canine distemper virus.docx

52
CANINE DISTEMPER VIRUS (CDV) PADA ANJING SHIT TZU (NOMOR PROTOKOL 427/N/12) Oleh : Drh. I Putu Arya Adikara, S.KH Email : [email protected] BAB I PENDAHULUAN 1.1. Riwayat Kasus Pada tanggal 6 Juli 2012 telah dilakukan pemeriksaan terhadap anjing shit tzu milik Bapak Wayan Patra yang terletak di Br. Manuk, Desa. Susut, Bangli. Anjing yang diperiksa berjenis kelamin betina, berumur 3 bulan dengan berat 1,5 kg. Anjing yang dimiliki pemilik sebanyak 6 ekor, 3 ekor sakit dan 2 ekor mati. Menurut keterangan pemilik, hewan sakit ini seminggu setelah divaksin parvo tunggal. Jumlah keseluruhan anjing yang dimiliki Bapak Wayan Patra dengan nomor protokol 427/N/12 berjumlah 6 ekor. 1 anjing dewasa dan 5 anjing muda. 1

Upload: canteng

Post on 08-Aug-2015

591 views

Category:

Documents


18 download

TRANSCRIPT

Page 1: canine distemper virus.docx

CANINE DISTEMPER VIRUS (CDV)

PADA ANJING SHIT TZU

(NOMOR PROTOKOL 427/N/12)

Oleh :

Drh. I Putu Arya Adikara, S.KHEmail : [email protected]

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Riwayat Kasus

Pada tanggal 6 Juli 2012 telah dilakukan pemeriksaan terhadap anjing shit

tzu milik Bapak Wayan Patra yang terletak di Br. Manuk, Desa. Susut, Bangli.

Anjing yang diperiksa berjenis kelamin betina, berumur 3 bulan dengan berat 1,5

kg. Anjing yang dimiliki pemilik sebanyak 6 ekor, 3 ekor sakit dan 2 ekor mati.

Menurut keterangan pemilik, hewan sakit ini seminggu setelah divaksin parvo

tunggal. Jumlah keseluruhan anjing yang dimiliki Bapak Wayan Patra dengan

nomor protokol 427/N/12 berjumlah 6 ekor. 1 anjing dewasa dan 5 anjing muda.

Berdasarkan keterangan pemilik anjing menunjukkan gejala sakit sudah

terlihat seminggu setelah divaksin parvo tunggal dengan menunjukkan gejala

klinis berupa anoreksia, suhu tubuh tinggi, muntah, leleran hidung mukopurulen,

diare, terdapat pustula di bagian abdomen, telapak kaki mengeras (hardpad

disease) dan kejang-kejang. Anjing pernah divaksin parvo tunggal dan sudah

pernah mendapatkan pemeriksaan dari Dokter Hewan.

Berdasarkan epidemiologi, anamnesa, gejala klinis dan patologi anatomi

yang terlihat pada anjing dengan nomor protokol 427/N/12, di diagnosa suspect

Canine Distemper Virus (CDV). Anjing mati pada tanggal 6 Juli 2012 pukul 11.15

AM. Kemudian dilakukan nekropsi untuk melihat perubahan Patologi Anatomi

1

Page 2: canine distemper virus.docx

(PA) dari semua organ dan mengirimkan sampel berupa organ ke Laboratorium

Patologi, Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Virologi untuk dilakukan

pemeriksaan lebih lanjut mengenai penyebab penyakit.

1.2. Identifikasi Masalah

Permasalahan yang akan dijawab dalam studi kasus ini antara lain :

1. Apa diagnosa penyakit dari kasus dengan nomor protokol 427/N/12

berdasarkan epidemiologi, anamnesa, gejala klinis, patologi anatomi,

histopatologi dan pemeriksaan laboratorium pendukung?

2. Bagaimana gambaran patologi anatomi, histopatologi dan pemeriksaan

laboratorium pendukung dari kasus dengan nomor protokol 427/N/12?

1.3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah untuk :

1. Mengetahui agen utama penyebab penyakit pada hewan kasus dengan

nomor protokol 427/N/12 berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium.

2. Mengetahui gambaran patologi anatomi, histopatologi dan hasil

pemeriksaan laboratorium pendukung.

1.4. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan studi kasus ini adalah :

1. Memberikan gambaran secara rinci terhadap suatu kasus dari

epidemiologi, gejala klinis sampai perubahan pada organ dan didukung

dengan pemeriksaan laboratorium.

2. Memberikan gambaran pada calon Dokter Hewan untuk mendiagnosa

suatu penyakit berdasarkan gejala klinis dan ditunjang dengan hasil

pemeriksaan laboratorium.

2

Page 3: canine distemper virus.docx

BAB II

MATERI DAN METODE

2.1. Laboratorium Patologi

Spesimen yang digunakan dalam pemeriksaan histopatologi diambil dari

organ yang mengalami perubahan secara makroskopis maupun organ yang diduga

mengalami perubahan berdasarkan gejala klinis. Organ yang diambil untuk

pemeriksaan histopatologi adalah otak, paru-paru, limpa, jantung, ginjal, hati, usus

dan vesika urinaria.

Materi : Otak, paru-paru, limpa, usus dan vesika urinaria

Metode : Pembuatan preparat histopatologi

Cara kerja :

1) Sampel organ yang akan diperiksa dipotong kecil dengan ukuran 1x1x1 cm,

kemudian direndam dalam larutan Neutral Buffer Formalin (NBF) 10%.

2) Sampel kemudian diiris tipis untuk disimpan dalam tissue cassette dan

dilakukan fiksasi dalam larutan NBF 10% selama 24 jam

3) Setelah fiksasi, dilakukan dehidrasi bertingkat dengan cara merendam

potongan organ secara berturut-turut kedalam alkohol 70%, 80%, 90%, 96%,

dan alkohol absolut (98%) selama beberapa jam.

4) Kemudian dilakukan clearing atau penjernihan dengan merendam potongan

organ dalam Xylol atau Toulena atau Benzena, lalu infiltrasi dengan paraffin

cair.

5) Sampel organ dilakukan embedding set dan blocking menggunakan paraffin

cair untuk mempermudah pemotongan jaringan kemudian disimpan dalam

lemari es selama 24 jam.

6) Blok yang sudah dingin dilakukan disectioning atau pemotongan dengan alat

microtome ± 4-5 mikron.

7) Tahap selanjuntnya adalah tahap pewarnaan dengan metode Harris-

Haemotoxylin Eosin dan mounting media.

8) Preparat histopatologi diamati di bawah mikroskop dan dicatat perubahan

mikroskopik yang ditemukan.

3

Page 4: canine distemper virus.docx

2.2. Laboratorium Mikrobilogi

Materi : Organ yang mengalami perubahan makroskopis berupa otak,

paru-paru, limpa, usus, dan V.U.

Metode : Isolasi bakteri pada media penyubur Sheep Blood Agar (SBA),

dan media selektif Eosin Methylen Blue Agar (EMBA), serta

identifikasi bakteri dengan pengamatan pertumbuhan koloni

pada media, pewarnaan gram, uji katalase, uji oksidase, uji

biokimia dan penanaman pada media Triple Sugar Iron Agar

(TSIA), Sulfite Indol Motility (SIM), Simmon Citrate Agar

(SCA), Methyl Red Voges Proskauer Medium (MRVP) dan uji

gula-gula dengan penanaman media yang mengandung laktosa

dan galaktosa.

