caping+cari angin+kolom tempo 28.12.2014-2.1.2015

27
Dalam Sajak Senin, 29 Desember 2014 mengenang Sitor Situmorang (1924-2014) Agam Wispi pernah mengatakan, ia diselamatkan puisi. Penyair ini, seorang anggota Partai Komunis Indonesia, menulis sajak- sajak yang berarti bukan karena isinya semata, melainkan karena sikapnya kepada makna. Ia memang pernah, beberapa waktu lamanya, mencoba menyerahkan makna kepada kebenaran yang diresmikan Partai. Tapi pada akhirnya ia tak bisa. Pada akhirnya ia kembali kepada puisi itu sendiri: puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang puisi, hanya kaulah pacarku terbang Puisi, dalam sajak ini, adalah tempat yang akrab, semacam rumah, juga sesuatu yang menemaninya dengan setia, ibarat "pacar", dalam perjalanan jauh. Setiap penyair tahu, hidup dalam sajak adalah hidup dalam kata dengan makna yang tak tunduk kepada batas--dan bersama itu kemerdekaan bergelora. Ketika mengenang Agam, yang meninggal pada 2003, sebuah sajak Zen Hae menangkap geloranya: Agam Wispi, yang hidup sebagai eksil sejak 1965 dan meninggal di Belanda tempat terakhir perjalanannya, sebenarnya bukanlah "orang buangan". kau menyebutku orang buangan. aku seorang kelana, sebenarnya. aku tidur dan jaga di atas kudaku. aku dan tungganganku adalah satu. Dengan itu sang penyair menjelajah ke dalam wilayah yang terbentang luas: "sajakku jutaan bintang merah di bawah langit tanpa pintu."

Upload: ekho109

Post on 18-Jul-2016

11 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

tempo.co

TRANSCRIPT

Page 1: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

Dalam Sajak

Senin, 29 Desember 2014

mengenang Sitor Situmorang (1924-2014)

Agam Wispi pernah mengatakan, ia diselamatkan puisi. Penyair ini, seorang anggota Partai Komunis Indonesia, menulis sajak-sajak yang berarti bukan karena isinya semata, melainkan karena sikapnya kepada makna. 

Ia memang pernah, beberapa waktu lamanya, mencoba menyerahkan makna kepada kebenaran yang diresmikan Partai. Tapi pada akhirnya ia tak bisa. Pada akhirnya ia kembali kepada puisi itu sendiri:

puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulangpuisi, hanya kaulah pacarku terbang

Puisi, dalam sajak ini, adalah tempat yang akrab, semacam rumah, juga sesuatu yang menemaninya dengan setia, ibarat "pacar", dalam perjalanan jauh. Setiap penyair tahu, hidup dalam sajak adalah hidup dalam kata dengan makna yang tak tunduk kepada batas--dan bersama itu kemerdekaan bergelora. 

Ketika mengenang Agam, yang meninggal pada 2003, sebuah sajak Zen Hae menangkap geloranya: Agam Wispi, yang hidup sebagai eksil sejak 1965 dan meninggal di Belanda tempat terakhir perjalanannya, sebenarnya bukanlah "orang buangan". 

kau menyebutku orang buangan. aku seorang kelana, sebenarnya. aku tidur dan jaga di atas kudaku. aku dan tungganganku adalah satu. 

Dengan itu sang penyair menjelajah ke dalam wilayah yang terbentang luas: "sajakku jutaan bintang merah di bawah langit tanpa pintu." 

Dengan itu pula sang penyair selamat dari ruang tertutup dan jalan buntu--yang umumnya dialami para sastrawan yang harus, atau ingin, patuh kepada sebuah doktrin. 

Dalam sebuah wawancara dengan Hersri Setiawan dalam jurnal Indoprogress November 2014, Agam menyatakan kesimpulannya: doktrin yang dulu ada kini tak memadai lagi.

"Yang dulu sudah tidak ada," katanya. "Nonsens itu! Sudah omong kosong. Buat saya sudah berakhir--ide-ide soal 'Seni untuk Rakyat', 'Politik adalah Panglima'--semua sudah ketinggalan."

Agam tak hendak berhenti, sementara slogan dan doktrin mengandung beban yang mudah mandek. Dalam pengembaraan Agam ada sesuatu yang mengingatkan kita kepada Chairil

Page 2: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

Anwar yang membelot kepada ruang yang meringkus: ia ingin terbang dalam "the only possible non-stop flying". Tanpa mendarat.

Tapi dalam sajak, seorang penyair tak mungkin sepenuhnya dalam "non-stop flying". Ia pasti pernah menyentuh tempat ia berasal, tempat ia pernah tinggal. Bahasa yang dipakainya mau tak mau terkait dengan sebuah lingkungan yang memberinya arti, biarpun arti itu tak permanen. Bahasa itu juga diutarakan tubuh yang dibentuk sebuah habitat yang menumbuhkan bunyi, irama, dan langgam tertentu.

Sitor Situmorang dalam banyak hal mirip Agam Wispi. Penyair ini juga disingkirkan (dipenjarakan, kemudian hidup di Eropa) setelah perubahan politik 1965. Ia juga meninggal di Belanda di sekitar tahun baru. Dan seperti Agam, ia pernah mengenal Eropa sebelum akhirnya hidup di sana. Agam di Leipzig, Sitor di Paris.

