyata di lapangan. Namun, ketika berbagai upaya telah dilakukan, ternyata tidak serta-merta membuat pihak-pihak yang seharusnya dapat melaksanakannya bisa merespon secara positif keputusan tersebut. Komitmen konversi hutan yang sebelumnya sudah 1 | KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM

Upload: siimplisius-ryski-tiga

Post on 10-Nov-2015

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

judul

TRANSCRIPT

MASALAH KEBIJAKAN MASALAH KEBIJAKAN

3 Masalah KebijakanKita lebih sering gagal karena kita memecahkan masalah yang salah, daripada menemukan solusi yang salah terhadap masalah yang tepat (Russell L. Ackoff, 1974)Ketika pengendalian kerusakan hutan untuk mengurangi dampaknya bagi perubahan iklim telah menjadi keputusan global, semestinya keputusan itu dapat diwujudkan secara nyata di lapangan. Namun, ketika berbagai upaya telah dilakukan, ternyata tidak serta-merta membuat pihak-pihak yang seharusnya dapat melaksanakannya bisa merespon secara positif keputusan tersebut. Komitmen konversi hutan yang sebelumnya sudah dilakukan tidak dapat dihentikan begitu saja. Ijin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan juga masih mendapat keistimewaan untuk diteruskan. Belum ada kesegeraan oleh pengambil keputusan untuk menyelesaikan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan yang luasnya puluhan juta hektar melalui proses penetapan tata ruang. Masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan juga tidak serta-merta menghentikan perluasan tanaman pertaniannya karena didesak oleh kebutuhan mereka sehari-hari.

Dalam situasi seperti itu, rancangan Instruksi Presiden yang sedang dibuat untuk menunda segala bentuk perijinan baru di hutan alam maupun lahan gambut tidak cukup disambut secara antusias. Antara maksud keputusan Presiden untuk mengendalikan kerusakan hutan dengan kepentingan-kepentingan pengambilan keputusan di bawahnya maupun kebutuhan-kebutuhan nyata di lapangan dianggap sama-sekali tidak sinkron. Situasi demikian itu hanya sekedar contoh yang dihadapi oleh seorang analis kebijakan. Lalu apa sebaiknya yang akan dilakukannya?

Masalah dapat diartikan sebagai kenyataan dalam kehidupan yang dialami oleh seseorang, organisasi atau lembaga maupun oleh suatu bangsa. Sayangnya masalah itu tidak selalu mudah ditetapkan dan dapat diketahui secara utuh. Layaknya mengupas kulit bawang. Pada saat dikupas dan ditemukan masalah tertentu, akan muncul masalah lainnya. Analis kebijakan pada akhirnya tidak dapat hanya merekomendasikan memecahkan masalah pertama yang ia temukan saja tanpa menyelesaikan berbagai masalah lainnya yang terkait. Misalnya, pada saat seseorang analis kebijakan diminta untuk menentukan kebijakan pengendalian kerusakan hutan alam, ia dapat mengidentifikasi dengan berbagai tahapan. Pertama, sebagaimana yang telah biasa dilakukan di dalam berbagai diskusi, penyebab kerusakan hutan yaitu kegiatan-kegiatan yang mudah dikenali, seperti pencurian kayu dan perambahan hutan. Ini adalah penyebab kerusakan hutan secara fisik. Dalam hal ini hutan alam tidak akan rusak apabila tidak ada pencurian kayu dan perambahan hutan. Analis kebijakan dapat berhenti disini dan memberi rekomendasi pemecahan masalahnya, yaitu menangkap pelaku pencuri kayu dan perambah hutan tersebut. Hingga di kemudian hari diketahui bahwa pencurian dan perambahan hutan tersebut tidak juga berhenti dan kemudian ditemukan bahwa kemiskinan sebagai penyebabnya, maka seorang analis kebijakan perlu mendapat pengetahuan apa penyebab kemiskinan itu.

Pada tahap ini, pertanyaan tidak mudah dijawab, karena penyebab kemiskinan secara fisik tidak mudah dikenali. Para analis kebijakan dapat menetapkan penyebab kemiskinan secara berbeda-beda tergantung perbedaan nilai-nilai, cara pandang, perbedaan alat untuk memahami fakta, perbedaan penetapan rasionalitas dan kebenaran serta perbedaan diskursus sebagaimana telah diuraikan dalam Bab II yang digunakan. Misalnya, dengan pendekatan ekonomi akan dihasilkan penyebab kemiskinan berbeda dengan pendekatan sosial atau politik. Lebih jauh lagi, penyebab suatu kejadian atau keadaan biasanya tidak tunggal. Misalnya, kemiskinan dapat diakibatkan oleh rendahnya akses masyarakat terhadap sumberdaya alam dan sumber-sumber ekonomi serta sosial sehingga berdampak pada lemahnya kapasitas masyarakat, tidak dapat memelihara modal sosial yang telah dimilikinya serta tidak dapat mengembangkan sumber-sumber ekonomi yang ada disekitarnya. Dalam kasus seperti itu, kerusakan hutan alam dapat dilihat sebagai bentuk keseimbangan (steady state) dari keseluruhan kepentingan, pengaruh dan perilaku-perilaku yang sejalan maupun berlawanan. Oleh karena itu, analis kebijakan tersebut tidak dapat secara sederhana membatasi masalah kerusakan hutan alam hanya sebatas pencurian kayu dan perambahan hutan serta kemiskinan, sebab tidak mungkin dapat menghilangkan kemiskinan tanpa mengetahui masalah lainnya yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan tersebut.

Masalah itu apa?Setiap hari kita dapat menghadapi masalah, seperti kita menemukan barang milik kita yang hilang atau astronot menemukan bintang. Apa sebenarnya yang disebut sebagai masalah dan apa esensi perumusan masalah itu? Pound (1969) dan Dunn (2003) mencatat bahwa masalah terjadi apabila perbedaan antara situasi yang dihadapi dan situasi yang diinginkan atau dalam hal tertentu diharapkan terjadi. Individu atau lembaga akan menentukan sesuatu sebagai sebuah masalah apabila sesuatu itu tidak sebagaimana yang seharusnya terjadi. Apabila dicermati, untuk memastikan apa yang dimaksud dengan situasi yang diinginkan, diharapkan atau yang seharusnya terjadi, bukan hanya berdasarkan pertimbangan teknis. Mittroff dan Linstone (1993) mencatat:

Apa yang kita sebut sebagai masalah bukan hanya merefleksikan nilai-nilai (values) tetapi juga komitmen etis yang kita miliki, yakni yang kita percayai seharusnya tidak terjadi. Dalam realitas sosial, sesuatu dianggap sebagai masalah apabila hal tersebut tidak sebagaimana yang diharapkan terjadi oleh masyarakat. Dengan demikian, kesenjangan antara apa yang kita inginkan dan apa yang dapat kita penuhi tidak hanya kita tetapkan atas pertimbangan sederhana, melainkan didalamnya mengandung kesenjangan etika dan estetika. Pertimbangan etika dan estetika, oleh karena itu, memainkan peranan fundamental dalam menetapkan masalah dan cara kita untuk menentukannya.

Oleh karena itu perlu kembali ditegaskan bahwa perbedaan nilai-nilai, cara pandang, perbedaan alat untuk memahami fakta, perbedaan penetapan rasionalitas dan kebenaran serta perbedaan diskursus akan membedakan masalah kebijakan yang dihasilkan dari suatu proses pembuatan kebijakan. Seperti Schn (1983: 271) katakan: "Masalah tidak mempunyai sifat tertentu, melainkan dibangun oleh manusia dalam upaya mereka untuk memahami situasi yang kompleks dan mengganggu". Meskipun pengamatan ini mungkin tampak ilmiah, namun konsep definisi masalah tidak hanya berlaku untuk pekerjaan akademisi dan analis kebijakan. Primm dan Clark (1996) menunjukkan definisi masalah sebagai sesuatu yang kita semua terlibat dalam kehidupan sehari-hari, sekedar menggunakan penilaian akal sehat untuk hal-hal tertentu yang dilakukan di berbagai tempat dengan berbagai budayanya. Shook (1985) mencatat bahwa identifikasi masalah adalah langkah pertama dalam mencari solusi.Apabila masalah harus didefinisikan dan tidak langsung dapat ditemukan, maka definisi yang berbeda dari sebuah fenomena yang sama dapat ditemukan. Perspektif manusia yang berbeda untuk berbagai penjelasan mengenai penyebab, fokus pada gejala yang berbeda, menerapkan kriteria yang berbeda untuk keberhasilan, dan bahkan mengakibatkan berbeda pengakuan ada atau tidak adanya masalah (Schn dan Rein 1994). Tidak semua definisi masalah yang ditemukan dapat berguna, untuk itu harus memilih, karena tindakan berdasarkan definisi masalah yang salah dapat mempersulit pencapaian tujuan kebijakan. Brunner (1991: 291) mengamati bahwa definisi masalah kebijakan sangat penting, karena penelitian lebih lanjut dan rekomendasi kebijakan, keputusan, dan tindakan adalah sesat dan mungkin sia-sia, apabila masalah kebijakan yang ditetapkan keliru.

Sebuah contoh di Hawaii menggambarkan sifat yang dibangun dan efek jangka panjang dari definisi masalah. Mamala Bay di pantai selatan pulau O'ahu menerima sebagian besar limbah yang dihasilkan oleh penduduk Honolulu. Setelah proses pengadilan panjang antara para pecinta lingkungan melawan pemerintah Kota Honolulu, kapasitas pengolahan limbah dipertimbangkan untuk ditingkatkan dengan penambahan biaya, hakim menunjuk Komisi Studi Mamala Bay untuk menentukan tingkat yang tepat kapasitas pemurnian limbah yang telah ada. Komisi tersebut dalam laporan publik mereka mengakui beberapa karakteristik dan implikasi dari definisi masalah yang akan dirumuskan:

Dalam rangka memutuskan apakah sebuah pabrik pengolahan air limbah harus ditingkatkan kapasitasnya, sifat yang tepat dari masalah perlu didefinisikan. Jika kejernihan air adalah masalah artinya terlalu banyak bahan tersuspensi dalam air, maka upgrade ke penjernihan sekunder dapat menjadi solusi yang baik. Namun, jika masalahnya nutrisi, penjernihan dapat memperburuk masalah. Jika patogen adalah masalah yang dapat dihilangkan dengan menambahkan desinfektan, seperti klorinasi, maka perlakuan primer diperlukan tanpa upgrade ke tingkat sekunder. Namun apabila kontaminan dibuang terutama dari sumber-sumber non-titik pencemaran, meningkatkan kapasitas pengolahan air limbah tidak akan berpengaruh. Dengan demikian Studi The Mamala Bay diperlukan untuk membantu menjawab beberapa pertanyaan penting itu (Komisi Studi Mamala Bay 1995: 4).