Cara Kerja :

1. Penanaman pada media Sheep Blood Agar (SBA)

Media yang digunakan untuk penanaman adalah Sheep Blood Agar

(SBA). Isolasi bakteri dilakukan dengan cara : dengan menggunakan gunting

steril, paru-paru, limpa, usus, dan V.U dilukai atau dikoyak dengan ossa

steril, lalu cairannya diambil dengan ossa steril kemudian diusapkan pada

permukaan media biakan. Media biakan yang sudah dipupuk diinkubasikan

pada suhu 37º C selama 24 jam. Diamati pertumbuhan koloni pada media

secara makroskopis untuk melihat bentuk, warna, tepian, elevasi, konsistensi,

bau dan diameter koloni.

2. Penanaman pada media Eosin Methylen Blue Agar (EMBA)

Cara penanamannya sama dengan penanaman pada media Sheep Blood

Agar (SBA) Media biakan yang sudah dipupuk diinkubasikan pada suhu 37º

C selama 24 jam. Diamati pertumbuhan koloni pada media secara

makroskopis untuk melihat bentuk, warna, tepian, elevasi, konsistensi, bau

dan diameter koloni.

4

Page 5: canine distemper virus.docx

3. Uji Penggunaan Asam Amino

a) Penanaman pada media Triple Sugar Iron Agar (TSIA)

Penanaman kuman pada media Triple Sugar Iron Agar (TSIA) untuk

mengetahui ada tidaknya fermentasi karbohidrat, produksi H2S dan gelembung

gas. Penanaman kuman pada media TSIA dilakukan dengan cara koloni

kuman diambil menggunakan needle steril kemudian ditusukkan pada bagian

tegak dari media lalu digoreskan pada bagian miring media, selanjutnya media

diinkubasikan pada 37º C selama 24 jam.fermentasi karbohidrat ditandai

dengan perubahan warna pada media TSIA dari merah menjadi kuning.

Produksi H2S ditandai dengan perubahan warna media menjadi hitam. Adanya

gas dapat diamati dengan adanya gelembung gas dan keretakan pada media.

b) Penanaman pada media Sulfite Indol Agar (SIM)

Penanaman pada media Sulfite Indol Agar (SIM) untuk mengetahui sifat

kuman dalam memproduksi H2S, indol dan pergerakan kuman (motilitas).

Penanaman kuman pada media SIM dilakukan dengan cara koloni kuman

diambil menggunakan needle steril kemudian ditusukkan tegak lurus pada

media, selanjutnya media diinkubasikan pada suhu 37º C selama 24 jam.

Produksi H2S ditandai dengan media berwarna hitam, produksi indol dapat

dilihat setelah ditetesi dengan reagen Erlich/kovac’s sebanyak 3-5 tetes

kedalam media, bila indol positif terbentuk cincin merah pada permukaan

medium, kuman motil akan terlihat kekaburan media di tempat tusukan ossa.

1) Uji Penggunaan Citrat

Penanaman pada media Simmon Citrat Agar (SCA) untuk mengetahui

sifat kuman dalam menggunakan sitrat sebagai sumber karbon atau tidak.

Penanaman kuman pada media SCA dilakukan dengan cara koloni kuman

diambil menggunakan needle steril lalu diusapkan pada permukaan media

mulai dari pangkal sampai ke ujung yang sama pada media. Kemudian

diinkubasikan pada suhu 37º C selama 24 jam.Hasil positif ditandai dengan

perubahan warna media dari hijau menjadi biru.

5

Page 6: canine distemper virus.docx

2) Uji Fermentasi Karbohidrat

a. Uji Gula-gula

Uji gula-gula meliputi uji glukosa dan laktosa. Uji ini dilakukan untuk

mengetahui adanya fermentasi gula. Koloni pada media biakan diambil

dengan ossa steril, lalu dicelupkan pada masing-masing media yang berbentuk

cair dan di dasar tabung durham. Media diinkubasikan dengan suhu 37º C

selama 24 jam. Diamati perubahan warna pada media dan produksi gas dengan

adanya gas di dalam tabung durham.

b. Uji Methyl Red Voges Proskauer Medium (MRVP)

Penanaman pada media Methyl Red Voges Proskauer Medium (MRVP)

untuk mengetahui sifat kuman dalam memproduksi asam tunggal atau

campuran dan asetil metal karbinol. Koloni diambil dengan needle steril

kemudian dicelupkan pada media, selanjutnya media diinkubasikan dengan

suhu 37º C selama 24 jam. Media dibagi dalam dua tabung yang steril. Tabung

pertama ditetesi dengan reagen MR dan tabung kedua ditetesi dengan reagen

VP. Hasil positif ditandai dengan adanya warna merah pada media.

3) Uji Respirasi Karbohidrat

Uji respirasi karbohidrat dilakukan dengan menggunakan uji katalase dan

uji oksidase.

a. Uji Katalase

Uji katalase dilakukan dengan cara mengambil koloni yang dicurigai pada

media selektif dengan ossa steril dan dioleskan pada obyek gelas kemudian

ditetesi H2O2 3%, kemudian homogenkan. Amati ada tidaknya gelembung gas.

Hasil positif ditandai dengan adanya gelembung gas pada obyek gelas.

b. Uji Oksidase

Uji Oksidase dilakukan dengan cara mencelupkan stick oksidase pada

reagen, kemudian koloni kuman dioleskan pada stick tersebut dan amati

perubahan warna yang terjadi. Hasil positif ditandai dengan adanya perubahan

warna stick oksidase menjadi warna ungu.

6

Page 7: canine distemper virus.docx

4) Pengecatan Gram

Koloni pada media biakan diambil dengan ossa steril dan dioleskan pada

obyek gelas kemudian difiksasi. Olesan tersebut ditetesi dengan Crystal violet dan

diamkan selama 2 menit kemudian cuci dengan air mengalir. Tahap selanjutnya

ditetesi dengan Iodine dan diamkan selama 2 menit lalu dicuci dengan alkohol

70%. Tahap yang terakhir adalah pewarnaan dengan safranin dengan cara

diteteskan dan diamkan selama 30 detik kemudian dicuci dengan air mengalir.

Preparat dikeringkan dan diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran

obyektif 100X dan ditambahkan minyak emersi, amati warna dan bentuk kuman.

Bakteri gram positif akan berwarna ungu karena menyerap warna crystal violet

sedangkan bakteri gram negatif akan berwarna merah karena menyerap warna

safranin.

2.3 Laboratorium Virologi

Materi : Otak, paru-paru, limpa,vesica urinaria

Metode : 1) Pembuatan inokulum dari spesimen organ

2) Penanaman inokulum pada Telur Ayam Bertunas (TAB) umur 11

hari melalui Corio Alantois Membran (CAM)

3) Panen membran korioalantois

4) Isolasi Ribonucleic Acid (RNA)

5) Uji RT-PCR (Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction)

Cara Kerja :

1. Penyiapan inokulum

Inokulum dibuat dari gerusan organ yang terlebih dahulu dipotong kecil

dan dihaluskan. Organ tersebut digerus dalam tabung eppendorf menggunakan

pipet pastel sambil ditambahkan cairan Phosphate Buffered Saline (PBS) hingga

mencapai konsentrasi 10%.

