chapter ii
TRANSCRIPT
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Durian (Durio zibethinus Murr)
Durian (Durio zibethinus Murr) merupakan salah satu tanaman hasil
perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya
dimanfaatkan sebagai buah saja. Sebagian sumber literatur menyebutkan tanaman
durian adalah salah satu jenis buah tropis asli Indonesia (Rukmana, 2001).
Sebelumnya durian hanya tanaman liar dan terpencar-pencar di hutan raya
"Malesia", yang sekarang ini meliputi daerah Malaysia, Sumatera dan Kalimantan.
Para ahli menafsirkan, dari daerah asal tersebut durian menyebar hingga ke seluruh
Indonesia, kemudian melalui Muangthai menyebar ke Birma, India dan Pakistan.
Adanya penyebaran sampai sejauh itu karena pola kehidupan masyarakat saat itu
tidak menetap. Hingga pada akhirnya para ahli menyebarluaskan tanaman durian ini
kepada masyarakat yang sudah hidup secara menetap (Setiadi, 2008).
Tanaman durian di habitat aslinya tumbuh di hutan belantara yang beriklim
panas (tropis). Pengembangan budidaya tanaman durian yang paling baik adalah di
daerah dataran rendah sampai ketinggian 800 meter di atas permukaan laut dan
keadaan iklim basah, suhu udara antara 25-32oC, kelembaban udara (rH) sekitar 50-
80%, dan intensitas cahaya matahari 45-50% (Rukmana, 2001). Klasifikasi ilmiah
tanaman durian dapat dilihat pada tabel berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Klasifikasi Ilmiah Tanaman Durian
Klasifikasi Ilmiah Kingdom Divisi Sub Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies
Plantae (tumbuhan) Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Angiospermae (berbiji tertutup) Dicotyledonae (berkeping dua) Malvaceae Bombacaceae Durio Durio zibethinus Murr
Sumber: Rukmana (2001)
Buah khas daerah tropis ini termasuk ordo Malvaceae, family Bombacaceae,
dan genus Durio. Kostermans mencatat ada 27 spesies durian. Sejumlah 19 spesies
ditemukan di Kalimantan, 11 di Semenanjung Malaka, 7 di Sumatera dan 1 di
Myanmar. Dari sekian banyak spesies itu, yang bisa dimakan hanya tujuh. Spesies
lain tidak bisa dikonsumsi karena berbagai sebab, sepert rasa yang tidak enak, buah
terlalu kecil, atau daging buah tidak ada. Tujuh spesies durian yang bisa dimakan itu
terdiri dari: Durio zibethinus (durian), Durio kutejensis (lai), Durio oxleyanus
(kerantongan), Durio dulcis (lahong), Durio graveolens (labelak), Durio grandiflorus
(durian monyet), serta Durio testudinarium (durian kura-kura). Dari ketujuh spesies
itu hanya Durio zibethinus yang paling banyak dibudidayakan karena buahnya enak
(Untung, 2008).
Di Indonesia, ada 21 kultivar durian unggul yang dirilis oleh Dinas Pertanian,
yaitu: petruk, sukun, sitokong, kani, otong, simas, sunan, sihijau, sijapang, siriwig,
bokor, perwira, sidodol, bantal mas, hepe, matahari, aspar, sawah mas, raja mabah,
kalapet, dan lai mansau (Untung, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Buah durian berbentuk bulat, bulat panjang, atau variasi dari kedua bentuk itu.
Buah yang sudah matang panjangnya sekitar 30-45 cm dengan lebar 20-25 cm,
beratnya sebagian besar berkisar antara 1,5-2,5 kg. Setiap buah berisi 5-7 ruang yang
didalamnya terletak 2-5 biji. Biji terbungkus oleh daging buah, dimana daging buah
tersebut strukturnya tipis sampai tebal yang berwarna putih, kuning, atau kemerah-
merahan dan merah tembaga. Besar kecilnya ukuran biji, rasa, tekstur dan ketebalan
daging buah tergantung varietas (Barus, 2008).
Daging buah strukturnya tipis sampai tebal, berwarna putih, kuning atau
kemerah-merahan atau juga merah tembaga. Buah durian berwarna hijau sampai
kecoklatan, tertutup oleh duri-duri yang berbentuk piramid lebar, tajam dan panjang 1
cm. Tiap pohon durian dapat menghasilkan buah antara 80-100 butir, bahkan hingga
200 buah, terutama pada pohon durian berumur tua (Rukmana, 2001).
2.1.1. Kandungan Gizi Biji Durian
Biji durian berbentuk bulat-telur, berkeping dua (dikotil), berwarna putih
kekuning-kuningan atau coklat muda. Tiap rongga terdapat 2-6 biji atau lebih. Biji
durian merupakan alat atau bahan perbanyakkan tanaman secara generatif, terutama
untuk batang bawah pada penyambungan (Tim Bina Karya Tani, 2008).
Biji durian memiliki kandungan pati yang cukup tinggi sehingga berpotensi
sebagai alternatif pengganti bahan makanan atau bahan baku pengisi farmasetik,
contohnya pati biji durian diketahui dapat digunakan sebagai bahan pengikat dalam
formulasi tablet ketoprofen (Jufri, 2006). Berikut adalah kandungan gizi yang
terdapat dalam biji durian:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Kandungan Gizi dalam 100 gram Biji Durian Zat Gizi Jumlah
Karbohidrat 30 gr Protein 9,79 gr Lemak 0,2 gr Serat 1,08 gr Kalsium 270 mg Fosfor 900 mg Air 51,1 gr
Sumber: Winarti, 2006
2.1.2. Tepung Biji Durian
Biji durian dapat diperoleh pada beberapa daerah yang mempunyai potensi
akan adanya buah durian dimana biji durian tersebut menjadi salah satu limbah yang
terbengkalai atau tidak dimanfaatkan, yang sebenarnya banyak mengandung nilai
tambah. Agar limbah ini dapat dimanfaatkan sebagaimana sifat bahan tersebut dan
digunakan dalam waktu yang relatif lama, perlu diproses lebih lanjut, menjadi
beberapa hasil yang bervariasi.
