chpater i.pdf

14
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Nyeri paska bedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit. Nyeri bersifat subjektif, dimana derajat dan kualitas nyeri yang ditimbulkan oleh suatu rangsang yang sama akan berbeda antara satu penderita dengan penderita lainnya. Kurangnya perhatian, pengetahuan dan keterampilan tenaga medik merupakan hambatan utama didalam pengelolaan nyeri yang tepat paska pembedahan, dosis analgetik sering tidak tepat dan masih ditambah lagi dengan rasa ketakutan terjadinya depresi pernafasan pada pemberian analgetik opioid 1,2 . Nyeri adalah suatu perasaan atau pengalaman yang bersifat subjektif dimana melibatkan sensoris, emosional dan tingkah laku yang tidak menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan atau suatu potensial terjadi kerusakan pada jaringan 1,2 . Nyeri apabila tidak diatasi akan berdampak negatif pada penderita paska pembedahan seperti kegelisahan (gangguan tidur), perubahan hemodinamik (hipertensi, takikardi), penurunan gerakan nafas sehingga menyebabkan kemampuan batuk menurun yang akan mempermudah terjadinya atelektase, ketakutan untuk mobilisasi akan meningkatkan resiko komplikasi tromboemboli dan meningkatkan pelepasan katekolamin yang menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler, memperpanjang fase katabolik, menurunkan aliran darah ke ekstremitas inferior dan menurunkan sirkulasi darah ke splachnicus. Keadaan-keadaan tersebut diatas akan mengakibatkan penyembuhan yang lambat, gangguan mobilisasi, faktor resiko untuk terjadinya nyeri kronik, jangka waktu rawatan di rumah sakit bertambah dan pada akhirnya akan meningkatkan biaya pengobatan 1,2,3 . Nyeri paska pembedahan seksio sesaria juga dapat mengganggu dan memperlambat mobilisasi ibu, sehingga mempengaruhi kualitas perawatan bayi oleh ibunya. Oleh karena itu berbagai usaha dilakukan untuk penanggulangan nyeri paska pembedahan seksio sesaria, antara lain dengan memberikan analgetik Universitas Sumatera Utara

Upload: hamien

Post on 13-Feb-2017

278 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Chpater I.pdf

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Nyeri paska bedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena

setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit. Nyeri

bersifat subjektif, dimana derajat dan kualitas nyeri yang ditimbulkan oleh suatu

rangsang yang sama akan berbeda antara satu penderita dengan penderita lainnya.

Kurangnya perhatian, pengetahuan dan keterampilan tenaga medik merupakan

hambatan utama didalam pengelolaan nyeri yang tepat paska pembedahan, dosis

analgetik sering tidak tepat dan masih ditambah lagi dengan rasa ketakutan

terjadinya depresi pernafasan pada pemberian analgetik opioid1,2.

Nyeri adalah suatu perasaan atau pengalaman yang bersifat subjektif

dimana melibatkan sensoris, emosional dan tingkah laku yang tidak

menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan atau suatu potensial

terjadi kerusakan pada jaringan1,2. Nyeri apabila tidak diatasi akan berdampak

negatif pada penderita paska pembedahan seperti kegelisahan (gangguan tidur),

perubahan hemodinamik (hipertensi, takikardi), penurunan gerakan nafas

sehingga menyebabkan kemampuan batuk menurun yang akan mempermudah

terjadinya atelektase, ketakutan untuk mobilisasi akan meningkatkan resiko

komplikasi tromboemboli dan meningkatkan pelepasan katekolamin yang

menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler, memperpanjang fase katabolik,

menurunkan aliran darah ke ekstremitas inferior dan menurunkan sirkulasi darah

ke splachnicus. Keadaan-keadaan tersebut diatas akan mengakibatkan

penyembuhan yang lambat, gangguan mobilisasi, faktor resiko untuk terjadinya

nyeri kronik, jangka waktu rawatan di rumah sakit bertambah dan pada akhirnya

akan meningkatkan biaya pengobatan1,2,3.

Nyeri paska pembedahan seksio sesaria juga dapat mengganggu dan

memperlambat mobilisasi ibu, sehingga mempengaruhi kualitas perawatan bayi

oleh ibunya. Oleh karena itu berbagai usaha dilakukan untuk penanggulangan

nyeri paska pembedahan seksio sesaria, antara lain dengan memberikan analgetik

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chpater I.pdf

2

secara oral, parenteral atau rektal baik itu obat dari golongan opioid, AINS dan

anestesi lokal.

