chapter ii 15

24
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes melitus Diabetes adalah suatu penyakit kronis yang terjadi akibat kurangnya produksi insulin oleh pankreas atau keadaan dimana tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi dengan efektif. Hiperglikemia atau peninggian kadar gula darah adalah suatu efek yang sering dijumpai pada diabetes yang tidak terkontrol dan jika dibiarkan, dalam jangka masa panjang dapat menyebabkan kerusakan pelbagai sistem tubuh terutama sistem persarafan dan pembuluh darah (WHO, 2006). Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, k erja insulin, atau kedua-duanya (ADA, 2010). Diabetes melitus adalah suatu kumpulan kelainan metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang disebabkan oleh karena adanya defisiensi insulin baik relatif maupun absolut. (Colledge et al, 2006). Berdasarkan kriteria diagnostik PERKENI ( Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) tahun 2011, seseorang dikatakan menderita diabetes jika ada gejala diabetes melitus dengan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL atau adanya gejala klasik diabetes melitus dengan kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL atau kadar gula plasma 2 jam pada tes tolerans i glukosa oral (TTGO) ≥200 mg/dL (PERKENI, 2011). Dari berbagai definisi yang disebutkan, dapat disimpulkan bahwa diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolisme kronis yang disebabkan adanya kelainan dari produksi, sekresi dan kerja insulin yang ditandai dengan dengan peninggian kadar glukosa darah (hiperglikemia). Seseorang dikatakan menderita

Upload: pawitrajaya

Post on 16-Jan-2016

212 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

yifi

TRANSCRIPT

Page 1: Chapter II 15

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Diabetes melitus

Diabetes adalah suatu penyakit kronis yang terjadi akibat kurangnya produksi

insulin oleh pankreas atau keadaan dimana tubuh tidak dapat menggunakan

insulin yang diproduksi dengan efekti f. Hiperglikemia atau peninggian kadar gula

darah adalah suatu efek yang sering dijumpai pada diabetes yang tidak terkontrol

dan jika dibiarkan, dalam jangka masa panjang dapat menyebabkan kerusakan

pelbagai sistem tubuh terutama sistem persarafan dan pembuluh darah (WHO,

2006).

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes

melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, k erja insulin, atau

kedua-duanya (ADA, 2010).

Diabetes melitus adalah suatu kumpulan kelainan metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang disebabkan oleh karena adanya defisiensi insulin

baik relatif maupun absolut. (Colledge et al, 2006).

Berdasarkan kriteria diagnostik PERKENI ( Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia) tahun 2011, seseorang dikatakan menderita diabetes jika ada gejala

diabetes melitus dengan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL atau adanya gejala

klasik diabetes melitus dengan kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL atau

kadar gula plasma 2 jam pada tes tolerans i glukosa oral (TTGO) ≥200 mg/dL

(PERKENI, 2011).

Dari berbagai definisi yang disebutkan, dapat disimpulkan bahwa diabetes

melitus adalah suatu penyakit metabolisme kronis yang disebabkan adanya

kelainan dari produksi, sekresi dan kerja insulin yang ditandai dengan dengan

peninggian kadar glukosa darah (hiperglikemia). Seseorang dikatakan menderita

Page 2: Chapter II 15

diabetes jika memiliki kadar glukosa darah ≥ 126 mg/dL dan ≥ 200 mg/dL pada

tes glukosa darah sewaktu.

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi etiologik diabetes melitus menurut American Diabetes Association,

2007 :

Tabel 2.1. Klasifikasi etiologi Diabetes Melitus

Tipe Diabetes Melitus Keterangan

Tipe 1 Tipe diabetes dengan defisiensi insulinabsolut akibat kerusakan sel -sel βpankreas. Umumnya disebabkan :1) Proses autoimun2) idiopatik

Tipe 2 Mulai dari yang predominan resistensiinsulin dengan defisiensi insulin relatifsampai yang dominan defek sekresiinsulin dengan resistensi insulin.

Tipe lain Defek genetik fungsi sel beta Defek genetik kerja insulin

Penyakit eksokrin pankreas Endokrinopati Karena obatan atau zat kimia

Infeksi Imunologi

Sindroma genetik lain yangberhubungan dengan diabetesmelitus

Diabetes melitus gestational Diabetes semasa kehamilan

Sumber : Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17 th edition, 2008

Page 3: Chapter II 15

2.1. 3 Faktor resiko diabetes melitus tipe 2

Faktor-faktor resiko berhubungan dengan terjadinya diabetes melitus dapat dibagi

menjadi dua (WHO,2006), yaitu, :

a) Faktor resiko yang tidak dapat diubah (non -modifiable) :

Usia.