Suspensi jaringan disentrifuge dengan kecepatan 15000 rpm selama 10

menit. Supernatannya diambil dengan pipet mikro sebanyak 400 µl, lalu

ditambahkan antibiotik penstrep® dengan menggunakan tuberculin syringe

(1ml) sebanyak 0,2 ml. Suspensi diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit.

7

Page 8: canine distemper virus.docx

2. Inokulasi pada Telur Ayam Bertunas (TAB)

Penanaman dilakukan pada TAB umur 11 hari. Pertama, telur tersebut

diteropong untuk mengetahui keadaan embrio, batas dari daerah kantung udara

alami dan daerah di salah satu sisi telur yang bebas pembuluh darah. Kemudian

batas dari daerah kantung udara alami dan daerah di salah satu sisi yang bebas

pembuluh darah ditandai dengan pensil. Dengan alat penusuk, buat lubang pada

cangkang telur di daerah kantung udara alami dan daerah di salah satu sisi yang

bebas pembuluh darah sesuai dengan tanda sebelumnya. Pembuatan lubang pada

sisi telur tersebut hendaknya dilakukan sedemikian rupa sehingga jarum tidak

tampak menembus membran.

Lubang kedua dibuat pada posisi memanjang tempat kantung udara

buatan dibuat. Dengan menggunakan bola karet penghisap, di daerah kantung

udara dihisap hingga kantung udara buatan yang ingin dibuat memadai dan

membran korio alantois lepas dari shell membrane.

Sebanyak 0,1-0,8 ml inokulum ditanam menggunakan tuberculin syringe

(1 ml) ke dalam kantung udara buatan. Tutup lubang yang terdapat pada

cangkang dengan kuteks. Diberikan label seperlunya dengan pensil pada telur

yang telah diinokulasikan.

Selanjutnya telur diinkubasi pada suhu 37°C dengan posisi horizontal atau

memanjang, dan diamati setiap hari. Bila embrio terlihat mati, segera dilakukan

panen, namun bila dalam waktu 5 hari belum mati maka dilakukan panen paksa.

3. Panen Membran Korioalantois (CAM)

Masukkan telur yang siap panen ke dalam lemari es (4º C - 5º C) selama

beberapa jam untuk mengurangi pendarahan saat membuka telur. Selanjutnya

kerabang telur pada daerah kantung udara buatan dibuka dengan gunting,

embrio dan cairan telur dikeluarkan. Membran korioalantois dipisahkan dan

dicuci dengan cairan Phosphate Buffered Saline (PBS). Amati pertumbuhan

bunga karang (pox) pada CAM. Bagian yang dicurigai dipotong dan

dimasukkan ke dalam tabung eppendorf.

8

Page 9: canine distemper virus.docx

4. Isolasi Ribonucleic acid (RNA)

RNA virus diisolasi dari membran korioalantois. Sampel berupa membran

korioalantois digerus dalam tabung appendorf dengan tujuan menghancurkan sel

sehingga virus yang merupakan obligat intraseluler dapat dikeluarkan. Hasil

gerusan ditambah dengan 1000 µl PBS untuk mengencerkannya, lalu

disentrifuge dengan kecepatan 15000 rcf selama 10 menit. Supernatan

dipisahkan dalam tabung appendorf, selanjutnya diproses untuk isolasi RNA.

Dalam pengisolasian RNA, diambil supernatan sebanyak 250 µl dan

ditambahkan 375 µl Trizol LS Reagent lalu vortex selama 1 menit. Trizol

berfungsi untuk membunuh virus dengan menghancurkan protein virus.

Inkubasikan pada suhu kamar selama 5 menit. Tambahkan 125 µl chloroform

kemudian vortex selama 15 detik dan diinkubasi pada suhu kamar selama 15

menit. Chloroform berfungsi untuk mengikat trizol.

Setelah itu, disentrifuge dengan kecepatan 12000 rcf selama 15 menit.

Bagian aquaeus dipisahkan ke dalam tabung steril, tambahkan isopropyl alcohol

250 µl dan inkubasikan selama 10 menit. Lalu sentrifuge dengan kecepatan

12000 rcf selama 10 menit. Isoprophyl alcohol berfungsi membersihkan sisi

lemak.

Buang supernatannya, tambahkan alkohol 70% sebanyak 1000 µl

kemudian homogenkan. Sentrifuge kembali dengan kecepatan 7500 rcf selama 5

menit. Buang supernatannya, kemudian air dry selama 5-10 menit dan jangan

sampai kering. Tambahkan treated water 20 µl kemudian disimpan dalam

lemari es selama 1 malam. Simpan dalam freezer sampai digunakan.

5. Uji Reverse Transkriptase-Polimerase Chain Reaction (RT-PCR)

Prinsip uji RT-PCR adalah mengubah DNA menjadi DNA menggunakan

enzim reverse transkriptase. Sampel berasal dari isolasi RNA diambil sebanyak

1 µl kemudian dimasukkan ke dalam eppendorf yang telah diisi larutan buffer

(R-mix) 5 µl, primer depan (DDVP1) dan primer belakang (DDVP2) masing-

masing sebanyak 0,6 µl, enzim (Super Scriptase Tag/SS) sebanyak 0,25 µl dan

9

Page 10: canine distemper virus.docx

Aquabides (AQB) 2,55 µl. Eppendorf kemudian dimasukkan ke dalam

thermocycler selama 4 jam.

Tahap replikasi DNA dimulai dari proses mengubah RNA menjadi DNA

pada suhu 50° C selama 1 jam. Dilanjutkan dengan pre-denaturasi pita DNA

pada suhu 95° C selama 7 menit lalu diikuti proses denaturasi pada suhu 94° C

selama 45 detik. Pada tahapan berikutnya dilakukan proses annealing pada suhu

52° C selama 45 detik dan tahap sintesis pada suhu 72° C selama 1 menit.

Setelah itu proses denaturasi, annealing, dan sintesis diulang sebanyak 39

kali. Setelah itu, disintesis kembali pada suhu 72° C selama 5 menit, dan saat

tahapan sintesis protein selesai, thermocycler akan berada pada suhu 22°C.

6. Elektroforesis

Untuk mengetahui elektroforesis diperlukan gel yang dibuat dengan cara

menambahkan 0,5 agar rose ke dalam 50 ml larutan TAE (Trish Asetat EDTA)

buffer selanjutnya dipanaskan hingga mendidih kemudian tambahkan 25 μl

ethidium bromide. Kemudian dituangkan dalam cetakan dan dibiarkan hingga

dingin. Produk dielektroforesis bersama dengan 100 bp DNA ladder sebagai

marker pada gel. Masukkan gel yang telah mengeras dalam electrophoresis box,

campuran DNA dengan gel loading buffer dimasukkan dalam sisir cetakan gel.

Aliri listrik dengan tegangan 100 volt, arus 400 ampere dengan waktu 30 menit.

Kemudian lakukan visualisasi dengan sinar ultraviolet reader dan dapat

didokumentasikan dengan kamera dan film Polaroid.

2.4 Laboratorium Parasitologi

Materi : Untuk kegiatan koasistensi di laboratorium Parasitologi,

materi yang digunakan yaitu feses dari hewan bukan kasus

(ayam, babi, sapi, itik, dan anjing), artropoda, dan darah

ayam.

