berjualan di atas trotoar menurut uu nomor 22 …etheses.uin-malang.ac.id/13482/1/14220080.pdfi...
TRANSCRIPT
i
SKRIPSI
BERJUALAN DI ATAS TROTOAR MENURUT UU NOMOR 22
TAHUN 2009 TENTANG ANGKUTAN JALAN DAN LALU
LINTAS SERTA MENURUT MASLAHAH MURSALAH
(STUDI DI KAWASAN PASAR GADANG KOTA MALANG)
Oleh :
AL’AMIR BAYHAQI
NIM: 14220080
JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2019
ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah,
Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan,
Penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
BERJUALAN DI ATAS TROTOAR MENURUT UU NOMOR 22 TAHUN
2009 TENTANG ANGKUTAN JALAN DAN LALU LINTAS SERTA
MENURUT MASLAHAH MURSALAH (STUDI DI KAWASAN PASAR
GADANG KOTA MALANG)
Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan atau duplikat atau
memindah data milik orang lain, kecuali yang disebutkan referensinya secara benar.
Jika di kemudian hari terbukti disusun orang lain, ada penjiplakan, duplikasi, atau
memindah data orang lain, baik secara keseluruhan atau sebagian, maka skripsi dan
gelar sarjana yang saya peroleh karenanya, batal demi hukum.
Malang, 21 Januari 2019
Penulis,
AL’AMIR BAYHAQI
NIM 14220080
iii
HALAMAN PERSETUJUAN
Setelah membaca dan mengoreksi skripsi saudara AL’AMIR BAYHAQI NIM:
14220080 Jurusan Hukum Bisnis Syariah Fakultas Syariah Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang dengan judul:
BERJUALAN DI ATAS TROTOAR MENURUT UU NOMOR 22 TAHUN
2009 TENTANG ANGKUTAN JALAN DAN LALU LINTAS SERTA
MENURUT MASLAHAH MURSALAH (STUDI DI KAWASAN PASAR
GADANG KOTA MALANG)
Maka pembimbing menyatakan bahwa skripsi tersebut telah memenuhi syarat-
syarat ilmiah untuk diajukan dan diuji pada Majelis Dewan Penguji.
Malang, 21 Januari 2019
Mengetahui,
Ketua Jurusan Dosen Pembimbing,
Hukum Bisnis Syariah
Dr. H. Fakhruddin, M.HI Dr. Nasrullah, M. Th. I.
NIP. 197408192000031002 NIP. 198112232011011002
iv
PENGESAHAN SKRIPSI
Dewan Penguji Skripsi saudara AL’AMIR BAYHAQI, NIM 14220080, mahasiswa
Jurusan Hukum Bisnis Syariah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang, dengan judul:
BERJUALAN DI ATAS TROTOAR MENURUT UU NOMOR 22 TAHUN
2009 TENTANG ANGKUTAN JALAN DAN LALU LINTAS SERTA
MENURUT MASLAHAH MURSALAH (STUDI DI KAWASAN PASAR
GADANG KOTA MALANG)
Telah dinyatakan lulus dengan nilai
Dewan Penguji:
1. Dr. H. Fakhruddin, M.HI ( )
NIP. 197408192000031002 Ketua
2. Dr. Nasrullah, M. Th. I. ( )
NIP. 198112232011011002 Sekretaris
3. Dr. Burhanudin Susamto, S.HI., M.Hum. ( )
NIP. 1978013002009121002 Penguji Utama
Malang, 21 Januari 2019
Dekan,
Dr. H. Syaifullah, S.H. M.Hum
NIP. 19651205200031001
v
BUKTI KONSULTASI
Nama : AL’AMIR BAYHAQI
NIM/ Jurusan : 1422080/ Hukum Bisnis Syariah
Pembimbing : Dr.Nasrullah, M. Th. I.
Judul Skripsi : BERJUALAN DI ATAS TROTOAR MENURUT UU NOMOR
22 TAHUN 2009 TENTANG ANGKUTAN JALAN DAN LALU
LINTAS SERTA MENURUT MASLAHAH MURSALAH
(STUDI DI KAWASAN PASAR GADANG KOTA MALANG)
No Hari/ Tanggal Materi Konsultasi Paraf
1 Senin, 26 Februari 2018 Proposal
2 Jumat, 04 Mei 2018 Revisi Proposal
3 Jumat, 04 Mei 2018 ACC Proposal
4 Rabu, 16 Januari 2019 Bab I dan II
5 Senin, 21 Januari 2019 Revisi Bab I dan II
6 Rabu, 16 Januari 2019 Bab III, IV dan V
7 Senin, 21 Januari 2019 Revisi Bab III, IV dan V
8 Rabu, 16 Januari 2019 Abstrak
9 Senin, 21 Januari 2019 Revisi Abstrak
10 Senin, 21 Januari 2019 ACC Skripsi
Malang, 21 Januari 2019
Mengetahui,
a/n Dekan
Ketua Jurusan Hukum Bisnis Syariah
Dr. Fakhruddin, M.H.I.
NIP. 197408192000031002
vi
MOTTO
Belajar dari kesalahan demi mencari kebenaran,
kepercayaan adalah modal, kucinya adalah tawakal.
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Bismillâhirrahmânirrahîm
Dengan rahmat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dalam sujud
serta syukurku kepada Allah SWT. Beriring Shalawat beserta salam yang akan
selalu tercurahkan kepada baginda Muhammad SAW atas nikmat Islam yang tiada
terkira. Berkat Limpahan NikmatMu skripsi ini dapat terselesaikan walaupun
dengan segala kekurangan yang terdapat didalamnya. Ribuan lantunan Hamdalah
yang dapat terucap atas Syukur tiada tara dari seorang Hamba.
Saya persembahkan tulisan sederhana ini kepada kedua orang tuaku yang saya
sayangi dan saya hormati. Kepada Ayah Amirul Mukhlas dan Mama Sumartin,
terimakasih saya ucapakan atas kasih sayang, dukungan dan harapan yang tidak
terhingga. Engkaulah pelita hidupku laksana penerang dikegelapan.
Para Asâtîdz atau guru-guru yang telah mengajar dan mendidikku dengan penuh
kesabaran dalam membekali ilmu serta doa kalian yang terus memberikan berkah
kepadaku.
Adikku Amelia Inka Maulani yang terus memberikan kekuatan dalam
menghadapi hidupku, karena tanpa kamu tidak akan ada perjuanganku demi
menggapai segala yang akan aku raih.
Eva Nawangwulan engkaulah cahaya harapan yang akan membimbing aku dan
calon buah hati kita nanti, semoga selalu sabar, ikhlas, dan selalu percaya dalam
menghadapi kehidupan yang fana ini.
Teman-teman Lowokdoro, Kebonsari, GGS, Majelis Attaufiq wa bil khusus Ustad
Saddam Husein serta keluarga beliau, Baladhika Karya, PMII, KOPMA, Alumni
SMA N 6 Malang angkatan 2014, LPPM, teman-teman HBS angakatan 2014,
Awesome class, semua teman dan sahabat terdekatku yang belum tersebut, dan
teruntuk kamu seseorang yang sangat berarti dalam hidupku thanks untuk
semuanya, terima kasih atas doa, dukungan, motivasi dan bantuan kalian. Semua
canda, tawa tentang kalian akan kuukir abadi selamanya dalam kotak kecil yang
kuberi nama KENANGAN.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan kalian suatu hari nanti, dan
Semoga Allah SWT selalu melimpahkan karuni, ridho dan kemudahan kepada
kita semua dalam melakukan segala hal. Âmîn.
مع تمنياتكم باالتؤفيق و النجاح
KATA PENGANTAR
viii
Alhamdu lil Allâhi Rabb al-Âlamîn, lâ Hawl walâ Quwwat illâ bi Allâh al-
‘Âliyy al-‘Âdhîm, dengan hanya rahmat-Mu serta hidayah-Nya penulisan skripsi
yang berjudul : BERJUALAN DI ATAS TROTOAR MENURUT UU NOMOR 22
TAHUN 2009 TENTANG ANGKUTAN JALAN DAN LALU LINTAS SERTA
MENURUT MASLAHAH MURSALAH (STUDI DI KAWASAN PASAR
GADANG KOTA MALANG)
dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam kita haturkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah mengajarkan kita dari alam kegelapan menuju
alam terang benderang yakni dengan agama Islam. Semoga kita tergolong orang-
orang yang beriman dan mendapatkan syafaat dari beliau di hari akhir kelak. Amin.
Dengan segala daya dan upaya serta bantuan, bimbingan maupun
pengarahan dan hasil diskusi dari berbagai pihak dalam proses penulisan skripsi ini,
maka dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang tiada batas kepada:
1. Prof. Dr. Abdul Haris, M.Ag, selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang.
2. Dr. H. Saifullah, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Syari’ah
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
3. Dr. H. Fakhruddin, M.HI, selaku Ketua Jurusan Hukum Bisnis Syari’ah
Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang.
4. Dewan Penguji skripsi yang telah memberikan kritik yang membangun
serta arahan dalam menyempurnakan kekurangan yang ada dalam
penelitian penulis.
5. Dr. Nasrullah, M. Th. I., selaku dosen pembimbing penulis. Syukr katsîr
penulis haturkan atas waktu yang telah beliau limpahkan untuk
bimbingan, arahan, serta motivasi dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
6. H. Khoirul Anam, M. H., selaku dosen wali penulis selama menempuh
kuliah di Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang. Terima kasih penulis haturkan kepada beliau yang
telah memberikan bimbingan, saran, serta motivasi selama menempuh
perkuliahan.
ix
7. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang yang telah menyampaikan pengajaran,
mendidik, membimbing, serta mengamalkan ilmunya dengan ikhlas.
Semoga Allah swt memberikan pahala-Nya yang sepadan kepada beliau
semua.
8. Staf serta Karyawan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang, penulis ucapkan terima kasih atas
partisipasinya dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Seluruh teman-teman penulis Hukum Bisnis Syari’ah angkatan 2014
yang telah memberikan banyak kenangan, pengalaman, dan motivasi
penulis selama menempuh kuliah.
Semoga apa yang telah saya peroleh selama kuliah di Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang ini, bisa bermanfaat bagi
semua pembaca, khususnya bagi saya pribadi. Disini penulis sebagai manusia biasa
yang tak pernah luput dari salah dan dosa, menyadari bahwasanya skripsi ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.
Malang, 21 Januari2019
Penulis
AL’AMIR BAYHAQI
NIM. 14220080
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Umum
Transliterasi ialah pemindahalihan tulisan Arab ke dalam tulisan Indonesia
(Latin), bukan terjemahan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Termasuk
dalam kategori ini ialah nama Arab dari bangsa Arab, sedangkan nama Arab dari
bangsa selain Arab ditulis sebagaimana ejaan bahasa nasionalnya, atau
sebagaimana yang tertulis dalam buku yang menjadi rujukan. Penulisan judul buku
dalam footnote maupun daftar pustaka, tetap menggunakan ketentuan transliterasi
ini.
Banyak pilihan dan ketentuan transliterasi yang dapat digunakan dalam
penulisan karya ilmiah, baik yang berstandard internasional, nasional maupun
ketentuan yang khusus digunakan penerbit tertentu. Transliterasi yang digunakan
Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang
menggunakan EYD plus, yaitu transliterasi yang didasarkan atas Surat Keputusan
Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, tanggal 22 Januari 1998, No. 158/1987 dan 0543.b/U/1987, sebagaimana
tertera dalam buku Pedoman Transliterasi Bahasa Arab (A Guide Arabic
Transliteration), INIS Fellow 1992.
B. Konsonan
dl = ض Tidak dilambangkan = ا
th = ط b = ب
dh = ظ t = ت
(koma menghadap ke atas)‘ = ع ts = ث
gh = غ j = ج
f = ف h = ح
q = ق kh = خ
k = ك d = د
l = ل dz = ذ
m = م r = ر
n = ن z = ز
w = و s = س
xi
h = ه sy = ش
y = ي sh = ص
Hamzah (ء) yang sering dilambangkan dengan alif, apabila terletak di awal
kata maka dalam transliterasinya mengikuti vokalnya, tidak dilambangkan, namun
apabila terletak di tengah atau akhir kata, maka dilambangkan dengan tanda koma
di atas (‘), berbalik dengan koma (‘) untuk pengganti lambang “ع”.
C. Vokal, Panjang dan Diftong
Setiap penulisan bahasa Arab dalam bentuk tulisan latin vokal fathah ditulis
dengan “a”, kasrah dengan “i”, dlommah dengan “u”, sedangkan bacaan panjang
masing-masing ditulis dengan cara berikut:
Vokal (a) panjang = â misalnya قال menjadi qâla
Vokal (i) panjang = î misalnya قيل menjadi qîla
Vokal (u) panjang = û misalnya ندو menjadi dûna
Khusus untuk bacaan ya’ nisbat, maka tidak boleh digantikan dengan “i”,
melainkan tetap ditulis dengan “iy” agar dapat menggambarkan ya’ nisbat
diakhirnya. Begitu juga untuk suara diftong, wawu dan ya’ setelah fathah ditulis
dengan “aw” dan “ay”. Perhatikan contoh berikut:
Diftong (aw) = ىو misalnyaقول menjadi qawla
Diftong (ay) = ىي misalnya خير menjadi khayrun
D. Ta’ marbûthah (ة)
Ta’ marbûthah ditransliterasikan dengan “t” jika berada di tengah kalimat,
tetapi apabila ta’ marbûthah tersebut berada di akhir kalimat, maka
ditransliterasikan dengan menggunakan “h” misalnya الرسالة للمدرسةmenjadi al-
risalat li al-mudarrisah, atau apabila berada di tengah-tengah kalimat yang terdiri
xii
dari susunan mudlaf dan mudlaf ilayh, maka ditransliterasikan dengan
menggunakan t yang disambungkan dengan kalimat berikutnya, misalnya فى
.menjadi fi rahmatillâhرحمة للا
E. Kata Sandang dan Lafdh al-Jalâlah
Kata sandang berupa “al” (ال) ditulis dengan huruf kecil, kecuali terletak di
awal kalimat, sedangkan “al” dalam lafadh jalâlah yang berada di tengah-tengah
kalimat yang disandarkan (idhafah) maka dihilangkan. Perhatikan contoh-contoh
berikut ini:
1. Al-Imâm al-Bukhâriy mengatakan ...
2. Al-Bukhâriy dalam muqaddimah kitabnya menjelaskan ...
3. Masyâ’ Allâh kâna wa mâ lam yasya’ lam yakun.
4. Billâh ‘azza wa jalla.
F. Nama dan Kata Arab Terindonesiakan
Pada prinsipnya setiap kata yang berasal dari bahasa Arab harus ditulis
dengan menggunakan sistem transliterasi. Apabila kata tersebut merupakan nama
Arab dari orang Indonesia atau bahasa Arab yang sudah terindonesiakan, tidak
perlu ditulis dengan menggunakan sistem transliterasi. Perhatikan contoh berikut:
“ ...Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI keempat, dan Amin Rais,
mantan Ketua MPR pada masa yang sama, telah melakukan kesepakatan untuk
menghapuskan nepotisme, kolusi dan korupsi dari muka bumi Indonesia, dengan
salah satu caranya melalui pengintensifan salat di berbagai kantor pemerintahan,
namun ...”
Perhatikan penulisan nama “Abdurrahman Wahid,” “Amin Rais” dan kata
“salat” ditulis dengan menggunakan tata cara penulisan bahasa Indonesia yang
disesuaikan dengan penulisan namanya. Kata-kata tersebut sekalipun berasal dari
bahasa Arab, namun ia berupa nama dan orang Indonesia dan terindonesiakan,
untuk itu tidak ditulis dengan cara “Abd al-Rahmân Wahîd,”“Amîn Raîs,” dan
bukan ditulis dengan “shalât.
xiii
xiv
ABSTRAK
Al’Amir Bayhaqi, 14220080, Berjualan Di Atas Trotoar Menurut UU Nomor 22
Tahun 2009 Tentang Angkutan Jalan Dan Lalu Lintas serta Menurut
Maslahah Mursalah (Studi di Kawasan Pasar Gadang Kota Malang),
Skripsi, Jurusan Hukum Bisnis Syariah, Fakultas Syariah, Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Pembimbing: Dr. H.
Nasrullah, Lc., M. Th.I.
Kata Kunci : Trotoar, Pedagang Kaki Lima, Maslahah Mursalah
Trotoar adalah jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar dengan jalan dan
lebih tinggi dari permukaan jalan untuk menjamin keamanan pejalan kaki. Para
pejalan kaki berada pada posisi yang lemah jika mereka bercampur dengan
kendaraan, maka mereka akan memperlambat arus lalu lintas. Oleh karena itu, salah
satu tujuan utama dari manajemen lalu lintas adalah berusaha memisahkan pejalan
kaki dari arus kendaraan bermotor, tanpa menimbulkan gangguan - gangguan yang
besar terhadap aksesibilitas dengan pembangunan trotoar. Perlu tidaknya trotoar
dapat diidentifikasikan oleh volume para pejalan kaki yang berjalan di jalan, tingkat
kecelakaan antara kendaraan dengan pejalan kaki dan pengaduan/permintaan
masyarakat. Di pusat kota trotoar bukan untuk pejalan kaki. Trotoar malah menjadi
tempat jualan pedagang kaki lima, tempat meletakkan pot bunga maupun ditanami
pohon. Warga kota mungkin saja menganggap sepele adanya trotoar dan fungsi
utamanya. Tetapi sesungguhnya, trotoar adalah ruang yang menjadi hak asasi. Kita
bisa saksikan kondisi paling memiriskan dengan fungsi trotoar itu di berbagai
tempat di kota - kota besar.
Berdasarkan latar belakang di atas, skripsi ini mengangkat tiga rumusan
masalah : (1) Mengapa terjadi praktek penjualan di atas trotoar? ; (2) Bagaimana
berjualan di atas trotoar menurut UU nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan
angkutan jalan? ; (3) Bagaimana berjualan di atas trotoar menurut maslahah
mursalah?
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris, yaitu melihat aspek-
aspek hukum dalam interaksi sosisal di dalam masyarakat. Penulis menggunakan
pendekatan kualitatif dengan didukung oleh data-data hasil observasi, wawancara
serta dokumentasi. Metode pengolahan datanya yakni, editing, klasifikasi,
verifikasi, analisis, dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, berjualan di atas trotoar di
kawasan Pasar Gadang dikarenakan faktor ekonomi, tidak punya lahan untuk
membuka lapak, hingga tidak punya lokasi yang strategis buat mencari konsumen.
Menurut UU LLAJ tidak sah atau tidak efisien. Pandangan maslahah mursalah
Hifdzu Nafs, memberikan kemaslahatan dan menolak kemudharatan.
xv
ABSTRACT
Al’Amir Bayhaqi, 14220080, Selling on Sidewalks According to Law Number 22
Year 2009 Concerning Traffic Road and Transportation According to
Maslahah Mursalah (Study in the Gadang Market Area of Malang City),
Thesis, Department of Islamic Business Law, Faculty of Sharia, State
Islamic University of Maulana Malik Ibrahim of Malang. Supervisor: Dr.