Kedua orang ini "kelana". Mereka berangkat dengan puisi sebagai "tunggangan". Tapi tampak, hubungan mereka dengan tempat asal--tanah air, kampung halaman, dengan kenangan masa lalu--adalah hubungan yang ambigu.

Dalam wawancaranya Agam mengakui, ia tak merasa terikat lagi dengan Indonesia, tapi bahasa Indonesia adalah bahasa yang dipakainya untuk menulis puisi, biarpun bertahun-tahun ia hidup dengan bahasa Jerman. 

Sitor, dalam sajaknya yang terkenal, "Si Anak Hilang", berkisah tentang dirinya yang pulang ke tepi Danau Toba, disambut ibu dengan bahagia. Tapi,

Anak diam mengenang lupaDingin Eropa musim kotanyaIbu diam berhenti berkataTiada sesal hanya gembira

Malam tiba ibu tertidurBapak lama sudah mendengkurDi pantai pasir berdesir gelombangTahu si anak tiada pulang

Anak itu tiada pulang, tapi sajak ini tak jauh-jauh terbang: di dalamnya kita merasakan langgam syair Melayu lama. 

Begitu pula ketika Sitor berkisah tentang sebuah percintaan di Italia: frasa-frasanya yang mengejutkan dan mempersona adalah bentuk pantun yang dihidupkan kembali:

Kerling danau di pagi hariLonceng gereja bukit ItaliAndai abang tak kembaliAdik menunggu sampai mati

Bergerak antara pengembaraan yang tak kenal pulang dan keakraban dengan tempat asal, sajak-sajak ini sebenarnya tak ingin jadi pernyataan yang final. Hidup dalam sajak adalah hidup yang peka akan gerak yang berbeda dan bertentangan--juga dalam diri sendiri.

Page 3: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

Mungkin itu sebabnya puisi tak bisa berbaris-baris, mengikuti tata. Plato mengusir para penyair ketika ia hendak meneguhkan sebuah Republik yang terjaga moralitasnya. Tapi (saya kutip Terry Eagleton dalam The Event of Literature, 2012) sastra bukannya berbahaya bagi moralitas, melainkan bagi moralisme--penilaian moral yang diabstrakkan dan terlepas dari hidup manusia yang utuh. Sebab sastra selalu mengembalikan penilaian itu kepada konteksnya yang hidup dan rumit.

Artinya, beruntunglah kita punya penyair.

Goenawan Mohamad

Page 4: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

Bencana

Sabtu, 27 Desember 2014

Putu Setia

Bencana sering datang di akhir tahun. Bisa dimaklumi. Musim hujan memang di bulan-bulan akhir tahun dan berlanjut ke awal tahun. Hujan yang ditunggu para petani menjadi pangkal bencana. Ada tanah longsor, seperti di Banjarnegara. Penyebabnya, konspirasi antara hujan dan kontur tebing yang tak banyak pohon karena penduduk bertanam kentang. Ada banjir di berbagai kota yang, menurut salah seorang penyiar televisi--dengan mimik meyakinkan--disebabkan oleh hujan. Bukan karena rupiah melemah.

Itulah komentar saya kepada Romo Imam soal bencana. "Apakah tsunami yang dahsyat di Aceh karena hujan pula?" tanya Romo. Saya gelagapan disanggah. Saya jawab: "Bukan hujan sih, tetapi terjadi di akhir tahun, sehari setelah Natal, sepuluh tahun lalu. Sekarang diperingati dengan rasa syukur yang dalam. Sayang, Presiden Jokowi batal ke sana."

Romo Imam tersenyum: "Ya, sebaiknya Presiden jangan datang, supaya Pak Jusuf Kalla tak salah tingkah. Tak lazim ada dua matahari di satu tempat, apalagi saat mendung. Jusuf Kalla sebagai wakil presiden banyak berperan di saat-saat awal pemulihan Aceh. Kini sebagai wakil presiden pula, beliau pantas memimpin rasa syukur setelah Aceh berhasil bangkit."

Jalan pikiran Romo ini cenderung tak konsisten. Tadinya mau diskusi soal bencana di akhir tahun, tiba-tiba soal peringatan satu dasawarsa tsunami Aceh. "Lalu lumpur Lapindo yang kini mengancam lagi warga Sidoarjo apa ada kaitannya dengan akhir tahun dan hujan?" Nah, kan sudah berganti tema lagi, tak fokus Romo ini. "Ya, ya, Romo, karena hujan deras. Tanggul jebol lumpur pun meluber menggenangi rumah-rumah penduduk."

Romo batuk sesaat. "Tanpa hujan pun tanggul Lapindo pasti jebol. Betul ada pompa yang mengalirkan lumpur cair ke Kali Porong, tetapi penduduk mempermainkan pompa itu agar lumpur tetap meluber dan menjebol tanggul. Penduduk sudah tak tahan lagi, delapan tahun tak menerima ganti rugi yang dijanjikan."

Waduh, ini soal apa lagi, pikir saya. "Romo, sekarang Presiden Jokowi sudah mengambil alih dengan memberi talangan. Lapindo sudah tak punya uang, tetapi juga tidak menyebut bangkrut," kata saya. Jawaban spontan ini membuat Romo panas: "Bangkrut bagaimana? Bosnya mondar-mandir dengan jet pribadi dan seperti tak pernah bersalah, terus mengkritik pemerintah. Kalau bertanggung jawab, jual aset lah."

