chapter ii.pdf

16
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Gangguan Pendengaran Menurut World Health Organization (WHO), gangguan pendengaran adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan kehilangan pendengaran di satu atau kedua telinga (WHO, 2010). Menurut Weber et al. (2009) gangguan pendengaran didefinisikan sebagai pengurangan dalam kemampuan seseorang untuk membedakan suara. Gangguan pendengaran berbeda dengan ketulian. Gangguan pendengaran (hearing impairment) berarti kehilangan sebagian dari kemampuan untuk mendengar dari salah satu atau kedua telinga. Ketulian (deafness) berarti kehilangan mutlak kemampuan mendengar dari salah satu atau kedua telinga (WHO, 2010). 2.2. Epidemiologi 2.2.1. Prevalensi Menurut laporan Global Burden of Disease (GBD), estimasi penderita gangguan pendengaran derajat sedang di dunia pada tahun 2004 berjumlah 360,8 juta orang, dan jumlah penderita gangguan pendengaran derajat berat di dunia dianggarkan sebanyak 275,7 juta orang. Daerah Asia Tenggara mempunyai distribusi tertinggi penderita gangguan pendengaran dengan estimasi penderita sebanyak 178,3 juta orang, diikuti daerah Pasifik Barat (159,2 juta orang), Eropa (120,3 juta orang), Amerika (76,7 juta orang), Afrika (56,2 juta orang), dan Mediterranean Timur (56,2 juta orang). Estimasi penderita gangguan pendengaran derajat sedang di Asia Tenggara pada tahun 2004 berjumlah 88,5 juta orang, dan jumlah penderita gangguan pendengaran derajat berat di Asia Tenggara dianggarkan sebanyak 89,8 juta orang. (GBD, 2004). Prevalensi kasus gangguan pendengaran di Indonesia dijumpai sebanyak 4,6%, dengan estimasi penderita gangguan pendengaran sebanyak 9,6 juta orang. Indonesia mempunyai kasus gangguan pendengaran yang kedua tertinggi di Asia Tenggara selepas India (630 juta penderita) (WHO, 2001). Universitas Sumatera Utara

Upload: ervina-pratiwi-simangunsong-ii

Post on 14-Dec-2015

2 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Chapter II.pdf

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Gangguan Pendengaran

Menurut World Health Organization (WHO), gangguan pendengaran adalah

istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan kehilangan pendengaran di satu

atau kedua telinga (WHO, 2010).

Menurut Weber et al. (2009) gangguan pendengaran didefinisikan sebagai

pengurangan dalam kemampuan seseorang untuk membedakan suara.

Gangguan pendengaran berbeda dengan ketulian. Gangguan pendengaran

(hearing impairment) berarti kehilangan sebagian dari kemampuan untuk mendengar

dari salah satu atau kedua telinga. Ketulian (deafness) berarti kehilangan mutlak

kemampuan mendengar dari salah satu atau kedua telinga (WHO, 2010).

2.2. Epidemiologi

2.2.1. Prevalensi

Menurut laporan Global Burden of Disease (GBD), estimasi penderita

gangguan pendengaran derajat sedang di dunia pada tahun 2004 berjumlah

360,8 juta orang, dan jumlah penderita gangguan pendengaran derajat berat di

dunia dianggarkan sebanyak 275,7 juta orang.

Daerah Asia Tenggara mempunyai distribusi tertinggi penderita

gangguan pendengaran dengan estimasi penderita sebanyak 178,3 juta orang,

diikuti daerah Pasifik Barat (159,2 juta orang), Eropa (120,3 juta orang),

Amerika (76,7 juta orang), Afrika (56,2 juta orang), dan Mediterranean Timur

(56,2 juta orang).

Estimasi penderita gangguan pendengaran derajat sedang di Asia

Tenggara pada tahun 2004 berjumlah 88,5 juta orang, dan jumlah penderita

gangguan pendengaran derajat berat di Asia Tenggara dianggarkan sebanyak

89,8 juta orang. (GBD, 2004).

Prevalensi kasus gangguan pendengaran di Indonesia dijumpai

sebanyak 4,6%, dengan estimasi penderita gangguan pendengaran sebanyak

9,6 juta orang. Indonesia mempunyai kasus gangguan pendengaran yang

kedua tertinggi di Asia Tenggara selepas India (630 juta penderita) (WHO,

2001).

