buku ke2 (6-8) jadi

Upload: kunyukkk

Post on 17-Jul-2015

351 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

AGROTEKNOLOGI A

AmMu_AmMu c Agunk

VI. MIKROBA PADA AGRO-EKOSISTEM TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS: 1. Dapat menjelaskan tipe komunitas mikroba tanah atau lahan pertanian 2. Dapat menyebutkan minimal 3 contoh ragam mikroba tanah/lahan pertanian 3. Dapat menjelaskan secara singkat pengaruh praktek pertanian terhadap ragam jenis mikroba PENGANTAR Ruang lingkup agri-ekosistem yang dimaksudkan di sini meliputi ekosistem pertanian tanaman pangan, perkebunan atau tanaman keras dan kehutanan. Pada lingkup tersebut beragam mikroba hidup berinteraksi dengan tumbuhan dan hewan. Dalam interaksi dengan tumbuhan dan hewan, mikroba umumnya dipandang dapat bersifat menguntungkan ke dua pihak misalnya interaksi Rhizobium dengan tanaman legum. Dapat pula interaksi itu merugikan salah satu pihak, misalnya karena menyebabkan penyakit. Beragam penyakit pada tumbuhan misalnya penyakit busuk batang, penyakit mozaik daun tembakau disebabkan oleh mikroba. Pola pengolahan tanah akan mempengaruhi ragam mikroorganisma tanah. Managemen pertanian yang baik akan dapat mempertahankan komunitas mikroba yang menguntungkan dan menekan munculnya penyakit akibat mikroba. LINGKUNGAN TANAH Tanah tersusun atas lapisan-lapisan, bagian teratas disebut sebagai lapisan (horizon) O, yaitu lapisan berupa bahan organik pada berbagai tahapan pelapukan (weathering), lapisan ini tidak selalu ada. Dibawah lapisan O terdapat lapisan permukaan atau lapisan A tersusun atas berbagai komposisi mineral dan bahan organik terdekomposisi, selalu mengalami pelapukan karena faktor-faktor lingkungan dan aktivitas organisma, kaya akan nutrien dan cukup oksigen. Dilanjutkan dengan lapisan E (zone eluviasi, eluviation zone) yaitu lapisan yang mengalami pengkayaan mineral yang berasal dari pelindihan (leaching) mineral. Di bawahnya disebut sebagai lapisan B (zone iluviasi, illuviation zone) yang memiliki cukup nutrien berupa mineral, senyawa organik dan karbonat akibat dari pencucian (washing) yaitu mineral hasil pelapukan dan pelindihan yang terbawa dari lapisan di atasnya oleh rembesan air hujan atau air permukaan. Adapun lapisan berikutnya disebut lapisan C yang dicirikan oleh mineral-mineral yang tidak mengalami pelindihan dan pelapukan yaitu serpihan batuan induk yang menjadi asal mula tanah di bagian atas dan sedimen letak lapisan ini tepat di atas batuan induk (bed-rock). Tebal masing-masing lapisan dan jenis lapisan yang dijumpai pada setiap lahan tidak sama dan tidak selalu lengkap, pada lahan lain mungkin lapisan-lapisan yang ada masih mengalami pengelompokan (sub-zone) lanjut (Gambar 6.1.) Pada dasarnya proses pelapukan batuan tersebut berlangsung berkelanjutan dan membebaskan mineral serta ion-ion yang berperan dalam menjaga pH tanah tetap konstan. Lapisan A ini pula yang sangat penting dalam pertanian karena kaya akan mineral dan senyawa organik.

(a)

(b)

Gambar 6.1. Penampang melintang lapisan tanah yang paling umum dijumpai (a) dan lapisan lengkap (b) Lingkungan tanah diyakini merupakan lingkungan yang paling kaya dan kompleks dibandingkan lingkungan lainnya seperti udara dan air. Kekayaan ini tidak saja terbatas pada kedudukan geografisnya yaitu kutub, iklim sedang atau tropis, tetapi juga sifatnya mulai dari gurun, tanah daerah hutan hujan tropis hingga tanah gambut. Keragaman lingkungan tanah juga terjadi karena perbedaan struktur batuannya seperti: pasir, tanah liat, dan batuan kapur serta keragaman karena kedudukannya yaitu dipermukaan, daerah perakaran tanah atau dikedalaman. Selama ini perhatian terhadap mikrobiologi tanah erat kaitannya dalam masalah pertanian, akan tetapi kemudian perhatian terhadap mikroba tanah semakin meningkat dengan makin berkembangnya keragaman jenis polutan. Ragam jenis materi dan atau polutan pada tanah pertanian sebagian besar berupa senyawa organik tersebut berasal dari dekomposisi sisa-sisa tumbuhan, secara garis besar penguraian sisa tumbuhan akan menjadi menjadi humus (Gambar 6.2.) yang berperan penting dalam stabilitas tanah dan biasanya kaya akan mikroba. Humus dapat didefinisikan sebagai semua materi organik yang telah mencapai titik kestabilan dan tidak mengalami dekomposisi lanjut dan jika tanpa perubahan kondisi dapat terus menjalankan fungsinya untuk jangka waktu panjang. Umumnya humus akan membentuk lapisan tanah berwarna coklat gelap atau hitam.

Gambar 6.2. Siklus pembentukan humus MIKROBIOLOGI RHIZOSFER DAN MIKROBA ENDOFIT Pada lingkungan tanah mikroba berperan utama dalam aliran energi dan daur nutrien yang berkaitan dengan produktivitas primer. Daerah perakaran tumbuhan secara umum disebut sebagai rizosfer (rhizosphere) sedangkan daerah di sekitar tumbuhan disebut sebagai filosfer (phyllosphere). Perakaran tumbuhan pada saat fotosintesis akan memasok oksigen ke rizosfer atau sebaliknya pada saat respirasi akan membebaskan karbondioksida pada rizosfer, dan secara berkelanjutan perakaran akan membebaskan nutrien yang berasal dari eksudat, sekresi akar atau lisisnya sel-sel di perakaran. Beragam mikroba hidup dan berkembang di rizosfer termasuk permukaan perakaran (rhizoplane) dan mendapatkan keuntungan dari ketersediaan oksigen dan nutrien, diantara mikroba tersebut bersifat patogenik, saprofitik dan yang bersifat mutualistik. Keadaan tersebut menyebabkan populasi mikroba rizosfer makin jauh dari akar makin berkurang begitupula keragamannya (Tabel 6.1), perbedaan jumlah mikroba daerah rizosfer dan bukan rizosfer dapat mencapai puluh hingga ratusan kali lebih tinggi dibandingkan bagian tanah lainnya. Mikroba rizosfer dapat menguntungkan, merugikan, netral atau variabel terhadap tumbuhan. Pengaruh menguntungkan antara lain stabilisasi tanah, penyerapan air dan nutrien, memacu pertumbuhan, fiksasi N2, pengendalian hayati, antibiosis dan simbiosis. Berbagai pengaruh merugikan yang dapat terjadi antara lain berupa penyakit, fitotoksisitas serta kompetisi nutrien. Adapun pengaruh netral atau variable yang mungkin timbul antara lain berupa alelopati, pelekatan, pembebasan enzim, dan aliran nutrien (Sylvia et al., 1997). Secara umum pengaruh mikroba rizosfer dalam penyediaan nutrien pada tumbuhan yaitu: 1. Merubah sifat morfologi dan fisiologis akar dan sistim perakaran 2. Merubah fase keseimbangan nutrien sehingga mudah ditransport ke permukaan akar dan atau diabsorbsi

3. Merubah komposisi kimia tanah misalnya mineralisasi senyawa organik dan pelapukan batuan 4. Melalui proses simbiotik melakukan transfer nutrien langsung dari mikroba simbion ke inang 5. Menghambat area penyerapan pada akar tumbuhan atau kompetisi dalam mendapatkan makanan (Nye & Tinker, 1977). Tabel 6.1. Pengaruh mikroba pada rizosfer jarak dari akar (m) Rhizoplane 0-1 Rizosfer dalam 0-5 5-10 10-15 Rizosfer luar 15-20 Sumber: Sylvia et al. (1997). Zone keragaman mikroba 11 12 5 2 2 Frekuensi dalam tanah (sel/cm3 x109) 120 96 41 34 13

Secara umum interaksi tumbuhan dan mikroba pada rizosfer didasarkan pada modifikasi interaktif lingkungan tanah oleh berbagai proses seperti penyerapan air dan pembebasan senyawa organik oleh perakaran yang merupakan nutrien bagi mikroba, serta penyediaan mineral oleh aktivitas mikroba sehingga siap digunakan oleh tumbuhan. Interaksi antara komunitas mikroba dengan tumbuhan di rizosfer sangat kompleks. Tumbuhan akan mengeluarkan senyawa organik yang akan memacu pertumbuhan populasi mikroba, senyawa organik tersebut dapat berupa karbohidrat, asam-asam amino, asam-asam organik, hormon, vitamin, dan enzim. Bentuk senyawa organik yang dibebaskan oleh akar dapat beragam yaitu: 1. Eksudat yang merupakan senyawa dengan berat molekul rendah yang keluar merembes dari perakaran secara non-metabolik, 2. Sekret merupakan senyawa yang dibebaskan dari sel-sel tumbuhan secara metabolik, 3. Lisat (lysates) merupakan senyawa yang dibebaskan saat sel-sel mengalami lisis 4. Musilagus (mucilages) yaitu polisakarida dari sel-sel ujung akar, dinding sel primer serta sel-sel lainnya 5. Musigel (mucigel) yaitu senyawa dengan konsistensi seperti gelatin dari tumbuhan maupun mikroba (Rovira et al., 1979). Perakaran sangat menentukan komposisi dan densitas komunitas mikroba tanah yang disebut sebagai efek rizosfer. Efek rizosfer dapat diketahui dengan melihat rasio jumlah mikroba pada rizosfer (R) dengan jumlah mikroba pada area yang jauh dari perakaran (S) dan besarnya rasio (R/S) umumnya antara 5-20 (Atlas & Bartha, 1987).

VII. INTERAKSI MIKROORGANISMAKOMPETENSI KHUSUS: 1. Dapat menjelaskan dengan singkat interaksi mikroba dengan sesama mikroba, hewan dan tumbuhan 2. Dapat memberikan sedikitnya 2 contoh interaksi menguntungkan antara mikroba dan tumbuhan 3. Dapat memberikan sedikitnya 2 contoh interaksi merugikan antara mikroba dengan tumbuhan PENGANTAR Organisma di alam hidup berinteraksi dengan sesama spesies (intraspesies), dengan spesies lainnya (interspesies). Interaksi tersebut dapat bersifat menguntungkan kedua belah pihak, menguntungkan salah satunya, merugikan salah satu pihak atau merugikan keduanya bahkan bahkan dapat bersifat netral. Seringkali bentuk interaksi organisma yang bersifat tidak merugikan cukup disebut dengan istilah simbiosis, sehingga dikenal istilah simbiosis mutualisma jika kedua belah pihak diuntungkan dan simbiosis komensalisma jika menguntungkan salah satu pihak saja. Adapun bentuk interaksi lain yaitu parasitisma jika salah satu mendapat keuntungan dari organisma lainnya, predatorisma jika organisma yang satu menjadikan organisma lainnya sebagai mangsa, selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 7.1. Secara spesifik dalam bab ini dibahas bentuk-bentuk interaksi antara mikroba dengan mikroba lainnya baik inter maupun intraspesies, serta antara mikroba dengan hewan dan tumbuhan. Tabel 7.1. Bentuk interaksi antara organisma satu dengan lainnya Bentuk Interaksi Neutralisma Komensalisma Mutualisma Amensalisma Predasi, parasitisma Populasi/Species A 0 0 + 0 + Populasi/Species B 0 + + -

Kompetisi Keterangan: + menguntungkan, 0 tidak menguntungkan atau merugikan, - merugikan Diantara bentuk-bentuk interaksi yang diketahui antara lain dapat dilihat interaksi antar spesies mikroorganisma dan mikroorganisma dengan makroorganisma dalam daur unsur yang akan dibicarakan pada bab tersendiri. Bentuk-bentuk interaksi yang berlangsung di rhizosfer antara mikroorganisma dan tumbuhan ditunjukkan dalam Gambar 7.1. Bentuk hubungan interaksi tersebut dapat bersifat menguntungkan (beneficial) karena peran mikroba antara lain dalam stabilisasi tanah, pengambilan air,

produksi faktor tumbuh, fiksasi nitrogen dan pengendalian biologi. Adapun peran merugikan antara lain kompetisi nutrien, dan penyakit.