Wah, saya harus betul-betul diam. "Pernah menonton Perjuangan Suku Naga yang dipentaskan Bengkel Teater Rendra?" Pertanyaan Romo ini membuat saya hampir pingsan. Kaget, kenapa sampai ke Rendra. Saya menggeleng. "Bencana dan keberuntungan adalah

Page 5: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

sukma yang tak terpisahkan. Lumpur Lapindo mengancam lagi dan itu bencana bagi rakyat. Jika Jokowi diam, itu juga bencana buat pemerintahannya yang bisa disebut tak peduli pada wong cilik. Tapi keberuntungan bagi bos Lapindo yang tak mengeluarkan duit lagi."

Ini lucu dan seperti dipaksakan, tapi saya takut tertawa. Romo melanjutkan, kali ini agak kalem: "Sekarang bencana belum berakhir meski kita berharap tak lagi datang. Puncak musim hujan terjadi akhir bulan Januari sampai Februari. Bagi yang percaya kalender Cina, Imlek pada pertengahan Februari dan harus hujan supaya ada keberuntungan. Mudah-mudahan Jakarta dan daerah aliran Bengawan Solo tidak banjir bandang. Tapi jika itu terjadi, para pejabat kita pasti punya pembenaran dengan mencari kambing hitam."

"Romo yakin akan ada kambing hitam," tanya saya. "Kan tahun depan memang shio kambing," jawab Romo enteng. Ah, Romo kena bencana, tak bermutu, mati angin di ujung tahun.

Page 6: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

Penolakan Grasi Terpidana NarkotikSENIN, 29 DESEMBER 2014

Joko Riyanto, alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta

Saat memberikan kuliah umum di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, beberapa hari yang lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan Indonesia telah memasuki level darurat narkotik. Menurut Jokowi, sebanyak 40 sampai 50 orang di Indonesia mati setiap harinya akibat penyalahgunaan narkotik. Jokowi pun secara tegas menolak permohonan grasi 64 terpidana mati gembong narkotik. Keputusan Jokowi ini layak kita dukung dan acungi jempol, sebagai bentuk perang melawan kejahatan narkotik.

Keputusan Jokowi ini ditentang aktivis pegiat hak asasi manusia. Menurut mereka, hukuman mati bukan cara yang tepat untuk menghukum gembong narkotik, karena belum tentu membuat mereka jera. Sebaliknya, presiden berpotensi melanggar HAM. Menurut saya, keputusan Jokowi itu tidak melanggar HAM. Sebab, hukuman mati terhadap pelaku kejahatan narkotik telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika tahun 1988, yang ditandai dengan terbitnya UU Nomor 7 Tahun 1997. Konvensi yang melabeli kejahatan perdagangan obat, narkotik, dan bahan psikotropika sebagai kejahatan serius menyatakan dalam Pasal 3 Ayat (6) bahwa pemerintah harus memastikan pengenaan sanksi yang maksimum.

Vonis mati terhadap kejahatan narkotik tidak melanggar HAM, karena kejahatan narkotik adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan narkotik itu sungguh mengerikan, jauh lebih berbahaya ketimbang terorisme. Sementara terorisme dapat membunuh satu atau sekelompok orang, narkotik mampu membunuh satu generasi dan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa, bahkan sebuah peradaban. Sedangkan para korban narkotik itu sendiri juga punya hak untuk hidup sehat tanpa harus digerogoti barang haram tersebut.

Narkotik memang sudah menjadi ancaman sangat berbahaya bagi Indonesia, dan kejahatan narkotik telah memperburuk citra Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat, hingga 2013 lalu, lebih dari 4,5 juta orang berada dalam proses rehabilitasi, tapi yang 1,2 juta sudah tidak bisa direhabilitasi karena sudah sangat parah. Sebanyak 3,2 juta penduduk di Indonesia menyalahgunakan narkotik dan 15 ribu orang mati sia-sia setiap tahun atau 40 orang setiap hari. Penolakan grasi terpidana narkotik oleh Jokowi adalah bukti nyata bahwa pemerintah tak berkompromi dalam pemberantasan narkotik. 

Narkotik telah menjadi musuh bersama yang harus diberantas tuntas. Presiden Jokowi diharapkan bersikap lebih tegas, konsisten, dan berani dalam pemberantasan narkotik.

Page 7: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

Hukum, sebagai puncak piramida perlawanan, sangat dituntut untuk mampu memberikan peran dalam menciptakan efek jera (shock therapy). Melihat dampak buruk kejahatan narkotik bagi generasi muda dan bangsa ini, maka hukuman tegas, keras, dan tidak pandang bulu, bahkan hukuman mati, layak dijatuhkan kepada terpidana narkotik, terutama produsen (pabrik), bandar (gembong), pengedar, dan pengguna narkotik.

Contohlah negara tetangga, Malaysia dan Singapura, yang dengan tegas menghukum penyelundup atau pengkonsumsi (walau hanya 5 gram) narkotik dengan hukuman mati. Wujudkan Indonesia Bebas Narkotik 2015. *

Page 8: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

Pragmatisme Swasembada Pangan

Senin, 29 Desember 2014

Khudori, anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)

Duet Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla sepertinya belum bisa sepenuhnya melepaskan diri dari langgam pendahulunya: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam hal pangan, seperti SBY Jokowi-JK mematok target swasembada sejumlah komoditas. Target ambisius ditetapkan: swasembada beras, jagung, dan kedelai dalam tiga tahun. Swasembada gula dan daging ditargetkan tercapai dalam lima tahun. Tidak ada yang salah dengan target-target itu. Dengan target, akan ada ukuran capaian kinerja, langkah-langkah juga akan lebih fokus. Masalahnya, bagaimana cara mencapai target itu? Strategi apa yang bakal ditempuh?