10

Page 11: canine distemper virus.docx

Metode : 1. Pemeriksaan feses dengan metode natif, metode sedimentasi

dan metode pengapungan serta pemeriksaan Kuantitatif

menggunakan Metode Stoll.

2. Pemeriksaan darah dengan metode ulas darah tipis.

3. Pemeriksaan artropoda makrokospis.

Cara kerja :

1. Pemeriksaan feses

a. Pemeriksaan feses dengan metode natif dilakukan dengan cara: feses

sebesar pentolan korek api diambil dan diletakkan di atas kaca obyek.

Ditambahkan air dan diaduk sampai homogen. Serat kasar dibuang,

kemudian kaca obyek ditutup dengan cover dan diperiksa di bawah

mikroskop untuk melihat pergerakan protozoa saluran cerna.

b. Pemeriksaan feses dengan metode sedimentasi dilakukan dengan cara :

feses sebesar biji kemiri (± 3 gram) dimasukkan kedalam gelas beker,

ditambahkan aquades sampai konsentrasinya kira-kira 10% diaduk

sampai homogen, kemudian disaring dengan saringan teh untuk

menyingkirkan bagian yang berukuran besar, memasukkan kedalam

tabung sentrifuge sampai 3/4 volume tabung, disentrifuge dengan

kecepatan 1.500 rpm selama 3 menit, supernatan dibuang, sedimen

yang ada ditabung diaduk sampai homogen, kemudian dilanjutkan

dengan pembuatan preparat seperti pemeriksaan langsung dan diperiksa

dibawah mikroskop.

c. Pemeriksaan dengan metode apung dilakukan dengan cara : feses

sebesar biji kemiri (± 3 gram) dimasukkan kedalam gelas beker,

ditambahkan aquades sampai konsentrasinya kira-kira 10% diaduk

sampai homogen, kemudian disaring dengan saringan teh untuk

menyingkirkan bagian yang berukuran besar, memasukkan kedalam

tabung sentrifuge sampai 3/4 volume tabung, disentrifuge dengan

kecepatan 1.500 rpm selama 3 menit, supernatan dibuang,

11

Page 12: canine distemper virus.docx

menambahkan larutan NaCl jenuh sampai dengan ¾ volume tabung,

disentrifuge dengan kecepatan 1.500 rpm selama 3 menit. Tabung

dikeluarkan dari sentrifugator dan ditaruh pada rak tabung rekasi

dengan posisi tegak lurus. Kemudian, ditambahkan NaCl jenuh sampai

permukaan cairan cembung, ditunggu sampai 2 menit, mengambil gelas

penutup kemudian disentuhkan pada permukaan cairan pengapung dan

setelah itu ditempelkan diatas gelas obyek. Diperiksa dibawah

mikroskop.

2. Pemeriksaan darah

a. Pemeriksaan ulas darah tipis dilakukan dengan cara : salah satu gelas

obyek dipegang dengan menggunakan ibu jari dan jari tengah tangan

kiri, meneteskan satu tetes darah pada salah satu ujung obyek gelas

kemudian dengan obyek gelas yang lain dipegang dengan ibu jari dan

telunjuk kanan, ujungnya ditempelkan pada darah dan dibiarkan sampai

darah membasahi permukaan obyek gelas dengan sudut kemiringan

45ºC, gelas didorong secara pelan tetapi menerus sampai didapatkan

ulas darah tipis. Dikeringkan dengan cara diangin-anginkan, kemudian

difiksasi dengan cara direndam pada larutan metanol selama 3 menit.

Hapusan darah dikeringkan kembali, dilakukan perwarnaan

menggunakan zat warna giemza 10% dengan cara direndam selama 10-

25 menit, dicuci dibawah air mengalir kemudian dikeringkan. Diperiksa

dibawah mikroskop.

3. Pemeriksaan artropoda

Metode : Pemeriksaan artropoda secara makroskopis dilakukan

dengan metode langsung/natif.

Cara kerja : Ambil artropoda (kutu, caplak, pinjal, lalat, nyamuk),

letakkan pada gelas obyek teteskan KOH 1-2 tetes, kemudian

tutup dengan gelas penutup. Periksa dibawah mikroskop

dengan pembesaran 40X.

12

Page 13: canine distemper virus.docx

BAB III

HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Sampel dari hewan yang telah dinekropsi dengan nomor protokol

427/N/12 dikirim keempat laboratorium untuk mengetahui agen penyebab

penyakit guna meneguhkan diagnose penyakit yang menyebabkan sakit pada

hewan. Untuk laboratorium patologi sampel berupa spesimen otak, paru-paru,

limpa, jantung, ginjal, hati, usus dan vesika urinaria. Spesimen usus, paru-paru,

jantung, hati, V.U, dan limpa dikirimkan ke laboratorium mikrobiologi.

Sedangkan untuk laboratorium virologi, spesimen otak, limpa, paru-paru dan

vesica urinaria.

Hasil pemeriksaan dari masing-masing laboratorium diagnostik pada kasus

anjing dengan nomor protokol 427/N/12 disajikan dalam table-tabel berikut:

3.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi

Tabel 1. Pemeriksaan Patologi AnatomiOrgan Perubahan Makroskopik (PA)

Sistem Saraf/Otak Perdarahan pada meningen, kongesti otak

Sistem Kardiovaskuler Jantung hidroperikardium dan membengkak

Sistem Respirasi Paru-paru perdarahan, terdapat busa, dan

nekrosis

Sistem Gastrointestinal Usus, esophagus, hati dan lambung

perdarahan, limpa perdarahan dan

membengkak

Sistem Integumen Ada pustula di bagian abdomen

Sistem Otot dan Tendon Relatif normal (Tidak ada perubahan)

Sistem Tulang dan Persendian Relatif normal (Tidak ada perubahan)

Sistem Urinaria Vesica urinaria perdarahan dan penebalan

Sistem Reproduksi Relatif normal (Tidak ada perubahan)

13

Page 14: canine distemper virus.docx

Tabel 2. Pemeriksaan Histopatologi

Organ Perubahan Histopatologi

Otak Degenerasi pada sel-sel neuron dan beberapa

diantaranya telah mengalami nekrosis dan

hemoragi. Peningkatan sel glia (gliosis) pada

beberapa pembuluh darah otak. Infiltrasi sel radang

monomorfonuklear.

Paru-paru Diinfiltrasi sel radang yang didominasi dari

golongan monomorfonuklear, akumulasi eritrosit

juga teramati pada septa alveoli yang disertai

adanya edema dan kongesti (pneumonia hemoragi)

Hati Terjadi degenerasi hidrofik, hemoragi, nekrosis

(tidak ada inti dan sel hilang), infiltrasi sel radang,

dan kongesti pada pembuluh darah perifer.

Ginjal Mengalami nefritis hemoragika (sel radang

mengilfiltrasi bukan saja di glomerulus tapi juga di

bagian intertisial tubulus), akumulasi eritrosit

teramati di jaringan antar tubulus dan edema di

intertubulus

Vesica Urinaria Mukosa mengalami penebalan dan infiltrasi sel

radang ( limfosit)

Limpa Folikel lomfoid hipertrofi dan infiltrasi sel radang

(limfosit).

