cover depan dan belakangpusfatja.lapan.go.id/files_uploads_ebook/publikasi/buku... ·...
TRANSCRIPT
2014
Pusat Pemanfaatan
Penginderaan Jauh
LAPAN
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN
JAUH UNTUK KLASIFIKASI HUTAN DAN
NON-HUTAN
i Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
LAPORAN AKHIR KEGIATAN
TAHUN ANGGARAN 2014
LITBANG PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH
UNTUK KLASIFIKASI HUTAN DAN NON-HUTAN
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH
Jakarta 2014
ii Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
LITBANG PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH
UNTUK KLASIFIKASI HUTAN DAN NON-HUTAN
Disusun oleh:
PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH
DEPUTI BIDANG PENGINDERAAN JAUH
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
(LAPAN)
Tim Penyusun:
Pengarah :
Dr. M. Rokhis Khomarudin, S.Si., M.Si.
Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh
DR. Bambang Trisakti
Kepala Bidang Sumber Daya Wilayah Darat
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh
Peneliti:
Tatik Kartika, Dra., M.Si., Ahmad Sutanto, S.Si., M.Si.
Gagat Nugroho, S.Kom., Nursanti Gultom
Editor, Penyunting, Desain, dan Layout:
Muhammad Priyatna, S.Si., MTI.
Jakarta, Desember 2014
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan iii
RINGKASAN KEGIATAN
Indonesia memiliki wilayah hutan yang sangat luas, tetapi juga mengalami laju
deforestasi yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Matt Hansen dari Universitas Maryland,
Indonesia mengalami deforestasi sebesari 15.8 juta ha selama periode 2000-2012.
Berkurangnya wilayah hutan berkaitan dengan bertambahnya emisi carbon, dimana
Pemerintah Indonesia mempunyai target penurunan emisi carbon sebesar 26% pada tahun
2020. Program INCAS bertujuan untuk melakukan perhitungan carbon, dimana LAPAN
bertugas untuk memetakan wilayah hutan untuk identifikasi perubahan lahan. Dalam
kerangka program INCAS, CSIRO telah membangun metode klasifikasi hutan dan non-hutan
menggunakan data Landsat multi temporal. Metode klasifikasi multi temporal terbukti
dapat meningkatkan akurasi hasil klasifikasi hutan single year (satu waktu perekaman), dan
juga dapat menduga adanya hutan pada piksel yang tertutup awan. Permasalahan saat ini
adalah model klasifikasi hutan multi temporal yang digunakan dalam program INCAS sangat
bergantung kepada system (software) yang dimiliki oleh CSIRO. Bidang Sumber Daya
Wilayah Darat, Pusfatja-LAPAN, yang mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan
pengembangan pemanfaatan data satelit membutuhkan adanya kegiatan penguatan riset
untuk pembuatan model pemanfaatan data satelit, khususnya di sektor kehutanan. Oleh
karena itu, kegiatan ini bertujuan untuk melakukan penelitian dan pengembangan model
klasifikasi hutan dan non-hutan menggunakan data satelit Landsat multitemporal. Wilayah
kajian adalah Kabupaten Tanah Bumbu dan KAbupaten Kota Baru Provinsi Kalimantan
Selatan, sedangkan data yang digunakan adalah data mozaik Landsat TM/ETM+ multi
temporal periode 2009-2012. Model yang dihasilkan diharapkan dapat mendukung kegiatan
operasional klasifikasi hutan dan non-hutan di wilayah Indonesia.
Hasil kegiatan dimulai dengan klasifikasi single year menggunakan Metode Maximum
Likelihood dan CVM yang keluarannya berupa probabilitas hutan dimana nilai 0 adalah
bukan hutan dan makin mendekati 100% kemungkinan adalah kelas hutan semakin besar.
Dari kedua metode tersebut diperoleh hasil bahwa metode CVM memberikan hasil yang
lebih bagus dengan overall accuracy untuk tahun 2009 98.2923%, tahun 2010 98.1231%,
iv Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
tahun 2011 90.3620%, dan 2012 96.94%. Dengan demikian untuk proses klasifikasi
multitemporal digunakan hasil dengan metode CVM.
Metode CVM memerlukan data sedikitnya tiga tahun. Untuk merubah probabilitas
hutan menjadi kelas hutan, terlebih dahulu ditentukan threshold untuk hutan sehingga
akhirnya diperoleh kelas hutan, non hutan, dan tidak ada data dengan nomor kelas 1, 2, dan
0. Dengan ruang sampel 3-3, diperoleh 27 kemungkinan urutan dengan hasil berupa kelas
hutan dan non hutan. Dengan demikian hasil akhir dari kegiatan ini adalah informasi spasial
hutan dan non hutan tahunan dengan mengurangi adanya missing data dan perubahannya.
Metode ini harus terus disempurnakan karena threshold hutan tidak begitu bagus untuk
diterapkan di seluruh lokasi kegiatan. Disarankan adanya zona stratifikasi
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan v
PRAKATA
Berkat rahmat Allah SWT, laporan penelitian kami yang berjudul “LITBANG
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK KLASIFIKASI HUTAN DAN NON-
HUTAN” dapat diselesaikan dengan baik.
Kami mengucapkan terimakasih kepada kepada pejabat struktural eselon I, II dan III di
lingkungan Kedeputian Penginderaan Jauh, para narasumber dari internal dan eksternal
LAPAN yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dan bantuannya. Kami juga
mengucapkan terimakasih kepada Kepala Bidang Sumberdaya Wilayah Darat atas segala
arahan dan bimbingannya, dan terimakasih juga kepada rekan-rekan peneliti di Pusat
Pemanfaatan Penginderaan Jauh, khususnya di bidang Sumberdaya Wilayah Darat, atas
bantuan dan masukannya sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar
Jakarta, Desember 2014
Atas nama tim
Peneliti Utama
vi Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ii
RINGKASAN KEGIATAN iii
PRAKATA v
DAFTAR ISI vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 6
Tujuan dan Sasaran 7
TINJAUAN PUSTAKA 8
Klasifikasi Single Data 8
Klasifikasi Multi Temporal 10
METODOLOGI 13
Daerah Kajian 13
Data yang digunakan 13
Metode Penelitian 14
HASIL DAN PEMBAHASAN 19
Identifikasi Objek 19
Klasifikasi Single Year 20
Klasifikasi Multi Temporal 31
KESIMPULAN DAN SARAN 46
1 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
BAB I PENDAHULUAN
1-1. Latar Belakang
Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama
pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas.
Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu,
tetapi masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat
melalui budidaya tanaman pertanian pada lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan
sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen,
tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta
mencegah timbulnya pemanasan global (Wikipedia).
Indonesia memiliki hamparan hutan yang luas. Dengan luas hutan Indonesia
sebesar 99,6 juta hektar atau 52,3% luas wilayah Indonesia (Buku Statistik Kehutanan
Indonesia Kemenhut, 2011). Tetapi wilayah hutan mengalami laju deforestasi yang
tinggi, dimana laju deforestasi hutan Indonesia pada periode 1985-1998 berkisar 1,6-1,8
juta/hektar/tahun (Dephutbun, 2000). Pada tahun 2000 deforestasi meningkat menjadi
sekitar 2 Juta/hektar/tahun (FWI/GFW, 2002), bahkan saat ini laju deforestasi
diperkirakan sudah mencapai lebih dari 2,4 juta/hektar/tahun. World Wildlife Fund
(WWF) melaporkan bahwa luas hutan di Kalimantan pada tahun
1985 adalah sebesar 73.7% luas wilayah, luas ini berkurang menjadi 57.5% pada
tahun 2000, 504.4% pada tahun 2005, 44.4% pada tahun 2010 dan diperkirakan akan
menjadi hanya 32.6% pada tahun 2020 (Gambar 1-1). Berdasarkan hasil penelitian Matt
Hansen dari Universitas Maryland, Indonesia mengalami deforestasi sebesar 15.8 juta ha
selama periode 2000-2012. Sebelum tahun 2003, Indonesia kehilangan kurang
dari 4.000 mil persegi (1 juta ha ) per tahun, sedangkan ada tahun 2011, lebih dari 7.700
mil persegi (2 juta ha) hutan Indonesia lenyap setiap tahun
(http://www.gomuda.com/2013/11/peta-terbaru-tunjukkan-indonesia.html).