Jokowi-JK berjanji menempatkan sektor pertanian pada posisi penting guna mengembalikan kedaulatan pangan. Hal ini ditempuh lewat sejumlah langkah: membagikan 9 juta hektare (ha) lahan ke petani, menambah kepemilikan lahan dari 0,3 ha menjadi 2 ha per keluarga petani, perbaikan irigasi di 3 juta ha sawah, membangun 25 bendungan, mencetak 1 juta ha sawah baru dan 1 juta ha lahan pertanian kering baru di luar Jawa-Bali, mendirikan bank pertanian, mendorong industri pengolahan, serta membangun 1.000 desa berdaulat benih dan 1.000 desa go organic. Rencana ini bagus karena, realitasnya, produksi pangan stagnan.

Menurut BPS, produksi padi pada 2014 mencapai 69,9 juta ton gabah, turun 2 persen dari 71,3 juta ton pada 2013. Angka ini setara dengan 40 juta ton beras (angka konversi 0,57 persen). Jika angka konsumsi beras 113,48 kg per kapita per tahun, total konsumsi 253 juta penduduk adalah sekitar 29 juta ton. Artinya, kita seharusnya surplus beras 10 juta ton. Kenyataannya, tiap tahun masih ada impor beras. Produksi jagung pada 2014 mencapai 18,6 juta ton jagung pipilan kering, meningkat 40 ribu ton dari 2013. Swasembada jagung bisa dicapai jika pemerintah konsisten mengeksekusi semua kebijakan insentif peningkatan produksi dan produktivitas. Produksi kedelai pada 2014 ialah 921 ribu ton, terus menurun dengan laju 4,2 persen per tahun. Modal sosial sistem usaha tani kedelai yang rusak mempersulit swasembada. 

Kinerja tiga komoditas pangan pokok dan strategis itu tidak mengalami perbaikan lantaran basis produksi tidak membaik, baik dalam hal lahan maupun inovasi teknologi produksi. Menambah lahan baru, memperbaiki infrastruktur irigasi, membangun bendungan, dan introduksi teknologi adalah keniscayaan. Berpuluh-puluh tahun lahan pangan tidak bertambah. Justru sawah-sawah subur dan beririgasi teknis diuruk dan "ditanami" beton, baik untuk jalan, rumah, maupun pabrik. Karena tidak ada tambahan lahan, empat komoditas berebut di lahan yang itu-itu juga. Berpuluh-puluh tahun tidak ada pembangunan bendungan

Page 9: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

dan irigasi baru. Irigasi warisan Orde Baru bahkan tidak terpelihara dengan baik. Saat ini sekitar 52 persen infrastruktur irigasi rusak, baik ringan maupun berat. Inovasi teknologi produksi juga tidak berkembang lantaran anggaran riset amat terbatas.

Membuka lahan baru dan memperbaiki/membangun infrastruktur irigasi perlu waktu dan butuh anggaran besar. Demikian pula riset intensif untuk menemukan aneka varietas berproduksi tinggi. Administrasi pertanahan yang kusut membuat perluasan lahan pangan tak mudah dilakukan. Di atas kertas, potensi ekstensifikasi bisa dilakukan di puluhan juta hektare lahan. Namun, di lapangan, tak sepenuhnya clear. Kebutuhan anggaran yang besar juga tidak memungkinkan memperbaiki/membangun irigasi dalam satu tahun anggaran. Uraian singkat ini bermakna: tidak mudah mencapai target swasembada.

Tidak banyak disadari, Jawa masih menjadi pulau penyumbang produksi pangan terbesar negeri ini. Peran Jawa dalam produksi padi, jagung, kedelai, dan gula masing-masing adalah sebesar 52,6 persen, 54,5 persen, 66,9 persen, dan 67,4 persen dari produksi nasional. Ketika dihadapkan pada kondisi lapangan yang sulit dan desakan pencapaian target, birokrasi akan senantiasa "menggarap" daratan Jawa, Madura, dan Bali yang relatif matang. Dominasi peran Jawa bisa dipastikan membuat birokrat tidak berani mengambil keputusan drastis, misalnya menggeser basis produksi pangan dari Jawa ke luar Jawa. Keputusan ini amat berisiko. 

Dengan konfigurasi seperti itu, ketika terdesak oleh target-target swasembada, diperkirakan menteri Kabinet Kerja Jokowi yang berurusan dengan pangan akan terjebak dalam pragmatisme pencapaian-pencapaian jangka pendek. Bagi mereka, yang paling realistis adalah mempertahankan lahan-lahan subur di Jawa, dan sebisa mungkin mencegah konversi. Pada saat yang sama, ekstensifikasi di luar Jawa bisa digenjot. Dengan cara ini, target swasembada ada kemungkinan bisa dicapai dan kursi menteri aman. 

