case caryn 2014

Upload: caryn-miranda

Post on 14-Jan-2016

24 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

geriatri

TRANSCRIPT

UJIAN KASUS GERIATRI

UJIAN KASUS GERIATRI

Caryn Miranda- 406138032

LAPORAN KASUS UJIAN

OPA SSKEPANITERAAN KLINIK GERIATRI

SASANA TRESNA WERDHA RIA PEMBANGUNAN CIBUBUR

PERIODE 11 Agustus 13 September 2014

PEMBIMBING :

Dr.Noer Saelan Tadjudin, Sp.KJ

Disusun oleh :

Caryn Miranda Saptari (406038032)FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

JAKARTA

2014KATA PENGANTARPuji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang dilimpahkan-Nya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus Opa SS.Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan makalah ini.

Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.Nur Saelan Tadjudin, Sp. KJ, yang telah memberikan bimbingannya selama siklus Kepaniteraan Klinik Geriatri periode 11 Agustus 13 September 2014.

Dalam menyusun karya tulis ini, penulis berdasarkan studi pustaka terhadap beberapa literatur. Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca yang ingin lebih memahami penyakit Parkinson, low vision, hipertensi, dan diabetes mellitus.

Jakarta, Agustus 2014

PenulisKASUS GERIATRIFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraSasana Tresna Werdha CibuburIDENTITAS PASIEN

Nama:Opa S S (Sumartono Sumarsidik)Tempat/tanggal lahir:Surabaya, 23 Desember 1934Jenis Kelamin:Laki-lakiSuku Bangsa:Indonesia

Agama:Islam

Pendidikan terakhir:SMAPekerjaan terakhir:Penerjemah bahasa asing KBRIStatus Perkawinan:Tidak menikahAlamat:Jl. Cabe V Kav.32, Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang

SelatanANAMNESA ( AUTOANAMNESA )

TanggalPemeriksaan:15,18, 21 Agustus 2014Keluhan Utama: Gemetaran pada kedua tanganKeluhan Tambahan : Sulit berjalan

Gangguan penglihatan

Riwayat Penyakit Sekarang:

Gemetaran pada kedua tangan dirasakan pasien sejak pasien berumur 17 tahun yaitu tahun 1971, awalnya ringan dan semakin lama semakin parah terutama akhir-akhir ini. Gemetaran dirasakan saat pasien bergerak dan beristirahat.

Pasien saat ini merasa pandangan mata kanannya sangat tidak jelas hanya dapat melihat bayangan, sedangkan pandangan mata kirinya hanya melihat bagian tengah sedangkan bagian pinggirnya berkabut, penglihatannya juga berkurang. Pasien menderita glaukoma mata kanan dan kiri sejak tahun 2010. Pasien sekarang memakai obat tetes mata Cendo Hyalub (sodium hyaluronat) 4x1 tetes.Pasien mengeluhkan kesulitan berjalan karena gangguan penglihatan dan keseimbangan. Saat ini pasien berjalan dibantu dengan tongkat (standard cane).Pasien pernah dirawat di RS Carolus pada tahun 1992 karena pingsan dan setelah diperiksa, kadar gula darahnya 545mg/dL. Pasien teratur minum obat dan sekarang mengkonsumsi Glucovance (metformin 500mg + glibenklamid 2,5 mg) 1x1 pagi hari dan Glucophage (metformin 500 mg) 1x1 pada malam hari. Saat ini gula darah pasien tidak terkontrol, walaupun sudah diberi obat. Karena pasien sulit mengatur pola makan.Pasien juga menderita hipertensi grade II, yang diketahui sejak masuk STW Karya Bakti RIA Pembangunan awal Desember 2013 ini. Tekanan darah pasien pernah mencapai 170/100 mmHg,dan sudah diberi amlodipine 5mg tab 1x1 malam hari. Saat ini tekanan darah pasien terkontrol.Pasien juga megeluh gatal di bagian kepala, alis mata, sekitar hidung, dan di bagian kantung mata. Pasien mengeluh gatal pada bagian tersebut sejak 15 Agustus 2014. Pasien sekarang mengkonsumsi dexametason 0.5 mg tablet, 2xsehari pada malam hari, dan menggunakan obat oles : cloderma 10mg + glycerin 100cc 3xsehari. Saat ini keluhan gatalnya sudah berkurang, dan sudah membaik.Riwayat makanUntuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pasien makan 3x sehari dengan mengurangi konsumsi nasi dan meningkatkan konsumsi sayur dan buah. Terkadang pasien juga mengkonsumsi roti sebagai selingan. Pasien menghindari konsumsi udang dan ikan laut karena alergi. Selama ini pasien minum air putih sebanyak 4-5 gelas sehari (300cc).Riwayat BAK Pasien biasanya BAK lebih banyak pada siang hari, tergantung banyaknya air yang diminum. Pasien biasanya BAK 2x pada malam hari.Riwayat BABPasien biasanya BAB lancar 2-3 hari sekali. Darah(-), lendir(-).

Riwayat Penyakit Dahulu

Post operasi HNP tahun 1981 di RS CarolusPost operasi glaukoma dan katarak mata kanan tahun 2010 di JEC, mata setelah operasi tidak ada perbaikan.Post operasi glaukoma dan katarak mata kiri akhir tahun 2010 di JEC, setelah operasi membaik, namun 2 bulan setelah operasi penglihatannya kembali mengalami kemunduran hingga sekarang.

Post herpes zoster oftalmika OD tahun 2010, keadaannya hingga sekarang baik.Riwayat Penyakit dalam KeluargaParkinsons Disease

: (+) ibu dan adik kembar

Glaukoma

: (+) ibu, 2 kakak perempuan dan adik kembar

Katarak

: (+) ibu, 2 kakak perempuan dan adik kembar

Diabetes Mellitus

: (+) ayahPenyakit Jantung

: (+) ayah

Hipertensi

: (-)

Asma

: (-)

Alergi Obat dan makanan : (-)/(+)Obat rutin yang dikonsumsiObat rutin yang diminum : Glucovance 2,5 mg/500 mg (glibenklamid 2,5 mg/metformin 500 mg) tab 1 x 1 Glucophage 500 mg (metformin 500mg) tab 1 x 1 Amlodipine tab 1x 5 mg tab Luften 5mg Riklona 0.5 mg mf pulv da in caps

B complex tab S 1 dd 1 Leparson 2x sehari tablet Osteoflam 2x 1 tab Neurobion 5000 1x 1 tabObat tetes mata: Cendo hyalub (sodium hyaluronat) 4x1 tetes RIWAYAT KEHIDUPAN

A. Riwayat Kehidupan Masa Lalu

Pasien lahir di Surabaya, 23 Desember 1934 sebagai anak ke 12 dari 13 bersaudara. Adik bungsu pasien merupakan kembarannya. Pendidikan dari SD sampai SMA dilaksanakan di Surabaya. Pasien pernah bekerja di KLM dan bekerja di beberapa tempat kedutaan seperti di Tunisia, Perancis, Rusia dan Belanda. Tahun 1981 pasien pernah bekerja di Hotel Borobudur, Jakarta dan terakhir bekerja di American Lounge Training sampai tahun 2006. Semenjak itu pasien tidak ada aktivitas. Pasien tinggal di kos dan pindah ke rumah Tn.Amid (anak angkat) di daerah Ciputat Baru. Pasien tidak menikah dan tidak menyesali hal ini karena ia sudah berhasil berkeliling ke negara-negara di dunia semasa hidupnya.Riwayat Kehidupan Saat Ini

Saat ini pasien hidup bersama anak angkatnya dan semua kebutuhan hidupnya ditanggung oleh keponakan dan saudara. Pasien masuk STW atas keinginan sendiri karena merasa tidak mau merepotkan keluarganya dan karena pasien tidak menikah. STATUS INTERNUS

