blok 24 (adb)
DESCRIPTION
Anemia Defisiensi BesiTRANSCRIPT
Anemia Defisiensi Besi pada Anak
Ika Puspita
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA
PENDAHULUAN
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh
dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama, terutama di negara berkembang. Anema
bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai macam
penyakit dasar. Anemia dapat terjadi pada segala usia. Klasifikasi anemia dibedakan
berdasarkan morfologi dan etiologinya. Untuk dapat menegakkan diagnosis anemia
dibutuhkan pemeriksaan penunjang. Pada anak yang tersering adalah anemia akibat infeksi
atau inflamasi kronis, dan anemia akibat defisiensi nutrisi. Pada makalah ini akan dibahas
mengenai anemia pada anak.
Ika Puspita, NIM: 102011036, Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana, Jl. Arjuna
Utara No.6 Jakarta 11510, [email protected]
1
SKENARIO 7
Seorang anak perempuan berusia 6 thun dibawa oleh ibunya ke puskesmas dengan
keluhan utama pucat sejak 3 bulan yag lalu. Selain itu anak sering merasa cepat lelah.
Riwayat perdarahan dan demam disangkal oleh ibu pasien. Tidak ada anggota kelurga yang
menderita batuk lama.
ANAMNESIS1
1. Identitas pasien
Nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan
2. Keluhan utama pasien, onset
Pasien anemia memiliki gejala yang bermacam-macam, diantaranya adalah lelah,
sesak napas, malaise, atau bahkan tanpa gejala.
3. Keluhan tambahan
Apakah disertai demam ?
Apakah ada keluhan mual, muntah ?
4. Riwayat penyakit sekarang
Apakah keluhan muncul secara mendadak atau bertahap.
Apakah pasien memiliki penyakit kronis (gagal ginjal, artritis reumatoid, SLE, dll).
Apakah ada tanda kegagalan sumsum tulang (memar, perdrahan, infeksi yang
rekuren, dll).
Adakah tanda defisiensi vitamin seperti neuropati perifer (defisiensi B12)
Apakah mengalami penurunan berat badan ?
Bagaimana BAB, BAK pasien ? apakah ada darah ?
5. Riwayat penyakit dahulu
Adakah sebelumnya pernah mengalami gejala yang sama ?
Apakah sebelumnya menderita penyakit infeksi (malaria, demam berdarah, dll).
6. Riwayat pribadi-sosial
Bagaimana kebiasaan makan pasien ?
Bagaimana riwayat kelahiran pasien ?
Apakah pasien mendapat imunisasi lengkap ?
7. Riwayat keluarga
Adakah anggota keluarga yang memiliki gejala sama ?
2
8. Riwayat obat
Apakah pasien sedang mengkonsumsi obat-obatan (imunosupresan, dll).
PEMERIKSAAN FISIK1
1. Keadaan umum
Apakah pasien sakit ringan/sedang/berat ?
2. Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital
Suhu,frekuensi nadi, tekanan darah, frekuensi napas.
3. Pemeriksaan Fisik
Berat badan pasien.
Apakah konjungtiva anemis ?
Apakah telapak tangan tampak pucat ?
Adakah koilonikia atau keilitis agularis
Adakah tanda ikterus ?
Apakah terdapat memar-memar pada tubuh pasien ?
4. Pemeriksaan Organ
Apaka ditemukan pembesaran pada hepar, lien ?
Apakah didapatkan kelainan pada jantung, ginjal ?
PEMERIKSAAN PENUNJANG2,3
Pada dasarnya diagnosis anemia dapat didiagnosis berdasar anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Akan tetapi, diperlukan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui etiologi
dari anemia tersebut, sebab anemia biasa memiliki penyakit dasar.
1. Darah lengkap
Pemeriksaan darah lengkap yaitu suatu jenis pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan darah
lengkap terdiri dari beberapa jenis parameter pemeriksaan.
