balÂghah i & kajiannya

Upload: saiful-hidayat

Post on 17-Oct-2015

37 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BALGHAH I ( AL-MANIY ) DAN KAJIANNYA

BALGHAH I ( AL-MANIY ) DAN KAJIANNYA

A. Pengertian Balghah

Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para linguis Arab dalam menjelaskan makna balghah. Secara etimologis balghah artinya sampai pada suatu tempat, sebagaimana dikatakan: " - "

Fulan telah mencapai tujuannya dan kendaraan telah sampai kota .

Kata balghah diambil dari kata bulgh yang berarti sampai, seperti :

" "

Saya telah mencapai pada suatu tempat .

Kemudian kata ini mengalami perubahan; semulanya mengacu kepada makna yang konkrit (dunia nyata) kemudian kepada makna metafora, sehingga tercakup dalam banyak makna . Bukan hanya bermakna sampai pada suatu tempat, tetapi juga bisa diartikan seseorang yang telah berhasil menyampaikan suatu makna dengan ungkapan yang bagus.

Secara terminologis, kata balghah berarti:

"

".

Menempatkan perkataan pada tempatnya berupa perkataan panjang atau ringkas, dan menyampaikan makna secara jelas dengan ungkapan yang benar dan fasih, memiliki pengaruh kuat yang memikat hati disertai dengan kesesuaian pada setiap perkataan dengan tempat dimana perkataan tersebut diucapkan dan dengan orang-orang yang diajak berbicara .

B. Balghah dan Fashah Sebagai Tolok Ukur Sastra

Secara historis, kajian balghah dalam perkembangannya mengalami dua fase, yaitu; pertama, ketika kata balghah adalah sama dengan kata fashah menurut para pendahulu dari masa Sibawah (w. 180 H.) hingga masa sebelum al-Sakkiy (w. 626 H.). Pembahasan balghah pada fase ini masih bercampur dan belum terbagi menjadi tiga ilmu sebagaimana yang dikenal pada saat ini. Terkadang pembahasan ketiga ilmu ini disebut dengan al-bad sebagaimana dikemukakan oleh Ibn al-Mutaz, pada waktu lain disebut al-bayn sebagaimana diungkap al-Jhiz, atau ilm al-naqd sebagaimana dikatakan Qudmah Ibn Jafar, bahkan Ab Hill al-Askariy menyebutnya dengan ilmu Sinatai al-Syir wa al-Natsr. Fase kedua, ketika ada upaya-upaya dari para ahli balghah yang mengkaji buku Ibn al-Mutaz yang berjudul al-Bad, kemudian mereka mengkhususkan, membatasi, memperluas, dan memasukkan pembahasan balghah ke dalam bab-bab tersendiri yang dimotori oleh al-Sakkiy pada masa akhir dinasti Abasiyah. Sehingga mereka pun dapat membedakan kata balghah dan fashah.

Secara etimologis, kata al-fashah berarti tampak dan jelas (al-zuhr wa al-ibnah). Sedangkan secara terminologis, kata tersebut tergantung pada penggunaannya yang terdapat pada kata, atau perkataan, atau pembicara.

al-Marghiy menjelaskan beberapa kriteria suatu kata dapat dikategorikan mencapai tingkatan kefasihan (fashah) apabila terbebas dari empat hal:

1) Kata yang sukar atau berat diucapkan (tanfur al-hurf), misalnya kata atau tumbuh-tumbuhan yang hitam. Kata semacam ini berat untuk diucapkan bagi orang Arab, dan kata semacam ini ada dua macam; berat sekali diucapkan, seperti (kepala yang kecil), atau terlalu ringan diucapkan, seperti (air yang jernih).

2) Kata yang sukar dipahami artinya, aneh, dan jarang dikenal oleh orang Arab kebanyakan (gharbah al-lafz). Misalnya ucapan orang Badui;

Kata dan merupakan kata yang aneh bagi orang Arab. Juga kata yang aneh lainnya seperti (hujan), (oase), dan sebagainya.

3) Kata yang melanggar kaidah-kaidah morfologis yang terdapat pada ucapan orang Arab (mukhlafah al-qiys), seperti kata yang seharusnya menjadi , dan lain sebagainya.

4) Kata yang tidak sedap didengar telinga orang Arab (al-Karhah fi al-sam), seperti kata yang berarti (jiwa).

Sedangkan kriteria kefasihan (fashah) suatu perkataan, dapat tercapai apabila perkataan tersebut terbebas dari beberapa hal berikut;

1) Kalimat atau perkataan yang sukar atau berat diucapkan (tanfur al-kalimah), misalnya puisi al-Jhiz berikut;

#

Kuburan musuh harus di tempat yang sunyi, dan tidak ada kuburan lain di dekat kuburan itu.

2) Susunan kalimatnya melanggar atau menyalahi kaidah-kaidah sintaksis (duf al-talf), seperti bergandengannya dua pronomina (damr) dalam puisi al-Mutanabbiy berikut;

#

Ketika negaramu telah terbenam mataharinya pada malam hari, maka semoga Allah menggantikannya untukmu agar engkau tidak sedih.

Pada kata terdapat dua pronomina (damr) yaitu dan yang bergandengan, susunan kalimat semacam ini menyalahi kaidah sintaksis.

3) Susunan kalimatnya cacat atau tidak sempurna sehingga tidak dapat dipahami maksudnya, atau ia dapat dipahami setelah mengalami kesulitan dan kesukaran (al-taqd al-lafziy). Atau dengan kata lain melanggar kaidah-kaidah sintaksis secara luas, seperti puisi al-Farazdaq berikut ketika memuji Ibrhm Ibn Hisym al-Makhzmiy;

#

Seharusnya susunan kalimatnya berbunyi;

#

Tiada seorang pun yang menyerupainya, kecuali raja yang bapak ibunya masih hidup, yaitu bapaknya (Ibrahim) yang menyerupai dia.

