case rmr wainem fix
DESCRIPTION
mmmmTRANSCRIPT
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. W
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 55 tahun
Alamat : Ngrayun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Buruh tani
Tanggal masuk RS : 8 April 2015
Tanggal pemeriksaan : 9 April 2015
Tanggal Operasi : 9 April 2015
II. ANAMNESA
A. Keluhan utama :
Nyeri perut kanan bawah
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada perut kanan bawah yang
sudah sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri yang
dirasakan hilang timbul terutama pada saat sedang berjalan. Nyeri
tersebut terkadang menjalar ke ulu hati dan perut bagian kiri. Nyeri
perut yang dirasakan pasien membuat pasien sulit tidur pada malam
hari. Sebelum datang ke rumah sakit, pasien sudah berobat ke mantri
tetapi tidak ada perbaikan.
Pasien kadang merasakan mual, nafsu makan menurun, dan
demam. Tidak terdapat rasa ingin muntah. BAK normal, tidak nyeri,
warna kuning jernih. BAB normal, tidak nyeri, warna kuning
kecoklatan.
1
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Hipertensi : ya
Riwayat Penyakit Jantung/Paru : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat Sakit Ginjal/Liver : disangkal
Riwayat Maag : ya
Riwayat Operasi sebelumnya : disangkal
Riwayat sakit serupa : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Alergi dalam keluarga : disangkal
Riwayat Asma dalam keluarga : disangkal
Riwayat Hipertensi dalam keluarga : ibu mengalami hipertensi
Riwayat DM dalam keluarga : disangkal
E. Anamnesis Sistem
Sistem Serebrospinal : Pusing (-), Demam (-)
Sistem Respirasi : Batuk (-), Pilek (-), Sesak napas (-)
Sistem Kardiovaskuler : Nyeri dada (-), Pucat (-)
Sistem Digestivus : Mual (+), Muntah (-), BAB lancar
Sistem Urogenital : BAK lancar, Nyeri berkemih (-)
Sistem Muskuloskeletal : nyeri sendi (-) dan nyeri otot (-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 9 April 2015 di bangsal
Flamboyan RSUD Dr Harjono Ponorogo.
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Status Gizi : Obesitas
2
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6
Vital Sign :
TekananDarah : 160/80mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 22x/menit
Suhu : 37,3oC per axilla
B. Pemeriksaan fisik
a) Kepala/Leher
Jejas (-),nyeri tekan (-), hematom (-), rhinorea (-), pembesaran
kelenjar getah bening (-).
b) Mata
Konjungtiva : Anemis(-/-)
Sklera : Ikterus(-/-)
Pupil : Reflek cahaya (+/+), isokor (+/+)
Palpebra : Edema (-/-)
c) Thoraks
Dinding thoraks : Jejas (-)
Paru
- Inspeksi : Gerakan pernafasan simetris kanan dan kiri
- Palpasi : Ketinggalan gerak (-), Fremitus (N)
- Perkusi :
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), rhonki(-/-),
wheezing (-/-)
3
Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
- Palpasi : Iktus kordis teraba kuat angkat pada SIC V
sinistra sisi medial linea midclavicula
sinistra
- Perkusi : Batas jantung tidak membesar
Batas kiri jantung
Atas : SIC II sinistra di sisi lateral linea
parasternalis sinistra.
Bawah : SIC V sinistra di sisi medial linea
midclavicula sinistra.
Batas kanan jantung
Atas : SIC II dextra di sisi lateral linea
parasternalis dextra.
Bawah : SIC IV dextra di sisi lateral linea
parasternalis dextra.
- Auskultasi : Suara Jantung I-II regular, Bising jantung
tidak ditemukan.
d) Abdomen
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) N
Perkusi : Timpani pada 4 kuadran abdomen (+)
Palpasi : Nyeri tekan (+) titik Mc Burney, Rovsing sign
(+), Psoas sign (+), Obturator sign (+), teraba
masa pada regio iliaka kanan.
e) Ekstremitas
Atas : edema tidak ditemukan, akral hangat.