Masalahnya, pragmatisme jangka pendek ini tidak memberikan fondasi apa pun bagi pembangunan pertanian di masa depan. Berbeda apabila Kabinet Kerja Jokowi memilih memperkuat dan membangun fondasi kemandirian serta kedaulatan pangan. Cara ini dilakukan dengan membuat langkah-langkah gradual memperbesar kepemilikan lahan petani, menggeser basis produksi ke luar Jawa, membangun infrastruktur (irigasi, dam, bendungan, dan jalan) yang memadai, dan menggelar riset-riset intensif untuk merakit pelbagai inovasi. Cuma, risikonya, swasembada tak tercapai dan kursi menteri melayang. *

Page 10: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

Kubur Mitos BencanaSELASA, 30 DESEMBER 2014

Paulus Mujiran, penulis 

Di pengujung tahun, berbagai bencana menghajar Indonesia. Belum hilang dari ingatan peristiwa bencana tanah longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah, yang menewaskan 97 orang dan 44 orang hilang; banjir di Aceh; serta mucul-hilangnya kontak pesawat AirAsia yang membawa 155 penumpang. Pesawat rute Surabaya-Singapura itu hilang kontak di sekitar Belitung Timur. 

Yang menarik, baik bencana Banjarnegara yang menelan korban jiwa cukup banyak maupun hilangnya pesawat AirAsia terjadi tidak lama setelah Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla genap 100 hari memerintah. Ini mengingatkan bencana dahsyat tsunami pada 26 Desember 2014, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla genap 100 hari memerintah. 

Terhadap bencana bertubi-tubi, tak ayal, banyak orang menghubungkan bencana itu dengan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Di tengah musibah bertubi-tubi yang melanda Indonesia, mitologi bencana tumbuh sebagai proses memahami bencana dalam alam pikiran mitos. Tafsir mitologis tetap sah saja digunakan, karena memang terdapat sesuatu yang tak dapat dijelaskan secara rasional. Misalnya, kecocokan antara simbol-simbol yang ditunjukkan dalam bencana dan mitos tertentu.

Tafsir atas mitos akan kian kuat dalam kondisi kehidupan masyarakat yang menghadapi keadaan sulit. Meski telah merambah demokrasi modern, kepercayaan akan mitos tidak juga memudar. Hal ini sangat masuk akal karena pada masa lalu kita dibentuk dari sejarah kebudayaan yang memiliki ikatan kuat dengan dunia mitos. Mitos dipercaya berabad-abad untuk mengukuhkan eksistensi manusia. 

Michael Parenti (1993) dalam buku The Lands of Idols: Political Mythology in America pun menceritakan mengenai mitos yang berkembang dalam politik di Amerika Serikat. Amerika yang negara modern saja masih percaya kepada mitos dalam percaturan politik mereka. Mochtar Lubis (1977) mengukuhkan manusia Indonesia adalah bangsa yang masih percaya akan mitos-mitos, suka menggantungkan diri kepada nasib dan peruntungan, sehingga cenderung malas. 

Kemenangan tipis Jokowi-Jusuf Kalla pun tak lepas dari politik pencitraan yang didukung mitos. Di satu sisi, publik pun percaya ada aspek mitos yang mengantar Jokowi ke kursi kekuasaan, seperti halnya mitos satriya piningit. Namun, pada saat yang sama, Jokowi harus dapat menghapuskan mitos-mitos itu guna memperbaiki keadaan bangsa yang dirundung

Page 11: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

bencana dan musibah. Dia harus mengerahkan semua kekuatan guna menepis anggapan bencana terjadi karena mitos. Terhadap bencana, yang diperlukan adalah tindakan yang cepat dan dapat dirasakan oleh masyarakat. Dalam bencana diperlukan kehadiran pemimpin. 

Lebih dari itu, Jokowi harus bekerja keras untuk rakyat. Bencana yang bertubi-tubi dapat saja menggerus keabsahan pemerintah. Kita memuji tindakan sigap pemerintah terhadap bencana di Jemblung, Banjarnegara. Tindakan serupa dinantikan dalam penanganan musibah pesawat AirAsia. Penghapusan mitos bencana harus dijawab dengan tindakan rasional dan nyata yang dapat dirasakan rakyat. Rakyat jangan dibiarkan mengembangkan mitosnya sendiri bahwa kematian rakyat tidak bersalah karena berbagai bencana memang disengaja untuk tumbal kekuasaan.

Page 12: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

Korupsi Setelah 16 Tahun

Rabu, 31 Desember 2014

Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia

Akhir 2014 ini setidaknya menyiratkan dua momen yang penting bagi bangsa ini: perayaan antikorupsi dan rezim pemerintahan baru. Setumpuk harapan publik terhadap pemberantasan korupsi telah ditumpangkan di biduk yang dinakhodai Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kita mungkin perlu merenung tentang gerakan antikorupsi yang genderangnya ditabuh oleh rezim reformasi. Enam belas tahun sudah berlalu (1998-2014), tapi korupsi masih saja menjadi keseharian kita. Tiada sehari pun kita lewati tanpa pemberitaan tentang berbagai kasus korupsi. 

Mungkin kita bisa meringis ketika para pelaku korupsi itu adalah mereka yang memiliki hubungan suami-istri, kakak-adik, orang tua-anak, atau minimal memiliki hubungan kekerabatan yang sama. Ini fakta hukum dan fakta sosial yang tidak bisa dihindari, di mana korupsi memang telah menjadi candu bagi kalangan mana pun.

Pada 2014, corruption perception index (CPI) yang dirilis Transparency International (TI) memberikan skor 34 kepada Indonesia. Dibanding pada 2012 dan 2013, ada kenaikan 2 poin dari skor sebelumnya (32). 