H. Nasrullah, Lc., M. Th.I.
Keywords: Sidewalks, Street Hawkers, Maslahah Mursalah
Sidewalks are pedestrian pathways which are generally parallel to the road
and higher than surface’s path to ensure pedestrian safety. Pedestrians are in a weak
side if they alongside with vehicles, so they will slow down traffic. One of the main
objectives of traffic management is separate pedestrians from the flow of
motorcycle vehicles, without causing disturbances to accessibility by building
sidewalks. The need for sidewalks can be identified by the volume of pedestrians
walking on the road, the level of accidents between vehicles nor pedestrians and
complaints/ requests of society. In the town, the sidewalk is not for pedestrians. The
sidewalk is actually a place to sell street hawkers, to place flower pots and plant
trees. Citizens may consider the trivial existence of sidewalks and functions. But
actually, the sidewalk is a space that becomes a human right. We can witness the
most terrifying conditions with the function of the sidewalk in various places in big
cities.
In this study, there are three formulations of the problem. First, why is
happening of selling practice on the sidewalk?. Second, how is selling on sidewalk
according to Law number 22 year 2009 concerning traffic road and
transportations?. Third, how is selling on sidewalk according to maslahah
mursalah?.
This research is classified into the types of juridical empirical research,
namely looking at legal aspects in social interactions in society. The author uses a
qualitative approach supported by data from observations, interviews and
documentation. Data processing methods are; editing, classification, verification,
analysis, and conclusion.
The results of this study indicate that, selling on the sidewalk in the Pasar
Gadang area due to economic factors, it does not have land to open stalls, so it does
not have a strategic location to find consumers. According to UU LLAJ it is invalid
or inefficient. The view of Maslahah Mursalah Hifdzu Nafs, gives benefit and
refuses harm.
xvi
2009لسنة 22القانون رقم عندلبيع على أرصفة المشاة ا, 14220080األمير بيهاقي,
وحركة المرور ، وبحسب مصلحة مرساله )دراسة في منطقة شأن النقل البري عن
، قسم القانون التجاري اإلسالمي ، كلية , البحثسوق جادانج في مدينة ماالنج(
اإلسالمية موالنا مالك إبراهيم ماالنج ، المستشار: حكوميةال الشريعة ، الجامعة
دكتور الحاج نسر هللا النجيتر.
.باعة الشوارع, مصلحلة مرسلة: أرصفة، الكلمات الرئيسية
األرصفة هي مسارات للمشاة تتوازي بشكل عام مع الطريق أعلى من سطح
المشاة. المارة في وضع ضعيف إذا خلطوا بالمركبات ، الطريق لضمان سالمة
أحد األهداف الرئيسية إلدارة حركة أنفإنها تبطئ تدفق حركة المرور. لذلك ،
اة أقدام من تدفق المركبات اآللية ، دون التسبب في المرور هو محاولة فصل المش
الرصيف أم ال يمكن تحديدها . لزوماضطرابات كبيرة للوصول مع بناء األرصفة
من خالل حجم المشاة الذين يسيرون على الطريق ، المستوى الحوادث بين
س المركبات والمشاة والشكاوى / الطلبات المجتمع. في وسط المدينة ، الرصيف لي
للمشاة. الرصيف مكان لبيع الباعة الجائلين ، وأماكن لوضع أواني الزهور وزرعها
. تقترض سكان المدينة إلى وجود تافه لألرصفة والوظائف الرئيسي. لكن شجرة
في الواقع ، الرصيف عبارة عن فضاء يصبح حقا إنسانيا. يمكننا أن نشهد أكثر
لفة مكان في المدن الكبرى.ظروف استنزاف مع وظيفة الرصيف بطرق مخت
لماذا تحدث (1)على أساس الخلفية، أثارت هذه األطروحة ثالثة صيغ المشكلة:
كيف تبيع على الرصيف حسب القانون رقم (2)ممارسات البيع على الرصيف؟,
كيف تبيع على الرصيف حسب (3)بشأن المرور و النقل البري؟, 2009لسنة 22
.مصلحة مرسلة؟
هو بحث قانوني تجريبي، وهو البحث في الجوانب القانونية في هذا البحث
التفاعالت االجتماعية في المجتمع. يستخدم المؤلف النهج النوعي بدعم من بيانات
. طرق معالجة البيانات ، بالتحديد ، التصنيف ، التحقق الرصد والمقابالت والوثائق
والتحليل والخاتمة.
ن البيع على الرصيف في منطقة باسار جادانج بسبب تشير نتائج هذه الدراسة إلى أ
العوامل االقتصادية ، ليس لديه أرض لفتح األكشاك ، لذلك ليس لديها موقع
فهو غير صالح أو غير UU LLAJاستراتيجي للعثور على المستهلكين. وفقا لـ
.فعال. وجهة نظر مصلحة مرسله هيفدزو نفس ، تعطي فائدة وترفض األذى
xvii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL................................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI.................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................................. iii
PENGESAHAN SKRIPSI ......................................................................................... iv
BUKTI KONSULTASI ...............................................................................................v
MOTTO ...................................................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................... vii
KATA PENGANTAR ............................................................................................. viii
PEDOMAN TRANSILETERASI ...............................................................................x
ABSTRAK ................................................................................................................ xiv
ABSTRACT ...............................................................................................................xv
xvi ............................................................................................................... مخلص البحث
BAB I : PENDAHULUAN .......................................................................................1
A. Latar Belakang ....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..............................................................................................4
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................5
D. Manfaat Penelitian ..............................................................................................5
E. Sistematika Penulisan.........................................................................................5
BAB II : KAJIAN PUSTAKA ..................................................................................7
A. Penelitian Terdahulu ..........................................................................................7
B. Kerangka Teori .................................................................................................10
1. Teori Penegakan Hukum ...........................................................................10
2. Tinjauan Umum Trotoar ...........................................................................12
3. Tinjauan Umum Pasar Tradisional .........................................................28
4. Teori Maslahah Mursalah .........................................................................41
BAB III : METODE PENELITIAN ......................................................................49
A. Jenis Penelitian ..................................................................................................49
xviii
B. Pendekatan Penelitian ......................................................................................49
C. Lokasi Penelitian ...............................................................................................50
D. Metode Pengambilan Sampel ..........................................................................50
E. Sumber Data ......................................................................................................51
F. Metode Pengumpulan Data .............................................................................52
G. Metode Pengolahan Data .................................................................................53
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................57
A. Kondisi Umum Obyek Penelitian ...................................................................57
B. Hasil Penelitian Dan Pembahasan..................................................................59
1. Berjualan Di Atas Trotoar Menurut UU Nomor 22 Tahun 2009
Tetang Angkutan Jalan Dan Lalu Lintas ..........................................59
2. Berjualan Di Atas Trotoar Menurut Maslahah Mursalah .............61
BAB V : PENUTUP .................................................................................................67
A. Kesimpulan ........................................................................................................67
B. Saran ...................................................................................................................67
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................68
LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................................7
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Indonesia merupakan negara berkembang, yang merencanakan perubahan-
perubahan dalam masyarakat yang adil dan makmur, material maupun spiritual
untuk mengentaskan masalah-masalah sosial yang semakin hari semakin
meningkat. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya pelaksanaan
pembangunan ekonomi yang memperlihatkan keserasian, keselarasan dan
keseimbangan unsur-unsur pemerataan sebuah pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi. dalam hal ini sektor usaha kecil atau sektor informal
sangat berperan penting dan strategis dalam pembangunan nasional, baik dari
segi kuantitas maupun dari segi kemampuannya dalam peningkatan
2
pendapatan dan penyerapan tenaga kerja untuk mewujudkan pemerataan hasil
pembangunan, termasuk pengentasan kemiskinan.1
Dalam pengertian sehari-hari sektor informal diartikan sebagai suatu
kegiatan ekonomi yang tidak terikat dan biasanya dilakukan transaksi jual beli
atau perdagangan dan lokasi dagangannya berpindah-pindah dan mempunyai
modal yang kecil atau disebut pedagang kecil. Sektor informal adalah dicirikan
oleh sektor ekonomi marginal dengan kondisi nyata kegiatan sejumlah tenaga
kerja yang umumnya kurang berpendidikan dan tidak memiliki keterampilan.
Agama Islam adalah agama yang sempurna. Tidak ada satu pun aspek
yang tidak mendapat perhatian dari islam. Ada 2 aspek secara garis besar yang
diatur dalam islam, yakni aspek ibadah dan aspek muamalah. Dalam aspek
ibadah diatur bagaimana etika dan tata cara berhubungan antara manusia
dengan Sang Pencipta. Sedangkan dalam aspek muamalah diatur bagaimana
etika dan tata cara berhubungan dengan sesama manusia.
Dalam aspek muamalah. Islam mengajak manusia untuk bekerja.
Bekerja dengan cara yang baik dan menghasilkan sesuatu yang baik pula.
Ajakan ini dijelaskan dalam firman Allah:
فينبئكم سترد ون إلى عالم الغيب والش هادة وقل اعملوا فسيرى للا عملكم ورسوله والمؤمنون و
ما كنتم تعملون ب
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya
serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu
akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang
ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang
telah kamu kerjakan. (QS: At-Taubah: 105)
Allah menyeru kepada para hambanya untuk bekerja. Bekerja dengan
cara yang halal dan menghindari dari haram. Allah berfirman:
باوأحل للا م الر البيع وحر
“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. (QS: Al-
Baqarah: 275)
1 Khairuddin, Sosiologi Keluarga, (Yogyakarta: Liberty, 2002), hal. 48
3
Trotoar adalah jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar dengan jalan
dan lebih tinggi dari permukaan jalan untuk menjamin keamanan pejalan kaki.
Para pejalan kaki berada pada posisi yang lemah jika mereka bercampur
dengan kendaraan, maka mereka akan memperlambat arus lalu lintas. Oleh
karena itu, salah satu tujuan utama dari manajemen lalu lintas adalah berusaha
memisahkan pejalan kaki dari arus kendaraan bermotor, tanpa menimbulkan
gangguan - gangguan yang besar terhadap aksesibilitas dengan pembangunan
trotoar. 2
Perlu tidaknya trotoar dapat diidentifikasikan oleh volume para pejalan
kaki yang berjalan di jalan, tingkat kecelakaan antara kendaraan dengan pejalan
kaki dan pengaduan/permintaan masyarakat. Di pusat kota trotoar bukan untuk
pejalan kaki. Trotoar malah menjadi tempat jualan pedagang kaki lima, tempat
meletakkan pot bunga maupun ditanami pohon. Warga kota mungkin saja
menganggap sepele adanya trotoar dan fungsi utamanya. Tetapi sesungguhnya,
trotoar adalah ruang yang menjadi hak asasi. Kita bisa saksikan kondisi paling
memiriskan dengan fungsi trotoar itu di berbagai tempat di kota - kota besar.
Peralihan fungsi trotoar menjadi tempat penjualan para pedagang kaki
lima semakin tidak terkendali. Akibatnya jalan menjadi macet, apalagi
ketersediaan tempat parkir bagi kendaraan juga tidak tersedia dengan layak.
Para pedagang yang berjualan di atas trotoar juga tidak terkesan tidak peduli,
mereka tidak punya alternatife tempat menjual yang strategis, tempat yang
sedianya khusus diperuntukkan bagi pedagang kaki lima terkadang dianggap
kurang menguntungkan secara ekonomis. Tidak sedikit dari para pedagang
akhirnya berpindah ke tempat - tempat yang dianggap strategis dan
menguntungkan. Belum lagi bagi pedagang pendatang baru tidak ada pilihan
yang lebih baik selain membuka lapak - lapak di pinggir jalan atau di atas
trotoar.
Di beberapa tempat misalnya di pusat kota di kawasan sekolah maupun
perkantoran trotoar seakan tidak berarti. Padahal di tempat seperti itu, trotoar
2 Sardjono Yetty, Pergulatan Pedagang Kaki Lima di Perkotaan, (Jakarta: Muhammadiyah
University Press, 2005), hal. 25
4
begitu penting fungsinya. Kota - kota di negara - negara maju, trotoar berperan
penting dalam kenyamanan dan keamanan bagi para pejalan kaki. Di samping
bahu jalan tersedia tempat duduk santai, lengkap dengan tempat pembuangan
sampah berupa kantong plastik atau tong sampah tertutup yang tersedia.
Kesadaran akan pentingnya pembangunan trotoar bukan saja diperuntukkan
untuk para pejalan kaki, tetapi juga bagi para penyandang cacat dan lanjut usia.
Hampir semua kota - kota di Indonesia belum sepenuhnya menerapkan
kebijakan penataan trotoar yang multifungsi ini.
Di Negara Indonesia segala aktifitas atau perbuatan yang dilakukan
oleh sebagian atau sekelompok manusia pasti ada peraturannya apalagi
mengenai jual-beli atau perdagangan, pastinya ada mengaturnya. Di dalam
perdagangan terdapat Undang-undang nomor 07 tahun 2014 tentang
perdagangan. Namun mengenai perdagangan di atas trotoar tidak terdapat di
dalam undang-undang tersebut. Kami menggali peraturan perundang-
undangan yang lain demi mendapatkan hasil yang maksimal dalam penelitian
ini, dan kami mendapati sebuah peraturan perundang-undangan yang di
dalamnya menyangkut tentang berjualan di atas trotoar atau sejenisnya yaitu di
dalam Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang angkutan jalan dan lalu
lintas, di sana penulis mendapati penggunaan trotoar itu di peruntukkan oleh
siapa saja dan di prioritaskan siapa saja. Selain penulis menggali dalam sector
hukum negara dalam perundang-undangan yang berlaku, penulis juga
mengeksplor ke dalam hukum Islam yang termaktub di Maslahah Mursalah
Wahab Khalaf di sana penulis mendapati bagaimana mecari peluang usaha atau
berdagang hingga menggunakan lahan atau tempat yang di perbolehkan untuk
berdagang.
Penulis mengidentifikasi di salah satu wilayah Kota Malang yaitu di
kawasan Pasar Gadang yang berada di sudut paling selatan Kota Malang.
Penulis mengidentifikasi tempat tersebut dikarenakan pasar Gadang dikenal
dengan nama pasar induk kota Malang, dan tempatnya berada di sekitaran
domisili si penulis. Jadi agar lebih mempermudah mencari atau menggali
informasi yang berhubungan dengan boleh tidaknya melakukan transaksi jual-
5
beli atau berdagang di atas trotoar di wilayah tersebut. Selain itu di pasar
tersebut sangat mudah kita jumpai para pedagang yang menjajakan
dagangannya di atas trotoar bahkan hingga memakan jalan raya, apalagi disaat
malam hari hingga menjelang pagi hari.
Dengan demikian penulis bermaksud untuk melakukan penelitian yang
berjudul “BERJUALAN DI ATAS TROTOAR MENURUT UU NOMOR 22
TAHUN 2009 TENTANG ANGKUTAN JALAN DAN LALU LINTAS
SERTA MENURUT MASLAHAH MURSALAH (STUDI DI KAWASAN
PASAR GADANG KOTA MALANG)”
B. Rumusan Masalah
Dengan demikian penulis dapat menentukan rumusan masalah yang
sesuai dengan latar belakang di atas sebagai berikut:
1. Mengapa terjadi praktek penjualan di atas trotoar?
2. Bagaimana berjualan di atas trotoar menurut UU nomor 22 tahun 2009
tentang lalu lintas dan angkutan jalan?
3. Bagaimana berjualan di atas trotoar menurut maslahah mursalah?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang dapat di ambil dari latar belakang dan
rumusan masalah di atas sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tentang alasan terjadi praktek penjualan di atas
trotoar.
2. Untuk mengetahui tentang berjualan di atas trotoar menurut UU nomor
22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
3. Untuk mengetahui pandangan maslahah mursalah terhadap berjualan di
atas trotoar.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
6
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau
memberikan solusi dalam bidang fiqh muamalah khususnya tentang
masalah berjualan di atas trotoar.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pengetahuan bagi masyarakat, serta meningkatkan pemahaman
masyarakat terhadap penerapan dan pelaksanaan berjualan di atas
trotoar.
b. Bagi Pemerintah Daerah
Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pemerintah daerah dalam membuat Peraturan Daerah khususnya
tentang berjalan di atas trotoar.
c. Bagi Penulis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan wawasan yang
lebih mendalam mengenai praktik berjualan di atas trotoar.
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah:
BAB pertama, Pendahuluan. Dalam bab pendahuluan ini memuat latar
belakang, perumusan masalah, tujuan penilitan, manfaat penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB kedua, Kajian Pustaka. Dalam bab ini memuat Penelitian
Terdahulu, Kajian pustaka. Dalam bab kedua ini penulis akan menjelaskan
tentang Kajian berjualan di atas Trotoar menurut hukum yang belaku di negara
7
Indonesia yaitu UU nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan
jalan, dan Maslahah mursalah.
BAB ketiga, Metode penelitian. Dalam bab ketiga ini penulis akan
menguraikan tentang jenis penelitian, pendekatan penelitian, lokasi penelitian,
sumber data, metode pengumpulan data, dan metode pengolahan data.
BAB keempat, Hasil Penelitian dan Pembahasan. Dalam bab ini penulis
akan menjelaskan Gambaran Umum Objek Penelitian, menganalisis terhadap
Implementasi Berjualan di atas Trotoar dalam Undang-undang Nomor 22
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Implementasi
Berjualan di atas Trotoar dalam Prespektif Maslahah Mursalah.
BAB kelima, Penutup. Bab terakhir ini adalah penutup yang meliputi:
Kesimpulan dan Saran-saran
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Untuk menghindari adanya kesamaan dengan penelitian yang telah ada,
penulis mencoba memberikan penelitian yang terdahulu tentang pedagang kaki
lima atau berdagang di atas trotoar. Adapun penelitian yang sudah pernah ada
adalah sebagai berikut:
1. Skripsi yang berjudul, “Variabel-variabel yang Mempengaruhi
Pendapatan Pedagang Kaki Lima (studi kasus di kecamatan
Lowokwaru kota Malang)” oleh Toni Suhartono, 2016, Universitas
Brawijaya Malang. Penelitian ini menggambarkan tentang apa saja
yang menjadi bagian dari variabel-variabel yang mempengaruhi
pendapatan pedagang kaki lima yang meliputi sarana usaha, modal,
dan jumlah anggota keluarga yang ikut membantu pendidikan dan
pelatihan usaha secara simultan berpengaruh terhadap pendapatan
pedagang kaki lima di kecamatan Lowokwaru kota Malang. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini ialah explanatory (penjelasan)
dimana bertujuan agar pembaca dan penulis dapat memahami dan
menyajikan sesuai dengan data yang ada dan penulis mendapatkan
8
data dengan cara kuesioner kepada responden yang sudah di tentukan
oleh penulis secara hipotesis.
Meskipun ada kesamaan dalam subyek hukum, namun tetap
ada perbedaannya. Perbedaannya terletak pada sudut pandang yang
digunakan untuk menganalisis subyek hukum, tema penelitian,
rumusan masalah.
