caping+cari angin+kolom tempo 14.9.2014-20.9.2014

36
 Wes tp halia Senin, 15 September 2014  Imagine, there is no country.  Kadang-kadang orang sebal dengan batas. Saya kira rata-rata orang Indonesia yang masuk ke negeri lain merasakan bahwa tiap meja imi grasi dipasang dengan kandungan syak wasangka. Petugasnya akan dengan tanpa senyum menatap kita, seakan-akan ingin menebak sesuatu dari  bentuk hidung d an kuping kita. Ia biasanya akan meng hela napas, membetulkan letak kacamatanya, dan seperti mau menyatakan: Anda saya silakan masuk ke ne geri kami, tapi sebenarnya Anda bisa merepotkan kami. Kita sebal, tapi kita akan tetap mematuhi prosedur: paspor kita akan kita serahkan, dan paspor Republik Indonesia itu akan ditelaah semenit dua menit, dan visa akan diperiksa, lalu akan ada sedikit tanya-jawab yang umumnya tak ada gunanya, lalu dok-dok-dok , stempel diterakan. Kita boleh lewat. Setelah itu: pemeriksaan dua.  Negeri diberi batas oleh sejarah politik. Batas itu umumnya disambut baik karena ada yang didapat: kedaulatan. "Kedaulatan" itu agaknya kata yang ampuh. Pengertiannya, seperti yang dipahami dan dipraktekkan hari ini di seluruh dunia, sebenarnya tidak dari kitab suci mana  pun. Tapi ia puny a mithosnya sendiri. Dalam mithos yang umum diucapkan orang, pengertian itu bermula dari sejarah Eropa yang  bergelimang darah di abad ke-17. Setelah Perang 30 T ahun yang menewaskan 7,5 juta manusia itu, ketika para penguasa Protestan dan Katolik sela ma tiga dasawarsa saling mengerahkan pasukan untuk menghab isi satu sama l ain, sebuah perjanjian perdamaian pun  berlangsung di Westphalia, sebuah wilayah Jerman di barat laut. Ini perundingan yang tak mudah. Perlu waktu empat tahun untuk mencapai hasil. Mewakili 194 kekuasaan yang bertempur, ribuan duta besar, diplomat, staf, sekretaris, dan pelbagai macam petugas ditempatkan pada tahun 1644-1648 di Westphalia. Acara pertama-enam  bulan lamanya-membahas protokol: siapa duduk di mana, siapa yang masuk lebih du lu ke ruangan dan setelah siapa. Salah satu hasilnya: utusan Prancis dan Spanyol selama empat tahun itu tak pernah bertemu karena aturan protokolernya tak memungkinkan. Akhirnya, upacara penandatanganan kesepakatan disetujui (perlu tiga minggu untuk itu), dan Perjanjian Damai Westphalia diteken. Pukul dua siang, Sabtu, 24 Oktober 1648. Salah satu keputusan: Swiss memperoleh "kedaulatan". Tapi tak berarti "kedaulatan" itu sama ar tinya dengan pengertian yang berlaku sekarang. Seorang sejarawan, Andreas Osiander, menunjukkan bahwa kata yang dalam bahasa Inggris disebut sovereignty itu sebenarnya tak sangat dikenal di masa i tu, juga dalam teks Latin dokumen resmi. "Tak seorang pun waktu itu menggubris 'kedaulatan' sebagai sebuah

Upload: ekho109

Post on 02-Jun-2018

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 1/36

 Westphalia

Senin, 15 September 2014

 Imagine, there is no country. 

Kadang-kadang orang sebal dengan batas. Saya kira rata-rata orang Indonesia yang masuk ke

negeri lain merasakan bahwa tiap meja imigrasi dipasang dengan kandungan syak wasangka.

Petugasnya akan dengan tanpa senyum menatap kita, seakan-akan ingin menebak sesuatu dari

 bentuk hidung dan kuping kita. Ia biasanya akan menghela napas, membetulkan letak

kacamatanya, dan seperti mau menyatakan: Anda saya silakan masuk ke negeri kami, tapi

sebenarnya Anda bisa merepotkan kami.

Kita sebal, tapi kita akan tetap mematuhi prosedur: paspor kita akan kita serahkan, dan paspor

Republik Indonesia itu akan ditelaah semenit dua menit, dan visa akan diperiksa, lalu akan

ada sedikit tanya-jawab yang umumnya tak ada gunanya, lalu dok-dok-dok , stempel

diterakan. Kita boleh lewat. Setelah itu: pemeriksaan dua.

 Negeri diberi batas oleh sejarah politik. Batas itu umumnya disambut baik karena ada yang

didapat: kedaulatan. "Kedaulatan" itu agaknya kata yang ampuh. Pengertiannya, seperti yang

dipahami dan dipraktekkan hari ini di seluruh dunia, sebenarnya tidak dari kitab suci mana

 pun. Tapi ia punya mithosnya sendiri.

Dalam mithos yang umum diucapkan orang, pengertian itu bermula dari sejarah Eropa yang

 bergelimang darah di abad ke-17. Setelah Perang 30 Tahun yang menewaskan 7,5 juta

manusia itu, ketika para penguasa Protestan dan Katolik selama tiga dasawarsa saling

mengerahkan pasukan untuk menghabisi satu sama lain, sebuah perjanjian perdamaian pun

 berlangsung di Westphalia, sebuah wilayah Jerman di barat laut.

Ini perundingan yang tak mudah. Perlu waktu empat tahun untuk mencapai hasil. Mewakili

194 kekuasaan yang bertempur, ribuan duta besar, diplomat, staf, sekretaris, dan pelbagai

macam petugas ditempatkan pada tahun 1644-1648 di Westphalia. Acara pertama-enam

 bulan lamanya-membahas protokol: siapa duduk di mana, siapa yang masuk lebih dulu keruangan dan setelah siapa. Salah satu hasilnya: utusan Prancis dan Spanyol selama empat

tahun itu tak pernah bertemu karena aturan protokolernya tak memungkinkan.

Akhirnya, upacara penandatanganan kesepakatan disetujui (perlu tiga minggu untuk itu), dan

Perjanjian Damai Westphalia diteken. Pukul dua siang, Sabtu, 24 Oktober 1648.

Salah satu keputusan: Swiss memperoleh "kedaulatan".

Tapi tak berarti "kedaulatan" itu sama artinya dengan pengertian yang berlaku sekarang.

Seorang sejarawan, Andreas Osiander, menunjukkan bahwa kata yang dalam bahasa Inggris

disebut sovereignty itu sebenarnya tak sangat dikenal di masa itu, juga dalam teks Latindokumen resmi. "Tak seorang pun waktu itu menggubris 'kedaulatan' sebagai sebuah

Page 2: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 2/36

Page 3: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 3/36

Pemimpin

Sabtu, 13 September 2014

Putu Setia 

Apa lagi yang mau ditulis soal Ahok? Semuanya sudah terbuka. Caranya marah, caranya

membela diri, intonasi suaranya, gesture tubuhnya saat bicara, semuanya telanjang. Apakah

dia pemimpin ideal?

Pemimpin ideal itu tergantung masyarakat yang dipimpinnya. Gaya kepemimpinan Basuki

Tjahaja Purnama alias Ahok pas untuk Jakarta. Kekerasan yang jadi watak Jakarta

memerlukan pemimpin yang bergaya preman. Kalau marah menggebrak dan tak seganmengajak orang berduel. Di mana ada pemimpin yang mengajak orang berduel?

Ahok berani keras dan mengecam perilaku pejabat yang korup karena ia tahu dirinya bersih.

Ia berani menantang karena tahu lawan-lawannya bermasalah. Ada yang pernah dibui dalam

kasus korupsi. Ada yang preman suka memalak hak orang. Belajar dari pengalaman gubernur

sebelumnya, Jakarta hanya sukses dipimpin gubernur yang juga keras kepala. Ada Ali

Sadikin. Dan sekarang Ahok memberi harapan.

Gaya kepemimpinan Ahok pasti tak cocok untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat

Yogya tak perlu dimarahi dengan menggebrak meja. Jika Sultan HB X kesal, dengan sorot

mata tajam sudah membuat "yang disorot" sadar. Sultan tak mungkin mengajak berduel.

Di Bali pun, Ahok pasti tak cocok. Di sini Mangku Pastika, yang mantan jenderal polisi,

diterima dengan baik. Berpuluh tahun ia di luar Bali dan tentu melihat ketimpangan lebih

 jernih, lalu ia datang membangun Bali tanpa ada beban disekat oleh faktor klan-penyakit

 pemimpin Bali. Pendekatannya kepada masyarakat tepat. Bertutur halus, tidak menuding

seperti Ahok.

Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, pun punya gaya yang khas. Ia tak segan memungut

sampah di jalanan dan bisa marah-marah ketika taman kotanya dirusak gara-gara ada

 perusahaan yang menggelar promo. Ia meledak seperti Ahok, namun ia bisa meratap sepertiMangku Pastika ketika kedatangan orang-orang malang yang perlu dibantu.

 Negeri ini bergerak ke arah yang lebih baik seolah-olah alam ikut menyeleksi pemimpin dan

menempatkannya di mana diperlukan. Ridwan Kamil, arsitek yang sudah populer itu,

ditempatkan "alam" di Bandung untuk mengembalikan kejayaan Kota Kembang yang dulu

asri. Kota Lautan Api yang menyimpan sejarah bangsa harus dikembalikan ke budaya

Padjadjaran yang luhur. Ketika ada yang mengejek Kota Bandung di media sosial, Ridwan

 bisa marah dan melaporkan pemilik akun itu ke polisi. Namun kemarahan Ridwan tak sampai

menantang si pemilik akun untuk berduel. Ridwan justru ingin berdialog. Ridwan bukan

Ahok.

Page 4: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 4/36

Ada Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, lemah lembut sebagaimana orang Jawa, tetapi tegas

tak kepalang tanggung ketika melihat penyimpangan di jembatan timbang. Masih banyak

contoh pemimpin yang ternyata pas dengan ritme budaya di mana dia memimpin.

Sayang sekali, kini tertutup pemimpin seperti itu kalau saja RUU Pilkada disahkan DPR pada

25 September nanti. Rakyat dicabut haknya untuk memilih pemimpin yang disediakan alam.Semua pemimpin yang disebutkan di atas, kecuali Sultan HB X, adalah "pemimpin pilihan

alam". Ahok yang mendampingi Jokowi sulit terpilih kalau bukan rakyat yang memilihnya.