Di sini dapat dilihat bahwa beberapa definisi masalah yang mungkin dalam situasi tertentu dan bahwa definisi masalah yang dipilih memiliki pengaruh besar terhadap jenis tindakan yang akan diambil. Sebagaimana Dery (1984: 5) mencatat bahwa definisi masalah adalah suatu kerangka kerja, dimana intervensi tertentu dianggap dan memang didefinisikan sebagai solusi. Tanpa kerangka ini tindakan yang sama akan tidak masuk akal. Sayangnya definisi masalah-masalah yang lemah cenderung terus diciptakan dan bertahan, bahkan ketika sudah ditunjukkan adanya fakta dan argumen bahwa definisi masalah-masalah itu tidak memadai. Hal ini terjadi karena definisi masalah biasanya dikemas dalam konteks kepentingan tertentu. Definisi masalah tidak menggambarkan kemauan untuk memecahkan masalah, sebaliknya masalah didefinisikan dalam kerangka tujuan politik untuk memobilisasi dukungan tertentu. Oleh karena itu menentukan masalah dengan membuat pernyataan tentang apa yang dipertaruhkan dan yang terpengaruh, biasanya dilakukan untuk mewujudkan kepentingan maupun penguatan aliansi (Stone 1988: 6, 106). Untuk memahami pro dan kontra terhadap definisi masalah, mungkin berguna untuk difahami bahwa semua pemain pada dasarnya menggunakan retorika, sebuah diskursus persuasif antar dan di dalam komunitas interpretatif. Soal definisi, oleh karena itu, tidak dapat sepenuhnya dipahami kecuali bagi kelompok yang disasar dengan bentuk gaya dan bahasa yang dikomunikasikan (Throgmorton 1991: 153). Definisi masalah sebagai retorika adalah cara utama di mana suatu kelompok kepentingan berkomunikasi dengan diri mereka sendiri dan dengan orang lain.Penciptaan Definisi Masalah

Definisi masalah yang tepat berusaha untuk menghindari suatu perangkap melalui pengumpulan dan analisa berbagai informasi yang relevan dan membentuk tujuan yang terukur secara jelas, untuk mendukung kepentingan umum. Untuk kembali sebentar ke definisi masalah oleh Komisi Studi Mamala Bay di atas, kita dapat melihat bahwa pengumpulan data teknis yang relevan dan cukup, merupakan langkah penting dalam menentukan definisi masalah. Tugas ini tidak boleh diremehkan. Penetapan definisi masalah yang memadai, pada umumnya jauh melampaui analisis data teknis. Definisi masalah yang dibuat Komisi Studi Mamala Bay adalah contoh pandangan sempit dari "data yang relevan" karena sebagian besar mengabaikan faktor-faktor sosial, politik, dan dimensi ekonomi dari masalah pengolahan limbah. Dalam kenyataannya, sebagian besar perdebatan di Honolulu lebih dari pengolahan limbah secara teknis, namun memasuki aspek-aspek politik, hukum, dan birokrasi, yang telah didorong oleh pemangku kepentingan berbeda, termasuk para ilmuwan, kelompok lingkungan, regulator, dan politisi, dengan masing-masing nilai-nilai dan perspektif yang unik. Karena Komisi Studi tidak mempertimbangkan berbagai aspek tersebut, setidaknya salah satu komentator mereka yang takut bahwa setelah menghabiskan sembilan juta dolar untuk studi teknis, model untuk tindakan yang dihasilkan tidak akan menyelesaikan masalah, karena tidak merespon dimensi politik dan birokrasi. Sebenarnya, model tersebut juga menyajikan kesempatan bagi lembaga-lembaga pemerintah untuk meruntuhkan hambatan kelembagaan yang ada di antara mereka dan lebih baik mengintegrasikan berbagai fungsi mereka. Apabila aspek kelembagaan itu tidak diselesaikan, hasil kerja Komisi Studi akan memiliki nilai yang kecil (Marcus 1995: D1). Seperti dalam kasus Mamala Bay, orang yang bersangkutan dengan perlindungan keanekaragaman hayati Hawaii perlu mengakui bahwa untuk memperoleh definisi masalah secara tepat membutuhkan data kontekstual untuk menjelaskan akar sejarah, sosial, politik, dan ekonomi. Wildavsky (1971: 139) menunjukkan konteks yang penting, karena konteks di mana masalah terjadi, tidak hanya membantu menentukan persepsi pengambil keputusan tentang fakta-fakta dan nilai-nilai, tetapi juga cara mereka berusaha keluar, menerima, dan mengevaluasi informasi. Karena Komisi Studi Mamala Bay hanya terdiri dari para ilmuwan alam dan meminta pendapat ahli semata-mata untuk mereka, sebagian besar konteks sosial yang lebih luas dari masalah terlupakan. Akibatnya, tindakan yang diusulkan tidak sejalan dengan tujuan politik. Dengan demikian, meneliti konteks dari sebuah masalah kebijakan dapat meningkatkan kemungkinan bahwa tujuan kebijakan akan tercapai. Dalam konteks kebijakan itu, pemain dapat mencakup individu dan organisasi, dan salah satu cara yang paling tepat untuk mengidentifikasi pemain yang relevan serta nilai-nilai dan perspektif mereka adalah dengan menguji definisi masalah yang telah diajukan dalam fenomena tertentu. Perspektif tersebut mengacu baik terhadap profil sosial-ekonomi maupun "lensa" budaya dan pendidikan. Dengan demikian, definisi masalah yang memadai akan melibatkan pemeriksaan terhadap semua bagian dari sebuah situasi problematik, semua pemain dan kemungkinan keterkaitan mereka, apa pengetahuan yang mereka miliki dan apa yang kurang mereka miliki, serta sejauh apa kemungkinan keadaan yang berada di dalam kontrol mereka. Siapapun yang melakukan analisa masalah kebijakan perlu bekerja melalui labirin fakta dan nilai-nilai yang terlibat, untuk memutuskan tindakan yang akan datang. Dengan demikian, penetapan definisi masalah kebijakan lebih dari sekedar identifikasi masalah dan deskripsinya. Pada tingkat fungsional, merupakan proses diagnostik untuk mengisolasi penyebab masalah dan menetapkan berbagai solusi yang realistis (Primm dan Clark 1996: 138), dengan pengertian yang layak secara politik. Definisi masalah yang memadai harus memperhitungkan definisi berbagai masalah yang masih ada serta mencari kepentingan-kepentingan bersama di dalam definisi-definisi itu.

Ciri MasalahKarena masalah kebijakan penetapannya bukan hanya berdasarkan pendekatan sebab-akibat secara sederhana, misalnya penyebab kerusakan hutan alam adalah kemiskinan, maka pemahaman dan akal sehat yang biasa telah diyakini seringkali menyesatkan apabila langsung digunakan dalam menetapkan masalah kebijakan. Uraian berikut menjelaskan beberapa ciri masalah kebijakan (Dunn, 2003: 214-216):1. Saling ketergantungan dari masalah kebijakan. Masalah-masalah kebijakan di dalam satu bidang, misalnya bidang energi, dapat mempengaruhi masalah-masalah kebijakan di dalam bidang lain, misalnya pelayanan kesehatan dan terjadinya pengangguran. Dalam kenyataan masalah-masalah kebijakan bukan merupakan kesatuan yang berdiri sendiri. Mereka merupakan bagian dari seluruh sistem masalah yang dapat dijelaskan sebagai messes, yaitu suatu sistem kondisi eksternal di luar pembuat kebijakan yang menghasilkan ketidak-puasan diantara segmen-segmen masyarakat yang berbeda, misalnya pengguna energi di satu sisi dan pengangguran di sisi lain. Terkadang merupakan hal yang mudah untuk memecahkan sepuluh masalah saling terkait, daripada memecahkan satu masalah yang berdiri sendiri. Karena sistem masalah saling tergantung, maka harusmenggunakan pendekatan holistik, yaitu pendekatan yang memandang seluruh bagian sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari keseluruhan sistem yang mengikatnya.2. Subyektivitas dari masalah kebijakan. Kondisi yang menimbulkan atau terkait terjadinya suatu masalah dengan pendekatan tertentu oleh oleh analis kebijakan didefinisikan, diklasifikasikan, dijelaskan, dan dievaluasi secara selektif untuk memahaminya. Oleh karena itu, masalah kebijakan merupakan:Suatu hasil pemikiran yang dibuat pada suatu lingkungan tertentu. Masalah tersebut merupakan elemen dari suatu situasi masalah yang diabstraksikan dari situasi tersebut oleh analis. Dengan begitu, apa yang kita alami sesungguhnya adalah merupakan suatu situasi masalah, bukan masalah itu sendiri. Masalah itu seperti atom atau sel, merupakan suatu konstruksi konseptual. Dalam hal ini sangat penting untuk tidak mengacaukan antara situasi masalah dengan masalah kebijakan, karena masalah adalah barang abstrak yang timbul dengan cara mentransformasikan pengalaman ke dalam penilaian manusia.