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II.pdf

2.2.2. Faktor Sosio Demografi

a. Faktor Umur

Menurut estimasi WHO, prevalensi permulaan (onset) gangguan

pendengaran pada orang dewasa di Indonesia adalah lebih tinggi secara

signifikan dibandingkan dengan prevalensi permulaan gangguan

pendengaran pada anak-anak, yaitu 7,1% untuk orang dewasa

dibandingkan 0,80% untuk anak-anak (WHO, 2001).

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin dilaporkan tidak berperan secara signifikan dalam kasus

gangguan pendengaran. Secara global, lelaki dikatakan lebih sering

mengalami masalah gangguan pendengaran daripada wanita. Hal yang

sama terjadi di daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia dengan

perbandingan lelaki kepada wanita adalah 1 : 2 (WHO, 2001).

c. Faktor Lingkungan Hidup

Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran (1994 -

1996) mendapati bahwa prevalensi gangguan pendengaran lebih besar

di daerah pedesaan dibandingkan dengan perkotaan di Indonesia, yaitu

16,9% kasus di daerah pedesaan dibandingkan 16,3% kasus di daerah

perkotaan (Suwento, 2007).

d. Faktor lingkungan pekerjaan

Gangguan pendengaran yang terjadi dalam industri menempati urutan

pertama dalam daftar penyakit akibat kerja di Amerika dan Eropa

(Soetjipto, 2007).

Pada tahun 1990, sekitar 30 juta orang di Amerika Serikat terpapar

pada tingkat kebisingan di atas 85 dB setiap hari kerja, dibandingkan

dengan lebih 9 juta orang pada tahun 1981 (Hashim, 2001).

Pekerjaan yang berisiko tinggi untuk gangguan pendengaran adalah

sektor pembangunan, transportasi, pertambangan, pertanian dan militer

(Concha-Barrientos, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II.pdf

2.3. Klasifikasi Gangguan Pendengaran

Menurut Weber et al (2009), gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan

menjadi 3 jenis, yaitu :

- konduktif

- sensorineural

- campuran

Pada gangguan jenis konduktif terdapat gangguan hantaran suara, disebabkan

oleh kelainan atau penyakit di telinga luar atau di telinga tengah.

Pada gangguan jenis sensorineural terdapat kelainan pada koklea, nervus

vestibulocochlearis (VIII) atau di pusat pendengaran, sedangkan gangguan campuran

disebabkan oleh kombinasi gangguan konduktif dan sensorineural.

Gangguan campuran dapat merupakan akibat suatu penyakit, misalnya radang

telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang

berlainan, misalnya tumor nervus VIII (sensorineural) dengan radang telinga tengah

(konduktif) (Soetirto et al. 2007).

Nilai dari gangguan pendengaran menurut WHO oleh Dhingra (2008) :

Derajat

penurunan

Ambang pendengaran di telinga yang sehat

(Rata-rata 500, 1000, 2000, 4000 Hz)

Deskripsi penurunan

0

(No

impairment)

0 - 25

Tidak ada atau

sangat sedikit

masalah

pendengaran. Dapat

mendengar

bisikan.

1

(Mild

impairment)

26 - 40

Mampu mendengar

dan mengulangi

kata-kata yang

diucapkan dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II.pdf

suara normal

pada jarak 1 meter.

2

(Moderate

impairment)

41 - 60

Mampu mendengar

dan mengulangi

kata-kata yang

diucapkan dengan

suara meninggi

pada jarak 1 meter.

3

(Severe

impairment)

61 - 80

Mampu mendengar

beberapa kata

dengan suara

berteriak ke telinga

yang sehat.

4

(Profound

impairment

(including

deafness))

81 atau lebih besar

Tidak dapat

mendengar dan

mengerti bahkan

dengan suara

berteriak.

2.4. Anatomi Telinga

2.4.1. Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran

timpani.

Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga

berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,

sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya

kira-kira 2 - 3 cm.

Pada sepertiga bagian luar kulit telinga terdapat banyak kelenjar

serumen (modifikasi kelenjar keringat) dan rambut (Soetirto et al. 2007).

2.4.2. Telinga Tengah

Telinga tengah berbentuk kubus dengan :

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II.pdf

- batas luar : membran timpani

- batas depan : tuba Eustachius

- batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)

- batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis

- batas atas : tegmen timpani (meningen / otak)

- batas dalam : kanalis semisirkularis horizontal, kanalis

fasialis, tingkap lonjong (oval window),

tingkap bundar (round window) dan

promontorium.

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah

liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas

disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars

tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar

ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel

kubus bersilia, seperti epitel saluran nafas. Pars tensa mempunyai satu lapis

lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat

elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkular pada bagian

dalam.

Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani

disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light)

ke arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5

untuk membran timpani kanan. Terdapat dua macam serabut di membran

timpani, sirkular dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya

refleks cahaya yang berupa kerucut itu.

Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang

tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes.

Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan.

Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada

inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong

yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang

pendengaran merupakan persendian.

Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini

terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah

dengan mastoid.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II.pdf

Tuba Eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan

daerah nasofaring dengan telinga tengah (Soetirto et al. 2007).

2.4.3. Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran

dan vestibular yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau

puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani

dengan skala vestibuli.

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan

membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea

tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala

media (duktus koklearis). Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa,

sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di

perilimfa berbeda dengan endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai

membran vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media

adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ Corti.

Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidahyang disebut

membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri

dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk

organ Corti (Soetirto et al. 2007).

2.5. Fisiologi Telinga

2.5.1. Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh

daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau

tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan

ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan

mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan

perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.

Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes

yang menggetarkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule

bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong

endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris

dan membran tektoria.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II.pdf

Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya

defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi

pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel.

Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga

melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan

potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius

sampai ke korteks pendengaran (area 39 - 40) di lobus temporalis (Soetirto et

al. 2007).

2.5.2. Gangguan Fisiologi Pendengaran

Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan

gangguan konduktif, sedangkan gangguan telinga dalam menyebabkan

gangguan sensorineural, yang terbagi atas gangguan koklea dan gangguan

retrokoklea.

Sumbatan tuba Eustachius menyebabkan gangguan telinga tengah dan

akan terdapat gangguan konduktif. Gangguan pada vena jugularis berupa

aneurisma akan menyebabkan telinga berbunyi sesuai dengan denyut jantung.

Antara inkus dan maleus berjalan cabang nervus facialis yang disebut

korda timpani. Bila terdapat radang di telinga tengah atau trauma mungkin

korda timpani terjepit, sehingga timbul gangguan pengecapan.

Di dalam telinga dalam terdapat alat keseimbangan dan alat

pendengaran. Obat-obat dapat merusak stria vaskularis, sehingga saraf

pendengaran rusak, dan terjadi gangguan sensorineural. Setelah pemakaian

obat ototoksik seperti streptomisin, akan terdapat gejala gangguan

sensorineural dan gangguan keseimbangan (Soetirto et al. 2007).

2.6. Patofisiologi berdasarkan Etiologi

2.6.1. Telinga Luar

a. Kongenital

Kanalis auditori eksterna berkembang dari minggu 8 sampai minggu

ke 28 kehamilan; masalah dapat terjadi kapan saja selama fase

perkembangan.

Mikrotia, yaitu malformasi dari aurikula, bias menyebabkan gangguan

pendengaran konduktif ringan sampai sedang.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II.pdf

Atresia atau stenosis signifikan kanalis auditori eksterna menyebabkan

gangguan pendengaran konduktif sedang sampai berat (Weber et al.

2009).

b. Trauma

Pinna dapat mengalami trauma, baik dari benturan langsung atau suhu

yang ekstrem. Benturan keras pada telinga dapat menyebabkan

perdarahan antara tulang rawan dan membran di atasnya,

menghasilkan apa yang dikenal sebagai cauliflower ear. Pinna juga

dapat terjejas akibat radang dingin (frostbite) (Alberti, 1999).

Trauma penetrasi ke kanalis auditori eksterna atau meatus disebabkan

luka tembak, luka tusuk atau fraktur dapat menyebabkan gangguan

pendengaran konduktif ringan sampai berat, tergantung pada tingkat

oklusi kanalis auditori eksterna (Weber et al. 2009).

c. Infeksi

Kulit adalah halus, mudah terkelupas sehingga mudah meradang. Hal

ini bisa terjadi ketika berada di tempat yang panas, kondisi lembab

terutama ketika berenang dalam air yang terinfeksi yang menghasilkan

swimmer’s ear.

Penggunaan sarung bulu atau muffs pada telinga terutama dalam cuaca

panas dapat menghasilkan kondisi yang sangat panas dan lembab di

dalam saluran telinga sehingga daerah ini rentan terhadap infeksi,

insersi dan pengeluaran penyumbat telinga atau ear plug bisa

menghasilkan peradangan (Alberti, 1999).

