cr hap
TRANSCRIPT
STATUS PASIEN
I. Identitas
Nama : Ny. M
Umur : 29 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Pesawaran
Tgl .Operasi : 30 Maret 2012
II. Anamnesa
Auto Anamnesa
Keluhan Utama : hamil kurang bulan dengan perdarahan dari kemaluan
Tambahan : tubuh terasa lemas, perut mulas
III. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengaku keluar darah dari kemaluan berwarna merah segar ±2 jam SMRS,
banyaknya 2x ganti celana dalam, perut mulas menjalar hingga ke pinggang hilang timbul
semakin lama semakin kuat dan sering (-), riwayat keluar lendir darah (-), riwayat keluar
air-air (-), riwayat trauma (-), riwayat diurut-urut (-), riwayat trauma (-), pasien mengaku
hamil kurang bulan dan gerakan bayi masih bisa dirasakan.
IV. Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada
V. Riwayat alergi obat
Tidak ada
VI. Riwayat konsumsi alkohol dan merokok
Tidak ada
1
VII. Riwayat minum obat penenang
Tidak ada
VIII. Riwayat operasi
Tidak ada
IX. Pemeriksaan Fisik
Status Anestesi
PRIMARY SURVEY DAN RESUSITASI
PRIMARY SURVEY
A = Airway :
Kesadaran : delirium
Look, listen, feel : nafas spontan
Gerak dada : (+)
Gerak otot nafas tambahan : (-)
Warna kulit, mukosa, kuku : Asianosis
B = Breathing :
Frekuensi nafas : 24 x/menit
Suara nafas : Vesikuler
Suara nafas tambahan : (-)
C = Circulation :
TD : 110/60mmHg
Nadi : 100 x/menit
Suhu : 36,5˚C
Cappilary refill : < 2 detik
2
Akral : Dingin, pucat
Cor : BJ I & II reguler, murmur (-), gallop(-)
D = Disability :(-)
E = Exposure :(-)
Status Obstetri
Pemeriksaan luar
Tifut antara pusat dan procesus xyphoideus (27 cm), memanjang, puki,
presentasi kepala, his (-), djj 148x/menit
Inspekulo
Portio lividae, OUE tertutup, darah tidak aktif, fluor (-), fluxus (-), E/L/P (-)
Pemeriksaan Dalam
Tidak dilakukan
Status Generalis
KEPALA
Bentuk : Bulat, simetris
Rambut : Hitam, ikal, tidak mudah dicabut
Mata : Palpebra oedem -/-, Konjungtiva ananemis, sklera anikterik, pupil
isokor, refleks cahaya (+/+)
Telinga : Simetris, serumen (-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-)
Mulut : Bibir kering, bibir sianosis (-), lidah tidak kotor
LEHER : Trakhea di tengah, KGB tidak membesar, JVP tak meningkat.
3
TORAKS
Inspeksi : Bentuk dada dan gerakan nafas kanan = kiri
Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan-kiri
Perkusi : Batas paru-hepar sela iga VI kanan garis midklavikula kanan
Batas jantung kanan sela iga IV kanan garis sternal kanan
Batas jantung kiri sela iga V kiri garis midklavikula kiri
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, murmur (-), wheezing (-), ronkhi (-)
ABDOMEN
Status obstetri
GENITALIA EKSTERNA
Kelamin : Tidak ada kelainan
EKSTREMITAS
Superior : Pergerakan normal, sianosis (-), turgor baik
Inferior : Pergerakan normal, sianosis (-), tugor baik
Diagnosis pre operasi
G1P0A0 hamil 28 minggu dengan Haemmmorhagic Antepartum et causa plasenta previa
totalis janin tunggal hidup presentasi kepala.
XI. Rencana operasi
Seksio Sesarea Transperitoneal Profunda.