Gambar 7.1. Interaksi komunitas mikroba rhizosfer dengan tumbuhan INTERAKSI MIKROBA-MIKROBA Interaksi antara mikroba dapat berupa interaksi intra-spesies yaitu interaksi antara spesies atau populasi yang sama dan inter-spesies yaitu interaksi dengan spesies atau populasi mikroba lain. Sebagaimana disebutkan di atas bentuk interaksi tersebut dapat saling menuntungkan, mengun tungkan salah satu atau merugikan. Salah satu bentuk interaksi yang saling menguntungkan dapat dilihat pada interaksi antara fungus yang berperan sebagai mikobion (fungus simbion) dan alga yang berperan sebagai pikobion (alga simbion) sebagaimana ditunjukkan dalam bentuk kehidupan bersama sebagai lumut kerak (lichen). Dalam interaksi ini algae berperan dalam proses mineralisasi senyawa organik dan pelapukan materi bebatuan untuk menyediakan mineral bagi keperluan alga, adapun alga berperan dalam penyusunan materi organik melalui fotosintesa dan menyediakan nutrien bagi fungus. Pada lumut kerak, fungus yang berperan sebagai mikrobion umumnya dari anggota Ascomycota, Deuteromycota dan Basidiomycota dengan mikroalga sebagai fikobion berupa Chlorophyta, Xanthophyta dan Cyanobacteria, menghasilkan bentuk tubuh (thalus) makroskopik yang khas. Lumut kerak dapat bertahan hidup dalam kondisi yang ekstrim panas, dingin, lembab maupun kering sehingga kehadirannya tersebar luas dari daerah tropis sampai antartika. Dapat tumbuh dan berkembang pada area yang tandus seperti bebatuan sebagai flora pionir.

Pada umumnya lumut kerak tidak dapat tumbuh subur di daerah industri perkotaan karena sensitif terhadap pencemaran udara terutama dari unsur Fluor (F) dan Sulfur Oksida (SO2), karena sifat tersebut lumut kerak dapat dipakai sebagai bioindikator terhadap pencemaran udara. Bagi manusia lumut kerak dimanfaatkan sebagai makanan manusia, obat, pewarna kain, indikator lakmus, kosmetik, parfum, lotion dan racun hewan. Bentuk interaksi predasi atau parasitisma antara mikroorganisma dan mikroorganisma lain ditunjukkan oleh infeksi bakteriofag (fage bakteri) pada sel bakteri. Bakteriofag merupakan virus penginfeksi bakteri, selain bakteri virus juga dapat menyerang algae (fage algae) dan organisma lainnya. Sel-sel mikroba yang terinfeksi dapat lisis dan mati. Bentuk predasi yang lain yaitu predasi bakteri dan algae oleh beragam protozoa, dan predasi bakteri oleh bakteri Cytophaga. Interaksi antagonisme yang paling populer diketahui pada penemuan pinisilin secara tidak sengaja ketika Alexander Flemming menemukan kultur bakteri Staphylococcus aureus yang disimpan ditumbuhi oleh kontaminan yang kenudian diketahui sebagai fungus Penicillium yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri ditunjukkan oleh adanya zone jernih disekeliling koloni fungus (Gambar 7.2).

Gambar 7.2. Zone jernih disekliling koloni fungus menunjukkan bentuk antagonisme Bentuk interaksi yang lain yaitu kompetisi yang dapat berupa kompetisi nutrisi dan ruang. Bentuk interaksi ini antara lain dalam hubungan antara Pseudomonas fluorescens dengan fungus parasit tanaman yaitu Fusarium spp.. Kedua mikroba ini memerlukan Fe untuk pertumbuhannya, tetapi Pseudomonas mampu mengamanan kebutuhan Fe dalam bentuk persenyawaan siderofor sehingga tidak ada lagi Fe yang tersedia bagi Fusarium. Ketidak tersediaan Fe bagi Fusarium menyebabkan pertumbuhannya tertekan bahkan kemudian mati. Kompetisi juga ditunjukkan antara Paramaecium aurelia dan P. caudatum yang selalu dimenangkan P. aurelia tetapi jika dalam lingkungan tersebut ditumbuhkan P. caudatum dan P. bursaria keduanya tetap dapat bertahan hidup dan tidak terjadi kompetisi. Hal ini terjadi karena P. caudatum dan P. aurelia menghuni lingkungan berbeda, P bursaria di dasar dan P. caudatum di kolom air. P. aurelia mengambil makanan juga di kolom air.

INTERAKSI MIKROORGANISMA-HEWAN Mikroorganisma secara fisik dapat berasosiasi atau berinteraksi dengan hewan dan tumbuhan, secara: 1. Ektosimbiosis, mikroorganisma tetap berada di luar sel atau tubuh inang 2. Endosimbiosis-mikroorganisma berada di dalam sel atau tubuh organisma inang 3. Ekto-endosimbiosis-mikroorganisma hidup baik di luar atau di dalam sel atau tubuh inang Pada tubuh manusia, hewan dan tumbuhan, setiap bagian tubuhnya memiliki spesifikasi struktur, fungsi dan dan karakternya. Ketika suatu organisma kontak pertama dengan lingkungan, masing-masing bagian tubuhnya dengan segera juga akan kontak dengan mikroorganisma yang sebagian akan membentuk flora mikroba normal (normal microflora). Flora mikroba normal yaitu suatu kelompok berbagai mikroba yang pada keadaan normal selalu di jumpai pada setiap bagian tubuh inang yang sehat. Pada kondisi normal dan di jaringan atau organ normalnya, flora normal tidak akan menyebabkan penyakit. Ragam spesies mikroba pada setiap bagian tubuh berbeda-beda, misalnya pada kulit manusia flora mikroba normal berupa Staphylococcus epidermidis, saluran pernafasan atas Staphylococcus aureus, sedang pada usus besar antara lain Escherichia coli. Meskipun umum dijumpai, tetapi jika oleh suatu keadaan mikroba tersebut berada pada area yang bukan habitatnya maka akan menyebabkan gangguan kesehatan. Sebagai contoh, karena adanya luka di kulit yang agak dalam jika Staphylococcus epidermidis masuk ke dalamnya akan menyebabkan infeksi, luka dapat berkembang menjadi borok. Contoh lain yaitu ketika seseorang mandi berendam di sungai yang tercemar kotoran manusia, Escherichia coli dapat masuk ke vagina dan menyebabkan peradangan. Selain flora mikroba normal, pada tubuh hewan dapat dijumpai flora mikroba transien dan flora mikroba residen. Flora transien jika mikroba yang berasal dari luar (misalnya makanan) masuk ke dalam tubuh, tidak mati tetapi kemudian ke luar lagi bersama kotoran, adapun flora residen jika mikroba bukan flora normal ikut masuk ke dalam tubuh dan tetap hidup menentap sementara waktu dalam tubuh inang tanpa mengalami pertumbuhan. Bentuk interaksi antara hewan dan mikroorganisma dapat menguntungkan ataupun merugikan. Pada hewan ternak misalnya, interaksi dengan mikroba dapat menguntungkan antara lain karena mikroba pada saluran pencernaan menghasilkan enzim pencernaan dan sintesa vitamin. Pada perkembangannya mikroba yang menguntungkan tersebut dapat dikembangkan untuk memanipulasi populasi mikroba dalam tubuh hewan atau manusia agar berperan menguntungkan inang secara optimal dalam bentuk probiotik. Probiotik sendiri didefinisikan sebagai pemberian sel-sel mikroba hidup yang menguntungkan inang. Interaksi mikroba dan hewan dapat pula merugikan antara lain dalam bentuk karena menyebabkan penyakit (sebagai patogen) dan parasit. Bentuk interaksi hewan dan mikroba yang khas dapat dijumpai pada rumen hewan ruminansia seperti sapi. Lingkungan rumen sangat spesifik, di dalamnya mengandung mikroba 1010 - 1012 sel/ml. Rumen berperan seperti fermenter kontinyu dengan substrat berupa materi lignoselulosa. Mikroba rumen menjalankan fungsi pencernaan dengan menghasilkan enzim-enzim seperti selulase, hemiselulase dan lisozim. Pada proses tersebut akan dihasilkan antara lain asam-asam lemak menguap (volatile fatty acids, VFA), vitamin-vitamin, protein mikroba dan energi. Dari proses tersebut hewan ruminansia antara lain dapat mencukupi kebutuhan protein dari mikroba

berupa 50-80% N atau setara 3 kg protein per hari, 70% energi yang berasal dari 50 125 uM/ml VFA, dan kecukupan vitamin-vitamin B. INTERAKSI MIKROORGANISMA-TUMBUHAN Adapun dalam interaksi mikroorganisma dan tumbuhan, bentuk-bentuk interaksinya dapat sederhana hingga kompleks baik dalam bentuk ektosimbiosis, endosimbiosis atau ekto-endosimbiosis 1. Ektosimbiosis Sekelompok mikroorganisma secara spesifik akan menempati bagian eksternal tumbuhan, yaitu daerah perakaran atau rizosfer (rhizosphere) dan daerah di atas permukaan tanah atau filosfer (daun, batang, bunga, buah) (phyllosphere). Adapun daerah yang langsung pada permukaan akar dikatakan sebagai rhizoplane. Sejumlah mikroba dapat dijumpai pada lebih dari satu organ, jaringan atau bagian tanaman sedangkan mikroba lainnya mungkin sangat spesifik pada organ atau jaringan tertentu saja. Salah satu contoh ektosimbiosis mikroba-tumbuhan yaitu interaksi tumbuhan dengan ektomikorhiza Ektomikoriza merupakan kelompok mikoriza yang paling mudah dikenali karena kemampuannya membentuk tubuh buah, umumnya merupakan fungi Basidiomycotina. Ektomikoriza akan membentuk selubung pada permukaan akar yang disebut hartignet. (Gambar 7.3.) Ektomikoriza sangat penting dalam bidang pertanian, perkebunan maupun kehutanan karena kemampuannya dalam mendukung pertumbuhan tanaman inang. Adapun contoh-tumbuhan bernilai ekonomi yang merupakan inang mikoriza ditunjukkan pada Tabel 7.2. berikut: Tabel 7.2. Contoh tumbuhan bernilai ekonomi inang ektomikoriza Familia Dipterocarpaceae Caesalpinoidea Mimmosoideae Myrtaceae Pinaceae Tiliaceae Sapindaceae Vitaceae Cuprassaceae Gnetaceae Genus Dipterocarpus, Shorea Cassia Acacia Eucalyptus, Melaleuca Pinus Tilia Nephelium Vitis Juniperus Gnetum

A C

B

Gambar 7.3. Ekromikoriza berupa hifa di perakaran (A) dan bentukan badan buah (fruit bodies) pada pangkal tanaman (B). Penampang melintang ektomikoriza pada perakaran (C)

2. Endosimbion Rhizobium merupakan salah satu mikroba pengikat nitrogen simbiotik yang berlangsung dalam asosiasi dengan tanaman leguminosa. Proses pembentukan bintil akar sebagaimana Gambar 7.4. mencakup serangkaian interaksi yang kompleks antara akar tumbuhan dan Rhizobium.