Apalagi Mangku Pastika, tak mungkin menjadi Gubernur jika yang memilihnya anggota

DPRD. Pastika diusung Demokrat, dan Bali mayoritas PDI Perjuangan.

Para wakil rakyat membawa demokrasi kita kembali ke Orde Baru, sedikit demi sedikit. Ya,

rakyat "keliru" memilih wakilnya, tak mengira kalau wakilnya punya "program terpendam"

seperti itu. Sepuluh tahun pemerintahan Presiden Yudhoyono yang dikenang hanya masa-

masa akhirnya: hak rakyat untuk memilih pemimpin telah dirampas. 

Page 5: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 5/36

Rokok dan Warga Miskin

Senin, 15 September 2014

Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Pemerintah akan menaikkan tarif cukai rokok 10,2 persen tahun depan ( Koran Tempo, 9

September 2014). Tahun ini tarif cukai rokok sudah sekitar 50 persen dari harga eceran.

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, cukai rokok dapat

diterapkan maksimal 57 persen. Produsen yakin tarif cukai yang tinggi akan menjauhkan

konsumen dari rokok. Warga miskin akan menekan angka konsumsi rokok. Diperkirakan

tingkat kemiskinan bakal menurun. Benarkah seperti itu?

Pelbagai aturan dibuat guna membatasi konsumsi rokok, dari larangan merokok di tempat

 publik sampai pencantuman peringatan kesehatan, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah

 Nomor 109 Tahun 2012. Apakah aturan ini efektif menekan konsumsi rokok?

Ada temuan menarik soal konsumsi rokok. Data Susenas oleh Badan Pusat Statistik selama

 beberapa tahun terakhir menangkap tingginya pola pengeluaran rokok-filter maupun kretek-

warga miskin. Pendapatan warga miskin tidak hanya tersedot untuk pengeluaran pangan,

seperti membeli beras, tapi juga untuk rokok. Menurut BPS pada September 2013, kontribusi

rokok terhadap garis kemiskinan menduduki posisi kedua, baik di perkotaan maupun di

 pedesaan. Rokok hanya kalah oleh beras.

Empat komoditas yang memiliki sumbangan besar terhadap garis kemiskinan di pedesaan

adalah beras (32,72 persen), rokok (8,31 persen), telur ayam ras (3,54 persen) dan gula pasir

(2,73 persen). Sedangkan di perkotaan, pengeluaran tercatat untuk beras (24,81 persen),

rokok (10,08 persen), telur ayam ras (3,63 persen), dan gula pasir (2,58 persen). Pada

September 2013, garis kemiskinan di perkotaan berada di angka Rp 308.826. Artinya,

 penduduk miskin di perkotaan membelanjakan uang Rp 34 ribu untuk membeli rokok dalam

sebulan. Ini nilai yang lumayan besar, yang sebetulnya bisa dialihkan untuk biaya pendidikan, kesehatan, atau pengeluaran lain.

Hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013 yang dirilis Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan juga menghasilkan temuan serupa:

konsumsi rokok penduduk kelas menengah bawah dan terbawah rata-rata mencapai 12 batang

 per hari (360 batang dalam sebulan). Apabila harga sebatang rokok Rp 500, berarti uang yang

dibelanjakan penduduk kelas menengah bawah dan terbawah untuk membeli rokok mencapai

Rp 180 ribu sebulan (58 persen dari garis kemiskinan).

Hasil Riskesdas pada 2013 menemukan fakta getir lain: tingkat konsumsi rokok pada anak-

Page 6: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 6/36

anak (usia 10-14 tahun) sangat tinggi. Konsumsi rokok kelompok usia ini mencapai batang

 per hari atau 240 batang sebulan. Artinya, anak-anak perokok menghabiskan uang Rp 120

ribu sebulan hanya untuk membakar rokok. Ironisnya, jumlah perokok pemula (usia 10-14

tahun) naik dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir, dari 5,9 persen pada 2001 jadi 17,5 persen

 pada 2010. Pada periode yang sama, jumlah perokok pemula usia 15-19 tahun menurun dari58,9 persen menjadi 43,3 persen. Data ini menandai adanya pergeseran umur perokok pemula

ke kelompok usia lebih muda.

Data-data ini tentu menyesakkan. Semua tahu rokok berdampak buruk pada kesehatan.

Dalam sebatang rokok terkandung 4.000 jenis senyawa kimia beracun. Dari jumlah itu, 43

 jenis bersifat karsinogenik. Bagi warga miskin, merokok adalah pemborosan. Pengeluaran itu

tentu lebih bermanfaat untuk memenuhi konsumsi pangan atau menambah porsi pengeluaran

 pendidikan/kesehatan. 

Page 7: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 7/36

Tantangan Jokowi Mengelola Sumber Daya Alam

Senin, 15 September 2014

Fachruddin M. Mangunjaya, Dosen Fakultas Biologi Universitas Nasional (UNAS)

 Naiknya Joko Widodo sebagai presiden menumbuhkan optimisme bahwa persoalan

lingkungan di Indonesia akan teratasi dengan baik. Hal ini karena Presiden Jokowi, yang

 berlatar belakang pendidikan Fakultas Kehutanan, diharapkan memiliki kesadaran memadai

ihwal sumber daya alam. Problem kesemrawutan tata kelola lingkungan hidup, kehutanan,

dan konflik pemanfaatan sumber daya alam kiranya dapat diurai dalam agenda presiden ke

depan. Ada beberapa agenda prioritas bagi pengelolaan sumber daya alam Indonesia.

Pertama, masalah pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Kedua, upaya

 penanggulangan perubahan iklim, dan ketiga, kesadaran publik tentang kelestarian

lingkungan serta keseimbangan ekosistem.

Kekayaan sumber daya alam negeri ini bisa menjadi penumpu kehidupan. Bukan hanya yang

 berupa mineral-minyak, batu bara, emas, dan tembaga-di dalam perut bumi, tetapi juga

keanekaragaman hayati. Hutan selama ini hanya dianggap sebagai sumber kayu (logging ) dan

 penghasil rente ekonomi. Padahal, hutan merupakan cadangan pangan alternatif, bahan bakuobat-obatan, dan stok sumber daya genetika.

Sebuah ekosistem yang seimbang seharusnya dinilai dalam kesatuan pengambilan keputusan

dan kebijakan. Telah banyak kajian tentang penilaian ekonomi terhadap sebuah ekosistem.

Hilangnya jasa ekosistem pasti akan berbuntut kehilangan mata rantai kehidupan yang

ujungnya menurunkan produktivitas. Karena itu, pengambilan kebijakan tidak bisa dilakukan

secara sektoral, melainkan horizontal, diagonal, bahkan jika diperlukan vertikal dengan

 pertimbangan ilmu pengetahuan dan etika.

Adapun perubahan iklim kelihatannya sudah menjadi momok semua bangsa. Apalagi dengan

gagalnya upaya global dalam menurunkan kadar emisi melalui berbagai perjanjian. Padahal,

anomali iklim telah nyata dirasakan di mana-mana. Anomali iklim tersebut bisa berujung

 bencana yang merugikan. Bukan saja merusak kondisi ekonomi, tapi juga menyebabkan

 penderitaan jangka panjang. Assessment Report of Intergovermental Panel for Climate

Change (IPCCC 2014) menekankan pentingnya melakukan adaptasi dalam berbagai lini

kehidupan. Kata kunci Indonesia dalam perubahan iklim adalah bagaimana bangsa ini tidak

lagi melakukan konversi terhadap hutan alamnya. Kegagalan Indonesia memelihara hutan

alam harus menjadi perhatian karena sangat "memalukan" dan kontra-produktif terhadap

upaya politik lingkungan Indonesia di kancah global.

Page 8: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 8/36

Karena itu, keberhasilan pembangunan dan pembenahan tata kelola sumber daya alam dalam

kabinet Jokowi dapat dijawab dengan "revolusi mental" dalam mengelola sumber daya alam.

Lebih khusus lagi berkaitan dengan masalah keanekaragaman hayati. Sekarang ini, kesadaran

lingkungan dan kepedulian bangsa Indonesia atas keanekaragaman hayati sangat rendah.

Elite politik di daerah dan pusat gampang memberikan izin, bahkan menukar fungsi hutanlindung demi rente ekonomi. Akibatnya, datanglah para investor dan industri yang

menghancurkan lingkungan serta jasa lingkungan.

Hasil studi Kementerian Lingkungan Hidup pada 2012 menunjukkan bahwa kualitas air

sungai di seluruh provinsi, terutama di Jawa dan Sumatera, terus menurun. Penyebabnya

adalah maraknya pencemaran, tata ruang yang tidak dipatuhi, serta perilaku masyarakat,

termasuk industri yang membuang limbah sembarangan. Laporan hasil penelitian Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2009 menyimpulkan bahwa 92 persen jenis ikan air

tawar yang pernah tercatat eksis pada 1912 telah punah. Akankah sungai lain di Tanah Air

 bernasib sama?

Kabinet "Revolusi Mental" adalah titik strategis dalam memprioritaskan pembangunan

ekonomi dan perbaikan kualitas lingkungan hidup dalam satu kontinum. Penyederhanaan

 jumlah kabinet semestinya bisa menyatukan perspektif penataan lingkungan hidup dalam

kesatuan sistem, termasuk dalam pengambilan kebijakan. Persoalan struktur kementerian

dalam pembenahan lingkungan saat ini harus berbeda dengan yang diterapkan 20 tahun lalu,

sehingga upaya menyatukan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian

Kehutanan menjadi hal strategis.

Adapun soal penataan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan, baik

keanekaragaman hayati maupun sumber daya mineral, dapat dimediasi dengan pertimbangan

tata kelola oleh seorang menteri koordinator. Menteri ini bisa dibantu sebuah lembaga

fungsional independen, sehingga segala tantangan kepentingan dalam pengambilan kebijakan

dapat diselesaikan dengan basis pertimbangan sains profesional, etika, dan keseimbangan

(balance). Pemasangan kabinet seperti inilah yang diharapkan dapat mengamankan

kehidupan jangka panjang bangsa ini, dengan karunia isi buminya yang menjadi tumpuan

generasi masa kini maupun mendatang. 