Namun jika menggunakan dua variabel, yaitu rentang indeks yang sangat besar 0-100 dan rerata (average) perolehan skor di seluruh negara yang disurvei, kenaikan itu tidaklah signifikan. Faktanya, perolehan skor 34 itu masih menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia (dari rerata 43). Perolehan skor ini adalah jerih payah rezim pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Ironis memang, ketika rezim ini justru yang paling "rajin" mengeluarkan kebijakan antikorupsi. Salah satu yang teranyar adalah Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang 2012-2025 dan Jangka Menengah 2012-2014. Selain itu, ada begitu banyak instruksi presiden antikorupsi, bahkan beberapa khusus ditujukan untuk kasus korupsi di sektor tertentu (pajak). Jika dikaitkan dengan penegakan hukum, beberapa menteri pada masa SBY justru menjadi pelaku korupsi. Artinya, kebijakan antikorupsi bahkan tidak mampu mempengaruhi tabiat korup di lingkaran utama kekuasaan. Mungkin benar apa yang disebut oleh Lord Acton, bahwa kekuasaan memang selalu bertendensi korup. 

Page 13: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

Mungkin benar apa yang Syed Hussein Alatas pernah sebutkan dalam Sosiologi Korupsi (1981), bahwa korupsi akan tumbuh subur dalam lingkungan yang korup. Apakah korupsi di lingkungan pemerintahan, birokrasi, partai politik, parlemen, polisi, institusi peradilan, dan seterusnya mencerminkan kondisi masyarakat kita?  Indeks apa pun sebetulnya tidak bisa dijadikan ukuran tunggal untuk mengukur sejauh mana kinerja negara dalam memberantas korupsi. Apalagi jika hanya diukur dari segi komitmen di atas kertas atau dalam hal memproduksi kebijakan. 

Jika dihitung, mungkin akan sangat banyak institusi/lembaga yang mencanangkan gerakan antikorupsi. Tapi, sejauh mana kesepakatan itu diterjemahkan di dalam aksi yang lebih konkret, dilaksanakan, dan apa dampaknya? Apakah program antikorupsi di bidang pelayanan publik membuat pelayanan publik tersebut menjadi lebih baik? Atau jika menggunakan konteks penindakan/penegakan hukum, apakah jumlah pelaku korupsi yang dijebloskan ke penjara akan berdampak pada jumlah kejahatan korupsi, atau minimal jumlah kerugian negara akibat kejahatan korupsi bisa dikembalikan? Jika diibaratkan perang, perang melawan korupsi saat ini telah dinakhodai oleh Presiden Jokowi. Jika menggunakan alibi konstitusional, jabatan presiden sesungguhnya didaulat bukan hanya sebagai kepala pemerintahan, tapi juga kepala negara.  Presiden sudah dihidangkan banyak sekali menu antikorupsi, misalnya Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi (Perpres 55 Tahun 2012), Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU 14 Tahun 2008), dan regulasi lain yang menunjang pemberantasan korupsi. Surplus regulasi di bidang antikorupsi sebetulnya sudah lebih dari cukup untuk memaksa seluruh lembaga/institusi negara untuk turut serta dalam gerakan antikorupsi. Sebagai contoh kecil yang mungkin bisa berdampak besar, bagaimana Presiden Jokowi bisa menggunakan rezim keterbukaan yang sudah dijamin undang-undang untuk memaksa seluruh daerah/institusi/lembaga negara mempublikasikan anggarannya. Ini akan menjadi langkah awal yang sangat baik untuk mendorong inisiatif-inisiatif antikorupsi lainnya. 

Pentingnya rezim keterbukaan ini adalah agar seluruh pihak bisa ikut serta dalam gerakan antikorupsi. Jika ini tidak dilakukan, gerakan antikorupsi akan kembali dibajak oleh sebagian elite yang memonopoli informasi (anggaran). Mungkin dulu kita lelah berada di bawah kekangan Orde Baru selama hampir 32 tahun, sehingga terjadi peralihan rezim. Namun, apa mau dikata, setelah rezim beralih dan hampir berumur 16 tahun, korupsi masih saja menjadi momok.

Page 14: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

Pasar Klewer

Rabu, 31 Desember 2014

Aris Setiawan, Esais

Masyarakat yang sedang khusyuk menikmati sajian gamelan Sekaten di pelataran Masjid Agung Keraton Surakarta, 27 Desember lalu, tiba-tiba dikejutkan bunyi sirene mobil-mobil pemadam kebakaran. Pasar Klewer terbakar! Pasar batik terbesar itu dilalap api selama lebih dari 15 jam. Kerugian ditaksir mencapai Rp 5 triliun. 

Pasar Klewer bukan hanya berkisah tentang aktivitas jual-beli sandang, tapi juga sosio-kultural masyarakat Solo. Ia masih mampu bertahan hingga kini karena keunikan dan kekhasan yang dimilikinya, di saat pasar (market) modern dan mal bertebaran. Terdapat ikatan emosional dan sisi historis yang kuat antara Pasar Klewer dan dinamika hidup masyarakat Solo. Pasar Klewer kemudian menjadi identitas kota. Terbakarnya pasar itu menjadi tragedi yang memilukan bagi masyarakat Solo. 