Biasanya biji durian hanya dikonsumsi sebagian kecil masyarakat setelah
direbus atau dibakar, padahal biji durian dapat diolah menjadi makanan lain yang
lebih menarik dan enak. Produk pengolahan biji durian antara lain keripik biji durian,
bubur biji durian dan tepung biji durian (Rukmana, 2001).
Biji durian apabila dibuat menjadi tepung biji durian akan menghasilkan
tepung yang berwarna putih kekuningan, yang mana dari tepung biji durian
mempunyai kandungan amilopektin hampir sama dengan tepung beras ketan, dapat
kita ketahui dengan pemberian sedikit air teksturnya akan lengket.
Universitas Sumatera Utara
Pada pembuatan tepung, seluruh komponen yang terkandung di dalam bahan
pangan dipertahankan keberadaannya, kecuali air. Teknologi tepung merupakan salah
satu proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan
disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi),
dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang ingin serba
praktis (Widowati, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian Paulina Hutapea (2010), tepung biji durian
mengandung kadar air sebesar 8,44%, kadar abu 8,31%, lemak 0,75%, protein
10,23%, serta kadar karbohidrat 72,27%. Sedangkan menurut Winarti (2006), tepung
biji durian memiliki kadar air sebesar 10,1%, protein 2,16%, lemak 0,11%, dan serat
kasar sebanyak 1,08%. Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Amiza Mat Amin
dan Roslan Arshad (2009) disebutkan bahwa tepung biji durian memiliki kadar air
6,6%, protein sebesar 7,6%, lemak 0,4%, karbohidrat 76,8%, serat kasar 4,8%, dan
kadar abu 3,8%.
2.1.3. Pembuatan Tepung Biji Durian
Pengubahan bentuk biji durian menjadi tepung akan mempermudah
pemanfaatan biji durian menjadi bahan setengah jadi yang fleksibel, karena selain
tahan lama daya simpannya juga dapat dipakai sebagai penganekaragaman
pengolahan bahan makanan. Pembuatan tepung dari biji durian dilakukan melalui
proses penyortiran, pencucian, pengupasan, pengirisan, pencelupan, pengeringan, dan
penepungan (Hutapea, 2010).
Universitas Sumatera Utara
1. Penyortiran
Pemilihan biji durian yang baik yang diambil dari buah durian yang dalam
keadaan baik, tidak terserang hama maupun penyakit.
2. Pencucian
Biji durian yang sudah disortir kemudian dicuci berulang kali sampai bersih,
setiap kali cuci airnya diganti. Pencucian ini berfungsi untuk melepaskan segala
kotoran yang melekat pada biji durian, terutama untuk menghilangkan daging
buah durian yang masih melekat pada bijinya (Afif, 2007).
3. Pencelupan
Pencelupan dilakukan dengan memasukkan biji durian pada air panas atau
pengukusan selama beberapa menit. Tujuannya untuk inaktivasi enzim-enzim
yang dapat menyebabkan degradasi warna, penghasil getah dan pengempukan
tekstur pangan. Fungsi lain dari blansing untuk mengurangi gas-gas terlarut dan
memperbaiki tekstur (Jarod, 2007).
4. Pengupasan
Pengupasan yaitu proses pemisahan biji durian dari kulit arinya dengan
menggunakan pisau, karena biasanya kulit bahan memiliki karakteristik yang
berbeda dengan isi bahan (Sulistyowati, 2001).
5. Pengirisan
Biji durian yang telah dikupas kemudian diiris tipis dengan menggunakan
pisau atau alat pengiris. Tujuan pengirisan ini adalah untuk mempermudah dalam
proses penepungan (Afif, 2007).
Universitas Sumatera Utara
6. Pengeringan
Pengeringan dilakukan secara langsung dengan menggunakan tenaga
matahari, proses penjemuran dilakukan sampai kering. Karena dengan daging biji
yang kering tersebut guna mempermudah dalam proses penepungan pada biji
durian (Afif, 2007). Tujuan pengeringan adalah menghilangkan atau mengurangi
kadar air bahan agar mikroba penyebab penyakit tidak bisa hidup, sehingga bahan
pangan menjadi awet dan tahan lama. Pengurangan air menurunkan bobot dan
memperkecil volume pangan sehingga mengurangi biaya pengangkutan dan
penyimpanan.
Selama pengeringan terjadi perubahan fisik dan kimiawi yang tidak semuanya
diinginkan. Selain penyusutan volume, pangan dapat mengalami perubahan warna
yang tidak disukai seperti pencoklatan, dapat pula terjadi penurunan nilai gizi,
aroma dan rasa, dan kemampuan menyerap air (WHO, 1991).
7. Penepungan
Irisan biji durian yang sudah kering ditumbuk atau dihaluskan untuk
memperkecil ukuran partikel, hingga menjadi bubuk halus/tepung. Kemudian
diayak sehingga diperoleh hasil berupa tepung yang halus dan homogen
(Rukmana, 2001).
Pada pembuatan tepung, seluruh komponen yang terkandung di dalam bahan
pangan dipertahankan keberadaannya, kecuali air. Teknologi tepung merupakan
salah satu proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih
tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi
Universitas Sumatera Utara
(difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan
modern yang ingin serba praktis (Widowati, 2009).
Pengubahan bentuk biji durian menjadi tepung akan mempermudah
pemanfaatan biji durian menjadi bahan setengah jadi yang fleksibel, karena selain
tahan lama daya simpannya juga dapat dipakai sebagai penganekaragaman
pengolahan bahan makanan.