Gambar 7.4. Interaksi bakteria dan akar tumbuhan pada infeksi Rhizobium pada pembentukan bintil akar Pada awalnya akar tumbuhan mensekresi senyawa flavonoid yang merangsang bakteria untuk tinggal dan berkembang di rizosfer. Lektin yang merupakan senyawa yang terdapat pada sel Rhizobium merupakan senyawa spesifik yang menjadi mediator

pelekatan Rhizobium pada rambut-rambut akar tanaman yang sesuai. (Dazzo & Hubbel, 1975; Dazzo & Brill, 1979). Selama proses nodulasi triptofan akan disekresi akar selanjutnya dioksidasi oleh Rhizobium menjadi asam indol asetat (indole acetic acid, IAA). IAA bersama-sama dengan senyawa kofaktor tertentu yang mungkin disekresi akar merangsang terjadinya pengeritingan rambut akar. Rhizobium atau tumbuhan inang kemungkinan memproduksi enzim poligalakturonase yang menyebabkan rusaknya dinding sel sehingga memungkinkan sel-sel Rhizobium melakukan penetrasi pada jaringan lunak akar tumbuhan (Ridge & Rolfe, 1985). Setelah berhasil melakukan penetrasi maka infeksi terjadi dengan pembentukan tabung infeksi yaitu suatu sel tumbuhan yang bersalut selulosa dan mengandung Rhizobium, selanjutnya sel-sel mikroba akan berkembang biak Kehadiran fungi di lingkungan mencakup aspek yang sangat luas. Fungi dapat berasosiasi dengan organisma lain dalam bentuk simbiosis, dan pada banyak kasus hal ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan karbohidrat bagi fungi dan bagi organisma simbionnya keuntungan yang diperoleh berupa nutrien, misalnya asosiasi fungi dengan algae pada lumut kerak dan antara fungi dengan rayap, perlindungan dari predasi misalnya kehadiran fungi endofitik pada daun dan batang yang mampu menghasilkan toksin dan meracuni hewan herbivora, serta perlindungan terhadap patogen sebagaimana ditunjukkan oleh peran mikoriza (mycorrhiza) pada tanaman yang mampu meningkatkan daya tahan tumbuhan terhadap penyakit. Mikoriza merupakan bentuk asosiasi mutualistik antara fungi tanah dengan tumbuhan. Bentuk asosiasi ini sangat penting bagi tumbuhan dalam kaitannya dengan ketersediaan P serta nutrien lain yang umumnya hanya tersedia dalam bentuk imobil (tidak mudah larut), sehingga mikoriza dikatakan sebagai salah satu mikroba pelarut fosfat. Mikoriza juga membantu inang lebih tahan kekeringan dan kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan lainnya. Mikoriza juga mampu menghasilkan hormon pertumbuhan seperti auxin, sitokinin dan giberelin. Secara umum ada 4 kelompok mikoriza yaitu mikoriza arbuskular atau dikenal pula sebagai endomikoriza (AM, arbuscular mycorrhiza), mikoriza anggrek (Orchidaceous), mikoriza Ericaceae (Ericaceous) dan ektomikoriza (Pepper, 1999). Endomikoriza sendiri secara umum dikenal sebagai mikoriza arbuskular (AM, arbuscular mycorrhiza), beberapa diantara AM mampu membentuk vesikula pada akar sehingga mikoriza yang demikian disebut pula sebagai mikoriza vesikular-arbuskular (VAM, vesicular-arbuscular mycorrhiza) (Gambar 7.5).

Arbuskular vesikular Gambar 7.5. Endomikoriza arbuskular (AM) (kiri) dan vesicular arbuscular mycorhiza (VAM) (kanan) dengan vesicular-nya (tanda panah) AM dijumpai mengkolonisasi lebih dari 90% tumbuhan tingkat tinggi. Pada lingkungan yang terganggu, misalnya pembukaan hutan atau penebangan pohon dapat

menyebabkan gangguan pada distribusi, kemelimpahan dan komposisi spesies pada lingkungan tersebut. Infeksi mikoriza AM pada akar tumbuhan melibatkan interaksi yang kompleks antara tumbuhan, fungi dan mikroba tanah lainnya serta sifat tanah. Ekstrak tanah, eksudat akar dan senyawa flavonoid merupakan stimulan bagi terjadinya infeksi mikoriza AM. Dengan miselianya yang panjang mikoriza mampu mendapatkan nutrien serta air bagi inangnya dari area yang tidak terjangkau akar. Arbuskular yang dibentuk AM merupakan hifae bercabang halus yang mampu memperluas permukaan plasmolema akar 2-3 kali lipat. Selain membantu dari segi kecukupan nutrien bagi inang, juga melindungi akar dari patogen melalui perannya sebagai pelindung mekanik, melalui produksi antibiotik, dan kompetisi dalam menempati ruang. Mikoriza juga melindungi inang dari pengaruh toksik cemaran seperti hujan asam, sulfur dioksida dan ion logam (misalnya logam berat dan aluminium). Mikoriza terbukti mampu meningkatkan keragaman dan populasi spesies bakteria yang ada pada rizosfer. Diantara bakteri tersebut ada yang mampu meningkatkan laju penguraian substrat yang dapat difermentasi atau dioksidasi, hal ini ditunjukkan dengan tingginya mikroba pereduksi biru metilin dan pemfermentasi glukosa (Tabel 7.3.). Tabel 7.3. Populasi mikroba pada rizosfer yang mengandung mikoriza dan tidak pada persemaian tumbuhan yellow birch Jumlah per gram berat kering akar Akar dengan mikoriza Akar tanpa mikoriza Pereduksi biru metilin 5,8 x 108 5,0 x 105 Pemfermentasi glukosa 4,9 x 107 1,0 x 104 7 Penghasil asam 5,8 x 10 1,3 x 107 Penghasil gas 1,2 x 108 1,0 x 104 5 Bakteri amonifikasi 2,7 x 10 Penghasil pigmen fluoresens 5,0 x 107 Sumber: Katznelson (dalam Richards, 1994). Selain Rhizobium dan AM sejumlah mikroba berinteraksi dengan tumbuhan dan digolongkan sebagai mikroba endofitik yaitu mikroba yang hidup berasosiasi dengan tumbuhan pada keseluruhan atau sebagian besar siklus hidupnya. Mikroba endofitik dijumpai dalam jaringan tumbuhan (intraseluler atau ekstra seluler) dan tidak bersifat patogen, jaringan tersebut bisa berupa jaringan akar, batang, daun, bunga atau buah. Dalam asosiasi ini keduabelah pihak saling diuntungkan (mutualistik), dalam banyak kasus mikroba endofitik mampu berperan sebagai agen pengendalian hayati (biological control) berbagai penyakit tumbuhan, meningkatkan produksi tumbuhan serta sifat menguntungkan lainnya seperti ketahanan terhadap garam, pH rendah dan kekeringan. Salah satu mikroba endofitik yaitu fungi, tetapi tidak seluruh fungi endofitik bersifat obligat, banyak diantaranya bersifat saprofitik dan dapat hidup di luar jaringan tumbuhan. Beberapa fungi endofitik antara lain: Cryptosporiopsis sp., Phomopsis sp., Septoria alni dan Rhabdocline parkeri. Adapun fungi endofitik obligat yang dijumpai pada rumput antara lain Balansia sp., Epichloe typhina dan Neotyphodium sp. Diantara tumbuhan inang fungi endobiotik antara lain alfalfa dan konifer. Sejumlah bakteri diketahui merupakan bakteria endofitik meliputi beragam genus antara lain: Acetobacter, Achromobacter, Burkholderia, Campylobacter, Macam bakteria

Corynebacterium, Cytophaga, Bacillus, Brevibacterium, Flavobacterium, Leuconostoc, Klebsiella, Micrococcus, Enterobacter, Azospirillium dan Erwinia (Tabel 7.4.). Bakteria tersebut dijumpai pada berbagai jaringan seperti ovula, biji, akar, daun, polong buah, dan batang. Mikroba rizosfer diyakini membantu tumbuhan inang dalam pengendalian penyakit infeksi termasuk infestasi nematoda, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa berbagai mikroba rizosfer mampu menghasilkan antibiotik. Antibiotik yaitu suatu senyawa kimia heterogen dengan molekul kecil yang pada konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan atau aktivitas metabolik mikroba lainnya. Diantara mikroba yang menghasilkan antibiotik yaitu Streptomyces. Di Yunan Cina, Xu et al (1996) mendapatkan bahwa Streptomyces merupakan 90% actinomycetes penyusun komunitas mikroba tanah. Pyoluteorin merupakan senyawa antibiotik yang dihasilkan oleh Pseudomonas fluorescens, antibiotik tersebut mampu menghambat pertumbuhan fungi patogenik Pythium ultimum (Howell & Stipanovic, 1980). Tabel 7.4. Bakteria endofitik dan tumbuhan inangnya Bakteria Azospirillium lipoferum, A. brasilense, A. amazonense Acetobacter diazotrophicus Campylobacter sp. Klebsiella planticola Bacillus polymyxa B. pumilus Erwinia herbicola Burkholderia sp. Enterobacter cloacae Dikutip dari Bacon & Hinton (1997) Tumbuhan inang Jagung, gandum, sorgum, tebu, padi dan rumput-rumputan Tebu Spartina alterniflora Tebu, padi Tebu Jagung, kapas Tebu Kapas, jagung Tebu, jagung, anggur

Kemampuan produksi senyawa antibiotik, besarnya populasi dan aktivitas metabolisme mikroba ditentukan oleh kuantitas dan kualitas nutrien yang tersedia serta kemampuannya berkompetisi. Selain antibiotik mikroba rizosfer mencegah infeksi atau infestasi patogen melalui berbagai mekanisma seperti: kompetisi dalam menempati ruang dan kolonisasi perakaran, produksi amonia, dan produksi siderofor. Beberapa mikroba tanah dari genus Pseudomonas diketahui mampu menekan infeksi Phytophthora dengan cara memproduksi siderofor yaitu suatu senyawa pengkhelat logam. Siderofor akan mengikat ion-ion besi terutama pada tanah bersifat basa, sehingga Phytophthora akan kekurangan besi dan tertekan pertumbuhannya. Fungi dan actinomycetes juga berperan dalam meningkatkan ketersediaan nutrien. Hal ini disebabkan hifae mikroba tersebut mampu mengkolonisasi remahremah bahan organik, menguraikannya dan dengan cepat dan mentrasfernya ke bagian lain yang jauh dari asal remah-remah sepanjang hifaenya. Beberapa mikroba pada dasarnya bersifat merugikan tumbuhan karena metabolit yang dihasilkannya mampu menginduksi kerusakan pada jaringan tumbuhan seperti hidrogen sianida, asam indol-3-asetat serta senyawa toksin yang belum diketahui sifatnya (Astrom et al., 1993), namun senyawa-senyawa tersebut juga potensial dikembangkan sebagai herbisida untuk mengendalikan gulma. Agrobacterium tumefaciens merupakan mikroba penyebab penyakit tumor pada pangkal akar tumbuhan (crown gall disease) sedangkan A. rhizogenes merupakan penyebab penyakit pada akar

rambut. Tumor yang disebabkan A. tumefaciens memiliki kemampuan tumbuh terus menerus meskipun tanpa kehadiran inisiator, hal ini disebabkan perubahan hereditas sel yang stabil, gen yang berasal dari plasmid Agrobacterium akan dipindahkan dan terintegrasikan pada sel-sel inang. Meskipun A. tumefaciens sangat merugikan tetapi karena sifatnya tersebut A. tumefaciens sangat berharga sebagai pembawa gen dalam usaha peningkatan kualitas tumbuhan secara genetis (tumbuhan transgenik). 3. MIKROBA PADA BATANG, DAUN BUNGAN DAN BUAH Batang, daun, bunga dan buah menjadi habitat pula bagi mikroba seperti: Aureobasidium pullulans, Cryptococcus spp., Rhodotorula spp., Sporobolomyces spp., Pseudomonas spp., Erwinia spp.. Mikroba pada bagian tanaman tersebut umumnya bersifat saprofitik, sebagian lain patogenik seperti: Erwinia, Pseudomonas dan Xanthomonas. Erwinia amylovora merupakan mikroba penyebab bercak api pada daun sedangkan E. carotovora atroseptica merupakan penyebab penyakit black-leg dan busuk akar pada tanaman kentang. Berbagai penyakit tumbuhan dan penyebabnya ditunjukkan Tabel 7.5. Tabel 7.5. Beberapa penyakit penting pada tumbuhanMikroba Fungi: Pythium Phytophthora Plasmopara Rhizopus Podosphaera Alternaria Fusarium Puccinia Ustilago Rhizoctonia Armillaria Beragam Buah, sayuran Anggur Buah & sayuran Tanaman buah Sayuran Sayuran & tanaman pangan Biji-bijian Biji-bijian Tumbuhan herba Tanaman buah Tembakau, sayuran Kentang Biji-bijian, buah Crucifera Ketimun, melon Buah dan sayuran Tanaman buah Kentang Anggur Tembakau Gandum Kentang Kacang-kacangan Padi Kol Busuk akar & biji Busuk akar Downey mildew Busuk lunak Berfungi seperti tepung Rusak daun Daun layu Daun & batang berfungi Buah berfungi Busuk akar & batang Busuk akar Bercak daun Busuk lunak Bercak daun Bercak daun, busuk hitam Kerusakan vaskular, busuk lunak Tumor pangkal akar Kerusakan kulit umbi Penyakit Pierce Khlorosis dan distorsi Daun kerdil dan bercak-bercak Pertumbuhan terhambat Daun khlorosis, berbercak Tumor Pertumbuhan terhambat Tumbuhan Inang Penyakit atau gejalanya