2. Jurnal yang berjudul “Implementasi Pasal 3 Ayat 1 Peraturan Daerah
Kota Malang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengaturan Dan
Pembinaan Pedagang Kaki Lima (Studi Di Dinas Pasar Kota
Malang)”, oleh Jordian Ari, 2014, Universitas Brawijaya Malang,
jurnal ini menggambarkan bagaimana pembinaan pedagang kaki lima
yang dilakukan oleh pemerintah kota Malang. Metode yang
digunakan yuridis sosiologis untuk mengkaji pelaksanaan dari obyek
hukum dengan cara wawancara di dinas pasar kota Malang.
Meskipun ada kesamaan dalam metode penelitian dan subyek
hukum penelitian, namun tetap ada perbedaannya. Perbedaannya
terletak pada sudut pandang untuk menganalisis hukum. Dalam jurnal
ini menggunakan pasal 3 ayat 1 peraturan daerah kota Malang nomor
1 tahun 2000 tentang pengaturan dan pembinaan pedagang kaki lima
sedangkan penulis menggunakan uu nomor 22 tahun 2009 tentan lalu
lintas dan angkutan jalan serta maslahah mursalah.
3. Jurnal yang berjudul “Pengaruh Keberadaan Parkir Dan Pedagang
Kaki Lima Terhadap Biaya Kemacetan Dan Polusi Udara di Jalan
Kolonel Sugiono Malang”, oleh Anna Aga Pertiwi, Achmad
Wicaksono, dan Mustika Anggraeni, 2011, Universitas Brawijaya
Malang. Jurnal ini menggambarkan bagaimana karakteristik
pergerakan kendaraan, bagaimana pengaruh keberadaan parkir on-
street dan PKL terhadap kondisi tingkat pelayanan jalan, dan
bagaimana pengaruh keberadaan parkir on-street dan PKL terhadap
biaya kemacetan dan biaya polusi udara di Jalan Kolonel Sugiono
Kota Malang. Metode yang digunakan ialah metode sampling non
9
probabilitas, yaitu cara pengambilan sampel yang tidak berdasarkan
probabilitas. Penelitian ini sebagai data yang kemudian di ambil
kesimpulan.
Meskipun ada kesamaan dalam subyek hukum pedagang kaki
lima, namun ada perbedaannya. Perbedaannya terletak pada metode
penelitian dan penggalian data penelitian serta hasil dari
penelitiannya.
Tabel 1: Persamaan dan Perbedaan Penelitian Terdahulu
NAMA
PENELITI
JUDUL PERSAMAAN PERBEDAAN
Toni
Suhartono,
2016,
Universitas
Brawijaya
Malang
Variabel-
variabel yang
Mempengaruhi
Pendapatan
Pedagang
Kaki Lima
(studi kasus di
kecamatan
Lowokwaru
kota Malang)
Subyek hukum Sudut pandang
yang
digunakan
untuk
menganalisis
subyek hukum,
tema
penelitian,
rumusan
masalah
Jordian Ari,
2014,
Universitas
Brawijaya
Malang
Implementasi
Pasal 3 Ayat 1
Peraturan
Daerah Kota
Malang Nomor
1 Tahun 2000
Tentang
Pengaturan
Dan
Pembinaan
Metode
penelitian dan
subyek hukum
penelitian
Obyek hukum
yang di
gunakan dan
fokus
penelitian serta
hasilnya
10
Pedagang
Kaki Lima
(Studi Di
Dinas Pasar
Kota Malang)
Anna Aga
Pertiwi,
Achmad
Wicaksono,
dan Mustika
Anggraeni,
2011,
Universitas
Brawijaya
Malang
Pengaruh
Keberadaan
Parkir Dan
Pedagang
Kaki Lima
Terhadap
Biaya
Kemacetan
Dan Polusi
Udara di Jalan
Kolonel
Sugiono
Malang
Subyek hukum
pedagang kaki
lima
Metode
penelitian dan
penggalian
data penelitian
serta hasil dari
penelitiannya
B. Kerangka Teori
1. Teori Penegakan Hukum
Di dalam peraturan perundang-undangan undang-undang nomor
22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan bahwa Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung
pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya
memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus
dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,
keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan
dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan
11
wilayah. Jadi, di dlam peraturan ini semua aspek yang ada di sekitaran
jalan telah termaktup di dalamnya termasuk mengenai kegunaan trotoar.
Dalam pasal 45 ayat 1 berbunyi fasilitas pendukung
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. trotoar;
b. lajur sepeda;
c. tempat penyeberangan pejalan kaki;
d. halte; dan/atau
e. fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut.
Jadi, menurut pasal tersebut yang paling utama diadakan yaitu
trotoar karena letak trotoar di paling atas yaitu huruf “a” dalam
pengaplikasian fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan
angkutan jalan.
Penyediaan fasilitas-fasilitas pendukung (termasuk trotoar) di atas
diselenggarakan oleh pihak pemerintah bergantung pada jenis jalan tempat
trotoar itu dibangun yang termaktub dalam Pasal 45 ayat 2 yang meliputi:
a. Untuk jalan nasional, diselenggarakan oleh pemerintah pusat;
b. Untuk jalan provinsi, diselenggarakan oleh pemerintah provinsi;
c. Untuk jalan kabupaten dan jalan desa, diselenggarakan oleh
pemerintah kabupaten;
d. Untuk jalan kota, diselenggarakan oleh pemerintah kota;
e. Untuk jalan tol, diselenggarakan oleh badan usaha jalan tol.
Namun trotoar bukanlah tempat untuk berjualan melainkan hak
dari pejalan kaki sesuai dengan undang-undang nomor 22 tahun 2009
tentang lalu lintas dan angkutan jalan bagian ke enam mengenai hak dan
kewajiban pejalan kaki dalam berlalu lintas dalam pasal 131 angka 1 yagn
berbunyi “Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung
yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.” Lalu di
perkuat di dalam pasal 132 angka 1 pejalan kaki wajib untuk
12
mengggunakan bagian jalan yang yang diperuntukkan bagi pejalan kaki
atau jalan yang paling tepi.
Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 25 ayat (1) huruf h bahwa setiap
jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan
perlengkapan jalan, yang salah satunya berupa fasilitas pendukung
kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar
badan jalan. Ini artinya, sebagai salah satu fasilitas pendukung jalan,
trotoar juga merupakan perlengkapan jalan.
Masih berkaitan dengan trotoar sebagai perlengkapan jalan,
berdasarkan Pasal 28 ayat (2) Undang-undang yang sama berbunyi “Setiap
orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan
pada fungsi perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (1).” Maka dari itu, setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan.
Jika masih melakukan berjualan di atas trotoar menurut UU LLAJ
akan dikenakan sanksi anatar lain, ada 2 (dua) macam sanksi yang dapat
dikenakan pada orang yang menggunakan trotoar sebagai milik pribadi
dan mengganggu pejalan kaki:
1. Ancaman pidana bagi setiap orang yang mengakibatkan gangguan
pada fungsi perlengkapan jalan adalah dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) (Pasal 274 ayat (2)
UU LLAJ); atau
2. Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan
gangguan pada fungsi Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat
Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat
pengaman Pengguna Jalan, dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00
(dua ratus lima puluh ribu rupiah) (Pasal 275 ayat (1) UU LLAJ).
Jadi, berjual di atas trotoar menurut undang-undang nomor 22
tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkuan jalan (UU LLAJ) tidak di
13
peruntukkan untuk berjualan karena trotoar tempat buat para pejalan kaki
bukan untuk berjualan di tepi jalan. Jika tetap digunakan untuk berjualan
maka dapat membahayakan para pengguna trotoar yang lain yaitu para
pejalan kaki yang melintas di trotoar tersebut.
2. Tinjauan Umum Trotoar
a) Pengertian Trotoar
Trotoar adalah jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar
dengan jalan dan lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan
untuk menjamin keamanan pejalan kaki yang bersangkutan. Para
pejalan kaki berada pada posisi yang lemah jika mereka bercampur
dengan kendaraan, maka mereka akan memperlambat arus lalu
lintas. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama dari manajemen lalu
lintas adalah berusaha memisahkan pejalan kaki dari arus
kendaraan bermotor, tanpa menimbulkan gangguan - gangguan
yang besar terhadap aksesibilitas dengan pembangunan trotoar.
Menurut keputusan Direktur Jenderal Bina Marga No.
76/KPTS/Db/1999 tanggal 20 Desember 1999 yang dimaksud
dengan trotoar adalah bagian dari jalan raya yang khusus
disediakan untuk pejalan kaki yang terletak didaerah manfaat jalan,
yang diberi lapisan permukaan perkerasan jalan, dan pada
umumnya sejajar dengan jalur lalu lintas kendaraan.3
Perlu tidaknya trotoar dapat diidentifikasikan oleh volume
para pejalan kaki yang berjalan di jalan, tingkat kecelakaan antara
kendaraan dengan pejalan kaki dan pengaduan/permintaan
masyarakat. Di pusat kota trotoar bukan untuk pejalan kaki. Trotoar
malah menjadi tempat jualan pedagang kaki lima, tempat
meletakkan pot bunga maupun ditanami pohon. Warga kota
mungkin saja menganggap sepele adanya trotoar dan fungsi
3 Keputusan Dirjen Bina Marga No.76/KPTS/Db/1999 tanggal 20 Desember 1999
14
utamanya. Tetapi sesungguhnya, trotoar adalah ruang yang
menjadi hak asasi. Kita bisa saksikan kondisi paling memiriskan
dengan fungsi trotoar itu di berbagai tempat di kota - kota besar.
Penataan trotoar di kota besar saat ini sebatas fasilitas yang
diadakan karena pembentukan jalan. Perencanannya belum
mempertimbangkan aspek-aspek manusiawi dan hanya sekedar
mengakomodasi kepentingan pejalan kaki. Sudah selayaknya
pembangunan trotoar direncanakan untuk memberikan
kenyamanan untuk penggunanya. Oleh karena trotoar adalah
elemen sebuah pedestrian; yaitu ruang luar yang digunakan untuk
kegiatan penduduk kota sehari-hari seperti kegiatan berjalan-jalan
melepas lelah, bersantai, sebagai tempat aspirasi, kegiatan bersama
dan sebagai (juga) tempat berjual-beli. Dengan fungsi utamanya
yaitu memfasilitasi pejalan kaki untuk bergerak dari satu bangunan
ke bangunan yang lain, dari bangunan ke ruang lain yang ada atau
sebaliknya, atau dari suatu tempat ke tempat yang lainya di
kawasan perkotaan. Pedestrian atau pejalan kaki (bahasa Yunani
pedester/pedestris) yaitu orang yang berjalan kaki atau pejalan
kaki. Pedestrian juga diartikan sebagai pergerakan atau sirkulasi
atau perpindahan orang atau manusia dari satu tempat ke titik asal
(origin) ke tempat lain sebagai tujuan (destination) dengan berjalan
kaki. Jalur pedestrian yang baik harus dapat menampung setiap
kegiatan pejalan kaki dengan lancar dan aman. Persyaratan ini
perlu dipertimbangkan di dalam perancangan jalur pedestrian.
Agar dapat menyediakan jalur pedestrian yang dapat menampung
kebutuhan kegiatan-kegiatan tersebut maka perancang perlu
mengetahui kategori perjalanan para pejalan kaki dan jenis-
jenis titik simpul yang ada dan menarik bagi pejalan kaki.4
Sedangkan kenyamanan dari pejalan kaki adalah dengan
4 Lily Mauliani, Kajian Jalur Pedestrian Sebagai Ruang Terbuka Pada Area Kampus, Jurnal
Arsitektur, (Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2013), hal. 2-3
15
menyediakan elemen yang mendukung tanpa adanya gangguan
dari aktivitas lain yang menggunakan jalur tersebut.
Peralihan fungsi trotoar menjadi tempat penjualan para
pedagang kaki lima semakin tidak terkendali. Akibatnya jalan
menjadi macet, apalagi ketersediaan tempat parkir bagi kendaraan
juga tidak tersedia dengan layak. Para pedagang yang berjualan di
atas trotoar juga tidak terkesan tidak peduli, mereka tidak punya
alternative tempat menjual yang strategis, tempat yang sedianya
khusus diperuntukkan bagi pedagang kaki lima terkadang dianggap
kurang menguntungkan secara ekonomis. Tidak sedikit dari para
pedagang akhirnya berpindah ke tempat-tempat yang dianggap
strategis dan menguntungkan. Belum lagi bagi pedagang
pendatang baru tidak ada pilihan yang lebih baik selain membuka
lapak-lapak di pinggir jalan atau di atas trotoar.
Di beberapa tempat misalnya di pusat kota di kawasan
sekolah maupun perkantoran trotoar seakan tidak berarti. Padahal
di tempat seperti itu, trotoar begitu penting fungsinya. Kota - kota
di negara-negara maju, trotoar berperan penting dalam
kenyamanan dan keamanan bagi para pejalan kaki. Di samping
bahu jalan tersedia tempat duduk santai, lengkap dengan tempat
pembuangan sampah berupa kantong plastik atau tong sampah
tertutup yang tersedia. Kesadaran akan pentingnya pembangunan
trotoar bukan saja diperuntukkan untuk para pejalan kaki, tetapi
juga bagi para penyandang cacat dan lanjut usia. Hampir semua
kota-kota di Indonesia belum sepenuhnya menerapkan kebijakan
penataan trotoar yang multifungsi ini.
Isue pedagang kaki lima yang marak sekarang terjadi di
realita bisnis menengah kebawah sebetulnya bukan hal baru lagi.
Karena sejak zaman kolonial Belanda pun pedagang yang
berdagang di pinggir jalan sudah ada. Namun dahulu istilahnya
adalah pedagang emperan jalan, bukan PKL. Keberadaan para PKL
16
tersebut sebetulnya mengganggu, karena wilayah badan jalan
(trotoar) yang seharusnya digunakan oleh pejalan kaki untuk lewat
lalu lalang, terpaksa tak bisa dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Dari situlah juga sering terjadi kemacetan. Kendaraan - kendaraan
yang jalan, terpaksa pula harus mengalami kemacetan karena para
PKL yang terlalu banyak mengambil badan jalan hingga kadang
sampai memakan tempat area jalan utama, atau melewati batas
trotoar. Namun di lain sisi, keberadaan PKL juga memberikan
manfaat bagi para pengguna jalanan ketika harus membeli sesuatu
(misal, minuman) yang otomatis para pengguna jalanan tidak harus
repot-repot untuk mencari minimarket untuk membeli sebuah
minuman. Harga yang ditawarkan oleh para PKL pun jauh lebih
murah dengan harga pada minimarket. Dari proses transaksi jual
beli dijalanan itulah para PKL mencari nafkah dan mendapatkan
rejeki penghasilan.
Pedagang kaki lima selalu dikaitkan dengan sebuah
kemacetan yang terjadi di jalanan. Khususnya di jalan raya kota -
kota besar. Seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan,
lagi-lagi kemacetan yang ada salah satu faktornya yaitu karena
banyak PKL yang memanfaatkan badan jalan (trotoar). Bagi yang
pro dengan keberadaan PKL, atau bagi sebagian orang keberadaan
PKL justru memberikan solusi kebutuhan di jalanan, mungkin
mereka tak merasa terganggu dengan adanya PKL - PKL tersebut.
Tapi lain ceritanya bagi yang kontra terhadap keberadaan PKL, dan
merasa terganggu dengan adanya PKL, mungkin mereka akan
mengeluh. Dengan unsur ketergangguan dan ketidaknyamanan
tersebut, maka kerap kali para pedagang kaki lima mengalami
pengusiran dan pengejaran oleh petugas karena mempergunakan
area bisnis yang tidak sesuai dengan tata ruang perkotaan. Pro dan
kontra terhadap PKL itulah yang menjadi poin dalan sisi sosial.
Karena pada dasarnya, para PKL tersebut pun bekerja dengan cara
17
halal bahkan giat berjuang unuk keluarga, namun harus dihantui
setiap saat oleh bayang-bayang petugas atau aparat pula. Jumlah
pedagang mikro semacam PKL ini sudah mencapai 11 Juta orang
berdasarkan data Asosiasi Pedagang Pasar Se-Indonesia (APPSI),
dari jumlah tersebut apabila para PKL diarahkan dan dibimbing
lalu diberdayakan, maka dampaknya akan sangat dahsyat terhadap
perekonomian daerah dan nasional.5
b) Trotoar Yang Beralih Fungsi
Banyak orang berpandangan bahwa trotoar itu adalah jalan
setapak yang ada di jalan raya. Walaupun disebut sebagai jalan
setapak tapi trotoar mempunyai fungsi yang sangat penting bagi
pejalan kaki. Trotoar merupakan tempat bagi pejalan kaki di jalan
raya. Pada dasarnya trotoar dibangun disepanjang sisi kanan dan
sisi kiri jalan raya mengikuti arah alurnya jalan raya tersebut.
Keberadaan trotoar sangatlah mendukung bagi para pejalan kaki
yang akan melintasi jalan-jalan besar atau jalan raya dipusat kota.
Pejalan kaki tidak perlu khawatir saat melintasi jalan raya yang
ramai dengan berbagai kendaraan bermotor serta arus lalu lintas
yang padat karena mereka telah disediakan tempat tersendiri untuk
berjalan. Namun kenyataannya, trotoar yang sering kita jumpai
dibeberapa tempat di pusat - pusat kota, seringkali disalahgunakan
fungsinya. Trotoar yang semula digunakan bagi pejalan kaki, kini
beralih fungsi sebagai tempat orang-orang untuk memperoleh
peruntungan.
Banyaknya trotoar yang seringkali disalah gunakan
biasanya digunakan sebagai tempat parkir, tempat berdagang bagi
pedagang kaki lima, bahkan tidak jarang pula kendaraan bermotor
ikut melintasi trotoar karena untuk menghindari kemacetan
5 Dewi Khamala Rizkiana, “Ketika Trotoar Menjadi LahanRejeki”, http://dewikhamalarizkiani.blogspot.com/2012/12/ketika-trotoar-menjadi-lahan-rejeki.html?m=1 ,
diakses tanggal 25 Desember 2018
18
lalulintas. Selain itu, trotoar yang kini telah beralih fungsi tersebut
menimbulkan banyak permasalahan sehingga para pejalan kaki
terganggu saat melintasi trotoar tersebut. Sampah yang berserakan
akibat limbah dari penjaja makanan disekitar trotoar menyebabkan
trotoar menjadi kumuh dan kotor. Terlebih lagi dengan adanya
tempat parkir di trotoar dapat membatasi ruang gerak bagi para
pejalan kaki yang melintas.
Kurangnya lahan parkir bagi toko – toko yang berada
dipinggir jalan turut menyumbang pemakaian trotoar sebagai
tempat parkir. Banyak motor berjajaran disepanjang jalan trotoar.
Ini mengurangi kenyamanan para pejalan kaki. Inilah salah satu
faktor yang seringkali menjadi permasalahan beralihfungsinya
trotoar sebagai tempat bagi pejalan kaki.
