caping+cari angin+kolom tempo 14.9.2014-20.9.2014
TRANSCRIPT
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 1/36
Westphalia
Senin, 15 September 2014
Imagine, there is no country.
Kadang-kadang orang sebal dengan batas. Saya kira rata-rata orang Indonesia yang masuk ke
negeri lain merasakan bahwa tiap meja imigrasi dipasang dengan kandungan syak wasangka.
Petugasnya akan dengan tanpa senyum menatap kita, seakan-akan ingin menebak sesuatu dari
bentuk hidung dan kuping kita. Ia biasanya akan menghela napas, membetulkan letak
kacamatanya, dan seperti mau menyatakan: Anda saya silakan masuk ke negeri kami, tapi
sebenarnya Anda bisa merepotkan kami.
Kita sebal, tapi kita akan tetap mematuhi prosedur: paspor kita akan kita serahkan, dan paspor
Republik Indonesia itu akan ditelaah semenit dua menit, dan visa akan diperiksa, lalu akan
ada sedikit tanya-jawab yang umumnya tak ada gunanya, lalu dok-dok-dok , stempel
diterakan. Kita boleh lewat. Setelah itu: pemeriksaan dua.
Negeri diberi batas oleh sejarah politik. Batas itu umumnya disambut baik karena ada yang
didapat: kedaulatan. "Kedaulatan" itu agaknya kata yang ampuh. Pengertiannya, seperti yang
dipahami dan dipraktekkan hari ini di seluruh dunia, sebenarnya tidak dari kitab suci mana
pun. Tapi ia punya mithosnya sendiri.
Dalam mithos yang umum diucapkan orang, pengertian itu bermula dari sejarah Eropa yang
bergelimang darah di abad ke-17. Setelah Perang 30 Tahun yang menewaskan 7,5 juta
manusia itu, ketika para penguasa Protestan dan Katolik selama tiga dasawarsa saling
mengerahkan pasukan untuk menghabisi satu sama lain, sebuah perjanjian perdamaian pun
berlangsung di Westphalia, sebuah wilayah Jerman di barat laut.
Ini perundingan yang tak mudah. Perlu waktu empat tahun untuk mencapai hasil. Mewakili
194 kekuasaan yang bertempur, ribuan duta besar, diplomat, staf, sekretaris, dan pelbagai
macam petugas ditempatkan pada tahun 1644-1648 di Westphalia. Acara pertama-enam
bulan lamanya-membahas protokol: siapa duduk di mana, siapa yang masuk lebih dulu keruangan dan setelah siapa. Salah satu hasilnya: utusan Prancis dan Spanyol selama empat
tahun itu tak pernah bertemu karena aturan protokolernya tak memungkinkan.
Akhirnya, upacara penandatanganan kesepakatan disetujui (perlu tiga minggu untuk itu), dan
Perjanjian Damai Westphalia diteken. Pukul dua siang, Sabtu, 24 Oktober 1648.
Salah satu keputusan: Swiss memperoleh "kedaulatan".
Tapi tak berarti "kedaulatan" itu sama artinya dengan pengertian yang berlaku sekarang.
Seorang sejarawan, Andreas Osiander, menunjukkan bahwa kata yang dalam bahasa Inggris
disebut sovereignty itu sebenarnya tak sangat dikenal di masa itu, juga dalam teks Latindokumen resmi. "Tak seorang pun waktu itu menggubris 'kedaulatan' sebagai sebuah
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 2/36
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 3/36
Pemimpin
Sabtu, 13 September 2014
Putu Setia
Apa lagi yang mau ditulis soal Ahok? Semuanya sudah terbuka. Caranya marah, caranya
membela diri, intonasi suaranya, gesture tubuhnya saat bicara, semuanya telanjang. Apakah
dia pemimpin ideal?
Pemimpin ideal itu tergantung masyarakat yang dipimpinnya. Gaya kepemimpinan Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok pas untuk Jakarta. Kekerasan yang jadi watak Jakarta
memerlukan pemimpin yang bergaya preman. Kalau marah menggebrak dan tak seganmengajak orang berduel. Di mana ada pemimpin yang mengajak orang berduel?
Ahok berani keras dan mengecam perilaku pejabat yang korup karena ia tahu dirinya bersih.
Ia berani menantang karena tahu lawan-lawannya bermasalah. Ada yang pernah dibui dalam
kasus korupsi. Ada yang preman suka memalak hak orang. Belajar dari pengalaman gubernur
sebelumnya, Jakarta hanya sukses dipimpin gubernur yang juga keras kepala. Ada Ali
Sadikin. Dan sekarang Ahok memberi harapan.
Gaya kepemimpinan Ahok pasti tak cocok untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat
Yogya tak perlu dimarahi dengan menggebrak meja. Jika Sultan HB X kesal, dengan sorot
mata tajam sudah membuat "yang disorot" sadar. Sultan tak mungkin mengajak berduel.
Di Bali pun, Ahok pasti tak cocok. Di sini Mangku Pastika, yang mantan jenderal polisi,
diterima dengan baik. Berpuluh tahun ia di luar Bali dan tentu melihat ketimpangan lebih
jernih, lalu ia datang membangun Bali tanpa ada beban disekat oleh faktor klan-penyakit
pemimpin Bali. Pendekatannya kepada masyarakat tepat. Bertutur halus, tidak menuding
seperti Ahok.
Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, pun punya gaya yang khas. Ia tak segan memungut
sampah di jalanan dan bisa marah-marah ketika taman kotanya dirusak gara-gara ada
perusahaan yang menggelar promo. Ia meledak seperti Ahok, namun ia bisa meratap sepertiMangku Pastika ketika kedatangan orang-orang malang yang perlu dibantu.
Negeri ini bergerak ke arah yang lebih baik seolah-olah alam ikut menyeleksi pemimpin dan
menempatkannya di mana diperlukan. Ridwan Kamil, arsitek yang sudah populer itu,
ditempatkan "alam" di Bandung untuk mengembalikan kejayaan Kota Kembang yang dulu
asri. Kota Lautan Api yang menyimpan sejarah bangsa harus dikembalikan ke budaya
Padjadjaran yang luhur. Ketika ada yang mengejek Kota Bandung di media sosial, Ridwan
bisa marah dan melaporkan pemilik akun itu ke polisi. Namun kemarahan Ridwan tak sampai
menantang si pemilik akun untuk berduel. Ridwan justru ingin berdialog. Ridwan bukan
Ahok.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 4/36
Ada Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, lemah lembut sebagaimana orang Jawa, tetapi tegas
tak kepalang tanggung ketika melihat penyimpangan di jembatan timbang. Masih banyak
contoh pemimpin yang ternyata pas dengan ritme budaya di mana dia memimpin.
Sayang sekali, kini tertutup pemimpin seperti itu kalau saja RUU Pilkada disahkan DPR pada
25 September nanti. Rakyat dicabut haknya untuk memilih pemimpin yang disediakan alam.Semua pemimpin yang disebutkan di atas, kecuali Sultan HB X, adalah "pemimpin pilihan
alam". Ahok yang mendampingi Jokowi sulit terpilih kalau bukan rakyat yang memilihnya.
Apalagi Mangku Pastika, tak mungkin menjadi Gubernur jika yang memilihnya anggota
DPRD. Pastika diusung Demokrat, dan Bali mayoritas PDI Perjuangan.
Para wakil rakyat membawa demokrasi kita kembali ke Orde Baru, sedikit demi sedikit. Ya,
rakyat "keliru" memilih wakilnya, tak mengira kalau wakilnya punya "program terpendam"
seperti itu. Sepuluh tahun pemerintahan Presiden Yudhoyono yang dikenang hanya masa-
masa akhirnya: hak rakyat untuk memilih pemimpin telah dirampas.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 5/36
Rokok dan Warga Miskin
Senin, 15 September 2014
Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Pemerintah akan menaikkan tarif cukai rokok 10,2 persen tahun depan ( Koran Tempo, 9
September 2014). Tahun ini tarif cukai rokok sudah sekitar 50 persen dari harga eceran.
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, cukai rokok dapat
diterapkan maksimal 57 persen. Produsen yakin tarif cukai yang tinggi akan menjauhkan
konsumen dari rokok. Warga miskin akan menekan angka konsumsi rokok. Diperkirakan
tingkat kemiskinan bakal menurun. Benarkah seperti itu?
Pelbagai aturan dibuat guna membatasi konsumsi rokok, dari larangan merokok di tempat
publik sampai pencantuman peringatan kesehatan, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 109 Tahun 2012. Apakah aturan ini efektif menekan konsumsi rokok?
Ada temuan menarik soal konsumsi rokok. Data Susenas oleh Badan Pusat Statistik selama
beberapa tahun terakhir menangkap tingginya pola pengeluaran rokok-filter maupun kretek-
warga miskin. Pendapatan warga miskin tidak hanya tersedot untuk pengeluaran pangan,
seperti membeli beras, tapi juga untuk rokok. Menurut BPS pada September 2013, kontribusi
rokok terhadap garis kemiskinan menduduki posisi kedua, baik di perkotaan maupun di
pedesaan. Rokok hanya kalah oleh beras.
Empat komoditas yang memiliki sumbangan besar terhadap garis kemiskinan di pedesaan
adalah beras (32,72 persen), rokok (8,31 persen), telur ayam ras (3,54 persen) dan gula pasir
(2,73 persen). Sedangkan di perkotaan, pengeluaran tercatat untuk beras (24,81 persen),
rokok (10,08 persen), telur ayam ras (3,63 persen), dan gula pasir (2,58 persen). Pada
September 2013, garis kemiskinan di perkotaan berada di angka Rp 308.826. Artinya,
penduduk miskin di perkotaan membelanjakan uang Rp 34 ribu untuk membeli rokok dalam
sebulan. Ini nilai yang lumayan besar, yang sebetulnya bisa dialihkan untuk biaya pendidikan, kesehatan, atau pengeluaran lain.
Hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013 yang dirilis Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan juga menghasilkan temuan serupa:
konsumsi rokok penduduk kelas menengah bawah dan terbawah rata-rata mencapai 12 batang
per hari (360 batang dalam sebulan). Apabila harga sebatang rokok Rp 500, berarti uang yang
dibelanjakan penduduk kelas menengah bawah dan terbawah untuk membeli rokok mencapai
Rp 180 ribu sebulan (58 persen dari garis kemiskinan).
Hasil Riskesdas pada 2013 menemukan fakta getir lain: tingkat konsumsi rokok pada anak-
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 6/36
anak (usia 10-14 tahun) sangat tinggi. Konsumsi rokok kelompok usia ini mencapai batang
per hari atau 240 batang sebulan. Artinya, anak-anak perokok menghabiskan uang Rp 120
ribu sebulan hanya untuk membakar rokok. Ironisnya, jumlah perokok pemula (usia 10-14
tahun) naik dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir, dari 5,9 persen pada 2001 jadi 17,5 persen
pada 2010. Pada periode yang sama, jumlah perokok pemula usia 15-19 tahun menurun dari58,9 persen menjadi 43,3 persen. Data ini menandai adanya pergeseran umur perokok pemula
ke kelompok usia lebih muda.
Data-data ini tentu menyesakkan. Semua tahu rokok berdampak buruk pada kesehatan.
Dalam sebatang rokok terkandung 4.000 jenis senyawa kimia beracun. Dari jumlah itu, 43
jenis bersifat karsinogenik. Bagi warga miskin, merokok adalah pemborosan. Pengeluaran itu
tentu lebih bermanfaat untuk memenuhi konsumsi pangan atau menambah porsi pengeluaran
pendidikan/kesehatan.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 7/36
Tantangan Jokowi Mengelola Sumber Daya Alam
Senin, 15 September 2014
Fachruddin M. Mangunjaya, Dosen Fakultas Biologi Universitas Nasional (UNAS)
Naiknya Joko Widodo sebagai presiden menumbuhkan optimisme bahwa persoalan
lingkungan di Indonesia akan teratasi dengan baik. Hal ini karena Presiden Jokowi, yang
berlatar belakang pendidikan Fakultas Kehutanan, diharapkan memiliki kesadaran memadai
ihwal sumber daya alam. Problem kesemrawutan tata kelola lingkungan hidup, kehutanan,
dan konflik pemanfaatan sumber daya alam kiranya dapat diurai dalam agenda presiden ke
depan. Ada beberapa agenda prioritas bagi pengelolaan sumber daya alam Indonesia.
Pertama, masalah pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Kedua, upaya
penanggulangan perubahan iklim, dan ketiga, kesadaran publik tentang kelestarian
lingkungan serta keseimbangan ekosistem.
Kekayaan sumber daya alam negeri ini bisa menjadi penumpu kehidupan. Bukan hanya yang
berupa mineral-minyak, batu bara, emas, dan tembaga-di dalam perut bumi, tetapi juga
keanekaragaman hayati. Hutan selama ini hanya dianggap sebagai sumber kayu (logging ) dan
penghasil rente ekonomi. Padahal, hutan merupakan cadangan pangan alternatif, bahan bakuobat-obatan, dan stok sumber daya genetika.
Sebuah ekosistem yang seimbang seharusnya dinilai dalam kesatuan pengambilan keputusan
dan kebijakan. Telah banyak kajian tentang penilaian ekonomi terhadap sebuah ekosistem.
Hilangnya jasa ekosistem pasti akan berbuntut kehilangan mata rantai kehidupan yang
ujungnya menurunkan produktivitas. Karena itu, pengambilan kebijakan tidak bisa dilakukan
secara sektoral, melainkan horizontal, diagonal, bahkan jika diperlukan vertikal dengan
pertimbangan ilmu pengetahuan dan etika.
Adapun perubahan iklim kelihatannya sudah menjadi momok semua bangsa. Apalagi dengan
gagalnya upaya global dalam menurunkan kadar emisi melalui berbagai perjanjian. Padahal,
anomali iklim telah nyata dirasakan di mana-mana. Anomali iklim tersebut bisa berujung
bencana yang merugikan. Bukan saja merusak kondisi ekonomi, tapi juga menyebabkan
penderitaan jangka panjang. Assessment Report of Intergovermental Panel for Climate
Change (IPCCC 2014) menekankan pentingnya melakukan adaptasi dalam berbagai lini
kehidupan. Kata kunci Indonesia dalam perubahan iklim adalah bagaimana bangsa ini tidak
lagi melakukan konversi terhadap hutan alamnya. Kegagalan Indonesia memelihara hutan
alam harus menjadi perhatian karena sangat "memalukan" dan kontra-produktif terhadap
upaya politik lingkungan Indonesia di kancah global.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 8/36
Karena itu, keberhasilan pembangunan dan pembenahan tata kelola sumber daya alam dalam
kabinet Jokowi dapat dijawab dengan "revolusi mental" dalam mengelola sumber daya alam.
Lebih khusus lagi berkaitan dengan masalah keanekaragaman hayati. Sekarang ini, kesadaran
lingkungan dan kepedulian bangsa Indonesia atas keanekaragaman hayati sangat rendah.
Elite politik di daerah dan pusat gampang memberikan izin, bahkan menukar fungsi hutanlindung demi rente ekonomi. Akibatnya, datanglah para investor dan industri yang
menghancurkan lingkungan serta jasa lingkungan.
Hasil studi Kementerian Lingkungan Hidup pada 2012 menunjukkan bahwa kualitas air
sungai di seluruh provinsi, terutama di Jawa dan Sumatera, terus menurun. Penyebabnya
adalah maraknya pencemaran, tata ruang yang tidak dipatuhi, serta perilaku masyarakat,
termasuk industri yang membuang limbah sembarangan. Laporan hasil penelitian Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2009 menyimpulkan bahwa 92 persen jenis ikan air
tawar yang pernah tercatat eksis pada 1912 telah punah. Akankah sungai lain di Tanah Air
bernasib sama?
Kabinet "Revolusi Mental" adalah titik strategis dalam memprioritaskan pembangunan
ekonomi dan perbaikan kualitas lingkungan hidup dalam satu kontinum. Penyederhanaan
jumlah kabinet semestinya bisa menyatukan perspektif penataan lingkungan hidup dalam
kesatuan sistem, termasuk dalam pengambilan kebijakan. Persoalan struktur kementerian
dalam pembenahan lingkungan saat ini harus berbeda dengan yang diterapkan 20 tahun lalu,
sehingga upaya menyatukan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian
Kehutanan menjadi hal strategis.
Adapun soal penataan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan, baik
keanekaragaman hayati maupun sumber daya mineral, dapat dimediasi dengan pertimbangan
tata kelola oleh seorang menteri koordinator. Menteri ini bisa dibantu sebuah lembaga
fungsional independen, sehingga segala tantangan kepentingan dalam pengambilan kebijakan
dapat diselesaikan dengan basis pertimbangan sains profesional, etika, dan keseimbangan
(balance). Pemasangan kabinet seperti inilah yang diharapkan dapat mengamankan
kehidupan jangka panjang bangsa ini, dengan karunia isi buminya yang menjadi tumpuan
generasi masa kini maupun mendatang.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 9/36
Efisiensi dan Efektivitas Kedutaan Besar RI
Selasa, 16 September 2014
Jeffrie Geovanie, mantan anggota Komisi I DPR Sub-Komisi Luar Negeri
Terpilihnya pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sebagai Presiden-Wakil
Presiden RI diharapkan bisa mengakhiri praktek pemborosan anggaran di semua sektor
penyelenggara negara dan birokrasi pemerintahan. Salah satu sektor yang harus dilakukan
efisiensi besar-besaran adalah Kementerian Luar Negeri, terutama dalam penempatan dan
pengelolaan kedutaan di negara-negara sahabat. Efisiensi yang dimaksud bukan dengan cara
mengurangi anggaran kementerian, tapi dengan melakukan restrukturisasi danrefungsionalisasi kelembagaan perwakilan RI di luar negeri.
Perombakan perlu dilakukan pada dua sektor. Pertama, sektor struktural kelembagaan,
menyangkut institusi dan birokrasi yang ada dalam kedutaan, dan kedua, sektor sumber daya
manusia (SDM), yang ditempatkan sebagai duta besar berikut staf-stafnya. Pada kedua sektor
ini, sepanjang sejarah berdirinya Kementerian Luar Negeri RI, belum pernah dilakukan audit
secara menyeluruh.
Sejauh ini, ada sekitar 160 lebih kedutaan RI yang tersebar di berbagai negara dan organisasi
internasional, dengan dipimpin oleh 99 duta besar yang di antaranya merangkap beberapa
kedutaan. Untuk negara dengan tingkat kekayaan yang masih di bawah rata-rata, bila
dibandingkan dengan negara-negara besar lainnya di dunia, jumlah kedutaan yang dimiliki
Indonesia jelas terlampau banyak. Hanya Amerika Serikat, Rusia, Jepang, dan Cina yang
jumlah kedutaannya relatif sama dengan Indonesia. Sedangkan negara-negara maju, seperti
Jerman, Inggris (Britania Raya), Prancis, Belanda, Italia, Spanyol, Belgia, Austria, Norwegia,
Kanada, Australia, dan Singapura, jumlah kedutaan mereka jauh di bawah Indonesia.