3. Sifat buatan dari masalah. Masalah-masalah kebijakan hanya akan mungkin ada ketika manusia membuat penilaian mengenai keinginan untuk mengubah situasi masalah. Misalnya, karena seseorang ingin mengubah situasi dari ia yang mahasiswa kemudian ingin menjadi sarjana maka artinya ia punya masalah. Masalah kebijakan merupakan hasil/produk penilaian subyektif manusia. Masalah kebijakan itu juga bisa diterima sebagai definisi-definisi yang sah dari kondisi sosial yang ada. Oleh karena itu masalah kebijakan dipahami, dipertahankan, dan diubah secara sosial. Masalah kebijakan tidak berada di luar individu dan kelompok-kelompok yang mendefinisikan. Dalam hal ini, masalah kebijakan bukan buatan peneliti atau analis kebijakan. Masalah kebijakan sudah ada di tengah-tengah masyarakat, dan menjadi tugas seorang peneliti atau analis kebijakan untuk menemukannya.4. Dinamika masalah kebijakan. Terdapat banyak solusi untuk suatu masalah, sebagaimana terdapat banyak definisi terhadap masalah tersebut. Masalah dan solusi berada dalam perubahan-perubahan, dan oleh karenanya masalah tidak secara konstan terpecahkan. Solusi terhadap masalah dapat menjadi usang meskipun barangkali masalah itu sendiri belum usang.

Beberapa orang percaya bahwa masalah-masalah kebijakan merupakan kondisi obyektif yang keberadaannya dapat ditetapkan secara sederhana berdasarkan fakta suatu kasus. Pandangan terhadap sifat masalah kebijakan seperti itu tidak dapat menjelaskan bahwa dengan fakta yang sama seringkali diinterpretasikan secara sangat berbeda oleh masing-masing analis kebijakan, tergantung konsep atau pendekatan yang mereka digunakan. Oleh karena itu, kesamaan informasi yang relevan dengan kebijakan seringkali menghasilkan definisi-definisi dan penjelasan-penjelasan tentang suatu masalah yang saling berbenturan (Dunn, 2003: 209). Hal ini terutama bukan karena data yang diinterpretasikan sebagai fakta-fakta mengenai hal tersebut tidak konsisten (memang sering tidak konsisten), melainkan karena para analis kebijakan, pembuat kebijakan dan pelaku kebijakan mempunyai asumsi yang sering bertentangan tentang sifat manusia dan kemungkinan perubahannya melalui aksi-aksi kebijakan. Prioritas Perumusan MasalahPerumusan masalah merupakan tahapan analisis kebijakan yang paling penting. Perumusan masalah merupakan sistem petunjuk pokok atau mekanisme pendorong yang mempengaruhi keberhasilan semua tahapan analisis kebijakan. Para analis kebijakan lebih sering gagal karena mereka memecahkan masalah yang salah, daripada memperoleh solusi yang salah terhadap masalah yang tepat.

Analisis kebijakan sering diterangkan sebagai metodologi pemecahan masalah. Hal itu benar tetapi perlu kehati-hatian, sebab seolah-olah para analis akan mengidentifikasi, mengevaluasi dan membuat rekomendasi pemecahan masalah tanpa perlu menghabiskan waktu dan usaha untuk merumuskan masalah. Dalam kenyataanya, analisis kebijakan adalah proses berjenjang dan interaktif dimana metode-metode perumusan masalah harus dilakukan sebelum penentuan metode pemecahan masalahnya (Gambar 3-1; Dunn, 2003: 212).

Gambar 3-1 memperlihatkan bahwa perumusan masalah mendahului dan mengambil prioritas daripada pemecahan masalah. Metode-metode yang digunakan dalam langkah tertentu -misalnya dalam penetapan pemilihan solusi masalah- mungkin perlu diganti apabila masalah yang ditetapkan keliru. Misalnya, dengan contoh kerusakan hutan alam dan kemiskinan di atas, mengenai berapa manfaat bersih keuntungan dikurangi biaya dari beberapa alternatif solusi untuk mengendalikan kemiskinan, seolah-olah telah mengasumsikan bahwa kemiskinan adalah masalahnya. Sementara itu pertanyaan yang harus dijawab menyangkut cakupan dan kerumitan terjadinya kemiskinan, kondisi yang memberikan kontribusi pada kemiskinan, serta solusi-solusi yang potensial untuk mengurangi atau menghilangkan kemiskinan. Di sini analis kebijakan harus dapat menemukan bahwa formulasi yang paling layak terhadap masalah kerusakan hutan alam harus dihubungkan secara dekat dengan kebiasaan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, yangmana secara umum tidak mendapat hak dan akses secara memadai terhadap pemanfaatan sumberdaya alam. Dari sini terlihat bahwa merumuskan masalah kebijakan menjadi suatu hal yang paling penting.

Gambar 3-1. Prioritas Perumusan Masalah dalam Analisis Kebijakan

Dari Gambar 3-1 di atas juga dapat diuraikan dengan beberapa penjelasan berikut (Dunn, 2003: 213): Pengenalan Masalah vs. Perumusan Masalah. Proses analisis kebijakan tidak berawal dari masalah yang terartikulasi dengan jelas, tetapi suatu perasaan khawatir yang kacau dan tanda-tanda awal dari stres. Rasa kekhawatiran yang kacau dan tanda-tanda awal dari stres ini bukan masalah, tetapi situasi masalah yang dikenal atau dirasakan oleh para analis kebijakan, pembuat kebijakan dan pelaku kebijakan. Masalah-masalah kebijakan adalah produk pemikiran yang dibuat pada suatu lingkungan, suatu elemen situasi masalah yang diabstraksikan dari sebuah situasi oleh para analis, yang seperti atom atau sel, yang merupakan suatu konstruksi konseptual. Dengan begitu, apa yang dialami hanya merupakan situasi masalah, bukan masalah itu sendiri.

Perumusan Masalah vs Pemecahan Masalah. Analisis kebijakan merupakan proses yang berlapis-lapis yang mencakup metode perumusan masalah pada urutan lebih tinggi sedangkan metode pemecahan masalah sendiri terletak pada urutan yang lebih rendah. Metode pemahaman masalah pada urutan lebih tinggi adalah meta-metode, yaitu metode-metode mengenai dan ada sebelum metode pemecahan masalah yang berada pada urutan lebih rendah. Ketika para analis menggunakan metode dalam urutan yang lebih rendah untuk memecahkan masalah-masalah yang rumit, mereka beresiko melakukan kesalahan tipe ketiga yang oleh Raiffa disebut memecahkan masalah yang salah. Pemecahan Kembali Masalah vs. Pementahan Solusi Masalah dan Pemecahan Masalah. Istilah-istilah ini (aslinya: problem resolving, problem unsolfing, dan problem dissolving) menunjuk pada tiga macam proses pengkoreksian kesalahan. Meskipun ketiga istilah itu berasal dari sumber yang sama, (latin: solvere, to solve atau dissolve), proses pengkoreksian kesalahan terhadap obyek yang dikoreksi berlangsung pada tingkat berbeda (lihat Gambar 3-1). Pemecahan kembali masalah (problem resolving) mencakup analisis ulang terhadap masalah yang difahami secara benar untuk mengurangi kesalahan yang bersifat kalibrasional. Sebagai contoh, mengurangi probalitas kesalahan tipe I atau tipe II dalam menguji hipotesis nol menunjukkan bahwa suatu kebijakan tidak mempengaruhi hasil kebijakan tertentu. Sebaliknya, pementahan solusi masalah (problem unsolving), berupa pembuangan solusi akibat kesalahan dalam perumusan masalah. Sebagai contoh: kerusakan hutan alam akibat illegal logging. Dalam hal ini perlu kembali ke perumusan masalah dengan maksud untuk memformulasikan masalah secara tepat. Ketiga, pementahan masalah (problem dissolving) meliputi pembuangan masalah yang dirumuskan secara tidak tepat dan kembali kepada perumusan masalah sebelum terjadi suatu usaha untuk memecahkan masalah yang tidak tepat itu.

Kesalahan Tipe KetigaMasalah yang dinyatakan dengan benar menjawab separuh persoalan, demikian menurut John Dewey. Sehubungan dengan hal tersebut, Einstein pernah ditanya apabila ia mempunyai waktu 1 jam untuk menyelamatkan dunia, bagaimana ia akan memanfaatkan waktu tersebut? Ia mengatakan: Saya akan menghabiskan 55 menit untuk merumuskan masalahnya dan 5 menit untuk memecahkannya. Pernyataan tersebut sangat penting dalam pengambilan keputusan:Organisasi atau lembaga yang mampu berfikir kritis dalam menetapkan dan merumuskan masalah, akan berhasil. Demikian pula bagi setiap orang yang mampu berfikir kritis dalam menetapkan dan merumuskan masalah yang dihadapinya dengan benar akan menjadi lebih baik dan bijaksana dalam menghadapi kehidupannya (Mitroff, 1997).

Di dalam kenyataan sehari-hari, masalah-masalah yang terjadi jauh lebih kompleks. Rittel dan Webber (1973) menggambarkan masalah yang salah akan membuat langkah-langkah penyelesaiannya menjadi tidak jelas. Sebuah masalah tidak memiliki kepastian dalam perumusannya, sehingga cenderung hanya merupakan gejala-gejala atau rumusan masalah yang keliru, dan akibatnya adalah fungsi peraturan yang terhenti atau tidak berjalan. Solusi atas masalah yang keliru menyebabkan hilangnya kesempatan untuk melakukan pendekatan trial & error. Pada kondisi demikian, para pengambil keputusan tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat salah karena yang dilakukan hanya memperhatikan keadaan atau kondisi yang dianggap sebagai masalah dan dipecahkan, padahal bukan masalah yang sesungguhnya, sehingga tidak pernah dapat belajar darinya.

Pracht dan Courtney (1988), Mitroff (1997), Ackoff (1999), dan Volkema (1997, 1995), menyatakan bahwa langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk memformulasikan masalah dengan benar tidak banyak difahami oleh para pengambil keputusan. Formulasi masalah yang menghasilkan masalah yang keliru kini cenderung sudah menjadi sebuah kebiasaan dan cukup sulit untuk mengatasinya. Untuk setiap situasi yang kompleks biasanya hanya dihadapi dengan sebuah formulasi masalah secara sederhana, terlalu cepat dirumuskan dan terlalu dangkal kerangka pikir yang digunakan.