KEADAAN UMUM (14 Mei 2014)

Tinggi badan

: 177cm

Berat badan

: 82 kg

IMT

: BB(kg) / (TB(m))2(82 / 1,772 = 26,17

( Obesitas grade I

Tekanan Darah: 140 / 70 mmHg

Nadi

: 80 x / menit

Pernafasan

: 18 x / menit

Suhu

: 36,5C

Status gizi

: overweight

Kesan umum

: Tampak baik

Usia klinik

: Sesuai

Kesadaran

: Compos MentisKEADAAN REGIONAL Kulit

: Kulit keriput, warna kulit coklat, ikterus (-), sianosis (-), kering pada bagian hidung, alis, bawah mata, dahi, gatal (+) Kepala : Bentuk bulat, tidak teraba benjolan, rambut beruban, jarang, tidak mudah dicabut Mata

: Bentuk simetris, konjungtiva anemis (-) , sklera ikterik (-) , palpebra superior et inferior edema (-), kedua pupil bulat, isokor, diameter pupil OD/OS 3mm/3mm, refleks cahaya (+) / (+), injeksi siliar -/-, arcus senilis +/+, pseudofakia +/+, VOD = 1/300, VOS = 6/21, penyempitan lapang pandang OS (-) Telinga: Bentuk normal, sekret -/-, serumen +/+, KGB pre-infra-retroaurikula tidak teraba, fungsi pendengaran baik, membran timpani baik. Hidung : Bentuk normal, tidak ada septum deviasi, sekret +/+ beningTHORAX

Pulmo Inspeksi: Simetris dalam diam dan pergerakanPalpasi

: Stem fremitus kanan dan kiri sama kuat

Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Suara dasar vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

Kesimpulan : Pulmo dalam batas normalCorInspeksi: Pulsasi ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba di ICS V midclavicula line sinistra

Perkusi: Redup

Batas atas : ICS II parasternal line sinistra

Batas kanan : sternal line dextra

Batas kiri : ICS V midclavicula line sinistra

Auskultasi : BJ I/ II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Kesimpulan : Cor dalam batas normal, tidak ditemukan kelainanABDOMENInspeksi : datar, tidak tampak gambaran vena dan usus

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar

Perkusi : Timpani

Auskultasi: Bising usus (+) 16x/menitKesimpulan : Abdomen dalam batas normal, tidak ditemukan kelainanEKSTREMITASEKSTREMITASSUPERIORINFERIOR

KananKiriKananKiri

Edema----

Deformitas----

AkralHangathangatHangatHangat

Tremor++--

Capilaryrefill time< 2 detik

Kesimpulan : kedua ekstremitassuperior tampak tremor, pada saat istirahat dan bergerakSTATUS NEUROLOGIS

1. Kesadaran

: Compos Mentis, GCS 15 (E4M6V5)

2. Tanda-tanda perangsangan meningeal: (-)

3. Tanda-tandapeningkatan TIK

: (-)

4. Pupil

:Bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, Refleks cahaya +/+5. Nn. Craniales

: Baik6. Sistem Motorik

: Baik7. Sistem Sensorik

: Baik8. Sistem Otonom

: Baik

9. Fungsi cerebellum dan koordinasi

: Baik10. Refleksfisiologis

: +/+11. Reflekspatologis

: -/-12. Tanda-tanda regresi dan demensia

: tidak ada

Kesimpulan : pada pemeriksaan didapatkan pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, Refleks cahaya +/+ STATUS MENTALIS

Deskripsi UmumPenampilan

Seorang laki-laki berusia 79 tahun, rambut jarang dan beruban, berpakaian bersih, rapi, higienis diri baik.Pembicaraan

Pasien berbicara dengan suara cukup jelas, perkataan dan kalimat jelas.Sikap terhadap pemeriksa

Pasien bersikap sangat kooperatif terhadap pemeriksa. Bicara jujur, bersahabat.Pengendalian Motorik

Terdapat resting tremor pada kedua ekstremitas atas pasien. Pasien dapat menggerakkan ekstremitas superior dan inferior dengan baik, disertai dengan tremor.Kemampuan Baca Tulis Tidak ada kesulitan dalam hal membaca, namun pasien mengalami kesulitan saat menulis karena terdapat tremor pada kedua tangannya.KEADAAN MOOD, AFEKTIF, DAN KESERASIAN

Mood

: eutimikAfek

: luasKeserasian : serasi (appropriate affect)GANGGUAN PERSEPSI DAN GANGGUAN KOGNITIF

Halusinasi Auditorik

: tidak ada

Halusinasi Visual

: tidak ada Ilusi

: tidak ada

Depersonalisasi

: tidak ada

Apraksia

: tidak ada

Agnosia

: tidak ada Pikiran1. Arus Pikir

a. Produktivitas

: cukup

b. Kontinuitas pikiran: cukup

c. Hendaya dalam bahasa: tidak ditemukan kelainan

2. Bentuk Pikir

a. Asosiasi Longgar: tidak ada

b. Ambivalensi

: tidak ada

c. Flight of Ideas

: tidak ada

d. Inkoherensi

:tidak ada

e. Verbigerasi

: tidak ada

f. Persevarasi

: tidak ada

3. Isi Pikir

a. Fobia

: tidak ada

b. Obsesi

: tidak ada

c. Kompulsi

: tidak ada

d. Ideas of referance: tidak ada

e. Waham

: tidak ada

Pengendalian Implus Pasien dapat mengendalikan emosinya.Fungsi IntelektualMemori segera : baik, pasien dapat mengulang dengan benar 3 macam benda yang disebutkan oleh pemeriksa

Memori jangka pendek : baik, pasien dapat mengingat menu sarapan dengan sempurna

Memori jangka sedang : baik. pasien ingat kapan ia mulai tinggal di STW

Memori jangka panjang: baik, pasien ingat momen-momen penting dalam hidupnyaTaraf dapat dipercayaSecara umum didapatkan bahwa pasien dapat dipercaya.Kesimpulan :status mentalis baikSHORT PORTABLE MENTAL STATUS QUESTIONER ( SPMSQ )

1. Tanggal berapa hari ini ?

Jawaban : Benar

2. Hari apa sekarang ?

Jawaban : Benar

3. Apa nama tempat ini ?

Jawaban : Benar

4. Kapan anda lahir ?

Jawaban : Benar

5. Di mana tempat anda lahir ?

Jawaban : Benar

6. Berapa umur anda ?

Jawaban : Benar

7. Berapa saudara yang anda miliki ?

Jawaban : Benar

8. Siapa nama teman di sebelah kamar anda ?

Jawaban : Benar

9. Siapa nama kakak anda ?

Jawaban : Benar

10. Kurangi 1 dari 10 dan seterusnya ?

Jawaban : BenarKesimpulan : Benar semua ( Fungsi intelektual utuh

Interpretasi hasil :

Salah 0-3: Fungsi intelektual utuh

Salah 4-5: Kerusakan intelektual ringan

Salah 6-8 : Kerusakan intelektual sedang

Salah 9-10: Kerusakan intelektual beratMINI MENTAL STATUS EXAMINATION ( MMSE )

ItemTestNilai MaxNilai

1.ORIENTASI

Sekarang (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), (hari) apa?55

2.Kita berada di mana? (Negara), (propinsi), (kota), (rumah sakit), (lantai/ kamar) ?55

3.REGISTRASI

Sebutkan 3 buahnamabenda (apel, meja, koin) tiapbenda 1 detik, kliendisuruhmengulangiketiganamabendatersebutdenganbenardancatatjumlahpengulangan33