Page 9: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 9/36

Efisiensi dan Efektivitas Kedutaan Besar RI

Selasa, 16 September 2014

Jeffrie Geovanie, mantan anggota Komisi I DPR Sub-Komisi Luar Negeri

Terpilihnya pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sebagai Presiden-Wakil

Presiden RI diharapkan bisa mengakhiri praktek pemborosan anggaran di semua sektor

 penyelenggara negara dan birokrasi pemerintahan. Salah satu sektor yang harus dilakukan

efisiensi besar-besaran adalah Kementerian Luar Negeri, terutama dalam penempatan dan

 pengelolaan kedutaan di negara-negara sahabat. Efisiensi yang dimaksud bukan dengan cara

mengurangi anggaran kementerian, tapi dengan melakukan restrukturisasi danrefungsionalisasi kelembagaan perwakilan RI di luar negeri.

Perombakan perlu dilakukan pada dua sektor. Pertama, sektor struktural kelembagaan,

menyangkut institusi dan birokrasi yang ada dalam kedutaan, dan kedua, sektor sumber daya

manusia (SDM), yang ditempatkan sebagai duta besar berikut staf-stafnya. Pada kedua sektor

ini, sepanjang sejarah berdirinya Kementerian Luar Negeri RI, belum pernah dilakukan audit

secara menyeluruh.

Sejauh ini, ada sekitar 160 lebih kedutaan RI yang tersebar di berbagai negara dan organisasi

internasional, dengan dipimpin oleh 99 duta besar yang di antaranya merangkap beberapa

kedutaan. Untuk negara dengan tingkat kekayaan yang masih di bawah rata-rata, bila

dibandingkan dengan negara-negara besar lainnya di dunia, jumlah kedutaan yang dimiliki

Indonesia jelas terlampau banyak. Hanya Amerika Serikat, Rusia, Jepang, dan Cina yang

 jumlah kedutaannya relatif sama dengan Indonesia. Sedangkan negara-negara maju, seperti

Jerman, Inggris (Britania Raya), Prancis, Belanda, Italia, Spanyol, Belgia, Austria, Norwegia,

Kanada, Australia, dan Singapura, jumlah kedutaan mereka jauh di bawah Indonesia.

Artinya, ada inefisiensi luar biasa di sektor struktur kelembagaan diplomatik kita. Begitu pun

 pada sektor SDM-nya, meskipun sudah banyak perangkapan, 99 duta besar itu bukanlah jumlah yang efisien. Inefisiensi ini berdampak ganda, satu sisi ada penghamburan uang

negara di kedutaan-kedutaan yang posisi dan peranannya tidak begitu penting baik secara

 politik maupun ekonomi bagi Indonesia, di sisi lain, ada kekurangan anggaran di kedutaan-

kedutaan yang memiliki posisi dan peranan yang vital dan strategis.

Karena itu, perlu ada terobosan bagi Jokowi-JK untuk merestrukturisasi kedutaan kita agar

 bisa lebih efisien dan efektif bekerja. Beberapa kedutaan yang tidak punya kepentingan

langsung dan mendesak-baik secara politik maupun ekonomi-dengan masa depan Indonesia,

ada baiknya dihapus atau dialihfungsikan untuk kepentingan yang lebih tepat. Untuk negara-

negara yang secara geopolitik memiliki kesamaan, seperti negara-negara yang berada di

Page 10: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 10/36

Afrika yang jumlahnya puluhan, negara-negara Amerika Latin, dan negara-negara

Semenanjung Balkan, tidak perlu masing-masing punya kedutaan.

Beberapa negara di antaranya, dengan diwakili Konsul Jenderal, sudah dianggap memadai,

atau bisa juga diwakili seorang atase kementerian yang disesuaikan dengan pembidanganyang dibutuhkan. Bahkan di beberapa negara yang dinilai tidak penting peranannya bagi

Indonesia, cukup diwakili seorang honorary counselor  yang diambil dari ekspatriat atau

warga negara Indonesia yang hidup berkecukupan (mapan) dan tinggal di negara tersebut.

Para honorary counselor , karena dipilih dari WNI yang sudah berkecukupan, mereka tidak

 perlu digaji, hanya dengan diberi surat kuasa untuk mewakili RI saat menghadiri acara-acara

 penting dan kenegaraan, mereka tentu sudah cukup bangga dan senang.

Menempatkan duta besar dengan pertimbangan semata-mata untuk menjalin hubungan

historis (menyangkut nostalgia masa lalu yang sudah tak lagi relevan) sudah waktunya

diminimalkan. Apalagi hanya semata-mata pertimbangan politik untuk mendapatkan suara

dalam pengambilan keputusan di sidang-sidang organisasi internasional, seperti Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB), yang sama sekali bukan alasan yang urgen.

Dalam salah satu sesi debat calon presiden, Jokowi pernah mengungkapkan perlunya

memaksimalkan peran duta besar, terutama dalam bidang ekonomi. Menurut Jokowi,

diplomasi bidang ekonomi tidak kalah penting dengan diplomasi politik. Duta besar

merupakan pemasar bagi produk-produk ekonomi, baik manufaktur maupun ekonomi kreatif.

Dengan cara seperti inilah dunia mengenal Indonesia dengan baik, sebagai negara yang

mampu memproduksi barang-barang yang layak beli, yang kualitasnya tidak kalah dengan barang-barang produk negara-negara maju yang sudah menguasai pasar dunia.

Di negara-negara yang menampung banyak tenaga kerja Indonesia (TKI), seperti Malaysia,

Hong Kong, Korea Selatan, dan negara-negara Timur Tengah, peranan kedutaan juga perlu

ditingkatkan, terutama untuk mengadvokasi agar TKI punya daya tawar yang tinggi, tidak

mudah terkena kasus-kasus hukum.

Itulah beberapa hal penting guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas kedutaan besar RI di

luar negeri. Tidak mudah dilakukan, tapi dengan niat baik dan kerja keras, semua bisa

dilakukan. Political will  dari pemerintah (Jokowi-JK) akan menjadi kunci yang menentukan

keberhasilan upaya ini.

Page 11: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 11/36

Bisnis Kekerasan

Selasa, 16 September 2014

Achmad Fauzi, Aktivis Multikulturalisme

Layaknya mafia, lalu lintas perdagangan dan bisnis di Tanah Air kini banyak menggunakan

 jasa keamanan (baca: preman). Tujuannya, supaya sektor usaha yang digeluti memiliki posisi

tawar dan disegani banyak orang. Padahal sisi gelap kehidupan preman tidak bisa dilepaskan

dari kejahatan dan pelanggaran ketertiban umum.

 Preman berasal dari bahasa Belanda, yakni vrijman, yang artinya orang bebas, merdeka. DiIndonesia, preman dikonotasikan menjadi manusia bebas yang tak beraturan. Simaklah

rentetan peristiwa penagihan utang oleh debt collector  yang sempat menghebohkan jagat

 publik. Atau perebutan lahan parkir, klub malam, dan konflik perjudian antargeng yang

 berdarah-darah.

Di Jakarta saja, kini harga keamanan sudah semakin mahal. Di kawasan Tugu Monas, yang

terletak di depan istana kepresidenan, misalnya, aksi premanisme yang berakibat tragis

 pernah terjadi. Juru parkir tewas karena dibakar oleh anggota TNI hanya karena uang "jatah

 preman" yang dia setorkan dinilai kurang. Aparat yang seharusnya menjalankan tugas

melindungi masyarakat dan menjaga keamanan justru menjadi bagian organik dari jaringan

 premanisme. Ini sangat keterlaluan.

Kabar terbaru, sedikitnya 16 pemuda yang diduga preman ditangkap aparat gabungan Polda

Metro Jaya lantaran menduduki lahan di kawasan waduk Ria Rio yang notabene menjadi aset

milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tindakan mereka sangat meresahkan. Beberapa

senjata tajam disita polisi, seperti sabit, samurai, pisau, dan linggis kecil.

Aksi premanisme di ruang publik telah mencapai derajat mengkhawatirkan. Perlu didalami,

siapa dalang dari tindakan premanisme tersebut dan apa motifnya. Tindakan tegas adalah

 pilihan tepat.

Tanpa disadari, di negeri ini premanisme tersebar di berbagai sektor kehidupan. Ruang publik

digelayuti trauma dan kengerian mendalam karena preman berkeliaran tanpa kontrol.

Kelompok preman telah membangun bisnis kekerasan berkedok jasa pengamanan demi

mencari keuntungan ekonomi. Sektor-sektor strategis, seperti penagihan utang, penjagaan

 pasar dan tempat hiburan, serta pengamanan lahan sengketa dan parkir, dikuasai oleh para

 preman yang berafiliasi dengan kelompok tertentu. Bahkan tak jarang preman menjadi

 pembunuh bayaran guna menghabisi nyawa seseorang atau kelompok atas permintaan pihak

tertentu.

Page 12: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 12/36

Disinyalir bisnis kekerasan tersebut semakin kuat dan menjamur karena pelaku dilindungi

oleh oknum aparat untuk tujuan tertentu. Bahkan bisa saja mereka bekerja sama dengan poros

kekuatan politik.

Fenomena bisnis keamanan tersebut acap kali menimbulkan gesekan dan keributanantarkelompok preman, karena perebutan lahan kekuasaan. Akibatnya, masyarakat dihantui

rasa takut dan resah karena di semua lini disesaki oleh aksi premanisme. Jika kekerasan telah

menjadi lahan bisnis, sifat manusia sebagai makhluk ekonomi yang rakus tidak terbantahkan.

Ia tak lagi mempedulikan adab, aturan hukum, dan kepentingan umum. Inilah paradoks

 pembangunan sistem ekonomi-politik paling nyata yang mempengaruhi perilaku manusia, di

mana martabat manusia dijadikan sebagai salah satu alat produksi sistem kapitalis. 

Page 13: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 13/36

Jaksa Agung yang Mensejahterakan

Rabu, 17 September 2014

Natsir Kongah, Pembelajar masalah-masalah tindak pidana pencucian uang

Dalam kampanye pencalonan presiden-wakil presiden, Jokowi-JK menyampaikan visi dan

misinya untuk mensejahterakan rakyat. Salah satu hal yang efektif untuk dapat

mensejahterakan rakyat adalah dengan membasmi korupsi dan merampas aset hasil kejahatan

yang dilakukan untuk kemakmuran rakyat.