Opioid merupakan pilihan utama untuk terapi nyeri pada pasien yang

mengalami nyeri paska pembedahan tingkat sedang dan berat. Akan tetapi

pemberian opioid dibatasi oleh efek sampingnya yang merugikan pasien seperti

depresi pernafasan, sedasi, mual muntah, dan pruritus4,5. Sehingga sekarang ini

banyak digunakan obat-obatan non-opioid seperti obat anti inflamasi nonsteroid

(AINS) sebagai pengganti opioid, karena AINS memiliki efek analgetik yang kuat

dan mempunyai efek anti inflamasi. Ketorolak merupakan salah satu obat anti

inflamasi nonsteroid yang sama efektifnya dengan morfin dan meperidine dimana

dapat mencegah nyeri akut paska pembedahan dari tingkat sedang ke berat tanpa

disertai efek samping seperti depresi pernafasan6,7,8.

Namun pemberian ketorolak (AINS) juga harus berhati-hati karena

berkaitan dengan peningkatan resiko perdarahan daerah operasi yang disebabkan

oleh waktu perdarahan yang meningkat, luka pada organ gastrointestinal,

dispepsia dan menyebabkan gangguan ginjal. Ketorolak juga masih memiliki efek

samping seperti AINS lainnya seperti mual, nyeri kepala, somnolen, mengantuk,

palpitasi dan pruritus9,10,11.

Karena pemberian ketorolak juga dapat menimbulkan resiko yang dapat

merugikan pasien, maka makin banyak keinginan orang untuk menggunakan obat-

obatan analgetik non opioid dari golongan lain seperti parasetamol sebagai

penggantinya. Parasetamol dapat merupakan suatu pilihan pengganti ketorolak

karena selain aman digunakan, efek samping minimal, ditoleransi dengan baik,

juga memiliki kekuatan analgesia untuk penanganan nyeri paska pembedahan

tingkat ringan, sedang maupun berat12,13.

Parasetamol dengan dosis normal bertindak sebagai analgetik yang sangat

baik ditoleransi oleh tubuh untuk penanganan nyeri akut paska pembedahan

tingkat ringan dan sedang, bahkan nyeri akut ditingkat yang berat. Hal ini seperti

dinyatakan oleh Philip Lange Moller didalam penelitiannya pada tahun 2005

bahwa pemberian parasetamol intravena efektif untuk penanganan nyeri sedang

sampai berat pada pembedahan gigi molar tiga14.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chpater I.pdf

3

Dari beberapa penelitian dijumpai bahwa parasetamol memiliki sifat

analgetik yang hampir sebanding dengan morfin yang kita ketahui sebagai opioid

pilihan utama untuk penanganan nyeri paska pembedahan. Seperti dinyatakan

oleh Van Aken pada tahun 2004 yang pada penelitiannya ditemukan bahwa

pemberian propacetamol 2 gr intravena dan morfin 10 mg intramuskular tidak

dijumpai perbedaan yang bermakna didalam penanganan nyeri paska pembedahan

gigi molar tiga dan pada grup parasetamol dijumpai efek samping yang minimal

dibandingkan dengan grup morfin (p < 0,027)15.

Penelitian diatas juga diperkuat pada tahun 2007 oleh M. Reza Khejavi

dengan penelitiannya dimana penanganan nyeri paska pembedahan transplantasi

ginjal dengan menggunakan propacetamol 2 gr intravena dan morfin 5 mg

intravena adalah sama efektifnya16.

Selain itu parasetamol juga dari banyak penelitian dapat menggantikan

posisi AINS karena memiliki efektifitas yang sama untuk penanganan nyeri paska

pembedahan seperti McQuay HJ pada tahun 1986 menyatakan bahwa dari hasil

penelitiannya didapatkan pemberian parasetamol oral sama efektifnya dengan

ketorolak oral untuk penanganan nyeri paska pembedahan ortopedi17.