2.2. Mi
Mi merupakan suatu jenis makanan hasil olahan tepung yang sudah dikenal
oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan
bahwa jenis makanan ini digemari oleh berbagai lapisan masyarakat yang telah
mengenalnya. Hal ini antara lain karena penyajiannya untuk siap dikonsumsi sangat
mudah dan cepat. Disamping itu, selalu dapat digunakan sebagai variasi dalam lauk
pauk juga dapat digunakan sebagai pengganti nasi (Nasution, 2005).
Mi adalah makanan yang populer di Asia khususnya di Asia Timur dan Asia
Tenggara. Menurut catatan sejarah, mi pertama kali dibuat di daratan Cina sekitar
2000 tahun yang lalu pada masa pemerintahan dinasti Han. Mi berkembang dan
menyebar ke Jepang, Korea, Taiwan dan negara-negara di Asia Tenggara bahkan
meluas sampai ke benua Eropa. Menurut buku-buku sejarah, di benua Eropa mi mulai
dikenal setelah Marco Polo berkunjung ke Cina dan membawa oleh-oleh mi. Namun
pada perkembangannya di Eropa mi berubah menjadi pasta seperti yang kita kenal
saat ini (Winneke, 2007).
Orang Italia, Tionghoa, dan Arab telah mengklaim bangsa mereka sebagai
pencipta mi, meskipun tulisan tertua mengenai mi berasal dari Dinasti Han Timur,
Universitas Sumatera Utara
antara tahun 25 dan 220 Masehi. Pada Oktober 2005, mi tertua yang diperkirakan
berusia 4.000 tahun ditemukan di Qinghai, Tiongkok.
Mi adalah nama lazimnya. Orang Eropa menyebutnya pasta (dari bahasa
Italia) secara generik, dan noodle (bahasa Inggis) untuk pasta yang berbentuk
memanjang. Namun begitu, di Eropa bahan baku mi biasanya dari jenis-jenis gandum
sementara di Asia bahan baku mi lebih bervariasi. Di Asia sendiri, pasta yang dibuat
selalu berbentuk memanjang. Berbagai bentuk mi dapat ditemukan di berbagai
tempat. Perbedaan mi terjadi karena campuran bahan, asal-usul tepung sebagai bahan
baku, serta teknik pengolahan.
2.2.1. Jenis-jenis Mi
Menurut Sutomo (2008), jenis-jenis mi adalah sebagai berikut :
1. Mi Berdasarkan Bahan Dasarnya
a. Mi Tepung Gandum
- Mi Telur
Mi ini terbuat dari tepung terigu jenis hard wheat/protein tinggi dan diperkaya
dengan telur. Biasanya dijual dalam kondisi kering dengan bentuk bulat dan pipih.
Seduh dengan air panas sebelum digunakan. Karena kondisinya kering, mi ini dapat
disimpan lama.
- Mi Basah Kuning
Terbuat dari tepung terigu protein tinggi. Mi ini dijual dalam keadaan basah.
Mi ini sebenarnya sudah matang jadi tidak perlu direbus ketika akan digunakan.
Cukup diseduh dengan air panas. Mi ini dapat bertahan 3 hari dalam lemari
pendingin.
Universitas Sumatera Utara
- Mi Basah Bertepung
Mi mentah yang dijual denga lumuran tepung agar tidak saling menempel.
Terbuat dari tepung erigu protein tinggi. Jenis mi ini harus direbus dulu dalam air
mendidih selama 3-4 menit sebelum digunakan. Mi basah bertepung dapat bertahan
hingga 5 hari dalam lemari pendingin/kulkas.
- Mi Instan
Terbuat dari tepung terigu tinggi protein. Dijual dengan bentuk kering dalam
kemasan sehingga mi ini lebih tahan lama. Biasanya dijual dengan beragam rasa dan
bumbu. Pengolahannya biasa dengan direbus atau digoreng. Sebelum digunakan mi
ini harus direbus selama 3-4 menit.
- Mi Hong Kong
Mi hong kong terbuat dari tepung terigu protein tinggi. Dijual di swalayan
terkemuka dalam kemasan plastik, dalam keadaan basah, dan bertepung. Mi hong
kong warnanya kuning dan lembarannya sangat halus. Mi ini dapat bertahan 5 hari
dalam lemari pendingin.
- Mi Hokien
Terbuat dari tepung terigu protein tinggi. Bentuknya lembaran tebal besar, dan
dijual dalam keadaan basah. Biasanyaa dijual di swalayan terkemuka dalam kemasan
plastik. Mi ini dapat bertahan dalam lemari pendingin selama 5 hari.
- Mi Soba
Terbuat dari tepung sejenis gandum tanpa gluten/buckmheat. Warna mi ini
biasanya hijau atau keabu-abuan. Dijual dalam keadaan kering di gerai bahan
Universitas Sumatera Utara
makanan Jepang di swalayan terkemuka. Mi dijual dalam keadaan kering sehingga
lebih tahan lama.
- Mi Udon
Terbuat dari tepung terigu protein tinggi. Dijual dalam keadaan basah dan
kering. Bentuknya biasa bulat pipih berwarna putih. Mi udon kering dapat bertahan
lama, tetapi mi udon basah hanya bertahan 5 hari dalam lemari pendingin.
- Misoa
Dijual dalam keadaan kering sehingga dapat bertahan lama. Misoa mudah
patah sehingga biasanya digunakan untuk bahan baku isi sup, dimasukkan beberapa
saat sebelum sup diangkat.
- Somen
Warnanya putih dan bentuknya seperti lidi. Dijual dalam keadaan kering di
gerai bahan makanan Jepang di swalayan terkemuka. Mi somen biasanya diolah
menjadi bahan tumisan, campuran salad, digoreng, atau campuran hidangan berkuah.