3.2 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Virologi

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Virologi

No Pengujian Spesimen Hasil

1 Inokulasi pada telur

ayam bertunas umur 11

hari melalui jalur CAM

Otak, paru-paru, limpa

dan vesica urinaria

Positif, ditemukan

pox pada membran

korioalantois yang

telah di panen

14

Page 15: canine distemper virus.docx

2 Isolasi RNA Membran korioalantois

dan suspensi jaringan-

3 RT-PCR Isolasi RNA virus Positif

Diagnosa Canine Distemper Virus (CDV)

3.3 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Mikrobiologi

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi

Pertumbuhan pada Blood Agar :

Usus : Tumbuh koloni (agak banyak)

berwarna putih keabu-abuan, bulat

dengan ukuran ± 1-3 mm, tepi rata dan

licin dan hemolitik

Paru-paru : Tumbuh koloni (sedikit)

berwarna putih, bulat, tepi rata dan

licin dan hemolitik

Pertumbuhan pada EMBA :

Usus : Tumbuh koloni (banyak)

warna merah keunguan.

Paru-paru : Tumbuh koloni

(sedikit) warna merah keunguan.

Hasil Pewarnaan Gram Bentuk batang pendek, warna

merah, gram negatif.

PRIMARY TEST

Katalase + Motilitas +

Oksidase - Fermentasi Glukosa +

SECONDARY TEST

TSIA - Acid Slank + Bagian miring media berubah

warna menjadi kuning

- Acid Butt + Bagian dasar media berubah warna

menjadi kuning

- H2S _ Media tidak berubah warna menjadi

hitam

- Gas + Adanya gas, media terangkat keatas

SECONDARY TEST

SIM - Indol + Membentuk cincin merah saat

15

Page 16: canine distemper virus.docx

ditetesi reagen Kovac’s

- Motilitas + Kekaburan media disekitar tempat

tusukan ossa

- H2S _ Media tidak berubah warna menjadi

hitam

MRVP - MR + Media berubah warna menjadi

merah saat ditetesi reagen MR

- VP _ Warna media tetap (kuning keruh)

Gula-gula - Glukosa + Media berubah warna dari biru

menjadi kuning,ada gas pada

tabung durham

- Laktosa + Media berubah warna menjadi

kuning keruh, ada gas pada tabung

durham

SCA _ Media tidak berubah warna (tetap

hijau)

Diagnosa Escherichia coli

3.4 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Parasitologi

Tabel 6. Hasil Pemeriksaan Feses, Arthropoda dan Darah Dari Hewan

Bukan Kasus

IDENTIFIKASI PEMERIKSAAN ARTHROPODA

Kerokan Kulit

Hewan Metode Identifikasi

Anjing Natif Demodex Canis

IDENTIFIKASI PEMERIKSAAN MAKROSKOPIS

Materi Metode Identifikasi

16

Page 17: canine distemper virus.docx

Kutu

Natif

Monopon gallinae

Menacanthus tramineus

Heterodoxos snineger

Pinjal Ctenocepahalides felis

Caplak Rhipichepalus

Lalat Musca domestika

Nyamuk Culex spp

IDENTIFIKASI PEMERIKSAAN PROTOZOA

Sampel Darah (Hewan) Metode Identifikasi

Burung Merpati Ulas darah tipis Haemoproteus

Columbae.

IDENTIFIKASI PEMERIKSAAN HELMINT

Sampel Tinja

Ternak

Metode Kualitatif

KeteranganNatif

Konsentrasi

Sedimen Apung

Sapi - - - -

Babi + + + Balantidium, Strongoiloides ransomii, Paramicium

Ayam + + - Larva Strongyloides avium

Anjing + + + Ancylostoma caninum

Kucing + + + Ancylostoma tubaeforme

BAB IV

PEMBAHASAN

17

Page 18: canine distemper virus.docx

Dalam melakukan strategi diagnosis suatu kasus dapat didasarkan pada

beberapa pendekatan, yaitu pendekatan epidemiologis, gejala klinis, pemeriksaan

patologi anatomi, serta pendekatan laboratoris. Pendekatan laboratoris dalam hal

ini adalah bakteriologik, virologik, dan histologik. Oleh karena itu untuk

mendiagnosis penyakit pada anjing shit tzu dengan nomor protokol 427/N/12

diarahkan atas pernyataan tersebut.

4.1 Epidemiologi

Anjing yang digunakan sebagai kasus dengan nomor protokol 427/N/12

adalah anjing shit tzu milik Bapak Wayan Patra yang terletak di Br. Manuk, Desa.

Susut, Bangli. Anjing yang diperiksa berjenis kelamin betina, berumur 3 bulan

dengan berat 1,5 kg. Anjing yang dimiliki pemilik sebanyak 6 ekor, 3 ekor sakit

dan 2 ekor mati. Menurut keterangan pemilik, hewan sakit 1 minggu setelah

divaksin varvo tunggal. Jumlah keseluruhan anjing dalam satu pekarangan rumah

Bapak Wayan Patra berjumlah 6 ekor, 1 anjing dewasa dan 5 anjing muda. Dari

keenam anjing yang dipelihara 3 ekor anjing muda sakit dengan menunjukan

gejala : anoreksia, suhu tubuh tinggi, muntah, leleran hidung mukopurulen, diare,

terdapat pustula di bagian abdomen, telapak kaki mengeras, dan kejang-kejang.

Anjing tersebut dipelihara secara tradisional, dengan jenis pakan yang diberikan

berupa pakan komersial dan air yang berasal dari PDAM.

4.2 Gejala Klinis

Sebelum dilakukan nekropsi pada tanggal 6 Juli 2012, anjing ras shit tzu

dengan nomor protokol 427/N/12 menunjukkan gejala sakit sudah terlihat sejak 1

minggu setelah divaksin parvo tunggal dengan menunjukkan gejala klinis berupa

anoreksia, suhu tubuh tinggi, muntah, leleran hidung mukopurulen, diare, terdapat

pustula di bagian abdomen, telapak kaki mengeras, dan kejang-kejang. Menurut

Laurensius (2009) mengatakan bahwa pada anjing muda (2-6 bulan) yang tidak

divaksin merupakan yang paling rentan terinfeksi virus distemper yang parah.

18

Page 19: canine distemper virus.docx

Dari gejala klinis diatas, menunjukkan bahwa anjing dengan nomor

protokol 427/N/12 didiagnosa suspect Canine Distemper Virus (CDV). Hal ini

didukung oleh Dharmojono (2001) yang menyebutkan bahwa gejala klinis dari

CDV adalah pengeluaran ingus encer yang kemudian menjadi kental

(mucopurulen) dari hidung dan mata, depresi dan anoreksia pada hari ke 3-6

pasca infeksi. Sedangkan gejala klinis berupa timbulnya lesi/pustula pada kulit di

bagian abdomen dikarenakan gambaran umum yang ditimbulkan dari CDV adalah

imunosupresi (Lobetti, 2009), sehingga kulit dengan mudah teriritasi oleh mikroba

lingkungan seperti halnya bakteri. Lama kelamaan terjadi serangan bakteri yang

lebih parah mengakibatkan bentukan pustula (Hirsh dan Zee, 1999).

Setelah dilakukan pengumpulan data epidemiologi dan gejala klinis, anjing

ras dengan nomor protokol 427/N/12, selanjutnya dilakukan nekropsi untuk dapat

melihat perubahan patologis dari semua organ anjing tersebut dan sekaligus

nantinya dilakukan pemeriksaan lanjutan.

