berbicara jatinangor

4
Jatinangor adalah suatu kawasan yang dulunya pertanian sekarang pendidikan ak.a komplek perumahan dadakan. Kecamatan ini terletak di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Jatinangor terbagi menjadi 14 desa, berupa desa Cintamulya, Cileunyi Kulon, Cileunyi Wetan, Hegarmanah, Cileles, Cipacing, Cibeusi, Cilayung, Cisempur, Jatiroke, Cikeruh, Sayang, Mekargalih, dan Jatimukti. Dengan jumlah penduduk sebanyak 98.035 orang (pada tahun 2012, seperti yang terlansir pada http://litbang.bandung.lan.go.id/) ditambah para pendatang yang muncul setiap tahunnya membuat kawasan ini menjadi padat hunian, tidak selengang dulu yang hanya berisi sedikit rumah serta banyak area sawah untuk bertani. Semenjak didirikannya beberapa universtas terkemuka, tak ayal segala jenis kebutuhan yang semula tak ada menjadi ada. Contohnya saja kawasan kost-kostan yang menjadi tempat most wanted saat tahun ajaran baru dimulai. Akibat tingginya peminat, tak sungkan daerah lapang pun dikorbankan demi bangunan beton petakan, beralaskan semen. Maraknya pembangunan yang dilakukan sayangnya tidak diiringi maraknya pengelolaan. Pihak tertentu hanya sibuk membangun tanpa sibuk memikirkan efek samping yang bisa meledak dikemudian hari. Alhasil bagai gunung

Upload: fathul-fitriyah-rosdyani

Post on 18-Feb-2016

8 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

essay tentang lingkungan

TRANSCRIPT

Page 1: berbicara jatinangor

Jatinangor adalah suatu kawasan yang dulunya pertanian sekarang pendidikan

ak.a komplek perumahan dadakan. Kecamatan ini terletak di Kabupaten

Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Jatinangor terbagi menjadi 14 desa, berupa desa

Cintamulya, Cileunyi Kulon, Cileunyi Wetan, Hegarmanah, Cileles, Cipacing,

Cibeusi, Cilayung, Cisempur, Jatiroke, Cikeruh, Sayang, Mekargalih, dan

Jatimukti. Dengan jumlah penduduk sebanyak 98.035 orang (pada tahun 2012,

seperti yang terlansir pada http://litbang.bandung.lan.go.id/) ditambah para

pendatang yang muncul setiap tahunnya membuat kawasan ini menjadi padat

hunian, tidak selengang dulu yang hanya berisi sedikit rumah serta banyak area

sawah untuk bertani.

Semenjak didirikannya beberapa universtas terkemuka, tak ayal segala jenis

kebutuhan yang semula tak ada menjadi ada. Contohnya saja kawasan kost-kostan

yang menjadi tempat most wanted saat tahun ajaran baru dimulai. Akibat

tingginya peminat, tak sungkan daerah lapang pun dikorbankan demi bangunan

beton petakan, beralaskan semen.

Maraknya pembangunan yang dilakukan sayangnya tidak diiringi maraknya

pengelolaan. Pihak tertentu hanya sibuk membangun tanpa sibuk memikirkan efek

samping yang bisa meledak dikemudian hari. Alhasil bagai gunung es, berbagai

permasalahan pun muncul kepermukaan. Dimulai dari permasalahan kualitas air

yang menurun akibat lahan terbuka yang digusur, kemacetan lalu lintas hingga

penumpukan sampah yang katanya akibat dari tak adanya tempat penampungan

sampah super besar (yang dalam bahasa keseharian disebut tempat pembuangan

akhir alias TPA) karena terbatasnya lahan.

Tak pelak, hal-hal ini memunculkan respon berbagai pihak bagi kalangan

masyarakat sendiri, pihak sekitar dan juga pemerintah. Namun, kurang ada

langkah pasti yang tercipta terutama untuk masalah sampah yang jongkrok apik di

tepian jalan, perumahan bahkan selokan. Berbagai macam hal telah coba

dilakukan sayang, sang sampah seolah enggan tidak menampakan diri dijalan.

Kenapa? Tentu saja karena oknum pembawa sampah yang enggan membuang

Page 2: berbicara jatinangor

sampah ke habitatnya alias kotak sampah. Alah.. cuman sebiji aja. Mungkin itu

alasan yang akan si oknum berikan. Tapi buta pikirankah kau oknum, bayangkan

jika seluruh masyarakat Jatinangor berpikir seperti itu. Apa jadinya kawasan

jatianngor? Bisa-bisa bantar gebang di Jakarta berpindah ke Jawa Barat.

Tertangkapkah maksud saya? Yah.. maksud saya dalam masalah pengelolaan

sampah tak penting seberapa bagus metodenya jika yang akan menjalankan

metode tidak memiliki pola pikir yang mumpuni, semua akan berakhir dengan

kata percuma.

Karena itu, dalam mengatasi permasalahan ini diperlukan keaktifan seluruh

kalangan balita sampai nenek/kakek pun harus ditumbuhkan dulu pola pikir dan

rasa kepedulian akan pentingnya pengelolaan sampah. Hal pertama yang bisa

dilakukan adalah pembinaan terpadu dimana oknum yang akan melakukan

“pencerahan”, melakukan pendekatan pada masyarakat, amati kesehariannya

dengan ilmu antropologi yang ada.

Setelah didapatkan pola pikir dan kebiasaaan mereka, lakukan pengembangan

desa. Ciptakan atau tentukan metode yang pas dilakukan terhadap masyarakat

desa. Di sini dimisalkan 14 desa Jatinangor di bagi menjadi 14 wilayah kerja

dimana masing-masing oknum membagi diri dan siap menumpahkan semua ilmu

yang dipunya. Contohnya desa Cikeruh yang merupakan desa dengan angka

penduduk tertinggi dibandingkan desa lainnya. kita lakukan sistem bank sampah

mengingat banyaknya masyarakat pasti berbanding lurus dengan sampah yang

dihasilkan setiap harinya. Atau bisa juga dengan melakukan pembuatan kompos

dari sampah organik (kotoran hewan, limbah pertanian dalam hal ini tumbuh-

tumbuhan) di desa Jatiroke karena notabane masih berprofesi sebagi petani dan

peternak.

Jadi, kesimpulannya tidak semua metode cocok untuk semua tempat ada baiknya

kita kenali dan cermati dulu kehidupan dan pola tingkah laku si masyarakat baru

kemudian tentukan metode apa yang bagus digunakan. Tak perlu tempat

penampung sampah yang super besar jika kita bisa menekan pengeluaran sampah

Page 3: berbicara jatinangor

masyarakat. Yang kita perlukan adalah penciptaan rasa peduli dan pola pikir yang

tepat serta penerapan metode yang tepat pula.