4) Perpindahan makna denotatif ke makna konotatif yang kurang jelas atau masih samar (al-taqd al-manawiy). Hal ini akan menyebabkan cacat pada makna konotatif tersebut, misalnya puisi al-Abbs Ibn al-Ahnf berikut;

# Aku akan mencari tempat yang jauh dari kamu sekalian, agar kamu sekalian dekat denganku dan supaya kedua mataku mencucurkan air mata, kemudian menjadi beku.

Mencucurnya air mata sebagai bukti kesedihan dan kepedihan seseorang ketika berpisah, namun sang penyair tidak tepat ketika membuat metonimie (kinyah) terhadap makna detonatif beku sebagai ungkapan makna konotatifnya yaitu bakhil atau pelit, sebab pada puisi tersebut akan dipahami makna konotatif lainnya yaitu gembira. Sedangkan kriteria ketiga yaitu kefasihan pembicara (fasahah al-mutakallim) adalah kemampuan yang dimiliki seorang pembicara dalam mengungkapkan maksud-maksud dan gagasan-gagasannya dengan menggunakan kata dan kalimat yang fash. Atau dengan kata lain kefasihan (fashah) merupakan sifat yang dimiliki dan tertanam di dalam diri pembicara yang selalu menemaninya pada setiap situasi dan kondisi, jika terpisah darinya, maka ia tidak memiliki kemampuan tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai pembicara (mutakallim) yang fash.

Hal senada dengan kriteria kefasihan pembicara di atas, Gorys Keraf mengungkapkan beberapa syarat dalam pendayagunaan kata dan ketepatan pilihan kata (diksi), serta syarat-syarat pendayagunaan kata dan kesesuaian pilihan kata (diksi) yang hendaknya diperhatikan seseorang agar ia dapat mencapai ketepatan dan kesesuaian pilihan katanya,antara lain: membedakan secara cermat denotasi dari konotasi, membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim, membedakan kata yang mirip dengan ejaannya, atau kata-kata yang mirip dalam tulisannya, menghindari kata-kata ciptaan sendiri ,membedakan kata umum dan kata khusus. mempergunakan kata-kata indria yang menunjukkan persepsi yang khusus, memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal dan memperhatikan kelangsungan pilihan kata.

Lebih lanjut dalam hal kesesuaian pilihan kata (diksi), ia menjelaskan syarat-syaratnya, antara lain: menghindari sejauh mungkin bahasa atau unsur substandar dalam suatu situasi yang formal, menggunakan kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja, menghindari kata-kata jargon dalam tulisan untuk pembaca umum, dan menjauhi kata-kata atau bahasa yang artifisial.

Sebagaimana penulis singgung sebelumnya bahwa pada awalnya para ahli balghah tidak membedakan antara makna kata fashah dengan kata balghah, seperti Abd al-Qhir al-Jurjniy tidak membedakan makna kata keduanya, namun Ibn Sinn al-Khafjiy dalam bukunya Sirr al-Fashah sebagaimana dikutip oleh Mustaf Muslim mengemukakan perbedaan antara kedua istilah tersebut, fashah adalah sesuatu yang tersimpan dalam kata-kata, sedangkan balghah adalah sesuatu yang bukan hanya terkandung dalam kata, tetapi juga dalam makna. Jadi setiap kalimat atau ungkapan balgh, sudah pasti fash, tetapi setiap ungkapan yang fash, belum tentu bisa disebut balgh.

Pada perkembangan berikutnya para ahli balghah merinci dan membedakan kedua istilah tersebut, diantaranya Abd al-Azz Atq yang menyimpulkan perbedaan kedua istilah tersebut bahwa fashah tersimpan dalam kosa kata, perkataan, dan diri pembicara sehingga dapat dikatakan; kosa kata yang fash, perkataan yang fash, dan seorang pembicara yang fash. Sementara balghah tersimpan dalam perkataan dan diri pembicara saja, maka dapat dikatakan; perkataan yang balgh, dan pembicara yang balgh.

Ada juga yang mengidentikkan balghah dengan ilmu retorika, menurut Gorys keraf retorika adalah suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, baik lisan maupun tertulis, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik. Dan tujuan retorika adalah menerangkan kaidah-kaidah yang menjadi landasan dari tulisan yang bersifat prosa atau wacana lisan yang berbentuk pidato atau ceramah, untuk mempengaruhi sikap dan perasaan orang.

Balghah merupakan suatu disiplin ilmu yang berlandaskan kepada kejernihan jiwa dan ketelitian menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan yang samar diantara macam-macam ungkapan. Dapat dikatakan bahwa perbedaan antara seorang yang ahli balghah dengan seorang pelukis hanya terletak pada bidang garapannya saja. Ahli balghah mengolah kalimat dan pembicaraan untuk diperdengarkan, sedangkan seorang pelukis mengolah warna dan bentuk untuk diperlihatkan. Di sisi lain mereka adalah sama. Seorang pelukis ketika berhasrat untuk melukis sesuatu, berfikir tentang warna yang tepat dan mengkombinasikan warna-warna itu sehingga sedap untuk dipandang dan menarik perhatian. Dan seorang ahli balghah bila hendak menyusun sebuah syair, makalah, atau pun teks pidato, maka dia akan berfikir tentang kerangka pembicaraannya, kemudian disusunnyalah kata-kata dan ungkapan yang mudah dicerna yang pada akhirnya nanti dapat mempengaruhi audiens.