Bakteria:Pseudomonas. syringae P. fluorescens Xanthomonas campestris Erwinia tracheiphila E. carotovora Agrobacterium. tumefaciens Streptomyces scabies Xylella fastidiosa Virus : Tobacovirus Furovirus Potexvirus Potyvirus Phytoreovirus Caulinovirus Dikutip dari Pepper (1999)

Infeksi pada tumbuhan umumnya lewat luka atau bagian yang terbuka terhadap kontak dari luar misalnya stomata. Terjadinya penyakit umumnya dimulai dari kontak patogen dengan tumbuhan, masuknya mikroba ke dalam tubuh tumbuhan, pertumbuhan mikroba di dalam tubuh, dan munculnya gejala-gejala penyakit. Penyebaran mikroba penyakit tumbuhan sendiri dapat berlangsung karena angin, air maupun serangga vektor. Pada bagian atas tumbuhan, mikroba menghadapi tantangan berupa paparan sinar ultra violet matahari, keterbatasan air, suhu tinggi (terutama di daerah tropis), serta senyawa antimikroba yang dihasilkan tumbuhan misalnya fitoaleksin (phytoalexins) (Varnam & Evans, 2000). Pada lingkungan tersebut mikroba juga berkompetisi dalam menempati ruang serta mendapatkan nutrien, misalnya P. fluorescens mampu menghasilkan antibiotik antifungal dan antibakteria sehingga mampu bersaing dengan P. syringae pv. phaseolicola yang bersifat patogen terhadap tumbuhan. Kompetisi dalam mendapatkan nutrien merupakan salah satu cara menekan mikroba pesaing. Fungi saprofitik Botrytis cinerea mampu menekan fungi patogen penyebab nekrotik pada tumbuhan yaitu Phoma betae melalui cara kompetisi mendapatkan nutrien berupa asam amino tertentu. Kompetisi tersebut berakibat hambatan perkecambahan spora fungi (Blakeman & Brodie, 1977). Kerugian akibat mikroba dalam pertanian selain penyakit juga kerusakan pascapanen. Hasil panen dapat rusak dalam penyimpanan dan distribusi. Biji-bijian selama penyimpaman di gudang rentan terhadap serangan fungi, yang berasal dari biji-bijian sejak pemanenan atau tercemar selama di gudang akibat spora yang dibawa hewan seperti serangga dan tikus. Kacang-kacangan dan serealia selama penyimpanan sangat rentan terhadap pencemaran Aspergillus flavus, buah-buahan dan sayuran sejak pemanenan hingga distribusi ke konsumen rentan terhadap kerusakan akibat fungi seperti Fusarium oxysporum dan Penicillium expansum.

VIII. SIKLUS UNSUR DAN TRANSFORMASI KIMIAWI OLEH MIKROORGANISMAKOMPETENSI KHUSUS: a. Dapat menjelaskan siklus nitrogen b. Dapat menjelaskan siklus karbon atau salah satu unsur lain selain N c. Dapat memberi contoh hal yang menguntungkan dan merugikan dari siklus unsur

PENDAHULUAN Siklus unsur di alam terjadi baik pada ekosistim tanah (terestrial) mapun perairan. Siklus berlangsung pada unsur makro seperti C, N, P, O, S; unsur mikro seperti Mg, K, Na; serta unsur pelikan (trace-element) seperti Mo, Ni, dan Se. Siklus terjadi pada status biotik mapun status abiotik melibatkan berbagai jenis organisma karena itu siklus unsur di alam disebut pula sebagai siklus biogeokimia. Dalam siklus biogeokimia, suatu senyawa yang berjumlah besar dan tersimpan dalam jangka lama disebut sebagai reservoir atau timbunan. Secara umum siklus biogeokimia didefinisikan sebagai konversi dan gerakan bahan-bahan oleh aktivitas biokimiawi yang berlangsung di ekosfer (Atlas & Bartha, 1987). Siklus unsur meliputi transformasi fisik seperti disolusi, presipitasi, volatilisasi dan fiksasi; transformasi kimiawi seperti sintesa, defradasi dan reaksi oksidasireduksi; serta transformasi yang merupakan campuran ke-duanya. Aktivitas mikroba penting dalam siklus unsur mengingat keragaman kemampuan metabolik dan laju aktivitas enzimatik yang tinggi. Dalam buku ini hanya akan dibahas mengenai siklus C, N, S dan Fe. Dilihat dari sudut pandang antroposentris siklus unsur di alam sangat besar manfaatnya antara lain pada pemanfaat untuk penanganan limbah dan bioremediasi baik senyawa organik maupun anorganik, pelindihan logam. Akan tetapi aktivitas tersebut juga dapat bersifat merugikan, misalnya korosi besi bahan bangunan, pembentukan asam dari limbah cair pertambangan. Dalam hal siklus unsur ini James Lovelock menyampaikan hipotesa Gaia pada awal 70-an yang menyatakan bahwa organisma hidup dan lingkungannya berhubungan erat. Sistim tersebut melibatkan suatu super-organisma dan ketika terlibat dalam sistim akan menghasilkan sifat baru, yaitu kemampuan mengatur iklim dan kimia sendiri, dengan demikian akan terjaga pada kisaran yang sesuai untuk kehidupan (Maier et al., 1999). SIKLUS KARBON Siklus karbon memiliki apa yang disebut sebagai reservoir yaitu timbunan materi, timbunan materi yang terbesar ada dalam bentuk batuan karbonat di lingkungan terestrial, selanjutnya pada ukuran yang lebih kecil dalam bentuk timbunan karbonat di lautan dan yang ketiga dalam bentuk karbondioksida di atmosfer. Dari ketiga timbunan tersebut, karbondioksida merupakan bentuk yang diperlukan bagi berlangsungnya fotosintesa dan merupakan sumber karbon yang paling aktif mengalami siklus. Karbondioksida juga merupakan sumber karbon yang paling besar mengalami gangguan oleh manusia. Bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara merupakan salah satu

bentuk timbunan karbon, begitu pula hutan. Gangguan pada bahan bakar fosil serta perusakan hutan telah mengurangi jumlah karbon terikat dan membebaskannya dalam bentuk karbondioksida di atmosfer. Pembebasan karbondioksida tidak menyebabkan gangguan pada keseimbangan gas-gas diudara. Hal ini terjadi karena timbunan karbonat di lautan berperan sebagai penyangga antara timbunan C di atmosfer serta timbunan C di sedimen dengan melangsungkun reaksi sebagai berikut: H2CO3 HCO3- CO2 Meskipun karbondioksida yang berlebih dapat diserap oleh lautan tetapi kelebihan pasokan (efflux) mencapai 7x109 metrik ton per tahun mungkin ikut berperan pada pemanasan global melalui efek rumah-kaca. Secara umum timbunan karbon planet bumi ditunjukkan pada Tabel 8.1 : Tabel 8.1. Timbunan karbon global Timbunan karbon Volume (dalam metrik ton) Aktif mengalami siklus Ya Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya Tidak

Atmosfer CO2 6,7x1011 Lautan Biomassa 4,0x109 Karbonat 3,8x1013 Partikel organik dan terlarut 2,1x1012 Tanah Biota 5,0x1011 Humus 1,2x1012 Bahan bakar fosil 1,0x1013 Kerak bumi* 1,2x1017 * di darat dan lautan (Sumber: Dobrovolsky, 1994)

Organisma fotosintetik mampu memfiksasi karbondioksida dan mentransformasi dalam bentuk senyawa organik. Proses ini dapat dilakukan oleh organisma tingkat tinggi yaitu tumbuhan maupun organisma tingkat rendah fotosintetik yaitu algae, cyanobacteria, beberapa bakteria fotosintetik serta beberapa protozoa berpigmen fotosintetik. Pada proses tersebut energi matahari merupakan energi yang esensial. Karena peran tersebut maka jasad fotosintetik berperan sebagai produser primer yang bertanggung jawab terhadap produktivitas primer pada ekosistim. Pada ekosistim darat, sebagian besar produktivitas primer disumbang oleh tumbuhan, sedang di ekosistim air oleh algae. Karbon yang diambil oleh tumbuhan akan mengalami 2 hal yaitu: akan dibebaskan ke udara melalui pernafasan sebagai karbondioksida, dirubah menjadi senyawa organik dan biomassa Senyawa organik hasil sintesa organisma fotoototrof selanjutnya akan dikonsumsi oleh jasad heterotrof baik hewan maupun mikroba, atau diurai saat respirasi menjadi karbon dioksida dan massa sel baru. Mikroba heterotrof sangat beragam antara lain: berbagai fungi seperti Aspergillus, Rhizopus dan Penicillium; berbagai jenis bakteri seperti Bacillus, Pseudomonas, dan Arthrobacter; serta protozoa seperti Stentor, Vorticella, Amoeba dan Paramaecium. Dapat pula karbon tertimbun, selanjutnya karena

proses yang panjang akan menjadi komponen penyusun bahan bakar fosil. Aktivitas manusia memungkinkan bahan bakar fosil terbebas ke atmosfer sebagai karbondioksida. Pada saat erupsi gunung berapi, karbon yang terikat dalam batuan akan terbebas ke atmosfer atau dapat pula terbebas akibat pelapukan batuan.

Bahan bakar fosil Fotosintesa CO2 + H2O O2+CH2O Fermentasi CH2O Alkohol, asam-asam, H2 +CO2

Respirasi

Metanogenesis CH4

Aerobik

Anaerobik

Gambar 8.1. Siklus karbon yang berlangsung secara aerobik dan anaerobik Mikroba anaerobik berperan penting dalam siklus karbon. Pada awal sejarah bumi, proses anaerob merupakan proses yang utama, beberapa komponen seluler sulit dicerna dibanding komponen lainnya terutama pada senyawa-senya yang sangat tereduksi seperti lipid seluler. Akibatnya materi yang sulit tercerna tersebut selanjutnya tertimbun pada sedimen hingga jutaan tahun dan menjadi komponen cadangan bahan bakar fosil. Melalui proses anaerobik pula, senyawa karbon dapat disintesa sebagai gas metan yang merupakan produk akhir respirasi anaerobik. Beberapa mikroba metanogenik antara lain: Methanosarcina dan Methanobacter. Dalam bentuk interaksi mutualistik, mikroba rumen memproduksi metana dalam rumen ternak ruminansia, misalnya Ruminococcus. Secara garis besar siklus karbon yang meliputi proses aerobik maupun anaerobik ditunjukkan pada Gambar 8.1. Karbon organik hasil sintesa organisma sangat beragam dari karbohidrat sederhana seperti glukosa, hingga polimer seperti pati, hemiselulosa, selulosa dan lignin. Tubuh organisma sendiri tersusun oleh polimer-polimer baik sebagai penyusun dinding sel, skeleton luar pada arthropoda serta plasma sel dan organela. Jika organisma mati, maka akan terjadi dekomposisi materi secara enzimatik yang dilakukan oleh beragam mikroorganism. Dekomposisi selanjutnya hasl dekomposisi berupa senyawa sederhana atau unsur-unsur seperti N, C, P dan O akan digunakan untuk menyusun polimer baru. Sebagian besar bahan organik yang dibebaskan ke lingkungan akan terespirasi membentuk massa sel-sel baru dan karbondioksida, sebagian kecil akan menjadi humus. Humus merupakan salah satu contoh hasil molekul organik kompleks dan stabil yang

dijumpai di tanah. Humus terbentuk melalui dua tahapan proses utama yaitu pembentukan monomer reaktif selama degradasi materi organik dan proses kedua yaitu polimerisasi spontan monomer-monomer dan membentuk molekul humus. Proses terbentuknya humus melibatkan peran berbagai macam enzim ekstraseluler yang disekresi oleh beragam mikroba. Proses penguraian materi humus berlangsung 2-5% per tahun sehingga termasuk sumber C dan energi yang lambat terurai, jika dibandingkan dengan lignin yang mengalami penguraian 50% dalam 250 hari (Maier et al., 1999). Metanogenesis merupakan siklus C utama pada kondisi anaerobik. Metanogenesis yaitu suatu proses anaerobik dan berlangsung sangat ekstensif pada suatu lingkungan khusus termasuk pada lingkungan yang jenuh air seperti sawah, lingkungan anaerob di tanah, timbunan sampah, rumen serta intestinum rayap. Gas metana merupakan salah satu gas utama penyebab pemanasan global. Proses metanogenesis dilakukan oleh sekelompok mikroba dari kelompok Archaea anaerobik obligat dengan reaksi dasar yaitu: 4H2 + CO2 CH4 + 2H2O