4.ATENSI DAN KALKULASI

Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk setiap jawaban yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja kata WAHYU (Nilai diberikan pada huruf yang benar sebelum kesalahan misalnya = 2)5 5

5. MENGINGAT KEMBALI (RECALL)

Klien disuruh mengingat kembali 3 nama benda di atas33

6.BAHASAKlien disuruh menyebutkan nama benda yang ditunjukan (pensil, buku)2 2

7.Klien disuruh mengulang kata-kata: namun,tanpa,bila.1 1

8.Klien disuruh melakukan perintah: ambilkertasdengantangananda, lipatlahmenjadi 2 dan letakkan di lantai33

9.Klien disuruh membaca dan melakukan perintah pejamkan mata anda1 1

10.Klien disuruh menulis dengan spontan11

11.Klien disuruh menggambarkan bentuk di bawah ini

11

JUMLAH30

30

Skor

: Nilai 24 30 : normal

Nilai 17 23 : Probable gangguan kognitif

Nilai 0 16 : Definite gangguan kognitif

Kesimpulan : Tidak ada gangguan fungsi kognitifCLOCK DRAWING TEST ( CDT )

Komponen yang dinilaiNilai

Menggambarlingkaran yang tertutup-

Meletakan angka angka dalam posisi yang benar1

Ke 12 angka komplit1

Meletakan jarum-jarum jam dalam posisi yang tepat1

Total nilai3

Instruksi: pasien diminta membuat jam dinding bulat lengkap dengan angka-angkanya, lalu pasien diminta menggambarkan jarum jam yang menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit.

Hasil : pasien dapat melakukan sebagian besar instruksi dengan baik.Kesimpulan : tidak terdapat gangguan kognitif ataupun hemispasial neglect

DETEKSI TERHADAP DEPRESISetiap saatSeringKadang- kadangJarangTidak pernah

A. Seberapa sering dalam 1 bulan terakhir anda merasa cemas dan gelisah +

B. Seberapa sering dalam 1 bulan terakhir anda merasa tenang dan damai+

C. Seberapa sering dalam 1 bulan terakhir anda merasa sedih+

D. Seberapa sering dalam 1 bulan terakhir anda merasa bahagia+

E. Seberapa sering dalam 1 bulan terakhir anda merasa rendah diri dan tidak ada yang dapat menghibur anda+

F. Seberapa sering dalam 1 bulan terakhir anda merasa hidup ini tidak berarti lagi+

Kesimpulan :Tidak terdapat depresi.

Interpretasi hasil :

Penilaian frekuensi (F)

1 : sesekali kurang dari sekali dalam seminggu

2 : sering kira-kira sekali seminggu

3 : seringkali beberapa kali seminggu tapi tidak setiap hari

4 : sangat sering setiap hari atau terus menerus adaPenilaian Keparahan (X)

1 : ringan menyebabkan pasien sedikit tertekan

2 : sedang lebih mengganggu bagi pasien tapi dapat diatasi oleh care-giver

3 : berat sangat mengganggu bagi pasien dan sulit diatasiSkor distress :

0 : tidak ada

1 : minimal

2 : ringan

3 : sedang

4 : sedang berat

5 : sangat berat atau ekstrim

Kesimpulan: tidak ada gangguan neuropsikiatrikSTATUS FUNGSIONALA. Aktivitas kehidupan sehari hari / Indeks Katz1. Bathing

: Mandiri2. Dressing

: Mandiri 3. Toiletting

: Mandiri4. Transfering

: Mandiri5. Continence

: Mandiri 6. Feeding

: MandiriKesimpulan: Termasuk Indeks Katz AB. Aktivitas Sehari hari / ADL

MandiriMemerlukanbantuan orang lainBergantungpada orang lain

Mandi+

Transfer+

Berpakaian+

Kebersihan+

Ke toilet+

Makan+

Menyiapkanmakanan+

Mengaturkeuangan+

Mengaturpengobatan+

Menggunakantelepon+

C. Indeks ADL Barthel

FungsiNilaiKeterangan

1. Mengontrol BAB0

1

2Incontinence

Kadang-kadang incontinence

Continence teratur

2. Mengontrol BAK0

1

2Incontinence

Kadang-kadang incontinenceContinence teratur

3. Membersihkan diri

( lapmuka, sisir rambut,

sikat gigi )0

1Butuh pertolongan orang lain

Mandiri

4. Toiletting0

1

2Tergantung pertolongan orang lain

Perlu pertolongan pada beberapa aktivitas, tetapi beberapa aktivitas masih dapat dikerjakan sendiriMandiri

5. Makan0

1

2Tidak mampu

Butuh pertolongan orang lainMandiri

6. Berpindah tempat dari kursi

ke tempat tidur0

1

2

3Tidak mampu

Perlu pertolongan untuk bisa dudukBantuan minimal 2 orangMandiri

7. Mobilisasi / berjalan0

1

2

3Tidak mampu

Bisa berjalan dengan kursi roda

Berjalan dengan bantuan orang lainMandiri

8. Berpakaian0

1

2Tergantung pertolongan orang lain

Sebagian dibantuMandiri

9. Naikturuntangga01

2Tidak mampuButuh pertolonganMandiri

10. Mandi0

1Tergantung pertolongan orang lainMandiri

Total Nilai17Ketergantungan ringan

Nilai ADL :

20 : Mandiri

12-19 : Ketergantungan ringan

9-11 : Ketergantungan sedang

5-8 : Ketergantungan berat

0-4 : Ketergantungan total

D. Indeks Barthel yang dimodifikasi

1. Makan

: 10

2. Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur, sebaliknya: 15

3. Higiene personal

: 0

4. Keluar masuk toilet

: 10

5. Mandi

: 5

7. Jalan di permukaan datar

: 15

8. Naik turun tangga

: 5

9. Mengenakan pakaian

: 10

10. Kontrol Bowel (BAB )

: 10

11. Kontrol Bladder ( BAK )

: 10Kesimpulan :Indeks Barthel yang dimodifikasi = 90 (Ketergantungan Ringan) Penilaian : 100 : Mandiri

91-99 : Ketergantungan ringan61-90: Ketergantungan sedang

21-60: Ketergantungan berat

0-20: Ketergantungan total

ASPEK SOSIAL

PsikososialPasien adalah seorang laki-laki berusia 79 tahun dan lahir di Surabaya, 23 Desember 1934, suku bangsa Indonesia, tidak menikah. Pasien adalah anak ke 12 dari 13 bersaudara. Adik bungsu pasien adalah kembarannya. Pendidikan terakhir pasien adalah SMA.Pasienbekerja di KLM, kedutaan besar Tunisia, Perancis, Rusia dan Belanda, kemudian bekerja di Hotel Borobudur dan akhirnya di American Lounge Traning sampai tahun 2006. Alasan pasien ingin tinggal di STW adalah atas kemauannya sendiri dan pasien tidak menikah dan tidak ingin merepotkan saudaranya yang lain.