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 2
Gambar 1-1. Perubahan luas hutan di Pulau Kalimantan selama periode 1985-2020
Deforestasi (berkurangnya jumlah hutan) mengakibatkan terjadinya peningkatan
jumlah emisi carbon yang dilepaskan ke udara, karena hutan berfungsi sebagai
penyimpan carbon dan mencegah terjadinya pemanasan global. Berdasarkan data dari
Kementerian kehutanan (Gambar 1-2), Sumber emisi karbon di wilayah Indonesia
adalah perubahan lahan dan kehutanan (menyumbang 52%), energi (21%), kebakaran
gambut (11%), sampah (10%), pertanian (4%) dan industry (2%). Pemerintah Indonesia
telah berkomitmen dalam pertemuan G-20 di Pittsburg, Amerika Serikat untuk
menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai
41% jika mendapat bantuan internasional pada tahun 2020, hal itu telah direalisasikan
dengan dibuatnya PP Nomor 61 tahun 2011 mengenai Rencana Aksi Nasional Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca. Rencana aksi ini mencakup bidang pertanian, kehutanan dan
lahan gambut, energi transportasi, industry, pengelolaan limbah dan kegiatan
pendukung lainnya.
3 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
Gambar 1-2. Sumber emisi carbon Indonesia
Indonesia National Carbon Accounting System (INCAS) adalah salah satu program
national untuk perhitungan emisi carbon yang merupakan kerjasama antara Pemerintah
Indonesia dengan Australia dibawah koordinasi Indonesia- Australia Forest Carbon
Partnership (IAFCP) yang merupakan integrasi dari berbagai sektor (iklim, kehutanan,
pertanian dan lain-lain). Lapan menjadi bagian dalam program ini dan bertugas
melakukan pemetaan hutan – non hutan untuk identifikasi perubahan lahan
menggunakan data satelit penginderaan jauh. INCAS telah berjalan secara operasional
dan memetakan wilayah hutan Indonesia mulai dari tahun 2000 – 2012. Gambar 1-3
memperlihatkan flowchart operasional kegiatan INCAS, dimana metode ini dibangun
oleh Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) Australia
dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Indonesia. Contoh produk
INCAS untuk pemetaan hutan dan perubahannya di wilayah Sumatera diperlihatkan
pada Gambar 1-4.
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 4
Seleksi data
Standarisasi data
Masking awan dan mosaik
Klasifikasi probabilitashutan single year
Pemberian atribut
Klasifikasi multi temporal dan perubahan lahan
Proses lanjutan produk lain
Kontrol kualitasKontrol kualitas
Gambar 1-3. Flowchart operasional INCAS
Gambar 1-4. Contoh pemetaan hutan dan perubahannya di Sumatera
Metode klasifikasi yang digunakan pada program INCAS adalah metode klasifikasi
single data menggunakan metode Canonical Variate Analysis (CVA) dan metode
klasifikasi multi temporal untuk meningkatkan akurasi klasifikasi dengan aturan
perubahan dari data multi temporal. Metode CVA merupakan metode klasifikasi dengan
menggunakan indek canonical vector berupa kombinasi linear dari band-band citra yang
dapat menghasilkan perbedaan maksimum antara hutan dan non hutan, tetapi pada
teknik ini berlaku hanya untuk variable yang berkorelasi linear dan kurang sesuai untuk
variable yang berkorelasi non linear. Sehingga masih cukup banyak terjadi percampuran
5 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
piksel hutan dan hutan. Oleh karena itu dilakukan tahapan klasifikasi lebih lanjut
menggunakan metode klasifikasi multi temporal.
Keuntungan dengan menggunakan metode klasifikasi multi temporal (Furby and
Wallace, 2011), adalah:
1. Meningkatkan konsistensi dan akurasi hasil klasifikasi hutan dan non hutan
menggunakan single data (data satu waktu). Symeonakis et al.(2012) menyampaikan
dalam papernya bahwa penggunaan multi temporal klasifikasi dapat meningkatkan
akurasi hasil klasifikasi dari 46% menjadi 70%.
2. Mampu melakukan estimasi tipe penutup lahan untuk pengisian piksel
kosong akibat tutupan awan. Gambar 1-5 memperlihatkan contoh hasil klasifikasi multi
temporal dengan menggunakan data tahun 2004-2006. Data 2005 yang mempunyai
piksel tanpa nilai (null) karena adanya tutupan awan, dapat diestimasi tipe penutup
lahannya sehingga hasil akhir klasifikasi terisi penuh.
Pro
ba
bil
ita
sH
asi
la
kh
ir
2004 2005 2006
Gambar 1-5. Contoh estimasi tipe penutup lahan pada piksel kosong
Bidang Sumber Daya Wilayah Darat dari Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh
mempunyai tugas untuk melakukan penelitian dan pengembangan model pemanfaatan
data penginderaan jauh untuk sumberdaya wilayah darat. Kajian mengenai pemetaan
hutan dan non hutan dengan mengacu kepada model yang digunakan oleh INCAS telah
dilakukan sejak tahun 2011 sampai 2013, seperti pada Tabel 1-1. Tetapi penelitian-
penelitian yang dilakukan hanya terbatas pada klasifikasi single data dengan beberapa
metode seperti Maximum Likelihood Classifier (MLC), CVA dan klasifikasi berbasis objek,
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 6
selain itu juga metode klasifikasi belum cukup terverifikasi dan tervalidasi di wilayah lain.
Metode klasifikasi multi temporal yang dapat meningkatkan hasil akurasi klasifikasi
hutan dan non hutan menggunakan single data (Symeonakis et al., 2012), belum
dilaksanakan.
Tabel 1-1. Penelitian yang telah dilakukan di Bidang SDWD
Tahun Peneliti Topik Penelitian
2011 Kartika et al.
Perbandingan pixel based dan object based untuk
klasifikasi hutan
2012 Hawariyah et al.
Klasifikasi hutan dengan data Landsat single year
menggunakan CVA
2013 Carolita et al. Perbandingan beberapa metode klasikasi untuk
pemetaan hutan (CVA, MLC)
Berdasarkan kewajiban Lapan untuk memenuhi kebutuhan nasional dalam
pemetaan hutan dan non hutan yang akurat, maka Pusat Pemanfaatan Penginderaan
Jauh perlu melakukan kegiatan penguatan riset pemanfaatan penginderaan jauh di
sektor kehutanan, khususnya pengembangan metode klasifikasi hutan menggunakan
data satelit multi temporal yang tidak bergantung sepenuhnya kepada system
(software) yang dikembangkan oleh CSIRO. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian riset
untuk mengembangkan metode klasifikasi hutan dan non hutan menggunakan data
satelit multi temporal yang lebih baik dan akurat, yang mampu mendukung kewajiban
Lapan dalam memenuhi kebutuhan pemetaan hutan nasional.