Resistensi insulin lebih cenderung terjadi seiring pertambahan usia.

Ras atau latar belakang etnis

Resiko diabetes melitus tipe 2 lebih besar pada hispanik, kulit hitam,

penduduk asli Hawaii. Hal ini disebabkan oleh nilai rata -rata tekanan

darah yang lebih tinggi, obesitas, dan pengaruh gaya hidup yang

kurang sehat.

Riwayat penyakit diabetes melitus dalam keluarga

Seseorang dengan ahli keluarga yang menderita deabet es melitus

mempunyai resiko yang lebih besar untuk menderita penyakit yang

sama ini dikarenakan gen penyebab diabetes melitus dapat diw arisi

orang tua kepada anaknya (Colledge et al, 2006)

b) Faktor resiko yang dapat diubah (modifiable) :

Obesitas

Gaya hidup

Hipertensi

Kadar glukosa darah

2.1.4 Patogenesis Diabetes Melitus tipe 2

Resistensi insulin, gangguan sekresi insulin dan abnormalitas metabolik menjadi

kunci dari perkembangan penyakit diabetes m elitus tipe 2. Pada tahap awal,

toleransi glukosa hampir normal karena sel-sel beta pankreas mengkompensasi

dengan meningkatkan produksi insulin. Seiring dengan meningkatnya resistensi

insulin, sel beta pankreas tidak lagi dapat memperta hankan kondisi

hiperinsulinemia (Colledge et al, 2006). Akibatnya, terjadi gangguan toleransi

Page 4: Chapter II 15

glukosa yang ditandai dengan peningkatan glukosa postprandial (Marieb et al,

2004). Penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa hati yang

terus menerus, akan berlanjut pada diabetes dan disertai dengan peningkatan kadar

glukosa darah puasa (Conroy et al, 2010).

Gambar 2.1. Regulasi kadar gula darah

Sumber : Human anatomy & physiology 7 th ed.,2007.

Page 5: Chapter II 15

Gambar 2.2. Patogenesis diabetes melitus tipe 2

Sumber : Color Atlas of Pathophysiology, 2000; Stefan Silbernagl & Flor ian lang

Resistensi Insulin

Penurunan kemampuan insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan target

terutama otot rangka dan hepar merupakan gambaran utama diabetes melitus tipe

2 dan merupakan kombinasi antara faktor genetik dan obesitas. Mekanism e pasti

mengenai resistensi insulin pada diabetes melitus tipe 2 masih belum diketahui.

(Colledge et al.,2006)

Penurunan reseptor insulin dan aktivitas tirosin kinase pada otot rangka

merupakan efek sekunder hiperinsulinemia. Mekanisme resistensi insulin

umumnya terjadi akibat gangguan persinyalan post-receptor (PI-3-kinase) yang

mengurangi translokasi glucose transporter (GLUT) 4 ke membran plasma.

(Harrison, 2008). Terdapat tiga hal yang berperan dalam resistensi insulin terkait

obesitas, yaitu :

Asam Lemak Bebas (Free Fatty Acid)

Peningkatan trigliserida interselular dan produk metabolisme asam lemak

menurunkan efek insulin yang berlanjut pada resistensi insulin.

Page 6: Chapter II 15

Adipokin

Leptin dan adiponektin meningkatkan kepekaan insulin, sedangkan resistin

meningkatkan resistensi terhadap insulin.

PPARγ (peroxisome proliferator-activated receptor gamma ) dan TZD

(thiazolidinediones).

PPARγ merupakan reseptor intrasel yang meningkatkan kepekaan insulin

sedangkan TZD merupakan zat antioksidan yang mampu berikatan dengan

PPARγ sehingga dapat menurunkan resistensi insulin. ...

...

..............................

