blok 14 skenario 3

13
LAPORAN INDIVIDU BLOK XIV SISTEM PENCERNAAN SKENARIO 3 GANGGUAN FUNGSI HEPATOBILIER Oleh Nama : Rahma Hutaa!at NIM : G"""#$$" Kel%m&%': () Tut%!: *!+ A,hma* Sua'-! FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET $"") 0

Upload: rahma-hutabarat

Post on 06-Oct-2015

44 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

laporan tutorial blok gastrointestinal

TRANSCRIPT

LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN INDIVIDU

BLOK XIV SISTEM PENCERNAANSKENARIO 3GANGGUAN FUNGSI HEPATOBILIER

Oleh

Nama: Rahma Hutabarat

NIM : G0007220Kelompok: 19Tutor: dr. Achmad Subakir FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2009

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang MasalahGangguan gastrointestinal mencakup sejumlah besar penyakit yang menyebabkan penderita mencari pertolongan medis. Walaupun gangguan gastrointestinal tidak secara langsung menyebabkan kematian, tetapi merupakan 1 dari 5 besar penyebab kematian. Hati, dukstus bilier, dan pancreas mempunyai hubungan yang erat. Secara embriologi, struktur ini berasal dari struktur embriologi yang sama. Hati adalah organ asesori terbesar dalam system pencernaan. Fungsi hati yang sangat kompleks menyebabkan hati menjadi salah satu organ yang vital.

Vesika fellea atau kandung empedu adalah organ asesori yang terletak di menempel hati dan saling berhubungan dengan hati. Empedu yang dihasilkan di hati akan ditampung dan dipekatkan di vesika fellea. Sehingga jika ada gangguan hati, vesika fellea dapat terkena imbasnya, demikian pula sebaliknya.

Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada pasien yang berusia 45 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker). Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hati merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang perawatan Bagian Penyakit Dalam. Perawatan di Rumah Sakit sebagian besar kasus terutama ditujukan untuk mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan seperti perdarahan saluran cerna bagian atas, koma peptikum, hepatorenal sindrom, dan asites, spontaneous bacterial peritonitis serta hepatosellular carcinoma (Sutadi, 2003).II. Rumusan Masalah1. Bagaimanakah anatomi hati, vesika fellea, dan pancreas?

2. Apakah fungsi hati? Tes apakah yang dapat dilakukan untuk menguji fungsi hati?

3. Bagaimanakah etiologi muntah darah dan melena?

4. Bagaimanakah gambaran klinis pada hepatitis dan marker apa yang digunakan untuk diagnosis hepatitis?

5. Bagaimanakah etiologi, pathogenesis, dan terapi pada kolelitiasis?

6. Bagaimanakah patogenesis dari gejala klinis yang timbul pada sirosis hepatis?

III. Tujuan Penulisan1. Untuk mengetahui anatomi hati, vesika fellea, dan pancreas.

2. Untuk mengetahui fungsi hati dan tes yang dapat dilakukan untuk menguji fungsi hati.

3. Untuk mengetahui etiologi muntah darah dan melena.

4. Untuk mengetahui gambaran klinis pada hepatitis dan marker yang digunakan untuk diagnosis hepatitis.

5. Untuk mengetahui etiologi, pathogenesis, dan terapi pada kolelitiasis.

6. Untuk mengetahui patogenesis dari gejala klinis yang timbul pada sirosis hepatis.IV. Manfaat Penulisan

Diharapkan mahasiswa dapat:

1. Menganalisis permasalahan yang ada dalam skenario dan dapat menyelesaikannya sehingga dapat mencapai kompetensi yang diharapkan pada blok sistem pencernaan.

2. Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu biomedik, klinik, perilaku, dan ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengan pelayanan kesehatan tingkat primer pada penyakit sistem pencernaan.BAB II

TINJAUAN PUSTAKAA. Anatomi Hati, Vesica Fellea, dan PankreasHepar dibagi menjadi 2 facies, yaitu facies diafragmatica dan fasies visceralis. Pada fasies diafragmatica ditemukan ligamentun falciformis yang membagi hepar menjadi lobus dexter dan lobus sinister. Lobus dexter hepar terletak di regio hipokondriaka dextra, sedangkan lobs sinister terletak di regio epigastrium (Budianto ed. 2005).Hepar divaskularisasi oleh arrteri hepatika dan cabang-cabangnya. Arteri hepatika communis merupakan cabang dari trunkus coeliacus cabang aorta abdominalis. A. hepatica communis akan mempercabangkan a. hepatica propria dexter dan sinister, kemudian menjadi a. interlobularis, kemudian a. intralobularis. Vesica fellea divaskularisasi oleh a. cystikus cabang dari r. dexter a. hepatica propria (Budianto ed. 2005). Vena porta hepatica merupakan pertemuan dari v. mesenterica superior dengan v. lienalis. V. mesenterica superior merupakan muara dari vv. Jejunales dan vv. Ileales, v. colica dextra dan media, v. ileocaecalis, v. gastroepiploica dextra, v. pancreaticoduodenalis inferior. Vena lienalis merupakan muara dan v. mesenterica inferior yang merupakan muara dari v. rectalis media, v. colica sinistra, dan vv. Sigmoidea (Budianto ed. 2005).Yang termasuk anastomosis vena porta adalah (Budianto ed. 2005):

r. esofagei v. gastrica sinistra dengan v. esofagealis

r. sinister v. porta hepatica dengan vena superfisialis dinding abdomen yang dihubungkan dengan v. paraumbilikalis

v. rectalis superior dengan v. rectalis media dan v. rectalis inferior

vena dari duodenum, colon beranastomose dengan vena renalis, vena lumbalis dari cabang sistemik

Hati mensekresi empedu dalam sinusoid. Empedu kemudian akan melewati kanalikuli biliferus, kemudian duktus biliferus, duktus hepatikus, duktus sistikus, kemudian masuk vesica fellea. Jika ada rangsangan, maka tunika muskularis vesica fellea akan berkontraksi sehingga empedu akan disekresikan. Empedu akan melewati duktus sistikus, kemudian duktus koledokus (persatuan duktus sistikus dengan duktus hepatikus). Di bagian distal duktus koledokus, yaitu di ampula vateri (tempat pertemuan duktus koledokus dengan duktus pankrestikus Wirsungi), terdapat m. Sfingter oddi. Jika otot ini relaksasi, maka empedu dan getah pankreas akan disekresikan ke duodenum melalui papila duodeni mayor (Budianto ed. 2005).B. Fisiologi Hepar dan Vesica FelleaAda 5 fase dalam metabolisme bilirubin. (1) pembentukan bilirubin. 70-80% berasal dari pemecahan eritrosit, yaitu heme yang dipecah menjadi biliverdin, kemudian menjadi bilirubin. (2) transport plasma. Bilirubin tak terkonjugasi (UB) tidak larut dalam plasma sehingga diikat oleh albumin dan tidak dapat melewati glomerulus. (3) liver uptake. UB diambil oleh hati dengan transport aktif tanpa pemngambilan albumin. (4) konjugasi. UB dikonjugasikan dengan asam glukoronik menjadi bilirubin diglukoronida atau bilirubin direk atau conjugated bilirubin (CB) yang larut air. (5) ekskresi bilirubin. Di dalam usus, flora bakteri akan mendekonjugasi dan mereduksinya menjadi sterkobilinogen yang memberi warna coklat tinja. Sebagian akan diserap dan dikeluarkan lagi ke dalam empedu, dan sejumlah kecil mencapai air seni sebagai urobilinogen (glomerulus dapat mengeluarkan CB). Fase 1-2 adalah fase prehepatik, fase 3-4 adalah fase hepatik, dan fase 5 adalah fase pasca hepatik (Sulaiman, 2007).