1-2. Perumusan Masalah
a. Perlunya model pemetaan hutan yang tidak tergantung dengan sistem (software)
yang dimiliki INCAS.
b. Perlunya penguatan riset pembuatan model klasifikasi hutan menggunakan data
satelit multi temporal
7 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
1-3. Tujuan dan Sasaran
Tujuan kegiatan ini adalah:
Melakukan penelitian dan pengembangan model klasifikasi hutan dan non-hutan
menggunakan data satelit multi temporal
Sasaran kegiatan ini adalah:
a. Tersedianya model klasifikasi hutan dan non-hutan menggunakan data satelit
multi temporal
b. Tersedianya dokumen laporan (bulanan dan tahunan)
c. Adanya publikasi ilmiah pada proseding atau jurnal nasional/internasional
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Single Data
Klasifikasi single data yang digunakan pada program INCAS dilakukan dengan
menggunakan metode Canonical Variate Analysis (CVA). Metode CVA Menghasilkan
canonical vektor (CV) berupa kombinasi linear dari band-band citra yang dapat
menghasilkan perbedaan maksimum antara hutan dan non-hutan berdasarkan training
sample yang digunakan. CV yang dihasilkan diurut berdasarkan nilai canonical root
(kemampuan pemisahan sampel) , dimana CV 1 mempunyai canonical root (besar
pemisahan) tertinggi, berikutnya CV 2, CV 3 dst.., dan CV1 tidak berkorelasi dengan CV
lainnya. Gambar 2-1 memperlihatkan contoh klasifikasi traning sampel objek hutan dan
non hutan menggunakan indek CV, dimana training sampel objek hutan dan non hutan
dapat dipisahkan secara linear menggunakan bentuk persegi panjang.
Pasti Hutan
Ketidak pastian
Pasti non hutan
CV 1 (b2+b3-b4)
CV
2 (
2b
3 +
b4
)
Gambar 2-1. Klasifikasi menggunakan metode CVA
Permasalah adalah metode CVA ini digunakan untuk pemisahan variable yang
berkorelasi linear, dan kurang sesuai untuk variable yang berkorelasi non linear sehingga
sering terjadi percampuran objek (objek tidak dapat dipisahkan) yang mempunyai nilai
spektral berdekatan, seperti contoh sulitnya memisahkan penutup lahan hutan,
perkebunan dan semak belukar.
Untuk mengurangi kesalahan tersebut pada penelitian ini akan dicoba dua
metode klasifikasi yang dapat memisahkan piksel objek penutup lahan yang berkorelasi
9 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
non linear, yaitu Metode Maximum Likelihood (MLC) yang merupakan metode
parameterik menggunakan nilai statistik, dan metode Support Vector Machine (SVM)
yang merupakan metode non parameterik. Beberapa alasan menggunakan ke dua
metode ini adalah:
a. Dapat menghasilkan klasifikasi berupa nilai probabilitas hutan dan non hutan
b. Mampu meminimalkan kesalahan klasifikasi dengan mempertimbangkan nilai
rata-rata dan keragaman antar kelas dan antar kanal ( variansi dan covariansi )
(Lillesand, et al., 2004 ). Sebagai contoh walaupun secara jarak (minimum
distance) lebih dekat kepada m1 dibandingkan m2, tapi Xo akan diklasifikasikan
kedalam objek 2 karena masih dalam range nilai objek 2 (Gambar 2-2 a)
c. SVM mampu memecahkan masalah non-linear dengan memetakan data ke
dimensi yang lebih tinggi yang kemudian dipecahkan menggunakan fungsi
diskriminan linear (Li et al., 2008). Sebagai contoh kemampuan SVM untuk
membuat batasan pemisah objek berupa kurva, selain itu dapat meningkatkan
dimensi sebaran data dari dua dimensi menjadi tiga dimensi dan membuat
bidang pemisah sehingga objek yang sulit dipisahkan dalam bentuk dua dimensi
menjadi lebih mudah dilakukan dalam tiga dimensi (Gambar 2-2 b)
Pada MLC, x0 menjadi obyek 2
Objek 1 Objek 2
a
Feature spaceInput space
Φ: x→ φ(x)
Batas pemisahan non linear pada SVM
b
Gambar 2-2. Metode Maximum Likelihood (a), dan metode SVM untuk pemisahan objek
Kernel yang digunakan pada metode klasifikasi SVM diperlihatkan sebagai
berikut, pada kegiatan ini akan digunakan Kernel Radial Basis Function (RBF) karena
kernel ini pada kondisi-kondisi tertentu dapat mewakili kernel lineat dan polynomial:
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 10
2.2 Klasifikasi Multi Temporal
Klasifikasi multi temporal didasari oleh pemikiran bahwa: 1) Pohon di hutan
memerlukan waktu untuk tumbuh, tidak bisa menjadi besar dalam satu tahun, sehingga
perlu melihat kondisi sebelum dan sesudahnya, dan 2) Terjadinya perubahan penutup
lahan di wilayah hutan yang harus dipantau secara multi temporal. Gambar 2-3
memperlihatkan ilustrasi perubahan nilai probabilitas hutan sejalan dengan waktu.
Hutan mempunyai nilai probabilitas yang selalu tinggi sejalan waktu (garis hijau),
sedangkan non hutan mempunyai nilai probabilitas yang rendah sepanjang waktu (garis
merah). Bila probabilitas berubah-rubah tinggi menjadi rendah, atau rendah menjadi
tinggi maka telah terjadi perubahan lahan seperti penebangan hutan (garis hitam), atau
penanaman kembali (garis biru).
Probabilitas
Piksel
“hutan”
Waktu
Stabil tinggi (rapat)
Stabil jarang (kurang rapat)
Penebangan
Penanaman kembali
Non hutan
POLA NILAI PROBABILITAS PIKSEL
Gambar 2-3. Ilustrasi perubahan lahan secara multi temporal
11 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
Seperti yang telah diuraikan sebalumnya, menurut Furby dan wallace (2011) dan
Symeonakis et al (2012), klasifikasi multi temporal mempunyai keuntungan, yaitu dapat
meningkatkan konsistensi dan akurasi hasil klasifikasi hutan dan non hutan menggunakan
single data, serta mampu melakukan estimasi tipe penutup lahan untuk pengisian piksel
kosong akibat tutupan awan. Model algoritma dari metode klasifikasi multi temporal
yang digunakan dalam program INCAS diperlihatkan pada Gambar 2-4.
4321
*n
1k
)N(i),L'L,p(Y, QQQQ∏=
=
)L|p(Y kk1 =Q
)L'|p(L kk2 =Q
)L'|p(L' 1-kk3 =Q
)N(i)|p(L' *
k4 =Q
(Treshold single data)
(Aturan akurasi )
(Aturan temporal)
(Aturan ketetanggaan)
Model untuk pixel i adalah:
},...,,{ 21 nYYYY =
},...,,{ 21 nLLLL =
},...,,{ ''
2
'
1
'
nLLLL =
)(iN
dimana:
Citra berlainan waktu/tahun
Probabilitaspemisahan kelas setiap waktu/tahun
Perbaikan probabilitaspemisahan kelas setiap waktu/tahun
Ketetanggaan piksel (Cacceta, 1997)
Gambar 2-4. Algoritma klasifikasi multi temporal dalam program INCAS
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 12
1. Aturan akurasi
Musim hujan Musim kemarau
Lebih tinggi
Akurasi hasil pemisahan hutan - non hutan
2. Aturan Ketetanggaan
NH ���� H
Probabilitas suatu piksel dibandingkan
piksel disekelilingnya
3. Aturan temporal
< 3<2 Tinggi
1 2 3 4
Perubahan hutan berdasarkan waktu (bergantung interval waktu)
Gambar 2-5. Tiga jenis aturan dalam klasifikasi multi temporal hutan
dan non hutan
Data masukan untuk perhitungan probabilitas akhir terdiri dari probabilitas hutan
dari klasifikasi single data, probabilitas akurasi klasifikasi (aturan akurasi), probabilitas
hubungan temporal (aturan temporal) dan probabilitas ketetanggaan (aturan
ketetanggaan). Algoritma ini adalah model yang dibangun oleh Cacceta (1997) untuk
menghitung probabilitas akhir suatu piksel menjadi piksel hutan dengan menggunakan
empat jenis probabilitas sebagai data masukan. Gambar 2-5 memperlihatkan tiga jenis
aturan yang dipertimbangkan dalam klasifikasi multi temporal hutan dan non hutan.
