cover sitotaksonomi

Upload: ryki-periwaldi

Post on 06-Jul-2015

276 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LAPORAN PRAKTIKUM SITOTAKSONOMI STUDI TAKSONOMI MELALUI ANALISA KROMOSOM BERUDU (AMPHIBI) Bufo macrotis Boulenger, 1887

OLEH: RYKI PERIWALDI A.P 0810422046

LABORATORIUM GENETIKA DAN SITOLOGI JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS ANDALAS PADANG, 2011

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah Penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan laporan praktikum Sitotaksonomi ini tepat pada waktunya. Laporan praktikum ini disusun berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan di laboratorium. Selesainya pembuatan laporan ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak hingga penulisan laporan ini selesai. Untuk itu dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak Prof. DR. Syamsuardi, M. Sc. selaku dosen mata kuliah Sitotaksonomi, 2. Bapak DR. Djong Hon Tjong, M. Sc. selaku dosen pembimbing praktikum, 3. Semua pihak yang ikut membantu dalam penyusunan Laporan ini dan Biologi 2008 (Rhiza 08) terimakasih semangatnya. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih memiliki berbagai kekurangan maupun ketidak sempurnaan materi karena keterbatasan waktu dan pengetah uan yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak yang membaca tulisan ini. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan

Padang, 07 Juli 2011

Penulis

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.000 pulau, terletak antara 950 BT 1410 dan 60 LU 110 LS. Indonesia beriklim tropis, memiliki hutan tropis sekitar 56,89% dari luas daratan (Sembiring dan Sulaiman, 2006). Mistar (2003) menyatakan bahwa Indonesia terletak antara dua samudera dan dua benua sehingga menyebabkan banyaknya spesies yang ditemukan pada berbagai wilayah dengan kerakter yang khas. Salah satu kekayaan hayati di Indonesia adalah kelompok katak (Amphibi). Amphibi merupakan hewan vertebrata yang hidup di dua tempat dan digolongkan sebagai satwa berdarah dingin yaitu satwa yang suhu tubuhnya tergantung pada suhu lingkungan. Amphibi menggunakan suhu lingkungan untuk mengatur suhu tubuhnya. Amphibi juga mempunyai potensi yang besar untuk membantu manusia dalam menanggulangi hama (Mistar, 2003). Amphibi di Sumatera Barat adalah fauna yang paling sedikit dipelajari bila dibandingkan fauna di pulau lainnya, jumlah spesies yang ditemukan di sumatera lebih kecil dari pada yang didapatkan di Kalimantan (148 spesies) dan bila dibandingkan dengan semenanjung Malaysia yang secara luas cakupan wilayahnya lebih kecil dari Sumatera tercatat memilki 101 spesies. Pada saat ini masih sulit untuk memperkirakan ukuran relatif jumlah spesies fauna Amphibi di Sumatera dikarenakan dua alasan yaitu pengkoleksian Amphibi Sumatera baru dilakukan 50-60 tahun terakhir dibandingkan dengan Kalimantan dan Semananjung Malaysia dengan masa eksplorasi yang mencapai 100-150 tahun dan sejarah geologi Sumatera yang memiliki aktifitas vulkanis yang tinggi serta melingkupi daerah yang luas pada zaman tertier yang berkemungkinan menyebabkan kepunahan dalam skala regional, sehingga jumlah spesies yang ditemukan lebih kecil dan lebih kurang homogen (Inger dan Iskandar, 2005). Sejumlah penelitian tentang keanekaragaman amfibi di beberapa wilayah di Indonesia telah menambah daftar kekayaan amfibi Indonesia. Jumlah Amphibi yang ada di Indonesia sekitar 489 spesies, di Sumatera terdapat sekitar 90 spesies dan di Sumatera Barat kurang lebih 40 spesies (Mistar, 2003). Selama ini untuk mengidentifikasi jenis-jenis Amphibi telah dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara morfologis, tapi identifikasi tingkat kromosom masih sedikit yang melakukan, meskipun beberapa jenis telah diketahui jumlah kromosomnya, namun informasi detail mengenai tipe kromosom (kariotipe) terhadap sebagian besar jenis amfibi masih sedikit, penelitiannya pun masih belum banyak dilakukan.

Dengan berlatar - belakang permasalahan diatas perlu diadakannya praktikum Sitotaksonomi tentang analisis kromosom jenis Amphibi (berudu) untuk mendapatkan data tentang jumlah, bentuk, struktur dan sifat kromosom berudu, untuk kepentingan identifikasinya dan pencirian khusus yang dimiliki oleh suatu spesies.