Dari penjelasan diatas dapat diraba unsur-unsur yang ada pada balghah, yaitu; kata, makna, susunan kalimat yang mengandung kekuatan dan pengaruh positif, dan ketajaman dalam pemilihan kata dan gaya bahasa yang sesuai dengan tempat, isi dan kondisi pendengar, serta kekuatan pengaruh ke dalam jiwa dan keindahan. Kekuatan pengaruh tersebut bukan pada kata atau makna saja, tetapi terletak pada hubungan yang saling terkait antara kata dan makna serta pengaruh yang lazim terjadi karena adanya kesesuaian dan keserasian kata dan makna.

Dalam kajian sastra, balghah merupakan sifat dari perkataan (kalm) dan pembicara (mutakallim), sehingga muncul sebutan kalm balgh dan mutakallim balgh.

Balghah dalam kalm menurut para pendahulu adalah; Kesesuaian atau kecocokannya terhadap situasi dan kondisi disertai dengan kefasihannya.Dalam arti bahwa kalm itu sesuai dengan situasi dan kondisi para pendengar. Perubahan situasi dan kondisi para pendengar menuntut perubahan susunan kalam, seperti situasi dan kondisi yang menuntut kalm itnb tentu berbeda dengan situasi dan kondisi kalm jz, berbicara kepada orang cerdas tentu berbeda dengan orang dungu, tuntutan gaya bahasa fasl meninggalkan khitb wasl, tuntutan taqdm tidak sesuai dengan takhr; demikian seterusnya untuk setiap situasi dan kondisi ada kalm yang sesuai dengannya.

Oleh karena itu, dalam hal ini para ahli balghah pada masa kedua fase di atas seperti; al-Jhiz, Ab Ubaidah, al-Bqalniy, al-Zamakhsyariy, al-Sakkiy, al-Maraghiy, dan sebagainya sepakat membagi kalm baligh menjadi tiga tingkatan; Pertama, tingkatan yang paling tinggi yang penuh dengan kemukjizatan yaitu kalm Allh swt yang tidak dapat ditiru oleh makhluk-Nya. Kedua, tingkatan dibawahnya yaitu kalm raslullah saw. Dan tingkatan ketiga, yaitu ucapan para ahli balaghah dari bangsa Arab masa jahiliyah dan masa Islam.

Sedangkan balghah dalam pembicara (mutakallim) adalah kemampuan dan pendayagunaan di dalam diri pembicara sehingga dapat menghasilkan kalam yang fash dan balgh. Balghah mencakup kefasihan baik dalam kalm maupun dalam diri pembicara, jika keduanya balgh maka keduanya juga fash, sebab dalam balghah harus mencakup kefasihan perkataan (kalm) dan pembicara (mutakallim). Dan nilai balghah untuk setiap kalm bergantung kepada sejauh mana kalm itu dapat memenuhi tuntutan situasi dan kondisi, setelah memperhatikan kefasihannya. Demikian antara balghah dan fashah saling terkait.

Sastra Arab disebut juga dengan adab arabiy, sedangkan penilaian terhadap sastra Arab disebut naqd al-adab, dan orang yang melakukan penilaian terhadap sastra Arab disebut nqid. Nqid adalah orang yang memiliki kemampuan untuk membedakan kalm yang baik dan yang jelek dengan bersandar kepada anugerah seninya, perasaannya yang lembut dan pengalamannya yang banyak dalam menekuni teks-teks sastra Arab dan peninggalan-peninggalan sastra. Balghah dan fashah merupakan tolok ukur sastra Arab, pada keduanya norma baik dan buruk karya sastra Arab bersandar.

C. Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Balghah

Mayoritas buku balghah yang ada pada saat ini sepakat atas pembagian ilmu balghah menjadi tiga ilmu yang masing-masing berdiri sendiri dengan pembahasannya, sebagaimana yang dikenal, yaitu; ilm al-maniy, ilm al-bayn, dan ilm al-bad. Pembahasan ketiga ilmu ini sebagai berikut ;

1) Ilm al-Maniy

Para ahli balghah sejak masa fase kedua mendefinisikan ilm al-maniy sebagai ilmu yang mempelajari tentang hal-ihwal lafz bahasa Arab sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi. Definisi ini pertama kali dicetuskan oleh al-Khatb al-Qazawainiy dalam bukunya al-dh.

Yang dimaksud dengan hal-ihwal lafz bahasa Arab adalah pola-pola susunan kalimat dalam bahasa Arab, seperti penggunaan al-taqdm atau al-takhr, penggunaan al-marifah atau al-nakirah, penggunaan al-dzikr atau al-hadzf, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan situasi dan kondisi adalah situasi dan kondisi pendengar (mukhtab), seperti keadaan kosong dari suatu informasi, atau ragu-ragu, atau justru mengingkari informasi tersebut.

Pembahasan ilm al-maniy meliputi tujuh macam, yaitu; 1) al-khabar, 2) al-insy, 3) ahwl al-musnad ilaih dan al-musnad, 4) ahwl mutaalliqt al-fil, 5) al-qasr, 6) al-fasl dan al-wasl, 7) al-jz, al-itnb, dan al-muswh.

Disini penulis akan memaparkan ketujuh macam tersebut secara ringkas namun padat, terutama hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan tesis ini, yaitu yang berkaitan dengan studi analisis balghah terhadap ayat-ayat al-Qurn yang di dalamnya ada kata al-fud.

1) al-khabar (kalimat berita)

Susunan kalimat dalam bahasa Arab ada dua macam, yakni al-khabar dan al-insy. al-Khabar dalam ilm al-maniy adalah perkataan yang mungkin benar atau mungkin dusta dilihat dari perkataan itu sendiri. Dan dapat dikatakan pula bagi penutur perkataan tersebut, benar atau dusta, jika perkataan itu sesuai dengan kenyataan maka penuturnya benar dan jika tidak sesuai maka penuturnya dusta.