13 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
BAB III METODOLOGI
3.1 Daerah Kajian
Lokasi penelitian (Gambar 3-1) diperlihatkan Provinsi Riau (path/row : 127/59),
Provinsi Kalimantan Tengah (path/row : 118/61 dan 118/62). Lokasi ini dipilih
berdasarkan kondisi penutup lahan di wilayah tersebut cukup bervariasi khususnya ada
penutup lahan hutan dan perkebunan yang cukup sulit dilakukan dengan menggunakan
metode CVA.
3.2 Data yang Digunakan
Data yang digunakan pada kegiatan ini adalah:
a. Data primer:
• Data Landsat 2009 – 2012 path/row 117/62 yang merupakan produk
kegiatan INCAS yang telah dilakukan standarisasi dengan koreksi
ortorektifikasi dan koreksi radiometric (Koreksi matahari, BRDF),
penghilangan awan dan bayangan, melakukan mosaic vertical untuk mengisi
piksel awan.
• Data resolusi tinggi (ALOS, IKONOS, QuickBird, SPOT 5, SPOT 6) untuk
pengambilan sampling input dan verifikasi
Gambar 3-1. Lokasi kajian kegiatan klasifikasi hutan dan non hutan
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 14
b. Data sekunder:
• Batas administrasi wilayah kajian
• Data dari pengukuran lapangan
3.3 Metode Penelitian
Lingkup kegiatan adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan literature
2. Penyusunan desain riset
3. Pengumpulan data primer maupun data sekunder
4. Klasifikasi single data
5. Klasifikasi multi temporal
6. Verifikasi dan validasi metode
7. Survei lapangan
8. Presentasi dan Pelaporan
Flowchart dari alur kegiatan diperlihatkan pada Gambar 3-2, yang terdiri dari 3
tahap utama yaitu: 1) Klasifikasi single data, 2) Klasifikasi multi temporal dan, 3)
verifikasi dan validasi hasil klasifikasi.
Forest probabilitas-1
Klasifikasi Multi Temporal
Verifikasi dan validasi
Data landsat multi temporal
Forest probabilitas-2
Uji akurasi Uji akurasi
• Survei lapangan
• Data resolusi tinggi
Forest -1 Forest-2
Klasifikasi single data
Forest INCAS
Gambar 3-2. Flowchart alur kegiatan klasifikasi
15 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
3.3.3 Klasifikasi Single Data
Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan metode Maximum Likelihood dan
SVM dengan pertimbangan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hasil yang
diperoleh adalah nilai probabilitas hutan dan non hutan untuk setiap piksel. Tahapan
klasifikasi diperlihatkan pada Gambar 3-3, dimana proses dimulai dari pembuatan
sampel dengan mengacu ke data resolusi tinggi wilayah kajian. Pembuatan sampel tidak
lepas dari interprtasi citra. Untuk itu diperlukan kunci interpretasi yang terdiri dari rona,
warna, bentuk, lokasi, tekstur, asosiasi, pola, bayangan, dan situs dengan keterangan
sebagai berikut:
a. Rona/derajat keabuan
Rona dan warna merupakan unsur pengenal utama atau primer terhadap suatu
obyek pada citra penginderaan jauh. Fungsi utama adalah untuk identifikasi
batas obyek pada citra. Penafsiran citra secara visual menuntut tingkatan rona
bagian tepi yang jelas, hal ini dapat dibantu dengan teknik penajaman citra
(enhacement). Rona merupakan tingkat / gradasi keabuan yang teramati pada
citra penginderaan jauh yang dipresentasikan secara hitam-putih. Permukaan
obyek yang basah akan cenderung menyerap cahaya elektromagnetik sehingga
akan nampak lebih hitam disbanding obyek yang relative lebih kering.
b. Warna
Merupakan wujud yang yang tampak mata dengan menggunakan spectrum
sempit, lebih sempit dari spectrum elektromagnetik tampak (Sutanto, 1986).
Contoh obyek yang menyerap sinar biru dan memantulkan sinar hijau dan merah
maka obyek tersebut akan tampak kuning. Dibandingkan dengan rona ,
perbedaaan warna lebih mudah dikenali oleh penafsir dalam mengenali obyek
secara visual. Hal inilah yang dijadikan dasar untuk menciptakan citra
multispektral.
c. Bentuk
Menunjukkan konfigurasi umum suatu obyek sebagaimana terekam pada citra
penginderaan jauh. Bentuk mempunyai dua makna yakni bentuk luar / umum
dan bentuk rinci atau susunan bentuk yang lebih rinci serta spesifik.
d. Ukuran
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 16
Ukuran merupakan bagian informasi konstektual selain bentuk dan letak. Ukuran
merupakan atribut obyek yang berupa jarak , luas , tinggi, lereng dan volume
(sutanto, 1986). Ukuran merupakan cerminan penyajian penyajian luas daerah
yang ditempati oleh kelompok individu.
e. Tekstur
Tekstur merupakan frekuensi perubahan rona dalam citra ( Kiefer, 1979). Tekstur
dihasilkan oleh kelompok unit kenampkan yang kecil, tekstur sering dinyatakan
kasar,halus, ataupu belang-belang (Sutanto, 1986). Contoh hutan primer
bertekstur kasar, hutan tanaman bertekstur sedang, tanaman padi bertekstur
halus.
f. Pola
Pola merupakan karakteristik makro yang digunakan untuk mendiskripsikan tata
ruang pada kenampakan di citra. Pola atau susunan keruangan merupakan ciri
yang yang menandai bagi banyak obyek bentukan manusia dan beberapa obyek
alamiah. Hal ini membuat pola unsure penting untuk membedakan pola alami
dan hasil budidaya manusia. Sebagai contoh perkebunan karet , kelapa sawit
sanagt mudah dibedakan dari hutan dengan polanya dan jarak tanam yang
seragam.
g. Bayangan
Bayangan merupakan unsure sekunder yang sering embantu untuk identifikasi
obyek secara visual , misalnya untuk mengidentifikasi hutan jarang, gugur daun,
tajuk ( hal ini lebih berguna pada citra resolusi tinggi ataupun foto udara)
h. Situs
Situs merupakan konotasi suatu obyek terhadap factor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi pertumbuhan atau keberadaan suatu obyek. Sirtus bukan cirri
suatu obyek secara langsung, teapi kaitanya dengan factor lingkungan. Contoh
hutan mangrove selalu bersitus pada pantai tropic, ataupun muara sungai yang
berhubungan langsung dengan laut ( estuaria).
i. Asosiasi
Asosiasi menunjukkan komposisi sifat fisiognomi seragam dan tumbuh pada
kondisi habita yang sama. Asosiasi juga berarti kedekatan erat suatu obyek
17 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
dengan obyek lainnya. Contoh permukiman kita identik dengan adanya jaringan
tarnsportasi jalan yang lebih kompleks dibanding permukiman pedesaan.
Konvergensi bukti Dalam proses penafsiran citra penginderaan jauh sebaiknya
digunakan unsur diagnostik citra sebanyak mungkin. Hal ini perlu dilakukan
karena semakin banyak unsur diagnostic citra yang digunakan semakin menciut
lingkupnya untuk sampai pada suatu kesimpulan suatu obyek tertentu. Konsep
ini yang sering disebut konvergensi bukti.
Selanjutnya dilakukan klasifikasi data Landsat untuk menghasilkan nilai
probabilitas hutan untuk setiap piksel. Uji akurasi dilakukan dengan membandingkan
hasil klasifikasi dengan sampel verifikasi dari data resolusi tinggi, dan juga melakukan
perbandingan dengan hasil klasifikasi citra resolusi tinggi pada tahun yang sama.