Mikroba metanogenik merupakan mikroba ototrofik karena menggunakan CO2 dan H2. Mikroba metanogenik memproduksi metana selama pertumbuhan heterotrofik pada substrat karbon berupa C1 atau C2 seperti asetat, metanol dan format. Mengingat hanya substrat karbon dalam bentuk tersebut di atas saja yang mampu digunakan, maka mikroba metanogenik sangat tergantung kehadiran mikroba lain yang mampu mensintesa senyawa C1 atau C2 . Metana sebagai produk akhir proses anaerobik banyak dijumpai di alam. Mikroba metanotrofik mampu menggunakan metana sebagai sumber karbon dan energi. Mikroba metanotrof digolongkan sebagai mikroba khemoheterotrof dan bersifat obligat aerob, memetabolisasi metana melibatkan enzim metana monooksigenase dengan rangkaian sebagai berikut: CH4 + O2 metana CH3OH metanol HCHO HCHOOH formaldehid asam format CO2 + H2O karbondioksida

Proses siklus C melibatkan pula mikroba metilotrof yaitu mikroba yang mampu menggunakan senyawa karbon C1 selain metana. Adapun senyawa-senyawa C1 tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 8.2. Senyawa C1 selain metana dan sumbernya Senyawa C1 Karbondioksida Karbonmonoksida Metanol Formaldehid Format Foramida Sumber mesin bakar, respirasi dan produk akhir fermentasi mesin bakar, respirasi hasil hidrolisis hemiselulosa atau produk akhir fermentasi mesin bakar atau produk antara fermentasi jaringan tanaman dan hewan serta produk fermentasi sianida tumbuhan

Dimetil-eter Ion sianida Dimetil-sulfida Dimetilsulfoksida

metabolisma metana serta polutan industri tumbuhan, fungi dan bakteria atau dari polutan industri senyawa sulfur yang umum dijumpai atau dapat pula berasal dari metabolima algae disintesa secara anaerobik dari dimetil sulfida

Sebagai contoh metabolisma metilotrofik yang diberikan di sini yaitu metabolisma karbon monoksida (CO). Karbon monoksida sangat toksik sebab memiliki afinitas yang besar terhadap sitokrom, sehingga jika melekat pada sitokrom kan menghambat aktivitas rantai transport elektron proses respirasi. Karbon-monoksida umumnya berasal dari oksidasi fotokimia atmosferik senyawa-senyawa karbon seperti metana, serta berasal dari pembakaran kayu; hutan atau bahan bakar fosil. Lautan merupakan salah satu sumber utama karbon-monoksida. Secara alami karbonmonoksida dapat dihancurkan melalui reaksi fotokimia di atmosfer serta aktivitas mikroba. Tanah merupakan salah satu tempat akumulasi karbon-monoksida dengan jumlah serapan pertahun mancapai sekitar 4,0x108 metrik ton per tahun. Beberapa mikroba tanah baik organisma aerobik maupun anaerobik diketahui mampu melakukan metabolisasi karbon-monoksida. Pada kondisi aerobik Pseudomonas carboxydoflava merupakan salah satu contoh mikroba yang mampu mengoksidasi karbon-monoksida menjadi karbon dioksida dengan reaksi sebagai berikut: CO + H2O 2H2 + O2 CO2 + H2 2H2O

Adapun pada keadaan anaerobik bakteria metanogenik dapat mereduksi karbon monoksida menjadi metana dengan reaksi sebagai berikut: CO + 3 H2 CH4 + H2O

Selain senyawa karbon sederhana (C1, C2), siklus karbon meliputi pula dekomposisi polimer karbon utama tumbuhan seperti selulosa, hemiselulosa, pati, dan pektin. Berbagai fungi tanah seperti: Aspergillus, Fusarium dan Trichoderma serta bakteri seperti: Cellulomonas Nocardia, dan Streptomyces mampu mendekomposisi materi selulosa. Pada kondisi anaerob bakteri Clostridium merupakan mikroba utama pendekomposisi selulosa sedangkan fungi berperan minor, sebaliknya pada kondisi aerobik peran utama dekomposisi selulosa dilakukan oleh fungi. Pada lingkungan perairan, selulosa umumnya mengalami dekomposisi oleh fungi, myxobacteria, Cytophaga dan Vibrio spp. Sedangkan pada sedimen dilakukan oleh Clostridium spp. Hemiselulosa merupakan polimer yang tersusun oleh gula-gula pentosa seperti xilosa dan arabinosa, gula heksosa seperti manosa serta asam-asam uronat seperti asam glukuronat dan galakturonat. Hemiselulosa dapat hadir dalam bentuk xilan, manan atau galaktan. Di alam beragam mikroba baik fungi maupun bakteri mampu mendegradasi hemiselulosa menjadi gula-gula sederhana, karbondioksida, air dan biomassa. Adapun lignin merupakan polimer yang kompleks serta memiliki gugus aromatik misalnya fenilpropana. Secara umum lignin sulit didegradasi secara enzimatik.

Beberapa mikroba diketahui mampu mendegradasi lignin meskipun laju degradasinya rendah, misalnya fungi Agaricus, Schizophyllum dan Collybia, serta beberapa genera bakteria seperti Arthrobacter, Flavobacterium, dan Pseudomonas. Adapun di lingkungan perairan umumnya lignin didegradasi oleh fungi. Hasil degradasi lignin antara lain berupa asam-asam aromatik dan alkohol, asam ferulat serta asam vanilat. Senyawa karbon lain seperti khitin dan agar melibatkan beragam mikroba dalam degradasi. Di tanah khitin umumnya didegradasi oleh berbagai fungi (misalnya Trichoderma) serta bakteri (Pseudomonas, Actinomycetes). Sedangkan di lingkungan perairan khitin didegradasi antara lain oleh Vibrio dan Pseudomonas. Hasil degradasi khitin antara lain berupa unit-unit N-asetilglukosamin dan khitosan. SIKLUS NITROGEN Nitrogen umumnya digunakan dalam bentuk garam mineral dan mengalami siklus secara oksidoreduksi. Nitrogen dapat muncul dalam berbagai bentuk oksidasi baik dalam bentuk amonium (NH4+) hingga bentuk nitrat (NO3-). Siklus nitrogen merupakan siklus yang paling kompleks. Siklus yang berlangsung meliputi pula fiksasi nitrogen, oksidasi amonium, asimilasi dan disimilasi reduksi nitrat, amonifikasi serta asimilasi amonium. Nitrogen dalam bentuk gas (N2) merupakan komponen gas ke-dua terbesar di atmosfer. Secara terus menerus gas N2 dipasok dari erupsi gunung berapi atau panas bumi. Gunung berapi dan panas bumi merupakan simpanan nitrogen terbesar, diikuti oleh simpanan dalam terikat dapam kerak bumi sebagai amonium. Kedua simpanan tersebut tidak aktif terlibat dalam siklus N, sebab N2 baru dapat digunakan secara biologis setelah mengalami fiksasi. Fiksasi dapat berlangsung secara fisik dan biologis. Secara fisik fiksasi nitrogen dapat berlangsung karena petir yang menciptakan suatu keadaan temperatur dan tekanan tinggi sehingga memungkinkan N2 terfiksasi. Akan tetapi proses fiksasi utama dilakukan oleh mikroba yang dapat terjadi oleh mikroba yang hidup bebas (misalnya Azotobacter, Azospirillum, Beijerinckia dan Clostridium.), hidup bersimbiosis dengan akar tanaman legume (Rhizobium) atau diikat oleh cyanobacteria fotosintetik (misalnya: Nostoc, Anabaena). Nitrogen yang difiksasi akan ditransformasi dalam bentuk amonia (NH3) atau dalam bentuk ion sebagai amonium (NH4-). Simpanan nitrogen dalam volume yang lebih kecil dijumpai antara lain dalam bentuk nitrogen organik yang terikat pada organisma, pada senyawa organik serta dalam bentuk garam nitrogen anorganik terlarut. Secara garis besar siklus N digambarkan pada Gambar 8.2. Fiksasi secara simbiotik merupakan 70% total fiksasi biologi yang berlangsung, sedang sisanya merupakan fiksasi non-simbiotik. Fiksasi nitrogen secara biologis memerlukan energi, mikroba mendapatkan energi dengan mengoksidasi gula-gula atau senyawa organik lainnya. Bakteri pemfiksasi nitrogen yang hidup bebas mendapatkan energinya dengan melakukan metabolisasi detritus organik, sedangkan Rhizobium karena hidup bersimbiosis dengan tanaman legum maka mendapatkan energi melalui gula-gula yang diproduksi legum dari proses fotosintesa.

N2

N2O

Fiksasi nitrogen NH4-

Oksidasi amonium

NO2

Asimilasi amonium DenitriAmonifikasi fikasi Amonifikasi nitrat NO NO2 Disimilasi reduksi nitrat Gambar 8.2. Siklus Nitrogen Amonium hasil fiksasi N2 akan diasimilasi oleh sel menjadi asam-asam amino yang diperlukan untuk penyusunan protein, komponen dinding sel (misalnya asam Nasetilmuramat), purin dan pirimidin. Proses ini disebut sebagai asimilasi amonium atau imobilisasi. Meskipun demikian imobilisasi juga dapat berlangsung melalui pengikatan nitrat dalam senyawa organik (reduksi nitrat), pada peristiwa ini nitrat harus ditransformasi kedalam bentuk amonium. Berdasar hal tersebut maka umumnya organisma akan menggunakan sumber nitrogen dalam bentuk amonium daripada nitrat, jika amonium tersedia. Amonifikasi disebut pula sebagai mineralisasi amonium, merupakan proses kebalikan dari asimilasi amonium (imobilisasi). Amonifikasi dapat berlangsung secara anerob maupun aerob dan dapat berlangsung ekstraseluler. Mikroba membebaskan berbagai enzim ekstraseluler untuk mendegradasi polimer tumbuhan atau organisma lainnya. Diantara enzim tersebut enzim-enzim pendegradasi senyawa nitrogen seperti protease, nuklease dan urease. Hidrolisis protein serta senyawa-senyawa organik lain yang mengandung N akan menghasilkan amonia (NH3). Dominansi proses asimilasi amonium dan amonifikasi ditentukan oleh rasio C/N. Jika N merupakan unsur pembatas (nilai C/N besar), maka asimilasi amonium merupakan proses yang dominan. Adapun pada lingkungan yang kecukupan nitrogen, maka amonifikasi menjadi dominan. Kebutuhan C/N bagi kebanyakan bakteria yaitu sekitar 4-5 adapun fungi sekitar 10. Menurut Myrold (1998) rata-rata rasio C/N tipikal untuk biomassa mikroba tanah yaitu 8. Nilai tersebut masih harus dikonversi mengingat karbon dalam bahan organik yang menyatu dengan biomassa sel sebenarnya hanya 40%, untuk itu nilai rasio C/N harus dikalikan dengan 2,5 untuk memperhitungkan karbon yang hilang sebagai karbondioksida selama respirasi sehingga total rasio C/N menjadi 20 (Maier et al., 1999). Pada keadaan rasio C/N < 20 maka mineralisasi atau amonifikasi berlangsung sedangkan pada rasio C/N > 20 maka imobilisasi berlangsung. Amonium bersifat volatil (menguap), selama proses amonifikasi sebagian amonium akan menguap ke atmosfer dan digunakan oleh mikroba khemoototrofik pada proses nitrifikasi. Nitrifikasi yaitu konversi amonium menjadi nitrat yang dikatalisa oleh mikroba. Peristiwa nitrifikasi umumnya berlangsung pada kondisi anaerob. Nitrifikasi NO2 Oksidasi nitrat R-NH2 Asimilasi reduksi nitrat

melibatkan oksidasi nitrogen oleh mirkoba spesifik yaitu: oksidasi amonia menjadi nitrit (NO2-) yang dilakukan oleh mikroba seperti Nitrosomonas. Tahap oksidasi selanjutnya yaitu dari nitrit menjadi nitrat yang dilakukan oleh mikroba seperti Nitrobacter. Pada proses tersebut oksigen berperan sebagai akseptor elektron, adapun reaksi lengkapnya adalah sebagai berikut: I. NH4+ +O2 + 2H+ NH2OH + H2O NO2- + 5H+ II. NO2- + 0,5O2 NO3-

Dari dua tahap reaksi di atas diperoleh energi yang kemudian digunakan untuk mengikat karbondioksida. Oksidasi amonium dapat pula dilakukan oleh beberapa fungi dan bakteri heterotrofik. Pada kondisi anaerob dapat berlangsung pula nitrifikasi manakala beberapa mikroba metilotrofik menggunakan enzim metana-monooksigenase untuk mengoksidasi amonium. Mikroba pengoksidasi amonium maupun pengoksidasi nitrit ditunjukkan pada Tabel 8.3.