1.2 Tujuan Praktikum Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui jumlah, struktur, dan bentuk kromosom Amphibi (berudu) yang kemudian dianalisis dalam bentuk kariotipe sehingga memudahkan dalam mengidentifikasinya.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi Dua macam pendekatan taksonomi makhluk hidup telah dikenal sejak beberapa dekade silam, yaitu taksonomi klasik dan taksonomi eksperimental. Taksonomi klasik adalah suatu pengelompokan makhluk hidup berdasarkan sifat-sifat makro yang menarik, selanjutnya dicari persamaan dan perbedaannya, kemudian dikelompokkan dan diberi nama berdasarkan aturan internasional yang telah disepakati. Dengan kata lain taksonomi klasik adalah pengelompokan berdasarkan hubungan sifat morfologi. Sedangkan taksonomi eksperimental, pengelompokannya tidak hanya berdasarkan hubungan sifat morfologi, tetapi juga karakterkarakter mikro atau karakter non morfologi, misalnya kandungan zat kimia, jumlah kromosom, dan lain-lain. Taksonomi eksperimental sangat penting dalam upaya identifikasi, menguji klasifikasi yang telah dibuat berdasarkan morfologi, mengetahui hubungan kekerabatan, serta mengetahui pengaruh lingkungan terhadap populasi (Anonimous b, 2011) Karakter taksonomi adalah sifat yang dapat digunakan untuk membedakan anggota suatu takson atau membedakannya dari anggota takson yang lain. Karakter juga dapat diartikan sebagai sifat atau ciri yang memisahkan sesuatu, individu atau kelompok dari yang lainnya. Semua perbedaan diantara dua individu adalah sebuah karakter, tetapi tidak semua karakter bermanfaat untuk tujuan taksonomi. Hampir semua sifat suatu organisme dapat digunakan sebagai karakter taksonomi jika sifat ini berbeda dari anggota-anggota takson lain. Terdapat beberapa jenis/macam karakter, di antaranya: a. karakter morfologi, b. karakter fisiologi, c. karakter molekuler, d. karakter tingkah laku (behavior characters), e. karakter ekologis (ecological characters), f. karakter geografis (geographic characters) (Anonimous b, 2011) Di antara karakter di atas, karakter morfologi pada spesimen-spesimen dew asa lebih sering digunakan dibandingkan karakter lain. Karakter morfologi mencakup morfologi luar secara umum, struktur morfologi khusus (contoh: organ genitalia), morfologi internal (anatomi), embryologi, karyologi dan perbedaan sitologis lain. Namun, dalam menentukan status taksonomi suatu individu terkadang penggunaan sifat/ciri morfologi saja tidaklah cukup.

Gambaran morfologi hanya bagian dari genotipe dan tidak dapat mencerminkan hubungan genetik secara akurat. Beberapa karakter morfologi kemungkinan kehilangan peran karena adaptasi-adaptasi khusus (Anonimous b, 2011) Pada kondisi ini keberadaan karakter lain dibutuhkan untuk meningkatkan keluasan karakter. Sebagian alasan penting untuk penggunaan karakter baru (molekul, kromosom, tingkah laku, dan lain-lain) adalah sebagai pengecekan terhadap karakter morfologi konvensional. Ketika ketidaksesuaian terjadi di antara sebuah klasifikasi berdasarkan morfologi, kumpulan karakter-karakter taksonomi harus digunakan. Karakter-karakter baru biasanya menegaskan atau memperkuat klasifikasi berdasarkan karakter morfologi. Hal ini menunjukkan bahwa morfologi biasanya mencerminkan sebagian besar genotipe dan secara umum dapat dipercaya sebagai kerakter utama dalam menentukan hubungan taksonominya (Anonimous b, 2011) Karakter taksonomi yang paling sering digunakan oleh ahli sitogenetika adalah jumlah kromosom. Informasi kromosom memiliki nilai tambah karena dapat digunakan untuk melengkapi dan mengecek kembali informasi morfologi, molekuler, dan informasi-informasi lainnya (Anonimous b, 2011) 2. 2 Kromosom Semua sel hidup mempunyai struktur yang membawa yang gen yang disebut kromosom (Gardner dan Snustad, 1984). Kromosom mengandung puluhan sampai ratusan ribu gen. Kromosom itu tersusun atas dua macam kromatin yaitu eukromatin dan heterokromatin. Heterokromatin merupakan kromatin yang relatif lebih banyak dan lebih mudah menghisap zat warna dari pada bagian lengan lain, sedangkan eukromatin merupakan daerah kromatin yang terang dan mengandung gen-gen yang sedang aktif (Yatim, 1996). Kromatid merupakan lengan kromosom yang serupa bentuknya sedangkan sentromer tampak sebagai lekukan kearah dalam dan warnanya lebih menipis bila dibandingkan dengan warna lengan kromosom. Sentromer berfungsi sebagai tempat berpegangannya benang-