Artinya, ada inefisiensi luar biasa di sektor struktur kelembagaan diplomatik kita. Begitu pun
pada sektor SDM-nya, meskipun sudah banyak perangkapan, 99 duta besar itu bukanlah jumlah yang efisien. Inefisiensi ini berdampak ganda, satu sisi ada penghamburan uang
negara di kedutaan-kedutaan yang posisi dan peranannya tidak begitu penting baik secara
politik maupun ekonomi bagi Indonesia, di sisi lain, ada kekurangan anggaran di kedutaan-
kedutaan yang memiliki posisi dan peranan yang vital dan strategis.
Karena itu, perlu ada terobosan bagi Jokowi-JK untuk merestrukturisasi kedutaan kita agar
bisa lebih efisien dan efektif bekerja. Beberapa kedutaan yang tidak punya kepentingan
langsung dan mendesak-baik secara politik maupun ekonomi-dengan masa depan Indonesia,
ada baiknya dihapus atau dialihfungsikan untuk kepentingan yang lebih tepat. Untuk negara-
negara yang secara geopolitik memiliki kesamaan, seperti negara-negara yang berada di
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 10/36
Afrika yang jumlahnya puluhan, negara-negara Amerika Latin, dan negara-negara
Semenanjung Balkan, tidak perlu masing-masing punya kedutaan.
Beberapa negara di antaranya, dengan diwakili Konsul Jenderal, sudah dianggap memadai,
atau bisa juga diwakili seorang atase kementerian yang disesuaikan dengan pembidanganyang dibutuhkan. Bahkan di beberapa negara yang dinilai tidak penting peranannya bagi
Indonesia, cukup diwakili seorang honorary counselor yang diambil dari ekspatriat atau
warga negara Indonesia yang hidup berkecukupan (mapan) dan tinggal di negara tersebut.
Para honorary counselor , karena dipilih dari WNI yang sudah berkecukupan, mereka tidak
perlu digaji, hanya dengan diberi surat kuasa untuk mewakili RI saat menghadiri acara-acara
penting dan kenegaraan, mereka tentu sudah cukup bangga dan senang.
Menempatkan duta besar dengan pertimbangan semata-mata untuk menjalin hubungan
historis (menyangkut nostalgia masa lalu yang sudah tak lagi relevan) sudah waktunya
diminimalkan. Apalagi hanya semata-mata pertimbangan politik untuk mendapatkan suara
dalam pengambilan keputusan di sidang-sidang organisasi internasional, seperti Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), yang sama sekali bukan alasan yang urgen.
Dalam salah satu sesi debat calon presiden, Jokowi pernah mengungkapkan perlunya
memaksimalkan peran duta besar, terutama dalam bidang ekonomi. Menurut Jokowi,
diplomasi bidang ekonomi tidak kalah penting dengan diplomasi politik. Duta besar
merupakan pemasar bagi produk-produk ekonomi, baik manufaktur maupun ekonomi kreatif.
Dengan cara seperti inilah dunia mengenal Indonesia dengan baik, sebagai negara yang
mampu memproduksi barang-barang yang layak beli, yang kualitasnya tidak kalah dengan barang-barang produk negara-negara maju yang sudah menguasai pasar dunia.
Di negara-negara yang menampung banyak tenaga kerja Indonesia (TKI), seperti Malaysia,
Hong Kong, Korea Selatan, dan negara-negara Timur Tengah, peranan kedutaan juga perlu
ditingkatkan, terutama untuk mengadvokasi agar TKI punya daya tawar yang tinggi, tidak
mudah terkena kasus-kasus hukum.
Itulah beberapa hal penting guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas kedutaan besar RI di
luar negeri. Tidak mudah dilakukan, tapi dengan niat baik dan kerja keras, semua bisa
dilakukan. Political will dari pemerintah (Jokowi-JK) akan menjadi kunci yang menentukan
keberhasilan upaya ini.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 11/36
Bisnis Kekerasan
Selasa, 16 September 2014
Achmad Fauzi, Aktivis Multikulturalisme
Layaknya mafia, lalu lintas perdagangan dan bisnis di Tanah Air kini banyak menggunakan
jasa keamanan (baca: preman). Tujuannya, supaya sektor usaha yang digeluti memiliki posisi
tawar dan disegani banyak orang. Padahal sisi gelap kehidupan preman tidak bisa dilepaskan
dari kejahatan dan pelanggaran ketertiban umum.
Preman berasal dari bahasa Belanda, yakni vrijman, yang artinya orang bebas, merdeka. DiIndonesia, preman dikonotasikan menjadi manusia bebas yang tak beraturan. Simaklah
rentetan peristiwa penagihan utang oleh debt collector yang sempat menghebohkan jagat
publik. Atau perebutan lahan parkir, klub malam, dan konflik perjudian antargeng yang
berdarah-darah.
Di Jakarta saja, kini harga keamanan sudah semakin mahal. Di kawasan Tugu Monas, yang
terletak di depan istana kepresidenan, misalnya, aksi premanisme yang berakibat tragis
pernah terjadi. Juru parkir tewas karena dibakar oleh anggota TNI hanya karena uang "jatah
preman" yang dia setorkan dinilai kurang. Aparat yang seharusnya menjalankan tugas
melindungi masyarakat dan menjaga keamanan justru menjadi bagian organik dari jaringan
premanisme. Ini sangat keterlaluan.
Kabar terbaru, sedikitnya 16 pemuda yang diduga preman ditangkap aparat gabungan Polda
Metro Jaya lantaran menduduki lahan di kawasan waduk Ria Rio yang notabene menjadi aset
milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tindakan mereka sangat meresahkan. Beberapa
senjata tajam disita polisi, seperti sabit, samurai, pisau, dan linggis kecil.
Aksi premanisme di ruang publik telah mencapai derajat mengkhawatirkan. Perlu didalami,
siapa dalang dari tindakan premanisme tersebut dan apa motifnya. Tindakan tegas adalah
pilihan tepat.
Tanpa disadari, di negeri ini premanisme tersebar di berbagai sektor kehidupan. Ruang publik
digelayuti trauma dan kengerian mendalam karena preman berkeliaran tanpa kontrol.
Kelompok preman telah membangun bisnis kekerasan berkedok jasa pengamanan demi
mencari keuntungan ekonomi. Sektor-sektor strategis, seperti penagihan utang, penjagaan
pasar dan tempat hiburan, serta pengamanan lahan sengketa dan parkir, dikuasai oleh para
preman yang berafiliasi dengan kelompok tertentu. Bahkan tak jarang preman menjadi
pembunuh bayaran guna menghabisi nyawa seseorang atau kelompok atas permintaan pihak
tertentu.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 12/36
Disinyalir bisnis kekerasan tersebut semakin kuat dan menjamur karena pelaku dilindungi
oleh oknum aparat untuk tujuan tertentu. Bahkan bisa saja mereka bekerja sama dengan poros
kekuatan politik.
Fenomena bisnis keamanan tersebut acap kali menimbulkan gesekan dan keributanantarkelompok preman, karena perebutan lahan kekuasaan. Akibatnya, masyarakat dihantui
rasa takut dan resah karena di semua lini disesaki oleh aksi premanisme. Jika kekerasan telah
menjadi lahan bisnis, sifat manusia sebagai makhluk ekonomi yang rakus tidak terbantahkan.
Ia tak lagi mempedulikan adab, aturan hukum, dan kepentingan umum. Inilah paradoks
pembangunan sistem ekonomi-politik paling nyata yang mempengaruhi perilaku manusia, di
mana martabat manusia dijadikan sebagai salah satu alat produksi sistem kapitalis.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 13/36
Jaksa Agung yang Mensejahterakan
Rabu, 17 September 2014
Natsir Kongah, Pembelajar masalah-masalah tindak pidana pencucian uang
Dalam kampanye pencalonan presiden-wakil presiden, Jokowi-JK menyampaikan visi dan
misinya untuk mensejahterakan rakyat. Salah satu hal yang efektif untuk dapat
mensejahterakan rakyat adalah dengan membasmi korupsi dan merampas aset hasil kejahatan
yang dilakukan untuk kemakmuran rakyat.
Keberadaan Jaksa Agung yang mumpuni merupakan salah satu pilar yang dapatmensejahterakan rakyat serta menegakkan keadilan. Tidak dapat dimungkiri, peran Jaksa
Agung sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di bidang penuntutan serta penyidikan terhadap
tindak pidana tertentu sangat sentral dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
Agar dapat ikut mensejahterakan rakyat, Kejaksaan Agung patut dipimpin oleh orang yang
progresif dalam pemikiran dan penegakan hukum. Di matanya, hukum bukan hanya mesti
melahirkan keadilan formal (legal formal), tapi juga mampu menghadirkan keadilan
masyarakat (legal substantif).
Pendekatan progresif sang Jaksa Agung akan membuatnya melakukan terobosan atau
pengaturan baru mengenai mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana, termasuk hasil
kejahatan korupsi, dengan sistem perampasan yang memungkinkan pengembalian aset hasil
tindak pidana. Seraya menyampaikan gugatan terhadap aset yang berasal dari tindak pidana
atau instrumen kejahatan yang menekankan perampasan aset hasil tindak pidana atau dikenal
dengan Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture atau civil forfeiture.
Adanya pelaku kejahatan yang dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
kejahatan berdasarkan suatu putusan pengadilan bukan merupakan prasyarat yang harus
dipenuhi. Dengan mekanisme ini pula, terbuka kesempatan yang luas untuk merampas segalaaset yang diduga merupakan hasil pidana ( proceed of crimes) dan aset-aset lain yang patut
diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana (instrumentalities) untuk
melakukan tindak pidana.