Keberadaan Jaksa Agung yang mumpuni merupakan salah satu pilar yang dapatmensejahterakan rakyat serta menegakkan keadilan. Tidak dapat dimungkiri, peran Jaksa

Agung sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di bidang penuntutan serta penyidikan terhadap

tindak pidana tertentu sangat sentral dalam proses penegakan hukum di Indonesia.

Agar dapat ikut mensejahterakan rakyat, Kejaksaan Agung patut dipimpin oleh orang yang

 progresif dalam pemikiran dan penegakan hukum. Di matanya, hukum bukan hanya mesti

melahirkan keadilan formal (legal formal), tapi juga mampu menghadirkan keadilan

masyarakat (legal substantif).

Pendekatan progresif sang Jaksa Agung akan membuatnya melakukan terobosan atau

 pengaturan baru mengenai mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana, termasuk hasil

kejahatan korupsi, dengan sistem perampasan yang memungkinkan pengembalian aset hasil

tindak pidana. Seraya menyampaikan gugatan terhadap aset yang berasal dari tindak pidana

atau instrumen kejahatan yang menekankan perampasan aset hasil tindak pidana atau dikenal

dengan Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture atau civil forfeiture.

Adanya pelaku kejahatan yang dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

kejahatan berdasarkan suatu putusan pengadilan bukan merupakan prasyarat yang harus

dipenuhi. Dengan mekanisme ini pula, terbuka kesempatan yang luas untuk merampas segalaaset yang diduga merupakan hasil pidana ( proceed of crimes) dan aset-aset lain yang patut

diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana (instrumentalities) untuk

melakukan tindak pidana.

Mekanisme baru ini juga dapat digunakan sebagai alternatif untuk memperoleh kompensasi

atau uang pengganti atas adanya kerugian negara. Sekalipun aset baru diketemukan di

kemudian hari, dan tidak tercantum dalam daftar aset yang dapat disita atau dirampas

 berdasarkan putusan pidana yang sudah inkracht , ia tetap dapat disita dan dirampas melalui

mekanisme perampasan aset tanpa tuntutan pidana ini.

Page 14: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 14/36

Asset Forfeiture atau civil forfeiture ini sangat urgen untuk diterapkan agar dapat menjadi

solusi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Hadirnya sosok Jaksa Agung yang

andal, berwibawa, dan profesional pada kabinet mendatang akan berimplikasi pada rasa

keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Hukum diperuntukkan buat membahagiakan

manusia, mengabdi bagi kepentingan manusia, wabil khusus untuk kesejahteraan rakyatIndonesia. Masyarakat Indonesia telah lama rindu akan sosok Jaksa Agung yang cerdas dan

tegas, juga jujur dan berani, seperti R. Soeprapto atau Baharuddin Lopa.

Jaksa Agung mendatang harus dapat mempersiapkan infrastruktur yang kuat, untuk

mempersiapkan jaksa yang dapat merespons perkembangan hukum yang semakin pesat

seiring dengan perkembangan ekonomi, teknologi, dan informasi global. Lebih dari itu,

seorang Jaksa Agung harus pula memiliki pengetahuan, pengalaman, dan jam terbang yang

tinggi dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan perampasan aset. 

Page 15: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 15/36

Kenangan Fosbury sampai Susi Susanti

Rabu, 17 September 2014

Nur Haryanto, [email protected]

Dick Fosbury membuat pengecualian. Dia melakukan hal yang tak pernah dilakukan

sebelumnya oleh atlet lompat tinggi lainnya. Di Olimpiade Meksiko 1968, dia membuat

 penonton terperangah. Sudah 46 tahun lamanya Fosbury melakukan lompatan bersejarah itu.

Ketik saja namanya di www.youtube.com, Anda bisa melihat Fosbury melompat. Sampai kini

gaya itu paling sering digunakan, termasuk oleh pemegang rekor dunia terakhir, JavierSotomayor (Kuba) dengan lompatan 2,43 meter. Fosbury waktu itu meraih medali emas, tapi

tidak memecahkan rekor dunia. Dia hanya mampu melewati mistar setinggi 2,24 meter,

sedangkan rekor dunia saat itu dipegang Valeriy Brumel (Rusia) dengan tinggi lompatan 2,28

meter. Terus apa istimewanya Fosbury?

Tak ada yang terlihat aneh dengan lompatannya. Tapi, bagi penonton atau penggemar atletik

saat itu, lompatan Fosbury adalah hal yang belum pernah dilakukan orang sebelumnya. Itu

gaya baru dalam lompat tinggi. Dan kini gaya itu dikenal dengan Fosbury Flop. Caranya,

melentingkan badan dengan punggung menghadap mistar.

Bagi saya, mungkin juga bagi yang lain, kisah ini inspiratif. Tapi bagaimana dengan dunia

olahraga Tanah Air? Badminton masih menjadi favorit; cabang angkat besi sudah satu dekade

menunjukkan prestasi di Olimpiade; atau panahan, yang pernah membuat sejarah medali

 perak Olimpiade Seoul 1988, tak lagi bersinar.

Berbeda dengan sepak bola, membicarakan olahraga amatir atau Olympic Games sepertinya

tidak terlalu menarik. Padahal, ketika medali emas direbut, bendera Merah Putih dikibarkan

dan lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan. Saat itulah gengsi suatu negara dan

 bangsa terangkat. Tak ada kata lain, suasana itu akan membuat haru dan bangga.

Coba lihat lagi di situs YouTube, saat Susi Susanti dan Alan Budikusuma menitikkan air

mata ketika lagu dan bendera kebanggaan berkibar di Olimpiade Barcelona 1992. Medali

emas Olimpiade pertama yang pernah diraih Indonesia. Atmosfernya akan lebih terasa ketika

menyaksikan langsung. Dada akan terasa sesak dan rasa bangga itu meluap "Indonesia Bisa!"

Prestasi Susi dan Alan juga menginspirasi. Prestasi atlet olahraga di banyak negara dijadikan

sumber inspirasi untuk generasi mudanya. Sayangnya, di Tanah Air, kisah seperti ini tak

 banyak. Bahkan, kalau membaca berita sepekan terakhir, sepertinya olahraga memang

dipandang sebelah mata.

Page 16: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 16/36

 Koran Tempo, Minggu, 14 April lalu, melaporkan nasib para atlet Indonesia yang akan

 berlaga di Asian Games Incheon, Korea Selatan, mulai 19 September ini. Para atlet berangkat

tanpa uang saku. Mereka bahkan sempat tertahan di kampung atlet karena hotel belum

dibayar. Seolah pemerintah tak peduli atau memang benar-benar tak peduli. Padahal mereka

 berangkat demi mengharumkan Indonesia di mata dunia.

Rasa-rasanya, generasi mendatang yang hidup pada 2025 masih kesulitan mencari rekaman di

internet soal prestasi atlet-atlet Indonesia. Atau mereka hanya menemukan kisah-kisah juara

dari negara lain. Saya hanya berharap itu tak bakal terjadi.  

Page 17: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 17/36

Kelembagaan Pendidikan, Kebudayaan,dan Ristek

Rabu, 17 September 2014

Darmaningtyas, Pengamat Pendidikan dari Tamansiswa

Menyambut pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf

Kalla (Jokowi-JK), muncul beberapa gagasan dalam bidang pendidikan, budaya, serta riset

dan teknologi (ristek). Sejumlah seniman dan budayawan mengusulkan agar dibentuk

Kementerian Kebudayaan yang khusus mengurusi kebudayaan, agar kebudayaan dapat

 berkembang secara maksimal. Mereka berharap, dengan pengesahan RUU Kebudayaan

menjadi UU Kebudayaan, kelak ada kementerian khusus yang mengawal implementasinya.

Sedangkan mereka yang memiliki concern dalam bidang ristek mengusulkan agar dilakukan

 pemisahan antara kementerian yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen)

dengan kementerian yang mengurusi pendidikan tinggi (PT). PT diusulkan digabung menjadi

satu dengan kementerian yang mengurusi ristek, yaitu BPPT, dengan alasan agar riset-riset di

PT dapat diimplementasikan dan bukan hanya menjadi dokumen di laci.

Semua argumen mengenai pentingnya pembentukan Kementerian Kebudayaan ataupun pemisahan kelembagaan antara Dikdasmen dan PT itu cukup rasional. Artinya, berdasarkan

nalar empiris, usul-usul tersebut dapat diterima oleh akal sehat. Namun tidak berarti usul

tersebut layak diimplementasikan karena memiliki implikasi yang amat luas, baik secara

ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Maka, calon presiden terpilih Jokowi-JK perlu

ekstra hati-hati mengakomodasi semua gagasan konstruktif tersebut.

Pembentukan kementerian baru pasti akan berdampak pembengkakan anggaran negara.

Sementara itu, hasilnya belum tentu memuaskan seperti yang diharapkan. Secara politis,

keberadaan Kementerian Kebudayaan juga belum tentu memiliki leverage yang tinggi dan punya pengaruh luas bila tidak didukung oleh penganggaran yang besar dan serta tugas,

 pokok, dan fungsi yang jelas.

Kita sudah memiliki pengalaman selama satu dekade yang dapat dipakai sebagai bahan

refleksi untuk mengambil keputusan. Pada periode 1999-2009, kebudayaan melekat jadi satu

dengan Kementerian Pariwisata, selengkapnya bernama Kementerian Budaya dan Pariwisata.

Sedangkan pendidikan bernama Departemen Pendidikan Nasional. Ternyata pemisahan

tersebut menimbulkan persoalan yang amat luas, baik terhadap kebudayaan sendiri maupun

 pendidikannya. Kebudayaan ternyata tidak berkembang seperti yang diharapkan, bahkan

cenderung diperlakukan sebagai komoditas semata. Sedangkan praksis pendidikan menjadi

Page 18: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 18/36

amat kering dan terjebak pada persoalan manajerial, sehingga kehilangan rohnya.

Akhirnya muncul desakan agar kebudayaan dikembalikan lagi ke pendidikan. Desakan itu

kemudian direspons oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengembalikan

kebudayaan ke pendidikan. Dan sejak Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, nomenklaturnya pun berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 Nalar empirisnya memang diyakini penggabungan PT dengan ristek akan lebih produktif.