Pemerintah pun telah berulangkali menertibkan dan
mengatur tata kota apalagi mengenai trotoar tersebut. Berulangkali
pula para pedagang disepanjang trotoar enggan untuk pindah.
Bahkan seringkali para pedagang terlibat bentrok dengan aparat
ketertiban.
Seringkali trotoar dimanfaatkan untuk tindakan ilegal
seperti digunakan oleh pengemudi motor untuk melewati
kemacetan/mendahului, digunakan sebagai tempat parkir motor
ojek, dan tempat untuk berkemah. Pada negara berkembang,
tindakan ini belum bisa dilarang secara keras.
Trotoar merupakan salah satu sarana yang seharusnya
nyaman digunakan oleh para pejalan kaki. Karena trotoar adalah
fasilitas pendukung bagi pejalan kaki, sesuai dalam pasal 131 ayat
1 UU 22 tahun 2009.6 Namun coba bayangkan jika trotoar tidak
bisa diakses oleh para pejalan kaki karena telah beralih fungsi.
Beberapa trotoar di beberapa kota di Indonesia, pada umumnya
6 Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan tanggal 22 juni 2009
19
trotoar-trotoar tersebut tidak sepenuhnya dapat diakses oleh
pejalan kaki. Trotoar yang seharusnya tempat yang aman bagi
pejalan kaki ketika berjalan di jalan raya, namun telah berganti
menjadi jalan pintas bagi pengendara sepeda motor ketika macet.
Tidak hanya itu, trotoar juga dijadikan tempat untuk berjualan oleh
para pedagang kaki lima, serta sering digunakan sebagai tempat
parkir baik itu sepeda motor maupun mobil (jika trotoar tersebut
lumayan luas).
c) Dasar Trotoar untuk Pejalan Kaki
Trotoar adalah jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar
dengan jalan dan lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan
untuk menjamin keamanan pejalan kaki yang bersangkutan.
Menurut keputusan Direktur Jenderal Bina Marga
No.76/KPTS/Db/1999 tanggal 20 Desember 1999 yang dimaksud
dengan trotoar adalah bagian dari jalan raya yang khusus
disediakan untuk pejalan kaki yang terletak didaerah manfaat jalan,
yang diberi lapisan permukaan dengan elevasi yang lebih tinggi
dari permukaan perkerasan jalan, dan pada umumnya sejajar
dengan jalur lalu lintas kendaraan. Fasilitas pejalan kaki berupa
trotoar di tempatkan di :
1) Daerah perkotaan secara umum yang tingkat kepadatan
penduduknya tinggi;
2) Jalan yang memiliki rute angkutan umum yang tetap;
3) Daerah yang memiliki aktivitas kontinyu yang tinggi,
seperti misalnya jalan-jalan di pasar dan pusat
perkotaaan;
4) Lokasi yang memiliki kebutuhan/permintaan yang tinggi
dengan periode yang pendek, seperti misalnya stasiun -
stasiun bus dan kereta api, sekolah, rumah sakit,
lapangan olah raga;
20
5) Lokasi yang mempunyai permintaan yang tinggi untuk
hari-hari tertentu, misalnya lapangan/gelanggang olah
raga, Masjid.
Trotoar sedapat mungkin ditempatkan pada sisi dalam
saluran drainase yang telah ditutup dengan pelat beton yang
memenuhi syarat. Trotoar pada perhentian bus harus ditempatkan
berdampingan/sejajar dengan jalur Bus. Trotoar dapat ditempatkan
di depan atau dibelakang halte. Sesuai dengan penggunaan lahan,
lebar minimun Trotoar yaitu :7
Nomor Penggunaan Lahan Lebar
Minimum (m)
1 Perumahan 1,5
2 Perkantoran 2,0
3 Industri 2,0
4 Sekolah 2,0
5 Perumahan 2,0
6 Terminal/Stop Bus 2,0
7 Pertokoan/Pembelanjaan 2,0
8 Jembatan/Terowongan 1,0
Dalam Pasal 45 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan disebutkan bahwa trotoar adalah fasilitas
pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan. Ayat 1
pasal 131 UU No. 22 Tahun 2009 menyebutkan : “Pejalan kaki
berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung berupa trotoar, tempat
penyebrangan dan fasilitas lain”. Lebih lanjut pada poin (a) Ayat 1
Pasal 132 disebutkan bahwa pejalan kaki wajib menggunakan jalan
yang diperuntukan bagi pejalan kaki atau jalan yang paling tepi.
Pasal 34 Peraturan Pemerintah RI No. 34 Tahun 2006
tentang Jalan pun menyebutkan bahwa trotoar diperuntukkan bagi
7 Petunjuk perencanaan trotoar, Ditjen Bina Marga, 1990, hal. 4 (No. 007/T/BNKT/1990)
21
lalu lintas pejalan kaki. Secara sederhana, kita dapat mengatakan,
“Menggunakan trotoar adalah hak dan kewajiban pejalan kaki”.
Trotoar, sebagaimana yang dimaksudkan dalam PP Nomor
34 Tahun 2006 tentang Jalan merupakan bagian dari Ruang
Manfaat Jalan. Karena itu trotoar direncanakan penataannya
sebagai ruang sisa dari pembentukan Jalan yang dimanfaatkan
untuk kegiatan non-transportasi kendaraan bermotor.
d) Pengertian Pedagang Kaki Lima dan Fenomenanya
Pedagang Kaki Lima atau biasa yang lebih dikenal dengan
istilah PKL adalah pedagang yang biasa menjual atau membuka
gerai/warung/lapak dagangannya di pinggir badan jalan (trotoar).
Disebut pedagang kaki lima karena pada dasarnya para pedagang
tersebut kebanyakan menjual barang dagangannya menggunakan
gerobak yang mempunyai roda 3. Sehingga apabila dianalogikan,
3 roda tersebut sebagai kaki tambahan bagi para pedagang itu
sendiri. Akhirnya tersebutlah sekarang Pedagang Kaki Lima
sebagaimana yang kita kenal. Istilah sektor informal
diperkenalkan oleh Keith Hart pada tahun 1971 dalam
penelitiannya tentang “Small-scale Enterpreneurs in Ghana”.
Hart menggambarkan sektor informal sebagai angkatan kerja
perkotaan serta berada di luar pasar kerja yang terorganisasi.
Sethuraman (1991) menyebutkan “sektor informal sebagai
unit-unit berskala kecil yang terlibat dalam produksi dan
distribusi barang-barang, dimasuki oleh penduduk kota terutama
bertujuan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan
daripada memperoleh keuntungan” (Hazel Moir, 1978). Sampai
sekarang baru Sethuraman (1991) dari ILO yang relatif berhasil
merumuskan definisi teoritis tentang sektor informal, yang
dalam bahasa Indonesia dapat didefinisikan sebagai berikut:
”Sektor informal terdiri dari unit-unit usaha berskala kecil yang
menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan
22
tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan
bagi diri sendiri dan dalam usahanya itu sangat di hadapkan
berbagai kendala seperti faktor modal fisik, faktor pengetahuan
dan faktor keterampilan.” Kegiatan-kegiatan sektor informal
dapat pula dicirikan: mudah masuk, bersandar pada sumberdaya
lokal, usaha milik keluarga, operasi skala kecil, padat karya dan
adapted technology, keterampilan diperoleh dari luar sistem
formal sekolah, tidak diatur dan pasar kompetitif.8
Dewasa ini pengertian sektor informal dapat pula
dikelompokkan sebagai pengusaha mikro dan kecil sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008. Dengan kata lain, sektor
informal di kota terutama harus dipandang sebagai unit-unit
beskala mikro dan kecil yang terlibat dalam produksi dan
distribusi barang-barang yang masih dalam suatu proses daripada
dianggap sebagai sekelompok perusahaan yang berskala kecil
dengan masukan-masukan modal dan pengelolaan yang besar.
Pengertian PKL dalam pengaturan ini diartikan secara luas,
karena tidak hanya bagian jalan/trotoar, tetapi mencakup pula
tempat-tempat untuk kepentingan umum yang bukan diper-
untukkan tempat usaha serta tempat lain yang bukan miliknya.
PKL adalah orang yang dengan modal yang relatif sedikit
berusaha bidang produksi dan penjualan barang- barang (jasa-
jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam
masyarakat, usaha tersebut dilaksanakan pada tempat-tempat
yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal
(Haryono, 1989).
Bromley (1979) menyebutkan bahwa PKL adalah suatu
pekerjaan yang paling nyata dan paling penting di kebanyakan
kota di negara-negara berkembang pada umumnya. PKL pada
8 Jumhur, Model Pengembangan Pedagang Kaki Lima (PKL) Kuliner Di Kota Singkawang, Jurnal
Ekonomi Bisnis dan Kewirausahaan, (Singkawang: Universitas Tanjungpura, 2015), hal. 126-127
23
umumnya adalah self-employed, artinya mayoritas PKL hanya
terdiri dari satu tenaga kerja. Modal yang dimiliki relatif tidak
terlalu besar, dan terbagi atas modal tetap, berupa peralatan, dan
modal kerja. Dana tersebut jarang sekali dipenuhi dari lembaga
keuangan resmi, tetapi biasanya berasal dari sumber dana ilegal
atau dari supplier yang memasok barang dagangan. Sedangkan
sumber dana yang berasal dari tabungan sendiri sangat sedikit.
Hal ini berarti hanya sedikit dari mereka yang dapat menyisihkan
hasil usahanya, disebabkan rendahnya tingkat keuntungan dan
cara pengelolaan uang. Sehingga kemungkinan untuk
mengadakan investasi modal maupun ekspansi usaha sangat kecil
(Hidayat, 1978).9
Istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial
Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa
setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana
untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki
atau sekitar satu setengah meter. Sekian puluh tahun setelah itu,
saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak
dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Dahulu
namanya adalah pedagang emperan jalan, sekarang menjadi
pedagang kaki lima. Padahal jika merunut sejarahnya, seharusnya
namanya adalah pedagang lima kaki.
Di beberapa tempat, pedagang kaki lima dipermasalahkan
karena mengganggu para pengendara kendaraan bermotor,
mengunakan badan jalan dan trotoar. Selain itu ada PKL yang
menggunakan sungai dan saluran air terdekat untuk membuang
sampah dan air cuci. Sampah dan air sabun dapat lebih merusak
sungai yang ada dengan mematikan ikan dan menyebabkan
eutrofikasi. Eutrofikasi adalah pencemaran air yang disebabkan
9 Jumhur, Model Pengembangan Pedagang Kaki Lima (PKL) Kuliner Di Kota Singkawang, Jurnal
Ekonomi Bisnis dan Kewirausahaan, (Singkawang: Universitas Tanjungpura, 2015), hal. 127
24
oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air.
Tetapi PKL kerap menyediakan makanan atau barang lain dengan
harga yang lebih, bahkan sangat murah daripada membeli di toko.
Modal dan biaya yang dibutuhkan kecil, sehingga kerap
mengundang pedagang yang hendak memulai bisnis dengan modal
yang kecil atau orang kalangan ekonomi lemah yang biasanya
mendirikan bisnisnya di sekitar rumah mereka.
Trotoar ternyata sering dialihfungsikan sebagai tempat
berjualan para pedagang kaki lima karena menyewa tempat, kios,
atau ruko memang tak murah. Lagipula bila membuka lapak di
pinggir jalan, terutama yang ramai, jelas memudahkan orang untuk
berhenti dan membeli. Mulai dari pedagang yang hanya menggelar
meja portabel untuk menjual helm hingga warung makanan yang
memasang tenda semi-permanen disertai dengan ember cucian,
sampah makanan sisa, alat penggorengan, dan tumpukan bahan
makanan.
Trotoar yang beralih fungsi tersebut jelas menyulitkan
pejalan kaki untuk melaluinya. Tak ayal, pejalan kaki harus rela
untuk turun ke badan jalan dengan resiko terserempet motor atau
mobil yang lalu-lalang. Belum lagi untuk para pejalan kaki yang
memakai kursi roda atau tuna netra; jelas sangat membahayakan
nasib mereka.
Selain itu, dengan adanya pembeli, tentu akan dibarengi
dengan parkir sembarangan di badan jalan. Jalanan menjadi lebih
sempit sehingga laju lalu-lintas melambat. Pun, para pedagang kaki
lima makanan sering kali membuang air kotor dan kotoran di
trotoar. Trotoar cepat atau lambat menjadi kotor. Kesannya jorok.
Pedagang kaki lima ingin mencari sesuap nasi dengan
membuka usaha mereka di trotoar. Mengusir mereka bisa jadi
menghilangkan mata pencaharian mereka. Lagipula langganan
mereka pun juga senang karena mereka bisa membeli barang atau
25
makanan di dekat mereka. Hanya saja, jelas bahwa pedagang kaki
lima tak memiliki hak untuk menggunakan trotoar untuk membuka
lapak. Trotoar merupakan hak pejalan kaki. Jadi memang salah bila
pedagang kaki lima menggunakan trotoar untuk kepentingan
mereka sendiri.
Di kota-kota besar keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL)
merupakan suatu fenomena kegiatan perekonomian rakyat kecil.
Akhir-akhir ini fenomena penggusuran terhadap para PKL marak
terjadi. Para PKL digusur oleh aparat pemerintah seolah-olah
mereka tidak memiliki hak asasi manusia dalam bidang ekonomi
sosial dan budaya (EKOSOB). PKL merupakan fenomena kegiatan
perkonomian rakyat kecil, yang mana mereka berdagang hanya
untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari. Pedagang Kaki
Lima ini timbul dari adanya suatu kondisi pembangunan
perekonomian dan pendidikan yang tidak merata diseluruh NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia ) ini. PKL ini juga timbul
dari akibat dari tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi rakyat
kecil yang tidak memiliki kemampuan dalam berproduksi.
Fenomena Pedagang Kaki Lima merupakan imbas dari semakin
banyaknya jumlah rakyat miskin di Indonesia . Mereka berdagang
hanya karena tidak ada pilihan lain, mereka tidak memiliki
kemampuan pendidikan yang memadai, dan tidak memiliki tingkat
pendapatan ekonomi yang baik dan tidak adanyanya lapangan
pekerjaan yang tersedia buat mereka. Sehingga untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk membiayai keluarganya ia
harus berdagang di kaki lima karena pekerjaan ini sesuai dengan
kemampuan mereka, yaitu modalnya tidak besar, tidak
26
membutuhkan pendidikan yang tinggi, dan mudah untuk di
kerjakan.10
Di NKRI ini belum ada undang-undang yang khusus
mengatur Pedagang Kaki lima . Padahal fenomena pedagang kaki
lima sudah merupakan permasalahan yang pelik dan juga sudah
merupakan permasalahan nasional, karena disetiap kota pasti ada
pedagang kaki limanya. Pengaturan mengenai Pedagang Kaki
Lima ini hanya terdapat dalam peraturan daerah (perda). Perda ini
hanya mengatur tentang pelarangan untuk berdagang bagi PKL di
daerah-daerah yang sudah ditentukan. Namun mengenai hak-hak
PKL ini tidak diatur didalam perda tersebut.
Firdausy (1995) membahas dua hal. Pertama, model
pengembangan sektor informal PKL perkotaan yang diambil dari
hasil studi di empat kota (Bandung, Yogyakarta, Semarang, dan
Surabaya). Model pengembangan ini berupaya untuk
mengoptimalkan potensi sosial ekonomi sektor informal PKL dan
mengurangi permasalahan yang ditimbulkannya. Kedua, rumusan
kebijakan yang harus ditempuh pemerintah agar model
pengembangan PKL dapat mencapai tujuan.11
e) Solusi Agar Trotoar Tetap Pada Fungsinya
Permasalahan trotoar yang telah beralih fungsi ini
seharusnya dapat segera diatasi oleh pemerintah. Disisi lain
pemerintah telah mengadakan sosialisasi kepada para pedagang
kaki lima dan beberapa juru parkir akan pentingnya trotoar dan
permintaan untuk tidak menggunakan trotoar sebagai tempat
mencari nafkah.
10 Jumhur, Model Pengembangan Pedagang Kaki Lima (PKL) Kuliner Di Kota Singkawang,
Jurnal Ekonomi Bisnis dan Kewirausahaan, (Singkawang: Universitas Tanjungpura, 2015), hal.
128 11 Jumhur, Model Pengembangan Pedagang Kaki Lima (PKL) Kuliner Di Kota Singkawang, Jurnal Ekonomi Bisnis dan Kewirausahaan, (Singkawang: Universitas Tanjungpura, 2015), hal.
129
27
Sebenarnya, pemerintah telah menyediakan tempat bagi
para pedagang – pedagang kaki lima yang sering menjajakan
dagangannya disekitar trotoar, hanya saja mereka enggan untuk
pindah dan menempati tempat yang telah disediakan oleh
pemerintah. Alasan mereka banyak didasari karena tempat yang
disediakan tersebut tidak sestrategis dengan tempat mereka jualan
sebelumnya.
Oleh karena itu, pentingnya perhatian dan kesadaran
masyarakat untuk lebih mengoptimalkan kembali fungsi daripada
trotoar disepanjang jalan. Jangan sampai trotoar tersebut beralih
fungsi dengan tidak menjadi yang semestinya, karena hal tersebut
sangat mengganggu kenyamanan bukan hanya pada pejalan kaki
saja melainkan bagi para pengguna jalan lainnya.
Untuk meningkatkan kualitas hidup PKL, ada baiknya
pejabat daerah menyediakan lahan bagi mereka. Agar tercipta
suasana yang nyaman, baik bagi para pengguna jalanan, maupun
bagi para PKL itu sendiri. Karena tujuan utama PKL berdagang
yaitu hanya berupaya mencari uang demi hidup keluarganya.
Tetapi tetap saja ada yang sering berpandangan negatif terhadap
para PKL, karena mereka berkutat selalu dengan jalanan yang
identik dengan tingkat kriminalitas yang tinggi.
Membenahi penyalahgunaan fungsi trotoar sesuai isyarat
PP Nomor 34 Tahun 2006, sebagai penyelenggara, pemerintah
perlu melakukan perencanaan dan perancangan kembali dengan
pendekatan yang aspiratif, edukatif dan persuasif. Tindakan tegas
harus dilakukan tetapi seminimal mungkin dihindari pendekatan
3G (Gaduh, Gasak, Gusur). Terakhir pemerintah perlu membuat
proyek percontohan trotoar yang manusiawi, mengamodir
kepentingan semua pihak yang bersinggungan dalam ruang publik
kota itu dari berbagai aspeknya.
28
Trotoar harus dikembalikan ke fungsi asalnya. Hal ini bisa
dilakukan bila aparat pemerintah kota mau dan mampu melakukan
komunikasi yang baik kepada pedagang kaki lima agar
memindahkan usaha mereka ke tempat yang lebih tepat. Trotoar
seyogyanya merupakan fasilitas kota yang khusus diperuntukkan
untuk berjalan kaki dengan aman dan nyaman. Bukan untuk jualan.