- Ramen
Orang menyebutnya mi keriting Cina. Dijual dalam kondisi kering dalam
kemasan mi instan. Sangat cocok diolah sebagai mi goreng atau mi kuah.
b. Mi Tepung Beras
- Bihun
Bentuknya lembaran bulat dan sangat halus. Umumnya berwarna putih, tetapi
kini tersedia bihun kuning yang ditambah sari wortel dan bihun ungu dengan
tambahan sari ubi/talas ungu. Penggunannya diseduh dengan air dingi atau panas
Universitas Sumatera Utara
selama 3-4 menit hingga lunak, baru digunalan sesuai dengan kebutuhan resep. Bihun
dijual dalam keadaan kering.
- Kwetiau
Kwetiau warnanya putih bening dengan bentuk pipih dan lebar. Dijual dalam
keadaan basa dan kering. Kwetiau biasanya dibuat menjadi kwetiau goreng dan rebus.
c. Mi Pati Kacang Hijau
- Suun
Bentuknya lembaran bulat halus. Warnanya putih bening dan transparan.
Sebelum digunakan bisa diseduh air panas atau dingin sampai tekstur sun lunak.
Jangan mengolah sun terlalu lama karena akan cepat matang dan mudah patah. Dijual
dalam keadaan kering. Bisa diolah sebagai sun horeng, bahan baku laksa, isi pastel,
atau campuran sup.
2. Mi Berdasarkan Tingkat Kematangannya
a. Mi Segar
Mi segar atau mi mentah adalah mi yang tidak mengalami pengolahan
lanjutan, baik itu direbus, dikukus, atau digoreng. Mi mentah mengandug air sangat
tinggi, yaitu sekitar 35%. Mi segar biasanya dijual dengan taburan tepung terigu agar
tidak saling menempel. Mi jenis ini hanya bisa bertahan satu hari karena kandungan
airnya sangat tinggi. Mi segar biasanya digunakan sebagai bahan baku mi ayam.
b. Mi Basah
Mi basah adalah mi yang dijual dalam keadaan basah. Tekstur mi yang basah
disebabkan karena air perebusan. Jadi setelah dibentuk atau dicetak dengan cetakan,
mi direbus, didinginkan, dikemas dan dipasarkan. Contoh dari mi basah adalah mi
Universitas Sumatera Utara
kuning atau mi bakso. Kandungan air mi basah sekitar 52% sehingga cepat rusak dan
hanya bertahan 40 jam.
c. Mi Kering
Mi kering sering juga disebut sebagai mi telur, karena dalam proses
pembuatannya ditambahkan telur segar atau tepung telur. Mi kering berwarna kuning
karena kandungan telurnya. Setelah dibentuk atau dicetak, mi biasanya dijemur atau
dioven terlebih dahulu hinggi kering, lalu dikemas dan dipasarkan. Mi jenis ini
memiliki daya tahan lebih lama karena kandungan airnya rendah, yaitu sekitar 13%.
d. Mi Instan
Mi instan, mi yang paling popular diantara jenis mi yang lainnya. Selain
praktis, mi instan juga tahan disimpan lama karena kandungan airnya hanya 5-8%.
Proses pembuatannya, setelah mi dibentuk, mi instan biasanya dikeringkan dengan
cara digoreng atau dipanaskan. Jadi mi sebenarnya udah matang, maka hanya dengan
merebus air (sekitar 4 menit) sampai mendidih, mi instan sudah matang dan bisa
dimakan.
2.2.2. Nilai Gizi Mi Basah
Bahan baku untuk membuat mi adalah tepung terigu, telur, air, dan bahan
tambahan lainnya. Dengan demikian, mi mengandung karbohidrat, protein, lemak,
dan mineral. Adapun komposisi gizi bahan pembuat mi disajikan dalam tabel berikut
(Suyanti, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3. Komposisi Bahan Baku Mi Setiap 100 Gram Bahan Zat Gizi Terigu Telur Ayam
Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (mg) Vitamin B1 (mg) Air (g) BDD(%)
365 8,9 1,3
77,3 16
106 1,2 -
0,12 12
100
162 12,8 11,5 0,7 54 180 2,7 900 0,1 74 90
Sumber: DKBM, 2005
Mi basah merupakan bahan pangan sumber energi. Energi yang dihasilkan mi
basah berasal dari protein, karbohidrat, dan lemak yang terkandung dalamnya. Setiap
1 gram protein dan karbohidrat menyumbang energi sebesar 4 kkal, dan 1 gram
lemak menyumbang energi sebesar 9 kkal.
2.2.3. Bahan Pembuatan Mi Basah
1. Tepung Terigu
Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mi. Tepung terigu diperoleh
dari biji gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Keistimewaan terigu diantara
serealia lainnya adalah kemampuannya membentuk gluten pada adonan mi
menyebabkan mi yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan
pemasakan. Mutu terigu yang dikehendaki adalah terigu yang memiliki kadar air
14%, kadar protein 8-12%, kadar abu 0,25-0,60% dan gluten basah 24-36 %
(Astawan, 2008). Bila ingin mendapatkan mutu mi yang lebih baik dapat
menggunakan terigu jenis hard flour dengan kadar gluten yang lebih tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan kandungan protein (gluten), terdapat 3 jenis terigu yang ada dipasaran,
yaitu sebagai berikut (Suyanti, 2010):
a. Terigu hard flour. Terigu jenis ini mempunyai kadar protein 12-13 %. Jenis
tepung ini digunakan untuk pembuatan mi dan roti. Contohnya terigu cap cakra
kembar.
b. Terigu medium hard flour. Jenis tepung ini mrngandung protein 9,5-11 %.
Tepung ini banyak digunkan untuk campuran pembuatan mie, roti dan kue.