Pemecahan terhadap masalah yang keliru, biasanya akan membuat kondisi menjadi lebih buruk. Pemecahan masalah atas problem yang salah tidak cukup hanya dinyatakan sebagai benar atau salah (Rittel dan Webber, 1973). Hal-hal demikian itu lebih tepat dinyatakan sebagai baik atau buruk dan menjadi isu moral. Hal demikian terjadi karena proses penetapan masalah menggunakan yang menurut Vickers (1995) menggunakan istilah apresiasi. Dalam hal ini digunakan sebagai apresiasi atas situasi yang ada dalam dua tahap proses yang digunakan oleh para pembuat kebijakan. Pertama, apresiasi atau penilaian terhadap fakta yang terjadi (reality judgement). Kedua, apresiasi atau penilaian terhadap relevansi fakta tersebut terhadap fenomena atau perihal yang sedang dibicarakan. Kedua tahapan tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.

Oleh karena itu, nilai atau etika dalam perumusan masalah tidak dapat diabaikan. Seperti dalam merumuskan solusi, juga dalam merumuskan masalah, diperlukan keahlian dan nilai/etika dengan batas keduanya yang tidak mudah digambarkan (Ulrich, 1988). Pada saat proses perumusan masalah tidak menyertakan pertimbangan nilai/etika, maka seorang pengambil keputusan akan memecahkan masalah yang keliru, yaitu kesalahan tipe ke III. Kesalahan tipe ke III terkait dengan proses perumusan masalah, sementara itu seperti telah diketahui pada umumnya kesalahan tipe I dan II terjadi setelah masalah dirumuskan.

Kesalahan tipe I terjadi ketika sebuah hipotesis seperti hipotesis nol dalam uji hipotesis dalam statistik adalah benar, padahal kita menolaknya berdasarkan analisis yang dilakukan. Misalnya dalam hipotesis itu dinyatakan bahwa kerusakan hutan alam di lokasi A disebabkan oleh kemiskinan dan hipotesis demikian itu memang dapat dibenarkan, dalam arti sesuai dengan kenyataan. Namun demikian, dari analisis statistik yang diperoleh dari pengolahan data sejumlah contoh di lokasi A disimpulkan bahwa hipotesis tersebut ditolak. Hal itu berarti di dalam sebuah sistem pendukung keputusan (decision support system/DSS), penentuan model sebuah permasalahan telah akurat, tetapi kita menolak rekomendasi yang dihasilkan model tersebut.

Sebaliknya, kesalahan tipe II terjadi ketika hipotesis nol adalah salah, namun kita tidak mempunyai argumen untuk menolaknya. Seperti dalam DSS, bahwa model kita adalah salah, namun kita gagal mengetahuinya dan sebagai konsekuensinya kita tidak dapat menolak rekomendasi yang dihasilkannya. Dalam prakteknya, menerima kedua macam tipe kesalahan tersebut dapat menimbulkan biaya besar. Kegagalan menerima rekomendasi yang benar dapat menghilangkan kesempatan, sebagaimana ketika seseorang gagal melakukan investasi di suatu pasar sebab ia tidak percaya akurasi model prediksi yang dibuatnya. Di pihak lain, gagal untuk mendeteksi kelemahan model dapat berakibat pada kerugian atas investasi yang telah ditanamkan, sebagaimana seseorang yang percaya terhadap prediksi model investasi yang dibuatnya ketika, dalam kenyataannya, tidak demikian.

Dalam banyak kasus, adanya kesalahan tipe I atau tipe II diteruskan dengan pertanyaan: Apakah kita mempunyai solusi yang benar? Dalam hal ini ada anggapan bahwa masalah yang telah dirumuskan sesuai contoh di atas yaitu kemiskinan dapat di pecahkan apabila tersedia solusi yang tepat. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, apabila persoalannya bukan pada mencari solusi baru, melainkan rumusan masalahnya tidak tepat. Sayangnya dalam banyak kasus, kelemahan terhadap penetapan hipotesis tersebut seringkali tidak menjadi fokus perhatian.

Solusi yang layak atas masalah yang benar jauh lebih baik daripada solusi yang benar atas masalah yang salah (Mitroff, 1997). Tidak seperti kesalahan tipe I dan II, kesalahan tipe III menjadikan masalah tidak terpecahkan (un-solved) atau masalahnya perlu dirumuskan ulang (dis-solved). Memecahkan masalah yang salah dapat menghabiskan biaya besar karena akan mengkonsumsi sumberdaya yang penting. Lebih jauh, hal demikian itu dapat menyebabkan hasil yang tidak dikehendaki dalam jangka panjang dan dalam sistem yang lebih luas dapat menghasilkan kondisi yang jauh lebih buruk.

Oleh karenanya, memecahkan masalah yang tidak terdefinisikan dengan baik, akan menjadikan kondisi jauh lebih buruk daripada dibiarkan saja. Sehingga bukan hanya sumberdaya penting digunakan sia-sia, tetapi juga dapat menghasilkan kondisi lebih buruk daripada yang sebelumnya terjadi, karena menghasilkan masalah yang lebih serius sebagai hasilnya (Mitroff, 1997). Memecahkan masalah yang benar membuat perbedaan secara etik dalam hubungan sosial daripada sekedar membuat perbedaan secara signifikan (Churchman, 1967). Meskipun Churchman setuju dengan pandangan Dewey di atas, bahwa masalah yang dinyatakan secara benar menjawab separuh persoalan, ia juga mengobservasi bahwa memecahkan hanya sebagian dari masalah, dan bukan keseluruhannya, secara moral keliru (Churchman, 1967).

Isu Etika dalam Penetapan Masalah Banyak pendapat menyebutkan bahwa individu atau lembaga berkembang menjadi semakin tergantung dan terintegrasi dengan sistem informasi. Sistem ini mulai mempengaruhi kehidupan dengan beragam cara. Saat ini, semakin banyak analis dan pembuat kebijakan khawatir bahwa dalam menetapkan kebijakan perlu mempertimbangkan gambar lebih besar dan mengambil pandangan jangka panjang saat mengambil keputusan di tengah-tengah kompleksitas ini. Banyak melihat masalah etika sebagai sumber kunci kesuksesan dalam jangka panjang. Beberapa mengklaim bahwa perilaku etis adalah jantung dan jiwa dari usaha dan bahwa keuntungan jangka panjang dan etika secara intrinsik terkait. Banyak peneliti berpendapat bahwa dalam pengambilan keputusan dimensi spiritual atau etis telah hilang dari paradigma yang berlaku di komunitas akademis maupun bisnis, dan bahwa pengembangan perspektif etika harus menjadi bagian dari pengambilan keputusan serta sistem pendukung pengambilan keputusan (DSS) di dalam "organisasi belajar" (learning organization). Mitroff dan Denton [36] menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan saat ini miskin rohani dan banyak masalah berasal dari pemiskinan ini. Sebuah studi empiris mengenai aspek spiritualitas/etika yang dituangkan dalam laporan kerja para eksekutif senior dan asosiasi manajer, terungkap bahwa dengan landasan spiritualitas/etis dalam organisasi mampu menjadi "lebih menguntungkan" dan mereka mampu berkreasi penuh, menuangkan emosi dan kecerdasan dalam organisasi berbasis spiritual [36]. Para peneliti menyatakan bahwa laba mengikuti secara langsung langkah-langkah berbasis etika itu.Ahli filsafat bisnis Charles Handy bertanya, "Apa tujuan bisnis?" Dia menegaskan bahwa tujuan suatu usaha komersial tidak hanya untuk mendapat keuntungan. Sebaliknya, untuk membuat keuntungan dalam rangka melakukan sesuatu atau membuat sesuatu. Laba adalah sarana untuk mencapai tujuan lain dan bukan tujuan itu sendiri. Handy menyatakan: "Suatu persyaratan bukanlah tujuan" (hal. 159). Menurut Peter Senge, Russell Ackoff [2] di Wharton School of Economics: "keuntungan seperti oksigen, jika tidak cukup tersedia, anda tidak akan bertahan hidup; tetapi jika anda menganggap hidup adalah untuk bernapas, anda akan kehilangan sesuatu "(hal. 18). Verschoor telah mempelajari 500 perusahaan terbesar publik AS, dengan fokus pada hubungan antara kinerja keuangan perusahaan secara keseluruhan dan komitmen mereka terhadap etika. Studi empiris menunjukkan bahwa ada hubungan statistik yang signifikan antara komitmen manajemen dengan kontrol yang kuat, yang menekankan perilaku etis dan bertanggung jawab sosial pada satu sisi, dan kinerja finansial yang menguntungkan perusahaan di sisi lain.