..Gambar 2.3. Mekanisme resistensi insulin

Sumber : Lippincott Williams & Wilkins; Obesity, Mechanisms and Clinical

Management, 2003

Page 7: Chapter II 15

Gangguan Sekresi Insulin

Pada diabetes melitus tipe 2, se kresi insulin meningkat sebagai respons terhadap

resistensi insulin untuk mempertahankan toleransi glukosa. Namun, kelamaan sel

beta pankreas menjadi lelah dan dan hal ini memicu terjadinya kegagalan fungsi

sel beta. Pulau polipeptida amiloid atau amylin y ang disekresikan oleh sel beta

akan membentuk deposit amiloid fibrilar. Deposit ini dapat ditemukan pada

pasien yang telah lama menderita diabetes melitus tipe 2. (Harrison , 2008).

Abnormalitas Metabolik

Akibat resistensi insulin, penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif insulin

menurun, sedangkan kadar hepatic glucose output bertambah. Seiring dengan

peningkatan kadar glukosa darah, akan terjadi akumulasi lipid dalam serat otot

rangka, yang mengganggu fosforilasi oksidatif dan penurunan produksi ATP

mitokondria. Akibatnya, banyak asam lemak bebas keluar dari adiposit sehingga

terjadi peningkatan sintesis lipid (VLDL dan trigliserida) dalam hepatosit. (Porth

dan Martin, 2008.)

Penyimpanan lipid (steatosis) dalam hati dapat berlanjut pada penyakit

perlemakan hati non-alkoholik dan abnormalitas fungsi hati. Selain itu, keadaan

tersebut menyebabkan dislipidemia pada penderita diabetes melitus tipe 2,

yaitu peningkatan trigliserida, peningkatan LDL, dan penurunan HDL.

(Powers et al, 2008)

Page 8: Chapter II 15

Gambar 2.4. Efek insulin pada metabolisme glukosa, asam lemak, dan

protein.

Sumber : Pathophysiology: Concepts of Altered Health Sta tes, 8th ed., 2008

2.1.5 Diagnosis

Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara (PERKENI, 2011,

WHO, 2006, ADA,2011) , yaitu :

Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma

sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes

melitus.

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan

klasik.

Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO sensitif dan spesifik

dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan

ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTG O sulit untuk dilakukan

berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena

membutuhkan persiapan khusus. ...............................................................

Page 9: Chapter II 15

Tabel 2.2. Kriteria diagnostik diabetes mellitus

Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)(Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari

tanpa memperhatikan waktu makan terakhir)ATAU

2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L)(Puasa diartikan pasien tidak menda pat kalori tambahan sedikitnya 8 jam)

ATAU3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)

(TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosayang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air)

* Pemeriksaan HbA1c (≥6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salahsatu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telahterstandardisasi dengan baik.

Sumber : Konsensus Diabetes Melitus Tipe Dua, Indonesia, PERKENI, 2011

2.1.6 Gejala Klinis

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita diabetes. Kecurigaan adanya

diabetes perlu difikirkan apabila terdapat keluhan klasik diabetes melitus seperti

di bawah ini (PERKENI 2011, Kumar dan Clark, 2005 ) :

Keluhan klasik diabetes melitus be rupa: poliuria, polidipsia,

polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

sebabnya.

Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata

kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada

wanita.

2.1.7 Penatalaksanaan

Diabetes melitus tipe 2 fase awal dapat ditangani dengan diet dan olahraga tetapi

seiring dengan berkembangya perjalanan penyakit diabetes melitus tipe dua ini

Page 10: Chapter II 15

intervensi medika mentosa menjadi perlu untuk menangani hiperglikemia.

2.1.7.1 Penatalaksanaan Non-farmakologi

Cara yang paling efektif untuk meningkatkan sensitivitas insulin adalah

penurunan berat badan bagi pasien diabetes melitus tipe 2 dengan berat badan

berlebih dan mempertahankan berat badan ideal. (Gilby, 2007). Langkah ini dapat

dicapai dengan melakukan perubahan gaya hidup yaitu melakukan olahraga dan

kontrol diet. Kedua modalitas ini sangat efektif dalam meningkatkan kerja insulin

dengan cara memperbaiki sensitivitas insulin dan menurunkan kadar gula darah

pada penderita diabetes melitus tipe 2. (Meeking, 2011)

2.1.7.2 Penatalaksanaan Farmakologi

Penatalaksanaan farmakologi dalam rangka untuk menurunkan kadar gula darah

adalah perlu apabila perubahan gaya hidup dan diet gagal untuk mencapai atau

mempertahankan kontrol glikemik n ormal (Gilby, 2007). Obatan antidiabetik

dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu, oral dan suntikan.