Penyampaian perkataan dalam bentuk kalimat berita (al-khabar) pada prinsipnya memiliki dua tujuan, yaitu;

a) Memberi tahu kepada mukhtab tentang isi berita sedang ia tidak tahu tentang isi berita tersebut, disebut dengan fidah al-khabar, sebagai contoh perkataan di bawah ini:

"Nabi saw. dilahirkan pada tahun Gajah dan diberi wahyu pada usia empat puluh tahun ".b) Memberi tahu kepada pendengar (mukhtab) tentang isi berita sedangkan ia telah mengetahui isi berita tersebut, disebut dengan lzim al-fidah, misalnya perkataan seseorang kepada orang lain; Pada hari ini anda benar-benar bangun tidur pagi hari.

Mayoritas ahli balghah berpendapat bahwa selain dua tujuan tersebut, masih ada beberapa tujuan lain dalam penyampaian perkataan dalam bentuk kalimat berita (khabar) yang dapat dipahami dari konteks perkataan dan indikator kondisi perkataan itu, seperti; menampakkan kelemahan (izhr al-duf), meminta belas kasihan (al-istirhm), menampakkan kesedihan (izhr al-tahassur), memuji (al-madh), membanggakan diri (al-fakhr), memberikan peringatan (al-tahdzr), dan sebagainya.

Namun pada prinsipnya kalimat berita (al-khabar) hanya memiliki dua tujuan pokok, yaitu yang disebut dengan fidah al-khabar dan lzim al-fidah. Dua tujuan ini pada waktu yang sama memiliki makna tujuan lain sebagaimana tujuan-tujuan tersebut di atas.

Sebagai contoh, ucapan Nabi Zakariy as. ketika berbicara kepada Tuhannya yang digambarkan dalam srah Maryam/ 19: 4;

{ ... }

Ia berkata: Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban . (QS. 19: 4)

Ayat ini merupakan kalimat berita (al-khabar) yang memiliki tujuan lzim al-fidah, karena Allh swt. telah menciptakan Zakariya Maha Mengetahui bahwa tulangnya telah menjadi lemah dan kepalanya penuh dengan uban, dan Zakariya pada waktu yang sama juga meunjukkan tujuan lain menampakkan kelemahan dan ketidak berdayaannya (izhr al-duf).

Dalam bahasa Arab ada berbagai macam perangkat (al-adawt) yang menjadi pengukuh terhadap makna yang ada pada susunan kalimatnya. Perangkat (al-Adawt) yang merupakan pengukuhan pada kalimat berita (al-khabar) yakni;

( )

Ditinjau dari kondisi pendengar (mukhtab), al-khabar terdiri dari tiga bentuk, pertama, bila kondisi pendengar (mukhtab) lugu atau kosong dari informasi, penyampaian khabar dalam bentuk al-ibtidiy yakni tanpa menggunakan pengukuhan. Kedua, bila kondisi pendengar (mukhtab) ragu-ragu, penyampaian khabar perlu dalam bentuk al-talabiy yakni dengan menggunakan satu pengukuhan. Ketiga, bila kondisi pendengar (mukhtab) tidak percaya atau mengingkari, penyampaian khabar dalam bentuk al-inkriy, yakni menggunakan lebih dari satu pengukuhan sesuai dengan kadar keingkarannya.

2) al-insy (kalimat bukan berita)

Jika al-khabar adalah perkataan yang mungkin benar atau mungkin dusta dilihat dari perkataan itu sendiri. Sebaliknya al-insy adalah perkataan yang tidak bisa dikatakan benar atau dusta dilihat dari perkataan itu sendiri, maka tidak bisa dikatakan bagi penuturnya bahwa ia benar atau berdusta. Hal itu karena tidak ada suatu eksistensi luar yang sesuai atau tidak sesuai dengan perkataan tersebut sebelum diucapkan, misalnya beberapa kalimat berikut; " simaklah pelajaran di dalam kelas, janganlah engkau mencampuri urusan orang lain, hai teman! mari ke sini . Susunan kalimat ini, jika dicermati tidak ada di dalamnya perkataan benar atau dusta, tetapi di dalamnya ada perintah, larangan, dan seruan.

Kalimat bukan berita (al-insy) ini terbagi menjadi dua macam, yaitu al-insy al-talabiy dan al-insy ghair al-talabiy.

al-Insy al-talabiy adalah perkataan yang menghendaki tuntutan yang belum terjadi pada saat menuntut. Dan yang semacam ini memiliki lima jenis pola; al-amr, al-nahy, al-istifhm, al-tamanniy, dan al-nid.

Terlebih dahulu penulis akan menjelaskan al-insy ghair al-talabiy., yaitu perkataan yang tidak menghendaki tuntutan yang belum terjadi pada saat menuntut. Perkataan semacam ini memiliki berbagai macam forma antara lain; uslb al-madh dan al-dzamm (pujian dan hinaan), uslb al-uqd (kesepakatan dan perjanjian), uslb al-qasam (sumpah), uslb al-taajjub (kekaguman), afl al-raj (kata kerja yang menunjukkan harapan).

Perbedaan yang signifikan antara kedua jenis al-insy ini, bahwa dalam al-insy al-talabiy keberadaan makna kalimatnya datang lebih lambat dari keberadaan lafalnya. Sedangkan dalam al-insy ghair al-talabiy keberadaan maknanya terjadi bersamaan dengan lafalnya pada waktu terjadinya lafal tersebut.

Mayoritas ahli balghah mengklasifikasikan al-insy ghair al-talabiy ke dalam bagian al-khabar, kecuali gaya bahasa harapan (uslb al-raj) yang dianggap sebagai bagian dari al-insy al-talabiy. Bahkan mereka berpendapat bahwa al-insy ghair al-talabiy sebaiknya tidak dikategorikan ke dalam pembahasan ilmu balghah karena alasan kurang signifikan dan lebih dekat menjadi pembahasan sintaksis (ilm al-nahw).