Selain itu pasien terkadang mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di STW. Hubungan pasien dengan keluarga baik. Anak angkat pasien terkadang mengunjungi pasien, dan keluarga lainnya biasanya berkomunikasi melalui telepon.Hubungan pasien dengan pengurus dan penghuni STW lainnya baik. Pasien dapat bergaul dan diterima dengan baik di lingkungannya.Kesimpulan : Pasien merasa senang berada di STWEmosional Sukar tidur

(-) Sering merasa gelisah

(-) Sering murung dan menangis

(-) Mempunyai masalah dan banyak pikiran(-) Menggunakan obat tidur dan penenang(-)

Cenderung mengurung diri

(-)SpiritualPasien sejak kecil beragama Islam, dan beliau masih dapat menjalankan ibadah sholat lima waktu.Kesimpulan : Tidak ada masalah spiritual.PEMERIKSAAN PENUNJANG

LABORATORIUM (29 November 2013)

HematologiHasil PemeriksaanNilai Rujukan

Hemoglobin13,613,2-17,3 g/dL

Eritrosit5 jt4.4 5.9 jt/L

Hematokrit4140-52 %

MCV8180-100 fL

MCH27,126-34 pg

MCHC3332-37 g/dL

Leukosit9.9003.800 - 10.600/L

LED440-20 mm/jam

Basofil0,50 - 20 %

Eosinofil4,32 - 4 %

Neutrofil52,750-70 %

Limfosit33,625 - 40 %

Monosit6,82 - 8 %

Trombosit348.000150.000 - 450.000/ L

GDP139 250 mg/dl, pH 300 mg/24 jam atau > 200 ig/menit pada minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi proteinuria akibat hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat glomerulus. Akibat glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced glication product yang ireversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan kemoatraktan mononuklear serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi peningkatan tekanan intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan inflamasi kronik, nefritis yang reversible akan berubah menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap dan berkembang menjadi chronic kidney disease. Neuropati diabetik

Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diangnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram, dilakukan sedikitnya setiap tahun. 2. Makroangiopati

Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak

Kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus ditingkatkan terutama untuk mereka yang mempunyai resiko tinggi seperti riwayata keluarga PJK atau DM

Pembuluh darah tepi

Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes, biasanya terjadi dengan gejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering anpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.

2.7 PenatalaksanaanTujuan pengobaan mencegah komplikasi akut dan kronik, meningkatkan kualitas hidup dengan menormalkan KGD, dan dikatakan penderita DM terkontrol sehingga sama dengan orang normal. Pilar penatalaksanaan Diabetes mellitus dimulai dari :

1. Edukasi

Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat.

2. Terapi gizi medis

Terapi gizi medik merupakan ssalah satu dari terapi non farmakologik yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi ini pada prinsipnya melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.

Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan :

1. Kadar glukosa darah yang mendekati normal

a) Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl

b) Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl

c) Kadar HbA1c < 7%

2. Tekanan darah 40 menit : makin banyak lemak dipecah 75-90% .

Dengan makin banyaknya lemak dipecah, makin banyakk pula benda keton yang terkumpul dan ini menjadi perhatian karena dapat mengarah ke keadaan asidosis. Latihan berat hanya ditujukan pada penderita DM ringan atau terkontrol saja, sedangkan DM yang agak berat, GDS mencapai > 350 mg/dl sebaiknya olahraga yang ringan dahulu. Semua latihan yang memenuhi program CRIPE : Continous, Rhythmical, Interval, Progressive, Endurance. Continous maksudnya berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa berhenti. Rhytmical artinya latihan yang berirama, yaitu otot berkontraksi dan relaksi secara teratur. Interval, dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Progresive dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringa sampai sedang hingga 30-60 menit. Endurance, latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiopulmoner seperti jalan santai, jogging dll.4. Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai degan pengaturan makanan dan latihan jasmani.

1. obat hipoglikemik oral

a. insulin secretagogue :

sulfonilurea : meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Merupakan obat pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurangm namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Contohnya glibenklamid.

Glinid : bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator. Penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.obat ini berisiko terjadinya hipoglikemia. Contohnya : repaglinid, nateglinid.

b. insulin sensitizers

Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan meningkatkan efek insulin endogen pada target organ (otot skelet dan hepar). Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga ambilan glukosa di perifer meningkat. Agonis PPAR yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan lemak.

c. glukoneogenesis inhibitor

Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga memperbaiki uptake glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Kontraindikasi pada pasien dengan gangguan ginjal dan hepar dan pasien dengan kecendrungan hipoksemia.

d. Inhibitor absorbsi glukosa

glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi glukosa di usus halus sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Obat ini tidak menimbulkan efek hipoglikemiHal-hal yang harus diperhatikan :

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan decara bertahap sesuai respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis maksimal.sulfonilurea generasi I dan II 15-30 menit sebelum makan. Glimepirid sebelum/sesaat sebelum makan. Repaglinid, Nateglinid sesaat/sebelum makan. Metformin sesaat/pada saat/sebelum makan. Penghambat glukosidase bersama makan suapan pertama. Thiazolidindion tidak bergantung jadwal makan.

2. Insulin

Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi insulin basal dan sekresi insulin prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pada sekresi insulin yang fisiologis.

Defisiensi insulin mungkin hanya berupa defisiensi insulin basa, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi nsulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.

Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi yang terjadi.

Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal berupa insulin kerja cepat (rapid insulin), kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting) atau insuli campuran tetap (premixed insulin)

Insulin diperlukan dalam keadaan : penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia yang berta disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dengan dosis yang hampir maksimal, stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan DM/DM Gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat, kontraindikasi atau alergi OHO.

3. Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah untuk kemudian diinaikan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipakai adalah kombinasi OHO dan insulin basal (kerja menengah atau kerja lama) yang divberikan pada malam hari atau menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa yag baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar gula darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti ini kadar gula darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan insulin

PENCEGAHAN

Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi program penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan kesehatan ini tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi penyakit ini, pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan primer6. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyulihan ditujukan terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan pertama dan selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian antiplatelet dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang Diabetes.

Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih menlanjut. Pada pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien dan juga kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang dapat dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap, misalnya pemberian aspirin dosis rendah80-325 mg/hari untuk mengurangi dampak mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pencegahan tersier.HIPERTENSIDEFINISI DAN PENGERTIAN HIPERTENSI

Secara umum, pengertian hipertensi adalah tekanan darah yang tinggi. Oleh karena itu, untuk dapat memahami hipertensi, maka diperlukan pengertian mengenai tekanan darah. Tekanan darah adalah suatu ukuran dari kekuatan darah yang menekan dinding pembuluh darah. Tekanan darah yang digunakan sebagai batasan dalam menentukan penyakit hipertensi adalah tekanan darah arteri. Jadi, hipertensi adalah tingginya tekanan darah yang dilihat dari kekuatan darah dalam menekan dinding pembuluh darah arteri.

Pencatatan nilai tekanan darah sistol dilakukan terlebih dahulu dan kemudian nilai tekanan darah diastol. Kedua angka ini dipisahkan oleh sebuah garis miring. Sebagai contoh, tekanan darah sistol sebesar 120 mmHg dan tekanan darah diastol sebesar 80 mmHg akan dicatat sebagai 120/80 mmHg.

Oleh karena tidak ada garis batas yang tegas antara tekanan darah yang normal dengan tekanan darah yang tinggi, definisi hipertensi ditetapkan berdasarkan kesepakatan yang mempertimbangkan risiko komplikasi penyakit kardiovaskular pada beberapa tingkat tekanan darah. Tekanan darah sistol/diastol sebesar 120/80 ditetapkan sebagai batas tekanan darah yang normal. Hal ini didapatkan dengan mempertimbangkan bahwa kenaikan risiko penyakit kardiovaskular pada orang-orang bertekanan darah di bawah 115/75 mmHg tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan orang-orang bertekanan darah di atas nilai tersebut.

Joint National Committee (JNC) (sebuah komite yang menyediakan panduan mengenai pencegahan, deteksi, evaluasi dan penanganan hipertensi), dalam laporannya yang ke-7, membuat sistem klasifikasi hipertensi sebagai berikut:Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi pada Orang Dewasa (18 tahun ke atas)

Prehipertensi bukan merupakan kategori penyakit, namun lebih merupakan penanda yang dipilih untuk mengidentifikasi individu-individu yang berisiko tinggi menjadi hipertensi.