Giustino Varrassi pada tahun 1999 dari hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa pemberian parasetamol intravena merupakan analgetik yang efektif untuk

penanganan nyeri paska pembedahan ginekologi (histerektomi) yang dapat

menggantikan posisi ketorolak dengan derajat nyeri sedang sampai berat (70,2%

berbanding 68,2%). Dan parasetamol intravena sama efektifnya dengan ketorolak

sebagai obat tambahan analgetik dengan opioid morfin (10,6 + 4,8 mg berbanding

10,2 + 4,4 mg)12.

Tian J. Zhou pada tahun 2001 juga dari hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa parasetamol intravena tidak berbeda dengan ketorolak dalam hal analgesia

untuk penanganan nyeri paska pembedahan penggantian tulang panggul dan lutut

(VAS istirahat 63,9 + 18,2 berbanding 63,3 + 20,3 dan VAS bergerak 83,4 + 15,5

berbanding 78,7 + 21,9) . Dan juga parasetamol intravena dapat sebagai pengganti

ketorolak sebagai obat tambahan analgetik dengan opioid morfin (36,8 + 25,1 mg

berbanding 39,5 + 29,8 mg) 18.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chpater I.pdf

4

Lynn M. Rusy pada tahun 1995 dari hasil penelitiannya menyatakan

bahwa pemberian ketorolak intravena tidak lebih efektif dibandingkan dengan

pemberian parasetamol rektal untuk penanganan nyeri paska pembedahan

tonsilektomi pada anak dengan nilai p 30 menit = 0,604, jam ke 1 = 0,363 dan

jam ke 3 = 0,33719.

J. E. Montgomery pada tahun 1996 juga dari hasil penelitiannnya pada

pasien yang menjalani prosedur pembedahan ginekologi menyimpulkan bahwa

pemberian parasetamol supositoria hampir sama manfaatnya dengan pemberian

AINS supositoria (diklofenak) untuk penanganan nyeri paska pembedahan (0,2-

9,2 berbanding 0,0-7,2), serta sama-sama menurunkan kebutuhan morfin untuk

PCA (11,7-20,1 berbanding 10,7-17,3)20.

T. F. Cobby pada tahun 1999 juga mengemukakan hasil penelitiannya

bahwa pemberian parasetamol rektal sebanding dengan AINS (diklofenak)

sebagai tambahan analgetik opioid didalam penanganan nyeri paska pembedahan

ginekologi (histerektomi). Parasetamol rektal dapat diberikan secara rutin pada

semua pasien dengan resiko nyeri sedang sampai berat tanpa menimbulkan efek

samping [25 (1-96) berbanding 25 (0-69] dan [35 (20,4) berbanding 32,7 (27,4)]

untuk kebutuhan morfin paska pembedahan21.

B. Munishankar pada tahun 2007, dari hasil penelitiannya menunjukkan

penggunaan parasetamol intravena dibandingkan dengan obat golongan AINS

(diklofenak) sama efektifnya didalam penanganan nyeri paska pembedahan seksio

sesaria dengan nilai p VAS istirahat 0,72 dan VAS bergerak 0,13 dan kebutuhan

morfin (68,7 + 35,6 mg berbanding 63,7 + 31,8 mg) 13.

S. K. Aghamir pada tahun 2009 didalam penelitiannya menyatakan bahwa

pemberian parasetamol intravena dapat digunakan sebagai pengganti tramadol

untuk penanganan nyeri paska pembedahan urologi (2,70 + 1,30 berbanding 2,30

+ 1,34 dengan nilai p 0,345) serta aman karena tidak menimbulkan efek samping,

walaupun pada tingkat nyeri yang berat pemberian parasetamol intravena masih

membutuhkan analgetik tambahan22.

Namun ada juga beberapa penelitian yang menyatakan sebaliknya bahwa

AINS tetap lebih baik dan lebih efektif daripada parasetamol seperti dikemukakan

oleh Mehernoor F. Watcha pada tahun 1992 menyatakan dari hasil penelitiannya

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chpater I.pdf

5

pada pasien anak-anak dengan tindakan pembedahan miringotomi bilateral

dijumpai bahwa pemberian ketorolak oral ternyata lebih baik untuk penanganan

nyeri paska pembedahan dibandingkan dengan parasetamol oral (30% berbanding

55%) dengan nilai p < 0,0123.