Tapi kita juga bisa meragukan asumsi tersebut ketika hasil-hasil kajian dan inovasi BPPT

tidak secara otomatis dapat diproduksi secara massal, sehingga tidak berkontribusi langsung

terhadap pengembangan industri nasional. Masih saja tetap terjadi, ristek dan industri

 berjalan sendiri-sendiri. Hal yang sama akan terjadi dalam hal penggabungan PT dengan

ristek, bahwa harapan ideal itu tidak akan tercapai, sementara praksis PT sudah telanjur

 pragmatis. Padahal, PT didirikan bukan hanya memproduksi tenaga kerja dan melakukan

inovasi untuk industri saja, melainkan untuk perubahan masyarakat secara luas, termasuk

aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Sementara itu, penggabungan PT

dengan ristek itu hanya menjawab kebutuhan industri dan atau pemasaran hasil-hasil riset

dari perguruan tinggi semata.

Persoalan PT dan ristek kita bukan terletak pada kelembagaannya, melainkan pada pendanaan

yang terbatas dan kultur birokrasi yang kurang mendukung. Oleh karena dana terbatas, riset

di PT dan ristek hanya memenuhi persyaratan formal, tidak optimal, akhirnya industri pun

tidak berminat mengembangkannya. Dengan demikian, solusinya bukan menggabungkan

keduanya, tapi menambah anggaran untuk PT dan riset serta menciptakan kultur birokrasiyang mendukung interelasi antara PT, ristek, dan industri.

Berdasarkan pengalaman pemisahan kelembagaan antara pendidikan dan kebudayaan serta

 pembentukan beberapa kementerian baru, tapi tidak disertai dengan pendanaan yang cukup,

 jelas sekali bahwa pembentukan kementerian baru tidak selalu mampu memenuhi keinginan

dari para pengusulnya, dan akhirnya menimbulkan kekecewaan. Karena itu, sebelum telanjur,

gagasan pembentukan Kementerian Kebudayaan serta penggabungan PT dengan ristek pun

 perlu berhati-hati. Jangan sampai kelembagaan masing-masing sektor sudah berantakan dan

kehilangan rohnya, tapi kementerian baru itu pun tidak mampu menjawab persoalan,

sebaliknya justru melahirkan persoalan yang lebih kompleks. 

Page 19: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 19/36

Langkah Mundur Pemilihan Kepala Daerah

Kamis, 18 September 2014

Sabam Leo Batubara, pengamat politik; Mantan Wakil Ketua Dewan Pers

Penyelesaian pro-kontra pemilihan kepada daerah (pilkada)-tetap langsung oleh rakyat atau

oleh DPRD-akan diputuskan dalam Sidang Paripurna DPR pada 25 September 2014. Posisi

terakhir, Koalisi Merah Putih yang beranggotakan Fraksi Partai Gerindra, Partai Golkar,

Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan

Partai Demokrat, ngotot  mengubah aturan pilkada, dari dipilih langsung oleh rakyat menjadi

dipilih oleh DPRD. Sementara itu, PDIP, PKB, dan Hanura berpendapat rakyat harus tetapmemilih langsung pemimpinnya dalam pilkada.

Untuk menemukan pilihan terbaik, kesembilan Fraksi DPR itu diasumsikan masih konsisten

terhadap tujuan bernegara kita, yaitu melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan

umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Persoalannya, dalam mengupayakan tujuan

nasional itu, siapa sebaiknya yang berdaulat dalam pilkada dan pilpres? Selama 69 tahun

terakhir, tercatat ada tiga jawaban.

Pertama, penguasa rezim. Pada era Orde Lama dan Orde Baru, penguasa rezimlah penentu

kepala daerah. Terkonsentrasinya kekuasaan di tangan penguasa rezim sesuai dengan doktrin

Machiavelli, yang dalam buku The Prince mengatakan perhatian utama seorang penguasa

untuk memenangi perjuangan politik secara efisien adalah dengan sistem otoriter.

Kedua, penguasa partai. Gerakan reformasi mengakhiri tirani eksekutif Orde Baru. Tapi yang

muncul adalah daulat partai. Penguasa partai berhasil menjatuhkan Presiden Habibie.

Pemilihan Umum 1999 menghasilkan PDIP sebagai peraih suara rakyat terbanyak. Kemudian

muncul performa partai yang tidak menunjukkan kematangan dan fairness dalam

 berdemokrasi. Pemenang ketiga pemilu, PKB, mengusung figur Gus Dur, yang menjadi

Presiden. Megawati (PDIP), pemenang pertama, menjadi wapres. Amien Rais dari PAN, pemenang kelima, menjadi Ketua MPR, dan Akbar Tanjung dari Golkar, pemenang kedua,

menjadi Ketua DPR. Hasil pemilihan tersebut merupakan buah dari kedaulatan koalisi partai

 pecundang yang berhasil menghadang peraih legitimasi terbesar dari rakyat sebagai pemilik

kedaulatan. Ketidakmatangan dan unfairness partai berlanjut. Partai-partai pecundang

 bukannya sibuk membantu Presiden Gus Dur memajukan dan menyejahterakan rakyat,

melainkan sibuk menjatuhkannya.

Ketiga, kedaulatan rakyat. Indonesia telah merdeka sejak 1945, tapi rakyatnya baru merdeka

dari daulat penguasa rezim dan penguasai partai pada 2004. Lewat amendemen konstitusi,

 presiden dipilih langsung oleh rakyat. Pasal 56 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemilihan

Page 20: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 20/36

Daerah mengamanatkan bahwa kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.

Hasil gerakan reformasi itu melahirkan presiden dan kepala daerah yang sesuai dengan

kehendak rakyat, seperti SBY, Jokowi, Ahok, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati

Bantaeng Nurdin Abdullah, dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Kepala-kepala daerahitu amat fokus dalam melayani kepentingan rakyat. Sebagian besar kepada daerah pilihan

rakyat diduga, didakwa, atau telah dipidana dengan hukuman penjara akibat korupsi. Hal itu

 bukan karena sistem pilkada yang memihak rakyat, melainkan karena partai pengusung

memasok calon-calon yang memang berbakat korupsi.

Kenapa pilkada oleh DPR harus ditolak? Pertama, paparan di atas memproyeksikan pilkada

via DPRD bukan saja sebagai langkah mundur, tapi juga mengkhianati perjuangan gerakan

reformasi untuk mengubah sistem pilkada dan pilpres dari sistem tak langsung ke sistem

langsung oleh rakyat. Fakta-fakta empiris menunjukkan, meski pilpres dan pilkada oleh

MPR/DPR dan DPRD lebih efisien dan hemat, hal itu bukan saja telah memposisikan rakyat

sebagai burung beo, tapi juga telah melupakan kepentingan rakyat sebagai pemilik

kedaulatan.

Kedua, dari temuan saya ketika berkunjung ke Parlemen Inggris di London, Edinburg, dan

Canberra, saya menemukan bahwa pemilihan pimpinan nasional dan daerah di negara itu

dilakukan oleh anggota dewan mereka. Pemilihan itu memenuhi prinsip demokrasi dan

didukung oleh rakyat karena anggota parlemen tidak ada yang (1) malas menghadiri sidang;

(2) tidak memahami tugas pokoknya sehingga menghasilkan UU yang menentang konstitusi;

(3) memperdagangkan fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasannya; (4) ramai-ramaidipidana dengan hukuman penjara akibat kasus korupsi. Dalam diskusi saya dengan beberapa

anggota Dewan, dinyatakan bahwa demokrasi diakui tidak efisien dan berbiaya mahal, tapi

demokrasi-lah yang paling efektif mendengar suara rakyat.

Ketiga, Pasal 1 ayat 2 UUD 45 asli menyebutkan, "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan

dilakukan sepenuhnya oleh MPR." Sebelumnya, berlandaskan pasal itu, pilpres dan pilkada

dilakukan oleh penguasa rezim dan atau penguasa partai. Karena dalam prakteknya,

MPR/DPR dan DPRD tidak tampil sebagai wakil rakyat, melainkan wakil penguasa rezim

dan atau penguasa partai. Karena itu, pada era reformasi ini, pilkada harus berlandaskan

amendemen konstitusi.

Berlandaskan Pasal 18 ayat 4, pilkada harus dipilih secara demokratis. Demokrasi yang

 bagaimana? Demokrasi terpimpin Sukarno atau demokrasi Pancasila Soeharto? Pasal 1 ayat 2

Amendemen II menegaskan bahwa demokrasi harus memastikan bahwa "kedaulatan berada

di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD".

Page 21: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 21/36

Format Juru Bicara Pemerintah

Kamis, 18 September 2014

Abdul Salam Taba, Pemerhati Teknologi Informasi dan Komunikasi

Gagasan Asvi Warman Adam agar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo)

menjadi juru bicara pemerintah ( Koran Tempo, 8 Agustus 2014) menarik dicermati. Sebab,

setelah diberangus Gus Dur, belum ada kementerian/lembaga yang piawai dan bisa

menjembatani komunikasi serta informasi program pemerintah dengan rakyat selayaknya

Departemen Penerangan pada masa Orde Baru.

Tepatkah penugasan Kemkominfo sebagai juru bicara pemerintah sekaligus pembina dan

regulator dalam bidang pos, teknologi informasi, serta komunikasi (TIK)? Secara fungsional,

keberadaan lembaga yang bisa mensosialisasi program kerja pemerintah secara tepat

sehingga mudah diterima masyarakat memang diperlukan.

 Namun tak harus dibentuk direktorat jenderal baru sebagaimana diusulkan Asvi. Sebab,

sudah ada Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Ditjen IKP), yang selama

ini bertugas mensosialisasi program kementerian/lembaga, khususnya di Kemkominfo. Yang

 perlu dilakukan hanya memaksimalkan fungsi dan merevitalisasi kemampuan pegawai Ditjen

IKP agar program kerja Jokowi-JK bisa disosialisasi secara lebih kreatif, modern, dan

demokratis.

Masalahnya, format tersebut tidak mengakomodasi harapan serta tuntutan praktisi dan

asosiasi industri TIK, termasuk netizen, yang banyak berkontribusi memenangkan Jokowi-

JK. Mereka berharap Kemkominfo berperan sebagai regulator teknis mandiri dan melepas

fungsi kehumasannya kepada Sekretariat Negara ( Detik.com, 23 Agustus 2014).