Spektrum infeksi mencakup bentuk-bentuk akut atau kronis. Dalam hal

infeksi perlu dipertimbangkan agen bakteri, jamur dan virus (Boies,

1997).

d. Serumen

Serumen ialah hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa,

epitel kulit yang terlepas dan partikel debu. Dalam keadaan normal,

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II.pdf

serumen terdapat di sepertiga luar liang telinga karena kelenjar tersebut

hanya ditemukan di daerah ini.

Serumen dapat keluar sendiri dari liang telinga akibat migrasi epitel

kulit yang bergerak dari arah membran timpani menuju ke luar serta

dibantu oleh gerakan rahang sewaktu mengunyah.

Gumpalan serumen yang menumpuk di dalam liang telinga akan

menimbulkan gangguan pendengaran konduktif terutama bila telinga

dimasuki air (sewaktu mandi, berenang), serumen mengembang

sehingga menimbulkan rasa tertekan dan gangguan pendengaran

semakin dirasakan sangat mengganggu (Sosialisman et al. 2007).

e. Pertumbuhan tulang jinak

Exostosis

Exostosis atau pertumbuhan tulang jinak pada kanalis auditori

eksterna paling sering terjadi pada orang yang memiliki

pemaparan ulang terkena air dingin (Weber et al. 2009).

Exostosis kadang-kadang terlihat seperti mutiara putih dan

sering dikelirukan sebagai kista, mungkin mengobstruksi

membran timpani (Alberti, 1999).

Osteoma

Osteoma adalah pertumbuhan tulang tunggal yang paling sering

terikat dengan garis sutura timpani skuamosa. Osteoma

biasanya lebih sering ditemukan lebih ke arah meatus

dibandingkan dengan exostosis yang biasanya lebih ke arah

medial dan medekati membran timpani (Weber et al. 2009).

f. Tumor

Tumor ganas yang paling sering dijumpai di kanalis auditori eksterna

adalah karsinoma sel skuamosa. Karsinoma sel skuamosa dan tumor

kanalis auditori eksterna lain seperti karsinoma sel basal dan

melanoma, biasanya menyebabkan gangguan pendengaran konduktif

akibat oklusi kanalis auditori eksterna (Weber et al. 2009).

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II.pdf

g. Polip jinak

Polip jinak dapat terjadi akibat kondisi otologik lain, seperti infeksi

telinga kronis atau kolesteatoma.

Kadang-kadang, polip jinak dapat tumbuh cukup besar untuk

mengaburkan lumen kanalis auditori eksterna (Weber et al. 2009).

h. Penyakit sistemik

Diabetes mellitus dan kondisi-kondisi lain yang dapat mengakibatkan

kompromi sistem imun dapat menjadi faktor predisposisi

berkembangnya otitis eksterna nekrotikans yang dapat menyebabkan

terjadinya gangguan pendengaran akibat oklusi kanalis auditori

eksterna (Weber et al. 2009).

i. Dermatologi

Penyakit kulit tertentu seperti psoriasis dapat menyebabkan lesi pada

kanalis auditori eksterna dan meatus (Weber et al. 2009).

Lesi tersebut dicirikan oleh kemerahan, rasa gatal, pembengkakan, dan

stadium eksudat cair yang diikuti oleh pembentukan krusta (Boies,

1997).

Insersi dan pengeluaran penyumbat telinga atau ear plug dengan

tangan yang kotor dapat menyebabkan dermatitis kontak pada liang

telinga (Alberti, 1999).

2.6.2. Telinga Tengah

a. Kongenital

Atresia atau malformasi rantai osikular dapat menyebabkan gangguan

pendengaran konduktif. Abnormalitas osikular yang paling umum

adalah hilangnya atau dislokasi (malalignment) cura tulang stapes.

Namun demikian, gangguan pendengaran konduktif sering disebabkan

oleh abnormalitas inkus atau sendi malleoinkuidal (Weber et al. 2009).

b. Trauma

Benturan langsung

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II.pdf

Benturan keras pada sisi kepala dapat menyebabkan perforasi

membran timpani, yang biasanya sembuh secara spontan.

Benturan berat pada kepala dapat menyebabkan fraktur tulang

temporal dan fraktur atau dislokasi rantai osikular.

Hal ini dapat menyebabkan gangguan pendengaran konduktif

yang signifikan, dan biasanya disertai gangguan pendengaran

sensorineural.

Benda asing

Membran timpani dapat megalami perforasi langsung akibat

tusukan benda tajam di dalam telinga atau dengan ledakan

(Alberti, 1999).