- Hemoglobin
- Hematokrit
- Leukosit
- Trombosit
- Eritrosit
3
- Indeks eritrosit (MCV, MHC, MCHC)
- Laju endap darah (LED)
- Hitung jenis leukosit (Diff Count)
- Platelet distribution width
- Red cell distribution width
Tabel 1. Nilai Pemeriksaan Darah Lengkap Sejak Bayi Hingga Dewasa
UmurHb
(g/dL)Ht
(%)Rt
(%)MCV
(fl)Leukosit(sel/mm3)
Netro fil
(%)
Limfosit
(%)
Eosinofil(%)
Monosit(%)
Tali pusat
2 minggu
3 bulan
6 bl-6th
7-12th
Dewasa
-wanita
-pria
13,7-20,1
13,0-20,0
9,5-14,5
10,5-14,0
11,0-16,0
12,0-16,0
14,0-18,0
45-65
42-66
31-41
33-42
34-40
37-47
42-52
5,0
1,0
1,0
1,0
1,0
1,6
110
70-74
76-80
80
80
9.000-30.000
5.000-21.000
6.000-18.000
6.000-15.000
4.500-13.500
5.000-10.000
61
40
30
45
55
55
31
63
48
48
38
35
2
3
2
2
2
3
6
9
5
5
5
7
Sumber : Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Ilmu kesehatan anak vol.2. ed.15. Jakarta : EGC, 2000
Pemeriksaan ini cukup penting karena dari sini dapat memastikan adanya anemia, dan
mengarahkan kepada penyebab anemia berdasarkan morfologi eritrosit.
Morfologi eritrosit dapat diketahui berdasarkan MCV dan MCH. MCV didapat lansung
atau dapat juga dengan menggunakan rumus perbandingan hematokrit dan eritrosit
dikalikan 10 (nilai rujukan 80-95 fl). Sedang MCH didapat dari perbandingan hemoglobin
dengan eritrosit dikali 10 (nilai rujukan 27-34 pg). Hasil MCV normal maka dapat
diketahui bahwa ukuran eritrosit normal, apabila hasil MCV lebih rendah maka eritrosit
mikrositik, dan bila lebih tinggi maka eritrosit makrositik. Hasil MCH yang normal
menunjukkan eritrosit normokrom, lebih rendah menunjukkan eritrosit hipokrom dan
sebaliknya.
2. Apusan darah tepi
Pemeriksaan ini biasa lebih berguna pada anemia normositik. Sebab dengan pemeriksaan
ini dapat dilihat morfoloagi sel lebih spesifik, bila terdapat sel yang abnormal seperli bite
cell, sferositik sel, sickle cell, ring cell, dll.
4
3. Pemeriksaan Sumsum tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai
keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini diperlkan mutlak untuk diagnosis anemia
aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan hematologik.
4. Kimia Darah (SI, TIBC, Serum feritin, reseptor transferin, protoporfirin, ...)
Pemeriksaan ini mutlak diperlukan untuk pasien anemia dengan eritosit mikrositik
hipokrom. SI (serum iron) adalah kadar besi dalam serum, TIBC menunjukkan tingkat
kejenuhan apotransferin terhadap besi. Serum feritin merupakan indikator cadangan besi
yang sangat baik, kecuali pada keadaan inflamasi dan keganasan tertentu.
5. Analisis Tinja
Pemeriksaan ini salah satu cara untuk mengetahui penyebab dasar dari defisiensi besi.
DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan usia anemia yang sering adalah sebagai berikut.
Tabel 2. Etiologi anemia berdasarkan kelompok usia
Kelompok usia Etiologi anemia tersering
Neonatus
< 6 bulan
6 bulan – 2 tahun
Anak lebih besar
Remaja
Perdarahan, hemolisis
Anemia fisiologik, diamond-blackfan syndrome
Anemia nutrisional, inflamasi
Infiltrasi sumsum tulang
Anemia nutrisional
Sumber : Singh U, Kumar S, Yadav SP, Sachdeva A. Laboratory evaluation of a patient with anemia. In :
Practical pediatric hematology. 2nd ed. New Delhi : Jaypee Brother Med Publisher,2012.p.25
SEGI NUTRISI
Dikarenakan pasien memiliki berat badan yang kurang, ada kemungkinan bahwa anemia
disebabkan oleh nutrisi yang tidak adekuat. Dalam hal ini yang berperan adalah asam folat
dan B12.3,4
5
1. Anemia defisiensi B12
Manifestasi hematologis dari defisiensi kobalamin adalah rasa lemah, nyeri kepala
ringan, tinitus, palpitasi, angina, dan tanda-tanda kongestif lain. Tanda fisik daei pasien
dengan defisensi kobalamin yaitu, pucat dengan kulit sedikit kekuningan begitu juga
mata. Peningkatan kadar bilirubin ada kaitannya dengan pelipat gandaan sel-sel eritroid
dalam sumsum tulang. Nadi denyutnya xepat, jantung membesar dengan bising sitolik.