Bawah : edema tidak ditemukan, akral hangat.
4
C. Status Lokalis
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) N
Perkusi : Timpani pada 4 kuadran abdomen (+)
Palpasi : Nyeri tekan (+) titik Mc Burney, Rovsing sign
(+), Psoas sign (+), Obturator sign (+), teraba
masa pada regio iliaka kanan.
RESUME PASIEN
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada perut kanan bawah yang
sudah sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri yang
dirasakan hilang timbul terutama pada saat sedang berjalan dan
terkadang menjalar ke ulu hati dan perut bagian kiri. Sebelum masuk
rumah sakit, pasien sudah berobat ke mantra namun tidak ada
perubahan.
Pasien merasakan nafsu makan menurun dan sedikit demam. BAK
normal, tidak nyeri, warna kuning jernih. BAB normal, tidak nyeri,
warna kuning kecoklatan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran
compos mentis. Tekanan darah 160/80, nadi 90x / menit, RR 22x/menit
dan suhu tubuh per axiler 37,3 0C. Pada pemeriksaan regio kepala,
leher, thorax dan ekstremitas dalam batas normal. Pemeriksaan
abdomen pada inspeksi terlihat abdomennya normal, auskultasi
terdengar bising usus yang normal, palpasi pada abdomen terdapat
nyeri pada titik Mc. Burney dan teraba massa pada regio iliaka kanan,
psoas sign (+), rovsing sign (+), dan obturator sign (+).
Hasil pemeriksaan penunjang pada pemeriksaan darah lengkap
didapatkan hasil leukosit yang meningkat yaitu, 17000 dan pada
5
pemeriksaan USG abdomen didapatkan abses atau masa pada regio
iliaka kanan.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Darah Lengkap
Parameter Hasil Nilai Normal
WBC 17,3 x 103 /µL 4.0 – 10.0 103 /µL
Lymph# 1,2 x103 /µL 0.8 – 4.0 103 /µL
Mid# 0,9 x 103 /µL 0.1 – 0.9 103 /µL
Gran# 15,2 x 103 /µL 2.0 – 7.0 103 /µL
Lymph% 7,1 % 20.0 – 40.0 %
Mid% 5,2 % 3.0 – 9.0 %
Gran% 87,7 % 50.0 – 70.0 %
HGB 13,1 gr/Dl 11.0 – 16.0 gr/dL
RBC 4,82 x 106 /µL 3.5 – 5.5 103 /µL
HCT 38,8 % 37.0 – 50.0 %
MCV 80,5 Fl 82.0 – 95.0 fL
MCH 27,2 Pg 27.0 – 31.0pg
MCHC 33,8 gr/dL 32.0 – 36.0 gr/dL
RDW – CV 13,6 % 11.5 – 14.5 %
RDW – SD 44,1 fL 35.0 – 56.0fL
PLT 369 x103/µL 100 – 300 . 103
CT 9 menit 5-11menit
BT 3 menit 1 – 5 menit
GDA 150 < 140 mg/dl
DBIL 0,19 mg/dl 0-0,35 mg/dl
TBIL 0.86 mg/dl 0,2- 1,2 mg/dl
SGOT 27,5 U/l 0-38 U/l
SGPT 12,4 U/l 0-40 U/l
ALP 243 U/l 98-279 U/l
Gamma GT 33,4 U/l 10-54 U/l
TP 7 g/dl 6,6-8,3 g/dl
6
ALB 3,7 g/dl 3,5-5,5 g/dl
Glob 3,3 g/dl 2-3,9 g/dl
UREA 25,34 mg/dl 10-50 mg/dl
CREATININ 1, 01 mg/dl 0,7-1,4 mg/dl
UA 6,2 mg/dl 3,4-7 mg/dl
Kesan : leukositosis
B. Pemeriksaan ECG
Kesan : ECG dalam batas normal
C. Pemeriksaan USG Abdomen
7
8
Kesan : Terdapat abses pada appendiks
V. ASSESMENT/ DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis kerja : Periappendikular Infiltrate