XII. Kesan
ASA II E
XIII. Jenis anestesi
General Anestesi
XIV. Teknik anestesi
4
Induksi Anestesi Intravena dilanjutkan dengan intubasi endotracheal tube No. 7,
respirasi dikontrol dan dipasang OPA.
XIV. Persiapan Operasi
1. Surat izin operasi
2. Puasa 3-4 jam sebelum operasi
3. Tidak memakai gigi palsu
4. Tidak memakai perhiasan dan kosmetik
5. Memakai baju khusus bedah
XV. Pemeriksaan di kamar operasi
TANDA-TANDA VITAL :
1. Pemeriksaan fisik di kamar operasi
Observasi di kamar operasi
Pukul 16.00
Tekanan darah : 100/50 mmHg
Nadi : 100 x/mnt
Respirasi : 20 x/mnt
Suhu : 36,5oC
Pukul 16.15
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Nadi : 100 x/mnt
Respirasi : 22 x/mnt
Suhu : 36,5oC
SECONDARY SURVEY :
Breathing (B1) : vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Bleeding (B2) : (-)
Brain (B3) : tenang, pupil isokor, refleks cahaya +/+, lateralisasi –
Bladder (B4) : ± 100 cc, kateter terpasang
5
Bowl (B5) : BU (+)
Bone (B6) : Intak
Pemeriksaan Darah Cito
Hemoglobin : 7,8 gr/dl (12-16gr/dl)
XVII. Anestesi
Induksi : Ketamin 100 mg IV, propofol 50 mg IV
Muscle relaxant : Roculax 30 mg IV
O2 murni selama 3 menit sebelum dilakukan intubasi. Setelah relaksasi dilakukan
pemasangan endotracheal tube no 7.
XVIII. Maintenance
Status anestesi dipertahankan dengan pemberian kombinasi O2 3 liter/menit dan N2O 3
liter/menit serta Sevoflurane volume 2%. Selama tindakan anestesi berlangsung,
tekanan darah dan denyut nadi diukur setiap 5 menit. Tekanan darah sistole berkisar
antara 100-120 mmHg, sedangkan tekanan darah diastole berkisar antara 50-70
mmHg, dan denyut nadi berkisar antara 90-140 kali menit. Diberikan antagonis
pelumpuh otot non depolarisasi Tracrium 5 mg dan Ecron 2 mg, Prostigmin 0,5 mg
dan Sulfas Atrofin 0,25 mg. Saat operasi berlangsung diberikan transfusi darah I kolf,
infus RL 4 kolf (I kolf berisi 2 ampul Pitogin dan 1 ampul Metergin), dan HES 130 1
kolf.
XX. Teknik anestesi
1. Setelah alat disiapkan, pasien diletakkan dalam posisi terlentang di meja operasi.
2. Pasien sudah dipasang infus dari ruang VK, dan sudah mendapat 1 kolf RL.
Sebelum pasien diberikan obat anestesi, pasien diguyur 1 RL lagi untuk
memenuhi kebutuhan cairannya.
3. Diberikan ketamin 100 mg, obat pelumpuh otot roculax ( IV ).
4. Sungkup muka kemudian dipasang dengan pemberian oksigen 100 % sebesar
6 l / menit selama 3 menit.
5. Intubasi dengan endotracheal tube no.7 dengan cuff dan OPA terpasang.
6
6. O2 mulai diberikan 6 l/menit, bersamaan dengan ini sevofluran dibuka sampai 1 %
dan sedikit demi sedikit (sesudah 5-10 kali tarikan nafas) dinaikkan dengan 1-3 %
7. Setelah diyakini anestesi berhasil dan aman untuk dilakukan operasi, operasi di
mulai dengan insisi SSTP.