C. Hepatitis

Salah satu agen penyebab hepatitis adalah virus hepatitis. Virus hepatitis yang telah ditemukan adalah virus hepatitis A (HAV), B (HBV), C (HCV), D (HDV), E (HEV), F (HFV), dan G (HGV). Berikut ini tabel mengenai karakteristik masing-masing virus (Brooks, dkk 2005)

KarakteristikHepatitis AHepatitis BHepatitis CHepatitis DHepatitis E

GenomssRNADNAssRNAssRNAssRNA

AmplopTidak adaAda (HbsAg)adaAda (HbsAg)Tidak ada

stabilitasStabil terhadap panas, asam, dan cairan empeduTidak stabil terhadap panas, asam, dan cairan empeduTidak stabil terhadap panas, asam, dan cairan empeduTidak stabil terhadap panas, asam, dan cairan empeduStabil terhadap panas, asam, dan cairan empedu

PenularanFekal-oralParenteralParenteralParenteralFekal-oral

OnkogenikTidakYaYa?Tidak

KronisitasTidak dihubungkan dengan hepatitis kronik1-5% pada dewasa, 90% neonatus, dan 50% bayi berkembang menjadi kronisInfeksi menjadi kronik pada 70-90% kasusDapat terjadi infeksi akut atau kronisTidak dihubungkan dengan hepatitis kronik

Untuk hepatitis F (HFV), keberadaannya masih diragukan semenjak penemuannya pertama kali pada tahun 1994 pada kera karena tidak ditemukan kasus lain yang memperkuat temuan ini. Sedangkan hepatitis G, beberapa peneliti meyakini bahwa HGV tidak menyebabkan hepatitis yang bermakna secara klinis. Sehingga beberapa ada yang tidak memasukkan kedua virus ini dalam virus hepatitis (Lindseth, 2006).

Sanityoso (2007) membagi gejala hepatitis akut menjadi 4 tahap, yaitu:

1. Fase inkubasi, adalah waktu dari masuknya virus sampai tmbulnya gejala dan ikterus. Panjang fase bergantung dosis inokulum yang ditularkan dan jalur penularan. Makin besar dosis inokulum, makin pendek fase inkubasi.

2. Fase prodromal, adalah fase antara timbulnya keluhan pertama dengan timbulnya ikterus. Ditandai dengan malaise, mialgia, atralgia, mudah lelah, gejala saluran nafas atas, anoreksia, diare atau konstipasi, serum sickness pada hepatitis B akut, nyeri abdomen ringan dan menetap di kuadran kana atas atau epigastrum.

3. Fase ikterus

4. Fase konvalesen (penyembuhan) yang diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas hati lain tetap ada.Sirosis hepatis adalah keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatic yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Secara klinis, sirosis hati dibagi menjadi sirosis kompensata (belum daa gejala klinis yang nyata), dan sirosis dekompensata (gejala dan tanda klinis sudah jelas). Sherlock, secara morfologi, membagi sirosis hepatis berdasarkan besar kecilnya nodul, yaitu :

-Makronoduler (Irreguler, multinoduler)

-Mikronoduler (regular, monolobuler)

-Kombinasi keduanya

Pathogenesis sirosis dibagi menjadi 3 besar:

1. Sirosis alkoholik/sirosis Laennec

Awalnya terjadi perlemakan di hati karena akumulasi lemak yang diinduksi alcohol karena pembentukan trigliserida yang berlebihan, menurunnya keluaran trigliserida dari hati, dan menurunnya oksidasi asam lemak. Hepatosit teregang oleh vakuola lemak yang mendorong hepatosit ke membrane sel. Kemudian akan terjadi nekrosis hepatoseluler, diperkirakan mekanismenya adalah: Hipoksia sentrilobular karena metabolism asetaldehid etanol meningkatkan konsumsi oksigen

Infiltrasi sel-sel PMN oleh chemoattractant neutrofil oleh hepatosit yang memetabolisme etanol. Formasi acetaldehid-protein adduct sebagai neoantigen menghasilkan limfosit yang tersensitisasi serta antibody spesifik yagn menyerang hepatosit.

Pembentukan radikal bebas oleh jalur alternatif dari metabolisme etanol

BAB III

PEMBAHASANDari anamnesis, diketahui bahwa ada keluhan muntah darah dan melena pada pasien 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Melena adalah tinja yang berwarna hitam dengan bau yang khas. Melena timbul bila hemoglobin dikonversi menjadi hematin atau hemokrom lainnya oleh bakteri setelah 14 jam. Umumnya melana dan hematemesis menunjukkan perdarahan di saluran cerna bagian atas. Adanya darah pada tinja dapat dipastikan dengan tes benzidin atau tes guaiac.

Penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dilaporkan adalah pecahnya varises esofagus, gastritis erosif, tukak peptik, gastropati kongestif, sindroma Mallory-Weiss, dan keganasan (Adi, 2007). Pada pasisen dalam skenario, hematemesis dan melena kemungkinan disebabkan oleh pecahnya varises esofagus dan lesi hemoragik difus pada gaster dan duodenum yang ditemukan pada pemeriksaan USG.Diketahui pasien memiliki riwayat hepatitis 8 tahun lalu dan direncanakan dilakukan pemeriksaan marker hepatitis. Hal ini dikarenakan ada kecurigaan terjadinya kronisitas pada hepatitis yang lalu yang dapat berkembang menjadi sirosis yang terlihat pada gambaran USG pasien sekarang. Pada pasien dalam skenario, yang diperlukan hanyalah pemeriksaan hepatitis B dan C saja karena keduanya memeiliki kemungkinan terjadinya kronisitas.Infeksi kronik pada hepatiti B terjadi bila proses eliminasi berjalan kurang efisien, disebabkan oleh 2 faktor (Soemoharjo dan Gunawan, 2007):

1. Faktor virus: imunotelaransi terhadap produk HBV, hambatan terhadap limfosit Tc, terjadi mutan HBV yang tidak menghasilkan HbsAg, integrasi genom HBV ke dalam genom sel hati.

2. Faktor pejamu: genetik, produksi IFN rendah, ada antibodi terhadapa nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respon antiidiotipe, faktor kelamin/hormonal.

Manifestasi hepatitis B kronik dapat dibagi 2:

1. Hepatitis B kronik aktif: HbsAg +, DNA VHB >105kopi/ml, ALT menetap/intermiten, gambaran biopsi memperlihatkan peradangan aktif

2. Karier HBV inaktif: HbsAg +, DNA VHB >105kopi/ml, ALT normal, tidak ada keluhan.

Interpretasi pemeriksaan serologi pada hepatitis B adalah sebagai berikut (Brooks, dkk 2005):

Hasil PengujianInterpretasi

HbsAgAnti HBsAnti HBc

+--Infeksi HBV akut awal

+()+Infeksi HBV baik akut maupun kronik, dibedakan dengan IgM anti HBc, menentukan level aktivitas replikatif dengan HbeAg

-++Menandakan infeksi HBV lampau dengan imunitas terhadap HBV

--+Dapat berupa: Infeksi HBV yang sangat lampau, karier HBV level rendah, jendela antara lenyapnya HbsAg dengan timbulnya anti HBs, false positif atau reaksi nonspesifik

---Kerusakan hati karena sebab lain

-+-Respon vaksin

Pada hepatitis C, infeksi dapat menjadi kronik sering tanpa gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Diperlukan waktu 20-30 tahun untuk menjadi sirosis. Progresifitas hepatitis kronik menjadi sirosis tergantung beberapa faktor risiko: alkohol, koinfeksi dengan HBV atu HIV, jenis kelamin laki-laki, usia tua saat terjadi infeksi (Gani, 2007).Pada pemeriksaan fisik didapatkan ikterus. Berikut ini adalah perbedaan ikterus berdasarkan tempat lesinya (Lindseth, 2006) :GambaranPre hepatikIntrahepatikPasca hepatik

Warna kulitKuning pucatOranye-kuning muda atau tuaKuning-hijau muda atau tua

Wrna urinNormal (atau gelap dengan urobilinogen)Gelap Gelap

Warna fesesNormal atau gelap (banyak sterkobilin)PucatPucat

PruritusTidak adaTidak menetapBiasanya menetap

Bilirubin indirekmeningkatmeningkatMeningkat

Bilirubin direkNormalmeningkatMeningkat

Bilirubin urinTidak adaMeningkatMeningkat

Urobilinogen urinmeningkatSedikit meningkatmenurun

Dalam skenario disebutkan nilai SGOT 250 IU, SGPT 235 IU, protein total 6,2 mg/dl, albumin 2,8 mg/dl, bilirubin direk 3,15 mg/dl, bilirubin indirek 2,15 mg/dl. Pemeriksaan di atas merupakan tes untuk menilai fungsi hati. Berikut ini beberapa tes rutin yang dapat dilakukan untuk menilai fungsi hati (Lindseth, 2006).