Obat antidibetik oral.

Terdapat beberapa klasifikasi obatan antidiabetik oral dan yang paling sering

digunakan adalah dari golongan metformin, thiazolidinedio nes (TZD),

sulfonilurea, analog meglitidin, alpha glucosidase inhib itors, insulin dan terapi

GLP-1 (Meeking, 2011)

Metformin

Metformin adalah dari golongan insulin-sensitizing agents dimana ia tidak

menstimulasi perlepasan insulin dari pankreas sebaliknya hanya

meningkatkan sensitivitas hepar terhadap insulin. Metformin menurunkan

kadar glukosa darah tanpa menyebabkan hipoglikemi dengan cara

meransang pembentukan cadangan glikogen di otot rangka.

Page 11: Chapter II 15

Thiazolidinedione (TZD)

TZD juga adalah dari golongan insulin-sensitizing agents dan berfungsi

sebagai Peroxisome Proliferator Activated Receptor -gamma (PPARγ)

agonist. TZD meningkatkan sensivitas insulin dengan cara menstimulasi

reseptor PPARγ pada jaringan lemak dimana TZD membantu dalam

meningkatkan transkripsi gene sensitif insulin seperti GLUT 4, dan

lipoprotein lipase.

Sulfonilurea

Obatan sulfonilurea menstimulasi sekresi insulin dari sel beta pankreas

untuk memberikan kesan hipoglikemi langsung. Obatan golongan ini

berikatan dengan reseptor sulfonilurea pada sel beta pankreas. Hal ini

menyebabkan ATP-sensitive potassium channel menutup dan

menyebabkan influks kalsium ke dalam sel dan menyebabkan pengaktifan

protein yang mengontrol granul insulin melalui aktivasi dari protein kinase

C.

Analog Meglitidine

Analog meglitidine menstimulasi fase pertama dari perlepasan insulin.

Sama seperti golongan sulfonilurea, golongan analog megdlitidine ini

berikatan dengan reseptor sulfonilurea pada sel beta pankreas. Obatan

golongan ini dapat diberikan secara kombinasi dengan agen hipoglikemi

yang lain kecuali sulfonilurea kerana cara keduanya akan berikatan pada

reseptor yang sama.

Obat antidiabetik non-oral

Insulin

Karena fungsi sel beta pankreas cenderung memburuk pada penyakit

diabetes melitus tipe 2, banyak pasien akhirnya akan memerlukan terapi

insulin. Terdapat tiga jenis insulin yaitu short-acting, long-acting dan

mixed insulin preparations.

Page 12: Chapter II 15

Terapi GLP-1

GLP-1 dihasilkan dari gene proglukagon di L-cell pada usus halus dan

disekresikan sebagai respons terhadap nutrisi. GLP-1 memberikan efek

dengan cara menstimulasi perlepasan glucose-dependent insulin dari sel

islet pankreas.

2.1.8 Komplikasi Diabetes Melitus

Diabetes Mellitus dengan karakteristik hiperglikemia dapat mengakibatkan

berbagai komplikasi yang dapat dibagi menjadi dua secara garis besar

(Greenstein dan wood, 2006) yaitu ;

a) Komplikasi vaskular (mikrovaskular dan mikrovaskular):

Tabel 2.3. Komplikasi vaskular pada diabetes melitus

Komplikasi mikrovaskular Gambaran klinis

Retinopati Penurunan atau terdapat gangguanpenglihatan

Nefropati Ditemukan proteinuria, hipertensi atausindroma nefrotik

Neuropati Neuropati perifer, mononeuropati,carpal tunnel syndrome, amyotrofi atauulserasi pada kaki

Komplikasi makrovaskular Gambaran Klinis

Koroner Angina atau infark miokardCerebral Strok, transient ischemic attack (TIA)Vaskularisasi perifer Intermittent claudication , ischaemic

leg, ulserasi dan gangrene

Sumber : Darryl R. Meeking ; Diabetes & Endocrinology, 2011.

b) Komplikasi berdasarkan derajat keparahan yang selanjutnya dibagi

menjadi komplikasi akut dan kronis. ( Meeking, 2011) :

Page 13: Chapter II 15

Komplikasi akut:

Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah gejala yang timbul akibat tubuh kekurangan glukosa, dengan

tanda-tanda :

- Rasa lapar

- Gemetar

- Keringat dingin

- Pusing

Hipoglikemia dapat menyebabkan te rjadinya koma penderita diabetes melitus

yang mengalami reaksi hipoglikemik biasanya disebabkan oleh obat anti diabetes

yang diambil dalam dosis tinggi. (Colledge et al, 2006)

Krisis Hiperglikemia

Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut serius pada penderita diabetes

mellitus. Krisis Hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk Ketoasidosis Diabetik

(KAD), status Hiperosmolar Hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai

elemen kedua keadaan diatas. KAD adalah keadaan yang ditandai dengan asidosis

metabolik akibat pembentukan badan keton yang berlebihan, sedangkan SHH

ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa serum yang

biasanya lebih tinggi dari KAD murni. Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang

mendasarinya adalah defisiensi insul in, relatif ataupun absolut . Pada KAD dan

SHH, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam darah, terjadi juga

peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan

Growth Hormone (GH). (Porth dan Martin, 2008). Hormon-hormon ini

menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh ginjal dan hepar dan gangguan

utilisasi glukosa dijaringan, yang mengakibatkan h iperglikemia dan perubahan

osmolaritas ekstraselular.

Kombinasi kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormon

kontrainsulin pada KAD juga mengakibatkan perlepasan asam lemak bebas dari

jaringan adiposa dari proses lipolisis ke dalam aliran darah dan oksidasi asam

Page 14: Chapter II 15

lemak hepar menjadi benda keton (ß - hydroxybutyrate [ß-OHB] dan acetoacetate)

tak terkendali, sehingga mengakibat kan ketonemia dan asidosis metabolik.

(Harrison, 2008)

Gambar 2.5. Komplikasi Akut pada Diabetes Melitus Tipe 2

Sumber : Color Atlas of Pathophysiology, Stefan Silbernagl & Florian Lang ,

2000

Komplikasi kronik :

Nefropati

Nefropati diabetik merupakan penyebab kematian kedua terbanyak penderita

diabetes melitus selepas infark miokard ( Kumar et al, 2013). Patogenesis

nefropati diabetik berhubungan dengan hiperglikemia, kemungkinan karena kerja

ginjal yang terus menerus melebihi batas untuk menyaring glukosa menyebabkan

peningkatan tekanan darah pada ginjal dan perubahan struktur glomerular ( Kumar

et al, 2013, Buse et al., 2008).

Neuropati

Neuropati muncul pada 60% penderita diabetes jangka panjang baik pada tipe 2

(Meeking, 2011). Pada penderita diabetes melitus kemungkinan disebabkan

Page 15: Chapter II 15

gangguan sirkulasi pada sel saraf karena kerusakan pembuluh darah, Ada pun

jenis-jenisnya adalah:

a. Polineuropati dan mononeuropati

Bentuk yang paling umum dari neu ropati diabetes adalah polineuropati simetris

distal. Ini paling sering ditandai dengan kehilangan sensori distal, tetapi hanya

50% dari penderita diabetes melitus memiliki gejala neuropati. Gejala mungkin

termasuk sensasi mati rasa, kesemutan, atau rasa panas yang dimulai dari kaki

dan menyebar proksimal.

Nyeri sering melibatkan ekstremitas bawah dan biasanya hadir saat

istirahat, dan memburuk pada malam hari. Sedangkan mononeuropati adalah

disfungsi saraf perifer atau saraf kranial yang terisolasi. Mono neuropati ditandai

dengan rasa sakit dan kelemahan motorik dalam distribusi saraf tunggal. ( Powers.,

2008)

b. Neuropati otonom

Penderita DM dapat mengalami disfungsi saraf otonom (sistem kolinergik,

noradrenergic dan peptidergik). Saraf -saraf tersebut mengatur jantung,

gastrointestinal dan sistem kemih. Hal ini bisa mengakibatkan takikardi, gejala

gangguan pengosongan lambung, gangguan frekuensi berkemih dan hipotensi

ortostatik (Powers, 2008).