Penanganan hipertensi berdasarkan klasifikasi yang dibuat JNC VII tidak mengelompokkan individu-individu berdasarkan ada tidaknya indikasi-indikasi tertentu (faktor risiko lain atau kerusakan organ target). Pasien-pasien hipertensi yang memiliki indikasi-indikasi tertentu akan dibahas pada bagian lain dari makalah ini. JNC VII menyarankan agar semua orang dengan hipertensi (stage 1 dan stage 2) ditangani dengan pemberian obat. Tujuan pemberian obat pada penderita hipertensi adalah agar tekanan darahnya 180/120mmHg) yang disertai dengan keadaan-keadaan disfungsi organ target atau keadaan-keadaan yang mengarah pada disfungsi organ target. Hipertensi ini memerlukan penurunan tekanan darah yang segera (tidak perlu menjadi normal) untuk mencegah atau mengurangi kerusakan organ target. Contohnya adalah ensefalopati hipertensi, perdarahan intraserebral, infark miokard akut, gagal jantung kiri akut dengan edema pulmonal, unstable angina pectoris, diseksi aneurisma aorta, dan eklamsi.

Hipertensi urgensi adalah keadaan-keadaan dengan peningkatan tekanan darah yang hebat (>180/120mmHg) tanpa disertai keadaan-keadaan disfungsi organ target atau keadaan-keadaan yang mengarah pada disfungsi organ target. Hipertensi urgensi biasanya ditandai dengan sakit kepala yang hebat, nafas pendek, epitaksis, atau kecemasan yang berlebih.

Pasien-pasien dengan hipertensi emergensi harus dirawat di ICU (intensive care unit) untuk pemantauan dan pemberian obat-obatan antihipertensi parenteral. Target terapi awal adalah menurunkan tekanan darah arteri rata-rata, tetapi tidak lebih dari 25% dalam 1 menit sampai 1 jam. Kemudian, jika tekanan darahnya stabil, target terapi adalah menurunkan tekanan darahnya sampai 160/100-110 mmHg dalam 2-6 jam berikutnya. Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba harus dihindarkan untuk mencegah terjadinya iskemia renal, serebral dan koronaria. Untuk alasan ini, nifedipin kerja singkat tidak lagi digunakan pada terapi hipertensi emergensi.

Jika target tersebut telah tercapai dan keadaan pasien telah stabil, penurunan tekanan darah berikutnya dapat dilakukan dalam 24-48 jam kemudian. Terdapat beberapa pengecualian dari penanganan di atas, yaitu:

pasien dengan stroke iskemik yang mana pemberian terapi antihipertensi secara segera masih menimbulkan perdebatan.

pasien dengan diseksi aorta yang harus menurunkan tekanan darah sistolnya di bawah 100 mmHg jika memungkinkan.

pasien yang menerima agen-agen trombolitik.

Tabel 3. Obat-obatan parenteral yang digunakan dalam penanganan hipertensi emergensi.

Evaluasi dan Pemantauan

Setelah terapi farmakologis untuk hipertensi dimulai, penderita hipertensi harus kontrol secara teratur untuk memantau perkembangannya setidaknya sebulan sekali sampai tekanan darahnya normal. Kunjungan yang lebih sering diperlukan pada penderita hipertensi derajat 2 (stage II) atau jika mempunyai komplikasi. Kadar kalium dan kreatinin serum harus dimonitor setidaknya satu atau dua kali setahun.

Setelah tekanan darah mencapai target dan stabil, kunjungan dapat dilakukan dengan interval tiga bulan sekali atau enam bulan sekali. Jika ada penyakit lain seperti gagal jantung dan diabetes, kunjungan harus lebih sering dilakukan.Tabel 4. Rekomendasi pemantauan ulang berdasarkan pemeriksaan tekanan darah awal untuk pasien tanpa kerusakan organ target.

Dermatitis Seboroik

Dermatitis seboroik merupakan penyakit inflamasi kronik yang mengenai daerah kepala dan badan di mana terdapat glandula sebasea1. Prevalensi dermatitis seboroik sebanyak 1% - 5% populasi2. Lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita1. Penyakit ini dapat mengenai bayi sampai dengan orang dewasa. Umumnya pada bayi terjadi pada usia 3 bulan sedangkan pada dewasa pada usia 30-60 tahun.

Dermatitis seboroik dan Pityriasis capitis (cradle cap) sering terjadi pada masa kanak-kanak. Berdasarkan hasil suatu survey terhadap 1116 anak-anak yang mencakup semua umur didapatkan prevalensi dermatitis seboroik adalah 10% pada anak laki-laki dan 9,5% pada anak perempuan. Prevalensi tertinggi pada anak usia tiga bulan, semakin bertambah umur anaknya prevalensinya semakin berkurang. Sebagian besar anak-anak ini menderita dermatitis seboroik ringan.

Secara internasional frekuensinya sebanyak 3-5%. Ketombe yang merupakan bentuk ringan dari dermatitis ini lebih umum dan mengenai 15 - 20% populasi.

A. Definisi

Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang sering terdapat pada daerah tubuh berambut, terutama pada kulit kepala, alis mata dan muka, kronik dan superfisial5, didasari oleh faktor konstitusi.

B. Etiologi

Etiologi dermatitis seboroik masih belum jelas, meskipun demikian berbagai macam faktor seperti faktor hormonal1, infeksi jamur, kekurangan nutrisi, faktor neurogenik diduga berhubungan dengan kondisi ini3. Menurut Djuanda (1999) faktor predisposisinya adalah kelainan konstitusi berupa status seboroik.

Keterlibatan faktor hormonal dapat menjelaskan kenapa kondisi ini dapat mengenai bayi, menghilang secara spontan dan kemudian muncul kembali setelah pubertas3. Pada bayi dijumpai kadar hormon transplansenta meninggi beberapa bulan setelah lahir dan penyakitnya akan membaik bila kadar hormon ini menurun.

Faktor lain yang berperan adalah terjadinya dermatitis seboroik berkaitan dengan proliferasi spesies Malassezia yang ditemukan di kulit sebagai flora normal3. Ragi genus ini dominan dan ditemukan pada daerah seboroik tubuh yang mengandung banyak lipid sebasea (misalnya kepala, tubuh, punggung). Selden (2005) menyatakan bahwa Malassezia tidak menyebabkan dermatitis seboroik tetapi merupakan suatu kofaktor yang berkaitan dengan depresi sel T, meningkatkan kadar sebum dan aktivasi komplemen.

Dermatitis seboroik juga dicurigai berhubungan dengan kekurangan nutrisi tetapi belum ada yang menyatakan alasan kenapa hal ini bias terjadi.

Pada penderita gangguan sistem syaraf pusat (Parkinson, cranial nerve palsies, major truncal paralyses) juga cenderung berkembang dermatitis seboroik luas dan sukar disembuhkan. Menurut Johnson (2000) terjadinya dermatitis seboroik pada penderita tersebut sebagai akibat peningkatan timbunan sebum yang disebabkan kurang pergerakan. Peningkatan sebum dapat menjadi tempat berkembangnya P. ovale sehingga menginduksi dermatitis seboroik.

Faktor genetik dan lingkungan dapat merupakan predisposisi pada populasi tertentu, seperti penyakit komorbid, untuk berkembangnya dermatitis seboroik. Meskipun dermatitis seboroik hanya terdapat pada 3% populasi, tetapi insidensi pada penderita AIDS dapat mencapai 85%. Mekanisme pasti infeksi virus AIDS memacu onset dermatitis seboroik (ataupun penyakit inflamasi kronik pada kulit lainnya) belum diketahui.