D. Fletcher pada tahun 1997 juga menyatakan pemberian parasetamol

intravena tidak lebih efektif dibandingkan dengan pemberian ketoprofen intravena

untuk penanganan nyeri paska pembedahan tulang belakang dengan nilai p 0,04

dan menurunkan kebutuhan morfin (6,8 + 1,3 mg berbanding 6,8 + 1,2 mg)

dengan nilai p 0,0324.

Sahar Siddik pada tahun 2001 juga menyatakan hal yang sama

berdasarkan hasil penelitiannya, yaitu efek analgesia dari pemberian parasetamol

intravena tidak sebanding dengan AINS (diklofenak) sebagai obat tambahan

opioid (morfin) untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria (46%

berbanding 8,2%) dengan nilai p < 0,0525.

Dari beberapa penelitian diatas, tampak bahwa sudah lama menjadi bahan

pemikiran para peneliti untuk mencari pengganti AINS sebagai analgetik didalam

penanganan nyeri paska pembedahan karena adanya efek samping dari

penggunaan AINS yang dapat merugikan pasien. Beberapa penelitian diatas telah

menemukan bahwa pengganti AINS (ketorolak) dengan parasetamol cukup

memberikan hasil yang baik karena memberikan tingkat efektifitas yang sama

didalam penanggulangan nyeri paska pembedahan, akan tetapi ada juga penelitian

yang menyatakan bahwa AINS (ketorolak) masih tetap lebih baik dibandingkan

dengan penggunaan parasetamol untuk penanganan nyeri paska pembedahan.

Oleh karena itu berdasarkan latar belakang dan referensi penelitian diatas,

peneliti berkeinginan untuk menilai efek pemberian parasetamol 1 gr/6 jam

intravena dibandingkan dengan pemberian ketorolak 30 mg/6 jam intravena untuk

penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan alasan :

1. Mencari alternatif pengganti obat analgetik AINS (ketorolak) yang memiliki

efek yang sama untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria

tanpa memiliki efek samping yang dapat merugikan pasien.

2. Menggunakan parasetamol intravena sebagai analgetik paska pembedahan

karena selain aman digunakan, efek samping minimal, ditoleransi dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chpater I.pdf

6

baik, juga memiliki kekuatan analgesia yang hampir sebanding dengan

ketorolak dan morfin (pilihan utama pada penanganan nyeri paska

pembedahan), hal ini ditunjukkan dari hasil beberapa penelitian diluar negeri

yang membandingkan penggunaan ketorolak dan morfin dengan parasetamol.

3. Keinginan peneliti untuk membandingkan efek pemberian parasetamol dengan

ketorolak pada pasien yang menjalani pembedahan seksio sesaria, karena dari

referensi penelitian belum pernah dilakukan penelitian pada pembedahan

seksio sesaria, yang pernah dibandingkan adalah pada operasi ginekologi dan

ortopedi.

4. Keinginan untuk membandingkan efek penggunaan parasetamol dan

ketorolak, karena hasil-hasil penelitian diluar negeri yang membandingkan

kedua obat tersebut ada dua perbedaan pendapat yang menyatakan ketorolak

sebanding dengan parasetamol, ada juga yang menyatakan ketorolak lebih

baik dibandingkan parasetamol untuk penanganan nyeri paska pembedahan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Apakah pemberian parasetamol 1 gr/6 jam intravena setara efek

analgetiknya dengan ketorolak 30 mg/6 jam intravena untuk penanganan nyeri

paska pembedahan seksio sesaria.

1.3 HIPOTESIS

Parasetamol intravena 1 gr/6 jam dan ketorolak 30 mg/6 jam intravena

memiliki efek analgetik yang setara didalam penanganan nyeri paska pembedahan

seksio sesaria.

1.4 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Umum

Untuk memperoleh obat yang efektif didalam penanganan nyeri paska

pembedahan setelah seksio sesaria

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chpater I.pdf

7

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui efek parasetamol 1 gr intravena dalam penanganan

nyeri paska pembedahan seksio sesaria

2. Untuk mengetahui efek ketorolak 30 mg intravena dalam penanganan

nyeri paska pembedahan seksio sesaria

3. Untuk mengetahui perbandingan efek kedua obat, sehingga diketahui

apakah parasetamol intravena 1 gr dapat menyamai efek analgetik

ketorolak intravena 30 mg dalam penanganan nyeri paska pembedahan

seksio sesaria

4. Untuk mengetahui apakah parasetamol intravena 1 gr dapat menggantikan

ketorolak intravena 30 mg untuk penangan nyeri paska pembedahan seksio

sesaria pada pasien dengan kontraindikasi pemberian AINS.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber rujukan