Sebenarnya setiap individu telah mengetahui fungsi dari
trotoar. Namun yang diperlukan adalah kesadaran dari dalam diri
sendiri bahwa trotoar adalah fasilitas yang hanya dapat digunakan
oleh pejalan kaki, bukan jalur untuk sepeda motor, parkiran atau
bahkan berjualan.12
3. Tinjauan Umum Pasar Tradisional
a) Pengertian dan Perkembangan Pasar
Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual
dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual dan
pembeli secara langsung, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios
atau gerai, los, dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual
maupun suatu pengelola pasar. Seiring dengan perkembangan
jaman, pasar mengalami perkembangan baik secara fisik
(bangunan) dan non fisik (pelayanan). Pasar berkembang menjadi
sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi karena faktor modernisasi.
Istilah pasar tradisional dan pasar modern pun muncul
kepermukaan. Keberadaan pasar yang kumuh, becek dan sempit
mulai terlupakan dengan kehadiran pasar modern di tengah –
tengah masyarakat.
Pasar modern adalah pasar yang dikelola oleh manajemen
modern, umumnya terdapat di perkotaan, sebagai penyedia barang
dan jasa dengan mutu dan pelayanan yang baik kepada konsumen.
12Laskar Pemuda, http://laskarpemudastan.blogspot.com/2017/02/makalah-ketika-trotoar-beralih-
fungsi.html?m=1, di akses tanggal 23 desember 2018
29
Di pasar modern, penjual dan pembeli tidak bertransaksi secara
langsung melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum
dalam barang (barcode), berada dalam bangunan, dan
pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani
oleh pramuniaga. Pasar modern antara lain supermarket, mall, mini
market, shopping centre, department store, dan sebagainya. Barang
yang di jual memiliki variasi jenis yang beragam dan mempunyai
kualitas yang relatif lebih terjamin karena melalui penyeleksian
terlebih dahulu secara ketat. Secara kuantitas, pasar modern
umumnya mempunyai barang persediaan di gudang yang terukur.
Dari segi harga, pasar modern memiliki label harga yang pasti
(tercantum harga sebelum dan setelah pajak). Pasar modern juga
memberikan pelayanan yang baik dengan adanya alat pendingin
udara.13
b) Kondisi Pasar Tradisional
Saat ini ada lebih dari 13.000 pasar tradisional di Indonesia.
Disana berkumpul lebih dari 12,6 juta pedagang setiap harinya.
Jika setiap pedagang memiliki empat anggota keluarga, maka ada
sekitar 50 juta orang terkait pasar tradisional. Itu belum termasuk
pemasok dan konsumen yang bertransaksi di pasar tradisional itu.
Umumnya pasar tradisional dikunjungi oleh konsumen golongan
menengah ke bawah. Berbeda dengan supermarket, kebanyakan
pasar tradisional merupakan milik pemda. Pemda di Indonesia
umumnya memiliki Dinas Pasar yang menangani dan mengelola
pasar tradisional. Dinas ini mengelola pasar miliknya sendiri atau
bekerja sama dengan swasta.
Sudah menjadi kebiasaan bagi Dinas Pasar untuk
menentukan target penerimaan tahunan untuk setiap pengelola
13 Pariaman Sinaga, Penelitian Dampak Keberadaan Pasar Modern (Supermarket dan Hypermarket) Terhadap Usaha Ritel Koperasi/Waserda dan Pasar Tradisional, Jurnal Pengkajian
Koperasi dan UKM: nomor 1 tahun 1-2006, hal. 85
30
pasar, yang lazimnya meningkat setiap tahun. Kegagalan untuk
memenuhi target umumnya berdampak pada pergantian kepala
pengelola pasar. Karena itu, tidaklah mengherankan bila didapati
banyak kepala pasar yang lebih mencurahkan perhatian pada tugas
untuk memenuhi target pemungutan retribusi daripada upaya
pengelolaan pasar dengan baik.
Pemerintah seyogianya menyediakan dan memelihara
infrastruktur layanan yang memadai bagi para pengguna jasa,
yakni kenyamanan berdagang dan kebersihan lingkungan pasar.
Namun seperti banyak dikeluhkan pedagang, kasus pencurian
barang dagangan di kios dan kondisi pasar yang kotor dan kurang
sirkulasi udara telah menjadi kendala sehari-hari di pasar
tradisional. Keberadaan kumpulan PKL yang menjadi ”pasar
saingan” bagi pasar tradisional terdapat di hampir setiap lokasi
pasar tradisional. Para PKL yang menggelar dagangan di depan
pasar sampai bahu jalan seringkali menimbulkan kemacetan lalu
lintas dan turut menimbulkan kesemrawutan dan ketidaknyaman
berbelanja di pasar tradisional.
Pembenahan pasar tradisional perlu dilakukan, seperti yang
telah dilakukan oleh Pemerintah Thailand. Pasar sehat telah
diluncurkan oleh Menteri Kesehatan Masyarakat Thailand
bekerjasama dengan swasta sejak tahun 2002. Dengan tujuan
memberi kewenangan kepada pihak swasta dalam hal ini badan
pengembangan kota metropolitan Bangkok membangun secara
bertahap ribuan pasar tradisional menjadi pasar yang sehat.
Tujuannya yaitu untuk meningkatkan kualitas pasar sesuai dengan
undang-undang kesehatan. Berdasarkan standar dari Departemen
Kesehatan Thailand, pasar sehat mempunyai tiga kelompok
indikator yaitu: lingkungan sehat, makanan yang aman dan
perlindungan konsumen. Dan pada tahun 2004, 75 % pasar di Kota
31
Bangkok telah memenuhi syarat sebagai pasar sehat ( 1.138 dari
1.505 pasar).
Salah satu model pasar sehat yang sudah memperoleh
pengakuan dari Departemen Kesehatan Thailand adalah Rangsit
Healthy Market. Sejak berdirinya pasar Rangsit Market pada tahun
1973 merupakan pasar tradisional, dan walaupun dikelola dengan
manajemen modern, sifat tradisional masih dipertahankan mulai
dari bentuk bangunan, produk makanan tradisional, buah dan sayur
produk lokal. Pengelolaan ditangani sepenuhnya oleh swasta
dibawah pengawasan Departemen Kesehatan Thailand. Setiap
pasar harus memenuhi kriteria manajemen lingkungan sehat,
perlindungan konsumen, serta setiap pedagang mendapatkan
fasilitas air bersih dan pencegahan kecelakaan dan kebakaran
hanya dengan membayar 50 bath sehari.
Diantara berbagai kendala yang dihadapinya, pasar
tradisional tetap memiliki keunggulan dibanding pasar modern.
Yaitu adanya kepuasan psikologis yang didapat konsumen pasar
tradisional melalui proses tawar menawar dan potongan harga pada
pelanggan setia serta rasa kekeluargaan dengan saling bertegur
sapa. Selain itu juga terdapat item-item produk khas pasar
tradisional yang tak dapat disajikan di pasar modern, seperti
jajanan khas dan produk-produk agro yang masih fresh langsung
dari petani.14
c) Model Pengembangan Pasar Tradisional
Setelah usaha ritel kelas kakap saling tidak mau kalah
dalam mengembangkan bisnisnya di berbagai tempat, termasuk ke
wilayah permukiman melalui minimarket, tidak sedikit pengecer
atau toko kelontong yang omset penjualannya menurun dan banyak
14 Pariaman Sinaga, Penelitian Dampak Keberadaan Pasar Modern (Supermarket dan Hypermarket) Terhadap Usaha Ritel Koperasi/Waserda dan Pasar Tradisional, Jurnal Pengkajian
Koperasi dan UKM: nomor 1 tahun 1-2006, hal. 86-87
32
pasar tradisional mati karena ditinggalkan pembelinya. Dalam
kondisi seperti ini, dibutuhkan solusi bagi seluruh stakeholders
yang eksistensinya terancam oleh perkembangan pasar modern,
agar kepemilikan aset tidak lagi terpusat pada segelintir orang.
Berikut beberapa elemen yang berpengaruh dalam pengembangan
pasar tradisional, diantaranya yaitu:
1) Pemerintah
Pemihakan pemerintah kepada pedagang pasar
tradisional dapat diwujudkan dengan memberikan
kesempatan kepada pedagang pasar tradisional untuk
turut memetik keuntungan dari peluang pertumbuhan
permintaan masyarakat dan membantu mengantisipasi
perubahan lingkungan yang akan mengancam eksistensi
mereka, serta melibatkan pelaku ekonomi golongan
ekonomi lemah. Pemihakan kepada pedagang pasar
tradisional ini juga dapat dilakukan dengan membantu
memperbaiki akses mereka kepada informasi,
permodalan, dan hubungan dengan produsen atau
supplier (pemasok). Karena sifat pedagang pasar
tradisional yang umumnya lemah dalam banyak hal,
maka peran pemerintah lah untuk secara aktif
memberdayakan pedagang tradisional. Untuk itu,
diperlukan adanya regulasi yang secara tegas memihak
pasar tradisional dan mengendalikan pertumbuhan pasar
modern (retailer besar).
Kondisi yang tersingkap dalam studi penelitian
yang dilakukan oleh lembaga penelitian Smeru yang
dipublikasikan pada November 2007 menunjukkan
perlunya regulasi yang sistematis mengenai pasar
modern, termasuk yang menyangkut isu hak dan
tanggung jawab pengelola pasar dan pemda, dan juga
33
sanksi atas pelanggaran aturan tersebut. Baik pemerintah
pusat maupun daerah seyogianya bertindak tegas sesuai
aturan yang berlaku. Terlebih lagi, yang terpenting
adalah menjamin bahwa aturan tersebut dipahami oleh
para pemangku kepentingan. Pemerintah pusat dan
daerah harus memiliki mekanisme kontrol dan sistem
pemantauan untuk menjamin kompetisi yang sehat
antara pengusaha ritel modern dan pengusaha ritel
tradisional.
Regulasi yang memihak pasar tradisional
hendaknya mengandung unsur-unsur pembagian zona
usaha, jam buka, harga barang, dan jenis retailer. Zona
usaha antara pasar modern dan pasar tradisional perlu
ditentukan dalam jarak yang tidak merugikan pasar
tradisional. Ini tidak cukup hanya dengan menentukan
jalan mana yang boleh atau tidak boleh dijadikan lokasi
pasar modern, melainkan juga harus memperhitungkan
jaraknya dengan pasar tradisional yang sudah ada.
Aprindo pernah mengusulkan pembagian zona untuk
pendirian ritel. Zona ini mengambil titik tertentu sebagai
pusat. Misalnya, untuk zona pusat adalah Jembatan
Semanggi, Istana, dan Glodok, tergantung kesepakatan.
Di zona satu, misalnya, yang jaraknya 25 km dari pusat
hanya boleh berdiri ritel dengan luas maksimum 2.500
meter persegi; sedang zona dua, 25-40 km dari pusat,
hanya boleh berdiri ritel dengan luas 5.000 meter
persegi. Di luar zona satu dan dua baru boleh berdiri ritel
raksasa, hipermarket, yang luas lantainya lebih dari
5.000 meter persegi. Dengan demikian, dengan
sendirinya pendirian pasar modern baru perlu
34
memperhitungkan banyak hal terkait peraturan zonasi
ini.15
Akan tetapi usulan itu kurang didengar para
penentu kebijakan di daerah. Akibatnya, pasar modern
kini meruyak di mana-mana tanpa mengindahkan
ketentuan lokasi dan zona tadi. Adanya Keppres yang
mengatur pasar modern memang lebih memiliki daya
tekan dibandingkan dengan SK Menteri dan Perda.
Namun, Keppres tidak memuat sanksi pidana bagi pasar
modern bila terjadi pelanggaran terhadap peraturan
tersebut karena pemberlakuan sanksi dalam peraturan
presiden dianggap melanggar perundang-undangan
nasional. Dengan demikian, dibutuhkan undang-undang
di tingkat nasional yang lebih memiliki kekuatan hukum
dan ketegasan penegakan hukum dalam
pelaksanakannya.
Jam buka pasar modern dan jenis usaha pasar
modern juga perlu ditentukan, agar keberadaannya tidak
menyebabkan perpindahan pembeli dari pasar
tradisional ke pasar modern. Selain itu, yang terpenting
adalah harus ada perbedaan harga barang antara pasar
tradisional dan pasar modern.
Selama ini, harga-harga di pasar modern,
terutama untuk barang kebutuhan pokok, tidak jauh
berbeda dengan harga-harga di pasar tradisional dan
dengan kualitas yang tak jarang jauh lebih tinggi.
Bahkan harga beberapa barang di pasar modern, seperti
gula pasir dan minyak goreng kemasan malah cenderung
15 Pariaman Sinaga, Penelitian Dampak Keberadaan Pasar Modern (Supermarket dan
Hypermarket) Terhadap Usaha Ritel Koperasi/Waserda dan Pasar Tradisional, Jurnal Pengkajian
Koperasi dan UKM: nomor 1 tahun 1-2006, hal. 86
35
lebih murah daripada di pasar tradisional, karena pasar
modern memperoleh barang dari distributor yang
tingkatannya lebih tinggi daripada distributor yang
menyalurkan barang yang sama ke pasar tradisional. Hal
ini menyebabkan konsumen dengan sendirinya lebih
memilih berbelanja di pasar modern daripada di pasar
tradisional. Untuk itu, diperlukan adanya regulasi yang
mengatur harga barang di pasar tradisional dan pasar
modern. Strategi yang dapat digunakan untuk mengatur
harga barang antara lain dengan mewajibkan selisih
harga dan peraturan perpajakan.
Dengan harga yang relatif sama dan produk yang
seragam, maka terjadi rebutan konsumen antara pasar
modern dan pasar tradisional. Karenanya, dalam
peraturan perpajakan perlu disusun regulasi yang lebih
ketat. Harga produk di pasar modern tidak boleh sama
atau lebih murah daripada harga barang sejenis di pasar
tradisional, sehingga pasar modern tidak bisa menekan
harga di tingkat pemasok lokal maupun menarik
konsumen dari kalangan menengah kebawah. Untuk
mempertahankan agar harga di pasar modern tetap
tinggi, dapat digunakan instrumen pajak pertambahan
nilai bagi barang-barang di pasar modern. Sedangkan
retribusi di pasar tradisional harus lebih efisien dan
berdaya guna.16
Dengan membayar berbagai retribusi di pasar
tradisional, sudah sewajarnya apabila para pedagang
mendapatkan imbalan nyata, yakni kenyamanan
16 Pariaman Sinaga, Penelitian Dampak Keberadaan Pasar Modern (Supermarket dan
Hypermarket) Terhadap Usaha Ritel Koperasi/Waserda dan Pasar Tradisional, Jurnal Pengkajian
Koperasi dan UKM: nomor 1 tahun 1-2006, hal. 88
36
berdagang dan kebersihan lingkungan pasar. Seperti
banyak dinyatakan para pedagang, kasus pencopetan,
pencurian barang dagangan di kios dan kondisi pasar
yang kotor dan becek merupakan kejadian dan potret
sehari-hari. Keadaan ini boleh jadi dipicu oleh minimnya
dana perangsang peningkatan pelayanan. Di Depok,
misalnya, dari total retribusi yang diterima dan disetor
ke pemda, hanya 5% saja yang dikembalikan untuk uang
perangsang peningkatan pelayanan. Dana perangsang itu
tidak memadai untuk peningkatan pelayanan, termasuk
perawatan infrastruktur pasar. Perda yang menjadi acuan
penting sistem pengelolaan retribusi seyogianya tidak
hanya mengatur jumlah dan proses penarikan retribusi,
tapi juga mengatur secara tegas penyediaan layanan bagi
para pedagang. Dengan demikian, selain menjadi acuan
hukum, perda tersebut akan menjamin bahwa
penanganan retribusi menjadi bersifat integral dengan
pengelolaan infrastruktur pasar dan penyediaan layanan
imbal balik bagi pedagang.
2) Pengelola Pasar
Seiring dengan pembentukan regulasi-regulasi
ini, pemerintah perlu mendukung strategi pemasaran
pasar tradisional dengan membenahi aspek fisik dan
manajemen pengelolaan pasar tradisional secara lebih
profesional, karena dengan meningkatnya persaingan di
bisnis ritel, ada beberapa hal yang harus menjadi
landasan bagi pembuat kebijakan untuk menjaga
kelangsungan hidup pasar tradisional. Pertama,
memperbaiki sarana dan prasarana pasar tradisional.
Masalah keterbatasan dana dapat diatasi dengan
melakukan kerja sama dengan pihak swasta seperti pasar
37
tradisional di Bumi Serpong Damai. Konsep bangunan
pasar harus diperhatikan, sehingga permasalahan seperti
konsep bangunan yang tidak sesuai dengan keinginan
penjual dan pembeli dan kurangnya sirkulasi udara tidak
terulang kembali. Kedua, melakukan pembenahan total
pada manajemen pasar. Kepala pasar yang ditunjuk
harus memiliki kemampuan dan kepandaian manajerial.
Ketiga, mencari solusi jangka panjang mengenai PKL
yang salah satunya adalah menyediakan tempat bagi
PKL di dalam lingkungan pasar.17
Sedangkan temuan studi penelitian yang
dilakukan Lembaga Penelitian Smeru (November 2007)
merekomendasikan kebijakan dalam rangka menjamin
berkembangnya pasar tradisional, berkisar pada upaya
peningkatan daya saing pasar tradisional. Salah satu
rekomendasinya adalah perbaikan infrastruktur yang
mencakup terjaminnya kesehatan yang layak,
kebersihan yang memadai, cahaya yang cukup, dan
keseluruhan kenyamanan lingkungan pasar. Pemda dan
pengelola pasar tradisional harus secara nyata
berinvestasi pada perbaikan pasar tradisional dan
menetapkan standar layanan minimum. Ini tentu juga
berimplikasi pada penunjukkan orang-orang yang tepat
sebagai pengelola dan memberikan kewenangan yang
cukup untuk mengambil keputusan sehingga mereka
tidak hanya bertindak sebagai pengumpul retribusi. Juga
penting untuk meningkatkan kinerja pengelola pasar
17 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, “Saran Pertimbangan terhadap Rancangan Peraturan
Presiden tentang Penataan dan Pembinaan Usaha Pasar Modern dan Usaha Toko Modern”,
www.kppu.go.id, di akses tanggal 27 Desember 2018
38
melalui pelatihan atau evaluasi berkala. Lebih lanjut,
pengelola pasar harus secara konsisten melakukan
koordinasi dengan para pedagang untuk mencapai
pengelolaan pasar yang lebih baik.
Hal yang tidak kalah penting adalah
pengembangan sumber daya manusia pengelola pasar
tradisional. Konsep manajemen pasar tradisional saat ini
yang mengedepankan income-sentris oleh para kepala
pasar, harus diubah dengan menyeimbangkan antara
pemberian pelayanan yang baik kepada komunitas pasar,
baik itu pemasok, pedagang, pembeli maupun pihak-
pihak lain yang memanfaatkan jasa pasar. Kepala pasar
selain sebagai penarik retribusi, harus mampu sebagai
konsultan bisnis. Artinya, ketika para pedagang
mengalami kesulitan dalam usaha, ia dapat memberikan
bantuan pemikiran.