8. Kontrol TD, nadi dan respirasi setiap 5 menit.
9. Kemudian diberikan HES I kolf pada tangan kanan.
10. Kemudian dimasukkan transfusi darah whole blood 250 ml pada tangan kanan.
11. Saat operasi hampir selesai dimasukan Sulfas Atropin 0,25 mg dan Neostigmin
0,5 mg
12. TD stabil, saat operasi selesai TD 102/52 mmHg.
13. Setelah operasi selesai dilakukan pengisapan lendir, ekstubasi setelah nafas
spontan, kemudian sevofluran dimatikan diberi O sebanyak 6 l / menit sampai
diyakini jalan nafas bebas.
14. Pasien dikirim ke RR Delima.
XXI. Lama Operasi
2 jam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Terapi Cairan dan Syok Hemorhagik
2.1 Kompartemen Cairan Tubuh
Tubuh orang dewasa terdiri dari: zat padat 40 % berat badan dan zat cair 60% berat
badan; zat cair terdiri dari: cairan intraselular 40 % berat badan dan cairan ekstraselular 20 %
berat badan; sedangkan cairan ekstraselular terdiri dari : cairan intravaskular 5 % berat badan
dan cairan interstisial 15 % berat badan.
Ada pula cairan limfe dan cairan transselular yang termasuk cairan ekstraselular.
Cairan transselular sekitar 1-3 % berat badan, meliputi sinovial, pleura, intraokuler dan lain-
lain. Cairan intraselular dan ekstraselular dipisahkan oleh membran semipermeabel.2
Berikut ini merupakan kebutuhan air dan elektrolit perhari:
Dewasa:
• Air 30 – 35 ml/kg
Setiap kenaikan suhu 10 C diberi tambahan 10-15 %
• K+ 1 mEq/kg ( 60 mEq/hari atau 4,5 g )
• Na+ 1-2 mEq/kg ( 100 mEq/hari atau 5,9 g )
Bayi dan Anak:
• Air 0-10 kg: 4 ml/kg/jam ( 100 ml/g )
10-20 kg: 40 ml + 2 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg
(1000 ml + 50 ml/kg di atas 10 kg)
> 20 kg : 60 ml + 1 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg
(1500 ml + 20 ml/kg di atas 20 kg)
• K+ 2 mEq/kg (2-3 mEq/kg)
• Na+ 2 mEq/kg (3-4 mEq/kg)2
8
Tabel 1. Perubahan cairan tubuh total sesuai usia3
Tabel 2. Rata-rata harian asupan dan kehilangan cairan pada orang dewasa
2.2 Definisi Syok Hemoragik
Syok hemoragik adalah kehilangan akut volume peredaran darah yang menyebabkan
suatu kondisi dimana perfusi jaringan menurun dan menyebabkan inadekuatnya hantaran
oksigen dan nutrisi yang diperlukan sel. Keadaan apapun yang menyebabkan kurangnya
oksigenasi sel, maka sel dan organ akan berada dalam keadaan syok.6
STADIUM-STADIUM SYOK
Syok memiliki beberapa stadium sebelum kondisi menjadi dekompensasi atau irreversible
sebagaimana dilukiskan dalam gambar berikut:
Stadium 1 ANTICIPATION STAGE
9
Gangguan sudah ada tetapi bersifat lokal. Parameter-paramater masih dalam batas normal.
Biasanya masih cukup waktu untuk mendiagnosis dan mengatasi kondisi dasar.
Stadium 2. PRE-SHOCK SLIDE
Gangguan sudah bersifat sistemik.
Parameter mulai bergerak dan mendekati batas atas atau batas bawah kisaran normal.