tambahan dalam penelitian lanjutan tentang usaha-usaha penanganan nyeri paska

pembedahan seksio sesaria

Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan

dalam penanganan nyeri paska pembedahan terutama pada pembedahan seksio

sesaria pada keadaan berikut :

a. Pasien-pasien yang ada kontraindikasi dengan pemberian analgetik golongan

AINS untuk penanganan nyeri paska pembedahan

b. Untuk mendapatkan keadaan pasien yang bebas nyeri setelah pembedahan

c. Untuk menghindari efek samping pemakaian obat AINS yang merugikan

pasien

d. Mempercepat mobilisasi pasien sehingga menurunkan angka lamanya

perawatan di rumah sakit dan biaya pengobatan.

e. Mempercepat mobilisasi ibu, sehingga mempercepat dan meningkatkan

kualitas perawatan bayi oleh sang ibu.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chpater I.pdf

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Nyeri paska bedah masih merupakan masalah utama bagi penderita karena

setelah obat anestesi hilang efeknya, penderita akan merasakan sakit. Nyeri

bersifat subjektif, dimana derajat dan kualitas nyeri yang ditimbulkan oleh suatu

rangsang yang sama akan berbeda antara satu penderita dengan penderita lainnya.

Kurangnya perhatian, pengetahuan dan keterampilan tenaga medik merupakan

hambatan utama didalam pengelolaan nyeri yang tepat paska pembedahan, dosis

analgetik sering tidak tepat dan masih ditambah lagi dengan rasa ketakutan

terjadinya depresi pernafasan pada pemberian analgetik opioid1,2.

Nyeri adalah suatu perasaan atau pengalaman yang bersifat subjektif

dimana melibatkan sensoris, emosional dan tingkah laku yang tidak

menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan atau suatu potensial

terjadi kerusakan pada jaringan1,2. Nyeri apabila tidak diatasi akan berdampak

negatif pada penderita paska pembedahan seperti kegelisahan (gangguan tidur),

perubahan hemodinamik (hipertensi, takikardi), penurunan gerakan nafas

sehingga menyebabkan kemampuan batuk menurun yang akan mempermudah

terjadinya atelektase, ketakutan untuk mobilisasi akan meningkatkan resiko

komplikasi tromboemboli dan meningkatkan pelepasan katekolamin yang

menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler, memperpanjang fase katabolik,

menurunkan aliran darah ke ekstremitas inferior dan menurunkan sirkulasi darah

ke splachnicus. Keadaan-keadaan tersebut diatas akan mengakibatkan

penyembuhan yang lambat, gangguan mobilisasi, faktor resiko untuk terjadinya

nyeri kronik, jangka waktu rawatan di rumah sakit bertambah dan pada akhirnya

akan meningkatkan biaya pengobatan1,2,3.

Nyeri paska pembedahan seksio sesaria juga dapat mengganggu dan

memperlambat mobilisasi ibu, sehingga mempengaruhi kualitas perawatan bayi

oleh ibunya. Oleh karena itu berbagai usaha dilakukan untuk penanggulangan

nyeri paska pembedahan seksio sesaria, antara lain dengan memberikan analgetik

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chpater I.pdf

2

secara oral, parenteral atau rektal baik itu obat dari golongan opioid, AINS dan

anestesi lokal.

Opioid merupakan pilihan utama untuk terapi nyeri pada pasien yang

mengalami nyeri paska pembedahan tingkat sedang dan berat. Akan tetapi

pemberian opioid dibatasi oleh efek sampingnya yang merugikan pasien seperti

depresi pernafasan, sedasi, mual muntah, dan pruritus4,5. Sehingga sekarang ini

banyak digunakan obat-obatan non-opioid seperti obat anti inflamasi nonsteroid

(AINS) sebagai pengganti opioid, karena AINS memiliki efek analgetik yang kuat

dan mempunyai efek anti inflamasi. Ketorolak merupakan salah satu obat anti

inflamasi nonsteroid yang sama efektifnya dengan morfin dan meperidine dimana

dapat mencegah nyeri akut paska pembedahan dari tingkat sedang ke berat tanpa

disertai efek samping seperti depresi pernafasan6,7,8.