benang plasma dan spindel (Suryo, 1995). Kromosom dapat terlihat jelas selama tahap-tahap tertentu dalam pembelahan inti, yang biasanya digambarkan pada tahap metafase (Crowder, 1997). Metafase merupakan tahap yang paling cocok untuk studi kromosom melalui penghambatan pembentukan benang spindel dengan menggunakan bahan kimia, sehingga posisi kromosom menjadi tersebar, terpisah yang satu dengan yang lainnya (Goodenough, 1988). Suryo (1995) menambahkan bahwa kromosom yang tersebar pada metafase adalah

saat yang paling baik untuk menghitung dan membandingkan ukuran serta morfologi kromosom karena kromosom kromosom tersebar di bidang tengah sel. Dyer (1979) juga menyatakan bahwa pada tahap ini kromosom akan tampak tersebar dengan bentuk yang cukup jelas. Pada tahap metafase, sentromer kromosom terletak dibidang ekuator sel walaupun lengan-lengan kromosom mungkin menuju kearah mana saja. Kromosom tampak paling tebal. Kedua kromatid masih dihubungkan oleh satu sentromer (Suryo, 1995). Struktur kromosom pada metafase dapat dimaati dengan menggunakan mikroskop dengan teknik pewarnaan menggunakan giemza. Struktur kromosom yang terlihat dapat dibedakan menjadi beberapa bagian yaitu, lengan kromosom, sentomer dan telomer. Lengan kromosom merupakan bagian yang mengandung rangkaian gen, sentromer bagian tengah kromosom yang berfungsi dalam proses distribusi kromosom pada waktu terjadi pembelahan, sedangkan telomer bagian ujung kromosom yang melindungi kromosom pada saat replikasi dari pemendekan ukuran kromosom (Yuwono, 2005). Tampilan visual kromosom setiap individu dinamakan kariotipe (Starr, 2001). Kromosom-kromosom tersebut disusun berpasang-pasangan dimulai dengan kromosom yang terpanjang. Kromosom yang mempunyai panjang, posisi sentromer dan pola pewarnaan yang sama dinamakan kromosom homolog. Kedua kromosom dari setiap pasangan membawa gen yang mengendalikan karakter warisan yang sama (Campbell, Reece, dan Mitchel, 2000). Dyer (1979) menyatakan bahwa kariotipe merupakan gambaran kromosom suatu organisme meliputi jumlah, tipe, dan ukuran kromosom yang tampak saat sel mengalami metafase mitosis. Kromosom tersebut kemudian disusun berdasarkan pasangan kromosom yang homolog dan diurut berdasarkan ukuran kromosom dan posisi sentromernya dari yang paling panjang sampai dengan yang paling pendek. Pembagian kromosom berdasarkan golongan besar dan kecil didasarkan kepada Blommers Schlosser (1978) cit Mildawati (2005) yang menyatakan bahwa kromosom golongan kecil adalah kromosom dengan panjang relatif kurang dari setengah panjang relatif kromosom terpanjang dan kromosom golongan besar adalah kromosom dengan panjang relatif lebih dari setengah panjang relatif kromosom terpanjang. Pembagian ini bertujuan untuk menentukan urutan nomor kromosom yang diperkuat dengan indeks sentromer dan konstriksi sekunder. Analisis kariotipe merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menetukan hubungan kekerabatan dan kedudukan satu spesies dalam taksanya dengan menganalisis kariotipenya, karena setiap spesies mempunyai jumlah kromosom yang