Tabel 8.3. Bakteri Nitrifikasi Khemoototrofik Aktivitas Pengoksidasi amonium Spesies Mikroba Nitrosomonas europea, N. eutrophus, N. marina Nitrosococcus nitrosus, N. mobilis, N. oceanus Nitrosospira briensis Nitrosolobus multiformis Nitrosovibrio tenuis Nitrobacter winogradskyi, N. hamburgensis, N. vulgaris Nitrospina gracilis Nitrococcus mobilis Nitrospira marina

Pengoksidasi nitrit

Di lahan pertanian, nitrifikasi merupakan proses yang penting karena akan merubah pupuk menjadi nitrat. Septik tank dan timbunan sampah akan menambah masukan nitrogen ke lingkungan, selanjutnya nitrogen tersebut akan mengalami proses nitrifikasi. Nitrat sebagai produknya akan sangat mobil mengingat memiliki muatan negatif (anion), mobilitas nitrat ini memungkinkan masuk ke lapisan air tanah atau masuk ke perairan terbuka di permukaan (misalnya sungai). Kandungan nitrat yang tinggi dalam air tanah dapat menyebabkan gangguan kesehatan antara lain methemoglobinemia serta membentuk nitrosamin yang bersifat karsinogenik. Di permukaan

tanah nitrat dapat menyebabkan eutrofikasi sehingga menyebabkan penurunan kualitas air. Siklus nitrogen melibatkan pula proses reduksi nitrat yang pada dasarnya terdiri dari dua proses yaitu imobilisasi nitrat atau asimilasi reduksi nitrat dan denitrifikasi atau disimilasi reduksi nitrat. Asimilasi reduksi nitrat menunjukkan penggunaan nitrat, mereduksinya menjadi amonium dan mengikatnya dalam biomassa. Kebanyakan mikroba mengutamakan penggunaan amonium dibanding N dalam bentuk lain manakala dalam lingkungan dijumpai amonium, karena dengan cara ini tidak perlu mengeluarkan energi untuk mereduksi nitrat menjadi amonium. Berdasarkan hal tersebut, jika di dalam lingkungan dijumpai amonium maka proses asimilasi reduksi nitrat akan terhambat. Pada tumbuhan penggunaan nitrat untuk asimilasi tidak menimbulkan masalah. Dengan tingkat imobilisasi nitrat yang lebih tinggi dari amonium memungkinkan pada lingkungan perakaran nitrifikasi amonium menjadi nitrat dan selanjutnya diserap tumbuhan peristiwa ini disebut sebagai imobilisasi nitrat. Disimilasi reduksi nitrat terdiri dari dua proses yang terpisah yaitu disimilasi reduksi nitrat menjadi amonia dan denitrifikasi yang keduanya dilakukan oleh mikroba khemoheterotrofik pada kondisi anaerob atau mikroaerofilik.. Pada proses disimilasi nitrat menjadi amonia, nitrat digunakan sebagai akseptor elektron untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk oksidasi senyawa organik, sebagai produk akhirnya yaitu amonium. Adapun reaksinya sebagai berikut: NO3- + 4H2 + 2H+ NH4+ + 3H2O

Beberapa bakteria yang berperan dalam disimilasi nitrat atau nitrit menjadi amonium ditunjukkan pada Tabel 8.4. Tabel 8.4. Bakteria yang berperan dalam disimilasi nitrat atau nitrit menjadi amonium Bakteria Anaerob obligat Clostridium Desulfovibrio Selenomonas Veillonella Wolinella Anaerob fakultatif Citrobacter Enterobacter Erwinia Escherichia Klebsiella Photobacterium Salmonella Serratia Vibrio Mikroaerofilik Campylobacter Habitat tipikal Tanah, sedimen Sedimen Rumen Saluran pencernakan Rumen Tanah, limbah cair Tanah, limbah cair Tanah Tanah, limbah cair Tanah, limbah cair Air laut Air limbah Saluran pencernaan Sedimen Rongga mulut

Aerobik Bacillus Neisseria Pseudomonas Dikutip dari Maier et al. (1999)

Tanah, makanan Membran mukosa Tanah, air

Adapun pada denitrifikasi terjadi reduksi nitrat melalui berbagai bentuk gas anorganik menjadi N2. Cara ini merupakan proses disimilasi reduksi nitrat utama yang terjadi di tanah. Salah satu senyawa antara pada proses denitrifikasi yaitu gas N2O (nitrogen oksida) yang dapat menyebabkan penipisan lapisan ozon sehingga dikatakan sebagai salah satu gas yang berperan dalam pemanasan global. Persitiwa denitrifikasi berlangsung secara anaerobik, senyawa nitrat dan nitrit berperan sebagai akseptor elektron (pengoksidasi). Persitiwa denitrifikasi antara berlangsung oleh aktivitas Pseudomonas denitrificans. Adapun keseluruhan reaksinya adalah sebagai berikut: NO3- + 5H2 + 2H+ N2 + 6H2O

Banyak mikroba mampu berperan dalam denitrifikasi, mikroba tersebut ditunjukkan pada Tabel 8.5: Tabel 8.5. Genera bakteri denitrifikasi Bakteria Organotrof Alcaligenes Agrobacterium Aquaspirillum Azospirillum Bacillus Blastobacter Bradyrhizobium Branhamella Chromobacterium Cytophaga Flavobacterium Flexibacter Halobacterium Hyphomicrobium Kingella Neisseria Paracoccus Propionibacterium Pseudomonas Rhizobium Wolinella Fototrof Rhodopseudomonas Ciri khas penting Bakteri tanah Beberapa spesien patogen tanaman Beberapa bersifat magnetotatik, oligotrofik Pemfiksasi nitrogen asosiatif, fermentatif Pembentuk spora, fermentatif, beberapa termofilik Bakteri bertunas, filogenetiknya dekat Rhizobium Pemfiksasi nitrogen simbiosis dengan legum Patogen hewan Membentuk pigmen ungu Bakteri meluncur, pendegradasi selulosa Bakteri tanah Bakteri meluncur Halofilik Tumbuh pada substrat C1, oligotrofik Patogen hewan Patogen hewan Halofilik dan lithotrofik Fermentatif Umum diisolasi dari tanah, sangat beragam Pengikat nitrogen simbiotik dengan legum Patogen hewan Anaerobik, pereduksi sulfat

Lithotrof Alcaligenes Bradyrhizobium Nitrosomonas Paracoccus Pseudomonas Thiobacillus Thiomicrospira Thiosphaera

Menggunakan H2, juga heterotrofik, umum dijumpai di tanah Menggunakan H2, juga heterotrofik, pemfiksasi nitrogen simbiosis dengan legum Pengoksidasi NH3 Menggunakan H2, heterotrofik, halofilik Menggunakan H2, heterotrofik, umum dijumpai di tanah Pengoksidasi S Pengoksidasi S Pengoksidasi S, penitrifikasi heterotrofik, denitrifikasi aerobik

Pada daerah beriklim dingin siklus N berlangsung lebih lambat dari pada daerah tropis atau daerah beriklim panas. Sebagai contoh siklus N pada hutan konifer di daerah sub-tropik perlu waktu 17,9 tahun untuk kembali ke posisi semula, sedangkan di daerah sekitar Laut Tengah hanya perlu waktu 3,6 tahun. Akibatnya N sering menjadi faktor penghambat pada daerah dingin karena: suhu tanah yang rendah, pH tanah rendah, dekomposisi (mineralisasi senyawa organik) sulit berlangsung. Denitrifikasi di hutan daerah beriklim dingin serta rawa-rawa berlangsung lebih lambat di bandingkan dengan di tanah pada umumnya, hal ini terjadi karena cepatnya penyerapan NO3- dari tanah dan mikroba SIKLUS SULFUR Sulfur secara relatif melimpah di alam. Garam sulfat terlarut di lautan merupakan salah satu cadangan sulfur di alam yang mengalami siklus sangat lambat. Adapun sulfur yang terikat pada jasad hidup atau biomassa sangat cepat mengalami siklus. Cadangan sulfur yang relatif imobil berupa batuan sulfida, deposit sulfur elemental dan bahan bakar fosil. Aktivitas manusia telah membebaskan cadangan sulfur imobil melalui penggunaan bahan bakar fosil dan menyebabkan polusi. Sulfur meliputi sekitar 1% berat kering sel bakteri. Di dalam sulfur diperlukan organisma untuk sintesa berbagai asam amino seperti metionin dan sistein, vitaminvitamin, hormon dan koenzim. Ekosfer sendiri secara alami menerima pasokan sulfur dari aktivitas gunung berapi, sumber air panas dan geiser. Umumnya sulfur tersebut dalam bentuk sulfur oksida (SO2) dan hidrogen sulfida (H2S). Kedua gas tersebut dengan cepat mengalami pelarutan di dalam air atau lautan. Hidrogen sulfida akan akan bereaksi dengan ion besi membentuk metal sulfida misalnya besi sulfida (pirit, FeS), adapun sulfur oksida beserta kalsium; barium atau strontium membentuk metal sulfat misalnya CaSO4 (gipsum). Pada tambang terbuka, metal sulfida misalnya CuS karena kontak dengan atmosfer akan dapat membentuk acid mine drainage atau air buangan tambang yang bersifat sangat asam (H2SO4) sehingga merusak lingkungan. Banyak mikroba mengkatalisa oksodasi dan reduksi dalam berbagai bentuk sulfur sehingga menciptakan siklus sulfur. Senyawa anorganik yang mengandung sulfur merupakan sumber sulfur bagi tumbuhan dan makroorganisma lainnya, beberpa diantara senyawa tersebut digolongkan toksik pada sistim biologis yaitu hidrogen sulfida, sulfur dioksida dan asam sulfat.