Diagnosis post operasi : Periappendikular Infiltrate
Diagnosis banding : Gastroenteritis, KET, Limfadenitis Mesenterica,
Divertikulosis Meckel
VI. PLANNING
a. Planning Diagnosis : Pemeriksaan darah lengkap, USG abdomen
b. Planning Terapi
Medikamentosa :
1. Infuse RL 20 tpm
2. Meropenem 2 x 1
3. Metronidazole 3 x 500
4. Ketorolac 2 x 30
5. Ranitidine 2 x 1
Operasi : Laparotomi Appendektomi
VII. FOLLOW UP
1. H+1 pasien MRS (tanggal 9 April 2015)
S : Pasien mengeluh nyeri pada perut kanan bawah, nyeri kadang
menjalar hingga ulu hati, untuk berjalan terasa nyeri pada perut
kanan bawah, mual dan muntah (-), BAB (+), BAK (+).
O : KU : Baik
TD : 160 / 80
N : 80x / menit
S : 37,3 °C
Status Lokalis Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
9
Auskultasi : peristaltik (+) N
Palpasi : nyeri tekan pada titik Mc. Burney, teraba massa pada
regio iliaka kanan.
Perkusi : timpani pada 4 kuadran abdomen
A : Susp. Periappendicular Infiltrat (PAI)
P : USG Abdomen, Infus RL 20 tpm, persiapan operasi (puasa).
2. H +2 pasien post OP Laparotomi appendektomi ( tanggal 11 April
2015)
S : Pasien mengeluh meras nyeri pada bekas operasi, flatus (+), belum
BAB, BAK (+), mual muntah (-), kembung (-).
O : KU : Baik
TD : 160/100
N : 84x / menit
S : 36,5°C
Status Lokalis :
Perdarahan bekas operasi (-), jahitan (+), Drain : ± 2 cc
Urine : ± 200 cc
A : Post operasi hari ke 2 et causa Periappendicular Infiltrate
P : Rawat Luka
Infus RL 20 tpm
Meropenem 2x1
Metronidazole 3x500
Ketorolac 2x30
Ranitidine 2x1
3. H+3 pasien post OP ( tanggal 12 April 2015)
S : Pasien mengeluh nyeri pada bekas operasi, belum BAB, flatus (+),
mual muntah (-)
O : KU : Baik
TD : 180/100 mmHg
N : 80x/minute
10
S : 36°C
Status Lokalis :
Luka sedikit nyeri, jahitan (+), perdarahan (-), pus (-), drainase
darah (+) ±1cc, urine normal.
A : Post op hari ke 3 et causa Periappendicular Infiltrat
P : Rawat Luka
Infuse 20 tpm
Meropenem 2x1
Metronidazole 3x500
Ketorolac 2x30
Ranitidine 2x1
4. H+4 Post Operasi (tanggal 13 April 2015)
S : Pasien mengeluh sedikit nyeri bekas operasi, BAB (+), BAK (+)
O : KU : Baik
TD : 170/100
N : 80x / menit
S : 36°C
Status Lokalis :
Perdarahan pada bekas operasi (-), pus (-), jahitan (+), drainase
darah (-).
A : Post operasi hari ke 4 et causa Periapendicular Infiltrat
P : Rawat Luka
Rencana pulang
Infus RL 20 tpm
Meropenem 2x1
Metronidazole 3x500
Ketorolac 2x30
Ranitidine 2x1
BAB II
11
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Appendisitis adalah infeksi bakterial pada appendiks vermiformis
karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan
limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama
appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena
parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius
vermikularis.