Berbagai macam pengobatan dapat menginduksi dermatitis seborok. Obat-obat tersebut adalah auranofin, aurothioglucose, buspirone, chlorpromazine, cimetidin, ethionamide, griseofulvin, haloperidol, interferon alfa, lithium, methoxsalen, methyldopa, phenothiazines, psoralens, stanozolol, thiothixene, and trioxsalen.

C. Klasifikasi dan Manifestasi Klinik

Dermatitis seboroik umumnya berpengaruh pada daerah kulit yang mengandung kelenjar sebasea dalam frekuensi tinggi dan aktif. Distribusinya simetris dan biasanya melibatkan daerah berambut pada kepala meliputi kulit kepala, alis mata, kumis dan jenggot. Adapun lokasi lainnya bisa terdapat pada dahi, lipatan nasolabial, kanalis auditoris external dan daerah belakang telinga. Sedangkan pada tubuh dermatitis seboroik dapat mengenai daerah presternal dan lipatan-lipatan kulit seperti aksila, pusar, inguinal, infra mamae, dan anogenital.

Menurut usia dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Pada remaja dan dewasa

Dermatitis seboroik pada remaja dan dewasa dimulai sebagai skuama berminyak ringan pada kulit kepala dengan eritema dan skuama pada lipatan nasolabial atau pada belakang telinga. Skuama muncul pada kulit yang berminyak di daerah dengan peningkatan kelenjar sebasea (misalnya aurikula, jenggot, alis mata, tubuh (lipatan dan daerah infra mamae), kadang-kadang bagian sentral wajah dapat terlibat. Dua tipe dermatitis seboroik dapat ditemukan di dada yaitu tipe petaloid (lebih umum ) dan tipe pityriasiform (jarang). Bentuknya awalnya kecil, papul-papul follikular dan perifollikular coklat kemerah-merahan dengan skuama berminyak. Papul tersebut menjadi patch yang menyerupai bentuk daun bunga atau seperti medali (medallion seborrheic dermatitis). Tipe pityriasiform umumnya berbentuk makula dan patch yang menyerupai pityriasis rosea. Patch-patch tersebut jarang menjadi erupsi.

Pada masa remaja dan dewasa manifestasi kliniknya biasanya sebagai scalp scaling (ketombe) atau eritema ringan pada lipatan nasolabial pada saat stres atau kekurangan tidur.

2. Pada bayi

Pada bayi, dermatitis seboroik dengan skuama yang tebal, berminyak pada verteks kulit kepala (cradle cap). Kondisi ini tidak menyebabkan gatal pada bayi sebagaimana pada anak-anak atau dewasa. Pada umumnya tidak terdapat dermatitis akut (dengan dicirikan oleh oozing dan weeping). Skuama dapat bervariasi warnanya, putih atau kuning. Gejala klinik pada bayi dan berkembang pada minggu ke tiga atau ke empat setelah kelahiran. Dermatitis dapat menjadi general. Lipatan-lipatan dapat sering terlibat disertai dengan eksudat seperti keju yang bermanifestasi sebagai diaper dermatitis yang dapat menjadi general. Dermatitis seboroik general pada bayi dan anak-anak tidak umum terjadi, dan biasanya berhubungan dengan defisiensi sistem imun. Anak dengan defisiensi sistem imun yang menderita dermatitis seboroik general sering disertai dengan diare dan failure to thrive (Leiners disese). Sehingga apabila bayi menunjukkan gejala tersebut harus dievaluasi sistem imunnya.

Menurut daerah lesinya, dermatitis seboroik dibagi tiga:

1.Seboroik kepala

Pada daerah berambut, dijumpai skuama yang berminyak dengan warna kekuning-kuningan sehingga rambut saling melengket; kadang-kadang dijumpai krusta yang disebut Pitriasis Oleosa (Pityriasis steatoides). Kadang-kadang skuamanya kering dan berlapis-lapis dan sering lepas sendiri disebut Pitiriasis sika (ketombe)5. Pasien mengeluhkan gatal di kulit kepala disertai dengan ketombe. Pasien berpikir bahwa gejala-gejala itu timbul dari kulit kepala yang kering kemudian pasien menurunkan frekuensi pemakaian shampo, sehingga menyebabkan akumulasi lebih lanjut. Inflamasi akhirnya terjadi dan kemudian gejala makin memburuk.

Bisa pula jenis seboroik ini menyebabkan rambut rontok, sehingga terjadi alopesia dan rasa gatal. Perluasan bisa sampai ke belakang telinga. Bila meluas, lesinya dapat sampai ke dahi, disebut Korona seboroik. Dermatitis seboroik yang terjadi pada kepala bayi disebut Cradle cap.

Selain kulit kepala terasa gatal, pasien dapat mengeluhkan juga sensasi terbakar pada wajah yang terkena. Dermatitis seboroik bisa menjadi nyata pada orang dengan kumis atau jenggot, dan menghilang ketika kumis dan jenggotnya dihilangkan. Jika dibiarkan tidak diterapi akan menjadi tebal, kuning dan berminyak, kadang-kadang dapat terjadi infeksi bakterial.

2.Seboroik muka

Pada daerah mulut, palpebra, sulkus nasolabialis, dagu, dan lain-lain terdapat makula eritem, yang diatasnya dijumpai skuama berminyak berwarna kekuning-kuningan. Bila sampai palpebra, bisa terjadi blefaritis. Sering dijumpai pada wanita. Bisa didapati di daerah berambut, seperti dagu dan di atas bibir, dapat terjadi folikulitis. Hal ini sering dijumpai pada laki-laki yang sering mencukur janggut dan kumisnya. Seboroik muka di daerah jenggot disebut sikosis barbe.

3.Seboroik badan dan sela-sela

Jenis ini mengenai daerah presternal, interskapula, ketiak, inframama, umbilicus, krural (lipatan paha, perineum). Dijumpai ruam berbentuk makula eritema yang pada permukaannya ada skuama berminyak berwarna kekuning-kuningan. Pada daerah badan, lesinya bisa berbentuk seperti lingkaran dengan penyembuhan sentral. Di daerah intertrigo, kadang-kadang bisa timbul fisura sehingga menyebabkan infeksi sekunder.

D. Diagnosis

1. Anamnesis

Bentuk yang banyak dikenal dan dikeluhkan pasien adalah ketombe/ dandruft. Walaupun demikian, masih terdapat kontroversi para ahli. Sebagian mengganggap dandruft adalah bentuk dermatitis seboroik ringan tetapi sebagian berpendapat lain.

2. Pemeriksaan fisik

Secara klinis kelainan ditandai dengan eritema dan skuama yang berbatas relatif tegas. Skuama dapat kering, halus berwarna putih sampai berminyak kekuningan, umumnya tidak disertai rasa gatal.

Kulit kepala tampak skuama patch ringan sampai dengan menyebar, tebal, krusta keras. Bentuk plak jarang. Dari kulit kepala dermatitis seboroik dapat menyebar ke kulit dahi, belakang leher dan belakang telinga.

Distribusi mengikuti daerah berambut pada kulit dan kepala seperti kulit kepala, dahi, alis lipatan nasolabial, jenggot dan belakang telinga. Perluasan ke daerah submental dapat terjadi.

3. Histologis

Pemeriksaan histologis pada dermatitis seboroik tidak spesifik. Dapat ditemukan hiperkeratosis, akantosis, spongiosis fokal dan paraketatosis.

Biopsi kulit dapat efektif membedakan dermatitis seboroik dengan penyakit sejenis. Pada dermatitis seboroik terdapat neutrofil dalam skuama krusta pada sisi ostia follicular. AIDS berkaitan dengan dermatitis seboroik tampak sebagai parakeratosis, nekrotik keratinosites dalam epidermis dan sel plasma dalam dermis. Ragi kadang tampak dalam keratinosites dengan pengecatan khusus.