Retinopati

Keadaan hiperglikemi dapat menyebabkan hilangnya retinal pericytes,

peningkatan permeabilitas pembuluh darah retina, perubahan dalam aliran darah

retina, dan sistem mikrovaskular retina abnormal, yang menyebabkan iskemia

retina.Keadaan ini akan menyebabkan neovaskularisasi pada saraf optik dan

makula. Secara struktural, pembuluh darah ini rapuh dan dapat menyebabkan

perdarahan vitreous, fibrosis, dan perlepasan retina yang dapat berakibat

kebutaan.(Powers, 2008, Meeking, 2011, Colledge.,2006)

Page 16: Chapter II 15

Gastrointestinal

Kelainan yang paling sering muncul adalah gang guan pengosongan lambung dan

gangguan motilitas usus (Powers, 2008). Gejala yang mungkin muncul adalah

anorexia, muntah, mual, dan kembung. Keadaan ini disebabkan disfungsi saraf

simpatis akibat neuropati otonomik. ( Meeking, 2011)

Genitourinari

Neuropati otonom diabetes mungkin menyebabkan disfungsi genitourinari

termasuk cystopathy, disfungsi ereksi, dan disfungsi seksual wanita (penurunan

libido dan dispareunia).

Gejala diabetes cystopathy dimulai dengan ketidakmampuan untuk

merasakan kandung kemih pen uh dan kegagalan untuk buang air kecil

sepenuhnya. Seiring dengan berkembangnya neuropati otonom, kontraktilitas

kandung kemih memburuk, kapasitas kandung kemih berkurang dan terjadinya

peningkatas residu air kemih yang sering berakibat pada infeksi salura n kemih

berulang. (Powers, 2008)

Komplikasi kardiovaskular

Pada penderita diabetes melitus tipe 2 biasanya terjadi peningkatan plasminogen

activator inhibitor dan fibrinogen yang meningkatkan koagulasi darah. Selain itu

diabetes juga berhubungan dengan di sfungsi endotel, otot polos pada pembuluh

dan platelet. (Meeking, 2011)

Infeksi

Keadaan hiperglikemia membantu kolonisasi jamur dan bakteri karena

menyediakan sumber nutriri yang adekuat untuk pertumbuhan koloni. Infeksi

tersering yang muncul pada pasien diabetes melitus adalah pneumonia, infeksi

salur kemih dan infeksi pada kulit. Selain itu penderita diabetes juga lebih rentan

mengalami infeksi pasca operasi. (Kumar dan Clark, 2006)

Page 17: Chapter II 15

Gambar 2.6. Komplikasi Kronik Diabetes Melitus Tipe 2

Sumber : Color Atlas of Pathophysiology, Stefan Silbernagl & Florian Lang,

2000

2.2 Anemia

2.2.1 Definisi Anemia

Anemia didefinisikan sebagai penurunan dalam kapasitas transportasi oksigen

dalam darah. Hal ini dapat timbul jika ada terlalu sedikit hemoglobin yang beredar

atau hemoglobin yang berfungsi. (Guyton dan Hall, 2006). Anemia bukanlah

penyakit, tetapi merupakan indikasi dari beberapa penyakit proses atau perubahan

dalam fungsi tubuh.

Page 18: Chapter II 15

2.2.2 Klasifikasi

Terdapat beberapa klasifikasi anemia yang diusulk an, dan tiga yang sering di

gunakan adalah berdasarkan mekanisme patofisiologi, fungsional dan morfologi

sel darah merah.

a) Klasifikasi mekanisme patofisiologi :

Anemia megaloblastik

Anemia megaloblastik umumnya disebabkan defisiensi vitamin B12 dan asa m

folat, dimana defisiensi salah satu dari keduanya dapat memperlambat reproduksi

sel erythroblasts (prekursor sel eritrosit) di sumsum tulang. Akibatnya, sel darah

merah tumbuh terlalu besar, dengan bentuk yang aneh, d an disebut megaloblas.