2. Anemia Defisiensi Folat
Pasien dengan defisiensi asam folat lebih sering kurang gizi dibanding defisiensi
kobalamin. Manifestasi hematologis dari defisiensi asam folat adalah sama dengan
defisiensi kobalamin.
Kedua defisiensi tersebut termasuk ke dalam anemia megaloblastik. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan eritrosit makrositosis. Kadar vit.B12 dan asam folat dalam serum
dapat juga dilihat untuk membantu diagnosis. Selain itu masih ada beberapa pemerksaan
yang dapat dilakukan.
SEGI MORFOLOGI5
3. Thalasemia minor
thalasemia sering mengalami salah diagnosa dengan anemia defisiensi besi karena
keduanya memiliki eritrosit mikrositik. Pemeriksaan penunjang lebih lanjut memegang
peranan penting untuk memastikan diagnosis ini. Pemeriksaan SI, dan serum ferritin
digunakan untuk menyingkirkan anemia defisiensi besi.
Kesalahan menegakkan diagnosis dapat menjadikan terapi besi berkelanjutan untuk
pasien thalasemia. Padahal sebenarnya sama sekali tidak dibutuhkan. Jika kelebihan zat
besi terus menerus, dapat menyebabkan kerusakan pada beberapa organ termasuk
jantung, hati disfungsi endokrin. Hepato-splenomegali cukup sering ditemukan pada 60-
70% pasien.5-8
4. Anemia Penyakit Kronis
Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun
keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan
penurunan berat badan. Pada umumnya, anemia pada penyakit kronik ditandai dengan
kadar Hb 7-11 gr/dL, kadar Fe serum menurun disertai kadar TIBC yang rendah,
6
cadangan Fe tinggi. Beberapa penyakit kronis yang berhubungan dengan anemia adalah
tuberkulosis, HIV, osteomielitis, abses paru, endokarditis, dll. Pada pemeriksaan fisik
umumnya hanya ditemukan konjungtiva yang anemis tanpa kelainan yang khas.
Pemeriksaan laboratorium umumnya normokrom normositer, tetapi banyak yang
memberikan gambaran mikrositer hipokrom.9
DIAGNOSIS KERJA : Anemia Defisiensi Besi10-13
Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya asupan besi,
ganggguan pada absorbsi, kehilangan besi akibat perdarahan kronik, atau kebutuhannya yang
meningkat.
1. Rendahnya asupan gizi
Zat besi dalam makanan dibagi dalam heme dan non heme. Daging merupakan sumber
zat besi heme. Sedangkan zat besi yang berasal dari sayuran merupakan sumber zat besi
non heme. Keduanya memiliki struktur yang sama, dimana memiliki 6 ikatan koordinat,
akan tetapi pada zat besi heme 4 diantaranya telah mengikat pyrrole sehingga tidak akan
mengikat zat lain yang dapat menghambat penyerapan. Beberapa zat diantaranya yang
dapat menghambat penyerapan zat besi adalah phytate, oksalat, fosfat, karbonat, dan
tanat. Sedangkan asam askorbat meningkatkan penyerapan.
2. Perdarahan kronik
Perdarahan pada saluran cerna seperti pada tukak peptik, pemakaian NSAID, hemoroid,
kanker kolon, dan infeksi cacing tambang. Pada wanita menorrhagia, juga dapat
menyebabkan defisiensi besi. Perdarahan kronik jarang menjadi penyebab defisiensi besi
pada anak, akan tetapi infeksi cacing tambang prevalensinya cukup tinggi terjadi pada
anak terutama di negara berkembang.
3. Gangguan absorbsi
Akloridria berkepanjangan dapat menghasilkan defisiensi besi karena kondisi asam yang
diperukan untuk melepaskan besi (ferri) dari makanan tidak tersedia. Serat dan zat pati
juga menghasilkan malabsorbsi zat besi. Gastrektomi, kolitis kronik juga menyebabkan
penyerapan besi.
7
4. Kebutuhan yang meningkat
Kebutuhan zat besi pada anak usia sekolah dipengaruhi oleh pertumbuhan fisik dan
aktifitas fisik. Kebutuhan akan zat besi akan meningkat pada masa pertumbuhan seperti
pada bayi, anak-anak, remaja, kehamilan dan menyusui.