E. Diagnosis Banding

1. Dermatitis atopik

Dermatitis atopik pada dewasa tampak pada fossa antecutabital dan poplitae.

Bayi dapat menderita dermatitis atopi predileksi terutama pada bagian tubuh tertentu (misalnya kulit kepala, wajah, daerah sekitar popok, permukaan otot ekstensor) menyerupai dermatitis seboroik. Akan tetapi dermatitis seboroik pada bayi memiliki ciri-ciri axillary patches, kurang oozing dan weeping dan kurang gatal. Membedakannnya berdasarkan gejala klinis karena kenaikan kadar immunoglobulin E pada dermatitis atopik tidak spesifik.

2. Kandidiasis

Pada pemeriksaan histologis kandidiasis menghasilkan pseudohipa.

3. Langenhan cell histiocytosis

Bayi jarang menderita Langenhan cell histiocytosis. Langenhan cell histiocytosis cirinya seborrheic dermatitis-like eruptions pada kulit kepala disertai demam.

4. Psoriasis

Pada psoriasis dijumpai skuama yang lebih tebal, kasar, berlapis-lapis, putih seperti mutiara dan tak berminyak. Selain itu ada gejala yang khusus untuk psoriasis. Tanda lain dari psoriasi seperti pitting nail atau onycholysis distal dapat untuk membantu membedakan.

5. Pitiriasis rosasea

Pitiriaris rosasea dapat terjadi eritem pada wajah menyerupai dermatitis seboroik. Meskipun rosasea cenderung melibatkan daerah sentral wajah tetapi dapat juga hanya pada dahi. Pada pitiriasis rosea, skuamanya halus dan tak berminyak. Sumbu panjang lesi sejajar dengan garis kulit.

6. Tinea

Pada tinea kapitis, dijumpai alopesia, kadang-kadang dijumpai kerion. Pada tinia kapitis dan tine kruris eritem lebih menonjuo di pinggir dan pinggirnya lebih aktif dibandingkan tengahnya (Hrahap, 2000). Tinea capitis, facei dan korporis dapat ditemukan hipa pada pemeriksaan sitologik dengan potassium hydroksida.

F. Penatalaksanaan

Terapi yang efektif untuk dermatitis seboroik yaitu obat anti inflamasi (immunomodulatory), keratolitik, anti jamur dan pengobatan alternatif.

1.Obat anti inflamasi (immunomodulatory)

Terapi konvensional untuk dermatitis seboroik dewasa pada kulit kepala dengan steroid topikal atau inhibitor calcineuron. Terapi tersebut pemberiannya dapat berupa shampo seperti fluocinolon (Synalar), solusio steroid topikal, losio yang dioleskan pada kulit kepala atau krim pada kulit.

Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh korteks adrenal yang pembuatan bahan sintetik analognya telah berkembang dengan pesat. Efek utama penggunaan kortikosteroid secara topikal pada epidermis dan dermis ialah efek vasokonstriksi, efek anti inflamasi, dan efek antimitosis. Adanya efek vasokonstriksi akan mengakibatkan berkurangnya eritema. Adanya efek anti inflamasi yang terutama terhadap leukosit akan efektif terhadap berbagai dermatoses yang didasari oleh proses inflamasi seperti dermatitis. Sedangkan adanya efek antimitosis terjadi karena kortikosteroid bersifat menghambat sintesis DNA berbagai jenis sel.

Terapi dermatitis seboroik pada dewasa umumnya menggunakan steroid topikal satu atau dua kali sehari, sering diberikan sebagai tambahan ke shampo. Steroid topikal potensi rendah efektif untuk terapi dermatitis seboroik pada bayi terletak di daerah lipatan atau dewasa pada persisten recalcitrant seborrheic dermatitis. Topikal azole dapat dikombinasikan dengan regimen desonide (dosis tunggal perhari selama dua minggu)3. Akan tetapi penggunaan kortikosteroid topikal ini memiliki efek samping pada kulit dimana dapat terjadi atrofi, teleangiectasi dan dermatitis perioral.

Topikal inhibitor calcineurin (misalnya oinment tacrolimus (Protopix), krim pimecrolimus (Elidel)) memiliki efek fungisidal dan anti inflamasi tanpa resiko atropi kutaneus. Inhibittor calcineurin juga baik untuk terapi dimana wajah dan telinga terlibat, tetapi efeknya baru bisa dilihat setelah pemberian tiap hari selama seminggu.

2.Keratolitik

Terapi lain untuk dermatitis seboroik dengan menggunakan keratolitik. Keratolitik yang secara luas dipakai untuk dermatitis seboroik adalah tar, asam salisiklik dan shampo zinc pyrithion. Zinc pyrithion memliki efek keratolitik non spesifik dan anti fungi, dapat diberikan dua atau tiga kali per minggu. Pasien sebaiknya membiarkan rambutnya dengan shampo tersebut selama lima menit agar shampo mencapai kulit kepala. Pasien dapat menggunakannya juga untuk tempat lain yang terkena seperti wajah.

3.Anti fungi

Sebagian besar anti jamur menyerang Malassezia yang berkaitan dengan dermatitis seboroik. Dosis satu kali sehari gel ketokonazol (Nizoral) dalam dua minggu, satu kali sehari regimen desonide (Desowan) dapat berguna untuk dermatitis seboroik pada wajah. Shampo yang mengandung selenium sulfide (Selsun) atau azole dapat dipakai. Shampo tersebut dapat diberikan dua sampai tiga kali seminggu. Ketokonazole (krim atau gel foaming) dan terbinfin (Lamisil) oral dapat berguna. Anti jamur topikal lainnya seperti ciclopirox (Loprox) dan flukonazole (Diflucan) mempunyai efek anti inflamasi juga.

Anti jamur (selenium sulfide, pytrithion zinc, azola, sodium sulfasetamid dan topical terbinafin) dapat menurunkan kolonisasi oleh ragi lipopilik.

4.Pengobatan Alternatif

Terapi alami menjadi semakin popular. Tea tree oil (Melaleuca oil) merupakan minyak essensial dari seak belukar Australia. Terapi ini efektif dan ditoleransi dengan baik jika digunakan setiap hari sebagai shampo 5%3.

1.Penatalaksanaan dermatitis seboroik pada kulit kepala dan daerah jenggot

Banyak kasus dermatitis seboroik di kulit kepala dapat diterapi secara efektif dengan memakai shampo tiap hari atau berselang satu hari dengan shampo anti ketombe yang mengandung 2,5 persen selenium sulfide atau 1-2 persen pyrithione zinc. Alternatif lain shampo ketoconazole dapat dipakai. Shampo sebaiknya mengenai kulit kepala dan daerah jenggot selama 5 sampai 10 menit sebelum dibilas. Shampo moisturizing dapat dipakai setelah itu untuk mencegah kerontokan rambut. Setelah penyakit dapat dikendalikan frekuensi memakan shampo dapat dikurangi menjadi dua kali seminggu atau seperlunya. Solusio topical terbinafin 1 % efektif untuk terapi dermatitis seboroik pada kulit kepala.

Jika kulit kepala tertutupi oleh skuama difus dan tebal, skuama dapat dihilangkan dengan memberikan minyak mineral hangat atau minyak zaitun pada kulit kepala dan dibersihkan dengan deterjen seperti dishwashing liquid atau shampoo tar beberapa jam setelahnya.