UjiNilai normalMakna klinis

Bilirubin serum direk0,1-0,3 mg/dlMeningkat bila ada gangguan eksresi bilirubin terkonjugasi

Bilirubin serin indirek0,2-0,7 mg/dlMeningkat pada peningkatan hemolisis dan gangguan konjugasi bilirubin

Bilirubin urin0Bilirubin direk dieksresikan di urin bila kadarnya meningkat dalam serum

Protein serum total6-8 mg/dlKadarnya menurun bila ada gangguan hati

Albumin3,2-5,5 mg/dlKadarnya menurun bila ada gangguan hati

Globulin2,0-3,5 mg/dlDapat meningkat bila terjadi proses imunologi yang meningkatkan produksi imunoglobulin

Masa protrombin11-15 detikMeningkat pada penurunan sintesis faktor koagulasi di hati

Amonia darah80-100g/dlDapat meningkat bila ada gangguan konversi amonia menjadi urea di hati

AST (aspartat aminotransaminase) atau SGOT (serum glutamic oxaloasetic transaminase)5-35 unit/mlAST atu SGOT adalah enzim yang ada di hati, RBC, otot jantung, otot skelet, ginjal, dan otak; kadarnya meningkat di serum jika ada kerusakan sel di organ tersebut.

ALT (alanin aminotransaminase) atau SGPT (serum glutamic pyruvic transaminase)5-35 unit/mlALT atau SGPT adalah enzim yang ada di sitoplasma hepatosit; kadarnya meningkat di serum jika ada kerusakan hepatosit.

LDH (Lactat Dehidrogenase)200-450 unit/mlLDH-1 di jantung; LDH-2 di sistem retikuloendotelial; LDH-3 di paru-paru; LDH-4 di ginjal; LDH-5 di hati dan otot skelet; kadarnya meningkat di serum jika ada kerusakan sel di organ tersebut.

Alkali fosfatase30-120 IUTerdapat di hati, saluran empedu, ginjal, tulang, dan plasenta; kadarnya meningkat di serum jika ada kerusakan sel di organ tersebut.

Pada keadaan tertentu dapat pula dilakukan pemeriksaan untuk melihat fungsi metabolisme karbohidrat, ekskresi zat warna, dan metabolisme lemak.

Dari hasil USG ditemukan kolelitiasis, tidak ada hidrops vesika fellea, pankreas normal, sirosis hepatis dengan hipertensi portal. Kolelitiasis adalah pembentukan batu empedu yang paling banyak ditemukan di dalam vesika fellea. Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimia, batu empedu dibedakan menjadi (Lesmana, 2007):1. Batu kolesterol. Faktor yang berperan dalam pembentukan; hipersaturasi kolestrol, percepatan kristalisasi kolesterol, gangguan motilitas vesica fellea dan usus.

2. Batu pigmen coklat/ batu kalsium bilirubinat. Peningkatan aktivitas enzim glukoronidase yang menghidrolis bilirubin menjadi bilirubin tak terkonjugasi yang mengendap menjadi kalsium bilirubinat.

3. Batu pigmen hitam. Batu pigemen hitam berkaitan dengan hemolisis kronis, sedangkan pigmen coklat berkaitan dengan kolesistitis kronis.

Faktor predisposisi terpenting terbentuknya batu empedu adalah gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu menjadi jenuh kolesterol yang akan mengendap; stasis empedu yang dapat menyebabkan supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur; dan kolesistitis akan meningkatkan produksi mukus yang meningkatkan viskositas empedu. Kondisis klinis yang meningkatkan insiden batu empedu adalah diabetes, sirosis hati, pankreatitis, kanker kandung empedu, penyakit atau reseksi ileum (Lindseth, 2006).