karakteristik. Analisa kariotipe kromosom umumnya didasarkan kepada dua sifat kromosom, yaitu jumlah diploid kromosom dalam sebuah sel somatik dan karakter morfologinya setiap kromosom dalam set tersebut. Karakteristik morfologis sebuah kromosom ditentukan oleh posisinya sentromer serta panjang relatif kromosom terhadap kromosom kromosom lainnya dalam satu set haploid (Pangestu, 2010). 2.3 Amphibi Amphibi adalah vertebrata yang hidup teresterial, menghabiskan hidupnya di lingkungan aquatik sebelum mengalami perubahan bentuk menjadi katak dewasa atau mengalami metamorfosis (Esterina, 2002). Amphibi memilki suhu tubuh yang tidak tetap, selalu berubah-ubah sesuai dengan suhu lingkungan (poikilotermik). Bersifat eksoterm, di mana amphibi mengatur suhu tubuhnya tetap tinggi dan dalam kisaran yang sempit (35o42oC). Keuntungan dari keadaan ini adalah energi yang digunakan untuk metabolisme tubuh hanya 1/7 1/10 dari hewan yang endoterm, metabolisme yang rendah ini menyebabkan kebutuhan makan yang lebih rendah juga, sehingga amphibi bisa hidup dalam lingkungan yang sedikit dengan makanan dan efisiensi yang lebih besar dalam mengubah energi di dalam makanan menjadi jaringan tubuh. Hewan ini memiliki kulit yang lunak dan ditutupi oleh rambut atau bulu (Iskandar, 1998). Amphibia dipercaya sebagai bentuk peralihan dari kehidupan air (pisces) ke bentuk kehidupan tetrapoda di darat, karena bentuk larvanya mewakili bentuk kehidupan air dan dewasanya yang terspesialisasi untuk bisa hidup di darat. Beberapa hipotesis menyatakan bahwa amphibi berasal dari nenek moyang Lungfish (ikan paru-paru), Bichir (genus Polypterus) dan Crossopterygii. Tetapi hipotesa yang paling kuat menyatakan bahwa Lungfish (ikan paru-paru) adalah nenek moyang dari amphibia karena lungfish memilki paruparu sebagai organ respirasi dan dilihat dari stuktur sirip dari lungfish yang bisa bermodifikasi menjadi alat gerak amphibi sewaktu berada di darat (Kimball, 1983). Di daratan kemampuan untuk mendeteksi suara merupakan hal yang sangat penting dan Amphibi telah mengembangkan telinganya yang sederhana dari stuktur yang diwarisi dari moyang mereka. Amphibi memiliki spirakel yang tertutup dengan membran dan berfungsi sebagai gendang telinga dan tulang rahang yang tidak terpakai lagi yang be rasal dari lengkung insang agnatha berguna sekali meneruskan dari membran ke telinga dalam (Kimball, 1983). Amphibi terdiri dari tiga ordo yaitu Caudata (Salamander), Gymnophiona (Sesilia), dan Anura (Katak dan Kodok). Anura merupakan salah satu ordo dari amphibi yang banyak

terdapat di Indonesia yang terdiri dari kelompok katak dan kodok. Katak dan kodok mudah dikenali karena erat kaitannya dengan manusia. Katak dan kodok memiliki tubuh seperti berjongkok, kaki depan memiliki empat jari dan kaki belakang lima jari, dengan selaput renang yang terdapat antara jari jari dan bervariasi pada setiap spesiesnya (Mistar, 2003). Menurut Djuhanda (1982) bahwa, amphibia memiliki ciri-ciri khusus seperti kulit selalu basah dan berkelenjer, tidak bersisik luar, memiliki dua pasang kaki untuk berjalan, berjarijari empat sampai lima, tidak memiliki sirip, terdapat dua buah nares yang dihubungkan oleh cavum oris. Pada nares terdapat klep untuk menahan air supaya tidak masuk ke nares. Mata berkelopak dan dapat digerkkan, lebaran gendang pendengaran terdapat di sebelah luar. Mulut bergigi dan berlidah yang dapat dijulurkan ke luar. Skleton sebagian besar tulang keras, tempurung kepalanya memiliki dua condyl, memiliki costae tulang rusuk) yang tidak menempel pada sternum (tulang dada). Cor terbagi atas tiga ruangan dimana satu ventikel dan dua atrium. Katak adalah jenis amphibian dengan kepala lebar dan pipih, mulutnya lebar dan mempunyai lidah yang panjang dan melekat. Pangkal lidah ada di bagian depan dan ujungnya ada di belakang. Ujung lidah dapat dijulurkan ke depan sewaktu menangkap mangsannya. Giginya disebut gigi former yang ada di langit-langit, didepan mata ada lubang nares. Lubang nares tertutup sewaktu katak menyelam diair. Matanya menonjol ada di sisi kepala, ada dua kelopak yaitu kelopak atas dan bawah tetapi tidak mudah digerakkan, sebagai gantinya katak memiliki selaput. niktitans. Selaput ini yang dapat mengejap. Bola mata dapat ditarik ke dalam yaitu sewaktu katak menelan mangsanya. Di bagian sisi belakang mat ada selaput a gendrang telinga serta telinga bagian luar (Jasin, 1984). Anura di dunia terdiri dari 25 famili dengan 33 genera dan 3843 spesies. Di Indonesia terdapat 10 famili anura yaitu Bufonidae, Bombinatoridae, Hylidae, Microhylidae, Megophryidae, Ranidae, Rhacophoridae, Myobatrachidae, Pelodryadidae, dan