Stadium 3 COMPENSATED SHOCK
10
Compensated shock bisa berangkat dengan tekanan darah yang normal rendah, suatu kondisi yang disebut "normotensive, cryptic shock" Banyak klinisi gagal mengenali bagian dini dari stadium syok ini. Compensated shock memiliki arti khusus pada pasien DBD dan perlu dikenali dari tanda-tanda berikut: Capillary refill time > 2 detik; penyempitan tekanan nadi, takikardia, takipnea, akral dingin.Stadium 4 DECOMPENSATED SHOCK, REVERSIBLE
Di sini sudah terjadi hipotensi. Normotensi hanya bisa dipulihkan dengan cairan intravena dan/atau vasopresor Stadium 5 DECOMPENSATED IRREVERSIBLE SHOCK
11
Kerusakan mikrovaskular dan organ sekarang menjadi menetap dan tak bisa diatasi. Klasifikasi Syok Hemoragik
Derajat syok hemoragik bisa secara kasar ditaksir menurut beberapa parameter klinis, namun banyak ditentukan oleh respon terhadap resusitasi cairan 1.
2.3 Patofisiologi Syok Hemoragik
Telah diketahui dengan baik respons tubuh saat kehilangan volum sirkulasi. Tubuh
secara logis akan segera memindahkan volum sirkulasinya dari organ non vital dan dengan
demikian fungsi organ vital terjaga karena cukup menerima aliran darah. Saat terjadi
perdarahan akut, curah jantung dan denyut nadi akan turun akibat rangsang ‘baroreseptor’ di
aortik arch dan atrium. Volume sirkulasi turun, yang mengakibatkan teraktivasinya saraf
simpatis di jantung dan organ lain. Akibatnya, denyut jantung meningkat, terjadi
vasokonstriksi dan redistribusi darah dari organ-organ nonvital, seperti di kulit, saluran cerna,
dan ginjal. Secara bersamaan sistem hormonal juga teraktivasi akibat perdarahan akut ini,
dimana akan terjadi pelepasan hormon kortikotropin, yang akan merangsang pelepasan
glukokortikoid dan beta-endorphin. Kelenjar pituitary posterior akan melepas vasopressin,
yang akan meretensi air di tubulus distalis ginjal. Kompleks Jukstamedula akan melepas
renin, menurunkan MAP (Mean Arterial Pressure), dan meningkatkan pelepasan aldosteron
dimana air dan natrium akan direabsorpsi kembali. Hiperglikemia sering terjadi saat
perdarahan akut, karena proses glukoneogenesis dan glikogenolisis yang meningkat akibat
pelepasan aldosteron dan growth hormone. Katekolamin dilepas ke sirkulasi yang akan
12
menghambat aktifitas dan produksi insulin sehingga gula darah meningkat. Secara
keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan perubahan spesifik mengikuti
kondisi tersebut. Terjadi proses autoregulasi yang luar biasa di otak dimana pasokan aliran
darah akan dipertahankan secara konstan melalui MAP (Mean Arterial Pressure). Ginjal juga
mentoleransi penurunan aliran darah sampai 90% dalam waktu yang cepat dan pasokan aliran
darah pada saluran cerna akan turun karena mekanisme vasokonstriksi dari splanknik. Pada
kondisi tubuh seperti ini pemberian resusitasi awal dan tepat waktu bisa mencegah kerusakan
organ tubuh tertentu akibat kompensasinya dalam pertahanan tubuh.6
2.4 Gejala Klinis Syok Hemoragik
Gejala klinis tunggal jarang saat diagnosa syok ditegakkan. Pasien bisa mengeluh
lelah, kelemahan umum, atau nyeri punggung belakang (gejala pecahnya aneurisma aorta
abdominal). Penting diperoleh data rinci tentang tipe, jumlah dan lama pendarahan, karena
pengambilan keputusan untuk tes diagnostik dan tatalaksana selanjutnya tergantung jumlah
darah yang hilang dan lamanya pendarahan. Bila pendarahan terjadi di rumah atau di
lapangan, maka harus ditaksir jumlah darah yang hilang.
Syok umumnya memberi gejala klinis kearah turunnya tanda vital tubuh, seperti:
hipotensi, takikardia, penurunan urin output dan penurunan kesadaran. Kumpulan gejala
tersebut bukanlah gejala primer tapi hanya gejala sekunder dari gagalnya sirkulasi tubuh.