Periappendicular Infiltrat (PAI) adalah proses radang apendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan
peritoneum disekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal mass).
Umumnya massa apendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan
mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum.
2.2 Anatomi
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan
panjang kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm) dan berpangkal di sekum.
Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Namun, pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya
dan menyempit kea rah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insidens appendicitis pada usia tersebut.
12
Gambar 1. Appendix normal dan appendix inflamasi
Letak basis appendiks berada pada posteromedial sekum pada
pertemuan ketiga taenia koli, kira-kira 1-2 cm di bawah ileum. Dari ketiga
taenia tersebut terutama taenia anterior yang digunakan sebagai penanda
untuk mencari basis appendiks. Basis apendiks terletak di fossa iliaka
kanan, bila diproyeksikan ke dinding abdomen, terletak di kuadran kanan
bawah yang disebut dengan titik Mc Burney.
Pada 65 % kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
13
panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon
asendens, atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis
ditentukan oleh letak apendiks. Terdapat beberapa posisi letak apendiks,
yaitu : retrocaecal, subcaecal, precaecal, pelvical, promontoric, pre illeal,
dan post illeal.
Gambar 2. Posisi appendix
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang
mengikuti a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri
visceral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus. Pendarahan
apendiks berasal dari a. apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami gangrene.
14
2.3 Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara
normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada
patogenesis appendicitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh
Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang
saluran cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A).
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu
mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi
enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan
appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan
sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan
seluruh tubuh.
2.4 Epidemiologi
Insidensi appendisitis di negara maju lebih tinggi daripada di
negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya
menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Appendicitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun
jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,
setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya
sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.
2.5 Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fecalith
merupakan penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya
adalah hipertrofi jaringan limfoid, diet rendah serat, dan cacing usus
termasuk ascaris. Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan
apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.
Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
15
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan mempermudah
terjadinya apendisits akut.
2.6 Patofisiologi
Obstruksi lumen apendik yang tertutup disebabkan oleh hambatan
pada bagian proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal
dari mukosa apendik. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut
makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen.
Tekanan tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi
bakteri. Infeksi menyebabkan edema pada apendik dan iskemik. Bila
sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat sehingga
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini
disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan
terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local
yang disebut Periappendicular Infiltrat. Peradangan apendiks tersebut
dapat menjadi abses atau menghilang.
Periappendicular Infiltrat merupakan tahap patologi apendisitis
yang dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks
16
dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh
dengan membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan
omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses
yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis
akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna,
tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan
berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang
akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.
2.8 Manifestasi klinis
Appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut
yang kemudian disertai adanya massa yang nyeri pada bagian regio iliaka
kanan massa periapendikular.
Gejala klasik appendicitis adalah nyeri samar – samar dan tumpul
yang merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilicus.
Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah, nafsu makan
semakin menurun, dan demam. Dalam waktu beberapa jam nyeri akan
berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney.
17
Disini nyeri terasa lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatic setempat. Kadang tidak terdapat nyeri
epigastrium. Bila terdapat perangsangan peritoneum, pasien biasanya
mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.
2.9 Diagnosis
a. Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis pada apendisitis didasarkan atas anamnesis
ditambah dengan pemeriksaan laboratorium sarta pemeriksaan penunjang
lainnya. Gejala appendisitis ditegakkan dengan anamnesis, ada 4 hal
penting yaitu :
o Nyeri mula – mula di epigastrium ( nyeri visceral ) yang
beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah.
o Muntah oleh karena nyeri visceral
o Demam
o Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan,
penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan pada
daerah perut.
18
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk
dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi
perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat
pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut
kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.
2) Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus
paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis
perforata.
3) Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal yaitu:
o Nyeri tekan (+) Mc. Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau
titik Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
o Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang
hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan
bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan, setelah
sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam
dititik Mc Burney.
o Defans muskuler(+) karena rangsangan M.Rektus Abdominis
19
Defans muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen
yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal.
Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin
tidak ada, yang ada nyeri pinggang.
4) Perkusi : timpani pada ke 4 kuadran abdomen (+)
c. Pemeriksaan khusus/tanda khusus
Rovsing sign
Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah,
karena tekanan merangsang peristaltic dan udara usus, sehingga
menggerakkan peritoneum sekitar appendix yang meradang
(somatic pain)
Blumberg sign
Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah
atau kolateral dari yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan
terasa nyeri pada kuadran kanan bawah karena iritasi peritoneal
pada sisi yang berlawanan.
Psoas sign
Dilakukan dengan rangsangan muskulus psoas. Cara memeriksa :
Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa,
psoas sign (+) bila terasa nyeri perut kanan bawah.
20
Gambar 3. Cara melakukan Psoas Sign
Obturator sign
Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul atau articulation
coxae. Obturator sign (+) bila terasa nyeri di perut kanan bawah.
21
Gambar 4. Cara melakukan Obturator Sign
d. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
o Pemeriksaan darah : pada laboratorium darah terdapat
leukositosi ringan ( 10.000 – 18.000/mm3) yang didominasi
>75% oleh sel Polimorfonuklear (PMN), netrofil (shift to the
22
left) dimana terjadi pada 90% pasien. Hal ini biasanya terdapat
pada pasien dengan akut appendisitis dan apendisitis tanpa
komplikasi. Sedangkan leukosit >18.000/ mm3 meningkatkan
kemungkinan terjadinya perforasi apendiks dengan atau tanpa
abses. Pada periappendicular infiltrate terdapat peningkatan
LED.
2) USG
Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan
diagnosis appendisitis. Tekniknya tidak mahal, dapat dilakukan
dengan cepat, tidak invasif, tidak membutuhkan kontras dan dapat
digunakan pada pasien yang sedang hamil karena tidak
mengganggu paparan radiasi. Secara sonografi, appendiks
diidentifikasikan sebagai “blind end”, tanpa peristaltik usus.
Kriteria sonografi untuk mendiagnosis appendisitis akut adalah
adanya noncompressible appendiks sebesar 6 mm atau lebih pada
diameter anteroposterior, adanya appendicolith, interupsi pada
kontinuitas lapisan submukosa, dan cairan atau massa
periappendiceal. Temuan perforasi appendisitis termasuk cairan
pericecal loculated, phlegmon (sebuah definisi penyakit lapisan
struktur dinding appendiks) atau abses, lemak pericecal menonjol,
dan kehilangan keliling dari layer submukosa.
False (+) dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba falopii
dan pada pasien yang obese hasilnya bisa tidak akurat,
divertikulum Meckel, divertikulitis cecal, penyakit radang usus,
penyakit radang panggul, dan endometriosis. Sedangkan false (-)
didapatkan pada appendiks.
23
3) Scoring Appendisitis
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek appendisitis akut dibuat skor alvarado
dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu : skor <6 dan skor >6.
Selanjutnya dilakukan appendektomi, setelah operasi dilakukan
pemeriksaan PA terhadap jaringan apendiks dan hasilnya
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu : radang akut dan bukan
radang akut.
Keterangan Alvarado score :
Interpretasi dari Modified Alvarado Score :
1 – 4 sangat mungkin bukan appendisitis akut
5 – 7 sangat mungkin appendisitis akut
8 – 10 pasti appendisitis akut
24
Penanganan berdasarkan skor Alvarado :
1 – 4 : observasi
5 – 7 : antibiotik
8 – 10 : operasi dini
2.10 Diagnosis Banding
a. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit.
Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik
sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol
dibandingkan dengan appendisitis.
b. Limfadenitis mesenterica
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan
nyeri perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai
dengan perasaan mual-muntah.
c. Peradangan pelvis
Tuba Fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang
kedua organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis
atau adnesitis. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan
riwayat kontak seksual. Suhu biasanay lebih tinggi daripada
appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Biasanya
disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus diayunkan
maka akan terasa nyeri.
d. Kehamilan Ektopik
25
Adanya riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak
menentu. Jika terjadi ruptur tuba atau abortus diluar rahim dengan
perdarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis
dan mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan colok
vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan kavum douglas, dan pada
kuldosentesis akan di dapatkan darah.
e. Diverticulitis Meckel
Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi
kadang-kadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi
peradangan dan ruptur pada diverticulum gejala klinis akan sukar
dibedakan dengan gejala-gejala appendisitis.
f) Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal
kanan merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan.
Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan
penyakit tersebut.
2.11 Komplikasi
a. Perforasi
Keterlambatan diagnosis, merupakan faktor utama yang berperan
dalam terjadinya perforasi apendiks. Insidens perforasi pada penderita di
atas usia 60 tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang mempengaruhi
tingginya insidens perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar,
keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa
penyempitan lumen dan arteriosklerosis. Inidens tinggi pada anak
disebabkan oleh dinding apendiks yang masih tipis, anak kurang
komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis dan proses
26
pendindingan kurang sempurna akibat perforasi yang cepat dan omentum
anak belum berkembang.
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang
ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh
perut dan perut menjadi tenggang dan kembung. Nyeri tekan dan defans
muskuler terjadi di seluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum
maksimum di regio iliaka kanan, peristaltik usus dapat menurun sampai
menghilang akibat adanya ileus paralitik.
Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang panjang, supaya
dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun
pengeluaran fibrin yang adekuat secara mudah serta pembersihan kantong
nanah.Akhir-akhir ini, mulai banyak dilaporkan pengelolaan apendisitis
perforasi secara laparoskopi apendiktomi.Pada prosedur ini, rongga
abdomen dapat dibilas dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak berbeda
jauh dibandingkan dengan laparotomi terbuka.
b. Appendicular infiltrat
Appendicular infiltrat adalah Appendicular infiltratadalah
infiltrat/massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari
Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus
halus atau usus besar.Umumnya massa Appendix terbentuk pada hari ke-4
sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa
Appendix lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih
karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum
telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.
2.12 Penatalaksanaan
Pada massa periapendikuler yang perdindingannya belum
sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum, jika
27
perforasi, diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu disarankan
massa periapendikuler yang masih bebas (mobile) segera dioperasi.
Pada massa periapendikuler yang terfiksir dan perdindngan sempurna,
pada dewasa dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh,
ukuran massa dan luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa
periapendikuler hilang dan leukosit normal, (yang disebut stadium afroid)
penderita dapat dioperasi elektif 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi akan
terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi
nadi, bertambahnya nyeri dan pembengkakan massa dan kenaikan leukosit.
Apendektomi direncanakan pada infiltrat apendikuler tanpa pus yang
ditenangkan. Sebelumnya pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang yaitu sekitar
6-8 minggu, dilakukan apendektomi. Jika sudah jadi abses dianjurkan drainase
saja. Apendektomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika tidak ada
keluhan apapun, dan pemerikasaan fisik maupun laboratorium tidak ada
radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.
Pasien ini dilakukan terapi konservatif dan baru dilakukan
laparotomi appendiktomi setelah 6 minggu. Appendik ditemukan menebal,
inflamasi dengan mengalami perlengketan dalam jaringan peri-
appendicular.Terapi konservatif dilakukan sampai pada stadium tenang
(afroid). Stadium Afroid (tenang) yaitu pada saat massa mengecil/ hilang,
nyeri tekan hilang, suhu normal, dan LED < 30 mm/ jam.
Terapi konservatif kemudian operasi elektif (Infiltrat):
- Bed rest total posisi Fowler (anti Trandelenburg)
- Diet rendah serat
- Antibiotika yang massif, Metronidazol.