Barotrauma (Aerotitis)

Barotrauma adalah keadaan dengan terjadinya perubahan

tekanan yang tiba-tiba di luar telinga tengah sewaktu di dalam

pesawat terbang atau menyelam, yang menyebabkan tuba

Eustachius gagal untuk membuka. Apabila perbedaan tekanan

melebihi 90 cmHg, maka otot yang normal aktivitasnya tidak

mampu membuka tuba. Pada keadaan ini terjadi tekanan

negatif di rongga telinga tengah, sehingga cairan keluar dari

pembuluh darah kapiler mukosa dan kadang-kadang disertai

dengan ruptur pembuluh darah, sehingga cairan di telinga

tengah dan rongga mastoid tercampur darah (Djaafar et al.

2007).

Penyelam akan mengalami penyumbatan atau perdarahan

telinga tengah jika mereka tidak dapat membersihkan telinga

ketika sedang naik atau turun. Aktivitas menyelam dalam air

yang dingin dapat menganggu fungsi tuba Eustachius, dengan

demikian menurunkan kemampuan untuk menyamakan tekanan

telinga tengah (Alberti, 1999).

c. Gangguan fungsi tuba eustachius

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II.pdf

Tuba terbuka abnormal

Tuba terbuka abnormal ialah tuba yang terus menerus terbuka,

sehingga udara masuk ke dalam telinga tengah sewaktu

respirasi. Keadaan ini dapat disebabkan oleh hilangnya jaringan

lemak di sekitar mulut tuba sebagai akibat penurunan berat

badan yang hebat, penyakit kronis tertentu seperti rinitis atrofi

dan faringitis, gangguan fungsi otot seperti miastenia gravis,

penggunaan obat anti hamil pada wanita dan penggunaan

estrogen pada lelaki.

Obstruksi tuba

Obstruksi tuba dapat terjadi oleh berbagai kondisi, seperti

peradangan di nasofaring, peradangan adenoid atau tumor

nasofaring (Djaafar et al. 2007).

d. Infeksi

Penyebab paling umum penyakit telinga tengah adalah infeksi saluran

pernafasan akut yang menyebabkan otitis media akut atau otitis media

kronis. Telinga tengah yang menjadi bagian dari saluran pernafasan

adalah rentan pada infeksi yang sama dengan hidung dan sinus

(Alberti, 1999).

Pada gangguan ini biasanya terjadi disfungsi tuba Eustachius seperti

obstruksi yang diakibatkan oleh infeksi saluran nafas atas, sehingga

timbul tekanan negatif di telinga tengah.

Sebaliknya, terdapat gangguan drainase cairan telinga tengah dan

kemungkinan refluks sekresi esofagus ke daerah ini yang secara

normal bersifat steril.

Cara masuk bakteri pada kebanyakan pasien kemungkinan melalui

tuba Eustachius akibat kontaminasi sekret dalam nasofaring. Bakteri

juga dapat masuk telinga tengah bila ada perforasi membran timpani.

Eksudat purulen biasanya ada dalam telinga tengah dan mengakibatkan

gangguan pendengaran konduktif (Djaafar et al. 2007).

e. Tumor

Kolesteatoma

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II.pdf

Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi

deskuamasi jaringan epitel dalam ruang telinga tengah.

Kolesteatoma kongenital terjadi karena perkembangan dari

proses inklusi pada embrional atau dari sel-sel epitel

embrional. Karena itu kolesteatoma ditemui di belakang dari

membran timpani yang intak, tanpa berlanjut ke saluran telinga

luar dengan tidak adanya faktor-faktor yang lain seperti

perforasi dari membran timpani, atau adanya riwayat infeksi

pada telinga (Weber et al. 2009).

Jika terjadi disfungsi tuba Eustachius, maka terjadilah keadaan

vakum pada telinga tengah. Sehingga pars flaksida membran

timpani tertarik dan membentuk kantong retraksi (retraction

pocket). Jika kantong retraksi ini terbentuk maka terjadi

perubahan abnormal pola migrasi epitel timpani, menyebabkan

akumulasi keratin pada kantong tersebut. Akumulasi ini

semakin lama semakin banyak dan kantong retraksi bertambah

besar ke arah medial. Destruksi tulang-tulang pendengaran

sering terjadi. Pembesaran dapat berjalan semakin ke posterior

mencapai aditus ad antrum menyebar ke tulang mastoid, erosi

tegmen mastoid ke durameter dan atau ke lateral kanalis

semisirkularis yang dapat menyebabkan ketulian dan vertigo

(Djaafar et al. 2007).