Secara praktis, tuntutan tersebut logis. Sebab, tanpa fungsi kehumasan, Kemkominfo bisa

fokus mengatur dan membangun infrastruktur TIK tanpa terbebani kepentingan lain (politik),misalnya.Hal tersebut mempercepat terwujudnya broadband economy dan masyarakat

 berbasis informasi (knowledge-based society), yang berdampak meningkatkan pertumbuhan

ekonomi dan daya saing Indonesia, baik secara regional maupun global.

Selain itu, perkembangan industri TIK akan terdorong secara nasional. Sebab, pengelolaan

sektor TIK, dengan segala model bisnis dan layanan yang mengikuti serta regulasinya, lebih

terarah dan akomodatif terhadap kemajuan teknologi dan menjamin kepastian berusaha.

Akibatnya, operator terpacu untuk memperluas jaringan dan meningkatkan kualitas

layanannya dengan tarif terjangkau.

Page 22: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 22/36

Selain itu, untuk meningkatkan kinerja dan menghindari timbulnya intervensi politik,

Kemkominfo sebaiknya tidak lagi berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Politik,

Hukum, dan Hak Asasi Manusia, melainkan dengan Kementerian Koordinator Bidang

Perekonomian.

Dari paparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemerintah Jokowi-JK

dalam membentuk kementerian TIK tersendiri serta memaksimalkan potensi pegawai hasil

 penggabungan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik dengan Kementerian

Sekretariat Negara akan berimplikasi ganda. Selain meningkatkan kinerja dan mempercepat

realisasi program kerja utama Jokowi-JK, seperti Indonesia Sehat dan Indonesia Cerdas, serta

menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik dan berupaya memberantas korupsi berbasis

TIK (by system), rencana di atas memastikan adanya lembaga kehumasan yang kuat dan

 berkemampuan dalam menjembatani komunikasi serta informasi program pemerintah kepada

segenap lapisan masyarakat. 

Page 23: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 23/36

Imaji

Kamis, 18 September 2014 |

Agus M. Irkham, Pegiat Literasi

Untuk perayaan Hari Aksara Internasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI

menyelenggarakan beberapa acara, salah satunya Festival Taman Bacaan Masyarakat (TBM)

ketiga yang akan berlangsung di Kendari, Sulawesi Tenggara, 17-21 September 2014.

"Merayakan Keragaman Imajinasi Menuju Literasi Indonesia Unggul" menjadi tema festival

ini. Tema yang kontekstual itu dipadu dengan situasi yang belangsung di Indonesia, yaitutengah bermekarannya beragam aktivitas produktif yang berbasis pada imaji.

Betul sekali nubuat Albert Einstein bahwa imajinasi lebih penting daripada pengetahuan.

Karena itu, jika TBM ini ingin menjadi bagian dari apa yang disebut literasi Indonesia

unggul, ia harus selalu terhubung dengan persoalan-persoalan kebangsaan serta isu-isu global

sebagai sumber imaji dan gagasan, bukan terus berkutat pada persoalan internal, seperti

koleksi buku yang kurang atau jumlah pengunjung yang sedikit. Kalau persoalan klasik dan

klise ini yang terus-menerus diekspos, TBM tidak akan ke mana-mana dan tak akan move

on.Tak jadi masalah bila TBM ini merupakan entitas kecil. Sebab, biarpun kecil, kalau

 produktivitasnya tinggi, tetap akan mewarnai Indonesia.

Menurut saya -dalam konteks TBM sebagai salah satu pegiat budaya baca dan keberaksaraan-

ada tiga penanda suatu bangsa dapat dikatakan memiliki keunggulan literasi. Pertama,

memiliki program atau gerakan budaya membaca yang bersifat nasional. Misalnya, Hari

Berbagi Buku Nasional (HB2N), Satu Rumah Satu Rak Buku, atau program Dari Buku

Menjadi Karya. Manfaat kehadiran gerakan nasional ini secara isu akan menyatukan semua

 pegiat budaya membaca di Indonesia. Gerakan nasional itu menjadi pusat orbit aksi literasi di

daerah. Minimal secara wacana, isu budaya membaca ini juga akan terus hidup. Tidak hilang

dan mati akibat tertindih oleh persoalan yang terus datang bergulung-gulung menghampirinegeri ini.

Kedua, ada produk yang dihasilkan. Produk yang didasari imaji dan pengetahuan sebagai titik

 pijak keberangkatan awal. Melalui produk tersebut, orang bisa mencandrai dinamika dari

sebuah gerakan budaya baca. Wujudnya bisa bersifat fisik, seperti buku yang berisi kearifan

lokal, alat permainan edukatif literasi, dan hasil praktek dari buku menjadi karya. Atau yang

 bersifat non-fisik, misalnya warung arsip digital, perangkat lunak ( software) pengelolaan

TBM/perpustakaan, serta game literasi gratis yang dipasarkan melalui Android.

Ketiga, sistem. Menyadari betapa luasnya Indonesia kita ini, gerakan budaya membaca tentu

Page 24: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 24/36

saja tidak bisa direngkuh melalui pendekatan terpusat. Ia harus menjadi inisiatif masing-

masing daerah. Sistem dibuat agar dapat dijadikan rujukan bagi semua pemangku

kepentingan budaya membaca. Ini bisa membantu mereka menjawab pertanyaan, misalnya

tentang dari mana dan bagaimana sebuah gerakan budaya membaca harus dimulai.

Tanpa ketiga hal tersebut, keunggulan literasi akan tetap menjadi mimpi. Karena itu, agar

mimpi ini menjadi kenyataan, diperlukan upaya merasionalkan imaji dan kegilaan tingkat

tinggi dalam menekuninya.

Page 25: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 25/36

Balada Faksionalisasi Partai

Jum'at, 19 September 2014

Arya Budi, Peneliti Poltracking Institute

Setelah Golkar, kini PPP terdengar riuh berada dalam kontinum politik yang hampir sama:

suksesi kepemimpinan partai. Terlepas dari polemik kegagalan kepemimpinan Ical di Golkar

dalam pemilu maupun status hukum SDA bagi PPP, penyebabnya cukup jelas, agenda politik

2014 belum usai: 1) pengisian posisi pimpinan dan alat kelengkapan DPR; 2) pengisian pos

menteri kabinet Jokowi-JK. Factions without party, demikian bab penting untuk menjelaskan

cara partai politik bekerja menurut Sartori (1976). Pesannya sederhana: faksi bahkan telahlahir sebelum partai terbentuk.

Karakter organisasi partai memberi sumbangsih penting bagi dinamika faksi partai. Dalam

hal ini, ada dua fitur utama pada karakter partai-partai di Indonesia, terutama 10 partai yang

lolos ke parlemen 2014 – 2019. Fitur pertama adalah partai tempat patron menciptakan

struktur. Berkaitan dengan fitur ini, bagi Demokrat, PDIP, dan Gerindra, siapa pun yang

menjadi sekjen atau ketua partai, seluruh kendala tetap berada di bawah keputusan veto SBY,

Megawati, dan Prabowo. Patronlah yang menentukan otoritas politik sebuah struktur

organisasi partai.

Kedua, partai tempat struktur menciptakan patron. Hal paling sederhana untuk menjelaskan

fitur ini: ketua umum yang terpilih dalam Muktamar PPP atau Munas Golkar, dialah

 pemegang otoritas tertinggi partai. Artinya, struktur partai adalah sumber legitimasi

kekuasaan patron pemenang. Pengelolaan kedua macam fitur dominan inilah yang

menentukan daya partai untuk menyintas.

Bila dicermati, dari 10 partai politik yang lolos ke parlemen 2014 – 2019, gejolak dinamika

internal partai terjadi pada partai-partai pendukung Prabowo-Hatta dalam pemilihan presiden

lalu. Dari lima partai Koalisi Merah Putih, gejolak dua partai (PPP dan Golkar) terdengar riuholeh media. Sementara itu, Gerindra, PAN, dan PKS di bawah masing-masing (para)

 patronnya terlihat adem-ayem, sekalipun kekohesifan partai tak sepenuhnya stabil akibat

 penolakan para fungsionarisnya dalam sikap partai terhadap RUU Pilkada. Adapun di

kelompok sebelah (PDIP, NasDem, PKB, dan Hanura), bahkan sayup-sayup perseteruan

intra-partai tak terdengar oleh publik. Hal ini wajar: partai lebih siap menang daripada siap

kalah. Bagaimanapun, sekali lagi, tujuan utama partai adalah memenangi pemilu (Strom,

1999).

Dalam sistem presidensial multipartai seperti di Indonesia, pemilu presiden membuka dua

akses paling penting bagi koalisi pemenang. Pertama, penguasaan kursi eksekutif-presiden

Page 26: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 26/36

dan struktur komposisi pembantunya-sehingga kontrol terhadap alat dan fungsi negara

membuka banyak keuntungan politik. Melalui akses ini, paling tidak definisi siapa yang salah

dan benar mampu "mengamankan" para kriminal politik yang tergabung dalam koalisi akibat

 penguasaan alat negara.

Kedua, penguasaan kendali sumber daya di mana keuntungan material, sekalipun

konstitusional, mampu berimplikasi terhadap perawatan suara sebagai sebuah siklus

elektoral. Berkaitan dengan hal ini, kita masih ingat akan kebijakan BLT sebelum pemilu

 presiden 2009. Singkatnya, dua akses penting inilah yang menjelaskan partai-partai dalam

koalisi yang kalah menegosiasikan kembali keputusan politiknya, hingga beresonansi

terhadap dinamika faksi di setiap partai. Walaupun begitu, tentu, konsolidasi demokrasi di

Indonesia tidak lagi memungkinkan dua akses ini digunakan secara leluasa.

Meskipun demikian, faksionalisasi yang kasatmata di tubuh PPP saat ini dan Golkar beberapa

waktu lalu juga terjadi akibat sekuen politik inter-partai, baik antara partai-partai dalam satu

koalisi maupun keseluruhan partai yang lolos ke parlemen 2014 – 2019. Dalam konteks post-

election politics, faksi terbentuk karena tarikan kepentingan para orang kuat partai dengan isu

tunggal: di dalam atau di luar kabinet. Tak bisa dibantah, 37 persen kursi parlemen yang

dimiliki koalisi Jokowi-JK memaksanya untuk bertangan terbuka dan bahkan merangkul.

Pada saat yang sama, para "patron kontra-Jokowi" dalam koalisi Prabowo memanfaatkan

surplus kursi 50+1 di parlemen untuk membangun jangkar elektoral dari pusat hingga daerah

yang bisa menjadi prospektif bagi agenda 2019.