28
- Metronidazol
- Monitor : Infiltrat, tanda2 peritonitis(perforasi), suhu tiap 6 jam,
LED, AL -> bila baik -> mobilisasi -> pulang
Indikasi dilakukan terapi konservatif:
1. Peningkatan nadi pada tahap awal
2. Demam yang menetap lebih dari 36 jam
3. Nyeri yang menetap
4. Peningkatan ukuran massa pada area yang mengalami nyeri tekan
5. Adanya fluktuasi, atau oedema (namun jarang) dan kemerahan pada kulit
6. Adanya obstruksi usus yang berat.
Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua pasien dengan
apendisitis, antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi
apendisitis. Pemberian antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai
pembedahan. Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya sebelum ada
biakan kuman. Pemberian antibiotika untuk infeksi anaerob sangat berguna
untuk kasus-kasus perforasi apendisitis . Antibiotika diberikan selama 5 hari
setelah pembedahan atau melihat kondisi klinis penderita. Kombinasi
antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob spektrum luas
diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin
(100mg/kg), gentamisin (7,5mg/kg) dan klindamisin (40mg/kg) dalam dosis
terbagi selama 24 jam cukup efektif untuk mengontrol sepsis dan
menghilangkan komplikasi apendisitis perforasi. Metronidazol aktif terhadap
bakteri gram negatif dan didistribusikan dengan baik ke cairan tubuh dan
jaringan. Obat ini lebih murah dan dapat dijadikan pengganti klindamisin.
Keputusan pembedahan mudah diambil saat pasien dalam waktu 8-
10 hari dengan nyeri, pembengkakan naik-turun di fossa iliaka kanan, bisa
juga terdapat pus dan dapat dikeluarkan melalui insisi kecil pada tempat yang
utama. Masalah pembedahan yang utama timbul pada pasien pada hari ketiga
hingga kedelapan saat appendik telah melekat ke jaringan sekitarnya yang
29
dapat rusak selama proses appendiktomi yang sulit dengan adanya
kemungkinan perluasan sepsis intraperitoneal. Terapi lain yang dapat diajukan
adalah terapi konservatif atau non-operatif. Idealnya dilakukan saat pasien
punya riwayat appendicitis akut selama tiga hari atau lebih, saat tidak adanya
gannguan sistemik dan saat massa local dengan nyeri tekan terbatas pada fossa
iliaka kanan dan saat obstruksi usus tidak ada. Jika tidak ada indikasi
pengobatan konservatif maka dapat dikontrol dengan pemberian cairan
intravena dan gastric suction.
Pembedahannya adalah dengan apendektomi, yang dapat dicapai
melalui insisi Mc Burney . Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut
dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui
laparotomi.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.
2. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition. Mc-Graw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic Publication.
3. Tzanakis NE, Efstathiou SP, Danulidis K, et al. A new approach to accurate diagnosis of acute appendicitis. World J Surg. Sep 2005;29(9):1151-6, discussion 1157.
4. Alvarado A. A practical score for the early diagnosis of acute appendicitis. Ann Emerg Med. May 1986;15(5):557-64
5. Bickell NA, Aufses AH, Rojas M. How time affects the risk of rupture in appendicitis. J Am Coll Surg. Mar 2006;202(3):401-6.
6. Abou-Nukta F, Bakhos C, Arroyo K, et al. Effects of delaying appendectomy for acute appendicitis for 12 to 24 hours. Arch Surg. May 2006;141(5):504-6; discussioin 506-7.
7. Liang MK, Lo HG, Marks JL. Stump appendicitis: a comprehensive review of literature. Am Surg. Feb 2006;72(2):162-6.
8. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
9. Owen TD, Williams H, Stiff G, Jenkinson LR, Rees BI. Evaluation of the Alvarado score in acute Appendicitis. Retrieved at June 25th 2007. From: http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?artid=1294889&blobtype=pdf
10. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34
31