Mekanisme baru ini juga dapat digunakan sebagai alternatif untuk memperoleh kompensasi
atau uang pengganti atas adanya kerugian negara. Sekalipun aset baru diketemukan di
kemudian hari, dan tidak tercantum dalam daftar aset yang dapat disita atau dirampas
berdasarkan putusan pidana yang sudah inkracht , ia tetap dapat disita dan dirampas melalui
mekanisme perampasan aset tanpa tuntutan pidana ini.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 14/36
Asset Forfeiture atau civil forfeiture ini sangat urgen untuk diterapkan agar dapat menjadi
solusi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Hadirnya sosok Jaksa Agung yang
andal, berwibawa, dan profesional pada kabinet mendatang akan berimplikasi pada rasa
keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Hukum diperuntukkan buat membahagiakan
manusia, mengabdi bagi kepentingan manusia, wabil khusus untuk kesejahteraan rakyatIndonesia. Masyarakat Indonesia telah lama rindu akan sosok Jaksa Agung yang cerdas dan
tegas, juga jujur dan berani, seperti R. Soeprapto atau Baharuddin Lopa.
Jaksa Agung mendatang harus dapat mempersiapkan infrastruktur yang kuat, untuk
mempersiapkan jaksa yang dapat merespons perkembangan hukum yang semakin pesat
seiring dengan perkembangan ekonomi, teknologi, dan informasi global. Lebih dari itu,
seorang Jaksa Agung harus pula memiliki pengetahuan, pengalaman, dan jam terbang yang
tinggi dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan perampasan aset.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 15/36
Kenangan Fosbury sampai Susi Susanti
Rabu, 17 September 2014
Nur Haryanto, [email protected]
Dick Fosbury membuat pengecualian. Dia melakukan hal yang tak pernah dilakukan
sebelumnya oleh atlet lompat tinggi lainnya. Di Olimpiade Meksiko 1968, dia membuat
penonton terperangah. Sudah 46 tahun lamanya Fosbury melakukan lompatan bersejarah itu.
Ketik saja namanya di www.youtube.com, Anda bisa melihat Fosbury melompat. Sampai kini
gaya itu paling sering digunakan, termasuk oleh pemegang rekor dunia terakhir, JavierSotomayor (Kuba) dengan lompatan 2,43 meter. Fosbury waktu itu meraih medali emas, tapi
tidak memecahkan rekor dunia. Dia hanya mampu melewati mistar setinggi 2,24 meter,
sedangkan rekor dunia saat itu dipegang Valeriy Brumel (Rusia) dengan tinggi lompatan 2,28
meter. Terus apa istimewanya Fosbury?
Tak ada yang terlihat aneh dengan lompatannya. Tapi, bagi penonton atau penggemar atletik
saat itu, lompatan Fosbury adalah hal yang belum pernah dilakukan orang sebelumnya. Itu
gaya baru dalam lompat tinggi. Dan kini gaya itu dikenal dengan Fosbury Flop. Caranya,
melentingkan badan dengan punggung menghadap mistar.
Bagi saya, mungkin juga bagi yang lain, kisah ini inspiratif. Tapi bagaimana dengan dunia
olahraga Tanah Air? Badminton masih menjadi favorit; cabang angkat besi sudah satu dekade
menunjukkan prestasi di Olimpiade; atau panahan, yang pernah membuat sejarah medali
perak Olimpiade Seoul 1988, tak lagi bersinar.
Berbeda dengan sepak bola, membicarakan olahraga amatir atau Olympic Games sepertinya
tidak terlalu menarik. Padahal, ketika medali emas direbut, bendera Merah Putih dikibarkan
dan lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan. Saat itulah gengsi suatu negara dan
bangsa terangkat. Tak ada kata lain, suasana itu akan membuat haru dan bangga.
Coba lihat lagi di situs YouTube, saat Susi Susanti dan Alan Budikusuma menitikkan air
mata ketika lagu dan bendera kebanggaan berkibar di Olimpiade Barcelona 1992. Medali
emas Olimpiade pertama yang pernah diraih Indonesia. Atmosfernya akan lebih terasa ketika
menyaksikan langsung. Dada akan terasa sesak dan rasa bangga itu meluap "Indonesia Bisa!"
Prestasi Susi dan Alan juga menginspirasi. Prestasi atlet olahraga di banyak negara dijadikan
sumber inspirasi untuk generasi mudanya. Sayangnya, di Tanah Air, kisah seperti ini tak
banyak. Bahkan, kalau membaca berita sepekan terakhir, sepertinya olahraga memang
dipandang sebelah mata.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 16/36
Koran Tempo, Minggu, 14 April lalu, melaporkan nasib para atlet Indonesia yang akan
berlaga di Asian Games Incheon, Korea Selatan, mulai 19 September ini. Para atlet berangkat
tanpa uang saku. Mereka bahkan sempat tertahan di kampung atlet karena hotel belum
dibayar. Seolah pemerintah tak peduli atau memang benar-benar tak peduli. Padahal mereka
berangkat demi mengharumkan Indonesia di mata dunia.
Rasa-rasanya, generasi mendatang yang hidup pada 2025 masih kesulitan mencari rekaman di
internet soal prestasi atlet-atlet Indonesia. Atau mereka hanya menemukan kisah-kisah juara
dari negara lain. Saya hanya berharap itu tak bakal terjadi.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 17/36
Kelembagaan Pendidikan, Kebudayaan,dan Ristek
Rabu, 17 September 2014
Darmaningtyas, Pengamat Pendidikan dari Tamansiswa
Menyambut pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf
Kalla (Jokowi-JK), muncul beberapa gagasan dalam bidang pendidikan, budaya, serta riset
dan teknologi (ristek). Sejumlah seniman dan budayawan mengusulkan agar dibentuk
Kementerian Kebudayaan yang khusus mengurusi kebudayaan, agar kebudayaan dapat
berkembang secara maksimal. Mereka berharap, dengan pengesahan RUU Kebudayaan
menjadi UU Kebudayaan, kelak ada kementerian khusus yang mengawal implementasinya.
Sedangkan mereka yang memiliki concern dalam bidang ristek mengusulkan agar dilakukan
pemisahan antara kementerian yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen)
dengan kementerian yang mengurusi pendidikan tinggi (PT). PT diusulkan digabung menjadi
satu dengan kementerian yang mengurusi ristek, yaitu BPPT, dengan alasan agar riset-riset di
PT dapat diimplementasikan dan bukan hanya menjadi dokumen di laci.
Semua argumen mengenai pentingnya pembentukan Kementerian Kebudayaan ataupun pemisahan kelembagaan antara Dikdasmen dan PT itu cukup rasional. Artinya, berdasarkan
nalar empiris, usul-usul tersebut dapat diterima oleh akal sehat. Namun tidak berarti usul
tersebut layak diimplementasikan karena memiliki implikasi yang amat luas, baik secara
ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Maka, calon presiden terpilih Jokowi-JK perlu
ekstra hati-hati mengakomodasi semua gagasan konstruktif tersebut.
Pembentukan kementerian baru pasti akan berdampak pembengkakan anggaran negara.
Sementara itu, hasilnya belum tentu memuaskan seperti yang diharapkan. Secara politis,
keberadaan Kementerian Kebudayaan juga belum tentu memiliki leverage yang tinggi dan punya pengaruh luas bila tidak didukung oleh penganggaran yang besar dan serta tugas,
pokok, dan fungsi yang jelas.
Kita sudah memiliki pengalaman selama satu dekade yang dapat dipakai sebagai bahan
refleksi untuk mengambil keputusan. Pada periode 1999-2009, kebudayaan melekat jadi satu
dengan Kementerian Pariwisata, selengkapnya bernama Kementerian Budaya dan Pariwisata.
Sedangkan pendidikan bernama Departemen Pendidikan Nasional. Ternyata pemisahan
tersebut menimbulkan persoalan yang amat luas, baik terhadap kebudayaan sendiri maupun
pendidikannya. Kebudayaan ternyata tidak berkembang seperti yang diharapkan, bahkan
cenderung diperlakukan sebagai komoditas semata. Sedangkan praksis pendidikan menjadi
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 18/36
amat kering dan terjebak pada persoalan manajerial, sehingga kehilangan rohnya.
Akhirnya muncul desakan agar kebudayaan dikembalikan lagi ke pendidikan. Desakan itu
kemudian direspons oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengembalikan
kebudayaan ke pendidikan. Dan sejak Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, nomenklaturnya pun berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Nalar empirisnya memang diyakini penggabungan PT dengan ristek akan lebih produktif.
Tapi kita juga bisa meragukan asumsi tersebut ketika hasil-hasil kajian dan inovasi BPPT
tidak secara otomatis dapat diproduksi secara massal, sehingga tidak berkontribusi langsung
terhadap pengembangan industri nasional. Masih saja tetap terjadi, ristek dan industri
berjalan sendiri-sendiri. Hal yang sama akan terjadi dalam hal penggabungan PT dengan
ristek, bahwa harapan ideal itu tidak akan tercapai, sementara praksis PT sudah telanjur
pragmatis. Padahal, PT didirikan bukan hanya memproduksi tenaga kerja dan melakukan
inovasi untuk industri saja, melainkan untuk perubahan masyarakat secara luas, termasuk
aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Sementara itu, penggabungan PT
dengan ristek itu hanya menjawab kebutuhan industri dan atau pemasaran hasil-hasil riset
dari perguruan tinggi semata.
Persoalan PT dan ristek kita bukan terletak pada kelembagaannya, melainkan pada pendanaan
yang terbatas dan kultur birokrasi yang kurang mendukung. Oleh karena dana terbatas, riset
di PT dan ristek hanya memenuhi persyaratan formal, tidak optimal, akhirnya industri pun
tidak berminat mengembangkannya. Dengan demikian, solusinya bukan menggabungkan
keduanya, tapi menambah anggaran untuk PT dan riset serta menciptakan kultur birokrasiyang mendukung interelasi antara PT, ristek, dan industri.