Contohnya adalah terigu cap segitiga biru.
c. Terigu soft flour. Jenis terigu ini mengandung protein 7-8,5 %. Jenis tepung ini
hanya cocok untuk membuat kue. Contohnya adalah terigu cap kunci.
2. Air
Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat (akan
mengembang), melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Air yang
digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6-9. makin tinggi pH air maka mi yang
dihasilkan tidak mudah patah karena absorbsi air mengikat dengan meningkatnya pH.
Selain pH, air yang digunakan harus air yang memenuhi persyaratan sebagai air
minum, diantaranya tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasal (Astawan, 2008).
Adapun jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan berkisar 28-38 %. Jika air
kurang dari 28 % adonan menjadi sulit dicetak. Sementara itu, penambahan air yang
lebih dari 38 % akan menyebabkan adonan itu lengket (Suyanti, 2010).
3. Garam Dapur
Dalam pembutan mi, penambahan garam dapur untuk memberi rasa,
memperkuat tekstur mi, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mi, serta untuk
Universitas Sumatera Utara
mengikat air (Astawan, 2008). Penambahan garam pada pembuatan mi juga dapat
menghambat pertumbuhan jamur/kapang serta menghambat aktivitas enzim protease
dan amilase sehingga adonan menjadi tidak lengket dan mengembang secara
berlebihan (Suyanti, 2010). Penambahan garam dapur pada pembuatan mi sebanyak
10 gram setiap 1 kg tepung (Sutomo, 2008)
4. Telur
Secara umum, penambahan telur dimaksudkan untuk meningkatkan mutu
protein mi dan menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak mudah terputus-
putus. Putih telur berfungsi untuk mencegah kekeruhan saus mi waktu pemasakan.
Penggunaan putih telur harus secukupnya saja, karena pemakaian yang berlebihan
dapat menurunkan kemampuan mi menyerap air waktu direbus.
Kuning telur dipakai sebagai pengemulsi karena dalam kuning telur terdapat
lechitin. Selain sebagai pengemulsi, lechitin juga dapat mempercepat hidrasi air pada
tepung dan untuk mengembangkan adonan. Penambahan kuning telur juga akan
memberikan warna yang seragam (Astawan, 2008).
Pemakaian minimal telur adalah 3-10% dari berat tepung. Mi yang
menggunakan telur rasanya lebih gurih, lebih kenyal, dan elastis (Suyanti, 2010).
5. CMC (Carboxy Methyl Cellulose)
Carboxy Methyl Cellulose adalah turunan dari selulosa dan sering dipakai
dalam industri makanan untuk mendapatkan tekstur yang baik. Fungsi CMC yang
terpenting adalah sebagai pengental, stabilisator, pembentuk gel, sebagai pengemulsi
dan dalam beberapa hal dapat meratakan penyebaran antibiotik (Winarno, 1997).
Emulsifier memiliki kemampuan untuk menyatukan dua jenis bahan yang tidak saling
Universitas Sumatera Utara
melarut karena molekulnya terdiri dari gugus hidrofilik dan lipofilik sekaligus. Gugus
hidrofilik mampu berikatan dengan air atau bahan lain yang bersifat polar, sedangkan
gugus lipofilik mampu berikatan dengan minyak atau bahan lain yang bersifat non
polar (Suryani et al., 2002). Karboksi metil selulosa memiliki sifat higroskopis,
mudah larut dalam air, dan membentuk larutan koloid (Astawan, 2008).
Dalam pembuatan mi, CMC berfungsi sebagai pengembang. Bahan ini dapat
mempengaruhi sifat adonan, memperbaiki ketahanan tehadap air, dan
mempertahankan keempukkan selama penyimpanan (Widyaningsih, 2006). Jumlah
bahan pengembang yang ditambahkan berkisar antara 0,5-1,0 % dari berat tepung
terigu, tergantung dari jenis terigu. Penggunaan yang berlebihan akan menyebabkan
tekstur mi terlalu keras dan daya rehidrasi mi menjadi berkurang (Astawan, 2008).
6. Garam Alkali
Terdapat beberapa jenis garam alkali yang biasa digunakan dalam pada
pembuatan mi antara lain sebagai berikut :
1. Sodium karbonat (Na2CO3) atau dikenal dengan nama soda abu
2. Potasium karbonat (K2CO3) atau kalium karbonat
3. STPP (sodium tripolifosfat)
4. Kansui (air abu) (Suyanti, 2010).
Soda abu merupakan campuran dari natrium karbonat dan kalium karbonat
(perbandingan 1:1). Berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan
elastisitas dan fleksibilitas mie, meningkatkan kehalusan tekstur, serta meningkatkan
sifat kenyal. Bahan ini dapat diperoleh di toko-toko penjual bahan kimia
(Astawan,2008). Sunaryo (1985) menyatakan bahwa natrium karbonat dan garam
Universitas Sumatera Utara
fosfat telah sejak dahulu dipakai sebagai alkali utuk pembuatan mie. Komponen
tersebut berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas
dan fleksibilitas (garam fosfat) dan meningkatkan kehalusan tekstur (pengaruh
senyawa Na2CO3).
Garam alkali yang ditambahkan pada pembuatan mi cukup dipilih satu jenis
saja atau campuran dari 2 jenis. Jumlah maksimum garam alkali yang ditambahkan
pada pembuatan mi adalah 1 % dari total pemakaian tepung terigu yang digunakan.
Fungsi penambahan garam alkali ke dalam pembuatan mi adalah sebagai berikut
(Suyanti, 2010):
a. Menguatkan struktur gluten sehingga menjadi mi yang lentur
b. Mengubah sifat pati tepung terigu sehingga menjadi lebih kenyal.
c. Mengubah sifat zat warna (pigmen) dalam terigu sehingga lebih cerah
d. Semakin besar garam alkali yang digunakan, mi semakin keras dan kenyal.