3) Supplier
Ditinjau dari sisi lain, keberadaan ritel modern
sebenarnya telah mematikan usaha kecil, baik petani
kecil, peternak atau usaha-usaha kecil lainnya. Karena
memakai logika pasar dalam kapitalisme maka
persaingan menjadi hal yang wajib hukumnya. Petani
kecil akan tergantung (kalau tidak mau terlindas) oleh
tengkulak atau bandar yang menjadi pemasok retail
tersebut untuk hasil-hasil pertanian. Demikian juga di
usaha-usaha kecil lainnya mengalami hal serupa. Karena
tergantung maka nilai harganya tidak memiliki harga
tawar dan lebih dipatok oleh pemasok tersebut. Usaha-
usaha kecil yang tidak bisa masuk dalam retail modern
akan mati dengan sendirinya, karena tidak ada ruang
untuk pasar tradisional.
39
Terkait dengan produsen pemasok, pedagang
pasar tradisional perlu dibantu dalam mengefisienkan
rantai pemasaran untuk mendapatkan barang
dagangannya. Pemerintah dapat berperan sebagai
mediator untuk menghubungkan pedagang pasar
tradisional secara kolektif kepada industri untuk
mendapatkan akses barang dagangan yang lebih murah.
Alternatif lain adalah memajukan kerjasama
untuk membangun pola hubungan saling
menguntungkan antara organisasi massa petani atau
penghasil produksi kecil bekerja sama dengan pengelola
pasar tradisional. Organisasi petani atau penghasil
produksi bisa menjual hasil produksi dengan harga yang
relatif lebih rendah dari harga pasar modern, sementara
pasar tradisional bisa mendapatkan harga lebih murah
yang dapat dinikmati anggotanya bahkan masyarakat
sekitar. Keuntungan ini didapat dari hasil memangkas
biaya yang selama ini dipakai untuk tengkulak, bandar
maupun pemasok-pemasok. Hal lainnya adalah
transportasi akan lebih murah dan kepastian
konsumennya terjamin. Untuk itu tingkat rutinitas dan
kualitas penyediaan barang kebutuhan serta tata kelola
manajemen di masing-masing organisasi harus
disiapkan dengan matang. Konsep ekonomi inilah yang
merupakan cikal-bakal dari ekonomi kerakyatan yang
disandarkan pada kekuatan masing-masing kelompok
dan kebutuhannya, sehingga nafsu serakah dan produksi
yang berlomba tidak akan lagi terjadi.18
18 Ary Andika Putera, “Makalah Pasar Tradisional dan Pasar”,
https://aryandikaputera.blogspot.com/2016/09/makalah-pasar-tradisional-dan-pasar.html?m=1,
diakses tanggal 27 Desember 2018.
40
4) Konsumen
Perlu dipahami bahwa pasar (market) selalu akan
terbagi atas beberapa segmen baik secara geografis,
demografis, psikologis, psikografis, maupun
sosiokultural. Setiap segmen pelanggan memiliki pola
perilaku yang berbeda satu sama lain. Dari perspektif ini,
pasar tradisional memiliki berbagai keunggulan yang tak
kalah dengan pasar modern. Pasar tradisional merupakan
gambaran sosial, ekonomi, teknologi, politik, agama,
struktur sosial, kekerabatan masyarakat yang ada di
sekitarnya.
Budaya dan perilaku konsumen Indonesia yang
gemar tawar-menawar adalah faktor penting yang
bahkan bisa dikatakan sebagai keunggulan kompetitif
dari pasar tradisional, sebab hal ini hampir tidak
mungkin diterapkan oleh ritel-ritel modern. Keunggulan
lain adalah kedekatan antara penjual dan pembeli yang
biasanya ada di ritel tradisional jarang ditemukan pada
ritel modern sekalipun mereka seringkali mengatasi
dengan database pelanggan namun tidak terasa alami
sebagaimana hubungan yang dibangun antara penjual-
pembeli di pasar tradisional. Persepsi pelanggan
mengenai harga pasar tradisional yang lebih murah juga
menjadi faktor lain, belum lagi di pasar tradisional
pelanggan bisa membeli sesuai jumlah (minimum) yang
diperlukan sementara di ritel modern sudah dikemas
dengan ukuran-ukuran standar.
Lebih lanjut, jika pembedaan produk dan harga
antara pasar modern dan pasar tradisional telah
dilakukan, maka masyarakat akan memiliki pilihan
antara berbelanja di pasar modern yang berkualitas
41
impor dan berprestise tinggi tapi mahal, atau berbelanja
di pasar tradisional yang murah. Dilihat dari psikologi,
pendapatan, dan kebiasaan berbelanja masyarakat,
masyarakat kalangan menengah keatas akan memilih
berbelanja di pasar modern, sedangkan bagi mayoritas
masyarakat Indonesia yang berekonomi lemah tersedia
pasar tradisional. Tentu saja kebijakan ini harus pula
disertai dengan upaya untuk meningkatkan kualitas
produk lokal dan pengembangan teknologi dalam negeri,
agar kualitas produk yang dijual di pasar tradisional bisa
bersaing dengan produk yang dijual di pasar modern.
Pasar tradisional yang dikelola dengan baik juga
bisa memiliki daya tarik sebagai tempat tujuan wisata,
karena memiliki unsur alam, budaya, dan sifatnya yang
unik dan khas. Daya tarik wisata ini juga bisa diperoleh
dari makanan dan cinderamata khas daerah. Beberapa
pasar tradisional yang berhasil eksis dengan
memanfaatkan daya tarik wisatanya antara lain Pasar
Kuin (pasar apung) di Banjarmasin, Pasar Klewer di
Solo, dan Pasar Sukawati di Bali.
Tujuan akhir dari penyusunan model
pengembangan pasar tradisional ini diharapkan dapat
memperkuat pasar tradisional untuk bertahan dalam
persaingan dengan pasar modern. Dengan image harga
barang yang lebih murah, kualitas produk yang tak
kalah, manajemen pengelolaan yang profesional, dan
pendekatan psikologis, pasar tradisional akan memiliki
bargaining position yang seimbang dengan pasar
modern di mata masyarakat serta memperbesar
42
potensinya sebagai roda penggerak perekonomian
Indonesia.19
4. Teori Maslahah Mursalah
a) Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah secara istilah terdiri dari dua kata yaitu
maslaha dan mursalah. Kata maslahah menurut bahasa artinya
“manfaat” dan kata mursalah berarti “lepas”. Seperti dikemukakan
Abdul wahab kallaf berarti sesuatu yang dianggap maslahat namun
tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak ada
pula dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang
menolaknya.20
Maslahah mursalah (kesejahteraan umum) yakni yang
dimutlakkan (maslahah yang bersifat umum), menurut istilah
ulama ushul yaitu maslahah dimana syar’i tidak mensyariatkan
hukum untuk mewujudkan maslahah itu, juga tidak terdapat dalil
yang menunjukan atas pengakuannya atau pembatalannya.
Imam Malik sebagaimana dinukilkan oleh imam syatibi
dalam kitab al-I’tisham mendefinisikan maslahah mursalah adalah
suatu maslahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil
syara’, yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik
yang bersifat dharuriyah (primer) maupun hajjiyah (sekunder). 21
Sejalan dengan pengertiannya, maka syarat umum
maslahah mursalah adalah ketika tidak ditemukan nash sebagai
bahan rujukan. Selanjutnya Imam Malik mengajukan syarat-syarat
khususnya yaitu:22
19 Ary Andika Putera, “Makalah Pasar Tradisional dan Pasar”,
https://aryandikaputera.blogspot.com/2016/09/makalah-pasar-tradisional-dan-pasar.html?m=1,
diakses tanggal 27 Desember 2018.
20Satria Efendi,Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 148
21 Abu Ishak asy-Syāthibi, Al-I’tisham Jilid II (Beirut; Dār al-Ma’rīfah, 1975), h. 39. 22 Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), CetI, Jilid II, h. 340
43
1) Adanya persesuaian maslahat mursalat yang dipandang
sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-
tujuan syari’at (maqhasid as-syari’ah). Dengan adanya
persyaratan ini berarti maslahah tidak boleh menegaskan
sumber dalil-dalil lain, atau bertentangan dengan dalil
qat’iy. Akan tetapi harus sesuai dengan maslahat-
maslahat yang memang ingin diwujudkan oleh syar’i.
Misalnya, jenis masalah itu tidak asing meskipun tidak
diperlukan adanya dalil khas.
2) Maslahat itu harus masuk akal (rationable), mempunyai
sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional,
dimana seandainya diajukan kepada kelompok rasionalis
akan dapat diterima.
Syarat syarat diatas adalah syarat yang masuk akal yang
dapat mencegah penggunaan sumber dalil ini (maslahah mursalah)
terserabut dalam akarnya (menyimpang dari esensinya) serta
mencegah dari menjadikan nash-nash tunduk kepada hukum-
hukum yang dipengaruhi hawa nafsudan syahwat dengan maslahah
mursalah.
b) Dasar Hukum Maslahah Mursalah
Ada beberapa dasar hukum atau dalil mengenai berlakunya
atau dalil yang berkaitan diberlakukannya teori Maslahah
Mursalah diantarnya:23
1) Al Quran
Di antara ayat – ayat yang dijadikan dasar
berlakunya maslahah mursalah adalah firman Allah
SWT.
وما أرسلناك إال رحمة للعالمين
23 Abdul Wahab Khalaf, Kaedah-Kaedah Hukum Islam, (kairo: 1942) hal. 126
44
“Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk
menjadi rahmat bagi seluruh alam” (Q.S Al Anbiya :
107)
ي يا أي ها الن اس قد جاءتكم موعظة من ربكم وشفاء لما ف
دور وهدى ورحمة للمؤمنين الص
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu
pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-
penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Q.S Yunus:
57)
2) Hadist
Hadist yang di kemukakan sebagai landasan syar’i
atas kehujatan masalahah mursalah adalah sabda Nabi
SAW
“Tidak boleh berbuat madhorot dan saling
memadhorotkan”
(H.R Ibnu Majah dan Daruquthni dan lainnya hadist ini
berkualitas hasan)
3) Perbuatan Para Sahabat dan Ulama Salaf
Dalam memberikan contoh maslahah mursalah para
sahabat seperti Abu bakar As Shidiq, Uamar Bin Khatab
dan Para Imam Madzahib telah mensyariatkan aneka
ragam hukum berdasarkan prinsip maslahah mursalah.
Disamping dasar-dasar hukum tersebut kehujahan
maslahah mursalah didukung dengan dalil-dalil aqliyah
(alasan rasional) sebagaimana dikemukakan oleh Abdul
Wahab Kholaf dalam kitabnya Ilmu Ushulil Fiqh bahwa
kemaslahatan manusia itu selalu aktual yang tidak ada
habisnya, karenanya, jika tidak ditemukan syariat
45
hukum yang berdasarkan maslahah manusia yang
berkenaan dengan maslahah baru yang terus
berkembang dan pembentukan hukum hanya
berdasarkan prinsip maslahah yang mendapakan syar
saja, maka pembentukan hukum akan berhenti dan
kemaslahatan yang dibutuhkan manusia di setiap masa
dan tempat akan terabaikan.
Para Ulama yang menjadikan maslahah mursalah
sebagai dalah satu dalil syara menyatakan bahwa dalil
hukum maslahah mursalah adalah:
a. Persoalan yang dihadapi manusia selalu
bertumbuh dan berkembang demikian pula
dengan kepentingan dan keperluan hidupnya.
b. Sebenarnya para sahabat, para tabi’in, thabi’I
thabi’in dan para alim ulama yang datang
sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga
mereka dapat segera menetapkan sesuai dengan
kemaslahatan kaum muslimin pada masa itu.
c) Macam-macam Maslahah Mursalah
Ulama ushul membagi maslahah dilihat dari kepentingan
kemaslahatan kepada tiga bagian yaitu :24
1) Maslahah Dharuriyah
Maslahah ini merupakan sebuah kemaslahatan yang
mendukung untuk tetap tegaknya kehidupan manusia,
dengan kata lain kemaslahatan yang keberadaannya
sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia. Seperti
kebutuhan sandang, pangan dan papan, sifatnya primer
atau pokok jika salah satunya tidak terpenuhi maka akan
menimbulkan ketidak seimbangan hidup.
24 Zurifah nurdin, Ushul fiqih 1, (Jakarta : Pustaka Setia 2012) Hal : 57
46
2) Maslahah Hajjiyah
Maslahah ini adalah maslahah untuk menghilangkan
kesukaran pada hidup manusia. Jika kemaslahatan ini
tidak dapat terpenuhi maka tidak akan menghilangkan
lima prinsip diatas. Namun manusia hanya akan
mengalami kesulitan saja karena maslhah ini sifatnya
sekunder bukanlah primer. Seperti kebutuhan kendraan
bermotor sebenarnya tanpa kendaraan bermotor kita
masih dapat melakukan perjalanan dengan berjalan,
namun adanya kendaraan bermotor mempermudah
perjalanan.
3) Masalah Tahsiniyah
Maslahah ini adalah bertujuan memberi kesempurnaan
dan keindahan bagi hidup manusia, maslahah ini juga
sangat berkaitan dengan lima prinsip di atas. Namun
hanya sebatas memperindah dan menyempurnakannya
dan untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia itu sendiri.Seperti berpakaian yang rapi dan
suci saat beribadah merupkan kebutuhan manusia untuk
mendekatkan diri kepada Allah S.A.W .
d) Syarat-syarat Maslahah Mursalah
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk
kemaslahatan, yaitu:25
1) Adanya persesuaian antara maslahat yang dipandang
sebagai sumber dalil dengan yang terdiri dari tujuan
syara.
2) Maslahat itu harus masuk akal, mempunyai sifat-sifat
yang sesuai dengan pemikiran yang rasional, dimana
apabila diajukan masih dapat diterima.
25 Zurifah nurdin, Ushul fiqih 1, (Jakarta : Pustaka Setia 2012) Hal : 61
47
3) Pengguna dalil maslahah ini dalam rangka
menghilangkan kesulitan yang terjadi, seandainya
maslahat itu dapat diterima akal tidak diambil maka itu
akan mempersulit kehidupan manusia.
4) Harus benar-benar membuahkan maslahah. Maksudnya
agar dalam pembentukan sebuah hukum dapat
mendatangkan maslahah dan menolak kemudharatan.
5) Maslahat itu sifatnya umum bukan dari perseorangan,
maksudnya ialah bahwa dalam kaitan pembentukan
hukum atas suatu kejadian atau masalah dapat
menimbulkan kemaslahatan yang bisa dinikmati banyak
umat.
6) Pembentukan hukum ini tidak menyalahi atau
berlawanan dengan aturan hukum yang berlaku dengan
tata hukum atau nash dan ijma’
Lima syarat diatas tersimpul dalam lima jaminan dasar
kemaslahatan manusia sebagai berikut:
1) Keselamatan Keyakinan agama
2) Keselamatan Jiwa
3) Keselamatan Akal
4) Keselamatan Keluarga dan Keturunan
5) Keselamatan Harta benda
e) Kedudukan Maslahah Mursalah Sebagai Dalil Hukum Syara
Karena tidak adanya dalil petunjuk khusus dalam nash atau
ijma’ yang memandangnya, ulama berbeda pendapat dalam
menempatkannya sebagai dalil hukum syara’. Ulama Malikiyah
menempatkannya sebagai dalil hukum dengan alasan bahwa ia
adalah maslahat dan tidak ada pula petunjuk khusus yang
menolaknya. Kelompok yang membolehkan ini melandaskan
pendapatnya pada dalil al-Qur’an maupun hadits Nabi. Kelompok
48
ini juga mengemukakan beberapa syarat untuk menerimanya.
Syarat-syarat itu sebagai berikut:
1) Maslahah mursalah itu adalah maslahah yang hakiki dan
bersifat umum dan dapat diterima oleh akal sehat.
2) Yang dinilai akal sehat sebagai maslahat itu betul-betul
sejalan dengan tujuan Allah dalam menetapkan hukum.
3) Yang dinilai akal sehat sebagai suatu maslahat yang
sejalan dengan tujuan Allah dalam menetapkan hukum
itu tidak berbenturan dengan nash yang telah ada.
4) Maslahat mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang
memerlukan dalam arti kalau tidak ditempuh akan
mendatangkan kesulitan dalam kehidupan.26
f) Kuhujjahan Maslahah Mursalah
Menurut ulama-ulama terkemuka, bahwa maslahah
mursalah itu merupakan hujjah syariah. Di atasnya itu dibina
syari’at hukum. Masalah-masalah yang tidak diatur oleh hukum,
baik yang berdasarkan nash, ataupun ijma’, qiyas, atau istihsan,
dalam hal ini orang mensyariatkan hukum yang mengatur
maslahah mutlak. Tidak menghentikan tasyri’ hukum dibina di
atas maslahah ini untuk mengadakan saksi tasyri’ dengan
penjelasannya. Dalil-dalil yang dikemukakan orang dalam masalah
ini ada dua, yaitu:27
1) Memperbaharui kemaslahatan masyarakat dan tidak
mengadakan larangan-larangan. Kalau tidak
disyariatkan hukum maka dengan apa orang
mengadakan, mengembangkan dan mempersempit
memelihara keselamatan orang menurut perkembangan
masa. Dan mengenai kemungkinan-kemungkinan yang
26 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana Prenada Group, 2012), hal.
66-67 27 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu ‘Usul Fikh, ter. Halimuddin (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 99-
100
49
mungkin timbul. Mendirikan tasyri’ dalam lalu lintas
perkembangan masyarakat. Ada hal-hal yang tidak
disepakati dan tidak diinginkan oleh syari’ dalam
menetapkan kemaslahatan masyarakat.
2) Ketetapan tasyri’ sahabat tabi’in. Begitu juga imam-
imam mujtahid. Nyatanya mereka mensyari’atkan
hukum untuk menetapkan secara mutlak kemaslahatan
masyarakat. Bukan hanya sekedar untuk mengadakan
saksi dengan keterangan-keterangan yang
diberikannya. Abu Bakar mengumpulkan benda-benda
yang bertuliskan al-Qur’an. Dia juga memerangi orang-
orang yang enggan membayar zakat.
49
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Menurut Sugiyono, metode penelitian pada dasarnya merupakan cara
ilmiyah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.