Skuama ekstensif dengan peradangan dapat diterapi dengan moistening kulit kepala dan kemudian memberikan fluocinolone asetonid 0,01% dalam minyak pada malam hari diikuti dengan shampo pada pagi harinya. Terapi ini dilakukan sampai dengan peradangan bersih, kemudian frekuensinya diturunkan menjadi satu sampai tiga kali seminggu. Solusio kortikostreroid, losion atau ointment dipakai satu atau dua kali sehari di tempat fluocinolon acetonid dan dihentikan pada saat gatal dan eritema hilang. Pemberian kortikosteroid dapat diulang satu sampai tiga minggu sampai gatal dan eritemanya hilang dan kemudian dipakai lagi jika diperlukan. Pemeliharaan dengan shampo anti ketombe dapat secara adekuat. Pasien dianjurkan agar memakai steroid topikal poten dengan hemat sebab pemakaian yang berlebihan dapat menyebabkan atrofi dan telangiectasi pada kulit.

Bayi sering terkena dermatitis seboroik, disebut cradle cap. Dapat mengenai kulit kepala, wajah dan intertrigo. Daerah yang terkena dapat luas tetapi kelainan ini dapat sembuh secara spontan 6-12 bulan dan tidak kambuh sampai dengan pubertas. Terapinya dapat dengan memakai shampo antiketombe. Jika skuama mencakup daerah luas pada kepala, skuama dapat dilembutkan dengan minyak yang disikan ke sikat rambut bayi kemudian dibilas.

2.Penatalaksanaan pada wajah

Daerah pada wajah yang terkena dapat sering di cuci dengan shampo yang efektif untuk seborik. Alternatif lain dapat dipakai kream ketokonazone 2%, diberikan 1-2 kali. Hidrokortison 1% sering kali diberikan 1-2 kali dan akan menghasilkan proses resolusi eritema dan gatal. Losion Sodium sulfacetamide 10% juga efektif sebagai agen topikal untuk dermatitis seboroik.

3.Penatalaksaan pada tubuh

Dapat diterapi dengan zinc atau shampo yang mengandung tar batu bara atau dengan dicuci dengan sabun yang mengandung zinc. Sebagai tambahan dapat dipakai krim ketokonazole 2 % dan atau krim kortikosteroid, losion atau solusion yang dipakai 1-2 kali sehari. Benzoil peroksida dapat dipakai untuk dermatitis seboroik pada tubuh. Pasien harus membilas secara menyeluruh setelah pemakaian zat tersebut.

4.Penatalaksanaan dermatitis seboroik berat

Pada pasien dengan dermatitis seboroik berat yang tidak responsif dengan terapi topikal yang biasa dapat di terapi dengan isotretionoin. Isotretinoin dapat menginduksi pengecilan glandula sebasea sampai dengan 90% dengan mengurangi produksi sebum. Isotretinoin juga dapat dipakai sebagai anti inflamasi. Terapi dengan isotretinoin 0,1 0,3 mg/ kg BB/ hari dapat memperbaiki dermatitis seboroiknya. Kemudian dosis pemeliharaan 5-10 mg/ hari efektif untuk beberapa tahun. Akan tetapi isotretinoin memiliki efek samping serius, yaitu teratogenik, hiperlipidemia, neutropenia, anemia dan hepatitis. Efek samping mukokutaneus mencakup khelitis, xerosis, konjungtivitis, uretritis dan kehilangan rambut. Penggunaan jangka panjang berhubungan dengan perkembangan diffuse idiopathic skeletal hyperostosis (DISH).

Pendekatan lain pada pasien yang sulit dengan mencoba berbagai macam kombinasi yang berbeda dari obat-obat yang biasa dipakai: shampo anti ketombe, anti jamur dan steroid topikal. Jika ini gagal dapat dipakai steroid topikal poten jangka pendek . Pilihan terapinya mencakup steroid kelas III non fluorinate seperti mometasone furoate (Elocon) atau menggunakan steroid ekstra poten kelas I atau steroid topikal kelas II seperti clobetasol propionate (Temovate) atau fluocinonude (Lidex). Steroid topikal kelas III harus dipakai lebih dulu, tetapi jika masih tidak resposif dapat menggunakan kelas I. Obat tersebut dapat diberikan satu sampai dua kali sehari, bahkan untuk wajah, tetapi harus dihentikan setelah dua minggu sebab terjadinya peningkatan efek samping. Jika pasien respon sebelum dua minggu, obat harus di stop sesegera mungkin.

Sebagian besar kortikosteroid tersedia sebagai solusio, losion, kream dan ointment. Penggunaan vehikulum ini tergantung pasien dan lokasi terapi. Losion dan kream sering digunakan pada wajah dan tubuh sedangkan solusio dan ounment sering digunakan pada kulit kepala. Umumnya pemakaian solusio kulit kepala lebih dipilih pada orang kulit putih dan asia, untuk orang kulit hitam mungkin terlalu kering, ointment merupakan pilihan yang lebih baikDAFTAR PUSTAKA1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2001. Jakarta : 2002.

2. Fisher NDL, Williams GH. Hypertensive vascular disease. In : Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, et all, editors. Harrisons principle of internal medicine. 16th edition. New York : McGraw Hill; 2005. p. 1463-80.

3. U.S. Department of Health and Human Services. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. National Institute of Health : 2004.4. Bickley LS. Bates Guide to physical examination and history taking. 8th edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2003.p.75-80.5. Beevers G, Lip GYH, OBrien E. ABC of hypertension : Blood pressure measurement. BMJ. 2001;322:1043-7.

6. Lane DA, Lip GYH. Ethnic differences in hypertension and blood pressure control in th UK. Q J Med. 2001; 94:391-6.

7. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1857.

8. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis dan strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1906.

9. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 201110. Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.

11. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. 2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta. 2006

12. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1920

13. Faye EE. Low Vision. Duanes Clinical Ophthamology, Volume 1, Chapter 46, 2004, p.1-46

14. American Academy Of Ophthamology. Vision Rehabilitattion. Clinical Optics, Secsion 3, Chapter 8, 2008-2009, p.243-267

15. Faye EE. Penglihatan Kurang. Oftalmologi Umum. Edisi 14, Bab 22, p.415-423

16. Flecther DC. Low Vision rehabilitation. Ophthamology Monographs, American Academy of Ophthamology, 1999, p.1-133

17. Kageyama JY, Chun MW. Video-Based Low Vision Devicecs. Duanes Clinical Ophthamology, Volume 1, Chapter 46A, 2004, p.1-818. American Academy of Ophthamology. Optics of Human Eye. Clinical Optics, Section 3, Chapter 3, 2008-2009, p.105-11519. Chang DF. Pemeriksaan Oftalmologik. Oftalmologi Umum. Edisi 14, Bab 2, p.52ORGAN

PATIENT

KLASIFIKASI DIABETES MELITUS PERKENI 1998

DM GESTASIONAL

DM TIPE LAIN :

1. Defek genetik fungsi sel beta :

Maturity onset diabetes of the young

Mutasi mitokondria DNA 3243 dan lain-lain

2. Penyakit eksokrin pankreas :Pankreatitis

Pankreatektomy

3.Endokrinopati : akromegali, cushing, hipertiroidisme

4.akibat obat : glukokortikoid, hipertiroidisme

5.Akibat virus: CMV, Rubella

6.Imunologi: antibodi anti insulin

7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, Klinefelter

DM TIPE 2 :

Defisiensi insulin relatif :

1, defek sekresi insulin lebih dominan daripada resistensi insulin.

2. resistensi insulin lebih dominan daripada defek sekresi insulin.

DM TIPE 1:

Defisiensi insulin absolut akibat destuksi sel beta, karena:

1.autoimun

2. idiopatik

Kepaniteraan Klinik Geriatri

STW Ria Pembangunan Cibubur

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

31