Namun, penggunaan yang berlebihan akan menyebabkan bau yang tidak sedap
pada mi yang dihasilkan.
2.2.4. Proses Pembuatan Mi Basah
1. Pencampuran dan pengadukan
Tahap awal dalam pembuatan mi adalah pencampuran tepung terigu dengan
air. Campuran diaduk sampai menjadi adonan yang merata, lama proses ini kira-kira
15 menit. Adonan yang terbentuk diharapkan lunak, lembut, halus, dan kompak
(Astawan, 2008). Tujuan pengadukan adalah mencampur rata air dan bahan lainnya
hingga membentuk adonan yang seragam atau homogen. Pengadukan juga bertujuan
untuk mengembangkan gluten serta membentuk warna mi. Waktu pengadukan yang
Universitas Sumatera Utara
baik sekitar 15 menit. Jika pengadukan lebih dari 25 menit, akan menyebabkan
adonan keras, rapuh, dan kering. Sementara itu, pengadukan kurang dari 15 menit
akan menyebabkan adonan lengket dan tidak merata. Ciri adonan yang baik adalah
agak pera, tidak menggumpal dan tidak kering, serta berwarna kekuningan merata
(Suyanti, 2010).
Proses pencampuran bertujuan untuk menghidrasi tepung dengan air,
membuatnya merata dengan mencampur dan membuat adonan dengan bentuk
jaringan gluten dengan meremas-remas. Untuk membuat adonan yang baik, faktor
yang harus diperhatikan adalah jumlah air yang ditambahkan, waktu pengadukan dan
temperatur (Soenaryo, 1985).
2. Pembentukan Lembaran
Setelah adonan menjadi homogen, campuran tersebut dimasukkan ke dalam
mesin pelempeng. Dalam mesin pelempeng, adonan akan dibentuk menjadi
lempengan-lempengan, dimana pada proses ini serat-serat gluten akan menjadi halus
(Astawan, 2008). Adonan mi yang telah terbentuk dimasukkan ke dalam alat pembuat
lembaran secara bertahap. Awalnya, lembaran yang terbentuk berupa lempengan
tebal. Penggilingan dilakukan beberapa kali sampai diperoleh lembaran agak tebal
yang kalis/merata. Penurunan ketebalan dilakukan secara bertahap. Hal ini
disebabkan jumlah penipisan akan berpengaruh terhadap sifat mi yang dihasilkan.
Lembaran mi yang terbentuk sebaiknya tidak sobek, permukaanya halus berwarna
kekuningan, dan merata serta terjaga dari kotoran (Suyanti,2010).
Universitas Sumatera Utara
3. Pembentukan Mi
Dari lembaran tipis tersebut kemudian secara otomatis masuk ke dalam mesin
penyisir lembaran tipis membentuk untaian tali seperti pita dengan selera konsumen
(Ubaidillah, 1997). Lembaran mi dimasukkan ke dalam alat pemotong mi dan alat
diputar sampai lembaran mi terpotong habis. Potongan mi ditaburi dengan tepung
tapioka dan siap untuk dimasak atau disimpan (Suyanti, 2010). Mi dibuat dalam
bentuk pilinan (bergelombang) karena memiliki keuntungan, diantaranya adalah
mempercepat laju penguapan dan penggorengan karena adanya konduksi panas dan
sirkulasi panas dari minyak di dalamnya (Astawan, 2008).
4. Perebusan
Setelah melalui proses pencetakan dilakukan pemasakan mi dengan
pemanasan. Pemanasan ini menyebabkan gelatinisasi dan koagulasi gluten. Menurut
Astawan (2008) gelatinisasi ini dapat menyebabkan :
- Pati meleleh dan membentuk lapisan tipis (film) yang dapat mengurangi
penyerapan minyak dan memberikan kelembutan mi.
- Meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mi.
- Terjadi perubahan pati beta menjadi alfa yang lebih mudah dimasak sehingga
struktur alfa ini harus dipertahankan dalam mi kering dengan cara dehidrasi
(pengeringan) sampai kadar air kurang dari 10 %.
Tahapan perebusan dilakukan pada pembuatan mi kering maupun mi basah.
Pemanasan tersebut menyebabkan gelatinisasi dan koagulasi gluten sehingga mi
menjadi keras, kuat, dan kenyal serta tidak menyerap minyak terlalu banyak saat
digoreng (Suyanti, 2010).
Universitas Sumatera Utara
5. Pendinginan
Mi yang telah direbus kemudian didinginkan. Tujuan pendinginan adalah
untuk melepaskan sisa uap panas. Jika tidak didinginkan, sisa uap panas akan
terkondensasi saat dikemas sehingga memberi peluang jamur untuk tumbuh (Suyanti,
2010). Mi yang telah direbus didinginkan dengan menggunakan kipas angin dalam
mesin pendingin. Mesin ini bekerja dengan meniupkan angin ke arah mi yang masih
panas. Proses pendinginan ini akan menyebabkan pengerasan minyak yang terserap
dan menempel pada mie sehingga mie pun menjadi keras (Astawan, 2008).
2.3 Cita Rasa Makanan
Menurut Wirakusumah (1990) yang dikutip oleh Latifah (2010), Kesukaan
terhadap makanan didasari oleh sensorik, sosial, psikologi, agama, emosi, budaya,
kesehatan, ekonomi, cara persiapan dan pemasakan makanan, serta faktor-faktor
terkait lainnya. Penilaian seseorang terhadap kualitas makanan berbeda-beda
tergantung selera dan kesenangannya. Perbedaan suku, pengalaman, umur dan tingkat
ekonomi seseorang mempunyai penilaian tertentu terhadap jenis makanan, sehingga
standar kualitas makanan sulit untuk ditetapkan. Walaupun demikian ada beberapa
aspek yang dapat dinilai yaitu persepsi terhadap cita rasa makanan, nilai gizi dan
higiene atau kebersihan makanan tersebut.