Kumpulan gejala tersebut merupakan mekanisme kompensasi tubuh, berkorelasi dengan usia
dan penggunaan obat tertentu, kadang dijumpai pasien syok yang tekanan darah dan nadinya
dalam batas normal. Oleh karena itu pemeriksaan fisik menyeluruh pada pasien dengan
dilepas pakaiannya harus tetap dilakukan.
Gejala umum yang timbul saat syok bisa sangat dramatis. Kulit kering, pucat dan
dengan diaphoresis. Pasien menjadi bingung, agitasi dan tidak sadar. Pada fase awal nadi
cepat dan dalam dibandingkan denyutnya. Tekanan darah sistolik bisa saja masih dalam batas
normal karena kompensasi. Konjungtiva pucat, seperti yang terdapat pada anemia kronik.
Lakukan inspeksi pada hidung dan faring untuk melihat kemungkinan adanya darah.
Auskultasi dan perkusi dada juga dilakukan untuk mengevaluasi apakah terdapat gejala
hematothoraks, dimana suara nafas akan turun, serta suara perkusi redup di area dekat
perdarahan. Pasien dengan riwayat perdarahan vagina lakukan pemeriksaan pelvis lengkap,
dan lakukan tes kehamilan untuk menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik.
13
Lakukan pemeriksaan sistematik pada pasien trauma termasuk pemeriksaan
penunjang primer dan sekunder. Luka multipel bisa terjadi dan harus mendapat perhatian
khusus, hati-hati perdarahan bisa menjadi pencetus syok lainnya, seperti syok neurogenik.
Tabel 4. Perdarahan & tanda-tandanya
Perdarahan < 750 ml 750-1500 ml 1500-2000 ml >2000 ml
CRT Normal memanjang memanjang Memanjang
Nadi < 100 > 100 > 120 > 140
Tek. Sistolik Normal Normal Menurun Menurun
Nafas Normal 20-30 x/m > 30-40 x/m >35 x/m
Kesadaran Sedikit cemas Agak cemas Cemas, bingung Bingung, lesu
Penderita yang mengalami perdarahan, menghadapi dua masalah yaitu berapakah sisa
volume darah yang beredar dan berapakah sisa eritrosit yang tersedia untuk mengangkut
oksigen ke jaringan.
Bila volume darah hilang 1/3, penderita akan meninggal dalam waktu beberapa jam.
Penyebab kematian adalah syok progresif yang menyebabkan hipoksia jaringan. Hipovolemia
menyebabkan beberapa perubahan :
a. Vasokonstriksi organ sekunder (viscera, otot, kulit) untuk menyelamatkan organ
primer (otak, jantung) dengan aliran darah yang tersisa.
b. Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, terjadi metabolisme anaerob dengan
produk asam laktat yang menyebabkan asidosis asam laktat.
c. Asidosis asam laktat menyebabkan perubahan-perubahan sekunder pada organ-organ
primer dan organ-organ sekunder sehingga terjadi kerusakan merata,
d. Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari intravaskular sampai 10%
EBV tidak mengganggu volume sebesar yang hilang. Tetapi kehilangan yang lebih
dari 25% atau bila terjadi syok/hipotensi maka sekaligus kompartemen interstitial dan
intrasel ikut terganggu. Bila dalam terapi hanya diberikan sejumlah kehilangan
plasma volume (intravaskular), penderita masih mengalami defisit yang menyebabkan
syoknya irreversibel dan berakhir kematian.7
14
Dalam keadaan normal, jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan adalah:
(cardiac output x saturasi O2 x kadar Hb x 1,34) + (cardiac output x pO2 x 0,003)
Unsur cardiac output x pO2 x 0,003 karena hasilnya kecil dapat diabaikan, maka
tampak bahwa persediaan oksigen untuk jaringan tergantung pada curah jantung / cardiac
output, saturasi O2 dan kadar Hb. Karena kebutuhan oksigen tubuh tidak dapat dikurangi
kecuali dengan hipotermia atau anestesi dalam, maka jika eritrosit hilang, total Hb berkurang,
curah jantung harus naik agar penyediaan oksigen jaringan tidak terganggu. Pada orang
normal dapat menaikkan curah jantung hingga 3 x normal dengan cepat, asalkan volume
sirkulasi cukup (normovolemia). Faktor Hb dan saturasi O2 jelas tidak dapat naik.