Skema pemilihan pimpinan dewan dalam UU MD3 dan polemik pemilihan kepala daeraholeh DPRD dalam RUU Pilkada adalah jalan setapak agenda penguasaan 2014 dan kekuasaan

 pada 2019. Artinya, impitan dua kepentingan inilah yang menjelaskan konstelasi politik

inter-party sepuluh partai parlemen beresonansi terhadap dinamika faksi dalam partai.

Kata kuncinya, systemness-meminjam istilah Panebianco (1988)-atau derajat kesisteman

sebagai sebuah bagian penting untuk mengukur tingkat kelembagaan partai menjadi ujung

akhir dinamika faksi partai. Apakah faksionalisasi yang terjadi di PPP, Golkar, dan beberapa

 partai lain memiliki daya rusak yang rendah terhadap koherensi fungsi struktur internal

 partai? Atau, apakah partai bergerak secara otonom-tanpa intervensi partai lain atau pihak

 berkepentingan di luar? Atau, justru gerak partai ditentukan oleh kontinum politik antar-faksi

yang dikendalikan oleh para orang kuat di luar partai, kandidat capres, misalnya. 

Page 27: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 27/36

Page 28: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 28/36

yang ada dalam benak Bung Karno ketika melahirkan Pancasila? Bung Karno dalam

 pidatonya menyebutkan Pancasila digali dari bumi Indonesia.

Dalam kearifan budaya lokal Nusantara, pemimpin memang mengutamakan musyawarah-

mufakat lewat perwakilan. Pada masyarakat adat Bali, misalnya, warga berkelompok dalam perwakilan. Perwakilan terendah bernama tempekan, di atas itu banjar , di atasnya lagi desa.

Ketua adat, yang disebut bendesa, dalam merumuskan kebijakan cukup bermusyawarah

dengan ketua-ketua perwakilan. Dengan demikian, warga tak harus terlibat dalam banyak

rapat.

 Namun dalam memilih pemimpin dari tingkat terendah sampai tertinggi, rakyat memilih

secara langsung. Cara memilih pemimpin seperti ini juga lazim bagi masyarakat adat di luar

Bali. Nah, kalau Bung Karno menggali Pancasila dari kearifan budaya lokal ini, mungkin sila

keempat dimaksudkan bukan untuk memilih pemimpin. Disebut "mungkin" karena Bung

Karno tak bisa lagi diwawancarai, kita hanya bisa belajar dari perjalanan sejarah bangsa. 

Page 29: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 29/36

Penderitaan Kebudayaan

Jum'at, 19 September 2014

Agus Dermawan T., Pengamat Budaya dan Seni

Presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla baru saja mengumumkan

 jumlah kementerian untuk kabinet mendatang. Berdasarkan rancangan yang sudah digadang-

gadang, Kementerian Kebudayaan, yang berpuluh tahun menempel pada Kementerian

Pendidikan, mendadak hilang. Sebagai "kompensasi", kebudayaan akan ditampung dalam

Kementerian Ekonomi Kreatif yang diwacanakan.

Hilangnya kebudayaan dalam kementerian dan penyempitan kebudayaan menjadi sekadar

 produk ekonomi kreatif tentu akan mengecewakan para pemikir kebudayaan. Sebab,

kebudayaan-sebagai himpunan dari cara manusia berpikir, berperasaan, dan berbuat sebagai

anggota masyarakat-memiliki aspek sangat luas dan abstrak, yang tidak bisa dikomodifikasi.

Dari rancangan kabinet Jokowi-JK ini masyarakat budaya tersadar bahwa kebudayaan dalam

nomenklatur (tata nama), yang merupakan tanda dari prioritas pemerintah Indonesia, memang

menjadi "si penderita" sejak lama. Pada masa Menteri Muhammad Yamin dan Bahder

Djohan pada 1950-an, kebudayaan diletakkan sebagai pelengkap Kementerian Pendidikan

dan Pengajaran, yang kemudian disebut PP&K (Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan).

Memasuki masa Orde Baru, kementerian itu diringkas menjadi P dan K saja, atau Pendidikan

dan Kebudayaan.

 Nomenklatur ini dikritik oleh budayawan Boediardjo dalam sejumlah seminar. Pendidikan

dan kebudayaan disebut sebagai dua pekerjaan besar, yang seharusnya ditangani terpisah.

Kementerian Kebudayaan harus berdiri sendiri. Sementara itu, salah satu hasil kebudayaan

yang disebut kesenian juga merupakan karya berlingkup amat luas, yang manifestasinya

harus diwadahi secara spesial. Pikiran Boediardjo di kurun lain disepakati Menteri Fuad

Hassan, yang menangani Dikbud (Pendidikan dan Kebudayaan). Sayang, Fuad Hassankeburu turun.

Baru pada medio 1998, seni memperoleh posisi mandiri, dalam Kementerian Pariwisata dan

Seni yang dipimpin Marzuki Usman. Meski begitu, konon, seni di sini diposisikan sebagai

 penghias dunia pariwisata saja. Sementara itu, kebudayaan masih dilekatkan di belakang

Kementerian Pendidikan.

Memasuki Orde Reformasi, kebudayaan tetap cuma menempel-nempel. Menteri Jero Wacik

 pun memegang tampuk Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Lumayan, kebudayaan

ditaruh di posisi depan, meski dalam praktiknya kebudayaan habis dilibas program

Page 30: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 30/36

kepariwisataan.

Zaman berlanjut. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sekonyong-konyong dihapus oleh

rezim SBY. Kebudayaan lalu bergabung (lagi) dengan Pendidikan. Jadilah Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan. Konon, untuk membagi pekerjaan, menteri mengangkat wakilmenteri, yang khusus menangani kebudayaan. Begitu tahu bahwa kebudayaan itu hakikatnya

abstrak, wakil menteri diam-diam menggeser programnya untuk menggarap yang konkret.

Dan yang konkret dalam kebudayaan adalah produk kesenian. Padahal, di sebelah sana

negara telanjur membentuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Semua tahu,

"ekonomi kreatif" tak lain produk kesenian itu. Dalam situasi bertumpang-tindih, kebudayaan

diam-diam terlupakan.

Kebingungan negara atas kebudayaan ujungnya mengikis kebijakan anggaran yang

membiayai policy kebudayaan. Padahal, semua tahu, tanpa anggaran, penanganan

kebudayaan tidak akan pernah berjalan. Sekarang, kita sedang menunggu, adakah Jokowi-JK

sama belaka dengan para pendahulu?

Page 31: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 31/36

Mobil

Sabtu, 20 September 2014

Purnawan Andra, peminat kajian sosial-budaya masyarakat

Presiden terpilih Joko Widodo menolak rencana pemerintah pimpinan Presiden SBY untuk

membelikan mobil mewah baru bagi menteri pemerintah pimpinan Jokowi mendatang.

Daripada memakai mobil baru, ia lebih memilih memakai mobil dinas yang lama. Jokowi

 bertekad mengedepankan pelayanan publik daripada meningkatkan fasilitas pejabat.

Sejak awal abad ke-20, mobil memang telah menjadi simbol kekuasaan, kekayaan, dankemodernan. Pengamat budaya, Bandung Mawardi, mencatat bahwa pada 1907 Raja

Pakubuwana X bermobil Daimler-Benz ketika pelesir.

Mobil, yang dulu berperan sebagai alat migrasi atau perpindahan dari satu tempat ke tempat

lain, berkembang maknanya dalam konteks ekonomi, kelas sosial, gaya hidup, hingga politik.

Pejabat dan penguasa menunjukkan eksistensi dengan mobilnya. Semakin banyak mobil,

apalagi dengan ragam dan kebaruannya, membuktikan keberhasilannya. Semakin kuat dan

 berpengaruh posisi pejabat, kenyamanan dan keamanan kendaraannya menjadi keharusan dan

amat vital.

Mobil juga diidentikkan dengan keberhasilan pembangunan. Pemerintah berhasil

meningkatkan taraf hidup dan daya beli masyarakatnya. Pembangunan jalan (raya, layang,

dan tol) menjadi bukti dan memfasilitasi peningkatan kuantitas mobil yang dimiliki

masyarakat.

Pada saat yang sama, mobil juga menjadi urusan keluarga dalam iklan-iklan di majalah,

koran, dan televisi. Kita mengenal istilah-istilah "mobil sebagai sahabat keluarga", "mobil

untuk keluarga Indonesia", atau "mobil pilihan keluarga Indonesia". Semua iklan mobil ingin

membuat publik menerima pemahaman: mobil penting bagi keluarga. Keluarga Indonesia"mesti" bermobil agar tampak harmonis dan terhormat (Mawardi, 2014).

 Namun mobil juga terlibat dalam kontes politik. Perkara mobil pernah menjadi isu penting

dalam era Orde Baru. Mobil menjadi ajang politik bisnis yang bersumber dari fasilitas

kekuasaan. Mobil bahkan dilibatkan dalam agenda setting identitas nasional yang berujung

 pada kekayaan dan kemakmuran oknum dan pihak tertentu yang berada dalam lingkaran

kekuasaan.

Mobil juga menjadi bagian dalam tindak kejahatan kerah putih yang terkuak belakangan ini.

Para politikus memiliki koleksi mobil-mobil mewah dan eksklusif hasil korupsi dan

Page 32: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 32/36

 pencucian uang. Dalam kasus-kasus rasuah yang tersingkap, mobil-mobil berharga selangit

itu tidak hanya menandakan kepemilikan properti kaum elite. Hal itu pun menjadi modus

dalam tindak suap dan lobi-lobi tender politik, korupsi, pencucian uang, hingga berkaitan

dengan perkara syahwat ketika menjadi hadiah bagi artis-artis dan teman dekat wanitanya.

Makna mobil mengalami peyorasi karena sikap mental orang-orang semacam ini.

Untuk itu, kita berharap langkah Jokowi tersebut merupakan wujud nyata revolusi mental

yang selama ini didengungkan. Secara riil, pejabat publik jangan mengambil keuntungan di

tengah penderitaan rakyat, tapi justru melayani rakyat dengan memberi keteladanan dari segi

 penghematan dana dan kesederhanaan. Mengubah mental boros menjadi hemat dan berpihak

kepada rakyat harus dipahami sebagai salah satu usaha dalam mewujudkan salah satu

Trisakti, yaitu membangun kemandirian dalam bidang ekonomi. Kriwikan dadi grojogan,

mengubah perkara penting dari hal yang kecil.