1. Penampilan dan cita rasa makanan
Menurut Moehyi (1992) yang dikutip oleh Latifah (2010), Cita rasa makanan
mencakup 2 aspek utama yaitu penampilan makanan sewaktu dihidangkan dan rasa
makanan pada saat dimakan. Kedua aspek tersebut sama pentingnya untuk
diperhatikan agar benar-benar dapat menghasilkan makanan yang memuaskan. Daya
Universitas Sumatera Utara
penerimaan terhadap suatu makanan ditentukan oleh rangsangan yang ditimbulkan
oleh makanan melalui indera penglihat, penciuman serta perasa atau pencecap bahkan
mungkin pendengar. Walaupun demikian faktor utama yang akhirnya mempengaruhi
daya penerimaan terhadap makanan yaitu rangsangan cita rasa yang ditimbulkan oleh
makanan itu. Oleh karena itu, penting sekali dilakukan penilaian cita rasa untuk
mengetahui daya penerimaan konsumen.
Menurut Winarno (1997) rasa suatu makanan merupakan faktor yang turut
menentukan daya terima konsumen. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain.
Warna makanan memegang peranan utama dalam penampilan makanan
karena merupakan rangsangan pertama pada indera mata. Warna makanan yang
menarik dan tampak alamiah dapat meningkatkan cita rasa. Oleh sebab itu dalam
penyeleggaraan makanan harus mengetahui prinsip-prinsip dasar untuk
mempertahankan warna makanan yang alami, baik dalam bentuk tehnik memasak
maupun dalam penanganan makanan yang dapat mempengaruhi makan.
2. Konsistensi atau tekstur makanan
Konsistensi atau tekstur makanan juga merupakan komponen yang turut
menentukan cita rasa makanan karena sensitifitas indera cita rasa dipengaruhi oleh
konsistensi makanan. Makanan yang berkonsistensi padat atau kental akan
memberikan rangsangan lebih lambat terhadap indera kita.
Penyajian makanan merupakan faktor tertentu dalam penampilan hidangan
yang disajikan. Jika penyajian makanan tidak dilakukan dengan baik, seluruh upaya
yang telah dilakukan guna menampilkan makanan dengan cita rasa tinggi akan tidak
Universitas Sumatera Utara
berarti. Penampilan makanan waktu disajikan akan merangsang indera terutama
penglihatan yang berkaitan dengan cita rasa makanan itu.
Rasa makanan merupakan faktor kedua yang menentukan cita rasa makanan
setelah penampilan makanan itu sendiri. Apabila penampilan makanan yang disajikan
merangsang saraf melalui indera penglihatan sehingga mampu membangkitkan selera
untuk mencicipi makanan itu, maka pada tahap selanjutnya rasa makanan itu akan
ditentukan oleh rangsangan terhadap indera penciuman dan indera perasa.
Aroma yang disebarkan oleh makanan merupakan daya tarik yang sangat kuat
dan mampu merangsang indera penciuman sehingga membangkitkan selera.
Timbulnya aroma makanan disebabkan oleh terbentuknya senyawa yang mudah
menguap sebagai akibat atau reaksi karena pekerjaan enzim atau dapat juga terbentuk
tanpa bantuan reaksi enzim.
2.4 Uji Organopleptik
Menurut Soekarto (2002) yang dikutip oleh Latifah (2010), Penilaian
organoleptik yang disebut juga penilaian indera atau penilaian sensorik merupakan
suatu cara penilaian yang sudah sangat lama dikenal dan masih sangat umum
digunakan. Metode penilaian ini banyak digunakan karena dapat dilaksanakan dengan
cepat dan langsung. Dalam beberapa hal, penilaian dengan indera bahkan memiliki
ketelitian yang lebih baik dibandingkan dengan alat ukur yang paling sensitif.
Penerapan penilaian organoleptik pada prakteknya disebut uji organoleptik yang
dilakukan dengan prosedur tertentu. Uji ini akan menghasilkan data yang
penganalisisan selanjutnya menggunakan metode statistika.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Rahayu (1998), Sistem penilaian organoleptik telah dibakukan dan
dijadikan alat penilaian di dalam Laboratorium. Penilaian organoleptik juga telah
digunakan sebagai metode dalam penelitian dan pengembangan produk. Dalam hal
ini prosedur penilaian memerlukan pembakuan yang baik dalam cara penginderaan
maupun dalam melakukan analisa data.
Indera yang berperan dalam uji organoleptik adalah indera penglihatan,
penciuman, pencicipan, peraba dan pendengaran. Panel diperlukan untuk
melaksanakan penilaian organoleptik dalam penilaian mutu atau sifat-sifat sensorik
suatu komoditi, panel bertindak sebagi instrumen atau alat. Panel ini terdiri atas orang
atau kelompok yang bertugas menilai sifat dari suatu komoditi. Orang yang menjadi
anggota panel disebut panelis.
2.5 Panelis
Untuk melaksanakan penilaian organoleptik diperlukan panel. Dalam
penilaian suatu mutu atau analisis sifat-sifat sensorik suatu komoditi, panel bertindak
sebagai instrumen atau alat. Panel ini terdiri dari orang atau kelompok yang bertugas
menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan subjektif. Orang yang menjadi
anggota panel disebut panelis.
Dalam penilaian organoleptik dikenal tujuh macam panel, yaitu panel
perseorangan, panel terbatas, panel terlatih, panel agak terlatih, panel tidak terlatih,
panel konsumen dan panel anak-anak. Perbedaan ketujuh panel tersebut didasarkan
pada keahlian dalam melakukan penilaian organoleptik (Rahayu, 1998).