Berdasarkan pengalaman pemisahan kelembagaan antara pendidikan dan kebudayaan serta
pembentukan beberapa kementerian baru, tapi tidak disertai dengan pendanaan yang cukup,
jelas sekali bahwa pembentukan kementerian baru tidak selalu mampu memenuhi keinginan
dari para pengusulnya, dan akhirnya menimbulkan kekecewaan. Karena itu, sebelum telanjur,
gagasan pembentukan Kementerian Kebudayaan serta penggabungan PT dengan ristek pun
perlu berhati-hati. Jangan sampai kelembagaan masing-masing sektor sudah berantakan dan
kehilangan rohnya, tapi kementerian baru itu pun tidak mampu menjawab persoalan,
sebaliknya justru melahirkan persoalan yang lebih kompleks.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 19/36
Langkah Mundur Pemilihan Kepala Daerah
Kamis, 18 September 2014
Sabam Leo Batubara, pengamat politik; Mantan Wakil Ketua Dewan Pers
Penyelesaian pro-kontra pemilihan kepada daerah (pilkada)-tetap langsung oleh rakyat atau
oleh DPRD-akan diputuskan dalam Sidang Paripurna DPR pada 25 September 2014. Posisi
terakhir, Koalisi Merah Putih yang beranggotakan Fraksi Partai Gerindra, Partai Golkar,
Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan
Partai Demokrat, ngotot mengubah aturan pilkada, dari dipilih langsung oleh rakyat menjadi
dipilih oleh DPRD. Sementara itu, PDIP, PKB, dan Hanura berpendapat rakyat harus tetapmemilih langsung pemimpinnya dalam pilkada.
Untuk menemukan pilihan terbaik, kesembilan Fraksi DPR itu diasumsikan masih konsisten
terhadap tujuan bernegara kita, yaitu melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan
umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Persoalannya, dalam mengupayakan tujuan
nasional itu, siapa sebaiknya yang berdaulat dalam pilkada dan pilpres? Selama 69 tahun
terakhir, tercatat ada tiga jawaban.
Pertama, penguasa rezim. Pada era Orde Lama dan Orde Baru, penguasa rezimlah penentu
kepala daerah. Terkonsentrasinya kekuasaan di tangan penguasa rezim sesuai dengan doktrin
Machiavelli, yang dalam buku The Prince mengatakan perhatian utama seorang penguasa
untuk memenangi perjuangan politik secara efisien adalah dengan sistem otoriter.
Kedua, penguasa partai. Gerakan reformasi mengakhiri tirani eksekutif Orde Baru. Tapi yang
muncul adalah daulat partai. Penguasa partai berhasil menjatuhkan Presiden Habibie.
Pemilihan Umum 1999 menghasilkan PDIP sebagai peraih suara rakyat terbanyak. Kemudian
muncul performa partai yang tidak menunjukkan kematangan dan fairness dalam
berdemokrasi. Pemenang ketiga pemilu, PKB, mengusung figur Gus Dur, yang menjadi
Presiden. Megawati (PDIP), pemenang pertama, menjadi wapres. Amien Rais dari PAN, pemenang kelima, menjadi Ketua MPR, dan Akbar Tanjung dari Golkar, pemenang kedua,
menjadi Ketua DPR. Hasil pemilihan tersebut merupakan buah dari kedaulatan koalisi partai
pecundang yang berhasil menghadang peraih legitimasi terbesar dari rakyat sebagai pemilik
kedaulatan. Ketidakmatangan dan unfairness partai berlanjut. Partai-partai pecundang
bukannya sibuk membantu Presiden Gus Dur memajukan dan menyejahterakan rakyat,
melainkan sibuk menjatuhkannya.
Ketiga, kedaulatan rakyat. Indonesia telah merdeka sejak 1945, tapi rakyatnya baru merdeka
dari daulat penguasa rezim dan penguasai partai pada 2004. Lewat amendemen konstitusi,
presiden dipilih langsung oleh rakyat. Pasal 56 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemilihan
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 20/36
Daerah mengamanatkan bahwa kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Hasil gerakan reformasi itu melahirkan presiden dan kepala daerah yang sesuai dengan
kehendak rakyat, seperti SBY, Jokowi, Ahok, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati
Bantaeng Nurdin Abdullah, dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Kepala-kepala daerahitu amat fokus dalam melayani kepentingan rakyat. Sebagian besar kepada daerah pilihan
rakyat diduga, didakwa, atau telah dipidana dengan hukuman penjara akibat korupsi. Hal itu
bukan karena sistem pilkada yang memihak rakyat, melainkan karena partai pengusung
memasok calon-calon yang memang berbakat korupsi.
Kenapa pilkada oleh DPR harus ditolak? Pertama, paparan di atas memproyeksikan pilkada
via DPRD bukan saja sebagai langkah mundur, tapi juga mengkhianati perjuangan gerakan
reformasi untuk mengubah sistem pilkada dan pilpres dari sistem tak langsung ke sistem
langsung oleh rakyat. Fakta-fakta empiris menunjukkan, meski pilpres dan pilkada oleh
MPR/DPR dan DPRD lebih efisien dan hemat, hal itu bukan saja telah memposisikan rakyat
sebagai burung beo, tapi juga telah melupakan kepentingan rakyat sebagai pemilik
kedaulatan.
Kedua, dari temuan saya ketika berkunjung ke Parlemen Inggris di London, Edinburg, dan
Canberra, saya menemukan bahwa pemilihan pimpinan nasional dan daerah di negara itu
dilakukan oleh anggota dewan mereka. Pemilihan itu memenuhi prinsip demokrasi dan
didukung oleh rakyat karena anggota parlemen tidak ada yang (1) malas menghadiri sidang;
(2) tidak memahami tugas pokoknya sehingga menghasilkan UU yang menentang konstitusi;
(3) memperdagangkan fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasannya; (4) ramai-ramaidipidana dengan hukuman penjara akibat kasus korupsi. Dalam diskusi saya dengan beberapa
anggota Dewan, dinyatakan bahwa demokrasi diakui tidak efisien dan berbiaya mahal, tapi
demokrasi-lah yang paling efektif mendengar suara rakyat.
Ketiga, Pasal 1 ayat 2 UUD 45 asli menyebutkan, "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR." Sebelumnya, berlandaskan pasal itu, pilpres dan pilkada
dilakukan oleh penguasa rezim dan atau penguasa partai. Karena dalam prakteknya,
MPR/DPR dan DPRD tidak tampil sebagai wakil rakyat, melainkan wakil penguasa rezim
dan atau penguasa partai. Karena itu, pada era reformasi ini, pilkada harus berlandaskan
amendemen konstitusi.
Berlandaskan Pasal 18 ayat 4, pilkada harus dipilih secara demokratis. Demokrasi yang
bagaimana? Demokrasi terpimpin Sukarno atau demokrasi Pancasila Soeharto? Pasal 1 ayat 2
Amendemen II menegaskan bahwa demokrasi harus memastikan bahwa "kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD".
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 21/36
Format Juru Bicara Pemerintah
Kamis, 18 September 2014
Abdul Salam Taba, Pemerhati Teknologi Informasi dan Komunikasi
Gagasan Asvi Warman Adam agar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo)
menjadi juru bicara pemerintah ( Koran Tempo, 8 Agustus 2014) menarik dicermati. Sebab,
setelah diberangus Gus Dur, belum ada kementerian/lembaga yang piawai dan bisa
menjembatani komunikasi serta informasi program pemerintah dengan rakyat selayaknya
Departemen Penerangan pada masa Orde Baru.
Tepatkah penugasan Kemkominfo sebagai juru bicara pemerintah sekaligus pembina dan
regulator dalam bidang pos, teknologi informasi, serta komunikasi (TIK)? Secara fungsional,
keberadaan lembaga yang bisa mensosialisasi program kerja pemerintah secara tepat
sehingga mudah diterima masyarakat memang diperlukan.
Namun tak harus dibentuk direktorat jenderal baru sebagaimana diusulkan Asvi. Sebab,
sudah ada Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Ditjen IKP), yang selama
ini bertugas mensosialisasi program kementerian/lembaga, khususnya di Kemkominfo. Yang
perlu dilakukan hanya memaksimalkan fungsi dan merevitalisasi kemampuan pegawai Ditjen
IKP agar program kerja Jokowi-JK bisa disosialisasi secara lebih kreatif, modern, dan
demokratis.
Masalahnya, format tersebut tidak mengakomodasi harapan serta tuntutan praktisi dan
asosiasi industri TIK, termasuk netizen, yang banyak berkontribusi memenangkan Jokowi-
JK. Mereka berharap Kemkominfo berperan sebagai regulator teknis mandiri dan melepas
fungsi kehumasannya kepada Sekretariat Negara ( Detik.com, 23 Agustus 2014).
Secara praktis, tuntutan tersebut logis. Sebab, tanpa fungsi kehumasan, Kemkominfo bisa
fokus mengatur dan membangun infrastruktur TIK tanpa terbebani kepentingan lain (politik),misalnya.Hal tersebut mempercepat terwujudnya broadband economy dan masyarakat
berbasis informasi (knowledge-based society), yang berdampak meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan daya saing Indonesia, baik secara regional maupun global.
Selain itu, perkembangan industri TIK akan terdorong secara nasional. Sebab, pengelolaan
sektor TIK, dengan segala model bisnis dan layanan yang mengikuti serta regulasinya, lebih
terarah dan akomodatif terhadap kemajuan teknologi dan menjamin kepastian berusaha.
Akibatnya, operator terpacu untuk memperluas jaringan dan meningkatkan kualitas
layanannya dengan tarif terjangkau.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 22/36
Selain itu, untuk meningkatkan kinerja dan menghindari timbulnya intervensi politik,
Kemkominfo sebaiknya tidak lagi berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Politik,
Hukum, dan Hak Asasi Manusia, melainkan dengan Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian.