Schminke dan Ambrose menemukan bahwa tahap pengembangan moral para pemimpin organisasi meresap menjadi situasi etis di perusahaan dan mempengaruhi sikap karyawan di seluruh organisasi. Dalam sebuah survei dari 53 perusahaan AS, ditemukan bahwa terdapat hubungan signifikan secara statistik antara skor pemimpin organisasi dengan Defining Issues Test dan situasi etis di organisasi-organisasi yang berorientasi sosial atau secara mandiri berorientasi etis. Juga, perusahaan yang situasinya beriklim instrumental di mana kepentingan diri sendiri serta keuntungan lebih mendominasi sikap karyawan lebih berorientasi negatif dari pada perusahaan dengan iklim sosial. Meskipun saat ini lembaga-lembaga semakin mengandalkan teknologi informasi dan sistem pendukung pengambilan keputusan (DSS) untuk suatu proses dan jumlah data besar yang relevan untuk keputusan-keputusan yang kompleks, namun teknologi itu jarang memasukkan faktor lain selain perspektif teknis yaitu perspektif model kuantitatif untuk menafsirkan data. Sistem mungkin berisi model yang sangat kompleks untuk memanipulasi aspek kuantitatif suatu masalah, tetapi tidak berisi fitur yang dirancang untuk menggabungkan aspek-aspek kualitatif seperti yang terkait dengan masalah etika. Tidak ada apapun yang disebut sebagai netral secara etis termasuk DSS. Nilai-nilai yang dipegang oleh para desainer DSS implisit terdapat di dalam fungsi sekaligus kemampuan bekerja sistem yang dibangunnya. Boland mencatat bahwa setiap sistem informasi pasti mengandung pengandaian etis dari perancang, dan dalam merancang suatu sistem informasi merupakan sebuah masalah moral karena menempatkan desainer sistem pada posisi memaksakan pesanan pada pihak lain. Isu etika selalu muncul setiap kali perilaku salah satu pihak dalam mencapai tujuannya secara material mempengaruhi kemampuan pihak lain untuk mencapai tujuan. DSS memanipulasi informasi. Mason et al. (1995) telah menggambarkan bagaimana pertimbangan etis intrinsik harus berada dalam situasi pengambilan keputusan dalam sebuah masyarakat yang berorientasi informasi. Informasi menyediakan sumber daya bagi mereka yang menyerahkan, mengambil, atau mengatur transfer informasi dari pemberi informasi kepada penerima informasi. Ada, bagaimanapun, suatu paradoks daya yang terkait dengan informasi. Sementara informasi dapat memberikan keputusan-pembuat kekuatan besar untuk mencapai tujuan mereka, secara bersamaan dapat membuat orang-orang pengambil keputusan yang sama lebih tergantung pada informasi untuk kelangsungan hidupnya. Ini masalah moral mungkin, bahkan, lebih signifikan dalam merancang DSS untuk digunakan dalam bisnis. Dalam situasi pengambilan keputusan yang kompleks, misalnya, yang melibatkan manajemen ekosistem, atau infrastruktur perkotaan, akan mempengaruhi pihak yang jauh lebih luas daripada yang biasanya terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan. Setiap orang yang terlibat dalam, atau terpengaruh oleh pengambilan keputusan, memiliki kepentingan terhadap informasi yang dimanipulasi dalam proses itu. Dengan demikian, desainer DSS seharusnya tidak hanya mempertimbangkan faktor teknis, tetapi juga persoalan etika dan moral dalam desain mereka. Dalam pengertian ini mereka harus berperan sebagai "agen moral", bukan sekadar "desainer artefak teknis." Dengan demikian, isu-isu etika harus dimasukkan pada awal proses pengambilan keputusan yaitu dalam perumusan masalah. Perumusan masalah adalah langkah paling penting dalam pengambilan keputusan karena akan mempengaruhi arah dari semua tahap berikutnya, termasuk bangunan model, desain DSS, pengembangan alternatif, pengumpulan data, analisis data, keputusan dan pelaksanaan keputusan tersebut. Kegagalan mempertimbangkan isu-isu etis selama perumusan masalah mengarah pada terjadinya jenis kesalahan Tipe III yaitu memecahkan masalah yang salah. Terdapat variasi bagaimana memecahkan masalah yang salah itu. Carrier dan Wallace menyediakan kajian rinci tentang bagaimana pendekatan pemodelan yang tidak tepat mungkin diterapkan. Terdapat tiga jenis pemodelan: deskriptif (menggunakan statistik), preskriptif (menggunakan teknik riset operasi), dan rescriptive (menggunakan sistem pakar dan teknik AI untuk "rescribe" proses). Sebagai contoh, kesalahan yang dapat terjadi apabila teknik regresi digunakan dan asumsi yang mendasari untuk menerapkan regresi tersebut tidak terpenuhi. Hal demikian itu dapat terjadi pada saat perumusan masalah, epistemologi yang mendasarinya belum dipahami dengan baik. Mereka lebih fokus pada pertanyaan untuk kalangan sendiri: "Bagaimana anda tahu apa yang anda tahu?" Fokus seharusnya dilakukan berhubungan dengan pertanyaan itu, tetapi agak berbeda. Sebaiknya fokus lebih mengarah kepada stakeholder yang menyampaikan masalah selama proses perumusan masalah. Disini diasumsikan bahwa pembuat keputusan (decision maker) akan memilih alat pemodelan yang tepat pada saat pemahaman menyeluruh dari suatu masalah telah diperoleh. Model Intensitas Moral JonesJones telah mengembangkan konsep yang ia sebut "intensitas moral." Intensitas moral merupakan suatu konstruksi yang menangkap sejauh mana kewajiban moral bereaksi terhadap isu dalam suatu situasi tertentu (hal. 372). Desakan (imperatif) moral adalah syarat untuk bertindak secara konsisten berdasarkan kepercayaan moral seseorang. Komponen bagian dari model Jones mencakup: besaran konsekuensi dari suatu konsensus sosial, probabilitas efek, kedekatan temporal, jarak, dan konsentrasi efek (lihat Tabel 3-2).

Tabel 3-2: Komponen Bagian Intensitas Moral (dari Jones)

Besaran konsekuensi (magnitude of consequences)Ancaman dan manfaat yang terjadi pada korban atau penerima manfaat atas perbuatan moral yang berlangsung

Konsensus sosial (social consensus)Tingkat persetujuan sosial untuk mencapai tujuan kondisi baik atau buruk

Probabilitas pengaruh (probability of effect)Peluang kejadian apakah suatu kegiatan benar-benar dilakukan dan dampak negatif atau positif kegiatan itu seperti yang diperkirakan sebelumnya

Kedekatan temporal (temporal immediacy)Lama waktu antara saat dimana kegiatan berlangsung dan konsekuensi yang ditimbulkannya

Jarak (proximity)Perasaan kedekatan yang dipunyai terhadap terjadinya ancaman atau manfaat dari perbuatan moral yang berlangsung

Konsentrasi pengaruh (consentration of effect)Kelompok pemangku kepentingan yang paling dipengaruhi oleh berlangsungnya kegiatan

Besaran konsekuensi menunjukkan pentingnya dampak dari rumusan masalah bagi pemangku kepentingan yang berbeda dan memungkinkan mereka untuk mengakui keseriusan sebuah situasi dan pentingnya partisipasi mereka. Suatu kejadian yang akan berpengaruh terhadap 10.000 orang akan mempunyai konsekuensi lebih besar daripada sebuah situasi yang hanya akan mempengaruhi 10 orang. Demikian pula, situasi yang menyebabkan kematian satu orang berakibat lebih besar daripada situasi yang menyebabkan ketidak-nyamanan bagi ratusan orang. Dimasukkannya besaran konsekuensi menjadikan rumusan masalah mudah difahami, masuk akal, dan sejalan dengan perilaku manusia atas kenyataan empiris yang mereka hadapi [26] (hal. 374). Banyak sistem informasi yang ada saat ini memiliki besaran konsekuensi yang tinggi dan dengan demikian dapat menghasilkan dampak yang lebih signifikan bagi para pemangku kepentingan. Sebagai contoh, sistem informasi pengendalian udara bagi keselamatan perjalanan, operasi medis, peradilan pidana, dan perbankan, akan sangat berguna bagi semua orang dalam kehidupan sehari-hari.

Konsensus sosial adalah tingkat kesepakatan di antara pemangku kepentingan tentang kebenaran rumusan masalah yang telah ditetapkan. Stakeholder yang berbeda memiliki pengalaman dari prakteknya masing-masing atau pengalaman-pengalaman sosialnya secara berbeda. Dengan demikian, kemampuan mereka untuk memahami masalah tertentu mungkin sangat terbatas dan pemahaman mereka seringkali bias oleh berbagai pandangan yang tertanam dalam kehidupan sosial mereka. Dalam situasi seperti itu, pengambil keputusan tidak mungkin melihat isu-isu moral secara komprehensif atau merumuskan masalah dengan perhatian etis secara memadai. Dengan demikian, tingkat keterlibatan sosial yang tinggi dapat mengurangi kemungkinan para pengambil keputusan merumuskan masalah hanya berdasarkan kepentingan mereka sendiri.

Probabilitas pengaruh tergantung pada dua hal. Pertama, kemungkinan bahwa tindakan yang disarankan akan benar-benar dilakukan dan, kedua, bahwa jika dilakukan tindakan itu maka akan menyebabkan konsekuensi atau dampak seperti yang diharapkan. Peningkatan perkiraan kemungkinan dampak seperti yang diharapkan dapat dicapai dengan membiarkan para pemangku kepentingan untuk menentang dan menguji berbagai asumsi tentang masalah tersebut. Seringkali seseorang memiliki kecenderungan untuk percaya bahwa kemungkinan tindakan mereka sebagai penyebab kerusakan sangat rendah. Komunikasi intensif antara stakeholders dan para pengambil keputusan kunci cenderung mengurangi kemungkinan buruk akibat asumsi mereka yang salah dalam merumuskan masalah. Memasukkan perspektif dari berbagai pihak diharapkan dapat mengurangi kemungkinan meremehkan persoalan formulasi masalah tersebut.

Kedekatan temporal mengacu pada lamanya waktu antara dimulainya tindakan dan awal terjadinya konsekuensi tindakan tersebut, terkait dengan perumusan masalah yang ditetapkan. Orang cenderung mendiskonto atau kurang memperhatikan dampak yang terjadi di masa depan. Bias ini mengurangi urgensi pemecahan masalah secara moral [26]. Hal ini sangat penting bagi para pengambil keputusan untuk mempertimbangkan isu-isu dan masalah dari kedekatan temporal atau urgensinya. Mempertimbangkan kedekatan temporal dalam perumusan masalah dapat meningkatkan urgensi masalah dan membantu para pemangku kepentingan untuk membuat rumusan masalah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan kepentingan pemangku kepentingan yang belum terlihat, seperti kepentingan generasi yang akan datang, kehidupan hewan dan tumbuhan, maupun lingkungan hidup.

Jarak berkaitan dengan kemampuan para pemangku kepentingan yang berbeda untuk mengembangkan rasa kedekatan sosial, budaya, psikologis, dan fisik. Kebanyakan orang lebih peduli orang lain yang dekat dengannya daripada bagi orang-orang yang jauh [26]. Pemutusan hubungan kerja dalam unit kerja dimana seseorang bekerja memiliki kedekatan moral atau dampak psikologis lebih besar daripada terjadinya pemutusan hubungan kerja terhadap ribuan pekerja di negara lain [26]. Para pemangku kepentingan yang lebih mengembangkan perasaan kedekatan, biasanya melakukan perumusan masalah yang cenderung lebih etis. Terutama, dalam konteks globalisasi, dimana misalnya apa yang terjadi dalam suatu organisasi biasanya ditransformasikan secara global dan sebaliknya. Maka, stakeholder perlu mempertimbangkan kedekatan moral dalam setiap masalah yang mereka hadapi. Kedekatan moral dapat menumbuhkan empati, peduli terhadap sesama, perhatian, cinta, dan kepercayaan pada rumusan masalah yang telah ditetapkan di samping motif keuntungan dan kerugian.