limnodynastidae dengan lebih kurang 489 spesies. Di Sumatra Barat terdapat lima famili anura yang umum didapatkan yaitu Bufonidae, Ranidae, Microhylidae, Megophryidae, dan Rhacophoridae dengan lebih kurang 40 spesies (Anonymous a, 2011). Famili Bufonidae dikenal juga dengan sebutan kodok sejati dengan ciri-ciri tubuh umumnya gemuk, kulit diliputi oleh kutil-kutil dan terdapat sepasang kelenjer paratoid di belakang mata. Hidup di sekitar perkampungan penduduk dan sekitar sungai. Contohnya dalah Bufo asper dan Bufo melanotictus. Famili Ranidae merupakan katak sejati dengan kulit yang licin dan selalu lembab, umumnya memiliki lipatan dorsolateral dan hidup pada

perairan yang tergenang atau mengalir. Contohnya adalah Rana erythrea (Radiopoetra, 1996). Famili Mycrohylidae merupakan katak dengan cirri-ciri kepala agak meruncing, tubuh seperti segitiga kalau dilihat dari sisi dorsal dengan mulut kecil dan mata yang tidak teralu besar. Hidup pada lantai hutan sampai daerah genangan air di perkampungan. Contohnya adalah Microhyla achantina. Famili Megophryidae merupakan family yang sangat unik dari ordo anura karena memiliki tonjolan seperti tanduk di atas kelopak mata dan di atas hidung. Mata besar dan mulutnya lebar. Melindungi diri dengan penyamaran karena kaki belakangnya lebih pendek dari pada kaki depannya sehingga family ini tidak bisa meloncat dengan maksimal. Contohnya adalah Megophrys Montana (Iskandar, 1998). Family Rhacophoridae merupakan katak pohon sejati. Ukuran tubuh 15-120 mm, tidak punya tulang rusuk dengan ujung jari membentuk piringan yang sangat lebar Amplexus axillary dan perkembangan terjadi secara langsung Bertelur di dalam massa busa yang digantung di dahan pohon. Kebanyakkan mempunyai warna tubuh yang menarik. Contoh: Rhacophorus ,Nyctixalus pictus, dan Polypedates (Anonymous a, 2011). Kodok dan katak kawin pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada saat menjelang hujan. Pada saat itu jantan akan berbunyi untuk memanggil betinanya, Suara keras kodok dihasilkan oleh kantung suara yang terletak di sekitar lehernya, yang akan menggembung besar saat digunakan. Pembuahan pada kodok dilakukan di luar tubuh. Kodok jantan akan melekat di punggung betinanya dan memeluk erat ketiak betina dari belakang. Sambil berenang di air, kaki belakang kodok jantan akan memijat perut kodok betina dan merangsang pengeluaran telur. Pada saat yang bersamaan kodok jantan akan melepaskan spermanya ke air, sehingga bisa membuahi telur-telur yang dikeluarkan si betina (Jasin, 1984). Amphibi mengawali hidupnya sebagai telur yang diletakkan induknya di air atau di tempat-tempat basah lainnya. Beberapa jenis kodok pegunungan menyimpan telurnya di antara lumut-lumut yang basah di pepohonan. Sementara jenis kodok hutan yang lain menitipkan telurnya di punggung kodok jantan yang lembab, yang akan selalu menjaga dan membawanya hingga menetas bahkan hingga menjadi kodok kecil. Sekali bertelur katak bisa menghasilkan 5.000 20.000 telur, tergantung dari kualitas induk dan berlangsung sebanyak tiga kali dalam setahun. Telur-telur kodok dan katak menetas menjadi berudu atau kecebong, yang bertubuh mirip ikan gendut dan bernafas dengan insang. Perlahan-lahan akan tumbuh kaki belakang, yang kemudian diikuti dengan tumbuhnya kaki depan, menghilangnya ekor dan bergantinya insang dengan paru-paru, selanjtnya berudu akan melompat ke darat sebagai kodok atau katak kecil (Barnest, 1988)

III. PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 17 24 Juni 2011. Sampel dikoleksi di sekitaran kampus Unand, kemudian dilanjutkan di Laboratorium Genetika dan Sitologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu dan Pengetahuan Alam Universitas Andalas, Padang. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol bekas air minum kemasan, alat bedah (gunting, pinset, pisau), kaca objek, pipet tetes, mikroskop, fotomikroskop dan alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan adalah kolkisin 0,05%, asam asetat glasial, HCl, pewarna arcetoorcein, akuades dan tisu gulung. 3.3 Cara Kerja 3.3.1 Pengkoleksian Sampel di Lapangan Pengkoleksian sampel dilakukan dengan mencari berudu Amphibi diselokan-selokan atau bandar kecil disekitaran kampus Unand. Berudu yang didapat dibawa ke laboratorium. 3.3.2 Persiapan Objek Berudu Amphibi yang didapat dipotong ujung ekornya sepanjang 0,5-1 mm. Ujung ekor yang telah dipotong dibuang. Berudu yang telah dibuang ekornya dipelihara dalam wadah yang berisi akuades dan makanan (Pelet) selama tiga hari. 3.3.3 Pembuatan Preparat Kromosom Ekor berudu yang telah dipotong akan kembali tumbuh, ekor yang tumbuh dipotong lagi sepanjang 0,5-1 mm. Potongan ekor tersebut diambil dan diletakkan diatas kaca objek, kemudian ditetesi dengan akuades sebanyak 1ml dan kolkisin 0,05% sebanyak 1ml. Sampel dibiarkan selama 1 jam. Setelah satu jam, akuades dan larutan kolkisin diserap kembali dengan tisu, kemudian sampel langsung diberi pewarnaan dengan acetoorcein 2% dan dibiarkan selama 15 menit. Setelah 15 menit, preparat yang telah diberi pewarna acetoorcein langsung di squash. Preparat ditutup terlebih dahulu dengan cover glass dan dibalut dengan tisu, kemudian preparat ditekan kuat, lembut dan rata agar zat warna dan sel tersebar merata.

3.3.4 Pengamatan Preparat yang dihasilkan diamati dengan mikroskop dan dipilih kelompok kromosom metafase yang tersebar baik. Pemotretan dilakukan dengan menggunakann fotomikroskop Olympus DP 12, perbesaran 400. Fotomikroskop ini dihubungkan dengan komputer pengatur yang funginya untuk mengatur dan melihat gambar hasil yang telah difoto. Gambar kromosom yang didapat diatur pencahayannya agar gambar yang didapatkan lebih baik. Gambar yang difoto akan langsung tersimpan dikomputer. 3.3.5 Pengukuran dan Penentuan Tipe Kromosom Bentuk dan ukuran kromosom dapat ditentukan berdasarkan hasil pengukuran panjang lengan panjang dan panjang lengan pendek kromosom. Berdasarkan hasil pengukuran kromosom dapat ditentukan Panjang Relatif Kromosom (PRK), Indeks Sentromer (IS) dan Ratio Lengan (RL) sebagai berikut: PRK =

Indeks Sentromer merupakan perbandingan lengan pendek terhadap panjang total kedua lengan kromosom. IS =

x 100%

Ratio Lengan kromosom merupakan perbandingan lengan panjang dengan lengan pendek suatu kromosom. RL =

x 100%

Proses ini dilakukan dengan menggunakan program komputer micromeasure versi 3.3. IS dan RL digunakam untuk menentukan tipe kromosom dengan mengacu pada tipe kromosom yang digunakan oleh Levan, Fredga, Sanberg (1964), seperti yang tercantum pada tabel berikut: Tabel 1. Tipe Kromosom Berdasarkan Nilai Indeks Sentromer (IS) dan Ratio Lengan Kromosom Tipe Kromosom Metasentrik (M) Submetasentrik (SM) Subtelosentris (ST) Akrosentrik (A) Indeks Sentromer 50 37,5 37,4 25,0 24,9 12,5 Ratio Lengan 1,0 1,7 1,7 3,0 3,0 7,0 7,1 - ~

Telosentrik (T) 3.3.6 Penyusunan Kariotipe

12,49 0,0

~

Foto yang dihasilkan dari pemotretan preparat kromosom, kemudian dipotong dan dipasangkan dengan pasangan homolognya. Setelah itu disusun berdasarkan yang terpanjang ke yang terpendek dan diamati tipe kromosom. Proses ini menggunakan program Adobe Photoshop CS4 dan Adobe Illustrator 9.0.