Dari paparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemerintah Jokowi-JK
dalam membentuk kementerian TIK tersendiri serta memaksimalkan potensi pegawai hasil
penggabungan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik dengan Kementerian
Sekretariat Negara akan berimplikasi ganda. Selain meningkatkan kinerja dan mempercepat
realisasi program kerja utama Jokowi-JK, seperti Indonesia Sehat dan Indonesia Cerdas, serta
menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik dan berupaya memberantas korupsi berbasis
TIK (by system), rencana di atas memastikan adanya lembaga kehumasan yang kuat dan
berkemampuan dalam menjembatani komunikasi serta informasi program pemerintah kepada
segenap lapisan masyarakat.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 23/36
Imaji
Kamis, 18 September 2014 |
Agus M. Irkham, Pegiat Literasi
Untuk perayaan Hari Aksara Internasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
menyelenggarakan beberapa acara, salah satunya Festival Taman Bacaan Masyarakat (TBM)
ketiga yang akan berlangsung di Kendari, Sulawesi Tenggara, 17-21 September 2014.
"Merayakan Keragaman Imajinasi Menuju Literasi Indonesia Unggul" menjadi tema festival
ini. Tema yang kontekstual itu dipadu dengan situasi yang belangsung di Indonesia, yaitutengah bermekarannya beragam aktivitas produktif yang berbasis pada imaji.
Betul sekali nubuat Albert Einstein bahwa imajinasi lebih penting daripada pengetahuan.
Karena itu, jika TBM ini ingin menjadi bagian dari apa yang disebut literasi Indonesia
unggul, ia harus selalu terhubung dengan persoalan-persoalan kebangsaan serta isu-isu global
sebagai sumber imaji dan gagasan, bukan terus berkutat pada persoalan internal, seperti
koleksi buku yang kurang atau jumlah pengunjung yang sedikit. Kalau persoalan klasik dan
klise ini yang terus-menerus diekspos, TBM tidak akan ke mana-mana dan tak akan move
on.Tak jadi masalah bila TBM ini merupakan entitas kecil. Sebab, biarpun kecil, kalau
produktivitasnya tinggi, tetap akan mewarnai Indonesia.
Menurut saya -dalam konteks TBM sebagai salah satu pegiat budaya baca dan keberaksaraan-
ada tiga penanda suatu bangsa dapat dikatakan memiliki keunggulan literasi. Pertama,
memiliki program atau gerakan budaya membaca yang bersifat nasional. Misalnya, Hari
Berbagi Buku Nasional (HB2N), Satu Rumah Satu Rak Buku, atau program Dari Buku
Menjadi Karya. Manfaat kehadiran gerakan nasional ini secara isu akan menyatukan semua
pegiat budaya membaca di Indonesia. Gerakan nasional itu menjadi pusat orbit aksi literasi di
daerah. Minimal secara wacana, isu budaya membaca ini juga akan terus hidup. Tidak hilang
dan mati akibat tertindih oleh persoalan yang terus datang bergulung-gulung menghampirinegeri ini.
Kedua, ada produk yang dihasilkan. Produk yang didasari imaji dan pengetahuan sebagai titik
pijak keberangkatan awal. Melalui produk tersebut, orang bisa mencandrai dinamika dari
sebuah gerakan budaya baca. Wujudnya bisa bersifat fisik, seperti buku yang berisi kearifan
lokal, alat permainan edukatif literasi, dan hasil praktek dari buku menjadi karya. Atau yang
bersifat non-fisik, misalnya warung arsip digital, perangkat lunak ( software) pengelolaan
TBM/perpustakaan, serta game literasi gratis yang dipasarkan melalui Android.
Ketiga, sistem. Menyadari betapa luasnya Indonesia kita ini, gerakan budaya membaca tentu
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 24/36
saja tidak bisa direngkuh melalui pendekatan terpusat. Ia harus menjadi inisiatif masing-
masing daerah. Sistem dibuat agar dapat dijadikan rujukan bagi semua pemangku
kepentingan budaya membaca. Ini bisa membantu mereka menjawab pertanyaan, misalnya
tentang dari mana dan bagaimana sebuah gerakan budaya membaca harus dimulai.
Tanpa ketiga hal tersebut, keunggulan literasi akan tetap menjadi mimpi. Karena itu, agar
mimpi ini menjadi kenyataan, diperlukan upaya merasionalkan imaji dan kegilaan tingkat
tinggi dalam menekuninya.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 25/36
Balada Faksionalisasi Partai
Jum'at, 19 September 2014
Arya Budi, Peneliti Poltracking Institute
Setelah Golkar, kini PPP terdengar riuh berada dalam kontinum politik yang hampir sama:
suksesi kepemimpinan partai. Terlepas dari polemik kegagalan kepemimpinan Ical di Golkar
dalam pemilu maupun status hukum SDA bagi PPP, penyebabnya cukup jelas, agenda politik
2014 belum usai: 1) pengisian posisi pimpinan dan alat kelengkapan DPR; 2) pengisian pos
menteri kabinet Jokowi-JK. Factions without party, demikian bab penting untuk menjelaskan
cara partai politik bekerja menurut Sartori (1976). Pesannya sederhana: faksi bahkan telahlahir sebelum partai terbentuk.
Karakter organisasi partai memberi sumbangsih penting bagi dinamika faksi partai. Dalam
hal ini, ada dua fitur utama pada karakter partai-partai di Indonesia, terutama 10 partai yang
lolos ke parlemen 2014 – 2019. Fitur pertama adalah partai tempat patron menciptakan
struktur. Berkaitan dengan fitur ini, bagi Demokrat, PDIP, dan Gerindra, siapa pun yang
menjadi sekjen atau ketua partai, seluruh kendala tetap berada di bawah keputusan veto SBY,
Megawati, dan Prabowo. Patronlah yang menentukan otoritas politik sebuah struktur
organisasi partai.
Kedua, partai tempat struktur menciptakan patron. Hal paling sederhana untuk menjelaskan
fitur ini: ketua umum yang terpilih dalam Muktamar PPP atau Munas Golkar, dialah
pemegang otoritas tertinggi partai. Artinya, struktur partai adalah sumber legitimasi
kekuasaan patron pemenang. Pengelolaan kedua macam fitur dominan inilah yang
menentukan daya partai untuk menyintas.
Bila dicermati, dari 10 partai politik yang lolos ke parlemen 2014 – 2019, gejolak dinamika
internal partai terjadi pada partai-partai pendukung Prabowo-Hatta dalam pemilihan presiden
lalu. Dari lima partai Koalisi Merah Putih, gejolak dua partai (PPP dan Golkar) terdengar riuholeh media. Sementara itu, Gerindra, PAN, dan PKS di bawah masing-masing (para)
patronnya terlihat adem-ayem, sekalipun kekohesifan partai tak sepenuhnya stabil akibat
penolakan para fungsionarisnya dalam sikap partai terhadap RUU Pilkada. Adapun di
kelompok sebelah (PDIP, NasDem, PKB, dan Hanura), bahkan sayup-sayup perseteruan
intra-partai tak terdengar oleh publik. Hal ini wajar: partai lebih siap menang daripada siap
kalah. Bagaimanapun, sekali lagi, tujuan utama partai adalah memenangi pemilu (Strom,
1999).
Dalam sistem presidensial multipartai seperti di Indonesia, pemilu presiden membuka dua
akses paling penting bagi koalisi pemenang. Pertama, penguasaan kursi eksekutif-presiden
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 26/36
dan struktur komposisi pembantunya-sehingga kontrol terhadap alat dan fungsi negara
membuka banyak keuntungan politik. Melalui akses ini, paling tidak definisi siapa yang salah
dan benar mampu "mengamankan" para kriminal politik yang tergabung dalam koalisi akibat
penguasaan alat negara.
Kedua, penguasaan kendali sumber daya di mana keuntungan material, sekalipun
konstitusional, mampu berimplikasi terhadap perawatan suara sebagai sebuah siklus
elektoral. Berkaitan dengan hal ini, kita masih ingat akan kebijakan BLT sebelum pemilu
presiden 2009. Singkatnya, dua akses penting inilah yang menjelaskan partai-partai dalam
koalisi yang kalah menegosiasikan kembali keputusan politiknya, hingga beresonansi
terhadap dinamika faksi di setiap partai. Walaupun begitu, tentu, konsolidasi demokrasi di
Indonesia tidak lagi memungkinkan dua akses ini digunakan secara leluasa.
Meskipun demikian, faksionalisasi yang kasatmata di tubuh PPP saat ini dan Golkar beberapa
waktu lalu juga terjadi akibat sekuen politik inter-partai, baik antara partai-partai dalam satu
koalisi maupun keseluruhan partai yang lolos ke parlemen 2014 – 2019. Dalam konteks post-
election politics, faksi terbentuk karena tarikan kepentingan para orang kuat partai dengan isu
tunggal: di dalam atau di luar kabinet. Tak bisa dibantah, 37 persen kursi parlemen yang
dimiliki koalisi Jokowi-JK memaksanya untuk bertangan terbuka dan bahkan merangkul.
Pada saat yang sama, para "patron kontra-Jokowi" dalam koalisi Prabowo memanfaatkan
surplus kursi 50+1 di parlemen untuk membangun jangkar elektoral dari pusat hingga daerah
yang bisa menjadi prospektif bagi agenda 2019.
Skema pemilihan pimpinan dewan dalam UU MD3 dan polemik pemilihan kepala daeraholeh DPRD dalam RUU Pilkada adalah jalan setapak agenda penguasaan 2014 dan kekuasaan
pada 2019. Artinya, impitan dua kepentingan inilah yang menjelaskan konstelasi politik
inter-party sepuluh partai parlemen beresonansi terhadap dinamika faksi dalam partai.