Epidemiologi
Anemia defisiensi besi merupakan masalah defisensi tersering pada anak diseluruh
dunia terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Secara epidemiologi, prevalensi
tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa kanak-kanak. Tahun pertama
kehidupan adalah kelompok rawan defisiensi besi, hal ini disebabkan karena relatif sedikit
makanan megandung besi yang dipasok, sehingga kebutuhan besi sulit tercapai.
Tabel 2. Nilai Rujukan Standar Asupan Zat Besi Berdasar Rata-Rata Berat Badan
Kelompok UsiaBerat
Badan (kg)Zat besi (mg/day)
Anak
Remaja (laki-laki)
Remaja (perempuan)
1-3 tahun
4-6 tahun
7-9 tahun
10-12 tahun
13-15 tahun
16-18 tahun
10-12 tahun
13-15 tahun
16-18 tahun
12,2
19,0
26,9
35,4
47,8
57,1
31,5
46,7
49,9
12
18
26
34
41
50
19
28
30
Dewasa
- Pria
- Wanita
60
50
28
30
Sumber : Rastogi N, Sachdeva A. Nutritional anemia. In : Practical pediatri hematology. New Delhi : Jaypee
Brothers Medical Publishers,2012.p.42
8
Patofisiologi
Anemia defisiensi besi adalah fase akhir dari proses panjang penurunan status zat besi
di dalam tubuh seseorang. Terdaat 3 fase jika dilihat dari beratnya kekurangan zat besi di
dalam tubuh.
1. Fase I (deplesi besi/iron depleted state) : terjadi penurunan cadangan besi (ferritin). Tetapi
penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu sehingga nilai hemoglobin dan serum
iron masih didapatkan dalam batas normal.
2. Fase II (eritropoesis defisiensi besi/iron deficient erythropoesis) : cadangan besi telah
kosong, penyediaan eritrosit untuk eritropoesis mulai terganggu tetapi belum
menimbulkan gejala anemia. Dalam fase ini serum iron, serum ferritin menurun, TIBC
meningkat.
3. Fase III (anemia defisiensi besi/iron deficiency anemia) : terjadi penurunan jumlah
produksi hemoglobin dan bentuk eritrosit mikrositik hipokrom akibat kekurangan besi.
Metabolisme Besi
Tubuh mendapatkan xat besi dari makanan. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, zat besi terdiri atas heme dan non-heme. Besi mengalami proses absorbsi untuk
memasukan besi dari usus ke dalam tubuh. Pada proses absorbsi, zat besi melalui beberapa
fase. Fase luminal adalah fase dimana makanan diolah di lambung, dimana suasana asam di
lambung menyebabkan besi dilepas dari ikatannya. Fase mukosal adalah fase dimulainya
penyerapan zat besi. Fase ini terjadi di mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Sel
absorbtif terletak di puncak vili usus (sel apikal). Kemudian pada brush border dari sel apikal
tersebut dirubahlah besi ferri menjadi besi ferro oleh enzim ferireduktase. Tranpor melalui
membran difasilitasi oleh DMT-1. Setelah masuk ke dalam sitoplasma, sebagian disimpan
dalam bentuk ferritin. Sebagian lainnya diloloskan melalui ferroportin ke kapiler usus. Dalam
proses tersebut kembali terjadi oksidasi ferro kembali menjadi ferri. Besi ferri kemudian akan
terikat dengan apotransderin. Fase korporeal dimulai setelah besi masuk ke dalam kapiler dan
terikat dengan apotransferin menjadi transferin. Transferin akan melepaskan besi pada sel
RES melalui peoses pinositosis. Transferin dapat lagi mengikat 2 besi, setelahnya baru akan
terikat pada reseptornya yang ada pada permukaan sel (endosom). Endosom memliki pompa
proton sehingga setelah transferin yang mengikat besi menempel pada reseptornya, PH akan
diturunkan, sehingga transferin dapat melepas semua besi ke dalam sitoplasma. Setelahnya
9
transferin akan kembali menjadi apotransferin dan dapat dipergunakan kembali. Besi yang
diserap setiap hari hanya berkisar 1-2 mg, dengan ekskresi dalam jumlah yang sama. Besi
yang berikatan dengan transferin adalah besi yang berasal dari sumsum tulang.