Para ahli ilm al-maniy membatasi pembahasan al-insy al-talabiy ke dalam lima macam, yaitu: 1) al-amr, 2) al-nahy, 3) al-istifhm, 4) al-tamanniy, 5) al-nid. Ada juga yang menambahkan selain lima macam tersebut, seperti al-ard dan al-tahdd. Namun lima macam yang pertama lebih banyak dipakai dan dibahas;

1) al-amr (perintah)

al-Amr adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu dari atas ke bawah atau yang selazimnya. Untuk menghasilkan perkataan al-amr harus menggunakan bentuk-bentuk sebagai berikut;

a) fil al-amr (kata kerja perintah), contoh dalam srah al-Baqarah/ 2: 43;

{ }

Dan dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat. (QS. 2:43)

b) fil al-mudri yang diawali dengan lm al-amr, contoh dalam srah al-Hajj/ 22: 29;

{ }

Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.(QS. 22: 29)

c) ism fil amr, contoh dalam srah al-Midah/ 5: 105;

{ }

Jagalah dirimu,. (QS. 5: 105)

d) masdar pengganti fil al-amr, contoh dalam srah al-Baqarah/ 2: 83;

{ } Berbuat baiklah kepada ibu bapak. (QS. 2: 83)

Keempat macam ini merupakan bentuk-bentuk hakiki dalam perkataan atau kalimat al-amr. Dan jika dilihat dari konteks pembicaraan, al-amr terkadang bergeser dari makna asli, yakni perintah, kepada makna-makna lain, seperti hal-hal berikut ini:

a) al-du (doa), seperti doa seorang hamba kepada Tuhannya, contoh dalam srah Ibrhm/ 14: 37;

{ }

Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepad mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur . (QS. 14: 37)b) al-takhyr (memilih), yaitu memilih satu di antara dua atau lebih, seperti ucapan seseorang kepada lainnya; nikahlah engkau atau hidup membujang!.

Dan masih banyak lainnya seperti; al-iltims, al-taswiyah, al-ibhah, al-tahdd, al-tajz, al-irsyd, al-tamanniy, al-tahakkum, al-tadb dan sebagainya..

2) al-nahy (larangan)

al-Nahy adalah tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari atas ke bawah atau yang selazimnya. Untuk menghasilkan perkataan al-amr harus menggunakan satu-satunya forma yang dimilikinya yaitu dalam bentuk fil al-mudri yang diawali dengan huruf lm al-nhiyah, contohnya dalam srah al-Anm/ 6: 152;

{ }

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat hingga ia dewasa. (QS. 6: 152)

Seperti halnya al-amr, bila dilihat dari konteks pembicaraan, al-nahy juga terkadang bergeser dari makna asli, kepada makna-makna lain, seperti;

a) al-du (doa), terdapat di dalam perkataan dari orang yang di bawah kepada yang di atas, seperti doa seorang hamba kepada Tuhannya, contoh dalam srah al-Baqarah/ 2: 286;

{ ... }

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau salah.b) al-irsyd (nasehat), contoh dalam srah al-Isr/ 17: 36;

{ }

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya . (QS. 17: 36)

Dan masih banyak lainnya seperti; al-iltims, al-tamanniy, al-taubkh, al-tais, al-tahdd, dan al-tahqr yang tidak penulis bahas semuanya, contoh di atas sudah mewakili terhadap apa yang akan dikaji dalam tesis ini.

3) al-istifhm (pertanyaan)

al-Istifhm adalah mencari tahu tentang sesuatu yang belum diketahui sebelumnya. Untuk menghasilkan perkataan al-istifhm harus menggunakan satu partikel (al-adt) dari partikel-partikel (al-adawt) yang dimilikinya yaitu:

( : )

Bentuk al-istifhm terbagi menjadi tiga macam;

Pertama, sesuatu yang dicari terkadang dalam bentuk al-tasawwur atau dalam bentuk al-tasdq, perkataan dalam bentuk ini menggunakan huruf al-hamzah. Kedua, sesuatu yang dicari dalam bentuk al-tasdq saja, menggunakan huruf hal. Ketiga, sesuatu yang dicari dalam bentuk al-tasawwur saja, maka menggunakan partikel-partikel yang tersisa, yaitu: mat, ayyna, kaifa, aina, ann, kam, dan ayyu.

Dalam pembahasan al-istifhm ini penulis tidak memaparkannya lebih luas, dengan alasan hubungan pembahasan al-istifhm dengan apa yang akan dikaji penulis dalam tesis ini kurang signifikan.

4) al-tamanniy (angan-angan atau harapan)

al-Tamanniy adalah mengangan-angankan sesuatu yang diinginkan tetapi tidak ada harapan terjadi, baik karena mustahil terjadi atau jauh dari harapan memperolehnya. Ibn Hisym mengatakan sebagaimana dikutip Abd al-Qdir Husain, bahwa al-tamanniy mayoritasnya berkaitan dengan sesuatu yang mustahil dan sedikit sekali berkaitan dengan sesuatu yang mungkin terjadi.

Perangkat (adt) dalam al-tamanniy yang asli adalah laita ( ), terkadang digunakan juga al-adawt yang lain seperti laalla ( ), hal ( ), dan lau ( ) karena alasan balghah.

Lafal laalla digunakan di luar makna asli al-tamanniy, yaitu al-tarajjiy untuk mengangan-angan sesuatu yang disukai atau sesuatu yang dibenci. Contoh angan-angan sesuatu yang disukai terdapat di dalam srah Ibrhm/ 14: 37;

{ }

Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur .

Lafal lau dapat juga digunakan diluar makna asli al-tamanniy, yaitu al-tarajjiy sebagaimana dalam contoh berikut;

1) srah al-Furqn/ 25: 32;

{ }

Berkatalah orang-orang yang kafir: Mengapa al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja. (QS. 25: 32)

5) al-nid (panggilan/ seruan)

al-Nid adalah tuntutan hadir untuk menghadap dengan menggunakan kata yang berarti saya panggil. Untuk menghasilkan perkataan al-nid harus menggunakan salah satu partikel-partikel (al-adawt) al-nid yang berjumlah delapan, yaitu; hamzah, ay, y, , y, ay, hayy, dan w. Dalam pembahasan al-nid ini penulis juga tidak memaparkannya lebih luas, dengan alasan yang sama sebagaimana dalam pembahasan al-istifhm.

3) ahwl al-musnad ilaih dan al-musnad (kondisi klausa subyek dan prediket)

Setiap kalimat khabariyyah atau insyiyyah, filiyyah atau ismiyyah terdiri dari dua bagian pokok, yaitu al-musnad dan al-musnad ilaih. Dalam kajian balghah posisi al-musnad ilaih lebih penting dan berharga daripada al-musnad, atau dengan kata lain al-musnad ilaih adalah dztnya (inti) sedang al-musnad sifahnya. Menurut logika (ilm al-mantq) dzt sesuatu itu lebih kuat daripada sifahnya.

Posisi al-musnad ilaih pada kalimat antara lain sebagai; al-fil, nib al-fil, al-mubtada yang memiliki khabar, marf al-mubtada al-musytaq, sesuatu yang asalnya mubtada, dan al-mafl al-awwal pada fil yang memiliki dua mafl.Posisi al-musnad pada kalimat antara lain sebagai; al-fi l al-tm, ism al-fil, khabar al-mubtada, al-mubtada yang tidak memiliki khabar, sesuatu yang asalnya khabar. Dan al-mafl al-tsni pada fil yang memiliki dua maflKeduanya merupakan dua bagaian pokok kalimat yang memiliki tujuan-tujuan balghah selain tujuan-tujuan sintaksis. Adapun tujuan-tujuan kebalghahannya berupa; al-dzikr dan al-hadzf, al-taqdm dan al-takhr, al-tarif dan al-tankr, al-taqyd, dan al-qasr,

Untuk lebih jelasnya penulis bahas satu persatu.

1) al-hadzf (eliptik) dan al-dzikr (penyebutan)

Para ahli balghah menyebutkan beberapa alasan mengapa al-musnad ilaih dihapus dalam kalimat dan tidak disebut di dalamnya, mayoritas terjadi ketika al-musnad ilaih pada posisi al-mubtada atau al-fil.

Terjadinya hadzf pada al-musnad ilaih pada posisi al-mubtada antara lain karena alasan al-ihtirz an al-abats, yaitu menghindari kalimat yang sia-sia, biasanya terjadi ketika al-musnad ilaih pada posisi jawaban dari kalimat al-istifhm, atau setelah huruf al-f yang diawali dengan jawb al-syart, atau setelah fil al-qaul. Contoh dalam srah al-Humazah/ 104: 5-6;

{ () }

Kata pronomina (dmir) dihapus dalam kalimat ini.

Sedangkan terjadinya hadzf al-musnad ilaih pada posisi al-fil antara lain karena alasan keberadaan fil sudah diketahui oleh mukhtab, seperti dalam srah al-Humazah/ 104: 7;

{ }

Yang (membakar) sampai ke hati . (QS. 104: 7)

Pronomina (damr) yang merupakan subyek (fil) yang kembali kepada ayat sebelumnya tidak disebut, tetapi dihapus, dan pronomina (damr) tersebut adalah musnad ilaih pada posisi subyek (fil).

Demikian pula hadzf al-musnad pada kalimat dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain; al-ihtirz an al-abats, dan al-musnad merupakan jawaban yang berupa fil dari pertanyaan untuk memastikan, dan sebagainya.

Asal al-musnad ilaih pada kalimat sebenarnya disebutkan dan tidak dihapus, kecuali pada alasan-alasan di atas. Sedangkan alasan dzikr (penyebutan) al-musnad ilaih dalam kalimat antara lain; untuk menambah keputusan dan penjelasan (al-qasd il ziydah al-taqrr wa al-dh) seperti dalam srah al-Ahqf/ 46: 26;

{ }

Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan hati mereka itu tidak berguna sedikit juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah.Penyebutan kembali kata pendengaran, penglihatan, dan hati dalam ayat ini sebagai menambah keputusan dan penjelasan bahwa ketiga alat ini yang merupakan pemberian Allh kepada mereka (yaitu orang-orang musyrik), benar-benar tidak berguna, karena mereka gunakan untuk mengingkari tanda-tanda kebesaran-Nya sehingga mereka pun mendapat siksaan di akherat yang dahulunya mereka selalu memperolok-olok siksaan itu.

Sedangkan alasan penyebutan (dzikr) al-musnad pada kalimat sengaja tidak dibahas penulis karena kurang signifikansinya dengan apa yang akan dikaji dalam tesis ini.

2) al-taqdm dan al-takhr (susun balik)

Kalm atau perkataan terdiri dari beberapa kalimat dan bagian-bagiannya, tidak mungkin perkataan tersebut diucapkan sekaligus tanpa ada bagian-bagiannya yang diucapkan dahulu atau yang diakhirkan.

Alasan adanya al-taqdm dan al-takhr dalam perkataan untuk tujuan-tujuan balghah antara lain; ifdah al-takhss (manfaat dalam pengkhususan), dan taqdm al-fadl wa al-maziyyah (mendahulukan keutamaan dan kelebihan).