Probabilitas
Hutan-Non
Hutan
Input Band
Sampel input
Klasifikasi
Probabilitashutan
Citra
resolusi
tinggi
Klasifikasi Visual /
digital
Hasil klasifikasi
resolusi tinggi
CITRA LANDSAT
Sampel verifikasi
Uji akurasi
Gambar 3-3. Flowchart alur kegiatan klasifikasi
3.3.3 Klasifikasi Multi Temporal
Klasifikasi multi temporal dilakukan dengan mengadopsi model input yang
dibangun oleh Cacceta (1997) dengan menggunakan empat data probabilitas. Pada
kegiatan akan dilakukan modifikasi dengan melakukan penyederhanaan metode
klasifikasi multi temporal dengan tiga data probabilitas, untuk itu penelitian ini akan
mencoba menjawab beberapa pertanyaan yaitu:
a. Bagaimana menentukan nilai untuk setiap parameter?
b. Bagaimana urutan implementasi dari masing-masing parameter?
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 18
Selanjutnya dilakukan model simulasi untuk mendapatkan urutan implementasi
dari masing-masing parameter, sehingga dapat diperoleh urutan yang terbaik. Model
simulasi diperlihatkan pada Gambar 3-4, dengan membuat nilai probabilitas hutan dan
melakukan implementasi aturan akurasi, aturan ketetanggaan dan aturan temporal
dengan menggunakan program yang dibuat dengan bahasa IDL atau lainnya.
0 50 100
Probabilitas
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4
Aturan temporal
Aturan Ketetanggaan
Akurasi
Gambar 3-4. Model simulasi klasifikasi data multi temporal
Jika urutan diperhatikan dan suatu objek dapat dipilih lebih dari sekali maka jumlah
permutasinya adalah:
di mana n adalah banyaknya objek yang dapat dipilih dan r adalah jumlah yang harus
dipilih (http://id.wikipedia.org/wiki/Kombinasi_dan_permutasi).
3.3.3 verifikasi dan validasi hasil klasifikasi
Melakukan verifikasi hasil klasifikasi dengan membandingkan hasil yang
diperoleh dengan sampel uji yang diambil yang terakurasi oleh data satelit resolusi
tinggi. Validasi dilakukan untuk dua lokasi, di Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten
Tanah Bumbu. Pengujian dilakukan secara visual dan menggunakan metode confusion
matrix untuk mengetahui tingkat akurasi hasil klasifikasi hutan dan non hutan.
19 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.3 Identifikasi Objek
Gambar 4-1 menunjukkan Data Landsat 7 tahun 2009 band 1,2,3,4,5,7 yang
sudah terkoreksi ortho dan terrain serta cloud masking.
Gambar 4-1. Citra Landsat 7 band 543 (RGB) wilayah Kabupaten Tanah Bumbu,
Kabupaten Kotabaru dan sekitarnya yang sudah terkoreksi Ortho, Terrain dan cloud
masking
Identifiaksi objek diperlukan ketika dilakukan deliniasi objek hutan pada
klasifikasi visual dan penentuan training sampel pada klasifiaksi digital serta pada
verifikasi lapangan. Dalam hal klasifikasi visual dan penentuan training sampel,
identifiaksi objek pada data satelit Landsat digunakan kunci interpretasi seperti telah
dijelaskan pada bab sebelumnya.
Contoh-contoh hutan dilihat dari data Landsat dan data resolusi tinggi
ditunjukkan oleh Gambar 4-2.
Hutan mangrove Landsat
Hutan mangrove pada data resolusi tinggi
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 20
Hutan lahan kering (kiri) dan perkebunan
sawit (kanan) pada data Landsat
Hutan lahan kering (kiri) dan perkebunan
sawit (kanan) pada data resolusi tinggi
Gambar 4-2. Contoh hutan dilihat dari Landsat dan data resolusi tinggi
4.2 Klasifikasi Single Year
4.2.1 Training sampel
Proses klasifikasi membutuhkan training sample sebagai input untuk
mengenali objek/kelas yang akan diklasifikasi pada data citra. Tiap training
sample mempunyai ukuran 10x10 piksel. Berikut ini training sample yang
digunakan dalam proses klasifikasi menggunakan metode SVM dan Maximum
Likelihood. Jenis training sample yang digunakan yaitu training sample 2 kelas (
hutan dan non hutan ) dengan keterangan tentang training sampel ditunjukkan
oleh Tabel 2 dan sebaran sampel tahun 2010 dan 2011 ditunjukkan oleh Gambar
4-3.
Tabel 2. Training Sample dengan 2 kelas
Jumlah dan posisi sebaran sampel pada setiap tahunnya dibuat konsisten,
kecuali penutup lahan di lokasi sampel berubah atau di lokasi tersebut tidak ada
21 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
data, maka lokasi sampel dipindah ke penutup lahan dengan kelas yang sejenis
didekatnya.
Gambar 4-3. Lokasi training sample dengan 2 kelas untuk
wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kabupaten Kotabaru dan sekitarnya,
(a) tahun 2010, (b) tahun 2011
Nilai parameter klasifikasi yang digunakan pada metode SVM dan
Maximum Likelihood adalah Band Landsat yaitu: 1, 2, 3, 4, 5, 7, hasilnya berupa
class image dan image rule hutan (Gambar 4-4 dan Gambar 4-5).
Gambar 4-4. Parameter klasifikasi pada metode SVM.
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 22
Gambar 4-5. Parameter klasifikasi pada metode Maximum Likelihood
4.2.2 Hasil klasifikasi digital (klasifikasi level 1)
Hasil Klasifikasi adalah berupa class image yang menggambarkan kelas
hasil klasifikasi yaitu hutan dan non hutan serta rule image yang berisi
probabilitas dari masing-masing kelas. Berikut tampilan hasil klasifikasi dengan
menggunakan metode SVM dan Maximum Likelihood. Perangkat lunak
(software) yang digunakan adalah ENVI versi 4.3. Hasil dilampirkan.
4.2.2.1 Hasil dari klasifikasi SVM
Berikut adalah hasil dari klasifikasi SVM. Gambar 4-6 menunjukkan hasil
klasifikasi berupa rule image berturut-turut tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012,
sedangkan Gambar 4-7 menunjukkan hasil klasifikasi berupa class image pada
tahun berurutan yang sama.
Jika dilihat pada Gambar 4-7, maka probabilitas dari 0-100 menunjukkan
bahwa 0 adalah bukan hutan sementara 100 adalah hutan. Nilai diantaranya
adalah uncertain, makin mendekati 0 (warna hitam) adalah bukan hutan
sementara mendekati 100 (warna putih) adalah hutan.
23 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
2009
2010
2011
2012
Keterangan:
Gambar 4-6. Hasil klasifikasi berupa rule image menggunakan metode SVM
(2 kelas) untuk tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012
Gambar 4-8, Gambar 4-9, dan Gambar 4-10 adalah nilai akurasi hasil
klasifikasi ( class image ) menggunakan metode SVM (2 kelas) untuk tahun 2009,
2010, dan 2011.
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 24
2009
2010
2011
2012
Gambar 4-7. Hasil klasifikasi ( rule image ) menggunakan metode SVM (kelas
hutan). Makin cerah warnanya maka probabilitasnya makin besar.
Gambar 4-8. Nilai akurasi hasil klasifikasi ( class image ) menggunakan metode SVM
(2 kelas) Tahun 2009.
25 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
Gambar 4-9. Nilai akurasi hasil klasifikasi ( class image ) menggunakan metode SVM
(2 kelas) Tahun 2010.
Gambar 4-10. Nilai akurasi hasil klasifikasi ( class image ) menggunakan metode
SVM (2 kelas) Tahun 2011.