IV. HASIL DAN PE BAHASAN

Hasil preparat kromosom yang di

at dari sampel ekor berudu yang dipotong dilanjutkan ambar 1. Kromosom yang didapat

dengan pemotretan kromosom yang diperli atkan pada

adalah kromosom diploid pada fase metafase. Perhitungan jumlah kromosom dilakukanpada sel sel yang sedang mengalami fase metafase dengan sebaran kromosom yang baik.

ambar 1. Kromosom berudu

Berdasarkan perhitungan jumlah kromosom, didapatkan jumlah kromosom berudu sebanyak 2n=22. Menurut Kuramanto (1990) ordo Anura yang memilki jumlah kromosom sebanyak 22 buah adalah famili Bufonidae. Hal ini juga diperkuat oleh Djong (1998) yang meneliti tentang Kariotip dua species Bufo yang terdapat di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas, mendapatkan jumlah kromosom famili bufonidae 22 buah. Siripiyasing, dkk (2008) juga mendapatkan jumlah kromosom famili Bufonidae sebanyak 22 setelah meneliti kariotipe empat jenis Bufo di Thailand. Preparat kromosom yang didapat kemudian diukur Panjang Relatif Kromosom (PRK) Bufo tersebut, dan didapatkan hasil pada tabel dibawah ini. Tabel 2. Nilai PRK Bufo No. Kromosom 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 PRK 9,81 8,08 7,39 6,77 6,65 6,49 5,80 5,67 5,45 5,24 4,27 3,38 3,29 3,12 3,03 3,02 2,67 2,45 2,37 1,93 1,67 1,47

Panjang Relatif Kromosom (PRK) yang diperlihatkan pada tabel 2 diatas untuk masing masing nomor kromosom memilki PRK yang berbeda. Nilai PRK yang terbesar adalah 9,81 8,08, sedangkan yang paling kecil adalah 1,67 1,47. Hasil pengukuran ini menunjukan

bahwa kromosom nomor satu sampai dengan kromosom nomor enam memiliki PRK lebih dari setengah PRK terpanjang yang disebut golongan besar, sedangkan kromosom nomor tujuh sampai kromosom nomor sebelas mempunyai PRK kurang dari setengah nilai PRK terpanjang sehingga digolongkan dengan kromosom kecil. Jadi jumlah kromosom golongan besar berudu yang didapat adalah sebanyak enam buah dan jumlah kromosom golongan kecil sebanyak 5 buah.

Bersadarkan pengukuran PRK berudu dibuat kariotipenya, seperti gambar dibawah ini.

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

Gambar 2. Kariotipe berudu Selanjutnya ditentukan tipe tipe kromosom didasarkan pada nilai Indeks Sentromer dan Rasio Lengan kromosom seperti pada tabel dibawah ini. Tabel 3. Nilai Indeks Sentromer (IS) dan Rasio Lengan kromosom (RL) berudu (Bufo) No. Kromosom 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 IS 44,47 39,23 49,07 48,13 31 27,35 43,97 + 40,58 47,58 43,51 42,85 45,12 46,45 45,13 42,63 49,71 35,50 33,51 41,80 39,67 42,85 45,6 RL 1,25 1,55 1,037 1,078 2,23 2,66 1,27 1,46 1,1 1,3 1,33 1,22 1,15 1,22 1,35 + 1,01 1,82 1,98 1,4 1,52 1,33 1,2 Tipe M M SM M M M M M SM M M

Hasil pengukuran Indeks Sentromer (IS), Rasio Lengan kromosom (RL) dan selanjutnya disajikan susuna kromosom (kariotipe) disajikan pada Gambar 2. kromosom berudu diketahui tipe kromosomnya yaitu tipe metasentrik dan submetasentrik. Kromosom metasentrik terdiri dari 9 pasang yaitu kromosom nomor 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 10, dan 11. Kromosom submetasentrik terdiri dari 2 pasang yaitu nomor 3 dan 9. Menurut literatur anggota famili Bufonidae yang memiliki jumlah kromosom (2N) 22 buah, enam buah kromosom besar dan

lima buah kromosom kecil, yang terdiri dari 9 pasang tipe metasentrik yaitu nomor 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 10, dan 11 dan dua pasang kromosom submetasentrik nomor 3 dan 9 adalah Bufo macrotis (Siripiyasing, dkk., 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Djong (1998) juga mendapatkan kromosom Bufo macrotis sebanyak 22 yang terdiri atas 6 pasang berukuran besar dan 5 berukuran kecil, semuanya berbentuk metasentrik, kecuali kromosom nomor 3 dan 9 berbentuk submetasentrik. Bufo macrotis merupakan spesies kodok yang banyak dijumpai di daerah tropis dan subtropis. Klasifikasi Bufo macrotis adalah sebagai bertikut: Kingdom : Animalia Phylum Class Order Family Genus : Chordata : Amphibia : Anura : Bufonidae : Bufo

Specific name: macrotis Scientific name: Bufo macrotis Boulenger, 1887

a

b

Gambar 3. a. Bufo macrotis b. Berudu Bufo macrotis Bufo macrotis dapat ditemukan di Asia Tenggara dan India dari ketinggian 300m dpl, di bagian barat laut dari jangkauan ditemukan sampai 2.350 m dpl. Umumnya dijumpai hutan tropis subtropis, dan rawa rawa (Amphibiaweb, 2010).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan Jumlah kromosom berudu yang didapat memilki jumlah kromosom (2N) 22 buah, enam buah kromosom besar dan lima buah kromosom kecil, yang terdiri dari 9 pasang tipe metasentrik dua pasang tipe submetasentrik, tipe dan bentuk kromosom seperti ini adalah kromosom Bufo macrotis Boulenger, 1887.