Namun pemberian ketorolak (AINS) juga harus berhati-hati karena

berkaitan dengan peningkatan resiko perdarahan daerah operasi yang disebabkan

oleh waktu perdarahan yang meningkat, luka pada organ gastrointestinal,

dispepsia dan menyebabkan gangguan ginjal. Ketorolak juga masih memiliki efek

samping seperti AINS lainnya seperti mual, nyeri kepala, somnolen, mengantuk,

palpitasi dan pruritus9,10,11.

Karena pemberian ketorolak juga dapat menimbulkan resiko yang dapat

merugikan pasien, maka makin banyak keinginan orang untuk menggunakan obat-

obatan analgetik non opioid dari golongan lain seperti parasetamol sebagai

penggantinya. Parasetamol dapat merupakan suatu pilihan pengganti ketorolak

karena selain aman digunakan, efek samping minimal, ditoleransi dengan baik,

juga memiliki kekuatan analgesia untuk penanganan nyeri paska pembedahan

tingkat ringan, sedang maupun berat12,13.

Parasetamol dengan dosis normal bertindak sebagai analgetik yang sangat

baik ditoleransi oleh tubuh untuk penanganan nyeri akut paska pembedahan

tingkat ringan dan sedang, bahkan nyeri akut ditingkat yang berat. Hal ini seperti

dinyatakan oleh Philip Lange Moller didalam penelitiannya pada tahun 2005

bahwa pemberian parasetamol intravena efektif untuk penanganan nyeri sedang

sampai berat pada pembedahan gigi molar tiga14.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chpater I.pdf

3

Dari beberapa penelitian dijumpai bahwa parasetamol memiliki sifat

analgetik yang hampir sebanding dengan morfin yang kita ketahui sebagai opioid

pilihan utama untuk penanganan nyeri paska pembedahan. Seperti dinyatakan

oleh Van Aken pada tahun 2004 yang pada penelitiannya ditemukan bahwa

pemberian propacetamol 2 gr intravena dan morfin 10 mg intramuskular tidak

dijumpai perbedaan yang bermakna didalam penanganan nyeri paska pembedahan

gigi molar tiga dan pada grup parasetamol dijumpai efek samping yang minimal

dibandingkan dengan grup morfin (p < 0,027)15.

Penelitian diatas juga diperkuat pada tahun 2007 oleh M. Reza Khejavi

dengan penelitiannya dimana penanganan nyeri paska pembedahan transplantasi

ginjal dengan menggunakan propacetamol 2 gr intravena dan morfin 5 mg

intravena adalah sama efektifnya16.

Selain itu parasetamol juga dari banyak penelitian dapat menggantikan

posisi AINS karena memiliki efektifitas yang sama untuk penanganan nyeri paska

pembedahan seperti McQuay HJ pada tahun 1986 menyatakan bahwa dari hasil

penelitiannya didapatkan pemberian parasetamol oral sama efektifnya dengan

ketorolak oral untuk penanganan nyeri paska pembedahan ortopedi17.

Giustino Varrassi pada tahun 1999 dari hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa pemberian parasetamol intravena merupakan analgetik yang efektif untuk

penanganan nyeri paska pembedahan ginekologi (histerektomi) yang dapat

menggantikan posisi ketorolak dengan derajat nyeri sedang sampai berat (70,2%

berbanding 68,2%). Dan parasetamol intravena sama efektifnya dengan ketorolak

sebagai obat tambahan analgetik dengan opioid morfin (10,6 + 4,8 mg berbanding

10,2 + 4,4 mg)12.

Tian J. Zhou pada tahun 2001 juga dari hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa parasetamol intravena tidak berbeda dengan ketorolak dalam hal analgesia

untuk penanganan nyeri paska pembedahan penggantian tulang panggul dan lutut

(VAS istirahat 63,9 + 18,2 berbanding 63,3 + 20,3 dan VAS bergerak 83,4 + 15,5

berbanding 78,7 + 21,9) . Dan juga parasetamol intravena dapat sebagai pengganti

ketorolak sebagai obat tambahan analgetik dengan opioid morfin (36,8 + 25,1 mg

berbanding 39,5 + 29,8 mg) 18.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chpater I.pdf

4

Lynn M. Rusy pada tahun 1995 dari hasil penelitiannya menyatakan

bahwa pemberian ketorolak intravena tidak lebih efektif dibandingkan dengan

pemberian parasetamol rektal untuk penanganan nyeri paska pembedahan

tonsilektomi pada anak dengan nilai p 30 menit = 0,604, jam ke 1 = 0,363 dan

jam ke 3 = 0,33719.