Di Pasar Klewer, kita bisa mendengar negosiasi antara penjual dan pembeli. Pertukaran informasi dan pengetahuan terjadi di wilayah itu. Hubungan pedagang-pembeli tidak sekadar hubungan produsen-konsumen, tapi juga ada ikatan emosional, kepercayaan, dan kekeluargaan yang kuat.

Pedagang Pasar Klewer pada awalnya menjajakan dagangannya di sekitar muka Keraton Kasunanan. Mereka biasanya menggantungkan barang dagangannya secara acak di bahu dan di-klewer-kan begitu saja. Maka, tidak salah bila pasar rakyat itu dikenal dengan sebutan "Pasar Klewer"; di mana pedagang menggelar dagangannya secara pating klewer atau menjuntai sampai bawah (Febrie Hastiyanto, 2008).

Pasar Klewer terletak di sebelah barat Keraton Kasunanan Surakarta, sehingga menempati posisi yang ideal. Para wisatawan yang menikmati bangunan keraton dapat langsung membawa oleh-oleh kain batik dari Klewer dengan hanya berjalan kaki sekitar lima menit. Keramahan khas Solo senantiasa menyertai transaksi jual-beli.

Bagi sejarawan kondang Soedarmono S.U., Pasar Klewer juga menjadi kiprah perjuangan kaum perempuan Jawa yang selama ini dilupakan. Ia mendekonstruksi anggapan bahwa kaum perempuan Jawa tak mampu menjadi "saudagar" atau pengusaha. Sebaliknya, mereka justru menguasai modal dan jaringan yang sangat luas. 

Dinamika dan jejak sejarah kaum perempuan pembatik Solo memperoleh napas baru ketika Sunan Paku Buwana X pada 1930-an memberi kesempatan hak lisensi untuk berbisnis sandang bagi kaum perempuan. Dan Klewer menjadi puncak dari segala aktivitas itu.

Page 15: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

Batik bukan lagi sekadar baju, tapi juga seni. Era baru kebangkitan batik di Nusantara ditandai dengan semakin gencarnya promosi setelah UNESCO mengakuinya sebagai warisan dunia bersama keris dan wayang. Hal itu menempatkan Klewer sebagai salah satu pemasok dan distributor terbesar di Asia Tenggara.

Pasar Klewer menyimpan memori kolektif tentang pembangunan sebuah kota. Ia saksi sejarah perkembangan Solo menjadi kota perniagaan yang besar. Setiap pasar tradisional memiliki makna, identitas, dan sejarah masing-masing, yang menjadikannya unik dan memiliki karakter yang khas (Agus Ekomadyo, 2012). Keunikan itu adalah kebertahanan dan eksistensi di masa kini yang tak dimiliki oleh pasar modern mana pun yang cenderung seragam itu. 

Namun Klewer kini telah hangus terbakar. Tumpukan batik itu menjadi debu. Hujan tangis para pedagang tak dapat dielakkan. Yang tersisa kemudian adalah kenangan dan harapan. Kenangan manis tentang sumbangan besarnya dalam membesarkan Kota Solo. Semoga ke depan Pasar Klewer dapat bangkit dan menjadi lebih baik.

Page 16: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

Kapitalisasi Penanganan BencanaRABU, 31 DESEMBER 2014

Aminuddin, Peneliti Sosial dan Politik di Bulaksumur Empat Yogyakarta

Bencana memang lekat dengan bangsa ini pada pengujung 2014. Secara geografis, Indonesia sangat rentan terhadap bencana. Tapi ini acap kali tidak diimbangi dengan antisipasi konstruktif pemerintah. 

Setelah tanah longsor di Banjarnegara, muncul musibah pesawat AirAsia QZ8501 rute Surabaya-Singapura yang membawa 155 penumpang. Sementara itu, di ujung barat Indonesia, diperingati 10 tahun tragedi bencana tsunami yang memporak-porandakan Aceh. 

Kita berduka. Namun, di balik duka yang mendalam, ada hal menggelitik ketika akhir-akhir ini ada kecenderungan tak sehat di antara media peliput. Peliput kerap melontarkan pertanyaan yang cenderung menerobos nilai-nilai kemanusiaan: Bagaimana perasaan Anda? Apakah Anda punya firasat buruk sebelum bencana ini terjadi? 

Dalam posisi inilah, bencana lebih mengarah pada kepentingan pasar ketimbang kepentingan informasi. Rupanya fenomena kapitalisasi bencana kerap lahir di tengah-tengah tangisan korban bencana. Kapitalisasi bencana menjadi tontonan masyarakat ketika bencana datang melanda. Alih-alih melakukan recovery, pihak-pihak terkait lebih mementingkan keuntungan ekonomis, sehingga kebijakan-kebijakan populis cenderung terabaikan. Heijmans (2004) menekankan bahwa keberhasilan sebuah bantuan bencana bergantung pula pada partisipasi dan kemampuan aktor lokal dalam mendiskusikan, menyusun, dan merencanakan langkah recovery.

Kapitalisasi bencana sering kali muncul di tengah-tengah bencana ketika media dan pemberi modal dilibatkan. Ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, media lebih mementingkan rating dari bencana tersebut. Bahkan tidak jarang media memposisikan bencana sebagai breaking news. Hal itu bertujuan untuk menarik produk-produk besar dalam pengiklanannya.

Kedua, kebijakan pemerintah dalam merevitalisasi bencana cenderung mendiskreditkan kebijakan rakyat lokal. Padahal, rakyat lokal lebih memahami seluk-beluk bencana tersebut. 