(Guyton dan Hall, 2006)

Anemia hemolitik

Anemia hemolitik adalah adanya kelainan dari sel -sel darah merah.Kondisi yang

bersifat heriditer ini ditandai dengan sel -sel eritrosit yang rapuh dan mudah pecah

khususnya saat melalui kapiler darah dan sirkulasi darah di limpa . (Porth dan

Martin , 2008) Pada beberapa penyakit hemolitik, masa hidup dari sel eritosit

lebih singkat kerana keadaannya yang rapuh dapat membuatkan sel eritrosit yang

dihasil lebih cepat rusak meskipun jumlah sel darah merah yang terbentuk normal,

atau bahkan jauh lebih besar dari normal. (Guyton dan hall, 2013)

Anemia aplastik

Anemia aplastik adalah keadaan dimana sumsum tulang mengalami aplasia

sehingga mengakibatkan penurunan fungsi sumsum tulang dalam memproduksi

eritrosit (Guyton dan Hall, 2006)

Anemia Defisiensi Nutrisi (Nutritional Deficiency)

Anemia gizi umumnya terjadi akibat kurangnya pemenuhan zat gizi yang

diperlukan tubuh untuk membentuk dan memproduksi sel eritrosit seperti

defisiensi besi, asam folat dan vitamin B12 (WHO 2008, Wiwanitkit, 2007).

Page 19: Chapter II 15

b) Klasifikasi fungsional anemia :

Klasifikasi funsional anemia dapat dibagi menjadi dua, yaitu keadaan

hipoproliferatif ditandai dengan adanya kelainan proses proliferasi eritrosit

inefektif, adanya kelainan dari proses pematangan eritrosit dan kadar hemolisis

eritrosit yang meningkat atau terjadinya penurunan kemampuan survival eritrosit.

(Williams Hematology 7 th ed, 2005)

c) Klasifikasi morfologik eritrosit :

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik

dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi (Handbook of

Pathophysiology 3rd ed, 2008, Wintrobe’s Atlas of Clinical Hematology,2007).

Dalam klasifikasi ini, anemia dibagi menjadi 3 golongan:

1) Anemia hipokromik mikrositer apabila MCV < 80 fl dan MCH < 27 fl

2) Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 fl

3) Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl

Page 20: Chapter II 15

Tabel 2.4. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi

Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi

A.Anemia hipokromik mikrositer

Anemia defisiensi besi

Thalassemia major

Anemia akibat penyakit kronik

Anemia sideroblastik

B.Anemia normokromik normositer

Anemia pasca perdarahan akut

Anemia aplastik

Anemia hemolitik didapat

Anemia akibat penyakit kronik

Anemia pada gagal ginjal kronik

Anemia pada sindrom mielodiplastik

Anemia pada keganasan hematologik

C.Anemia makrositer

a.Bentuk megaloblastik

Anemia defisiensi asam folat

Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa

b.Bentuk non-megaloblastik

Anemia pada penyakit hati kronik

Anemia pada hipotiroidisme

Anemia pada sindrom mielodiplastik

Sumber : Hematologi Klinik Ringkas. (Bakta, I Made. 2006.)

Page 21: Chapter II 15

2.2.3 Diagnosis

Anemia biasanya didiagnosis dengan menganalisa hitung darah len gkap.

Pemeriksaan yang lebih sederhana seperti pemeriksaan hapusan darah

menggunakan mikroskop juga dapat membantu. Berikut adalah tabel penetuan

batas ambang hemoglobin oleh WHO. (WHO, 2008) :

Tabel 2.5. Ambang hemoglobin digunakan untuk mendefinisikan anemia,

WHO, 2008 (1 g/dL = 0.6206 mmol/L)

Kelompok usia dan

jenis kelamin

Ambang Hb (g/dl) Ambang Hb (mmol/l)

Perempuan, Tidak hamil

(>15tahun)

12.0 7.4

Laki-laki (>15 tahun) 13.0 8.1

Sumber : WHO, 2008. Worldwide prevalence of anemia 1993 -2005

2.2.4 Efek anemia

Pada anemia berat, viskositas darah bisa jatuh ke serendah 1,5 kali dari air yang

mana nilai normal adalah sekitar 3. Ini menyebabkan kurangnya resistensi

terhadap aliran darah di pembuluh darah perifer, sehingga peredaran aliran

melalui jaringan ke jantung meningkat lebih dari normal dan keadaaan ini

menyebakan peningkatan output jantung (Colledge et al, 2006).

Selain itu, hipoksia yang dihasilkan dari kurangnya transportasi oksigen

oleh darah menyebabkan pembuluh darah jaringan perifer membesar dan

memungkinkan peningkatan lebih lanjut volume kembalinya darah ke jantung.