Berdasarkan hal tersebut terdapat empat kata kunci yaitu cara ilmiyah, data
dengan tujuan dan kegunaan.28 Penelitian sendiri memiliki makna yang cukup
luas, penelitian adalah suatu proses pengumpulan data yang secara sistematis
atau terarah, dengan menggunakan metode ilmiah, baik bersifat kualitatif
maupun kuantitatif eksperimental.29 Penelitian ini termasuk jenis penelitian
lapangan atau disebut dengan penelitian empiris yaitu sebuah penelitian yang
berfokus meneliti suatu fenomena atau keadaan di lapangan dari objek
penelitian secara detail dengan menghimpun kenyataan yang terjadi serta
mengembangkan konsep yang ada.30
28 Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. (Bandung : Alfabeta 2013)h.2 29 Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan ,(Bandung : Rosda Karya 2011)h.5 30 Amirudin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,(Jakarta : Raja Grafindo
2004)h.15
50
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian merupakan metode yang di lakukan seseorang
dalam sebuah penelitian, dari berbagai macam metode pendekatan penelitian
penulis ingin menggunakan pendekatan penelitian deskriptif. Dimana peneliti
mendiskripsikan tentang objek dengan mencatat apa yang ada dalam objek
penelitian kemudian memasukkannya dengan sumber data yang ada dalam
objek penelitian kemudian memasukannya dengan sumber data yang ada dalam
objek penelitian.31
Jadi jenis penilitian yang akan digunakan oleh peneliti adalah penelitian
kualitatif dengan pendekatan deskriptif.
C. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian adalah tempat dimana pengambilan beberapa semple
penelitian diambil untuk memperoleh data-data yang diperlukan. Adapun
lokasi penelitian ini berada di Dinas Perdagangan Kota Malang yang bertempat
di jalan Simpang Terusan Danau Sentani No. 06, Kelurahan Madyopuro,
Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, Jawa Timur dengan kode pos
65139 merupakan Dinas yang menangani permasalahan-permasalahan yang
ada di lingkungan atau kawasan Pasar Gadang, karena Dinas Perdagangan Kota
Malang menaungi Pasar-pasar yang ada di wilayah Kota Malang.
Selain Dinas Perdagangan Kota Malang, penulis meneliti di loksi Pasar
Gadang yang beralamatkan di Jalan Pasar Gadang, Bumiayu, Sukun, Kota
Malang, Jawa Timur dengan kode pos 65149.
D. Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel merupakan sebuah metode yang sangat
penting dalam sebuah penelitian, karena sampel penelitian memegang
informasi utama (urgent) dalam penelitian.
31 Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, ( Jakarta : Rineka Cipta 2016) h.12
51
Metode pengambilan sampel (subyek) dalam penelitian ini
menggunakan metode non probabilitas atau non random, dimana metode ini
adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberikan kesempatan yang
sama pada anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel dengan cara
purposive sample, yaitu memilih sampel berdasarkan penilaian atau
pertimbangan tertentu, berdasarkan ciri atau sifat, serta karakteristik yang
mempunyai keterkaitan dengan obyek penelitian, berdasarkan pengetahuan
dan informasi yang dimilikinya.32
Pengambilan sampel dalam penelitian ini ditujukan bagi mereka yang
menguasai atau memahami sesuatu bukan sekedar mengetahui, tetapi juga
menghayatinya, yang tergolong masih berkecimpung atau terlibat pada
kegiatan yang tengah diteliti, dan tidak cenderung menyampaikan informasi
hasil ‘kemasannya’ sendiri. Sampel dipilih berfungsi untuk mendapatkan
informasi yang maksimum, bukan untuk digeneralisasikan. Atas dasar ini,
maka peneliti memilih meneliti di Dinas Perdagangan Kota Malang untuk
dijadikan sebagai informan.
E. Sumber Data
Data merupakan salah satu komponen riset, artinya tanpa data tidak
akan ada riset. Data yang akan dipakai haruslah data yang benar, karena data
yang salah akan menghasilkan informasi yang salah.
Yang dimaksud dengan sumber data adalah subyek dari mana data
diperoleh. Menurut Lofland sebagaimana dikutip oleh Lexy J.Moleong,
menyatkan bahwa sumber data yang utama dalam penelitian kualitatif yaitu
kata-kata dan tindakan selanjutnya adalah tambahan seperti dokumentasi dan
lain-lain. 33
Pengumpuln data bisa menggunakan sumber primer dan sekunder.
Sumber data primer adalah sumber pertama yang didapat dimana sebuah data
32Nasution, Metode Penelitian, 159. 33 Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif ( Bandung: Remaja Rosdakarya 2007).h34
52
dihasilkan. Dan sumber sekunder adalah sumber yang tidak langsung
memberikan data pada pengumpulan data.
1. Data Primer
Pengertian data primer menurut Umi Narimawati Data Primer
adalah data yang berasal dari sumber asli atau pertama. Data ini tidak
tersedia dalam bentuk terkompilasi ataupun dalam bentuk file-file. Data ini
harus dicari melalui narasumber atau dalam istilah teknisnya responden,
yaitu orang yang kita jadikan objek penelitian atau orang yang kita jadikan
sebagai sarana mendapatkan informasi ataupun data. 34 Sumber data primer
yang dilakukan peneliti yaitu dengan wawancara dan observasi lapangan di
Dinas Perdagangan Kota Malang. Dengan melibatkan Pengawas, Kepala
bidang, dan beberapa Staf yang berkaitan dengan perdagangan di kawasan
pasar Gadang Kota Malang.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari informasi yang
telah diolah pihak lain. Adapun data yang akan dikumpulkan dalam data ini
adalah data valid yang sesuai dengan fokus penelitian berdasarkan alat-alat
bantu seperti buku ajar, dan dokumen-dokumen resmi, merupakan bagian
dari data sekunder.35
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan data sekunder yang
berasal dari beberapa peraturan. Seperti Undang-undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Skripsi, Jurnal, dan beberapa
literature yang berkaitan tentang berjualan di atas trotoar.
F. Metode Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data kali ini peneliti menggunakan teknik
sebagai berikut:
1. Pengamatan (Observasi )
34 Umi Narimawati, Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif: Teori dan Aplikasi.( Jakarta:
Balai Pustaka2008).h98 35 Soerjono, Soekanto Pengantar Penelitian Hukum .( Jakarta: UI Press 1986) h.12
53
Prastowo dalam bukunya menjelaskan bahwa pengamatan (observasi)
merupakan pengamatan dan pencatatan serta sistematik terhadap suatu
gejala yang tampak pada objek penelitian. Penulis akan melakukan
pengamatan langsung pada Dinas Perdagangan Kota Malang untuk
memperoleh gambaran yang jelas. Serta mengambil data-data catatan
dan dokumen dari Dinas Perdagangan Kota Malang sebagai pelengkap
untuk membantu jalannya penelitian. 36
2. Wawancara (Interview)
Wawancara merupakan alat rechecking atau pembuktian terhadap
informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Teknik
wawancara digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah wawancara
mendalam. Wawancara mendalam sendiri adalah proses untuk
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya
jawab sambil bertatap muka pewawancara dengan informan atau orang
yang diwawancarai, dengan atau tanpa pedoman (guide) wawancara,
dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial
yang relatif lama37
3. Dokumentasi
Dokumen adalah rekaman peristiwa yang lebih dekat dengan
percakapan, menyangkut persoalan pribadi, dan memerlukan
interprestasi yang berhubungan sangat dekat dengan konteks rekaman
peristiwa tersebut. 38
Dari uraian diatas maka metode dokumentasi adalah pengumpulan data
dengan meneliti catatan-catatan penting yang memiliki kaitan dalam
obyek penelitian. Tujuannya untuk memperoleh data secara jelas dan
konkret tentang Berjualan di atas Trotoar.
G. Metode Pengolahan Data
36 Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan , (Jakarta : Ar ruzz media
2011).h.220 37Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif. (Surakarta:UNS Press2016)h.72 38 (Bungin,2007:142).
54
Miles dan Hubermen, mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis
data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-
menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh.39 Ukuran kejenuhan data
ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data atau informasi baru. Aktivitas
dalam analisis meliputi reduksi data (data reduction), penyajian data (data
display) serta Penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion
drawing/verification).
Menurut Miles dan Huberman ada tiga metode dalam analisis data
kualitatif, yaitu reduksi data, model data, penarikan/verifikasi kesimpulan:40
1. Reduksi Data
Reduksi data merujuk pada proses pemilihan, pemfokusan,
penyederhanaan, abstraksi, dan pentransformasian “data mentah” yang
terjadi dalam catatan-catatan lapangan yang tertulis. Sebagaimana kita
ketahui, reduksi data terjadi secara berkelanjutan melalui kehidupan
suatu proyek yang diorientasikan secara kualitatif. Faktanya, bahkan
“sebelum” data secara aktual dikumpulkan, reduksi data antisipasi terjadi
sebagaimana diputuskan oleh peneliti (sering tanpa kesadaran penuh)
yang mana kerangka konseptual, situs, pertanyaan penelitian, pendekatan
pengumpulan data untuk dipilih.41
Sebagaimana pengumpulan data berproses, terdapat beberapa
episode selanjutnya dari reduksi data (membuat rangkuman, pengodean,
membuat tema-tema, membuat gugus-gugus, membuat pemisah-
pemisah, menulis memo-memo). Dan reduksi data/pentransformasian
proses terus-menerus setelah kerja lapangan, hingga laporan akhir
lengkap.42
Reduksi data bukanlah sesuatu yang terpisah dari analisis, karena
merupakan bagian dari analisis. Pilihan-pilihan peneliti potongan-
potongan data untuk diberi kode, untuk ditarik keluar, dan rangkuman
39Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R dan D (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 91. 40Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 129-135. 41Emzir, Metodologi Penelitian, 129. 42Emzir, Metodologi Penelitian, 130.
55
pola-pola sejumlah potongan, apa pengembangan ceritanya, semua
merupakan pilihan-pilihan analitis. Reduksi data adalah suatu bentuk
analisis yang mempertajam, memilih, memokuskan, membuang, dan
menyusun data dalam suatu cara di mana kesimpulan akhir dapat
digambarkan dan diverifikasikan.
2. Model Data (Data Display)
Tahap ini peneliti banyak terlibat dalam kegiatan penyajian atau
penampilan (display) dari data yang dikumpulkan dan dianalisis
sebelumnya, mengingat bahwa peneliti kualitatif banyak menyusun teks
naratif. Display adalah format yang menyajikan informasi secara tematik
kepada pembaca. Menurut Miles dan Huberman dalam penelitian
kualitatif penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat,
bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya.43
Penelitian kualitatif biasanya difokuskan pada kata-kata,
tindakan-tindakan orang yang terjadi pada konteks tertentu. Konteks
tersebut dapat dilihat sebagai aspek relevan segera dari situasi yang
bersangkutan, maupun sebagai aspek relevan dari sistem sosial dimana
seseorang berfungsi (ruang kelas, sekolah, departemen, keluarga, agen,
masyarakat lokal), sebagai ilustrasi dapat dibaca Miles dan Huberman.44
Penyajian data diarahkan agar data hasil reduksi terorganisirkan,
tersusun dalam pola hubungan, sehingga makin mudah dipahami dan
merencanakan kerja penelitian selanjutnya. Pada langkah ini peneliti
berusaha menyusun data yang yang relevan sehingga menjadi informasi
yang dapat disimpulkan dan memiliki makna tertentu. Prosesnya dapat
dilakukan dengan cara menampilkan data, membuat hubungan antar
fenomena untuk memaknai apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang
perlu ditindaklanjuti untuk mencapai tujuan penelitian. Penyajian data
43Sugiyono, Metode Penelitian, 95. 44M.B Milles dan M.A Huberman, Qualitative Data Analysis (London: Sage Publication, 1984), h.
133.
56
yang baik merupakan satu langkah penting menuju tercapainya analisis
kualitatif yang valid dan handal.
3. Penarikan/Verifikasi Kesimpulan
Langkah selanjutnya adalah tahap penarikan kesimpulan
berdasarkan temuan dan melakukan verifikasi data. Seperti yang
dijelaskan di atas bahwa kesimpulan awal yang dikemukakan masih
bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti kuat
yang mendukung tahap pengumpulan data berikutnya. Proses untuk
mendapatkan bukti-bukti inilah yang disebut sebagai verifikasi data.
Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh
bukti-bukti yang kuat dalam arti konsisten dengan kondisi yang
ditemukan saat peneliti kembali ke lapangan maka kesimpulan yang
diperoleh merupakan kesimpulan yang kredibel.
Langkah verifikasi yang dilakukan peneliti sebaiknya masih tetap
terbuka untuk menerima masukan data, walaupun data tersebut adalah
data yang tergolong tidak bermakna. Namun demikian peneliti pada
tahap ini sebaiknya telah memutuskan antara data yang mempunyai
makna dengan data yang tidak diperlukan atau tidak bermakna. Data
yang dapat diproses dalam analisis lebih lanjut seperti absah, berbobot,
dan kuat sedang data lain yang tidak menunjang, lemah, dan
menyimpang jauh dari kebiasaan harus dipisahkan.
57
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Obyek Penelitian
Pasar Gadang terletak di Jalan Kolonel Sugiono dan merupakan salah
pasar tradisional yang ada di Kota Malang. Keberadaan pasar tersebut dinilai
sangat penting untuk meningkatkan pendapatan warga dan pemerintah kota
melalui pajak.
Pasar yang berposisi berdampingan dengan Terminal Gadang ini
beroperasi selama 24 jam, tidak heran kemudian angkutan kota selalu ada yang
pergi ke arah Gadang selama 24 jam pula. Aktivitas paling ramai justru terjadi
di malam hingga pagi hari karena di tempat ini banyak orang atau pedagang
mlijo yang kulakan barang di sana.
Memang, pasar yang didirikan pada tahun 1982 itu mempunyai barang
dagangan terutama sayuran, buah, dan daging yang lebih fresh dibandingkan
pasar lain. Hal yang sangat mungkin mengingat banyak sekali hasil bumi dari
Kabupaten Malang yang lebih dulu datang ke Pasar ini dibandingkan pasar
lain.
Pasar sebesar 3Ha ini, mempunyai fasilitas pendukung yang cukup
lengkap seperti kantor, penerangan, tempat parkir, dan gerobak sampah. .
58
Pedagang di pasar Gadang ini berasal dari daerah sekitar. Sebagian
besar pedagang adalah orang Madura dan sisanya merupakan orang Jawa.
Untuk menuju lokasi Pasar Gadang pun tidak sulit, pembeli atau pedagang bisa
mengunakan angkot, motor, ataupun mobil.45
Pada tahun 2013 Pasar Gadang direnovasi, renovasi itu menurut
Walikota yang masih menjabat saat itu yaitu Peni Suparto untuk menjadikan
pasar lebih tertata tanpa meninggalkan ketradisionalannya. Meskipun
mendapatkan demo dari masyarakat pedagang, peletakkan batu pertama tetap
dilaksanakan.
“Dengan akan dibangunnya Pasar Induk Gadang (PIG), pedagang dan
juga warga Kota Malang seharusnya berbangga, karena pasar ini nantinya akan
menjadi salah satu pasar induk atau pusat perbelanjaan yang bersih dan tertata.
Bagi para pedagang, hendaknya mendukung sepenuhnya pembangunan PIG
ini. Meski akan dibangun, akan tetapi nantinya pasar ini konsepnya akan tetap
sebagai pasar tradisional,” kata Peni.
Pembangunan yang diperkirakan selesai selama 18 bulan itu akhirnya
belum diselesaikan selama hampir tiga tahun hingga saat ini. Banyak pihak
yang kemudian memberikan sorotan terhadap kondisi mangkraknya
pembangunan di Pasar tersebut. 46
Salah satunya ibu Yayak penjual ayam di wilayah trotoar depan pasar
Gadang kota Malang, beliau sempat di janjikan memiliki tempat(lapak) di
dalam pasar induk gadang yang baru, namun sampai saat ini yang terbukti
masih bangunan mangkrak. Selain itu beliau masih menggantungkan nasib
dengan berjualan disekitaran pasar gadang dan membayar lampu Rp. 2.000,00
serta parkir Rp. 4.000,00 tiap harinya.47
Selain ibu Yayak, masih banyak yang lain yang mendapatkan nasib
sama. Penulis mendekati penjual jamur, nangka muda(tewel), dan tempe yang
45 Melati, wawancara, (Malang, 26 Desember 2018) 46 https://ngalam.co/2016/05/09/pasar-gadang-jualannya-lebih-fresh/, diakses tanggal 04 januari
2019
47 Yayak, wawancara, (Malang, 28 Desember 2018)
59
bernama bapak Iman. Beliau berjualan mulai pukul 15.00-24.00 WIB dengan
membayar penerangan serta karcis langsung dibulatkan Rp. 100.000,00 per
bulan dengan keterangan pemilik atau yang bertugas di pasar tersebut adalah
saudaranya sendiri. Sedangkan jika dibandingkan dengan ibu Yayak penjual
ayam tersebut ada selisih Rp. 80.000,00.48
Penjual yang punya lapak berbeda dengan para penjual yang ada di
wilayah trotoar pasar Gadang. Jika para penjual di wilayah trotoar
mendapatkan biaya karcis dan penerangan sebesar Rp. 6.000,00, penjual yang
memiliki lapak hanya membayar Rp. 2.000,00 karena para penjual di wilayah
trotoar langsung terkena dampak dari calon pembeli sebab di trotoar adalah
tempat yang sangat strategis buat berjualan. Namun, meskipun strategis di
wilayah tersebut dangatlah berbahaya karena sering terjadi kecelakaan para
pelapak tertabrak oleh kendaraan bermotor, karena para pelapak di wilayah
trotoar jika sudah malam hari bukan trotoar aja yang digunakan namun hingga
memakan jalan raya yang ada diwilayah pasar Gadang tersebut.49
B. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
1. Berjualan Di Atas Trotoar Di Wilayah Pasar Gadang Menurut UU
Nomor 22 Tahun 2009 Tetang Angkutan Jalan Dan Lalu Lintas
Di dalam peraturan perundang-undangan undang-undang nomor
22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan bahwa Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung
pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya
memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus
dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,
keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan
dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan
48 Iman, wawancara, (Malang, 28 Desember 2018)
49 Gilang Ramadhan, Ryanto, wawancara, (Malang, 28 Desember 2018)
60
wilayah. Jadi, di dlam peraturan ini semua aspek yang ada di sekitaran
jalan telah termaktup di dalamnya termasuk mengenai kegunaan trotoar.
Dalam pasal 45 ayat 1 berbunyi fasilitas pendukung
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. trotoar;
b. lajur sepeda;
c. tempat penyeberangan pejalan kaki;
d. halte; dan/atau
e. fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut.
Jadi, menurut pasal tersebut yang paling utama diadakan yaitu
trotoar karena letak trotoar di paling atas yaitu huruf “a” dalam
pengaplikasian fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan
angkutan jalan.
Penyediaan fasilitas-fasilitas pendukung (termasuk trotoar) di atas
diselenggarakan oleh pihak pemerintah bergantung pada jenis jalan tempat
trotoar itu dibangun yang termaktub dalam Pasal 45 ayat 2 yang meliputi:
a. Untuk jalan nasional, diselenggarakan oleh pemerintah pusat;
b. Untuk jalan provinsi, diselenggarakan oleh pemerintah provinsi;
c. Untuk jalan kabupaten dan jalan desa, diselenggarakan oleh
pemerintah kabupaten;
d. Untuk jalan kota, diselenggarakan oleh pemerintah kota;
e. Untuk jalan tol, diselenggarakan oleh badan usaha jalan tol.