Ketiga, tidak adanya masyarakat lokal yang ikut terlibat dalam penyaluran bantuan bencana. Penyaluran bencana kerap kali didominasi oleh orang-orang luar dan pemodal asing serta lembaga non-pemerintah. Sementara itu, masyarakat lokal hanya menjadi penghias di pinggirnya. Dari sinilah, posisi masyarakat lokal semakin tersudut, baik dari segi ekonomi, politik, maupun sosial. Kita bisa amati bencana tsunami di Aceh sepuluh tahun lalu, bagaimana derasnya bantuan dari lembaga non-pemerintah yang ikut merekonstruksi Aceh.

Page 17: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

Terdapat lebih dari 124 lembaga non-pemerintah internasional serta 430 lembaga lokal dan nasional yang ikut menangani rekonstruksi Aceh seusai tsunami (Akhmad Siddiq; 2010).

Kita memaknai bahwa kapitalisasi berjubah bencana kerap kali terjadi. Perlu ada sensitivitas media ataupun pihak-pihak tertentu agar bencana tidak dijadikan ladang basah kepentingan kapitalis. Tidak ada salahnya kita meminta bantuan kepada asing selama bantuan tersebut berbentuk ikatan kemanusiaan. Namun akan menjadi tragedi bencana berkepanjangan jika bantuan bencana ditafsirkan pada kepentingan kapitalis. Melalui ini, pemerintah harus sigap dan tanggap menghadapi bencana, sehingga bencana seperti di Banjarnegara, hilangnya kapal AirAsia, tidak bergantung pada bantuan asing.

Page 18: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

Polisi dan Pelanggaran HAM

Jum'at, 02 Januari 2015

Budi Hatees, Bekerja pada SAHATA Institute

Di Papua, 7 Desember 2014, warga sipil bisa mati secara serentak tanpa ada wabah penyakit dan tak ada bencana alam. Empat orang tewas, 14 orang lainnya dalam kondisi kritis. 

Kabar miris itu datang dari Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua. Warga tewas dan kritis setelah polisi memberondong mereka dengan senapan. Sulit membayangkan peristiwa penembakan rakyat sipil oleh polisi bisa terjadi di negeri yang adem-ayem ini. Lebih sulit lagi membayangkan alasan penembakan itu ternyata prosedur tetap (protap) yang harus dijalankan saat polisi terdesak dan berada dalam ancaman.

Tapi kenapa polisi sampai merasa terancam oleh rakyat?

Tak ada yang tahu persis, kecuali pengakuan warga Enaratoli, yang menyaksikan peristiwa itu. Tim penyidik Markas Besar Polri sudah ada di lokasi, tapi kinerja tim seperti ini sukar diharapkan akan berpihak pada mereka yang ditembaki. Pengalaman selama ini menyebut, tim Polri diturunkan untuk mengamankan institusi Polri dari segala bentuk perusakan citra dan pencemaran nama baik institusi. Tim ini tidak akan bekerja dari perspektif hukum (perundang-undangan). 

Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti, kepada media, mengatakan belum tentu senjata yang meletus itu milik anggota Korps Bhayangkara. Pernyataan yang disampaikan hanya didasari laporan anggota itu, tampak bagai membangun "garis api" agar institusi Polri tidak disalahkan.

Publik hanya tahu penembakan itu bermula dari teguran warga terhadap ulah polisi yang kurang menghormati tradisi beragama masyarakat di Papua. Ada polisi yang kabarnya "mengejek" tradisi beragama itu. Warga menegur namun ditanggapi dengan kasar dan penganiayaan. Tak terima perlakuan polisi, warga mendatangi markas polisi untuk menanyakan soal penganiayaan itu. Polisi tak menanggapi. Warga kemudian marah dan membakar mobil. Polisi merasa terancam. Secara psikologis, perasaan terancam cenderung mendorong seseorang untuk membela diri. Tindakan membela diri acap membabi-buta. Pola penembakan warga oleh polisi kentara sebagai tindakan membabi-buta.

Apa pun latar belakang peristiwa ini, penembakan rakyat merupakan sebuah pelecehan hak asasi manusia (HAM) yang layak dikecam. Karena itu, tim penyidik Mabes Polri harus diimbangi dengan hadirnya tim penyidik dari institusi lain, seperti Komisi Nasional Hak

Page 19: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015

Asasi Manusia (Komnas HAM). Pelakunya harus diganjar sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak sekadar sanksi disiplin yang mengabaikan rasa keadilan rakyat itu.

Jika kasus ini diselesaikan secara transparan, harapannya bisa mendorong polisi agar mulai membangun tradisi melihat persoalan rakyat dari sisi kemanusiaan, dan menampilkan diri sebagai polisi yang protagonis di hadapan rakyat. Polisi harus piawai berkomunikasi dan mulai membuang sosok antagonis saat berhadapan dengan rakyat. Rakyat menyukai polisi yang egoisme institusinya dibuang.

Sebagai aparatur yang berada di garis terdepan ketika berhadapan dengan masyarakat, polisi wajib paham bahwa hukum bukanlah sekadar perundang-undangan, apalagi protap. Pahamilah hukum secara utuh dan benar sehingga pendekatan penyelesaiannya terhadap persoalan bersifat holistik.*

Page 20: Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 28.12.2014-2.1.2015