Adanya faktor konsentrasi efek menyarankan untuk memberikan perhatian khusus kepada stakeholders yang kepentingannya akan sangat terpengaruh oleh perumusan masalah. Dalam banyak kasus, setiap pihak cenderung mempertahankan cara menentukan masalah dan pembenaran alasan atas definisi masalah yang dibuatnya tanpa konsultasi dengan pihak lain atau hanya konsultasi dengan kelompok-kelompok kepentingan khusus. Juga sering terjadi pendapat para ahli yang mengesampingkan suara-suara minoritas dan pemangku kepentingan yang tidak terlihat, meskipun mungkin memiliki dampak paling besar terhadap kebijakan baginya dari formulasi masalah itu. Termasuk konsentrasi efek dalam rumusan masalah tersebut akan membantu para pemangku kepentingan yang berbeda untuk mengakui kepentingan mana yang harus menjadi prioritas. Untuk itu proses penetapan masalah kebijakan yang dapat mewujudkan rasa saling pengertian, tercapainya konsensus, serta mempertimbangkan penyelesaian konflik dan sengketa, diharapkan dapat meningkatkan ketepatan siapa yang paling penting yang harus diperhatikan dalam perumusan masalah kebijakan itu.

Sejumlah studi empiris menunjukkan bahwa intensitas moral secara positif mempengaruhi pengambilan keputusan berbasis etis. Intensitas moral berkaitan erat dengan kesadaran tentang apa yang Mitroff dan Denton sebut sebagai "ke-saling-terkait-an". Yaitu, apabila para pemangku kepentingan atau kelompok memiliki perasaan hubungan dasar dengan dirinya sendiri secara utuh, orang lain, dan seluruh alam semesta (hal. 83), maka kesempatan perumusan masalah etika yang terjadi akan sangat meningkat. Kami percaya kunci untuk menggabungkan intensitas moral ke dalam DSS adalah dengan memfasilitasi dan mendorong keterkaitan antar masalah yang dihadapi pemangku kepentingan.

Menghindari kesalahan Tipe III Mitroff mengidentifikasi lima sumber kesalahan Tipe III terjadi berulang-ulang dalam semua konteks (lihat Tabel 3-3). Setiap sumber kesalahan berbeda tetapi ada overlap yang kuat satu dengan yang lain. Untuk setiap sumber kesalahan, Mitroff menyarankan ada strategi khusus untuk membantu menjamin menghindari kesalahan Tipe III.

Tabel 3-3: Sumber Kesalahan Tipe III & Strategi Pencegahannya (dari Mitroff)MasalahKarakteristik Strategi

Mengundang stakeholder yang salahMenyertakan hanya sebagian kecil stakeholders dalam penetapan masalah kebijakan; mengabaikan stakeholders lainnya, terutama reaksi mereka.Jangan pernah mengambil keputusan penting atau mengambil tindakan penting tanpa menentang paling tidak satu asumsi tentang stakeholder kritis; pertimbangkan paling tidak dua stakeholders yang dapat dan akan menentang keputusan atau tindakan yang akan dilakukan.

Memilih terlalu sempit opsi-opsi yang mungkin dapat digunakanMenggunakan pandangan atau cara lama untuk menentukan dan memecahkan masalah; gagal mempertimbangkan pandangan lain tentang masalah kebijakanJangan pernah menerima formulasi tunggal dari masalah yang sangat penting; sangat vital untuk setidaknya membuat dua rumusan masalah berdasarkan pendekatan dan formulasi yang berbeda.

Merumuskan masalah secara tidak tepatMenggunakan disiplin, fungsi bisnis dan variable terlalu sempit/ terbatas dalam penetapan masalah Tidak pernah menghasilkan dan menguji formulasi masalah kecuali yang didasarkan pada variable-variable teknis

Merumuskan batas-batas masalah dengan sangat sempitModel penetapan masalah tidak bersifat inklusif.Selalu memperluas batasan masalah melebihi comfort zone yang biasa dilakukan

Gagal menggunakan cara berfikir secara sistematisHanya terfokus pada satu aspek/bagian dari masalah yang dibicarakan bukan keseluruhannya; terfokus pada aspek yang salah dan tidak melihat hubungan antar aspek serta hubungan antara aspek tertentu dan keseluruhannyaTidak pernah memecahkan masalah dengan cara membagi masalah itu kedalam bagian-bagian yang dapat diisolasi secara tersendiri; sebaliknya selalu memecahkan masalah makro dan umum padahal masalah pentingnya sangat dipengaruhi oleh situasi tertentu.

Kelima strategi tersebut terkait erat satu sama lain. Misalnya, memilih stakeholder yang tepat diharapkan dapat meningkatkan peluang untuk memperluas pilihan dan batas-batas masalah tersebut. Memperluas batasan masalah ini dapat meningkatkan kemampuan untuk mengutarakan masalah dengan benar, dan seterusnya. Meskipun tidak satupun dari lima strategi itu dapat diabaikan, strategi pertama yaitu "memilih stakeholder yang benar" sangat penting karena strategi lain tergantung adanya orang yang tepat yang terlibat dalam proses perumusan masalah. Sulit mengharapkan rumusan masalah yang "benar" dari pemangku kepentingan yang "salah" atau ketika stakeholder kritis tidak terlibat.

Model untuk Perumusan Masalah Etis Lima strategi Mitroff untuk mengurangi terjadinya kesalahan Tipe III berasal dari deskripsi Churchman tentang inquiry system Singerian. Churchman berfokus pada pembuatan keputusan holistik dan menunjukkan sebuah sweeping-in process, yaitu menggunakan berbagai pendekatan untuk mengindentifikasi masalah. Melalui perluasan konteks masalah, Churchman berpendapat bahwa pendekatan yang lebih sistemik untuk membuat keputusan dapat dilakukan dengan, pertama, memperluas jumlah pemangku kepentingan yang terlibat. Termasuk mengundang setidaknya satu stakeholder atau kelompok yang akan menentang keputusan atau tindakan yang direkomendasikan dapat membantu memperbanyak pilihan dan memperluas batas-batas masalah serta membantu menghindari masalah terpecah menjadi bagian-bagian kecil dan terisolasi.

Para pembuat keputusan perlu bertanya pada diri sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: "Siapa yang biasanya kita kecualikan dalam diskusi untuk memformulasikan masalah-masalah yang penting?", "Siapa yang benar-benar tidak terpikirkan untuk disertakan dalam diskusi?" Untuk memastikan bahwa para stakeholder kunci yang biasanya tidak mempunyai hubungan langsung dengan pembuat keputusan harus disertakan dalam proses perumusan masalah.Mengintegrasikan intensitas moral mensyaratkan bahwa pengambil keputusan menentang cara lama stakeholder memilih dan membuat mereka memikirkan kembali siapa yang harus duduk di meja. Menilai besaran konsekuensi, kedekatan temporal, dan konsentrasi efek, sebagaimana telah diuraikan di atas, membutuhkan calon para penerima manfaat atau lebih sulit lagi, calon para korban untuk memberikan masukan kepada proses pembuatan kebijakan. Meningkatkan konsensus sosial membutuhkan beberapa tingkat kesepakatan antar stakeholder. Kedekatan selalu meningkat ketika stakeholder yang sebelumnya tidak kini disertakan dalam proses perumusan masalah. Jelasnya, menjamin representasi sistematis dari semua stakeholder yang tepat dan mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam diskusi, sama pentingnya dengan mengidentifikasi mereka. Kebutuhan untuk memperluas tingkat keterlibatan stakeholder bukan hanya menerapkan partisipasi demokratis dalam pengambilan keputusan melainkan memperdalam pemahaman tujuan evaluasi yang dilakukan secara normatif dan pluralistik (p. 425). Demikian pula, tujuannya bukan untuk mengumpulkan orang untuk berfikir dengan cara yang sama. Masalah yang kompleks perlu dirumuskan dan dipecahkan oleh formulasi masalah yang kaya dengan menyediakan berbagai perspektif. Bahkan, menggali perbedaan perspektif yang justru cenderung dapat mengakibatkan konflik antar peserta. Mengintegrasikan berbagai komponen intensitas moral ke dalam proses perumusan masalah dapat menyebabkan peserta diskusi ambivalen untuk menyadari keseriusan situasi dan mendorong partisipasi mereka. Cara kedua dilakukan dengan memperluas pilihan, penggunaan istilah, dan memperluas ruang lingkup masalah. Ketiga hal tersebut saling terkait. Perlu mempertimbangkan beberapa pilihan untuk merumuskan definisi masalah sebelum mencoba untuk mengutarakan masalahnya, dan ruang lingkup masalah akan mengikuti cara masalah diungkapkan. Apabila tersedia opsi-opsi yang mencukupi termasuk formulasi yang digunakan pada pemeriksaan pertama untuk menentukan masalah, maka ruang lingkup tidak perlu diperluas. Pada kenyataannya, kegiatan ini biasanya dilaksanakan secara iteratif. Seorang pembuat keputusan dalam merumuskan masalah cenderung bergerak bolak-balik antara strategi-strategi yang tersedia sebelum menetapkan sebuah rumusan masalah tertentu. Ulrich menyatakan, untuk hampir semua situasi masalah, terdapat berbagai macam definisi yang mungkin dari "masalah, dan masing-masing definisi menyiratkan berbagai kelompok pemilik masalah dan stakeholder (p. 417). Penting untuk memperluas pilihan masalah berdasarkan pertimbangan disiplin yang diakui misalnya, teknik, ekonomi, hukum, kelembagaan, ilmu politik, dan sebagainya untuk mengerahkan pengaruh yang dominan atas definisi masalah yang dibuat. Disiplin menentukan variabel apa yang harus dipertimbangkan dalam definisi masalah. Dalam rangka mendefinisikan masalah dengan benar ("etis"), ada kebutuhan untuk memperkenalkan bahasa baru dan disiplin. Komponen intensitas moral dapat berguna untuk kalimat masalah etis. Besaran konsekuensi memperkenalkan variabel "membahayakan" dan "manfaat." konsensus sosial memperkenalkan gagasan pengukuran perjanjian. Probabilitas efek secara eksplisit panggilan untuk perkiraan kemungkinan tindakan dan konsekuensi yang terlibat. Kedekatan temporal memperkenalkan perencanaan dan cakrawala dampak. Kedekatan memerlukan beberapa ukuran empati bagi mereka yang paling terpengaruh oleh penyelesaian masalah. Konsentrasi efek memerlukan beberapa definisi tentang siapa yang akan terkena dampak paling parah. Memperluas lingkup dapat menjadi tujuan dari kedua pemikiran individu maupun kelompok. Setiap pemangku kepentingan perlu melakukan refleksi kritis untuk menghindar agar tidak terjerumus ke bias dari diri sendiri secara kognitif. Pada saat yang sama, setiap stakeholder harus menentang asumsi setiap pihak lain tentang masalah tersebut. Dalam situasi ideal, para pemangku kepentingan harus menyambut tantangan atas asumsi mereka sendiri berdasarkan diskursus mereka masing-masing. Cara ketiga, yaitu berpikir secara sistemik. Jika seseorang telah berhasil di strategi sebelumnya, para pembuat keputusan yang terlibat harus menyadari adanya sistem yang lebih luas di mana masalah itu terletak serta melihat interaksi penting antar masalah. Mitroff mencatat bahwa untuk mengelola interaksi antara masalah yang kompleks mungkin lebih penting daripada mengelola setiap masalah yang kompleks itu. Dia menyebut ini sebagai sebuah paradoks, karena salah satu cara terbaik dalam mengelola sebuah situasi masalah yang kompleks adalah dengan mengelola interaksinya dengan masalah kompleks lainnya, bukan dengan mengelola masalah itu sendiri. Sebagai contoh, beberapa pihak berpendapat bahwa nasib tunawisma bermula dari lemahnya kemampuan mereka untuk mendapatkan pelatihan kerja yang memadai. Lainnya berpendapat bahwa jantung masalah bagi tunawisma adalah kondisi kesehatan mereka. Pada kenyataannya, "solusi" untuk menanggulangi tunawisma kemungkinan akan melibatkan kombinasi beberapa faktor, yaitu bagaimana mendapatkan orang tunawisma sehat yang bisa mendapatkan pelatihan kerja secara memadai akan menjadi titik kunci penyelesaiannya. Dalam hal ini komunitas medis dan komunitas pendidikan harus bekerja sama. Dengan kata lain, seseorang yang mengelola solusi ini perlu mengelola interaksi komunitas medis dan pendidikan, yaitu menjadi batas masalah tunawisma.