Namun trotoar bukanlah tempat untuk berjualan melainkan hak
dari pejalan kaki sesuai dengan undang-undang nomor 22 tahun 2009
tentang lalu lintas dan angkutan jalan bagian ke enam mengenai hak dan
kewajiban pejalan kaki dalam berlalu lintas dalam pasal 131 angka 1 yagn
berbunyi “Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung
yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.” Lalu di
perkuat di dalam pasal 132 angka 1 pejalan kaki wajib untuk
mengggunakan bagian jalan yang yang diperuntukkan bagi pejalan kaki
atau jalan yang paling tepi.
61
Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 25 ayat (1) huruf h bahwa setiap
jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan
perlengkapan jalan, yang salah satunya berupa fasilitas pendukung
kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar
badan jalan. Ini artinya, sebagai salah satu fasilitas pendukung jalan,
trotoar juga merupakan perlengkapan jalan.
Masih berkaitan dengan trotoar sebagai perlengkapan jalan,
berdasarkan Pasal 28 ayat (2) Undang-undang yang sama berbunyi “Setiap
orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan
pada fungsi perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (1).” Maka dari itu, setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan.
Jika masih melakukan berjualan di atas trotoar menurut UU LLAJ
akan dikenakan sanksi antara lain, ada 2 (dua) macam sanksi yang dapat
dikenakan pada orang yang menggunakan trotoar sebagai milik pribadi
dan mengganggu pejalan kaki:
1. Ancaman pidana bagi setiap orang yang mengakibatkan gangguan
pada fungsi perlengkapan jalan adalah dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) (Pasal 274 ayat (2)
UU LLAJ); atau
2. Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan
gangguan pada fungsi Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat
Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas Pejalan Kaki, dan alat
pengaman Pengguna Jalan, dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00
(dua ratus lima puluh ribu rupiah) (Pasal 275 ayat (1) UU LLAJ).
Jadi, berjual di atas trotoar menurut undang-undang nomor 22
tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkuan jalan (UU LLAJ) tidak di
peruntukkan untuk berjualan karena trotoar tempat buat para pejalan kaki
bukan untuk berjualan di tepi jalan. Jika tetap digunakan untuk berjualan
62
maka dapat membahayakan para pengguna trotoar yang lain yaitu para
pejalan kaki yang melintas di trotoar tersebut.
2. Berjualan Di Atas Trotoar Di Wilayah Pasar Gadang Menurut
Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah merupakan sebuah metode penetapan hukum
yang tidak terdapat dalam dalil syara’ ( Al-quran dan Hadist ) dan bisa
dijadikan suatu maslahat bagi manusia. Artinya tidak lain bahwa
penetapan sebuah hukum hanya untuk sebuah kemaslahatan umat
manusia, yaitu menarik manfaat, menolak mudharat dan menghilangkan
kesulitan umat manusia. 50
Mengenai berjualan di atas trotoar di wilayah pasar tidak terdapat
dalam Al qur’an dan Al Hadist, namun dalam pelaksanaan jual beli sangat
dibutuhkan penentuan lokasi karena lokasi jual beli merupakan hal yang
pokok dalam untuk berlangsungnya jual beli, selain itu harus
memperhitungkan keselamatan para penjual maupun pembeli bentuk dari
perlindungan terhadap jiwa hifdzu nafs (menjaga jiwa) agar terhindar dari
kecelakaan maupun bahaya.
Adapun Maslahah Mursalah sendiri mempunyai dua bentuk yaitu:
a. منافع ال جلب (Membawa manfaat)
Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk umat
manusia. Kebaikan dan kesenangan itu ada yang langsung
dirasakan dan ada juga yang dirasakan di kemudian hari. Seperti
50 Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fikih , ( Jakarta : Pustaka Amani, 2003 )
63
orang yang kehausan sedang meminum air maka seketika itu
hausnya hilang. Namun juga ada yg merasakan di kemudian hari
seperti orang yang sedang sakit dan meminum obat
kemaslahatan obat tidak akan dapat dirasakan seketika namun
akan dirasakan di kemudian hari.
b. در أ المفا سد ) Menolak Kerusakan )
Menghidarkan umat manusia dari kemudhoratan dan kerusakan.
Kerusakan dan kemudharatan itu ada yang bisa secara langsung
dirasakan setelah melakukan perbuatan yang dilarang, ada juga
sesuatu yang dilakukan merupakan sesuatu yang menyenangkan
tapi setelah itu dirasakan akan menimbulkan kemudhorotan dan
kerusakannya. Seperti melakukan perbuatan zina, minum
khamer, Judi dan berbagai bentuk perbuatan yang dilarang
lainnya.51
Dua bentuk dari Maslahah Mursalah diatas akan kita jadikan
kacamata penelitian dan menjadi landasan dalam berjualan di atas trotoar
di kawasan Pasar Gadang Kota Malang. Adapun yang bisa dijadikan tolak
ukur manfaat dan madhratnya atau dari segi kepentingan kemaslahatan
bisa dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :52
a. Maslahah Dharuriyah
51 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2,(Jakarta Kencana: 2008) hal. 208 52 Zurifah nurdin, Ushul fiqih 1, (Jakarta : Pustaka Setia 2012) hal. 57
64
Maslahah ini merupakan sebuah kemaslahatan yang
mendukung untuk tetap tegaknya kehidupan manusia, dengan
kata lain kemaslahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan
oleh kehidupan manusia. Seperti kebutuhan sandang, pangan
dan papan, sifatnya primer atau pokok jika salah satunya tidak
terpenuhi maka akan menimbulkan ketidak seimbangan hidup.
b. Maslahah Hajjiyah
Maslahah ini adalah maslahah untuk menghilangkan
kesukaran pada hidup manusia. Jika kemaslahatan ini tidak
dapat terpenuhi maka tidak akan menghilangkan lima prinsip
diatas. Namun manusia hanya akan mengalami kesulitan saja
karena maslahah ini sifatnya sekunder bukanlah primer. Seperti
kebutuhan kendaraan bermotor sebenarnya tanpa kendaraan
bermotor kita masih dapat melakukan perjalanan dengan
berjalan, namun adanya kendaraan bermotor mempermudah
perjalanan.
c. Maslahah Tahsiniyah
Maslahah ini adalah bertujuan memberi kesempurnaan
dan keindahan bagi hidup manusia, maslahah ini juga sangat
berkaitan dengan lima prinsip di atas. Namun hanya sebatas
memperindah dan menyempurnakannya dan untuk menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia itu sendiri. Seperti
berpakaian yang rapi dan suci saat beribadah merupkan
65
kebutuhan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah
S.A.W .
Islam mengatur tata kehidupan manusia untuk mendapatkan
kebahagian baik hidup di dunia maupun akhirat nanti. Sehingga umat
muslim akan terdorong untuk selalu melaksanakan tindakan yang positif
dan bermanfaat bagi orang lain. Perbuatan yang baik ini menjadi kebiasaan
yang akan terus dilakukan dan diamalkan. Dari penjelasan diatas kita akan
membuat pembahasan terkait berjualan di atas trotoar di kawasan Pasar
Gadang Kota menurut pandangan Maslahah mursalah.
Berjualan di atas trotoar di kawasan Pasar Gadang Kota Malang
ditujukkan untuk kemaslahatan bersama dengan adanya penelitian tersebut
dapat meminimalisir terjadinya bahaya dalam berjualan di wilayah Pasar
Gadang tersebut. Meminimalisir bahaya ini merupakan konsep dasar
kemaslahatan dalam Islam. Di sinilah Maslahah mursalah tersebut menjadi
konsep dasar dari keselamtan para penjual dan pembeli.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk kemaslahatan,
yaitu:53
1. Adanya persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai
sumber dalil dengan yang terdiri dari tujuan syara.
2. Maslahat itu harus masuk akal, mempunyai sifat-sifat yang
sesuai dengan pemikiran yang rasional, dimana apabila
diajukan masih dapat diterima.
53 Zurifah nurdin, Ushul fiqih 1, (Jakarta : Pustaka Setia 2012) Hal. 61
66
3. Pengguna dalil maslahah ini dalam rangka menghilangkan
kesulitan yang terjadi, seandainya maslahat itu dapat diterima
akal tidak diambil maka itu akan mempersulit kehidupan
manusia.
4. Harus benar-benar membuahkan maslahah. Maksudnya agar
dalam pembentukan sebuah hukum dapat mendatangkan
maslahah dan menolak kemudharatan.
5. Maslahat itu sifatnya umum bukan dari perseorangan,
maksudnya ialah bahwa dalam kaitan pembentukan hukum
atas suatu kejadian atau masalah dapat menimbulkan
kemaslahatan yang bisa dinikmati banyak umat.
Pembentukan hukum ini tidak menyalahi atau berlawanan
dengan aturan hukum yang berlaku dengan tata hukum atau
nash dan ijma’.
Lima syarat diatas tersimpul dalam lima jaminan dasar
kemaslahatan manusia sebagai berikut:
1) Keselamatan Keyakinan agama.
2) Keselamatan Jiwa.
3) Keselamatan Akal.
4) Keselamatan Keluarga dan Keturunan.
5) Keselamatan Harta Benda.
Maslahah dharuriyah ini merupakan maslahah untuk menunjang
kebutuhan hidup manusia, jadi bisa dikatakan wajib hukumnya dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Dalam lima perinsip diatas terdapat Hifdzu
67
Nafs (Menjaga Jiwa) artinya setiap manusia diharapkan untuk dapat
menjaga dirinya sendiri maupun keluarganya dari marabahaya dan
keselamatan.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berjualan di atas trotoar di kawasan Pasar Gadang Kota Malang terjadi
karena dari berbagai macam alasan. Mulai dari faktor ekonomi, tidak
punya lahan untuk membuka lapak, hingga tidak punya lokasi yang
strategis buat mencari konsumen. Mereka mengambil jalan pintas
berjualan di kawasan Pasar Gadang karena disana adalah tempat yang
sangat strategis untuk mencari atau mendapatkan konsumen karena
disana pusat dari jual-beli di Kota Malang.
2. Berjualan di atas trotoar di kawasan Pasar Gadang Kota Malang
menurut Undang Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas
angkutan jalan ini masih belum terealisasi dengan semestinya, karena
masih kurangnya pemahaman kepada para penjual bahkan para
pemerintah terkait sebab di kawasan Pasar Gadang masih banyak yang
berjualan di wilayah trotoar bahkan di wilayah jalan rayanya apa lagi
jika masuk waktu tengah malam, jalan sampai tidak terlihat karena
sesaknya para penjual di kawasan jalan raya. Sedangkan di Undang
68
Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas angkutan jalan sudah
jelas menggunakan trotoar selain berjalan kaki itu dilarang keras hingga
tertera saksinya.
3. Berjualan itu halal, namun berjualan juga harus memperhatikan lokasi
untuk berjualan selain demi meraup rezeki harus diberhitungkan
masalah keselamatan dan keamana dalam berjualan. Menurut maslahah
mursalah berjualan di atas trotoar di kawasan Pasar Gadang Kota
Malang Hifdzu Nafs, memberikan kemaslahatan dan menolak
kemudharatan.
B. Saran
1. Semestinya pemerintah meningkatkan kebijakan yang diterapkan.
2. Semestinya pemerintah menindak tegas para oknum di kawasan Pasar
Gadang Kota Malang.
3. Semestinya pemerintah merealisasikan Pasar Induk Gadang baru, agar
tidak terjadi lagi jual beli di wilayah trotoar.
68
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku :
Amirudin, Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Raja
Grafindo 2004.
Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta
2010.
Asy-Syāthibi, Abu Ishak. Al-I’tisham Jilid II . Beirut : Dār al-Ma’rīfah, 1975.
Efendi, Satria. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana, 2005.
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta : Rajawali Pers,
2010.
Khairuddin. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Liberty, 2002.
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu ‘Usul Fikh, ter. Halimuddin. Jakarta: Rineka Cipta,
2005.
Milles dan M.A Huberman. Qualitative Data Analysis. London : Sage Publication,
1984.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
2007.
Narimawati, Umi. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif: Teori dan
Aplikasi. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Nurdin, Zurifah. Ushul fiqih 1. Jakarta : Pustaka Setia 2012.
Prastowo. Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan. Jakarta : Ar
ruzz media, 2011.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R dan D. Bandung :
Alfabeta, 2008.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta
2013.
Sukmadinata. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Rosda Karya 2011.
Sutopo. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press, 2016.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh jilid 2. Jakarta Kencana : 2008.
69
Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana Prenada
Group, 2012.
Yetty, Sardjono. Pergulatan Pedagang Kaki Lima di Perkotaan. Jakarta:
Muhammadiyah University Press, 2005.
Perundang-Undangan :
Keputusan Dirjen Bina Marga No.76/KPTS/Db/1999 tanggal 20 Desember 1999.
Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan
tanggal 22 juni 2009.
Petunjuk perencanaan trotoar, Ditjen Bina Marga, 1990, hal. 4 (No.
007/T/BNKT/1990).
Skripsi/Tesis/Disertasi/Jurnal :
Anna, Achmad , Mustika. “Pengaruh Keberadaan Parkir Dan Pedagang Kaki
Lima Terhadap Biaya Kemacetan Dan Polusi Udara di Jalan Kolonel
Sugiono Malang”. Malang : Universitas Brawijaya Malang, 2011.
Ari, Jordian. “Implementasi Pasal 3 Ayat 1 Peraturan Daerah Kota Malang
Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengaturan Dan Pembinaan Pedagang
Kaki Lima (Studi Di Dinas Pasar Kota Malang)”. Jurnal. Malang :
Universitas Brawijaya Malang, 2014.
Jumhur. Model Pengembangan Pedagang Kaki Lima (PKL) Kuliner Di Kota
Singkawang. Jurnal Ekonomi Bisnis dan Kewirausahaan. Singkawang:
Universitas Tanjungpura, 2015.
Mauliani, Lily. Kajian Jalur Pedestrian Sebagai Ruang Terbuka Pada Area
Kampus, Jurnal Arsitektur. Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta,
2013.
Sinaga, Pariaman. Penelitian Dampak Keberadaan Pasar Modern (Supermarket
dan Hypermarket) Terhadap Usaha Ritel Koperasi/Waserda dan Pasar
Tradisional. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM: nomor 1 tahun 1-2006.
70
Suhartono, Toni. “Variabel-variabel yang Mempengaruhi Pendapatan Pedagang
Kaki Lima (studi kasus di kecamatan Lowokwaru kota Malang)”. Skripsi.
Malang : Universitas Brawijaya Malang, 2016.
Kitab Suci :
Q.S Al Anbiya : 107.
QS: Al-Baqarah : 275.
QS: At-Taubah : 105.
Q.S Yunus : 57.
Wawancara :
Gilang Ramadhan. Wawancara. Malang. 28 Desember 2018.
Iman. Wawancara. Malang. 28 Desember 2018.
Melati. Wawancara. Malang. 28 Desember 2018.
Ryanto. Wawancara. Malang. 28 Desember 2018.
Yayak. Wawancara. Malang. 28 Desember 2018.
Website :
Ishaq, Hasan. “Pasar Gadang, Jualannya Lebih Fresh”.
https://ngalam.co/2016/05/09/pasar-gadang-jualannya-lebih-fresh/. diakses
tanggal 04 januari 2019.
Pemuda, Laskar. ”Makalah Ketika Trotoar Beralih Fungsi”.
http://laskarpemudastan.blogspot.com/2017/02/makalah-ketika-trotoar-
beralih-fungsi.html?m=1. di akses tanggal 23 desember 2018.
Putera, Ary Andika. “Makalah Pasar Tradisional dan Pasar”.
https://aryandikaputera.blogspot.com/2016/09/makalah-pasar-tradisional-
dan-pasar.html?m=1, diakses tanggal 27 Desember 2018.
Rizkiana, Dewi Khamala. “Ketika Trotoar Menjadi LahanRejeki”.
http://dewikhamalarizkiani.blogspot.com/2012/12/ketika-trotoar-menjadi-
lahan-rejeki.html?m=1. diakses tanggal 25 Desember 2018.
71
Usaha, Komisi Pengawas Persaingan. “Saran Pertimbangan terhadap Rancangan
Peraturan Presiden tentang Penataan dan Pembinaan Usaha Pasar
Modern dan Usaha Toko Modern”. www.kppu.go.id. di akses tanggal 27
Desember 2018.
72
LAMPIRAN-LAMPIRAN
73
74
75
76
INSTRUMEN WAWANCARA
BERJUALAN DI ATAS TROTOAR MENURUT UU NOMOR 22 TAHUN
2009 TENTANG ANGKUTAN JALAN DAN LALU LINTAS SERTA
MENURUT MASLAHAH MURSALAH (STUDI DI KAWASAN PASAR
GADANG KOTA MALANG)
1. Mengapa terjadi praktek penjualan di atas trotoar?
2. Bagaimana pelaksanaan penjualan di kawasan Pasar Gadang Kota Malang?
3. Bagaimana pengamanan di kawasan Pasar Gadang Kota Malang?
4. Bagaimana pertanggung jawaban jika terjadi kecelakaan di kawasan Pasar
Gadang Kota Malang?
5. Apakah dampak dari berjualan di kawasan Pasar Gadang Kota Malang?
Bagaimana kemaslahatan yang ada di kawasan Pasar Gadang Kota
Malang?
77
DOKUMENTASI
A. Kondisi Pasar Gadang Kota Malang
B. Wawancara dengan Ibu Yayuk Penjual Ayam Potong
C. Wawancara dengan Bapak Iman Penjual Jamur, Tempe, dan Nangka
Muda(Tewel)
D. Wawancara dengan Bapak Riyanto Penjual Bawang Merah
78
E. Wawancara dengan Bapak Gilang Ramadhan Penjual Buah Musiman
F. Wawancara dengan Ibu Melati pegawai Dinas Perdagangan
79
CURICULUM VITAE
IDENTITAS PRIBADI
Nama Lengkap : AL’AMIR BAYHAQI
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat, tanggal lahir : Malang, 31 Oktober 1995
Agama : Islam
Perguruan Tinggi : Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
Fakultas / Jurusan : Syariah / Hukum Bisnis Syariah
Alamat Rumah : Jl. Lowokdoro II RT:08 RW:04, Kebonsari, Sukun,
Malang
Telepon : +6285336122286
RIWAYAT HIDUP
NO TAHUN
LULUS
JENJANG SEKOLAH JURUSAN
1 2002 TK TK MUSLIMAT NU 45
MALANG
-
2 2008 SD SDN KEBONSARI 3
MALANG
-
3 2011 SMP SMPN 10 MALANG -
80
4 2014 SMA SMAN 6 MALANG BAHASA
PENGALAMAN ORGANISASI
NO TAHUN ORGANISASI JABATAN
1 2012 Badan Dakwah Islam Ketua Harian
2 2013 Badan Dakwah Islam Ketua Umum
3 2014 KOPMA Anggota
4 2014 PMII Anggota
5 2015 Karang Taruna
Kelurahan
Ketua Bidang Dakwah
6 2017 Karang Taruna
Kelurahan
Anggota
7 2018 Baladhika Karya Ketua Biro Kerohanian dan
Kerukunan Umat Beragama