3) al-tarf dan al-tankr (ketakrifan dan bukan ketakrifan)

Asal dalam al-musnad ilaih adalah berupa al-marifah atau dengan kata lain al-musnad ilaih adalah hal yang dianggap sama-sama diketahui oleh pembicara dan pendengar dalam situasi komunikasi. al-Marifah atau al-tarf terjadi dalam berbagai aspek. Dalam balghah, al-musnad ilaih yang berupa al-tarif menggunakan al-idmr, ism alam, mausl, isyrah, lm al-tarf dan idfah, yang keseluruhannya memiliki tujuan-tujuan tertentu. Contoh tarf al-musnad ilaih dengan menggunakan lm al-isyrah yang berupa lm al-haqqah dalam srah al-Najm/ 53: 11;

{ }

Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya . (QS. 53: 11)

Huruf lm pada ( ) menunjukkan hakekat al-fud atau hati, yaitu hati Nabi saw.

Sedangkan al-musnad ilaih dalam bentuk al-tankr berupa; al-ifrd, al-jins, al-taktsr, al-tazm, al-tahqr, dan al-taqll.

4) ahwl mutaalliqt al-fil

Kedudukan al-fil (kata kerja) dalam bahasa Arab sangat penting, karena ungkapan-ungkapan bahasa itu bersandar kepadanya, dari al-fil inilah terbentuk banyak makna. Selain terbagi dalam pembagian kala, al-fil juga terbagi menjadi al-mutaaddiy dan al-lzim. Fil al-lzim adalah kata kerja yang tidak membutuhkan mafl (obyek), sedangkan al-fil mutaaddiy adalah kata kerja yang membutuhkan satu mafl atau lebih.

Terkadang dalam ungkapan balghah, fil mutaaddiy tidak membutuhkan obyek, dan ia bergeser seakan-akan menjadi fil lzim. Bentuk-bentuk semacam ini dalam kajian al-maniy oleh ahli balghah fase kedua disebut dengan ahwl mutaalliqt al-fil. Sedangkan kajian seperti ini menurut al-Zamakhsyariy disebut al-ikhtiss dan menurut Ibn al-Atsr disebut al-ikhtiss atau murt nazm al-kalm.

5) al-qasr

Kalimat khabar dikukuhkan dengan berbagai macam cara, diantaranya dengan gaya bahasa al-qasr. Secara etimologis, al-qasr berarti al-habs wa al-ilzm atau pemblokiran dan pelaziman. Dan secara etimologis, al-qasr adalah pengkhususan sesuatu terhadap lainnya dengan cara tertentu.

Gaya bahasa al-qasr memiliki dua unsur pokok yang disebut dengan dua tarf al-qasr, yaitu al-sifah dan al-masf. Pembagian al-qasr pun berdasarkan al-haqqah dan al-idfah, kondisi al-mukhtab, dan dua tarfnya.

Untuk menghasilkan kalimat al-qasr dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya yang populer ada empat; 1) menggunakan huruf negasi dan lafal pengecualian, 2) menggunakan lafal innam, 3) menggunakan atf dengan huruf la, bal atau lkin, dan 4) mendahulukan yang seharusnya diakhirkan.

6) al-fasl dan al-wasl ( pemisahan dan penyambungan )

al-Fasl secara etimologis berarti putus atau pisah, sedangkan al-wasl berarti menyambung atau menghubungkan. Secara terminologis pengertian keduanya sebagai berikut; al-wasl adalah menghubungkan sebagian kalimat dengan lainnya sedangkan al-fasl tidak menghubungkannya. Pendapat lain mengatakan: alwasl adalah menghimpun suatu kalimat dengan lainnya menggunakan huruf wwu sedangkan al-fasl tidak menghimpunnya.

Untuk menangkap suatu kalimat termasuk dalam kategori al-wasl atau al-fasl seseorang harus memiliki dua kriteria pokok yaitu; pertama, pengetahuan terhadap pendayagunaan kata sebagaimana yang ada pada diri seorang penulis, atau penyair, atau pembicara. Dan kedua, pengetahuan yang mendalam terhadap sintaksis dan balghah.

al-Fasl terjadi pada beberapa ketentuan, antara lain; pertama, kedua kalimat merupakan kesatuan utuh, yakni kalimat kedua merupakan penguat, atau penjelas, atau pengganti kalimat pertama. Kondisi ini disebut dengan hubungan yang sempurna (kaml al-ittisl), contoh dalam srah al-Qasas/ 28: 10;

Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa. (QS. 28: 10)Kalimat kedua pada ayat ini sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa merupakan pengganti dari kalimat pertama Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Karena menceritakan rahasia Musa adalah bagian dari salah satu kekhawatiran hatinya, sebab Musa adalah anaknya. Dengan demikian kedua kalimat tersebut harus dipisahkan karena memiliki hubungan yang erat.

Kedua, kalimat kedua merupakan jawaban dari pertanyaan yang disebutkan atau dipahami dari kalimat pertama. Kondisi ini disebut dengan serupa hubungan yang erat (syibh kaml al-ittisl).

Kalimat berbentuk penyambungan (wasl) terjadi juga dengan beberapa ketentuan yang antara lain; apabila kedua kalimat itu sama-sama khabariyah atau insy'iyah yang memiliki kaitan sempurna pada makna dan tidak ada sebab yang mengharuskan terjadinya dipisah (fasl). Contoh dalam srah al-Anm/ 6: 113; Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan . (QS. 6: 113)

Kalimat pertama Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, serta kalimat kedua mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan adalah sama-sama kalimat khabariyah dan memiliki keterkaitan yang erat serta tidak ada sebab yang mengharuskan pemisahan (fasl).

7) al-jz, al-itnb, dan al-muswh

al-jz adalah mengucapkan maksud dengan lafal yang lebih singkat dari yang biasa, tetapi sangat jelas maksudnya. Dan kalimat dalam bentuk jz ada dua macam, yakni; jz qisr dan jz hadzf. jz qisr adalah jz yang menggunakan ungkapan pendek, namun mempunyai makna banyak, tanpa disertai pembuangan (beberapa kata atau kalimatnya). Contoh dalam srah al-Arf/ 7: 54;

{ }

Ingatlah yang menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allh.(QS. 7:54)

Dalam ayat ini, Allh mengungkap dua kata, yakni menciptakan dan memerintah. Kedua kata tersebut singkat tapi padat (mencakup banyak makna), yaitu mencakup segala sesuatu dan segala urusan.