Page 33: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 33/36

IS, Jihad, dan Pendidikan Kita

Sabtu, 20 September 2014

Husein Ja'far Al Hadar , penulis

Salah satu ideologi utama dan dasar Negara Islam Irak dan Suriah, atau Islamic State (IS),

adalah jihad. Abu Mus'ab az-Zarqawi, peletak cikal-bakal IS, berhasil direkrut dari

kehidupannya sebagai pemuda nakal dengan pesona doktrin tentang jihad. Akhirnya, ia

tumbuh menjadi seorang yang hanya memahami Islam sebagai jihad. Ironisnya, pendidikan

kita pun sering kali mengasosiasi Nabi lebih sebagai pendekar perang yang mengisi hidupnya

dengan perang.

Seperti dikemukakan Syaikh Hasan bin Farhan al-Maliky, ulama moderat Arab Saudi, IS

tenggelam dalam lautan keutamaan jihad, sementara mereka tak memahami sedikit pun

tentang prinsip-prinsip jihad paling dasar. Mereka adalah orang yang menganggap Islam dan

kehidupan Nabi Muhammad hanya perkara perang. Padahal, menurut sebuah penelitian, jika

dikalkulasi, karier kerasulan Nabi kira-kira 23 tahun atau 8.000 hari. Jumlah hari Nabi

 berperang hanya 80 hari jika tanpa melibatkan persiapan dan sebagainya. Artinya, secara

total, hari peperangan Nabi hanya 10 persen atau 1 persen dari karier kenabiannya. Ironisnya,

yang 90 persen atau 99 persen inilah yang justru tak dipahami dan diyakini oleh IS dan para

 pengikut serta pendukungnya. Itu pula yang kerap diajarkan berulang-ulang tentang Islam

dan Nabi dalam pendidikan anak-anak kita.

Padahal, menurut Nabi, jihad bukan hanya dilakukan dengan berperang. Justru, Nabi

menyebut perang sebagai jihad kecil ( jihâd ashghar ) dan melawan nafsu sebagai jihad besar

( jihâd akbar ). Alkisah, saat Nabi pulang dari Perang Tabuk, ketika para sahabat berkata,

"Kita baru saja pulang dari perang besar". Nabi justru berkomentar, "(Sebaliknya) kita baru

 pulang dari perang kecil, menuju perang besar," yakni jihad melawan nafsu. Dan, tak ada

orang yang mati syahid dalam jihad kecil, sebelum dia menang dalam jihad besar. Artinya,

kesyahidan sejati justru bukan didapat dari medan perang saja, tapi juga dari perang melawannafsu terlebih dulu. Sayyidina Ali pernah mengurungkan ayunan pedangnya saat menyadari

 bahwa ayunan pedang itu disebabkan nafsunya. Nabi sendiri pun tak syahid di medan perang.

Adapun jihad model IS justru karnaval nafsu: kekejaman, keberingasan, dan kesadisan.

Jihad dalam konteks perang pun tak dipahami dengan benar dan kadang tereduksi oleh IS dan

mungkin oleh sebagian kita. Jelas-jelas Al-Quran dalam al-Baqarah: 190, an-Nisaa': 75 dan

al-Hajj: 40 menjelaskan bahwa yang diperbolehkan-atau diwajibkan-untuk diperangi adalah

orang-orang yang memerangi kita, dan itu pun jangan melampaui batas, serta berperang

dalam rangka membela hak-hak orang-orang tertindas atau terusir dari kampung halamannya.

Adapun yang dilakukan IS justru menindas dan mengusir orang lain, atau malah saudara

Page 34: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 34/36

muslimnya dari kampung halamannya di Mosul, Tikrit, dan wilayah-wilayah lain yang

dikuasainya, hanya karena perbedaan mazhab, ideologi, atau pandangan.

Perang IS juga bukan lagi hanya menerobos etika perang Islam, tapi sangat melampaui batas

dengan berlaku sadis terhadap tawanannya. Kita harus menjauhkan anak-anak dan lembaga pendidikan kita dari salah kaprah jihad ini.

Page 35: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 35/36

Revolusi Prestasi Olahraga

Sabtu, 20 September 2014

Sarluhut Napitupulu, Mantan Sekretaris Executive Commitee (EXCO) PSSI (2011 –2013)

Tulisan Eddi Elison di Koran Tempo, Rabu, 27 Agustus 2014, halaman 14, dengan judul

"Semangat Kementerian Pemuda dan Olahraga" layak diapresiasi. Praktisi olahraga nasional

ini, dalam tulisannya, meminta Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dirombak

dengan cara dipisah: urusan kepemudaan dikembalikan kepada kementerian lain. Urusan

olahraga diurus oleh Kementerian Olahraga. Dengan kata lain, Kemenpora dirombak dengan

dipisah menjadi Kementerian Olahraga.

Menurut Eddi, dengan berfokus hanya pada olahraga, Kementerian Olahraga akan lebih

 bebas memantapkan programnya dan anggarannya pun tersendiri. Apalagi sudah ada

dukungan payung hukum sendiri, yakni UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem

Keolahragaan Nasional (SKN), dalam mengurus dan mengatur sistem olahraga serta memberi

 perlindungan dan penjelasan kepada semua elemen pendukung olahraga nasional. Untuk itu,

dengan wujud Kementerian Olahraga, Eddi sangat yakin olahraga Indonesia akan bangkit,

diiringi dengan peningkatan prestasi dan pertumbuhan infrastruktur keolahragaan.

Harapan Eddi patut direspons. Sejak awal Indonesia merdeka, olahraga sebenarnya diurus

sendiri oleh badan atau lembaga olahraga. Sampai akhirnya, Presiden Sukarno menjadikan

olahraga sebagai instrumen revolusi pembangunan dalam konteks olahraga sebagai nation

and character building. Bertolak dari instrumen itulah kemudian Sukarno, melalui Keputusan

Presiden (Keppres) Nomor 94 Tahun 1962 tanggal 7 Maret 1962, membentuk Departemen

Olahraga (Depora).

Depora bertugas mengatur, mengkoordinasikan, mengawasi, membimbing, dan bila perlu

menyelenggarakan: 1) semua kegiatan olahraga, termasuk pendidikan jasmani, di sekolah

sampai perguruan tinggi; 2) pendidikan tenaga ahli olahraga (guru dan pelatih); 3) pembangunan, penggunaan, dan pemeliharaan lapangan/bangunan olahraga; 4) pembangunan

industri nasional alat-alat olahraga dan/atau mengimpor alat-alat olahraga, pengedaran, serta

 penggunaan oleh masyarakat; 5) pengiriman olahragawan/tim olahraga dari/ke luar negeri.

Dengan Depora yang didukung komitmen Presiden Soekarno, tak ayal olahraga mengalami

masa keemasan, yaitu Indonesia mampu menggelar Asian Games ke-4 pada 1962 di Jakarta.

Kemudian, terbangunnya fasilitas olahraga terbesar di dunia saat itu, yakni Gelanggang

Olahraga Bung Karno (GBK). Yang terakhir, dalam Asian Games tahun 1962, Indonesia

 berada pada peringkat kedua setelah Jepang.

Page 36: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

8/11/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 14.9.2014-20.9.2014

http://slidepdf.com/reader/full/capingcari-anginkolom-tempo-1492014-2092014 36/36

Masa keemasan olahraga itu bisa terjadi tak lain akibat kemauan politik pada zaman itu

didukung penuh oleh presidennya untuk membangun olahraga dan diimplementasikan oleh

 para menteri-menteri dan disambut penuh oleh masyarakat. Saat itu memang olahraga

diyakini bisa membentuk manusia baru yang sehat mental dan fisik dan menaikkan prestise

negara. Selain itu, Depora memang benar-benar bertugas dan berfungi hanya mengurusolahraga.

 Namun, dalam rezim Orde Baru, Depora dibubarkan. Bidang olahraga kemudian ditangani

setingkat direktur jenderal dalam kementerian, yang mempunyai keterbatasan dalam

kewenangan, pengambilan keputusan, melakukan koordinasi, serta alokasi pendanaan.

Belakangan, urusan olahraga digabung dalam Menteri Negara Pemuda dan Olahraga.

Saat ini, dengan tiga undang-undang yang memayunginya (UU No 3 Tahun 2005 tentang

SKN, UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, dan UU No 12 Tahun 2010 tentang

Kepramukaan), Kemenpora memang tidak bisa berfokus hanya pada olahraga. Dengan tiga

 payung hukum itu, Kemenpora melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam mengurus

olahraga, kepemudaan, dan kepramukaan.

Alokasi dana pun selama ini dari APBN. Jika dibanding keseluruhan dana bagi kementerian

lainnya, Kemenpora hanya mendapat 0,1 persen dari dana total APBN, yang dialokasikan

untuk tiga unsur itu. Misalnya, dari dana APBN 2014 sebesar Rp 1.800 triliun, Kemenpora

menerima dana sekitar Rp 1,8 triliun (0,1 persen). Idealnya, pagu anggaran untuk olahraga

sesuai dengan hitungan Kemenpora sendiri, berkisar Rp 4 triliun sampai Rp 5 triliun. Dengan

anggaran ideal itu, implementasi program yang sudah disusun dapat terlaksana dengan baik,yang bermuara pada percepatan pencapaian prestasi. Selain itu, yang paling penting, figur

yang mengurus Kementerian Olahraga haruslah berlatar belakang bidang olahraga yang

cukup kuat.

Dalam visi-misinya, Jokowi menawarkan enam poin visi-misi di bidang olahraga. Intinya,

Jokowi ingin membangkitkan kembali masa kejayaan olahraga, baik dari sisi sarana-

 prasarana maupun aspek prestasi. Bahkan, dia hendak menjadikan olahraga sebagai industri

untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Untuk itu, di masa mendatang, lembaga pemerintah di bidang keolahragaan perlu diperkuat

kedudukan, tugas, dan fungsinya, dengan diubah statusnya menjadi Departemen Olahraga,

disertai dengan pemberian dana yang ideal. Dengan demikian, percepatan pertumbuhan

sarana-prasarana olahraga dan pencapaian prestasi olahraga Indonesia di dunia internasional

semakin terbuka lebar.