4.3 Patologi Anatomi

Dari Patologi Anatomi (PA) menunjukkan perubahan di beberapa sistem

organ tubuh, yaitu pada sistem syaraf terjadi perdarahan pada meningen dan

kongesti pada otak. Pada sistem kardiovaskuler jantung hidroperikardium dan

membengkak. Sistem respirasi, paru-paru mengalami perdarahan, nekrosis, dan

berbusa. Pada sistem gastrointestinal terjadi perdarahan pada usus, limpa

mengalami perdarahan dan membengkak. Pada sistem urinaria terjadi perdarahan

dan penebalan pada vesica urinaria. Hal ini didukung oleh Dharmojono (2001)

yang mengatakan bahwa patologi anatomi yang patognomonis dari virus

distemper, yaitu perdarahan pada vesica urinaria.

Menurut Murphy et al (1999) awalan dari patogenetik CDV adalah terjadi

replikasi lokal dari virus selama 2-4 hari di dalam sel pada sistem pernafasan atas.

Setelah itu virus akan kembali mereplikasi pada jaringan limfoid lokal dan masuk

dalam pembuluh darah dengan membawa limfosit yang menyebabkan viremia

primer menuju ke jaringan limfoid sistemik (Dharmojono, 2001). Karena itulah,

limpa yang termasuk organ limfoid mengalami pembengkakan.

19

Page 20: canine distemper virus.docx

Setelah virus bereplikasi pada jaringan limfoid sistemik, maka virus akan

kembali masuk ke dalam pembuluh darah yang mengakibatkan viremia sekunder,

sehingga virus menyebar melalui darah ke organ-organ pernafasan, pencernaan,

urogenital dan Central Nervous System (CNS) (Dharmojono, 2001). Karena itulah

terjadi perubahan anatomi pada organ -organ pernafasan (paru-paru), pencernaan

(usus halus), hati, urogenital (vesica urinaria) serta CNS (otak).

4.4 Diagnosa Sementara dan Diagnosa Banding

Setelah melakukan pengamatan dari epidemiologi, gejala klinis, patologi

anatomi maka didapatkan diagnosa sementara adalah suspect Canine Distemper

Virus (CDV). Adapun diagnosa banding dari CDV adalah Infeksi Bordetella

Bronchoseptica, toxoplasmosis, dan mikoplasmosis.

4.5 Pemeriksaan Laboratorium

4.5.1 Hasil Pemeriksaan Histopatologi

Dari hasil histopatologi, otak menunjukkan adanya degenerasi pada sel

neuron dan beberapa sudah nekrosis serta terjadi peningkatan sel glia dan

kongesti. Menurut Murphy et al (1999) mengatakan bahwa otak mendapat

infeksi virus setelah fase viremia sekunder kemudian virus tinggal di jaringan

otak dan berkembang di sana. Pada organ paru ditemukan adanya infiltrasi sel

radang monomorfonuklear, akumulasi eritrosit pada septa alveoli, ada sedikit

edema dan kongesti. Pada organ hati terlihat adanya kongesti dan peradangan

(limfosit). Pada histopatologi paru-paru ditemukan sel radang

monomorfonuklear dikarenakan terjadinya reaksi peradangan mengakibatkan

banyaknya sel-sel radang pada organ tersebut yang berfungsi untuk pertahanan

tubuh terhadap agen asing. Sebagian besar pada histoptologi mengalami

perdarahan dan kongesti. Kongesti terjadi akibat pembuluh darah mengalami

peningkatan permeabilitas dan bervasodilatasi untuk mengaktivasi sel-sel

pertahanan tubuh lalu bermigrasi keluar vaskuler. Vasodilatasi vaskuler inilah

yang menyebabkan volume darah pada pembuluh-pembuluh darah yang

mensuplai organ-organ tersebut meningkat dan menyebabkan kongesti.

20

Page 21: canine distemper virus.docx

Sedangkan terjadinya perdarahan diakibatkan peningkatan permeabilitas

sehingga sesuai dengan Kardena et al, (2001) menyatakan bahwa bukan hanya

sel-sel darah yang mampu keluar vaskuler, tetapi plasma darah juga mampu

mmerembes keluar dari pembuluh darah.

4.5.2 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Mikrobiologi

Spesimen yang ditanam pada pemeriksaan di laboratorium mikrobiologi

adalah paru-paru, hati, jantung, dan usus. Pemeriksaan ini bertujuan untuk

mengetahui ada atau tidaknya bakteri patogen di dalam tubuh anjing tersebut.

Hasil isolasi dan identifikasi yang dapat diamati adalah sebagai berikut:

Penanaman pada media umum Sheep Blood Agar (SBA), pada usus tumbuh

koloni (agak banyak) berwarna putih, bulat dengan ukuran ± 1-3 mm, tepi rata

dan licin dan beta hemolitik. Pada paru-paru juga tumbuh koloni yang sama

seperti pada usus, hanya saja jumlah koloni yang tumbuh di paru-paru lebih

sedikit. Sedangkan pada jantung dan hati hanya tumbuh beberapa koloni saja

(lebih sedikit dari paru-paru).

Bakteri pada spesimen usus dan paru-paru diambil koloninya untuk

dilanjutkan ditanam pada media selektif Methylen Blue Agar (EMBA). Dari

hasil isolasi pada media ini hanya di usus yang banyak tumbuh koloni,

sedangkan di paru-paru hanya sedikit tumbuh koloni.

Koloni pada EMBA diambil untuk identifikasi pada media Triple Sugar

Iron Agar (TSIA. Hasil isolasi teramati pada bagian acid slank dan acid butt

menunjukkan hasil positif, yaitu terjadi perubahan warna media dari kedua

bagian tersebut dari merah menjadi kuning, kuman tidak menghasilkan H2S dan

pada media terlihat adanya gelembung gas. Setelah dilakukan pewarnaan gram,

didapatkan kuman berwarna merah, gram negatif dan berbentuk batang.

Penanaman pada media Simon Indol Motility (SIM) diambil dari koloni

yang ada pada TSIA dan hasi yang di dapat adalah positif yaitu kekaburan

media di sekitar tempat tusukan ossa yang menunjukkan bakteri motil, serta

reaksi positif pada pengujian tes indol dengan terbentuknya cincin merah pada

permukaan media, yang artinya bakteri mampu memanfaatkan asam amino

21

Page 22: canine distemper virus.docx

tritofan sebagai sumber energinya. Pada media Simon Citrat Agar (SCA),

hasilnya negatifditandai dengan tidak terjadi perubahan warna pada media

(media tetap berwarna hijau). Hal ini menunjukkan bahwa bakteri tidak mampu

memanfaatkan sitrat sebagai sumber energinya. Pada uji MR-VP, tabung

pertama ditetesi reagen Voges Proskauer dan tabung kedua ditetesi reagen

Methyl Red. Hasil yang di dapat MR positif (+) dan VP negatif (-), reaksi positif

ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah pada media. Hasil ini

menunjukkan adanya aktivitas bakteri untuk memfermentasi glukosa dan

menghasilkan produk fermentasi yang bersifat asam, namun bakteri tidak

mampu memfermentasi karbohidrat menjadi 2,3-butanadiol (Lay, 1994).