5.2 Saran Untuk praktikum selanjutnya harus lebih disiplin waktu disetiap tahap pengerjaan preparat kromosom, disamping itu butuh keterampilan lagi untuk teknik squash.

DAFTAR PUSTAKA

Amphibiaweb. 2010. Bufo macrotis. http://amphibiaweb.org/cgi-bin/amphib_query ?wheregenus=Bufo&where-species=macrotis. 7 Juli 2011. Anonymous a. 2011. Dunia amphibi. www.tradekey.com . 24 Juni 2011. Anonimous b. 2011. http://mediailmu com. Diakses pada tanggal 04 Juli 2011 Barnest, Robert, D. dkk. 1988. Zoologi Umum Edisi VI. Erlangga : Jakarta Campbell, N. A ., Reece, J. B., Mitchell L. G. 2000. Biologi. Edisi kedua. Erlangga. Jakarta. Crowder, L. V. 1997. Genetika Tumbuhan. Cetakan Kelima. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Djong, Hon Jong. 1998. Kariotip dua species Bufo yang terdapat di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas. Jurnal biologika, 3 : 13-23. Djuhanda, Tatang. 1982. Anatomi dari Empat Spesies Hewan Vertebrata. Armico : Bandung Dyer, A. F. 1979. Investigating Chromosomes. Edward Arnold Publisher Limited. London. Esterina, R. 2002. Morfologi dan Kariotipe dua Spesies Katak Asal Irian Jaya. Skripsi sarjana Biologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gardner, E. J dan Snustad, D.P. 1984. Principles of Genetics. John Wiley & Sons, Inc. Canada. Goodenough. 1988. Genetika Jilid I. Erlangga. Jakarta. Inger, R. F., Stuart. B. L., Iskandar, D. T. 2005. A Collection of Amphibian from West Sumatra, With Description, of New Spesies Of Megophrys (Amphibia: Anura). The Raffles Bulletin of Zoology, 53(1): 133 142. Iskandar, D. T. 1998. Amphibi Jawa dan Bali seri Panduan Lapangan . Puslitbang- LIPI Jasin, M. 1984. Zoologi Vertebrata. Armico : Bandung. Kimball, J, W. 1983. Biologi. Jilid 3. Erlangga : Jakarta. Kuramoto M. 1990. A list of chromosome numbers of anuran amphibians. Bulletin of Fukuoka University of Education, 39 : 83- 127. Levan, A., Fredga K., Sanberg, A. 1964. Nomenclature for Centomeric Position on Chromosomes Heryditas. 52: 201-220. Mildawati. 2005. Perbandingan Kariotipe Bufo asper Gravenhorst dan Bufo melanostictus Schneider. Skripsi Sarjana Biologi.

Mistar. 2003. Panduan lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser . PILI NGO Movement. Bogor. Pangestu, B. 1997. Analisis Kariotipe Kromosom Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis, Raffles 1821) dan Beruk (Macaca nemestrina, Linnaeus 1766) & Polimorfisme Mikrosatelit DNA dan Uji Peternitas pada Monyet Rhesus (Macaca mulatta, Zimmermann 1780). http:/www.digilib.ui.ac.id//opac/ themes/libri2/detail.jsp? id=78615 &lokasi=local. 18 Februari 2010. Radiopoetra. 1996. Zoologi. Erlangga : Jakarta Sembiring, N dan Sulaiman. 1999. Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia. Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan. Jakarta. Siripiyasing P, Warawut C, Putsatee P, Sarawut K, Sarawut S, Namphuk S, Alongkoad T. 2008. The Identification of the Sex Chromosome and Karyotype of Four Toad Species (Genus Bufo) in Thailand by Tlymphocyte Cell Culture. Cytologia 73 (3) : 229 241. Starr, C. 2001. Cell Biology and Genentics. Ninth Edition. Lisa Biological Illustrator. USA. Suryo. 1995. Sitogenetika. Gajdah Mada University Press. Yogyakarta. Yatim, W. 1996. Genetika. Tarsito. Bandung. Yuwino, T. 2005. Biologi Molekuler. Erlangga. Jakarta.