4.2.2.2 Hasil dari klasifikasi Maximum Likelihood
Hasil berikut adalah menggunakan Metode Maximum Likelihood, yang
akan dibandingkan dengan hasil dari Metode SVM. Hasilnya berupa class image
berupa kelas hutan dan non hutan, semnetara rule image berupa nilai probbailitas
hutan. Makin mendekati nilai 100, maka kemungkinan kelas utan semakin besar.
Gambar 4-11 menunjukkan class image tahin 2009, 2010, 2011, dan
2012, sedangkan Gambar 4-12 menunjukkan rule image tahun yang sama.
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 26
2009
2010
2011
2012
Keterangan:
Gambar 4-11. Hasil klasifikasi berupa class image menggunakan metode SVM
(2 kelas) untuk tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012
27 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
2009
2010
2011
2012
Keterangan:
Gambar 4-12. Hasil klasifikasi ( rule image ) menggunakan metode
Maximum Likelihood (kelas hutan). Makin cerah warnanya maka
probabilitasnya makin besar
Berikut adalah contoh confusion matrix dari hasil klasifikasi Maximum
Likelihood untuk tahun 2011.
Gambar 4-13. Nilai akurasi hasil klasifikasi ( class image ) menggunakan metode
Maximum Likelihood Tahun 2011.
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 28
4.2.3 Klasifikasi visual
Klasifikasi visual dilakukan dengan mendeliniasi batas kelas hutan dan
non hutan, menggunakan software Arcview. Sebelumnya visual citra Landsat
dibuat dengn kombinasi band RGB-543 dan di-enhancement sehingga diperoleh
visual yang jelas untuk mempermudah interpretasi. Deliniasi didasarkan kepada
kunci interpretasi yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya. Hasil deliniasi tahun
2009 dan 2012 ditunjukkan pada Gambar 4-14.
Gambar 4-14. Hasil Klasifikasi visual Hutan dan Non Hutan tahun 2009,
Kelas hutan ditunjukkan oleh warna hijau
4.2.4 Hasil analisis
Gambar 4-15 menunjukkan citra Landsat dan hasil klasifikasi metode
SVM dan Maximum Likelihood untuk hutan pada dataran tinggi. Gambar 4-15 (a)
terdiri dari Citra Landsat pada kolom pertama, Hasil metode SVM pada kolom
kedua, dan hasil Maximum Likelihood pada kolom ketiga. Gambar 4-15(b)
menunjukkan pembesaran dari Gambar 4-15 (a) dan Gambar 4-15 (c) merupakan
pembesaran dari Gambar 4-15 (b). Terlihat bahwa hasil dari kedua metode
menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan.
29 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
Citra Landsat Hasil metode SVM Hasil Maximum
Likelihood
Gambar 4-15. Citra dan hasil klasifikasi Metode SVM dan Metode Maximum Likelihood.
(a). Hasil klasifikasi dengan area seluruh lokasi kegiatan; (b) Hasil klasifikasi pada kotak
bagian (a); (c) Hasil klasifikasi pada kota bagian (b)
Gambar4-16 menunjukkan citra Landsat dan hasil klasifikasi metode
SVM dan Maximum Likelihood untuk hutan pada daerah pesisir. Dengan Metode
SVM, hutan mangrove lebih terkelaskan dengan baik dan perkebunan tida
terkelaskan sebgaai hutan, sebaliknya dengan metode Maximum Likelihood
banyak area perkebuanan terkelaskan sebagai hutan.
Citra Landsat
Hasil Metode SVM
Hasil Metode Maximum
Likelihood
Gambar 4-16. Hasil metode SVM bagi hutan mangrove lebih bagus dari metode
Maximum Likelihood.
(a)
(b)
(c)
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 30
Berdasarkan analisis visual hasil antara metode SVM dan Maximum
Likelihood, terlihat bahwa Metode Maximum Lokelihood menghasilkan kelas
hutan yang lebih luas dibanding Metode SVM. Hasil ini semakin jelas dilihat pada
bagian (b) kemudian (c). Kemudian hasil dari setiap metode dibandingkan
kembali dengan citranya.
Berdasarkan hasil uji akurasi juga menunjukkan bahwa confusion matrix
metode SVM lebih baik dibanding dengan metode Maximum Likelihood, seperti
ditunjukkan oleh Tabel 4-2.
Tabel 4-2. Hasil confusion matrix dari metode SVM dan Maximum Likelihood Tahun
2009 dan 2012
Metode SVM Metode Maximum Likelihood
2009
2009
2012
2012
31 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
Maka berdasarkan hasil analisis sampel dapat diambil kesimpulan bahwa
metode SVM memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan Metode
Maximum Likelihood. Dengan demikian, selanjutnya untuk proses klasifikasi
multitemporal akan menggunakan data hasil klasifikasi single year berdasarkan
Metode SVM berupa data probabilitas.
4.3 Klasifikasi Multi Temporal
Dalam klasifikasi multi temporal, ada beberapa tahapan proses, dimulai dari
penongkatan akurasi, penentuan kelas hutan dan tahunan tanpa missing data,
dan perubahannya.
4.3.1 Peningkatan Akurasi
Dalam proses klasifikasi multi temporal, hasil klasifikasi single year yang
akan digunakan adalah berdasarkan metode SVM. Berdasarkan hasil uji akurasi
dengan sebaran sampel seperti ditunjukkan oleh Gambar 4-17 untuk tahun
2009, Gambar 4-18 untuk tahun 2010, Gambar 4-19 untuk tahun 2011, dan
Gambar 4-20 untuk tahun 2012 maka dihasilkan class confusion matrix berturut-
turut diperlihatkan pada Tabel 4-3, 4-4, 4-5, dan 4-6.
Gambar 4-17. Sebaran titik untuk uji akurasi hasil tahun 2009
Tabel 4-3. Hasil confusion matrix tahun 2009
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 32
Gambar 4-18. Sebaran titik untuk uji akurasi hasil tahun 2010
Tabel 4-4. Hasil confusion matrix tahun 2010
33 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
Gambar 4-19. Sebaran titik untuk uji akurasi hasil tahun 2011
Tabel4-5. Hasil confusion matrix tahun 2011
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 34
Gambar 4-20. Sebaran titik untuk uji akurasi hasil tahun 2012
Tabel 4-6. Hasil confusion matrix tahun 2012
Untuk meningkatkan akurasi dilakukan Koreksi menggunakan overall
acuracy dan pemfilteran. Hasil dari proses tersebut adalah nilai probabilitas yang
lebih akurat dan pengelompokkan nilai probabilitas berdasarkan Kernel Average
3x3. Gambar 4-21, Gambar 4-22, Gambar 4-23, dan Gambar 4-24 menunjukkan
hasil spasial dari proses-proses tersebut untuk tahun 2009, 2010, 2011, dan
2012.
35 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
Citra Landsat 2009
Probabilitas hutan 2009
Probabilitas hutan 2009 (akurasi)
Probabilitas hutan 2009 (filterisasi)
Gambar 4-21. Proses peningkatan akurasi hasil klasifikasi single year untuk tahun
2009
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 36
Citra Landsat 2010
Probabilitas hutan 2010
Probabilitas hutan 2010 (akurasi)
Probabilitas hutan 2010 (filterisasi)
Gambar 4-22. Proses peningkatan akurasi hasil klasifikasi single year untuk tahun
2010
37 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
Citra Landsat 2011
Probabilitas hutan 2011
Probabilitas hutan 2011 (akurasi)
Probabilitas hutan 2011 (filterisasi)
Gambar 4-23. Proses peningkatan akurasi hasil klasifikasi single year
untuk tahun 2011
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 38
Citra Landsat 2012
Probabilitas hutan 2012
Probabilitas hutan 2012 (akurasi)
Probabilitas hutan 2012 (filterisasi)
Gambar4-24. Proses peningkatan akurasi hasil klasifikasi single year untuk tahun
2012
4.3.2 Penentuan threshold hutan
Probabilitas hasil klasifikasi mempunyai nilai dari 0 berupa tidak
ada data, makin mendekati 0 adalah peluang untuk non hutan semakin
besar sedangkan makin mendekati 100 peluang hutan semakin besar.