Otosklerosis

Otosklerosis adalah pertumbuhan tulang lunak pada footplate

stapes. Apabila tulang lunak tersebut berkembang, stapes tidak

dapat lagi berfungsi sebagai piston, melainkan bolak-balik dan

akhirnya benar-benar terfiksasi. Konduksi semakin memburuk

secara bertahap sampai gangguan pendengaran konduktif

maksimal 60 dB tercapai (Weber et al. 2009).

2.6.3. Telinga Dalam

a. Kongenital

Gangguan pendengaran kongenital adalah gangguan pendengaran yang

terjadi pada atau segera setelah kelahiran, baik akibat faktor herediter

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II.pdf

atau non herediter. Gangguan pendengaran sensorineural dapat

diwarisi dalam pola autosomal yang dominan atau resesif, 90 % adalah

autosomal resesif di mana anak-anak mempunyai orang tua dengan

pendengaran normal.

Malformasi kongenital juga bisa terjadi di telinga dalam, ini termasuk

apa-apa dari atresia lengkap ke rongga pada koklea (Weber et al.

2009).

b. Presbikusis

Presbikusis adalah gangguan pendengaran sensorineural yang

berhubungan dengan penuaan. Beberapa faktor mempengaruhi

kecepatan terjadinya gangguan pendengaran termasuk paparan

terhadap kebisingan seumur hidup, genetika, obat-obatan, dan infeksi.

Gangguan pendengaran biasanya menjadi lebih signifikan dalam

dekade keenam dan biasanya simetris, dimulai pada batas frekuensi

tinggi (Weber et al. 2009).

c. Infeksi

Infeksi telinga dalam yang paling umum pada orang dewasa adalah

viral cochleitis, dan meningitis pada anak-anak (Weber et al. 2009).

Meningitis umumnya mempengaruhi telinga dalam karena cairan

perilimfa mempunyai kontinuitas langsung dengan cairan serebro

spinal. Meningitis mengakibatkan respon inflamatori akut pada

meninges dan juga pada koklea yang sama sekali menghancurkan

koklea (Alberti, 1999).

d. Penyakit Meniere

Penyakit Meniere adalah gangguan pendengaran akibat pembengkakan

rongga endolimfa (Levine, 1997).

Penderita penyakit Meniere mempunyai keluhan seperti serangan

episodik vertigo, tinnitus, dan gangguan pendengaran sensorineural

(Weber et al. 2009).

e. Kebisingan

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II.pdf

Paparan yang terus menerus terhadap suara yang keras dapat

menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural frekuensi tinggi.

Mekanisme di mana kebisingan yang berlebihan menyebabkan

gangguan pendengaran termasuk kerusakan mekanik langsung struktur

koklea dan metabolisme berlebihan akibat overstimulasi.

Beberapa efek metabolik yang berpotensi adalah pelepasan berlebihan

nitrat oksida yang dapat merusak sel-sel rambut, pembentukan radikal

bebas oksigen yang menjadi toksik di membran, dan konsentrasi

rendah magnesium yang melemahkan sel-sel rambut dengan cara

mengurangi konsentrasi kalsium intraseluler (Weber et al. 2009).

f. Trauma

Barotrauma telinga dalam dapat terjadi apabila terdapat perbedaan

tekanan antara telinga tengah dan telinga dalam yang menyebabkan

ruptur tingkap bundar dan lonjong.

Trauma penetrasi dapat menyebabkan gangguan pendengaran

sensorineural atau campuran. Kecederaan ini biasanya disebabkan oleh

luka tembak yang dapat mengakibatkan fraktur tulang temporal

(Weber et al. 2009).

g. Tumor

Tumor yang paling umum menyebabkan gangguan pendengaran

sensorineural adalah neuroma akustik, yang berasal dari bagian

vestibular saraf kranialis yang kedelapan (Weber et al. 2009).

h. Endokrin / sistemik / metabolik

Berbagai kelainan metabolik telah diketahui menjadi penyebab atau

dikaitkan dengan gangguan pendengaran sensorineural (Weber et al.

2009).

i. Gangguan pendengaran autoimun

Penyakit autoimun telinga dalam mungkin terbatas hanya untuk

telinga, atau mungkin menjadi bagian dari masalah sistemik secara

keseluruhan seperti granulomatosis Wegener, sindrom Cogan,

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II.pdf

rheumatoid arthritis, dan sistemik lupus eritematosus (Weber et al.

2009).

j. Obat-obatan ototoksik

Penggunaan obat-obatan ototoksik pada telinga normal bisa

menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural yang mendadak

(Weber et al. 2009).

Universitas Sumatera Utara