Universitas Sumatera Utara
1. Panel Perseorangan
Panel perseorangan adalah orang yang sangat ahli dengan kepekaan spesifik
yang sangat tinggi yang diperoleh karena bakat atau latihan-latihan yang sangat
intensif. Panel perseorangan sangat mengenal sifat, peranan dan cara pengolahan
bahan yang akan dinilai dan menguasai metode-metode analisa organoleptik dengan
sangat baik. Keuntungan menggunakan panelis ini adalah kepekaan tinggi, bias dapat
dihindari, penilaian efisien. Panel perseorangan biasanya digunakan untuk mendeteksi
penyimpangan yang tidak terlalu banyak dan mengenali penyebabnya.
2. Panel Terbatas
Panel terbatas terdiri dari 3-5 orang yang mempunyai kepekaan tinggi
sehingga bias lebih dapat dihindari. Panelis ini mengenal dengan baik faktor-faktor
dalam penilaian organoleptik dan mengetahui cara pengolahan dan pengaruh bahan
baku terhadap hasil akhir.
3. Panel Terlatih
Panel terlatih terdiri dari 15-25 orang yang mempunyai kepekaan cukup baik.
Untuk menjadi panelis terlatih perlu didahului dengan seleksi dan latihan-latihan.
Panelis ini dapat menilai beberapa rangsangan sehingga tidak terlampau spesifik.
4. Panel Agak Terlatih
Panel agak terlatih terdiri dari 15-25 orang yang sebelumya dilatih untuk
mengetahui sifat-sifat tertentu. Panel agak terlatih dapat dipilih dari kalangan terbatas
dengan menguji datanya terlebih dahulu. Sedangkan data yang sangat menyimpang
boleh tidak digunakan dalam keputusannya.
Universitas Sumatera Utara
5. Panel Tidak Terlatih
Panel tidak terlatih terdiri dari 25 orang awam yang dapat dipilih berdasarkan
jenis suku-suku bangsa, tingkat sosial dan pendidikan. Panel tidak terlatih hanya
diperbolehkan menilai sifat-sifat organoleptik yang sederhana seperti sifat kesukaan,
tetapi tidak boleh digunakan dalam uji pembedaan. Panel tidak terlatih biasanya
terdiri dari orang dewasa dengan komposisi panelis pria sama dengan panelis wanita.
6. Panel Konsumen
Panel konsumen terdiri dari 30 hingga 100 orang yang tergantung pada target
pemasaran komoditi. Panel ini mempunyai sifat yang sangat umum dan dapat
ditentukan berdasarkan perorangan atau kelompok tertentu.
7. Panel Anak-anak
Panel yang khas adalah panel yang menggunakan anak-anak berusia 3-10
tahun. Biasanya anak-anak digunakan sebagai panelis dalam penilaian produk-produk
pangan yang disukai anak-anak seperti permen, es krim dan sebagainya. Cara
penggunaan panelis anak-anak harus bertahap, yaitu dengan pemberitahuan atau
dengan bermain bersama, kemudian dipanggil untuk diminta responnya terhadap
produk yang dinilai dengan alat bantu gambar seperti boneka yang sedang sedih,
biasa atau tertawa.
2.6 Perhitungan Zat Gizi Bahan Makanan Berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM)
Menurut Auliana (2001), untuk mengetahui nilai gizi bahan pangan atau
makanan diperlukan suatu pedoman, yaitu berupa daftar komposisi bahan makanan
Universitas Sumatera Utara
(DKBM) atau daftar kandungan zat gizi bahan makanan (DKGM). Ada pula yang
menyebut daftar komposisi zat pangan Indonesia (DKGPI).
DKBM adalah suatu daftar yang memuat angka-angka kandungan zat gizi
berbagai jenis makanan, baik mentah maupun masak atau hasil olahan yang ada di
Indonesia. Sebagian besar jenis pangan yang disajikan dalam DKGM berbentuk
makanan mentah. DKGM memuat sepuluh jenis zat gizi dan energi. Zat gizi tersebut
meliputi protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, vitamin B1,
vitamin C, dan air. Bagian akhir dari DKBM memuat bagian yang dapat dimakan
atau edible portion (BDD).
1. Analisis Kadar Zat Gizi DKBM
Untuk mengetahui kadar zat gizi suatu bahan pangan atau makanan harus
dihitung dulu bagian yang dapat dimakan (BDD). Misalnya, tangkai sayuran yang
tidak bisa dimakan dibuang, buah salak dikupas kulitnya dan bijinya dibuang. Pada
umumnya, bahan pangan atau makanan diambil sebanyak 100 gram berat kotor,
kemudian dihitung persentase BDD-nya.
2. Penggunaan DKBM
Untuk memudahkan penggunaannya, bahan makanan dalam DKBM
dikelompokkan menjadi sepuluh golongan, yaitu :
a. serealia (padi-padian), umbi, dan hasil olahannya
b. kacang-kacangan, biji-bijian, dan hasil olahannya
c. daging dan hasil olahannya d. telur dan hasil olahannya e. ikan, kerang, udang, dan hasil
olahannya
f. sayuran dan hasil olahannya g. buah-buahan h. susu dan hasilnya i. lemak dan minyak j. serba-serbi
Universitas Sumatera Utara
2.7 Kerangka Konsep
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
2.8 Hipotesis Penelitian
Ho : Tidak ada pengaruh penambahan tepung biji durian 15%, 20%, dan
25% terhadap aroma, warna, rasa, dan tekstur mi basah.
Ha : Ada pengaruh penambahan tepung biji durian 15%, 20%, dan 25%
terhadap aroma, warna, rasa, dan tekstur mi basah.
Mi Basah
Cita rasa (Aroma, Warna, Rasa, dan Tekstur)
- Tepung biji durian 15% - Tepung biji durian 20% - Tepung biji durian 25%
Tepung Terigu
Universitas Sumatera Utara