Untuk menentukan threshold persentase hutan, maka dilakukan analisis
visual antara citra Landsat dan hasil probabilitas pada tahun yang sama
dengan menggunakan algoritma berikut, dimana nilai 1 adalah hutan dan
nilai 2 adalah non hutan.
39 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
If i1>(threshold hutan) then 1 else if i1>0 and i1<=( threshold hutan) then
2 else null
Threshold hutan dicari sehingga diperoleh nilai persentase
tertentu sebagai batas antara kelas hutan dan non hutan. Dari tahap ini
diperoleh kelas hutan, non hutan, dan missing data untuk tahun 2009,
2010, 2011, dan 2012. Hasil pengkelasan hutan non hutan masing masing
tahun ditunjukkan oleh Gambar 4-25.
Tahun Data Landat Hasil klasifikasi
2009
2010
2011
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 40
2012
Keterangan : = hutan = Non Hutan = missing data
Gambar 4-25. Hasil pengkelasan hutan (warna hijau) dan non hutan
(warna biru) beserta missing data (warna hitam) tahun 2009, 2010, 2011,
dan 2012
Tabel 4-3 menunjukkan nilai threshold masing-masing tahun yang
diperoleh dari analisis visual.
Tabel 4-3. Nilai probabilitas sebagai threshold untuk hutan di Kabupaten
Tanah Bumbu, Kabupaten Kota Baru dan sekitarnya.
Tahun Nilai Threshold (%)
2009 30
2010 33
2011 30
2012 35
4.3.3 Penentuan kelas hutan dan non hutan tahunan level 2
Berdasarkan pemikiran bahwa pohon di hutan akan memerlukan
waktu untuk tumbuh dalam beberapa tahun, maka untuk menentukan
suatu piksel termasuk kelas hutan atau non hutan, diperlukan data
sebelum dan sesudahnya. Pada proses ini, input yang digunakan adalah
hasil klasifikasi pada bab 4.3.2 berupa informasi spasial hutan, non hutan,
dan kelas missing data.
41 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
Dalam penentuan kelas hutan dan non hutan digunakan data
multi temporal 4 tahunan. Untuk itu dibuat ruang sampel, dimana untuk
3 data dan 4 kombinasi yang mungkin maka ada 81 ruang sampel. Tabel
4-4 menunjukkan ruang sampel yang mungkin beserta penentuan kelas
hutan dan non hutan tahunan.
Tabel 4-4. Kombinasi ruang sampel dan penentuan hutan dan non hutan
tahunan.
Permutasi 2009-2012
Pengulangan 2009 2010 2011 2012
0000 0 0 0 0
0001 1 1 1 1
0002 2 2 2 2
0010 1 1 1 1
0011 1 1 1 1
0012 1 1 1 2
0020 2 2 2 2
0021 2 2 2 1
0022 2 2 2 2
0100 1 1 1 1
0101 1 1 1 1
0102 1 1 1 2
0110 1 1 1 1
0111 1 1 1 1
0112 1 1 1 2
0120 1 1 2 2
0121 1 1 2 2
0122 1 1 2 2
0200 2 2 2 2
0201 2 2 2 1
0202 2 2 2 2
0210 2 2 1 1
0211 2 2 1 1
0212 2 2 2 2
0220 2 2 2 2
0221 2 2 2 1
0222 2 2 2 2
1000 1 1 1 1
1001 1 1 1 1
1002 1 1 1 2
1010 1 1 1 1
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 42
1011 1 1 1 1
1012 1 1 1 2
1020 1 1 2 2
1021 1 1 2 2
1022 1 1 2 2
1100 1 1 1 1
1101 1 1 1 1
1102 1 1 1 2
1110 1 1 1 1
1111 1 1 1 1
1112 1 1 1 2
1120 1 1 2 2
1121 1 1 2 2
1122 1 1 2 2
1200 1 2 2 2
1201 1 2 2 2
1202 1 2 2 2
1210 1 2 2 2
1211 1 2 2 2
1212 1 2 2 2
1220 1 2 2 2
1221 1 2 2 2
1222 1 2 2 2
2000 2 2 2 2
2001 2 1 1 1
2002 2 2 2 2
2010 2 2 1 1
2011 2 2 1 1
2012 2 2 2 2
2020 2 2 2 2
2021 2 2 2 1
2022 2 2 2 2
2100 2 1 1 1
2101 2 1 1 1
2102 2 1 1 1
2110 2 1 1 1
2111 2 1 1 1
2112 2 1 1 2
2120 2 1 1 1
2121 2 1 1 1
2122 2 2 2 2
2200 2 2 2 2
2201 2 2 2 1
2202 2 2 2 2
2210 2 2 1 1
43 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
2211 2 2 1 1
2212 2 2 2 2
2220 2 2 2 2
2221 2 2 2 1
2222 2 2 2 2
Dalam penentuan hutan dan non hutan tahunan level 2,
diperlukan input level 1 tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012. Data tersebut
dijadikan 1 file yang terdiri dari 4 layer yang menunjukkan informasi
spasial hutan, non hutan, dan missing data. Untuk itu untuk menentukan
klasifikasi level 2 tahun 2009diperlukan algoritma sebagai berikut:
If i1=0 and i2=0 and i3=0 and i4=0 then 0 else If i1=0 and i2=0 and
i3=0 and i4=1 then 1 else If i1=0 and i2=0 and i3=0 and i4=2 then 2 else If
i1=0 and i2=0 and i3=1 and i4=0 then 1 else If i1=0 and i2=0 and i3=1 and
i4=1 then 1 else If i1=0 and i2=0 and i3=1 and i4=2 then 1 else If i1=0 and
i2=0 and i3=2 and i4=0 then 2 else If i1=0 and i2=0 and i3=2 and i4=1 then
2 else If i1=0 and i2=0 and i3=2 and i4=2 then 2 else If i1=0 and i2=1 and
i3=0 and i4=0 then 1 else If i1=0 and i2=1 and i3=0 and i4=1 then 1 else If
i1=0 and i2=1 and i3=0 and i4=2 then 1 else If i1=0 and i2=1 and i3=1 and
i4=0 then 1 else If i1=0 and i2=1 and i3=1 and i4=1 then 1 else If i1=0 and
i2=1 and i3=1 and i4=2 then 1 else If i1=0 and i2=1 and i3=2 and i4=0 then
1 else If i1=0 and i2=1 and i3=2 and i4=1 then 1 else If i1=0 and i2=1 and
i3=2 and i4=2 then 1 else If i1=0 and i2=2 and i3=0 and i4=0 then 2 else If
i1=0 and i2=2 and i3=0 and i4=1 then 2 else If i1=0 and i2=2 and i3=0 and
i4=2 then 2 else If i1=0 and i2=2 and i3=1 and i4=0 then 2 else If i1=0 and
i2=2 and i3=1 and i4=1 then 2 else If i1=0 and i2=2 and i3=1 and i4=2 then
2 else If i1=0 and i2=2 and i3=2 and i4=0 then 2 else If i1=0 and i2=2 and
i3=2 and i4=1 then 2 else If i1=0 and i2=2 and i3=2 and i4=2 then 2 else If
i1=1 and i2=0 and i3=0 and i4=0 then 1 else If i1=1 and i2=0 and i3=0 and
i4=1 then 1 else If i1=1 and i2=0 and i3=0 and i4=2 then 1 else If i1=1 and
i2=0 and i3=1 and i4=0 then 1 else If i1=1 and i2=0 and i3=1 and i4=1 then
1 else If i1=1 and i2=0 and i3=1 and i4=2 then 1 else If i1=1 and i2=0 and
i3=2 and i4=0 then 1 else If i1=1 and i2=0 and i3=2 and i4=1 then 1 else If
i1=1 and i2=0 and i3=2 and i4=2 then 1 else If i1=1 and i2=1 and i3=0 and
i4=0 then 1 else If i1=1 and i2=1 and i3=0 and i4=1 then 1 else If i1=1 and
i2=1 and i3=0 and i4=2 then 1 else If i1=1 and i2=1 and i3=1 and i4=0
then 1 else If i1=1 and i2=1 and i3=1 and i4=1 then 1 else If i1=1 and i2=1