Gambar 2: Model Perumusan Masalah Etis (Suatu perluasan Perspektif Etika dalam Courtney) Gambar 2 menyatukan konsep yang diuraikan sejauh ini menjadi model bagi perumusan masalah etika. Model ini menunjukkan bahwa stakeholder (S) menghadapi situasi masalah dan terlibat dalam perumusan masalah awal. Memanfaatkan proses pengembangan perspektif teknis, organisasi dan pribadi (T, O, dan P) yang diidentifikasi oleh Mitroff dan Linstone. Perluasan stakeholder membawa pihak-pihak yang lebih peduli ke dalam proses pembuatan kebijakan. Pendekatan ini mulai mempertimbangkan tidak hanya pembuat keputusan yang terlibat langsung, tetapi juga para pemangku kepentingan yang mungkin terpengaruh secara tidak langsung oleh tindakan akibat dari keputusan yang diambil. Setelah semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam suatu situasi sudah disertakan lebih akurat: representasi sistematis semua pemangku kepentingan yang telah terjamin perumusan masalah dapat dilanjutkan seperti yang digambarkan di kotak yang lebih besar. Perumusan masalah yang umum dilakukan saat ini biasanya dimulai dengan melakukan identifikasi kesenjangan (gap) antara keadaan saat ini versus keadaan yang diinginkan. Proses ini biasanya melibatkan analisis kuantitatif terperinci dalam upaya untuk menghasilkan model situasi saat ini sangat tergantung pada perspektif teknis/T. Pada tahap ini disarankan untuk memperluas proses perumusan masalah dengan mengintegrasikan komponen intensitas moral ke dalam proses. Komponen-komponen ini akan menambah beberapa aspek kuantitatif untuk perumusan masalah, namun bisa juga ditambahkan lebih banyak aspek kualitatif. Diharapkan bahwa intensitas moral akan menimbulkan faktor-faktor seperti peduli, cinta, tanggung jawab, dan empati di samping efisiensi, biaya, dan manfaat. Selain ilmu ekonomi, teknik, hokum, kelembagaan dan disiplin baru (misalnya, psikologi, teologi, etika) sisi variabel dapat dimasukkan dalam perumusan masalah. Dalam hal ini proses iteratif bolak-balik dapat dilakukan yaitu antara perumusan masalah melalui analisis gap dan penetapan masalah berdasarkan intensitas moral. Dalam kenyataannya diakui bahwa cara menentukan masalah di atas mungkin lebih sulit karena dua alasan. Pertama, kritik umum dari sweeping-in process atau ekspansionisme, yang mana penerapannya memperbesar ruang lingkup masalah dengan ukuran yang bisa tidak terkendali, dengan demikian tidak praktis. Churchman sendiri menyebut masalah ini dalam bukunya: Thought and Wisdom. Perjanjian terlalu banyak dibutuhkan perlu membentangkan atau memperluas pembahasan, demikian pula perlunya banyak dekomposisi untuk menemukan yang "benar" pada tingkat pemecahan masalah. Ulrich merekomendasikan suatu pembentangan proses untuk menggabungkan masalah dengan mengatasi inkonsistensi seperti adanya perbedaan pandangan maupun mempertahankan status quo. Oleh karena itu, keterbukaan proses menjadi sarana penting dalam pelaksanaan sweaping-in process disertai pencarian tanpa akhir untuk penyempurnaannya. Hal ini digambarkan sebagai kotak sekitar proses perumusan masalah yang diperluas untuk menggambarkan bahwa itu membatasi proses. Dua komponen intensitas moral - konsensus sosial dan konsentrasi efek - mungkin berguna untuk keberlangsungan pelaksanaan proses. Dalam situasi yang terlalu banyak terdapat inkonsistensi di antara stakeholder, mereka mungkin bertanya: "Apakah akan tercapai konsensus sosial tentang masalah ini?". Teknik berbeda atau sumber informasi seperti forum di internet, jajak pendapat publik dan pengetahuan pakar, dapat digunakan untuk mengumpulkan data atau sebagai pasokan informasi. Sumber-sumber informasi tadi diharapkan dapat menawarkan sebuah pemahaman umum bagi stakeholders tentang masalah sehingga dapat mengarahkan mereka untuk mengikuti norma-norma sosial, kepentingan dan nilai, dan bukan hanya kepentingan diri sendiri dan bias. Konsentrasi efek menunjukkan bahwa pihak-pihak yang kepentingannya akan sangat terpengaruh oleh perumusan masalah tersebut dan akan membantu mengidentifikasi orang-orang yang kepentingannya menjadi prioritas untuk dilayani. Alasan kedua dalam perumusan masalah kebijakan kemungkinan lebih sulit adalah bahwa kita berharap pendekatan ini dapat menetapkan masalah dengan meningkatkan kompleksitas masalah itu sendiri melalui pendekatan ini. Strategi-strategi untuk memperluas pilihan dan batas-batas masalah dan menggunakan berbagai disiplin tidak untuk mengurangi kompleksitas permasalahan. Nampaknya terdapat gagasan paradoks: diusulkan bahwa kunci merumuskan situasi masalah yang kompleks adalah untuk membuat masalah lebih kompleks. Seperti disebutkan di atas, beberapa pembuat keputusan menyadari bahwa strategi terbaik mereka adalah mengelola interaksi masalah dengan masalah lainnya daripada mengelola masalah yang sudah ditangan itu secara langsung. Ini keputusan mengelola paradoks. Ketika orang siap mengelola paradoks, kemungkinan konsekuensi yang tidak disengaja dan/atau tidak diakui disebabkan oleh keputusan atau tindakan, dapat menurun secara drastis. Churchman (hal. 166-168) menggambarkan contoh masalah persediaan (inventory). Jika seseorang merancang kebijakan persediaan sebuah perusahaan, maka orang tersebut tidak boleh hanya fokus pada biaya untuk memperoleh persediaan yang menjadi masalah pokoknya tetapi juga dengan biaya yang memegang persediaan dan tidak menggunakan dana di tempat lain masalah lingkungan perusahaan. Ketika diperhatikan aspek-aspek tersebut, merancang kebijakan sederhana mengenai persediaan ternyata memerlukan pemahaman mengenai pemasaran, produksi, personalia, keuangan, dan kebijakan lainnya.

Pustaka

1. J. Dewey, 1910. How We Think. Heath & Co, Boston.2. M. Basadur, S. Ellspermann and G. Evans, 1994. A New Methodology for Formulating Ill-Structured Problems, Omega 22. Hal 627-645

3. I.I. Mitroff, 1997. Smart Thinking for Crazy Times: The Art of Solving the Right Problems. Barrett-Koehler Publishers, Inc., San Francisco. 4. W.F. Pounds, 1969. The Process of Problem Finding, Industrial Management Review 11. Hal 1-19.

5. I.I. Mitroff and H.A. Linstone, 1993. The Unbounded Mind: Breaking the Chains of Traditional Business Thinking. Oxford University Press, Inc., New York.

6. H. Rittel and M. Webber, 1973. Dilemmas in a General Theory of Planning, Policy Sciences 4. Hal 155-169. 7. W.E. Pracht and J.F. Courtney, 1988. The Effects of an Interactive, Graphics-based DSS to Support Problem Structuring, Decision Sciences 19. Hal 598-621.