Manifestasi Klinis
Gejala anemia defisiensi besi dibagi dalam 3 golongan besar : gejala umum anemia,
gejala khas defisiensi besi,, gejala penyakit dasar.
1. Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia, dan dijumpai bila hemoglobin turun dibawah 7-8
mg/dL. Gejala dapat berupa badan lemah, lesu, cepat lelahm maa berkunang-kunang,
telinga berdenging, dll. Pada anemia defisiensi besi penurunan terjadi perlahan sehingga
kadang gejala tidak terlalu mencolok.
2. Gejala khas defisiensi besi
Gejala yang khas dan tidak dijumpai pada anemia jenis lain.
- Koilonikia : kuku sendok, kuku menjadi rpauh, bergaris vertikal, dan cekung seperti
sendok.
- Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin
- Stomatitis angularis : radanag pada sudut mulut.
- Disfagia : akibat kerusakan epitel hipofaring
- Atrofi mukosa gaster (menyebabkan akhlorisia)
- Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim.
Kumpulan dari anemia mikrositik hipokrom, atrofi papil lidah, disfagia disebut juga
sebagai Plummer Vinson Syndrome.
3. Gejala penyakit dasar
Pada anemi defisiensi dapat dijumpai beberapa penyakit yang mendasari. Misalnya yang
tersering pada anak adalah infeksi cacing tambang maka akan dijumapi pembengkakan
kelenjar parotis, telapak tangan kuning, dispepsi.
10
Diagnosis
Anemia defisiensi besi dapay ditegakkan melalui 3 tahap. Tahap pertama adalah
emnentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin dan hematokrit. Tahap
kedua adalah memastikan adanya defisensi besi. Untuk kedua tahap ini dipakai kriteria
berikut.
Ditemukannya eritrosit mikrositik hipokrom (MCV < 80 fl, MCHC < 31 %) ditambah
dengan salah satu dari a,b,c, atau d.
a. 2/3 parameter ini : SI < 50 mg/dL, TIBC > 350 mg/dL, saturasi transferin < 15%
b. Feritin serum < 20 mg/dL
c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prussia
d. Pemberian sulfa ferrosus 3 x 200 mg/hari selama 4 minggu meningkatkan kadar
hemoglobin lebih dari 2 mg/dL.
Tahap ketiga adalah mencari penyakit dasar yang menjadi penyebab defisiensi besi.
Tahap ini menjadi sulit karena harus menggunakan beberapa pemeriksaan. Anemia pada anak
dapat misalnya dapat dilakukan pemeriksaan apusan darah samar untuk mengetahui apakah
ada infeksi cacing tambang.
Terapi
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi.
1. Terapi kausal : terapi terhadap penyebab. Misalnya pengobatan cacing tambang,
hemoroid, menorhagia.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi di dalam tubuh.
- Terapi besi oral
Merupakan pilihan utama karena efektif, murah, aman. Preparat yang tersedia adalah
ferrous sulfat yang merupakan pilihan pertama karena paling murah dan efektif. Dosis
anjuran adalah 3x200 mg. Setiap 200 mg mengandung 66 mg besi elemental. Preparat
lain adalah ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferous lactate, ferrous succinate. Akan
tetapi preparat tersebut memiliki harga yang lebih mahal dengan efektivitas yang
hampir sama dengan ferrous sulfat.
11
Preparat oral sebaiknya diberikan pada keadaan lambung kosong. Efek samping yang
sering adalah efek gastrointestinal seperti mual, muntah, konstipasi. Untuk
mengurangi efeknya dapat diminum saat makan. Pengobatan besi diberikan 3 sampai
6 bulan. Untuk peningkatan penyerapan besi dapat diberikan pula preparat vitamin C,
akan tetapi dapat meningkatkan efek samping.
- Terapi besi parenteral
Terapi parenteral memiliki efektivitas sangat baik, tetapi memiliki risiko lebih besar
dan harga yang lebih mahal. Oleh karena itu, pemberian prepara besi parenteral hanya
dilakukan atas indikasi. Beberapa indikasinya adalah : (1) intoleransi terhadap besi
oral, (2) kepatuhan terhadap obat, (3) gangguan pencernaan seperti kolitis ulseratif
yang kambuh bila diberikan bersi, (4) penyerapan terganggu karena gastrektomi, (5)
perdarahan masif sehingga preparat oral tidak cukup untuk mengkompensasi, (6)
kebutuhan besi yang besar dalam waktu singkat, misal pada kehamilan trimester 3
atau sebelum operasi, (7) defisiensi besi fungsional akibat pemberian eritropetin pada
GGK.