and i3=1 and i4=2 then 1 else If i1=1 and i2=1 and i3=2 and i4=0 then 1
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 44
else If i1=1 and i2=1 and i3=2 and i4=1 then 1 else If i1=1 and i2=1 and
i3=2 and i4=2 then 1 else If i1=1 and i2=2 and i3=0 and i4=0 then 1 else If
i1=1 and i2=2 and i3=0 and i4=1 then 1 else If i1=1 and i2=2 and i3=0 and
i4=2 then 1 else If i1=1 and i2=2 and i3=1 and i4=0 then 1 else If i1=1 and
i2=2 and i3=1 and i4=1 then 1 else If i1=1 and i2=2 and i3=1 and i4=2 then
1 else If i1=1 and i2=2 and i3=2 and i4=0 then 1 else If i1=1 and i2=2 and
i3=2 and i4=1 then 1 else If i1=1 and i2=2 and i3=2 and i4=2 then 1 else If
i1=2 and i2=0 and i3=0 and i4=0 then 2 else If i1=2 and i2=0 and i3=0 and
i4=1 then 2 else If i1=2 and i2=0 and i3=0 and i4=2 then 2 else If i1=2 and
i2=0 and i3=1 and i4=0 then 2 else If i1=2 and i2=0 and i3=1 and i4=1 then
2 else If i1=2 and i2=0 and i3=1 and i4=2 then 2 else If i1=2 and i2=0 and
i3=2 and i4=0 then 2 else If i1=2 and i2=0 and i3=2 and i4=1 then 2 else If
i1=2 and i2=0 and i3=2 and i4=2 then 2 else If i1=2 and i2=1 and i3=0 and
i4=0 then 2 else If i1=2 and i2=1 and i3=0 and i4=1 then 2 else If i1=2 and
i2=1 and i3=0 and i4=1 then 2 else If i1=2 and i2=1 and i3=0 and i4=2 then
2 else If i1=2 and i2=1 and i3=1 and i4=0 then 2 else If i1=2 and i2=1 and
i3=1 and i4=1 then 2 else If i1=2 and i2=1 and i3=1 and i4=2 then 2 else If
i1=2 and i2=1 and i3=2 and i4=0 then 2 else If i1=2 and i2=1 and i3=2 and
i4=1 then 2 else If i1=2 and i2=1 and i3=2 and i4=2 then 2 else If i1=2 and
i2=2 and i3=0 and i4=0 then 2 else If i1=2 and i2=2 and i3=0 and i4=1 then
2 else If i1=2 and i2=2 and i3=0 and i4=2 then 2 else If i1=2 and i2=2 and
i3=1 and i4=0 then 2 else If i1=2 and i2=2 and i3=1 and i4=1 then 2 else If
i1=2 and i2=2 and i3=1 and i4=2 then 2 else If i1=2 and i2=2 and i3=2 and
i4=0 then 2 else If i1=2 and i2=2 and i3=2 and i4=1 then 2 else If i1=2 and
i2=2 and i3=2 and i4=2 then 2 else null
Dimana 1 menunjukkan kelas hutan dan 2 menunjukkan kelas non
hutan.
Hasil klasifkasi multi temporal tahunan ditunjukkan oleh Gambar
4-26.
45 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
Gambar 4-26. Perbandingan hasil klasifikasi level 1 dan level 2.
Tahun Hasil klasifikasi level 1 Hasil klasifikasi Level 2
2009
2010
2011
2012
Keterangan : = hutan = Non Hutan = missing data
Gambar ... Hasil klasifikasi multi temporal tahunan
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 46
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
1. Metode SVM memberikan hasil klasifikasi hutan dan non hutan yang lebih baik
dari pada Metode Maximum Likelihood
2. Missing data yang diakibatkan oleh liputan awan, seperti banyak terjadi di
Iindonesia, bisa diatasi dengan klasifikasi multi temporal.
3. Perlu adanya zona stratifikasi, sehingga hasil di dataran tinggi dan pesisir
mempunyai nilai threshold hutan yang berbeda, sehingga akan terkelaskan
dengan lebih baik
47 Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan
BAB VI SARAN
1. Melanjutkan penelitian dengan menambahkan proses stratifikasi wilayah.
2. Memperpanjang jangka penelitian, unutk meningkatkan akurasi klasifikasi multi
temporal
Litbang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Untuk Klasifikasi Hutan Dan Non-Hutan 48
DAFTAR PUSTAKA
Brezonik, 2002, Satellite and GIS Tools to Assess Lake Quality, Water Resources Center,
University of Minnesota
Doxaran D., Froidefond J.M. and Castaing P., 2002, A Reflectance Band Ratio Used to
Estimate Suspended Matter Concentration in Sediment-dominated Coastal Waters,
2002, Int. J. Remote Sensing, Vol.23, No. 23, Pp. 5079-5085
Fahmudin A. dan Widianto, 2004, Petunjuk Praktik Konservasi Tanah Pertanian Lahan
Kering, World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia, Bogor. Indonesia.
Furby S., 2009, General guidelines for registering Landsat TM coverage to the rectifiction
base and performing the BRDF Correction, INCAS Project
Furby S. and Wu X., 2009, General guidelines for Terrain Correction of Landsat TM Images,
INCAS Project
http://id.wikipedia.org/wiki/Kombinasi_dan_permutasi
KLH, 2011, Profil 15 Danau Prioritas Nasional 2010-2014, Kementerian Lingkungan Hidup
Liu, J., Hirose, T., Kapfer, M., dan Bennett, J., 2007, Operational Water Quality Monitoring
over Lake Winnipeg Using Satellite Remote Sensing Data, Our Common Borders –
Safety, Security, and the Environment Through Remote Sensing October 28 –
November 1, 2007. Ottawa, Ontario, Canada.
Li, R. dan Li, J., 2004, Satellite Remote Sensing Technology for Lake Water Clarity
Monitoring: An Overview. International Society for Environmental Information
Sciences, Environmental Informatics Archives, Volume 2 (2004), 893-901.
Pratisto A. dan Danoedoro P., 2008, Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap
Respond Debit dan Bahaya Banjir (Studi Kasus di DAS Gesing, Purworejo Berdasarkan
Citra Landsat TM dan ASTER VNIR), PIT MAPIN XVII, Bandung
Suroso dan Susanto H.A., 2006, Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit
Banjir Daerah Aliran Sungai Banjaran, Jurnal Teknik Sipil, Vol.3, No.2.
Trisakti B., Parwati S and Budhiman S, 2005, Study of MODIS-AQUA Data for Mapping Total
Suspended Matter (TSM) in Coastal Waters, International Journal of Remote Sensing
and Earth Sciences, Vol. 2, September 2005
Trisakti B., 2011, Pengembangan Model Pemanfaatan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan
Danau, Laporan Akhir Bidang Sumberdaya Wilayah Darat, Pusfatja, LAPAN
Trisakti B., 2012, Kajian Metode Penentuan Luas Permukaan Air Danau Dan Sebaran
Vegetasi Air Berbasis Data Satelit Penginderaan Jauh, Seminar Nasional Limnologi VI,
Jakarta, 16 Juli 2012