Batu empedu dapat menyebabkan kolesistitis. Jika batu menjepit duktus sistikus, akan terjadi hidrops vesika fellea sehingga meningkatkan volum dan edema kandung empedu. Akan terjadi iskemi dinding vesika fellea, kemudian dapat menjadi nekrosis dan perforasi yang menyebabkan superinfeksi bakteri (Lesmana, 2007).

Beberapa temuan klinis yang dapat ditemukan pada sirosis adalah (Nurdjanah, 2007; Lindseth, 2006):

1. Efek kerusakan hati

Akibat peningkatan estrogen:

Spider angioma/spider nevi: arteri sentral tempat memancarnya banyak pembuluh halus.

Eritema Palmaris: warna merah pada thenar dan hipothenar telapak tangan.

Ginekomastia, atrofi testis hipogonadisme, hilangnya rambut dada dan axilla. Akibat insufisiensi hati:

Ikterus Asites dan edema pergelangan kaki akibat hipoalbuminemia. Pada sirosis, terjadi perubahan rasio albumin/globulin. Albumin yang sintesisnya di hati kadarnya menurun sehingga tekanan onkotik plasma menurun. Sedangkan globulin konsentrasinya meningkat akibat reaksi imun tubuh yang menginduksi terbentuknya immunoglobulin. Ensefalopati hepatikum. Sindom ini ditandai dengan kekacauan mental, tremor otot, dan flapping tremor yang disebut asteriksis. Penyebabnya adalah intoksikasi otak oleh poduk pemecahan metabolisme protein oleh kerja bakteri dalam usus. NH3 merupakan salah satu zat yang diketahui bersifat toksik dan diyakini dapat mengganggu metabolisme otak. Penyebab hiperamonemia pada sirosis hati adalah kegagalan hati untuk membentuk urea akibat kerusakan hepatoseluler; dan pirau portosistemik melalui aliran kolateral Fetor hepatikum: bau apek manis yang terdeteksi dari napas penderita dan diyakini terjadi akibat ketidakmampuan hati dalam memetabolisme metionin. Adanya fetor hepatikum merupakan prognosis yang buruk dan intensitas baunya sangat berhubungan dengan derajat somnolensia.

2. Akibat hipertensi portal

Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan vena porta yang menetap di atas nilai normal, yaitu 6-12 cmHg. Mekanisme primer penyebab hipertensi portal adalah penigkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati sehingga menurunnya aliran darah menuju vena hepatika. Selain itu, biasanya terjadi peningkatan aliran arteri splagnikus. Kedua mekanisme tersebut menghasilkan beban berlebihan pada system portal. Pembebanan ini akan merangsang timbulnya aliran kolateral guna menghindari obstruksi hepatic. Beberapa manifestasi klinis akibat tekanan berlebih dan timbulnya aliran kolateral adalah sebagai berikut: Hipersplenisme: splenomegali terjadi akibat tekanan balik pada system portal; menyebabkan anemia, leukositopeni, dan trombositopeni karena limpa lebih aktif menghancurkan sel darah dari sirkulasi; dan perubahan sumsum tulang. Varises esophagus bagian bawah: dilatasi vena esofagealis yang beranastomosis dengan r. esofagealis v. gastric sinistra. Kaput medusa: dilatasi vena paraumbilicalis yang menghubungkan vena superfisialis dinding abdomen dengan r. sinister v. porta. Hemorrhoid interna: dilatasi v. rectalis inferior yang beranastomosis dengan v. rectalis media dari cabang porta