Mikroorganisma melangsungkan hampir semua reaksi dalam siklus sulfur. Senyawa organik yang mengandung sulfur dapat didesulfurisasi oleh berbagai mikroba, peristiwa ini disebut sebagai mineralisasi sulfur. Sebagai contoh yaitu dekomposisi sistein yang akan menghasilkan produk akhir serin dan H2S. Di laut senyawa organik yang mengandung sulfur sebagai hasil metabolisma algae yaitu dimetilsulfoniopropionat (DMSP), oleh aktivitas mikroba senyawa tersebut akan didekomposisi menjadi dimetilsulfida (DMS). Baik H2S maupun DMS merupakan senyawa volatil sehingga akan dilepas ke atmosfer, selanjutnya oleh ultraviolet akan mengalami fotooksidasi menjadi sulfat. Adapun pada dekomposisi senyawa sulfur anorganik, pada kondisi aerobik produk akhir umumnya berupa sulfat, sedang pada kondisi anaerobik produk akhirnya berupa hidrogen sulfida. Berbagai bentuk senyawa merkaptan sering pula terbentuk selama dekomposisi anaerobik senyawa sulfur. Berbagai mikroba seperti Begiatoa dan Thiothrix mampu menghasilkan energi melalui oksidasi hidrogen sulfida. Adapun reaksinya sebagai berikut: 2H2S + O2 2S + 2H2O

Globula sulfur ditimbun dalam sel dan akan digunakan manakala tidi lingkungan hidupnya tidak tersedia H2S yaitu dengan mengoksidasi lanjut menjadi sulfat. Peristiwa ini umum terjadi pada jasad mikroaerofilik yang hidup pada daerah interfase lingkungan anaerobik (sedimen) dengan air (mengalami oksigenasi sebagian). Beberapa Thiobacillus seperti T. thioparus dan T. novellus mampu pula mengoksidasi H2S serta senyawa sulfur tereduksi lainnya, umumnya tahan pH rendah. Sedangkan Thiobacillus lainnya dapat memproduksi sulfat dari oksidasi sulfur elemental dan senyawa sufur anorganik dan sebagai produk akhirnya berupa asam sulfat (H2SO4). Banyak Thiobacillus seperti T. thiooxidans bersifat asidofilik dan tumbuh baik pada pH 2-3, sebagian bersifat obligat khemooototrof yang mendapatkan energi dari oksidasi senyawa sulfur anorganik serta sumber C dari reduksi karbondioksida. Kebanyakan Thiobacillus bersifat obligat aerob, memerlukan oksigen untuk oksidasi senyawa sulfur anorganik. Adapun T. denitrificans dapat menggunakan ion nitrat sebagai akseptor elektron terminal dalam oksidasi senyawa sulfur anorganik, tidak bersifat asidofilik, pH optimal pertumbuhannya adalah pH 7. Sulfolobus merupakan kelompok bakteria yang mengoksidasi sulfur elemental pada lingkungan asam dan panas, bersifat khemoototrofik, dan dijumpai pada habitat air maupun tanah. Hidrogen sulfida pada kondisi anaerobik akan mengalami fotooksidasi biologis. Beberapa bakteri yang diketahui mampu melakukan hal antara lain Chromatium dan Chlorobium. Mikroba tersebut melakukan fotoreduksi karbondioksida sekaligus mengoksidasi asam sulfida menjadi sulfur elemental. Banyak mikroba mampu menggunakan sulfat sebagai akseptor elektron terminal pada respirasi anaerob. Bakteri yang menggunakan sulfat sebagai akseptor elektron melangsungkan disimilasi reduksi sulfat dan sebagai produk akhirnya berupa asam sulfida. Bakteri tersebut dikenal sebagai bakteri pereduksi sulfat, bersifat obligat anaerob dan sebagai contoh antara lain Desulfovibrio dan Desulfomaculum. Beberapa strain Bacillus, Pseudomonas dan Saccharomyces merupakan mikroba pereduksi sulfat tetapi tampaknya tidak berperan utama pada disimilasi reduksi sulfat. Reduksi sulfat

dapat berlangsung pada beragam lingkungan dengan kisaran pH, salinitas, tekanan dan suhu yang luas. Reduksi sulfat dihambat oleh adanya oksigen, nitrat dan ion ferri. Hidrogen sulfida sebagai hasil reaksi reduksi sulfat sangat bersifat toksik karena mampu bereaksi dengan logam berat pada sistim sitokrom organisma aerobik. Adapun asimilasi reduksi sulfat hanya menghasilkan sedikit hidrogen sulfida yang segera terikat pada senyawa organik. Banyak mikroba dan tumbuhan dapat menggunakan ion sulfat sebagai sumber sulfur untuk penyusunan protein dan molekul lainnya yang mengandung sulfur. Siklus sulfur secara diagramatik ditunjukkan pada Gambar 8.3 berikut:

SO4 Reduksi sulfat (asimilasi) Sulfur organik Mineralisasi H2S Gambar 8. 3. Siklus sulfur Bakteri pereduksi sulfat ikut berperan pada pembentukan deposit sulfur. Desulfovibrio mampu menghasilkan hidrogen sulfida dari sulfat. Hidrogen sulfida sendiri akan mengalami fotooksidasi dan ditransformasi menjadi sulfur elemental pada kondisi anaerob oleh aktivitas Chromatium dan Chlorobium. Pada keadaan aerob hidrogen sulfida akan dioksidasi menjadi sulfur oleh reaksi kimia dengan oksigen oleh aktivitas kelompok Beggiatoa-Thiothrix, Thiobacillus thioparus yang merupakan jasad asidofilik dapat pula terlibat dalam siklus pembentukan deposit sulfur elemental tersebut sebagaimana Gambar 8.4. Udara Air SO42Reduksi sulfat (disimilasi) Reduksi sulfur Oksidasi sulfur Oksidasi sulfur Sulfur elemental

Zone aerobik

T. thioparus H2S So

Zone anaerobik

Chlorobium So

Sedimen

Desulfovibrio

Gambar 8.4. Siklus sulfur di perairan Berbagai bakteri pengoksidasi sulfur baik yang bersifat khemoototrof obligat atau fakultatif maupun yng bersifat fotoototrof anaerobik ditunjukkan pada Tabel 8.6. Tabel 8.6. Ragam bakteri yang terlibat dalam transformasi S Reaksi yang berlangsung Khemoototrof obligat atau H2S So fakultatif: So SO22Thiobacillus S2O32- SO42Thiomicrospira Achromatium Beggiatoa Thermothrix Fototrof anaerob: H2S So Chlorobium So SO22 Chromatium Ectothiorhodospira Thiopedia Rhodopseudomonas Bakteri Syarat Lingkungan Interfase H2S- O2 Habitat Lumpur, mataair panas, permukaan tambang, tanah Air dangkal, sedimen anaerob meta atau hipolimnion, air anaerobik

Anaerobik, H2S, cahaya

SIKLUS FOSFOR Fosfor merupakan unsur makro yang diperlukan organisma, keberadaannya di lingkungan tidak begitu melimpah dan cenderung mengalami presipitasi dalam bentuk ikatan dengan ion logam bervalensi 2 (Ca2+, Mg2+) serta ferri (Fe3+) pada pH netral atau alkalis. Fosfat pada sedimen perairan, mengalami siklus yang lambat. Adapun fosfat dalam bentuk terlarut pada lingkungan air atau tanah serta fosfat yang terikat pada bahan organik dan organisma, dengan cepat akan mengalami siklus. Timbunan fosfat yang terbesar ada dalam bentuk batuan fosfat, misalnya apatit (3Ca3[PO4] 2.Ca[FeCl] 2), tetapi statusnya akan jumlahnya semakin tipis karena adanya industri kimia dan pupuk. Fosfat merupakan mineral penting pada organisma. Pada sistim biologik kebanyakan fosfor ada dalam bentuk fosfat, dan sebagian besar dijumpai pada RNA. Fosfat dijumpai pula dalam bentuk ATP, hidrolisa ATP menjadi ADP merupakan dasar bagi semua proses tranfer energi pada organisma. Fosfat pada sistim biologik dijumpai pula dalam bentuk fosfo-lipid yaitu senyawa dengan gugus fosfat hidrofilik yang umum dijumpai pada membran sel. Kebanyakan transformasi fosfor melibatkan peran mikroba yang dapat dipandang sebagai transfer dari fosfat anorganik menjadi fosfat organik atau transfer dari batuan fosfat (imobil) menjadi senyawa fosfat terlarut. Pada umumnya mikroba tidak mereduksi fosfat, tetapi ada beberapa mikroba yang mampu melakukan reduksi fosfat sebagai akseptor elektron terminal pada keadaan

dimana tidak terdapat sulfat, nitrat dan oksigen. Hasil reduksi fosfat berupa fosfin yang bersifat volatil yang segera terbakar saat kontak dengan oksigen. Fosfin juga dapat terbakar oleh adanya metan. Pada banyak habitat fosfat hadir dalam dalam bentuk persenyawaan dengan kalsium menjadikan suatu senyawa yang tidak larut dan tidak dapat digunakan oleh tumbuhan atau mikroba. Namun demikian beberapa mikroba heterotrofik yang dikenal sebagai mikroba pereduksi sulfat mampu melakukan pelarutan batuan fosfat tersebut. Akibat aktivitas mikroba pelarut fosfat, maka bentuk fosfat terlarut segera digunakan oleh mikroba lainnya serta tumbuhan. Mikroba melakukan pelarutan fosfat dengan mengeluarkan asam organik. Adapun beberapa mikroba khemolitotrofik yang dikenal sebagai pelarut fosfat antara lain Nitrosomonas dengan menghasilkan asam nitrat dan Thiobacillus dengan menghasilkan asam sulfat. Di tanah, fosfat juga dapat hadir dalam bentuk tidak larut sebagai garam-garam mineral sebagai aluminium fosfat, magnesium fosfat atau feri fosfat. Pada kondisi anaerob pelarutan feri fosfat oleh mikroba dapat berlangsung melalui reduksi feri menjadi fero. Pada kondisi tanah sawah yang tergenang air dapat mempercepat proses pelarutan feri sulfat . Fosfat anorganik terlarut dengan cepat akan diserap tumbuhan dan mikroba, selanjutnya mengasimilasinya sebagai fosfat organik. Pada reaksi eksotermik fosfat anorganik dapat bereaksi dengan ADP membentuk ATP. Fosfat anorganik dapat pula bereaksi dengan glukosa untuk memulai proses glikolisis. Pada proses sebaliknya yaitu mineralisasi, antara lain peristiwa hidrolisis ATP menjadi ADP. Peristiwa mineralisasi ini dikatalis oleh enzim fosfatase. Beberapa mikroba diketahui mampu mensintesa fosfatase. Senyawa fosfat organik lainnya seperti asan fitat mampu pula dihidrolisis oleh berbagai bakteri dan fungi oleh aktivitas enzim fitase dan membebaskan fosfat anorganik terlarut. Bakteri asam laktat maupun Rhizopus pada pembuatan tempe berperan pada proses hidrolisis asam fitat biji kedele. Mikroba seperti mikoriza berperan dalam memobilisasi fosfat sehingga siap digunakan oleh tumbuhan, dalam persitiwa ini mikoriza sendiri harus berkompetisi dengan tumbuhan karena keduanya memerlukan fosfat. Sifat fosfat yang cenderung ada pada keadaan tidak terlarut, cenderung mengalami presipitasi serta sangat lambat di daur menyebabkan fosfta menjadi nutrien pembatas terutama di lingkungan air laut. Pemberian pupuk yang berlebihan terutama di lahan pertanian dapat masuk ke badan air (sungai dan danau) akan menyebabkan eutrofikasi dan terjadi peledakan populasi algae dan sianobakteria. Di perairan fosfor dapat berada dalam bentuk terlarut maupun partikel. Adapun siklus fosfor dapat digambarkan sebagai berikut:

P organik tidak terlarut

deposisi dekomposisi

penyerapan oleh mikroba dekomposisi

mati mati

penyerapan oleh mikroba

tumbuhan diserap P anorganik terlarut presipitasi larut karena asam erosi Pupuk P anorganik Tidak terlarut Proses industri dekomposisi Batuan fosfat

hewan sekresi/lisis P organik terlarut

Sedimen deposisi

Gambar 8.5. Siklus fosfor SIKLUS BESI Besi merupakan salah satu elemen yang melimpah di alam akan tetapi hanya dalam jumlah kecil saja yang dapat terlibat dalam siklus biogeokimiawi. Siklus besi terutama dalam bentuk reaksi oksidasi-reduksi yang mereduksi ion feri (Fe3+) menjadi fero (Fe2+) dan mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+. Ion feri dan fero masing-masing memiliki tingkat kelarutan yang berbeda. Ion feri mengalami presipitasi sebagai feri hidroksida (FeOH3) di beragam lingkungan. Ion feri dapat mengalami reduksi pada kondisi anaerob membentuk ion fero yang lebih mudah larut, tetapi pada keadaan anaerob ini konsentrasi sulfida untuk bereaksi dengan ion fero mungkin cukup besar sehingga justru akan terbentuk presipitat ferosulfida yang tidak larut. Penggenangan tanah misalnya pada tanah sawah, akan menyebabkan kondisi anaerob yang mendukung terakumulasinya ion fero. Pada lingkungan aerob, pada umumnya besi dijumpai dalam bentuk ion feri. Besi seringkali terikat ligand organik pada senyawa organik dengan cara mengkhelat (chelating), selanjutnya ion besi tersebut akan menngalami transformasi oksidasi reduksi. Transformasi ini digunakan dalam proses transport elektron. Sebagai

contoh yaitu sitokrom yang terlibat pada rantai transport elektron melakukan transformasi oksidasi reduksi selama transfer elektron. Pengikatan (pengkhelatan) ion besi mungkin mendukung proses pelarutan besi. Terutama pada keadaan ion besi yang terbatas, beberapa enterobacteria menghasilkan enterochelin dan sebagian streptomyces menghasilkan ferioksamin (ferrioxamine). Beberapa mikroba khemolitotrofik mendapatkan energi melalui oksidasi fero menjadi feri. Misalnya T. ferrooxidans, bakteri ini mampu mengoksidasi senyawa fero pada lingkungan yang asam yang tidak memungkinkan otooksidasi non-biologis tidak dapat berlangsung. Pada nilai pH yang lebih tinggi dan keadaan aerob ion fero mengalami otooksidasi menjadi besi feri. T. ferrooxidans mampu pula mengoksidasi pirit (FeS2) dan menghasilkan SO42- dan Fe2+, selanjutnya Fe2+ dioksidasi T. ferrooxidans menjadi Fe3+. Mikroba lain seperti Galionella ferruginea dan T. ferrooxidans merupakan khemolitotrof yang mampu mengoksidasi ion fero menjadi deposit feri-hidroksida. Mikroba tersebut juga membentuk seludang (sheath) yang mengandung partikel ferihidroksida. AKIBAT MERUGIKAN DARI SIKLUS BIOGEOKIMIA Aktivitas manusia telah menyebabkan beberapa mobilisasi timbunan senyawa mineral yang semula imobil, sebagai contoh yaitu penggunaan bahan bakar fosil baik berupa minyak bumi maupun batubara. Sebagai akibatnya, unsur seperti karbon, nitrogen dan sulfur akan mengalami mobilisasi dan dibebaskan ke udara sebagai karbon-monoksida, karbon-dioksida, asam sulfur (H2SO3), NOx maupun SOx. Penambangan batubara serta logam seperti tembaga telah pula menyebabkan kerusakan lingkungan akibat dibebaskannya S yang semula terikat (imobil) dan mengalami oksidasi membentuk asam sulfat. Penggunaan pupuk yang berlebihan pada lahan pertanian dapat pula menyebabkan siklus biogeokimia berlangsung liar antara lain terjadinya eutrofikasi perairan serta pencemaran air tanah oleh nitrat. Aktivitas mikroba dalam siklus unsur manjadi salah satu sebab pula pada kerusakan bahan bangunan, kayu akan mengalami dekomposisi oleh bakteri maupun fungi, adapun besi bahan bangunan serta logam lain akan mengalami korosi. Begitupun pada instalasi lain seperti kapal, mesin-mesin industri akan mengalami korosi akibat aktivitas mikroba. Korosi logam dimulai dengan dua raksi elektokimia spontan, reaksi pertama berupa reaksi anodik permukaan logam berperan sebagai anoda yang menghasilkan ion logam, selanjutnya pada reaksi katodik oksigen menangkap elektron dari oksidasi unsur besi, adapun reaksinya pertama tersebut ditunjukkan sebagai berikut: Reaksi anodik: Feo Fe2+ + 2eReaksi katodik: O2 +H2O + 2e- 2(OH-) Pada reaksi kedua sejumlah bakteri akan berada pada kondisi anaerob dimana reaksi anodik tetap sama tetapi reaksi katodiknya menghasilkan H2, selengkapnya digambarkan sebagai berikut: Reaksi anodik: Reaksi katodik: Feo Fe2+ + 2e2 H+ +2e- 2H H2

Korosi logam melibatkan pula aktivitas pembentukan biofilm yaitu suatu lapisan senyawa organik dan mikroba yang dibentuk melalui pelekatan dan perbanyakan bakteria pada permukaan suatu objek. Biofilm akan ikut menstimulasi reaksi elektrokimia. Biofilm akan memfasilitasi terbentuknya reaksi elektrokimia yang terpisah melalui pembentukan lingkungan anaerobik di permukaan logam (Hamilton, 1995). Pada tahapan kedua, bakteri pereduksi sulfat, misalnya Desulfovibrio desulfuricans menggunakan H2 sebagai donor elektron sehingga akan mendorong reaksi anodik, dan pada tahapan ketiga produk akhir reduksi sulfat bereaksi dengan ion fero membentuk endapan besi sulfida : Tahap I : Fe2+ + 2H2O Fe(OH)2 + H2 (spontan) Tahap II : 4H2 +SO42- H2S + 2OH- + 2H2O (bakteri pereduksi sulfat) 2+ FeS + 2H Tahap III : H2S + Fe 2 Pada usaha penambangan mineral logam yang biasanya ada dalam bentuk logam sulfida (FeS2, CuS). Pada saat penyingkapan lapisan batuan maka mineral tersebut akan kontak dengan oksigen dan air (air hujan, atau kondisi lembab) akibatnya akan terjadi oksidasi dan membentuk cairan asam hingga pH 2 atau kurang. Cairan tersebut akan mengalir ke lingkungan yang lebih luas termasuk masuk ke aliran sungai. Meskipun pada awalnya peristiwa yang terjadi merupakan reaksi oksidasi spontan, pada tahapan selanjutnya melibatkan peran mikroba seperti Thiobacillus ferrooxidans. Komponen pengikat beton peka terhadap asam. Berbagai mikroba mampu menghasilkan metabolit yang bersifat asam yang dapat merusak komponen pengikat beton maupun bahan bangunan berupa batu-batu alam yang peka asam, misalnya batu padas (Diercks et al., 1991; Maier et al., 1999). Metabolit yang bersifat asam dapat berasal dari mikroba fermentatif, bakteri khemoototrof pengoksidasi sulfur yang mampu menghasilkan asam sulfat, dan bakteri nitrifikasi yang menghasilkan asam nitrat. Mikroba tersebut serta mikroba lainnya mengkolonisasi permukaan beton dan aktivitas mereka sangat ditentukan oleh kelembaban. Kerusakan terhadap saluran air limbah dari beton telah menimbulkan kerugian yang sangat besar, kerusakan terjadi dari sisi dalam maupun luar. Bagian pipa yang terendam aliran air limbah terkondisi pada keadaan anaerob yang memungkinkan bakteri pereduksi sulfat membebaskan sulfida dan terbentuk H2S yang volatil. Pada bagian atas saluran tetap terbuka, tidak terendam aliran limbah sehingga berada pada kondisi aerob tetapi tetap lembab, pada bagian tersebut bakteri pengoksidasi sulfur akan mengoksidasi H2S menjadi asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat tersebut selanjutnya dapat bereaksi dengan Ca(OH)2 (kalsium hidroksida) yang merupakan komponen pengikat beton dan terbentuk CaSO4 (kalsium sulfat) yang tidak memiliki kemampuan mengikat lagi, akibatnya beton lama-kelamaan akan hancur (Sydney et al., 1996). Adapun reaksi yang terjadi ditunjukkan sebagai berikut: H2SO4 + Ca(OH)2 CaSO4 + 2H2O Korosi yang maksimum terjadi tepat di atas batas air, dan populasi bakteri Thiobacillus thiooxidans dapat mencapai 100.000 sel per gram beton (Mori et al., 1992). Aktivitas manusia meningkatkan pula cemaran logam di lingkungan, bebrapa diantaranya merupakan logam berat dan toksik terhadap mikroba maupun organisma

lain. Logam-logam tersebut dapat mengalami bioalkilasi membentuk senyawa organometaloid. Bioalkilasi yaitu peristiwa terikatnya gugus alkil misalnya CH3 pada senyawa logam dengan perantaraan agen biologi, misalnya bakteri. Bioalkilasi akan merubak sifat logam sifat fisika kimia logam yang dapat berakibat baik ataupun buruk terhadap lingkungan. Pengikatan gugus alkil CH3 disebut pula metilasi, merubah pula sifat toksisitas elemen sebab senyawa dalam bentuk tersebut akan lebih volatil dan lebih mudah larut dalam lemak. Akibat dari peningkatan kelarutan dalam lemak menyebabkan logam yang mengikat gugus metil sulit disekresi dan cenderung terakumulasi pada organisma dan menyebabkan toksisitas (Thayer, 1993; Maier et.al., 1999). Beberapa logam yang dapat mengalami alkilasi antara lain di lingkungan alami antara lain: Ni, Sn, Sb., Hg, Pb, As, Se, dan Ge. Merkuri merupakan salah satu logam pencemar lingkungan, terutama dari aktivitas industri dan pertambangan. Merkuri yang dibebaskan ke lingkungan dari industri dan pertambangan umumnya dalam bentuk Hg2+ . Di lingkungan perairan, sedimen yang kaya bahan organik menjadi tempat tertimbunnya Hg2+ sehingga menjadikan sedimen danau, sungai, estuarin dan badan airnya menjadi tempat berlangsungnya proses biometilasi. Pada dasarnya mikroba dapat melangsungkan metilasi pada kondisi aerob maupun anaerob, tetapi proses secara anaerobik lebih banyak. Mikroba yang berperan dalam metilasi antara lain kelompok bakteri pereduksi sulfat. Metil merkuri bersifat akumulatif, sampai tingkat tertentu dapat bersifat sangat merusak sebagaimana terjadi di Teluk Minamata Jepang, banyak orang menderita kelumpuhan serta kerusakan jaringan saraf karena akumulasi metil merkuri yang terakumulasi dalam produk perikanan yang dikonsumsi penduduk. Hg2+ dapat didetoksikasi dengan mentransformasi ke dalam bentuk tereduksi (Hgo) melalui reaksi kimia dengan asam humus atau oleh perantaraan mikroba. Presipitasi Hg2+ menjadi HgS sebagai hasil reaksi dengan H2S pun datau akibat oksidasi mikrobia juga dapat mendetoksikasi merkuri. Adapun metilasi dari Hg2+ akan membentuk senyawa baru bersifat toksik dan akan masuk ke rantai makanan serta terakumulasi dalam jaringan organisma. Adapun rangkaian reaksi metilasi merkuri ditunjukkan sebagai berikut:

Atmosfer

Bioakumulasi lewat makanan

Atmosfer

volatil Hgo reduksi reaksi kimia Hg2+ metilasi CH3Hg+ metilasi (CH3)3Hg demetilasi demetilasi Reaksi spontan dengan H S biogenik 2 HgS Gambar 8.6. Reaksi Hg2+ di alam yang melibatkan mikroba (Maier et al., 1999) Pada keadaan normal nitrat tidak terakumulasi di lingkungan. Penggunaan pupuk N serta pupuk kandang pada lahan pertanian, septik tank yang bocor memberi pasokan nitrogen ke tanah dan air tanah. Senyawa-senyawa N yang umumnya dalam bentuk amonia atau senyawa yang mengandung gugus amonia akan mengalami biokonversi menjadi nitrat oleh bakteri nitrifikasi aerobik khemoototrofik. Nitrat merupakan anion dan bersifat sangat mobil di dalam tanah, pada produksi nitrat yang berlebihan nitrat akan dapat terbawa hingga lapisan air tanah antara lain karena pencucian oleh air hujan. Di Amerika, berdasarkan survai oleh Environmental Protection Agency (EPA) menunjukkan 1-10% air tanah di banyak negara bagian menunjukkan kandungan nitrat lebih dari yang disyaratkan untuk air minum. Nitrat pada air minum dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi hewan dan manusia. Salah satu gangguan itu yaitu methemoglobinemia (sindrom bayi biru) yang mempengaruhi bayi di bawah 6 bulan atau anak hewan. Penderita tidak memiliki cairan lambung yang cukup asam sehingga tidak mampu melindungi dari aktivitas bakteri denitrifikasi yang mengkonversi nitrat menjadi nitrit, sebagai akibatnya nitrit yang akan terbentuk dan bereaksi dengan hemoglobin dan menyebabkan hemoglobin kehilangan kemampuannya membawa oksigen.

oksidasi