Pada uji oksidase hasilnya positif ditandai dengan terbentuknya

gelembung udara setelah ditetesi dengan larutan H2O2 3%. Pada uji gula-gula

(Laktosa dan Glukosa) menunjukkan hasil positif (+), ditandai dengan

perubahan warna menjadi kuning dan terdapat gas pada tabung durham.

Setelah dilakukan identifikasi bakteri dan melihat sifat-sifat

pertumbuhannya pada media dan uji-uji diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

bakteri yang ditemukan ini adalah Escherichia coli. Hal ini disebabkan karena

bakteri E. coli merupakan flora normal pada saluran pencernaan. Namun, bakteri

E. coli merupakan bakteri oportunistik yang berkemampuan sebagai patogen

ketika mekanisme pertahanan inang diperlemah (Hirsh dan Zee, 1999). Seperti

halnya salah satu gejala klinis dari CDV, yaitu diare. Bakteri E.coli juga dapat

menyebabkan gejala klinis berupa diare.

Karena itu, seperti penjelasan sebelumnya bahwa CDV merupakan virus

yang bersifat imunosupresi, sehingga saat kondisi inang telah melemah, maka

E.coli yang sejatinya merupakan flora normal pada saluran pencernaan dapat

menjadi patogen, sehingga dapat pula menyebabkan diare pada anjing tersebut.

4.5.3 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Virologi

22

Page 23: canine distemper virus.docx

Pada pemeriksaan di laboratorium virologi didapatkan hasil positif

terinfeksi CDV (canine distemper virus) pada anjing kasus dengan nomor

protokol 427/N/12. Pemeriksaan diawali dengan pembuatan inokulum dari

spesimen otak, paru-paru, limpa, dan V.U, inokulasi pada telur ayam bertunas

umur 11 hari melalui jalur CAM dan dipanen pada hari ke-5. Setelah dipanen

dilakukan pengamatan untuk melihat adanya bentukan bunga karang (pox) pada

membrane korioalantois dan hasilnya adalah terjadi penebalan pada pembuluh

darah dan ditemukan bentukan bunga karang (pox) pada membran korioalantois.

Selanjutnya melakukan isolasi RNA virus, dilanjutkan dengan uji RT-PCR.

Dalam uji RT-PCR sampel menunjukkan hasil positif.

4.6 Canine Distemper Virus (CDV)

Distemper anjing atau canine distemper merupakan penyakit yang sangat

menular pada anjing, ditandai dengan kenaikan suhu bifase, leukopenia, radang

saluran pencernaan dan pernafasan dan sering diikuti oleh komplikasi berupa

gangguan syaraf pusat. Distemper juga menyerang segala umur maupun ras

terutama pada hewan yang tidak divaksinasi (Laurensius, 2009).

4.6.1 Etiologi

Virus distemper termasuk virus yang besar ukurannya. Diameternya

antara 150-300 um dengan nukleocapsid simetris (nucleocapsid of helical

symetryl) dan terbungkus lipoprotein (lipoprotein envelope). Virus distemper

terdiri atas 6 struktur protein yaitu Nukleoprotein (N) dan 2 enzim (P dan L)

pada nukleocapsidnya, juga membran protein (M) di sebelah dalam dan 2

protein lagi (H dan F) pada bungkus lipoprotein di sebelah luar. Hemaglutinasi

protein hanya terjadi pada virus measle tetapi tidak pada virus morbili lainnya

(Dharmojono, 2001).

Dharmojono, (2001) juga menambahkan bahwa virus distemper termasuk

dalam famili Paramyxoviridae, genus Morbilivirus dan spesies Canine

Distemper Virus. Terdapat hanya satu serotipe virus, tetapi galur beraneka

ragam. Virus menjadi tidak aktif dengan cepat pada temperatur 37ºC dan dalam

23

Page 24: canine distemper virus.docx

beberapa jam pada temperatur kamar. Desinfektan dengan mudah dapat merusak

infektivitas virus.

4.6.2 Patogenesis

Penularan virus lewat udara menyebabkan infeksi ke dalam sel makrofag

alat pernafasan. Virus mula-mula akan berkembang di dalam kelenjar getah

bening lokal dan kemudian dalam 7 hari ke seluruh jaringan kelenjar getah

bening. Dalam 3-6 hari setelah infeksi virus distemper suhu badan akan

meninggi dan interferon virus mulai masuk ke dalam peredaran darah. Dalam

minggu kedua dan ketiga pasca infeksi, anjing mulai membentuk zat kebal baik

humoral maupun seluler untuk merespon infeksi dan jika mampu mengatasi

virus distemper anjing tersebut akan sembuh tanpa menunjukkan gejala klinik.

Apabila tidak mampu mengatasi virus tersebut maka anjing tersebut akan

memperlihatkan penyakit baik akut atau subakut (Dharmojono, 2001).

Anjing yang tidak mampu mempertahankan diri pada fase awal, maka

akan diikuti terjadinya viremia dan infeksi diseluruh organ limphatik, kemudian

limfosit dan makrofag yang terinfeksi akan membawa virus ke permukaan epitel

dari alat pencernaan, alat pernafasan, dan saluran urogenital sampai ke susunan

syaraf pusat (CNS) (Fraser, 1991).

Strain virus yang mampu menginfeksi secara akut dan fatal secara jelas

kelihatan merusak CNS. Gejala-gejala CNS dapat timbul pada anjing yang

sebelumnya tidak memperlihatkan penyakit ini (Dharmojono, 2001).

4.6.3 Gejala klinis

Gejala klinis pada kasus akut ditandai timbulnya demam dan kematian

secara mendadak. Anoreksia, pengeluaran lendir, konjungtivitis dan depresi

biasa terjadi selama stadium ini. Setelah masa inkubasi 3-7 hari, anjing yang

terinfeksi menderita 2 fase : 1) Fase mukosa : ditandai dengan gejala muntah

dan diare, kulit yang tebal dan keras pada hidung serta bantalan kaki (”Hard

Pad Disease”), 2) Fase Neurologi/saraf (gejala klasik dimulai dari gemeretak

dan gemetar dari rahang, gangguan hebat ke seluruh tubuh :”Chewing Gum

24

Page 25: canine distemper virus.docx

Fit”): tremor, hilang keseimbangan dan tungkai menjadi lemah, jika keadaan

melanjut bisa menyebabkan kematian atau dapat juga menjadi non progresif dan

permanen (Malole, 1998).

Beberapa anjing terutama dapat menderita gangguan pernafasan dan juga

terjadi gangguan pencernaan. Gejala pertama dari bentuk pulmonaris (paru)

adalah peradangan cair dari laring dan bronchi, tonsillitis dan batuk. Selanjutnya

terjadi bronchitis atau bronchopneumonia cair dan kadang-kadang pleuritis.

Sehingga hewan menunjukkan dyspnoe dan takypnoe. Kemudian terlihat adanya

akumulasi mukopurulen didaerah canthus medial mata, anjing terlihat depresi

dan anoreksia kemudian berkembang menjadi diare. Gejala saluran pencernaan

meliputi muntah yang hebat dan mencret berair. Setelah mulainya penyakit,

gangguan syaraf pusat dapat diamati pada sejumlah anjing, dicirikan oleh

perubahan tingkah laku, pergerakan yang dipaksakan, spamus, serangan

menyerupai ayan, ataxia, dan paresis (Fraser, 1991).