J. E. Montgomery pada tahun 1996 juga dari hasil penelitiannnya pada

pasien yang menjalani prosedur pembedahan ginekologi menyimpulkan bahwa

pemberian parasetamol supositoria hampir sama manfaatnya dengan pemberian

AINS supositoria (diklofenak) untuk penanganan nyeri paska pembedahan (0,2-

9,2 berbanding 0,0-7,2), serta sama-sama menurunkan kebutuhan morfin untuk

PCA (11,7-20,1 berbanding 10,7-17,3)20.

T. F. Cobby pada tahun 1999 juga mengemukakan hasil penelitiannya

bahwa pemberian parasetamol rektal sebanding dengan AINS (diklofenak)

sebagai tambahan analgetik opioid didalam penanganan nyeri paska pembedahan

ginekologi (histerektomi). Parasetamol rektal dapat diberikan secara rutin pada

semua pasien dengan resiko nyeri sedang sampai berat tanpa menimbulkan efek

samping [25 (1-96) berbanding 25 (0-69] dan [35 (20,4) berbanding 32,7 (27,4)]

untuk kebutuhan morfin paska pembedahan21.

B. Munishankar pada tahun 2007, dari hasil penelitiannya menunjukkan

penggunaan parasetamol intravena dibandingkan dengan obat golongan AINS

(diklofenak) sama efektifnya didalam penanganan nyeri paska pembedahan seksio

sesaria dengan nilai p VAS istirahat 0,72 dan VAS bergerak 0,13 dan kebutuhan

morfin (68,7 + 35,6 mg berbanding 63,7 + 31,8 mg) 13.

S. K. Aghamir pada tahun 2009 didalam penelitiannya menyatakan bahwa

pemberian parasetamol intravena dapat digunakan sebagai pengganti tramadol

untuk penanganan nyeri paska pembedahan urologi (2,70 + 1,30 berbanding 2,30

+ 1,34 dengan nilai p 0,345) serta aman karena tidak menimbulkan efek samping,

walaupun pada tingkat nyeri yang berat pemberian parasetamol intravena masih

membutuhkan analgetik tambahan22.

Namun ada juga beberapa penelitian yang menyatakan sebaliknya bahwa

AINS tetap lebih baik dan lebih efektif daripada parasetamol seperti dikemukakan

oleh Mehernoor F. Watcha pada tahun 1992 menyatakan dari hasil penelitiannya

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chpater I.pdf

5

pada pasien anak-anak dengan tindakan pembedahan miringotomi bilateral

dijumpai bahwa pemberian ketorolak oral ternyata lebih baik untuk penanganan

nyeri paska pembedahan dibandingkan dengan parasetamol oral (30% berbanding

55%) dengan nilai p < 0,0123.

D. Fletcher pada tahun 1997 juga menyatakan pemberian parasetamol

intravena tidak lebih efektif dibandingkan dengan pemberian ketoprofen intravena

untuk penanganan nyeri paska pembedahan tulang belakang dengan nilai p 0,04

dan menurunkan kebutuhan morfin (6,8 + 1,3 mg berbanding 6,8 + 1,2 mg)

dengan nilai p 0,0324.

Sahar Siddik pada tahun 2001 juga menyatakan hal yang sama

berdasarkan hasil penelitiannya, yaitu efek analgesia dari pemberian parasetamol

intravena tidak sebanding dengan AINS (diklofenak) sebagai obat tambahan

opioid (morfin) untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria (46%

berbanding 8,2%) dengan nilai p < 0,0525.

Dari beberapa penelitian diatas, tampak bahwa sudah lama menjadi bahan

pemikiran para peneliti untuk mencari pengganti AINS sebagai analgetik didalam

penanganan nyeri paska pembedahan karena adanya efek samping dari

penggunaan AINS yang dapat merugikan pasien. Beberapa penelitian diatas telah

menemukan bahwa pengganti AINS (ketorolak) dengan parasetamol cukup

memberikan hasil yang baik karena memberikan tingkat efektifitas yang sama

didalam penanggulangan nyeri paska pembedahan, akan tetapi ada juga penelitian

yang menyatakan bahwa AINS (ketorolak) masih tetap lebih baik dibandingkan

dengan penggunaan parasetamol untuk penanganan nyeri paska pembedahan.