Pada scenario disebutkan direncanakan akan dilakukan terapi endoskopi. Terapi endoskopi dalam scenario ini dilakukan untuk mengatasi perdarahan akibat pecahnya varises esophagus. Penghentian perdarahan dilakukan dengan melakukan ligasi pada varises. Ligasi dilakukan dari distal mendekati cardia bergerak spiral setiap 1-2 cm (Adi, 2007).Terapi endoskopi juga dapat dilakukan untuk mengambil batu empedu, yaitu dengan endoscopic retrograde choledocho pancreticography (ERCP). ERCP digunakan sebagai alat diagnostic dengan sensitifitas, spesifisitas, dan tingkat akurasi yang tinggi pada batu empedu; sekaligus sebagai terapi non operatif pada batu empedu dengan cara memasang basket pada ujungnya untuk menangkap batu-batu empedu (Lesmana, 2007).BAB III KESIMPULANDari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sirosis hati yang ditemukan pada pemeriksaan USG saat ini kemungkinan disebabkan oleh oleh sirosis pascanekrosis akibat hepatitis yang telah berlangsung kronis (sejak 8 tahun lalu). Gejala-gejala sirosis yang tampak pada pasien adalah ditemukannya hemorroid grade 3 pada rectal toucher dan varises esofagus pada pemeriksaan USG sebagai akibat adanya hipertensi portal. Kolelitiasis dan lesi hemoragik difus pada gaster dan duodenum, dimana insiden kejadiannya meningkat pada pasien sirosis hepatis, juga ditemukan pada pasien ini. Hematemesis dan melena yang merupakan keluhan utama pasien terjadi akibat pecahnya varises esofagus dan adanya lesi hemoragik difus gaster dan duodenum.Pada pasien dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Tes fungsi hati yang rutin dilakukan adalah dengan melakukan pemerksaan yang meliputi metabolisme empedu, metabolisme protein, enzim serum, dan uji imunologik. Pada keadaan tertentu dapat pula dilakukan pemeriksaan untuk melihat fungsi metabolisme karbohidrat, ekskresi zat warna, dan metabolisme lemak.Pada pasien direncanakan dilakukan terapi endoskopi. Terapi endoskopi dapat dilakukan untuk menghentikan perdarahan saluran cerna dengan ligasi. Selain itu, dapat juga digunakan untuk mengambil batu empedu dengan ERCP.

Pada pasien dilakukan terapi pemberian ringer laktat, proton pump inhibitor, dan realimentasi segera. Ringer laktat diberikan sebagai cairan resusitasi pada kehilangan cairan akibat perdarahan saluran cerna. Proton pump inhibitor digunakan untuk menghambat pengeluaran HCl dan mengurangi lesi di gaster dan duodenum. Realimentasi segera dilakukan untuk memberikan nutrisi pada pasien yang mengalami gangguan asupan nutrisi akibat gangguan saluran cerna sehingga perut terasa sebah dan panas, nyeri bila diberi makan, mual kadang muntah, dan ditambah dengan nafsu makan yang menurun.

DAFTAR PUSTAKAAdi, P. 2007. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Dalam: Sudoyo, A. W., dkk. eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. jld I. ed IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Brooks, G. F., J. S. Butel, dan S. A. Morse. 2005. Jawetz, Melnick, & Adelbergs: Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology). Buku 2. Terjemahan Widorini, N. Jakarta: Penerbit Salemba Medika

Budianto, A (ed). 2005. Guidance to Anatomy II. Surakarta: FK UNS

Gani, R. A. 2007. Hepatitis C. Dalam: Sudoyo, A. W., dkk. eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. jld I. ed IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Lesmana, L. A. 2007. Penyakit Batu Empedu. Dalam: Sudoyo, A. W., dkk. eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. jld I. ed IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Lindseth, G. N. 2006. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Dalam: Price, S. A. dan L. M. Wilson (eds). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Terjemahan B. U. Pendit, dkk. Volume 1. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Nurdjanah, S. 2007. Sirosis Hati. Dalam: Sudoyo, A. W., dkk. eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. jld I. ed IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sanityoso, A. 2007. Hepatitis Virus Akut. Dalam: Sudoyo, A. W., dkk. eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. jld I. ed IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Soemohardjo, S dan S. Gunawan. 2007. Hepatitis B Kronik. Dalam: Sudoyo, A. W., dkk. eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. jld I. ed IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sulaiman, A. 2007. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam: Sudoyo, A. W., dkk. eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. jld I. ed IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaSutadi, S. M. 2003. Sirosis Hepatis. http://209.85.175.132/search?q=cache:3x12skS7sfYJ:library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-srimaryani5.pdf+sirosis+hepatis&cd=8&hl=id&ct=clnk&gl=id (26 Maret 2009)11