Sedangkan jz hadzf adalah jz dengan cara membuang sebagian kata atau kalimat disertai indikator yang menunjukkan adanya lafal yang dibuang tersebut. Contoh yang dibuang sebagian katanya dalam srah Hd/ 11: 120;

{ }

dan dalam ini telah datang kepadamu kebenaran. (QS. 11: 120)

Pada ayat ini terdapat pembuangan sebagian kata dari keseluruhan ungkapan Allh tersebut, sebab diperkirakan asal kalimatnya adalah :

{ () }

Dalam ayat ini ada kata yang dibuang yaitu ( ) yang berarti srah.

al-Itnb adalah ungkapan yang menggunakan lafal tambahan dari makna aslinya yang dimaksud karena ada tujuan tertentu.Contoh dalam srah Nh/ 71: 28;

{ }

Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu-bapakku, orang-orang yang masuk kerumahku dalam keadaan beriman, dan semua orang mukmin laki-laki dan perempuan. (QS. 71: 28)

Ayat ini menggunakan perkataan yang lebih dari makna aslinya yang dimaksud. Perkataan tersebut yaitu kalimat yang merupakan itnb, karena maknanya sudah tercakup pada keumuman kalimat .

Menyampaikan ungkapan kepada komunikan melalui gaya bahasa itnb bisa dilakukan dengan berbagai teknik, antara lain; 1) menyebutkan lafal yang khusus setelah lafal yang umum, 2) menyebutkan lafal yang umum setelah lafal yang khusus, 3) menyebutkan lafal yang jelas maknanya setelah lafal yang tidak jelas maknanya, 4) mengulangi penyebutan suatu lafal (al-tikrr), 5). menyisipkan anak kalimat ke tengah-tengah induk kalimat atau antara dua kata yang berkaitan, dan anak kalimat tersebut tidak memiliki jabatan kata (kedudukan dalam irb).

al-Muswah adalah ungkapan yang makna-maknanya seukuran dengan lafal-lafalnya dan sebaliknya tidak lebih dan tidak kurang, seperti dalam srah al-Baqarah/ 2: 110;

{ }

Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu tentu kamu akan mendapatkan pahalanya di sisi Allh. (QS. 2: 110)

Ayat ini susunan katanya sesuai dengan makna yang dikehendaki, bila ditambah satu kata saja maka akan tampak kelebihan dan menimbulkan kerancuan. Begitu juga, bila dikurangi satu kata saja maka akan mengurangi maknanya dan menimbulkan kerancuan pula. Kalimat semacam ini disebut dengan al-muswah. Ahmad al-Hsyimiy, Jawhir al-Balghah fi al-Maniy wa al-Bayn wa al-Bad, (Indonesia: Maktabah Dr Ihy al-Kutub al-Arabiyyah, 1960), h. 31

Mustaf Muslim, Mabhits fi Ijz al-Balghah, (Jeddah: Dr al-Manrah, 1988), h. 111

Fadl Hasan Abbs, al-Balghah Funnuh wa Afnnuh, (Palestina: Dr al-Furqn, 1987), hal.6

Atq, Ilm al-Maniy, 10

Abd al-Karm Muhammad al-Asad, Ahadts f Trkh al-Balghah wa f Bad Qadyh, (tt: Dr al-Ulm, 1985), h. 27

Abdurrahman al-Ahdhori, Jauhar al-Maknn, terj. Achmad Sunarto, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), h. 14

Ahmad Mustaf al-Marghiy, Ulm al-Balghah al-Bayn wa al-Maniy wa al-Bad, (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), h. 15-20

Abd al-Qdir Husain, Fan al-Balghah, (Beirut: lam al-Kutub, 1984), h. 70

Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001),

h. 88 - 89

Mustaf Muslim, Mabhits f Ijz al-Qurn, (Jeddah: Dr al-Manrah, 1988), h. 112

al-Khatb al-Qazawainiy, al-dh fUlm al-Balghah; al-Maniy wa al-Bayn wa al-Bad, (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th), h. 15

Ali al-Jrim dan Mustaf Amn, al-Balghah al-Wdihah al-Bayn al-Maniy al-Bad, (Mesir: al-Wizrah al-Tarbiyah, t.th), h. 155-156

Bakr Syaikh Amn, al-Balghah al-Arabiyah f Tsaubih al-Jadd al-maniy, juz. I, (Beirut: Dr Ilm li al-Malyn, 1995), h. 71. Selanjutnya disebut Bakr Syaikh Amn, juz I

Atq, Ilm al-Maniy, h. 74

Abd al-Qdir Husain, h. 146

Abd al-Qhir al-Jurjniy, Dalil al-Ijz f Ilm al-Maniy, (Beirut: Dr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th), h. 118-119

Atq, ilm al-Maniy, h. 142

al-Khatb al-Qazawainiy, h. 151

Abd al-Qudds Ab Salh dan Ahmad Taufq Kalb, Kitb al-Balghah; al-Maniy wa al-Bad, (Saudi: Huqq al-Tab Mahfzah, 1979), h. 151

Nyif Marf, al-Mujiz al-Kfiy f Ulm al-Balghah al-Arabiyah; Ilm al-Maniy, (Beirut: Dr al-Nafis, 1993), h. 73

Hasan al-Bandariy, F al-Balghah al-Arabiyyah Ilm al-Maniy, (Kairo: Maktabah al-Anjal al-Misriyyah, 1990), h. 230