8. R.L. Ackoff, 1999. Re-Creating the Corporation: A Design of Organizations for the 21 st Century. Oxford University Press, New York.9. R. Volkema, 1997. Managing the Problem Formulation Process: Guidelines for Team Leaders and Facilities, Human Resource Management 16. Hal 27-34.10. R. Volkema, 1995. Creativity in MS/OR: Managing the Process of Formulating the Problem, Interfaces 25. Hal 81-87.11. G. Vickers, 1995. The Art of Judgment: A Study of Policy Making, Thousand Oak. Sage Publications.12. W. Ulrich, 1988. C. West Churchman-75 Years, Systems Practice 1. Hal 341-350.

13. C.W. Churchman, 1967. Free for All, Management Science 14. Hal B-141-B-142.

EMBED Visio.Drawing.5

Naskah selengkapnya untuk mengetahui kasus ini dapat dilihat dalam publikasi Jonathan L Scheuer dan Tim W Clark, Conserving Biodiversity in Hawaii: What is Policy Problems? Species and Ecosystem Conservation. Yale F&S Bulletin 105: p 159-183.

Russel L. Ackoff, 1974. Redesigning the Future: A System Approach to Societal Problems. Wiley. New York. Hal 21.

R.L. Ackoff, Re-Creating the Corporation: A Design of Organizations for the 21 st Century (Oxford University Press, New York, 1999); R. Boland and R. V. Tenkasi, Perspective Making and Perspective Taking in Communities of Knowing, Organization Science 6 (1995); J.F. Courtney, Decision Making and Knowledge Management in Inquiring Organizations: A New Decision-Making Paradigm for DSS, Decision Support Systems 31 (2001) 17-38; J.F. Courtney, S.M. Richardson and D.B. Paradice, Decision Support Systems for Ecosystems Management: A Singerian Approach to Urban Infrastructure Decision Making, in: M. Quaddus and A. Siddique, Eds., A Handbook of Sustainable Development Planning: Studies in Modelling and Decision Support (Northamton, Forthcoming).

I.I. Mitroff, Smart Thinking for Crazy Times: The Art of Solving the Right Problems (Barrett-Koehler Publishers, Inc., San Francisco, 1997); I.I. Mitroff and E. Denton, A Study of Spirituality in the Workplace, Sloan Management Review Summer (1999) 83-92; P. Senge, Making a Better World, Executive Excellence 12 (1995) 18-19.

P. Primeaux and J. Stieber, Profit Maximization: the Ethical Mandate of Business, Journal of Business Ethics 13 (1994) 287-294.

I.I. Mitroff and H.A. Linstone, The Unbounded Mind: Breaking the Chains of Traditional Business Thinking (Oxford University Press, Inc., New York, 1993).

J.F. Courtney, Decision Making and Knowledge Management in Inquiring Organizations: A New Decision-Making Paradigm for DSS, Decision Support Systems 31 (2001) 17-38; J.F. Courtney, D.T. Croasdell and D.B. Paradice, Inquiring Organizations, Australian Journal of Information Systems 6 (1998) 1-32; S.M. Richardson, J.F. Courtney and D.B. Paradice, An Assessment of the Singerian Approach to Organizational Learning: Case from Academia and the Utility Industry, Information Systems Frontiers: Special Issue on Philosophical Reasoning in Information Systems Research, 4, No.1 (2001) 43-69.

C. Handy, The Age of Paradox (Harvard Business School Press, Boston, 1994).

P. Senge, Making a Better World, Executive Excellence 12 (1995) 18-19.

C.C. Verschoor, A Study of the Link Between a Corporation's Financial Performance and Its Commitment to Ethics, Journal of Business Ethics, No. 17 (1998)1509-1516.

M.J. Schminke and M.L. Ambrose, The Effects of Leader Moral Development on Ethical Climate and Employee Attitudes, Working Paper, Department of Management, University of Central Florida (2002).

J.R. Rest, Moral Development: Advances in Research and Theory (Praeger, New York, 1986).

J. Carlson, D. Carlson and L. Wadsworth, On the Relationship between DSS Design Characteristics and Ethical Decision Making, Journal of Management Issues 11 (1999) 180-197.

R. Boland, The In-Formation of Information Systems, in: R. Boland and R. Hirschheim, Eds., Wiley Series in Information Systems (John Wiley & Sons, Chester, 1987) 132-142.

R.O. Mason, Applying Ethics to Information Technology Issues, Communications of the ACM 38 (1995) 55-57; R.O Mason, F.M. Mason, and M.J. Culan, Ethics of the Information Age (SAGE Publications, 1995).

Idem

J.F. Courtney, S.M. Richardson and D.B. Paradice, The Internet, Sustainable Development and Ecosystems Management, in: J.D. Haynes, Ed., Internet Management Issues: A Global Perspective (Idea Group Publishing, Hershey, 2002)

J.F. Courtney, Decision Making and Knowledge Management in Inquiring Organizations: A New Decision-Making Paradigm for DSS, Decision Support Systems 31 (2001) 17-38.

G. Walsham, Ethical Issues in Information Systems Development, The IFIP 8.2 Working Group Information Systems Development: Human, Social and Organizational Aspects, North-Holland, Noordwijkerhout, The Netherlands, (1993).

R.A. Abualsamh, B. Carlin and R.R. McDaniel, Problem Structuring Heuristics in Strategic Decision Making, Organizational Behavior and Human Decision Processes 45 (1990) 159-174; H. Carrier and W.A. Wallace, An Epistemological View of Decision-Aid Technology with Emphasis on Expert Systems, in: W.A. Wallace, Ed., Ethics in Modeling, Elsevier Science Ltd. (Oxford UK, 1994) 37-57; D.A. Cowan, Developing a Process Model of Problem Recognition, Academy of Management Review 11 (1996) 763-776; R.D. Galliers, Problems, Knowledge, Solutions: Solving Complex Problems A Response to Enid Mumford's Paper ICIS 1998, Journal of Strategic Information Systems 7 (1998) 271-274; M. Lyles, Formulating Strategic Problems: Empirical Analysis and Model Development, Strategic Management Journal 2 (1981) 61-75; M. Lyles and I.I. Mitroff, Organizational Problem Formulation: An Empirical Study, Administrative Science Quarterly 25 (1980) 102-119; I.I. Mitroff, Smart Thinking for Crazy Times: The Art of Solving the Right Problems (Barrett-Koehler Publishers, Inc., San Francisco, 1997). I.I. Mitroff and E. Denton, A Study of Spirituality in the Workplace, Sloan Management Review Summer (1999) 83-92; R. Volkema, Managing the Problem Formulation Process: Guidelines for Team Leaders and Facilities, Human Resource Management 16 (1997) 27-34; K.E. Weick and D.K. Meader, Sensemaking and Group Support Systems, in: L.M. Jessup and J.S. Valacich, Eds., Group Support Systems New Perspectives, (Macmillan Publishing Company, New York, 1993) 230-254.

M. Lyles, Formulating Strategic Problems: Empirical Analysis and Model Development, Strategic Management Journal 2 (1981) 61-75.

H. Carrier and W.A. Wallace, An Epistemological View of Decision-Aid Technology with Emphasis on Expert Systems, in: W.A. Wallace, Ed., Ethics in Modeling, Elsevier Science Ltd. (Oxford UK, 1994) 37-57.

T.M. Jones, Ethical Decision Making by Individuals in Organizations: An Issue-Contingent Model, Academy of Management Review 16 (1991) 366-395.

J. Lave and E. Wenger, Situated Learning: Legitimate Peripheral Participation (Cambridge University Press, Cambridge, 1991).

M. Douglas, How Institutions Think (Routledge and Kegan Paul, London, 1987).

J. Stead and E. Stead, Eco-enterprise Strategy: Standing for Sustainability, Journal of Business Ethics 24 (2000) 313-329.

A. Giddens, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structure (University of California Press, Berkeley, CA, 1984).

D.P. Robin, R.E. Reidenbach and P.J. Forrest, The Perceived Importance of an Ethical Issue as an Influence on the Ethical Decision Making of Ad Managers, Journal of Business Research 35 (1996) 17-28; A. Singhapakdi, S.J. Vitell and K.L. Kraft, Moral Intensity and Ethical Decision Making of Marketing Professionals, Journal of Business Research 36 (1996) 245-255.

I.I. Mitroff and E. Denton, A Study of Spirituality in the Workplace, Sloan Management Review Summer (1999) 83-92.

D.B. Paradice, Recognization of Aesthetic Dimension of Information Systems, Third Annual Global Information Technology Management World Conference (New York, 2002).

I.I. Mitroff, Smart Thinking for Crazy Times: The Art of Solving the Right Problems (Barrett-Koehler Publishers, Inc., San Francisco, 1997).

C.W. Churchman, The Design of Inquiring Systems: Basic Concepts of Systems and Organization (Basic Books, New York, 1971).

W. Ulrich, Churchman's Process of Unfolding: Its Significance for Policy Analysis and Evaluation, Systems Practice 1 (1988) 415-428.

W. Ulrich, C. West Churchman-75 Years, Systems Practice 1 (1988) 341-350.

J.F. Courtney, Decision Making and Knowledge Management in Inquiring Organizations: A New Decision-Making Paradigm for DSS, Decision Support Systems 31 (2001) 17-38.

I.I. Mitroff and H.A. Linstone, The Unbounded Mind: Breaking the Chains of Traditional Business Thinking (Oxford University Press, Inc., New York, 1993).

C.W. Churchman, Thought and Wisdom (Intersystems Publications, Seaside, CA, 1982).

W. Ulrich, Churchman's Process of Unfolding: Its Significance for Plicy Analysis and Evaluation, Systems Practice 1 (1988) 415-428.

C.W. Churchman, The Design of Inquiring Systems: Basic Concepts of Systems and Organization (Basic Books, New York, 1971).

R.O. Mason, Exploration of Opportunity Costs and Consideration for Future Generations: Two Lasting Contributions to Systems Thinking, Systems Practice 1 (1988)367-375.

41 | Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam

_1359187089.vsdFormulasi masalah (perspektif T, O, P)

Formulasi masalah (perspektif T, O, P)

Integrasi Komponen Moral Intensity

I n t e r a k s i

Perluasan pertimbangan perumusan masalah

Defiinisi Masalah

S

S

S

S

S

S

_1078564827.vsd