3. Diet
Sebaiknya mengkonsumsi makanan bergizi dengan tinggi protein terutama protein
hewani. Konsumsi vitamin C untuk meningkatkan penyerapan. Kurangi sementara
konsumsi yang mengandung terlalu banyak serst ataupun zat pati karena dapat
menghambat penyerapan besi (terutama besi non-heme).
Prognosis
Anemia defisiensi besi adalah kelainan yang dapat diobati dengan hasil yang sangat baik.
Anemia defisiensi zat besi kronis jarang penyebab langsung kematian. Tetapi prognosisnya
dapat menjadi buruk sesuai dengan penyakit yang mendasarinya, misal neoplasma.
Komplikasi
- Hipoksia
- Disfungsi otot
- Pada anak-anak : pertumbuhan melambat, kemampuan belajar berkurang.
12
Pencegahan
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka diperlukan
pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat berupa :
1. Pendidikan kesehatan
- Kesehatan lingkungan, misanya tentang pemakaian jamban, pemakaian alas kaki
sehingga dapat mencegah cacing tambang
- Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang meningkatkan absorbsi
besi
2. Pemberantasan infeksi cacing tambang
3. Suplementasi besi sebagai profilaksis terutama pada segmen penduduk yang rentan
seperti ibu hamil, dan balita. Di Indonesia diberikan pil besi dan folat.
4. Fortifikasi makanan dengan besi. Di negara barat dilakukan fortifikasi besi pada tepung
ataupun susu formula.
PENUTUP
1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga, 2007. h.84-5
2. Bhakta IM. Pendekatan terhadap pasien anemia. Dalam : Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid 2. Ed.5. Jakarta : Interna Publishing, 2009.h.1109-13
3. Shah NK, Manchanda H, Lokeshwar MR Clinical approach to a child with anemia. In :
Practical pediatric hematology. New Delhi : Jaypee Brothers Medical
Publishers,2012.p.15-6
4. Soenarto. Anemia megaloblastik. Dalam : Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 2. Ed.5.
Jakarta : Interna Publishing, 2009.h.1141-7
5. Sheth S. Diagnostic approach to Anemia in Childhood. In : Pediatric
hematology/oncology secret. Philadelphia : Hanley & Belfus Medical Publishers,
2002.p.1-6
6. Atmakususma D, Setyaningsih I. Talassemia : manifestasi klinis, pendekatan diagnosis,
dan thalassemia intermedia. Dalam : Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 2. Ed.5. Jakarta :
Interna Publishing, 2009.h.1387-90
7. Cheerva AS. Alpha thalassemia. Medscape Reference, 09 Mei 2013 [diakses 10 April
2014]. Tersedia dari : http://emedicine.medscape.com/article/955496-overview#showall
13
8. Takeshita K. Beta thalassemia. Medscape Reference, 04 Februari 2013 [diakses 10 April
2014]. Tersedia dari : http://emedicine.medscape.com/article/206490-overview
9. Supandiman I, Fadjari H, Sukrisman L. Anemia pada penyakit kronis. Dalam : Buku ajar
ilmu penyakit dalam jilid 2. Ed.5. Jakarta : Interna Publishing, 2009.h.1138-9
10. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia defisiensi besi. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid 2. Ed.5. Jakarta : Interna Publishing, 2009.h.1127-9
11. Brittendam GM. Anemia secondary to iron deficiency. In : Pediatric
hematology/oncology secret. Philadelphia : Hanley & Belfus Medical Publishers,
2002.p.21-4
12. Harper JL. Iron Deficiency Anemia. Medscape Reference, 16 Desember 2013 [diakses 10
April 2014]. Tersedia dari : http://emedicine.medscape.com/article/202333-overview
13. Rastogi N, Sachdeva A. Nutritional anemia. In : Practical pediatri hematology. New Delhi
: Jaypee Brothers Medical Publishers,2012.p.41-7
14. Windiastuti E. Anemia defisiensi besi pada bayi dan anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia,
05 September 2013 [diakses 10 April 2014]. Tersedia dari : http://idai.or.id/public-
articles/seputar-kesehatan-anak/anemia-defisiensi-besi-pada-bayi-dan-anak.html
14