Kata kuncinya, systemness-meminjam istilah Panebianco (1988)-atau derajat kesisteman
sebagai sebuah bagian penting untuk mengukur tingkat kelembagaan partai menjadi ujung
akhir dinamika faksi partai. Apakah faksionalisasi yang terjadi di PPP, Golkar, dan beberapa
partai lain memiliki daya rusak yang rendah terhadap koherensi fungsi struktur internal
partai? Atau, apakah partai bergerak secara otonom-tanpa intervensi partai lain atau pihak
berkepentingan di luar? Atau, justru gerak partai ditentukan oleh kontinum politik antar-faksi
yang dikendalikan oleh para orang kuat di luar partai, kandidat capres, misalnya.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 27/36
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 28/36
yang ada dalam benak Bung Karno ketika melahirkan Pancasila? Bung Karno dalam
pidatonya menyebutkan Pancasila digali dari bumi Indonesia.
Dalam kearifan budaya lokal Nusantara, pemimpin memang mengutamakan musyawarah-
mufakat lewat perwakilan. Pada masyarakat adat Bali, misalnya, warga berkelompok dalam perwakilan. Perwakilan terendah bernama tempekan, di atas itu banjar , di atasnya lagi desa.
Ketua adat, yang disebut bendesa, dalam merumuskan kebijakan cukup bermusyawarah
dengan ketua-ketua perwakilan. Dengan demikian, warga tak harus terlibat dalam banyak
rapat.
Namun dalam memilih pemimpin dari tingkat terendah sampai tertinggi, rakyat memilih
secara langsung. Cara memilih pemimpin seperti ini juga lazim bagi masyarakat adat di luar
Bali. Nah, kalau Bung Karno menggali Pancasila dari kearifan budaya lokal ini, mungkin sila
keempat dimaksudkan bukan untuk memilih pemimpin. Disebut "mungkin" karena Bung
Karno tak bisa lagi diwawancarai, kita hanya bisa belajar dari perjalanan sejarah bangsa.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 29/36
Penderitaan Kebudayaan
Jum'at, 19 September 2014
Agus Dermawan T., Pengamat Budaya dan Seni
Presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla baru saja mengumumkan
jumlah kementerian untuk kabinet mendatang. Berdasarkan rancangan yang sudah digadang-
gadang, Kementerian Kebudayaan, yang berpuluh tahun menempel pada Kementerian
Pendidikan, mendadak hilang. Sebagai "kompensasi", kebudayaan akan ditampung dalam
Kementerian Ekonomi Kreatif yang diwacanakan.
Hilangnya kebudayaan dalam kementerian dan penyempitan kebudayaan menjadi sekadar
produk ekonomi kreatif tentu akan mengecewakan para pemikir kebudayaan. Sebab,
kebudayaan-sebagai himpunan dari cara manusia berpikir, berperasaan, dan berbuat sebagai
anggota masyarakat-memiliki aspek sangat luas dan abstrak, yang tidak bisa dikomodifikasi.
Dari rancangan kabinet Jokowi-JK ini masyarakat budaya tersadar bahwa kebudayaan dalam
nomenklatur (tata nama), yang merupakan tanda dari prioritas pemerintah Indonesia, memang
menjadi "si penderita" sejak lama. Pada masa Menteri Muhammad Yamin dan Bahder
Djohan pada 1950-an, kebudayaan diletakkan sebagai pelengkap Kementerian Pendidikan
dan Pengajaran, yang kemudian disebut PP&K (Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan).
Memasuki masa Orde Baru, kementerian itu diringkas menjadi P dan K saja, atau Pendidikan
dan Kebudayaan.
Nomenklatur ini dikritik oleh budayawan Boediardjo dalam sejumlah seminar. Pendidikan
dan kebudayaan disebut sebagai dua pekerjaan besar, yang seharusnya ditangani terpisah.
Kementerian Kebudayaan harus berdiri sendiri. Sementara itu, salah satu hasil kebudayaan
yang disebut kesenian juga merupakan karya berlingkup amat luas, yang manifestasinya
harus diwadahi secara spesial. Pikiran Boediardjo di kurun lain disepakati Menteri Fuad
Hassan, yang menangani Dikbud (Pendidikan dan Kebudayaan). Sayang, Fuad Hassankeburu turun.
Baru pada medio 1998, seni memperoleh posisi mandiri, dalam Kementerian Pariwisata dan
Seni yang dipimpin Marzuki Usman. Meski begitu, konon, seni di sini diposisikan sebagai
penghias dunia pariwisata saja. Sementara itu, kebudayaan masih dilekatkan di belakang
Kementerian Pendidikan.
Memasuki Orde Reformasi, kebudayaan tetap cuma menempel-nempel. Menteri Jero Wacik
pun memegang tampuk Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Lumayan, kebudayaan
ditaruh di posisi depan, meski dalam praktiknya kebudayaan habis dilibas program
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 30/36
kepariwisataan.
Zaman berlanjut. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sekonyong-konyong dihapus oleh
rezim SBY. Kebudayaan lalu bergabung (lagi) dengan Pendidikan. Jadilah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Konon, untuk membagi pekerjaan, menteri mengangkat wakilmenteri, yang khusus menangani kebudayaan. Begitu tahu bahwa kebudayaan itu hakikatnya
abstrak, wakil menteri diam-diam menggeser programnya untuk menggarap yang konkret.
Dan yang konkret dalam kebudayaan adalah produk kesenian. Padahal, di sebelah sana
negara telanjur membentuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Semua tahu,
"ekonomi kreatif" tak lain produk kesenian itu. Dalam situasi bertumpang-tindih, kebudayaan
diam-diam terlupakan.
Kebingungan negara atas kebudayaan ujungnya mengikis kebijakan anggaran yang
membiayai policy kebudayaan. Padahal, semua tahu, tanpa anggaran, penanganan
kebudayaan tidak akan pernah berjalan. Sekarang, kita sedang menunggu, adakah Jokowi-JK
sama belaka dengan para pendahulu?
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 31/36
Mobil
Sabtu, 20 September 2014
Purnawan Andra, peminat kajian sosial-budaya masyarakat
Presiden terpilih Joko Widodo menolak rencana pemerintah pimpinan Presiden SBY untuk
membelikan mobil mewah baru bagi menteri pemerintah pimpinan Jokowi mendatang.
Daripada memakai mobil baru, ia lebih memilih memakai mobil dinas yang lama. Jokowi
bertekad mengedepankan pelayanan publik daripada meningkatkan fasilitas pejabat.
Sejak awal abad ke-20, mobil memang telah menjadi simbol kekuasaan, kekayaan, dankemodernan. Pengamat budaya, Bandung Mawardi, mencatat bahwa pada 1907 Raja
Pakubuwana X bermobil Daimler-Benz ketika pelesir.
Mobil, yang dulu berperan sebagai alat migrasi atau perpindahan dari satu tempat ke tempat
lain, berkembang maknanya dalam konteks ekonomi, kelas sosial, gaya hidup, hingga politik.
Pejabat dan penguasa menunjukkan eksistensi dengan mobilnya. Semakin banyak mobil,
apalagi dengan ragam dan kebaruannya, membuktikan keberhasilannya. Semakin kuat dan
berpengaruh posisi pejabat, kenyamanan dan keamanan kendaraannya menjadi keharusan dan
amat vital.
Mobil juga diidentikkan dengan keberhasilan pembangunan. Pemerintah berhasil
meningkatkan taraf hidup dan daya beli masyarakatnya. Pembangunan jalan (raya, layang,
dan tol) menjadi bukti dan memfasilitasi peningkatan kuantitas mobil yang dimiliki
masyarakat.
Pada saat yang sama, mobil juga menjadi urusan keluarga dalam iklan-iklan di majalah,
koran, dan televisi. Kita mengenal istilah-istilah "mobil sebagai sahabat keluarga", "mobil
untuk keluarga Indonesia", atau "mobil pilihan keluarga Indonesia". Semua iklan mobil ingin
membuat publik menerima pemahaman: mobil penting bagi keluarga. Keluarga Indonesia"mesti" bermobil agar tampak harmonis dan terhormat (Mawardi, 2014).
Namun mobil juga terlibat dalam kontes politik. Perkara mobil pernah menjadi isu penting
dalam era Orde Baru. Mobil menjadi ajang politik bisnis yang bersumber dari fasilitas
kekuasaan. Mobil bahkan dilibatkan dalam agenda setting identitas nasional yang berujung
pada kekayaan dan kemakmuran oknum dan pihak tertentu yang berada dalam lingkaran
kekuasaan.
Mobil juga menjadi bagian dalam tindak kejahatan kerah putih yang terkuak belakangan ini.
Para politikus memiliki koleksi mobil-mobil mewah dan eksklusif hasil korupsi dan
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 32/36
pencucian uang. Dalam kasus-kasus rasuah yang tersingkap, mobil-mobil berharga selangit
itu tidak hanya menandakan kepemilikan properti kaum elite. Hal itu pun menjadi modus
dalam tindak suap dan lobi-lobi tender politik, korupsi, pencucian uang, hingga berkaitan
dengan perkara syahwat ketika menjadi hadiah bagi artis-artis dan teman dekat wanitanya.
Makna mobil mengalami peyorasi karena sikap mental orang-orang semacam ini.
Untuk itu, kita berharap langkah Jokowi tersebut merupakan wujud nyata revolusi mental
yang selama ini didengungkan. Secara riil, pejabat publik jangan mengambil keuntungan di
tengah penderitaan rakyat, tapi justru melayani rakyat dengan memberi keteladanan dari segi
penghematan dana dan kesederhanaan. Mengubah mental boros menjadi hemat dan berpihak
kepada rakyat harus dipahami sebagai salah satu usaha dalam mewujudkan salah satu
Trisakti, yaitu membangun kemandirian dalam bidang ekonomi. Kriwikan dadi grojogan,
mengubah perkara penting dari hal yang kecil.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 33/36
IS, Jihad, dan Pendidikan Kita
Sabtu, 20 September 2014
Husein Ja'far Al Hadar , penulis
Salah satu ideologi utama dan dasar Negara Islam Irak dan Suriah, atau Islamic State (IS),
adalah jihad. Abu Mus'ab az-Zarqawi, peletak cikal-bakal IS, berhasil direkrut dari
kehidupannya sebagai pemuda nakal dengan pesona doktrin tentang jihad. Akhirnya, ia
tumbuh menjadi seorang yang hanya memahami Islam sebagai jihad. Ironisnya, pendidikan
kita pun sering kali mengasosiasi Nabi lebih sebagai pendekar perang yang mengisi hidupnya
dengan perang.