(Buse et al, 2005). Hal ini dapat meningkatkan curah jantung tiga sampai empat

kali dari nilai normal disertai peningkatan beban kerja pada jantung.Peningkatan

curah jantung pada anemia adalah efek dari kompensasi tubuh untuk

mengimbangi penurunan suplai oksigen ke jaringan. (Guyton dan Hall, 2006)

Page 22: Chapter II 15

2.2.5 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis anemia adalah hasil dari kurangnya perfusi oksigen ke jaringan

walau apa pun etiologi yang mendasari suatu anemia itu. Angka kejadian, tingkat

penurunan sel darah merah,volume plasma, dan pernafasan mempengaruhi tanda -

tanda dan gejala anemia mencakup :

palpitasi,

pusing

sinkop

pucat (pallor) pada kulit,konjungtiva, mukosa oral a tau nail bed

dispnoe

takikardi

2.3 Anemia dan Diabetes Melitus Tipe 2

Pasien diabetes melitus umumnya memiliki kemungkinan anemia yang lebih

besar disebabkan gangguan ginjal berbanding m ereka dengan penyebab lain dari

gagal ginjal (Katherine et al, 2005). Banyak faktor yang telah diusulkan sebagai

penyebab awal onset anemia pada pasien dengan diabetes , antaranya adalah :

Penurunan fungsi ginjal dan nefropati pada diabetes melitus

Meskipun etiologi dari anemia pada nefropati adalah multifaktorial, tetapi

penurunan kadar erythropoietin merupakan inti utama dari patogenesis

anemia dengan nefropati karena rusaknya sel-sel peritubular yang

menghasilkan eritropoetin seiring dengan progresivitas penurunan fungsi

ginjal, sehingga produksi eritropoetin terganggu.

Defisiensi dan reaksi hiporesposif eritropoeitin

Defisiensi eritropoeitin awal dapat terjadi pada kedua tipe diabetes melitus

dan salah satu penyebab respons terhadap produksi eritropoeitin adalah

peradangan kronis yang dikaitkan dengan peningkatan produk si sitokin

seperti tumor necrosis factor alpha , interleukin-1 dan interferon gamma

yang menekan proliferasi stem cell sel darah merah.

Page 23: Chapter II 15

Reaksi ini dapat terjadi sebelum timbulnya neuropati pada diabetes melitus

(Katherine et al, 2005)

Neuropati otonom

Peningkatan inflamasi sistemik pada neuropati otonom akan menyebabkan

terjadinya sympathetic denervation dari eferen ginjal yang akan berakibat

pada kerusakan ginjal (Thomas et al, 2003).

Obat-obatan

Penggunaan obat-obatan seperti aspirin dan ACE-inhibitor pada pasien

diabetes melitus dapat menyebabkan terjadinya anemia. Sistem renin-

angiotensin-aldosteron (RAAS) cukup berperan dalam memodulasi

produksi eritropoeitin (Mehdi, 2009). Peningkatan pada angiotensin II

akan menyebabkan laju filtrasi glomerular men inggi dan kebutuhan

terhadap oksigen juga akan bertambah. Keadaan ini memicu ginjal untuk

memproduksi eritropoeitin dengan lebih banyak. Penggunaan ACE -

inhibitor dapat menyebabkan gangguan pada sistem RAAS dan

menyebabkan penurunan kadar hematokrit.

Asupan zat besi dan kelainan absorbsi besi

Kurangnya asupan zat besi dan adanya kelainan absorbsi bes i pada pasien

diabetes melitus akan mengakibatkan penggunaan simpanan besi tubuh

sehingga dapat terjadi defisiensi zat besi baik relatif maupun absolut

(Mehdi, 2009).

Ekskresi protein non-albumin melalui urin

Peningkatan ekskresi protein non -albumin seperti eritropoetin dan

transferin melalui urin juga akan mengakibatkan penunrunan kadar

simpanan besi tubuh.

Page 24: Chapter II 15

Penurunan masa hidup eritrosit dan pendarahan

Anemia pada diabetes melitus dapat disebabkan oleh advanced

glycosylation end products (AGE). Peningkatan protein hasil glikasi dan

AGE akan disertai dengan peningkatan aktivitas radikal bebas yang

berkontribusi terhadap kerusakan biomolekuler pada diabetes seperti

hemolisis awal sel darah merah. Selain itu, pendarahan dapat juga terjadi

pada pasien diabetes melitus dengan ulkus atau gangren.