4.6.4 Diagnosa

Diagnosa didasarkan pada anamnesa (data epidemiologis), gejala klinis

yang ditemukan dan pemeriksaan laboratorium seperti RT-PCR, FAT, isolasi

virus pada TAB melalui jalur CAM, morfologi virus dan tes ELISA untuk

antibodi spesifik distemper.

4.6.5 Diagnosa banding

- infeksi Adenovirus 2

- infeksi Bordetella broncoseptica

- mikoplasma

- toxoplasmosis.

4.6.6 Prognosa

25

Page 26: canine distemper virus.docx

Pada infeksi ringan, terutama pada anjing yang telah divaksinasi

prognosisnya baik. Sedangkan untuk kasus berat (belum divaksinasi),

prognosisnya meragukan sampai infausta ( Subronto., 2006).

4.6.7 Terapi dan Pencegahan

1. Antibiotik Pemberian antibiotik dimaksudkan untuk mengatasi terjadinya

infeksi sekunder. Antibiotik yang digunakan adalah antibiotik broad

spektrum.

2. Terapi cairan dan elektrolit untuk mengganti cairan yang hilang dan

mengatasi dehidrasi akibat diare atau muntah.

3. Obat-obat sedativa dan anti konvulsi di berikan bila anjing meninjukkan

gejala sarafi.

4. Vaksin dengan vaksin hidup dapat memberikan imunitas yang cukup dan

berdurasi lama asalkan prosedur penggunaan tersebut dipatuhi, misalnya

berapa kali harus diulang sebelum vaksinasi booster tahunan.

5. Memberikan gizi yang baik  agar nutrisi yang diperlukan anjing dapat

terpenuhi. Dengan terpenuhinya nutrisi maka kondisi tubuh dapat terjaga

dan tidak mudah terserang penyakit.

6. Kontrol terhadap adanya endoparasit dan ektoparasit. Menjaga kebersihan

lingkungan sekitar untuk menekan serendah mungkin penyebaran virus.

BAB V

26

Page 27: canine distemper virus.docx

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Berdasarkan data epidemiologi, gejala klinis, patologi anatomi, diagnosis

sementara yang dapat dimunculkan adalah suspect Canine Distemper

Virus (CDV). Setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan di laboratorium

virologi untuk meneguhkan diagnose, anjing kasus dengan nomor protokol

427/N/12 menunjukkan hasil positif terinfeksi Canine Distemper Virus

pada uji RT-PCR.

2. Ditemukannya E. coli pada identifikasi bakteri melalui biakan pada usus

tersebut merupakan flora normal.

5.2 Saran

1. Melakukan pencegahan secara dini dengan vaksinasi pada anak anjing

umur 6-8 minggu dan vaksinasi diulang pada umur 12 minggu.

2. Pengobatan dengan antibiotika dan antelmentik untuk mengurangi infeksi

bakteri dan cacing.

3. Isolasi anjing yang sakit dan selalu mendesinfeksi lingkungan tempat

kandang, baik itu di tempat anjing yang sakit maupun yang sehat.

27

Page 28: canine distemper virus.docx

DAFTAR PUSTAKA

Dharmojono, H. (2001). Kapita Selekta Kedokteran Veteriner. Hewan Kecil Volume I. Pustaka Populer Obor. Jakarta.

Fraser, CM. (1991). The Merck Veterinary Manual. USA: Merck & Co., Inc

Hirsh, D.C. dan Y.C. Zee. (1999). Veterinary Mikrobiology. Blackwell Science, Inc. USA.

Kardena, I. M., I. B. O. Winaya, I. K. Berata. (2011). Gambaran Patologi Paru-Paru Anjing Lokal Bali yang Terinfeksi Penyakit Distemper. Jurnal Veteriner 3 (1) : 17-24.

Laurensius, A. (2008). Distemper Pada Anjing. Fakultas Kedokteran Hewan. Yogyakarta. (http://annavet.blogspot.com/2009/04/distemper-pada-anjing-olehlaurensius.html ) Tanggal akses : 12 November 2011.

Lay, B. W. (1994). Analisa Mikroba di Laboratorium. PT Grafindo Persada. Jakarta.

Levine, Norman D. (1994). Texbook of Veterinary Parasitology. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Lobetti, R. (2009). http://www.lowchensaustralia.com/health/distemper/htm . Tanggal akses : 17 November 2011.

Malole, M. B., (1998). Virologi. Bogor: Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi-IPB.

Murphy, F. A., E. P. J. Gibbs, M. C. Horzinek, M. J. Studert. (2008). Veterinary Virology Ed3th. USA: Academic Press.

Subronto, (2006). Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba Pada Anjing dan Kucing. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

28

Page 29: canine distemper virus.docx

LAMPIRAN

29

Page 30: canine distemper virus.docx

Gambar 1.Anjing Protokol 427/N/12.

Gambar 2.Hemoragi pada paru-paru.

Gambar 3.

Hemoragi pada meningen.Gambar 4.

Kongesti otak.

Gambar 5.Hemoragi dan penebalan V.U.

Gambar 6.Limpa hemoragi dan membengkak.

30

Page 31: canine distemper virus.docx

Gambar 7.Otak mengalami kongesti dan

hemoragi.

Gambar 8.Pnemonia hemoragi dan kongesti pada

pembuluh darah besar.

Gambar 9.Peningkatan sel glia pada

otak (gliosis).

Gambar 10.Hemoragi dan infiltrasi sel radang

monomorfonuklear pada limpa.

Gambar 11.Vesica urinaria mengalami penebalanpada mukosa dan infiltrasi eritrosit.

Gambar 12.Hati mengalami kongesti dan infiltrasi

radang monomorfonuklear.

31

Page 32: canine distemper virus.docx

Gambar 13.Biakan bakteri pada media Sheep Blood

Agar. Tumbuh koloni pada usus dan paru-paru. Koloni berwarna putih,bentuk bulat, tepi rata, dan hemolitik.

Gambar 14.Biakan bakteri pada media Eosin

MetylenBlue agar. Tumbuh koloni berwarna

merahKeunguan dan tidak hemolitik.

Gambar 15.Uji TSIA (+), bagian miring dan

tegak/dasar media berubah menjadi kuning, disertai adanya gas. H2S negatif

(-)

Gambar 16.Uji SIM (+), terdapat pergerakan

bakteri disekitar tusukan dan terbentuknya cincin merah setelah

ditetesi reagen kovac’s.

Gambar 17.Uji MR(+), terbentuk cincin merah setelah ditetesi Methyl Red (MR).

Gambar 18.Uji VP(-), tidak terbentuk cincin merah setelah ditetesi Voges Proskauer (VP).

32

Page 33: canine distemper virus.docx

Gambar 19.Uji Laktosa (+), media

berubah warna dari hijau menjadi kuning.

Gambar 20.Uji Glukosa (+), media

berubah warna dari biru menjadi kuning.

Gambar 21.Uji SCA(-),media tidak berubah warna, tetap

warna hijau.

Gambar 22.Uji Oxidase (+), koloni berubah warna menjadi

warna unguGambar 23.

Pewarnaan Gram. Gram negatif (-)

berwarna merah dan bentuk batang pendek

Gambar 24.Uji Katalase (+), koloni yang ditetesi H2O2 3%

terbentuk gelembung gas

Gambar 25.

33

427/N/12M

Page 34: canine distemper virus.docx

Hasil uji RT – PCR menunjukkan Positif Terinfeksi Virus Distemper

34