Oleh karena itu berdasarkan latar belakang dan referensi penelitian diatas,

peneliti berkeinginan untuk menilai efek pemberian parasetamol 1 gr/6 jam

intravena dibandingkan dengan pemberian ketorolak 30 mg/6 jam intravena untuk

penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan alasan :

1. Mencari alternatif pengganti obat analgetik AINS (ketorolak) yang memiliki

efek yang sama untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria

tanpa memiliki efek samping yang dapat merugikan pasien.

2. Menggunakan parasetamol intravena sebagai analgetik paska pembedahan

karena selain aman digunakan, efek samping minimal, ditoleransi dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chpater I.pdf

6

baik, juga memiliki kekuatan analgesia yang hampir sebanding dengan

ketorolak dan morfin (pilihan utama pada penanganan nyeri paska

pembedahan), hal ini ditunjukkan dari hasil beberapa penelitian diluar negeri

yang membandingkan penggunaan ketorolak dan morfin dengan parasetamol.

3. Keinginan peneliti untuk membandingkan efek pemberian parasetamol dengan

ketorolak pada pasien yang menjalani pembedahan seksio sesaria, karena dari

referensi penelitian belum pernah dilakukan penelitian pada pembedahan

seksio sesaria, yang pernah dibandingkan adalah pada operasi ginekologi dan

ortopedi.

4. Keinginan untuk membandingkan efek penggunaan parasetamol dan

ketorolak, karena hasil-hasil penelitian diluar negeri yang membandingkan

kedua obat tersebut ada dua perbedaan pendapat yang menyatakan ketorolak

sebanding dengan parasetamol, ada juga yang menyatakan ketorolak lebih

baik dibandingkan parasetamol untuk penanganan nyeri paska pembedahan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Apakah pemberian parasetamol 1 gr/6 jam intravena setara efek

analgetiknya dengan ketorolak 30 mg/6 jam intravena untuk penanganan nyeri

paska pembedahan seksio sesaria.

1.3 HIPOTESIS

Parasetamol intravena 1 gr/6 jam dan ketorolak 30 mg/6 jam intravena

memiliki efek analgetik yang setara didalam penanganan nyeri paska pembedahan

seksio sesaria.

1.4 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Umum

Untuk memperoleh obat yang efektif didalam penanganan nyeri paska

pembedahan setelah seksio sesaria

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chpater I.pdf

7

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui efek parasetamol 1 gr intravena dalam penanganan

nyeri paska pembedahan seksio sesaria

2. Untuk mengetahui efek ketorolak 30 mg intravena dalam penanganan

nyeri paska pembedahan seksio sesaria

3. Untuk mengetahui perbandingan efek kedua obat, sehingga diketahui

apakah parasetamol intravena 1 gr dapat menyamai efek analgetik

ketorolak intravena 30 mg dalam penanganan nyeri paska pembedahan

seksio sesaria

4. Untuk mengetahui apakah parasetamol intravena 1 gr dapat menggantikan

ketorolak intravena 30 mg untuk penangan nyeri paska pembedahan seksio

sesaria pada pasien dengan kontraindikasi pemberian AINS.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber rujukan

tambahan dalam penelitian lanjutan tentang usaha-usaha penanganan nyeri paska

pembedahan seksio sesaria

Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan

dalam penanganan nyeri paska pembedahan terutama pada pembedahan seksio

sesaria pada keadaan berikut :

a. Pasien-pasien yang ada kontraindikasi dengan pemberian analgetik golongan

AINS untuk penanganan nyeri paska pembedahan

b. Untuk mendapatkan keadaan pasien yang bebas nyeri setelah pembedahan

c. Untuk menghindari efek samping pemakaian obat AINS yang merugikan

pasien

d. Mempercepat mobilisasi pasien sehingga menurunkan angka lamanya

perawatan di rumah sakit dan biaya pengobatan.

e. Mempercepat mobilisasi ibu, sehingga mempercepat dan meningkatkan

kualitas perawatan bayi oleh sang ibu.

Universitas Sumatera Utara