Seperti dikemukakan Syaikh Hasan bin Farhan al-Maliky, ulama moderat Arab Saudi, IS
tenggelam dalam lautan keutamaan jihad, sementara mereka tak memahami sedikit pun
tentang prinsip-prinsip jihad paling dasar. Mereka adalah orang yang menganggap Islam dan
kehidupan Nabi Muhammad hanya perkara perang. Padahal, menurut sebuah penelitian, jika
dikalkulasi, karier kerasulan Nabi kira-kira 23 tahun atau 8.000 hari. Jumlah hari Nabi
berperang hanya 80 hari jika tanpa melibatkan persiapan dan sebagainya. Artinya, secara
total, hari peperangan Nabi hanya 10 persen atau 1 persen dari karier kenabiannya. Ironisnya,
yang 90 persen atau 99 persen inilah yang justru tak dipahami dan diyakini oleh IS dan para
pengikut serta pendukungnya. Itu pula yang kerap diajarkan berulang-ulang tentang Islam
dan Nabi dalam pendidikan anak-anak kita.
Padahal, menurut Nabi, jihad bukan hanya dilakukan dengan berperang. Justru, Nabi
menyebut perang sebagai jihad kecil ( jihâd ashghar ) dan melawan nafsu sebagai jihad besar
( jihâd akbar ). Alkisah, saat Nabi pulang dari Perang Tabuk, ketika para sahabat berkata,
"Kita baru saja pulang dari perang besar". Nabi justru berkomentar, "(Sebaliknya) kita baru
pulang dari perang kecil, menuju perang besar," yakni jihad melawan nafsu. Dan, tak ada
orang yang mati syahid dalam jihad kecil, sebelum dia menang dalam jihad besar. Artinya,
kesyahidan sejati justru bukan didapat dari medan perang saja, tapi juga dari perang melawannafsu terlebih dulu. Sayyidina Ali pernah mengurungkan ayunan pedangnya saat menyadari
bahwa ayunan pedang itu disebabkan nafsunya. Nabi sendiri pun tak syahid di medan perang.
Adapun jihad model IS justru karnaval nafsu: kekejaman, keberingasan, dan kesadisan.
Jihad dalam konteks perang pun tak dipahami dengan benar dan kadang tereduksi oleh IS dan
mungkin oleh sebagian kita. Jelas-jelas Al-Quran dalam al-Baqarah: 190, an-Nisaa': 75 dan
al-Hajj: 40 menjelaskan bahwa yang diperbolehkan-atau diwajibkan-untuk diperangi adalah
orang-orang yang memerangi kita, dan itu pun jangan melampaui batas, serta berperang
dalam rangka membela hak-hak orang-orang tertindas atau terusir dari kampung halamannya.
Adapun yang dilakukan IS justru menindas dan mengusir orang lain, atau malah saudara
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 34/36
muslimnya dari kampung halamannya di Mosul, Tikrit, dan wilayah-wilayah lain yang
dikuasainya, hanya karena perbedaan mazhab, ideologi, atau pandangan.
Perang IS juga bukan lagi hanya menerobos etika perang Islam, tapi sangat melampaui batas
dengan berlaku sadis terhadap tawanannya. Kita harus menjauhkan anak-anak dan lembaga pendidikan kita dari salah kaprah jihad ini.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 35/36
Revolusi Prestasi Olahraga
Sabtu, 20 September 2014
Sarluhut Napitupulu, Mantan Sekretaris Executive Commitee (EXCO) PSSI (2011 –2013)
Tulisan Eddi Elison di Koran Tempo, Rabu, 27 Agustus 2014, halaman 14, dengan judul
"Semangat Kementerian Pemuda dan Olahraga" layak diapresiasi. Praktisi olahraga nasional
ini, dalam tulisannya, meminta Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dirombak
dengan cara dipisah: urusan kepemudaan dikembalikan kepada kementerian lain. Urusan
olahraga diurus oleh Kementerian Olahraga. Dengan kata lain, Kemenpora dirombak dengan
dipisah menjadi Kementerian Olahraga.
Menurut Eddi, dengan berfokus hanya pada olahraga, Kementerian Olahraga akan lebih
bebas memantapkan programnya dan anggarannya pun tersendiri. Apalagi sudah ada
dukungan payung hukum sendiri, yakni UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional (SKN), dalam mengurus dan mengatur sistem olahraga serta memberi
perlindungan dan penjelasan kepada semua elemen pendukung olahraga nasional. Untuk itu,
dengan wujud Kementerian Olahraga, Eddi sangat yakin olahraga Indonesia akan bangkit,
diiringi dengan peningkatan prestasi dan pertumbuhan infrastruktur keolahragaan.
Harapan Eddi patut direspons. Sejak awal Indonesia merdeka, olahraga sebenarnya diurus
sendiri oleh badan atau lembaga olahraga. Sampai akhirnya, Presiden Sukarno menjadikan
olahraga sebagai instrumen revolusi pembangunan dalam konteks olahraga sebagai nation
and character building. Bertolak dari instrumen itulah kemudian Sukarno, melalui Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 94 Tahun 1962 tanggal 7 Maret 1962, membentuk Departemen
Olahraga (Depora).
Depora bertugas mengatur, mengkoordinasikan, mengawasi, membimbing, dan bila perlu
menyelenggarakan: 1) semua kegiatan olahraga, termasuk pendidikan jasmani, di sekolah
sampai perguruan tinggi; 2) pendidikan tenaga ahli olahraga (guru dan pelatih); 3) pembangunan, penggunaan, dan pemeliharaan lapangan/bangunan olahraga; 4) pembangunan
industri nasional alat-alat olahraga dan/atau mengimpor alat-alat olahraga, pengedaran, serta
penggunaan oleh masyarakat; 5) pengiriman olahragawan/tim olahraga dari/ke luar negeri.
Dengan Depora yang didukung komitmen Presiden Soekarno, tak ayal olahraga mengalami
masa keemasan, yaitu Indonesia mampu menggelar Asian Games ke-4 pada 1962 di Jakarta.
Kemudian, terbangunnya fasilitas olahraga terbesar di dunia saat itu, yakni Gelanggang
Olahraga Bung Karno (GBK). Yang terakhir, dalam Asian Games tahun 1962, Indonesia
berada pada peringkat kedua setelah Jepang.
8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014
http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 36/36
Masa keemasan olahraga itu bisa terjadi tak lain akibat kemauan politik pada zaman itu
didukung penuh oleh presidennya untuk membangun olahraga dan diimplementasikan oleh
para menteri-menteri dan disambut penuh oleh masyarakat. Saat itu memang olahraga
diyakini bisa membentuk manusia baru yang sehat mental dan fisik dan menaikkan prestise
negara. Selain itu, Depora memang benar-benar bertugas dan berfungi hanya mengurusolahraga.
Namun, dalam rezim Orde Baru, Depora dibubarkan. Bidang olahraga kemudian ditangani
setingkat direktur jenderal dalam kementerian, yang mempunyai keterbatasan dalam
kewenangan, pengambilan keputusan, melakukan koordinasi, serta alokasi pendanaan.
Belakangan, urusan olahraga digabung dalam Menteri Negara Pemuda dan Olahraga.
Saat ini, dengan tiga undang-undang yang memayunginya (UU No 3 Tahun 2005 tentang
SKN, UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, dan UU No 12 Tahun 2010 tentang
Kepramukaan), Kemenpora memang tidak bisa berfokus hanya pada olahraga. Dengan tiga
payung hukum itu, Kemenpora melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam mengurus
olahraga, kepemudaan, dan kepramukaan.
Alokasi dana pun selama ini dari APBN. Jika dibanding keseluruhan dana bagi kementerian
lainnya, Kemenpora hanya mendapat 0,1 persen dari dana total APBN, yang dialokasikan
untuk tiga unsur itu. Misalnya, dari dana APBN 2014 sebesar Rp 1.800 triliun, Kemenpora
menerima dana sekitar Rp 1,8 triliun (0,1 persen). Idealnya, pagu anggaran untuk olahraga
sesuai dengan hitungan Kemenpora sendiri, berkisar Rp 4 triliun sampai Rp 5 triliun. Dengan
anggaran ideal itu, implementasi program yang sudah disusun dapat terlaksana dengan baik,yang bermuara pada percepatan pencapaian prestasi. Selain itu, yang paling penting, figur
yang mengurus Kementerian Olahraga haruslah berlatar belakang bidang olahraga yang
cukup kuat.
Dalam visi-misinya, Jokowi menawarkan enam poin visi-misi di bidang olahraga. Intinya,
Jokowi ingin membangkitkan kembali masa kejayaan olahraga, baik dari sisi sarana-
prasarana maupun aspek prestasi. Bahkan, dia hendak menjadikan olahraga sebagai industri
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Untuk itu, di masa mendatang, lembaga pemerintah di bidang keolahragaan perlu diperkuat
kedudukan, tugas, dan fungsinya, dengan diubah statusnya menjadi Departemen Olahraga,
disertai dengan pemberian dana yang ideal. Dengan demikian, percepatan pertumbuhan
sarana-prasarana olahraga dan pencapaian prestasi olahraga Indonesia di dunia internasional
semakin terbuka lebar.