Hipovolemia yang terjadi akan mematahkan kompensasi dari curah jantung. Dengan
mengembalikan volume darah yang telah hilang dengan apa saja asal segera normovolemia,
maka curah jantung akan mampu berkompensasi. Jika Hb turun sampai tinggal 1/3, tetapi
curah jantung dapat naik sampai 3 x, maka penyediaan oksigen ke jaringan masih tetap
normal. Pengembalian volume mutlak diprioritaskan daripada pengembalian eritrosit.
2.5 Penatalaksanaan Perdarahan
Langkah awal dalam mengelola syok pada penderita trauma adalah mengetahui tanda-
tanda klinisnya. Tidak ada tes laboratorium yang dapat mendiagnosis syok. Diagnosis awal
didasarkan pada gejala dan tanda yang timbul akibat dari perfusi organ dan oksigenasi
jaringan yang tidak adekuat. Definisi syok sebagai ketidak-normalan dari sistem peredaran
darah yang mengakibatkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat juga
menjadi perangkat untuk diagnosis dan terapi.8
Langkah kedua dalam pengelolaan awal terhadap syok adalah mencari penyebab
syok, yang untuk penderita trauma berhubungan dengan mekanisme cedera. Kebanyakan
penderita trauma akan mengalami syok hipovolemik.8
Dokter yang bertanggung jawab terhadap penatalaksanaan penderita harus mulai
dengan mengenal adanya syok. Terapi harus dimulai sambil mencari kemungkinan penyebab
dari keadaan syok tersebut.8
Diagnosis dan terapi syok harus dilakukan secara simultan. Untuk hampir semua
penderita trauma, penanganan dilakukan seolah – olah penderita menderita syok
hipovolemik, kecuali bila ada bukti jelas bahwa keadaan syok disebabkan oleh suatu etiologi
yang bukan hipovolemia. Prinsip pengelolaan dasar yang harus dipegang ialah
menghentingan perdarahan dan mengganti kehilangan volume.8
15
a. Pemeriksaan jasmani
Pemeriksaan jasmaninya diarahkan kepada diagnosis cedera yang mengancam
nyawa dan meliputi penilaian dari ABC. Mencatat tanda vital awal (baseline recordings)
penting untuk memantau respons penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah
tanda-tanda vital, produksi urin, dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih
rinci akan menyusul bila keadaan penderita mengijinkan.8
1) Airway dan Breathing
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya
pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk
mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.
2) Circulation (Sirkulasi – Kontrol Perdarahan)
Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang jelas terlihat
terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi jaringan.
Perdarahan dari luka di permukaan tubuh (eksternal) biasanya dapat dikendalikan
dengan tekanan langsung pada tempat perdarahan. Cukupnya perfusi jaringan
menentukan jumlah cairan resusitasi yang diperlukan. Mungkin diperlukan operasi
untuk dapat mengendalikan perdarahan internal.8
3) Disability (Pemeriksaan neurologis)
Dilakukan pemeriksaan neurologis singkat untuk menentukan tingkat
kesadaran, pergerakana mata dan respons pupil, fungsi motorik dan sensorik.
Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan
kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan. Perubahan fungsi sistem saraf sentral
tidak selalu disebabkan cedera intrakranial tetapi mungkin mencerminkan perfusi otak
yang kurang. Pemulihan perfusi dan oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan
tersebut dapat dianggap berasal dari cedera intrakranial.8
4) Exposure (Pemeriksaan Tubuh Lengkap)
Setelah mengurus prioritas-prioritas untuk menyelamatkan jiwanya, penderita
harus ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai ke jari kaki sebagai bagian
dari mencari cedera. Bila menelanjangi penderita, sangat penting dilakukan tindakan
untuk mencegah hipotermia. Pemakaian penghangat cairan, maupun cara-cara
penghangatan internal maupun eksternal sangat bermanfaat dalam mencegah
hipotermia.8
5) Dilatasi lambung – Dekompresi
16
Dilatasi lambung sering terjadi pada penderita trauma, khususnya pada anak-
anak, dan dapat mengakibatkan hipotensi dan disritmia jantung yang tidak dapat
diterangkan, biasanya berupa bradikardi dari stimulasi saraf vagus yang berlebihan.
Distensi lambung membuat terapi syok menjadi sulit. Pada penderita yang tidak sadar,
distensi lambung membesarkan risiko aspirasi isi lambung, ini merupakan suatu
komplikasi yang bisa menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan
memasukkan selang/pipa kedalam perut melalui hidung atau mulut dan memasangnya
pada penyedot untuk mengeluarkan isi lambung. Namun, walaupun penempatan pipa
sudah baik, masih ada kemungkinan terjadi aspirasi.8
6) Pemasangan kateter urin
Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya
hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin.8
b. Akses pembuluh darah
Harus segera didapat akses ke sistem pembuluh darah. Ini paling penting
dilakuakan dengan memasukkan dua kateter intravenaukuran besar sebelum
dipertimbangkan jalur vena sentral.8
c. Terapi awal cairan
Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini
mengisi intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskular
dengan cara menggantikan cairan berikutnya ke dalam ruang interstitial dan intraselular.
Larutan ringer laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua.
Walupun NaCl fisiologis merupakan pengganti yang baik namun cair ini memiliki
potensi untuk terjadinya asidosis hiperkloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila
fungsi ginjalnya kurang baik. Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan
cepat sebagai bolus. Dosis awal adalah 1 sampai 2 liter pada dewasa dan 20 ml/kg pada
anak. Respons penderita terhadap pemberian cairan ini dipantau, dan keputusan
pemeriksaan diagnostik atau terapi lebih lebih lanjut akan tergantung pada respons ini.8
Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan pada
evaluasi awal penderita. Perkiraan kehilangan cairan dan darah, dapat dilihat cara
menentukan jumlah cairan dan darah yang mungkin diperlukan oleh penderita.
Perhitungan kasar untuk jumlah total volume kristaloid yang secara akut diperlukan
adalah mengganti setiap mililiter darah yang hilang dengan 3 ml cairan kristaloid,
sehingga memungkinkan resusitasi volume plasma yang hilang kedalam ruang interstitial
dan intraselular. Ini dikenal sebagai “hukum 3 untuk 1” (3 for 1 rule). Namun lebih
17
penting untuk menilai respons penderita kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan
oksigenasi end-organ yang memadai, misalnya keluaran urin, tingkat kesadaran dan
perfusi perifer. Bila, sewaktu resusitasi, jumlah cairan yang diperlukan untuk
memulihkan atau mempertahankan perfusi organ jauh melebihi perkiraan tersebut, maka
diperlukan penilaian ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang belum diketahui
atau penyebab lain untuk syok.8
Penderita datang dengan perdarahan
Pasang infus jarum besar Catat tekanan darah, nadi, ambil
ambil sampel darah perfusi, (produksi urin)
Ringer Laktat atau NaCl 0,9%
20ml/kgBB cepat, ulangi.
1000-2000 ml dalam 1 jam
Hemodinamik baik Hemodinamik buruk
- Tekanan sistolik ≥100, nadi ≤100,
- Perfusi hangat, kering, Teruskan cairan
- Urin ½ ml/kg/jam 2-4 x estimated loss
Hemodinamik baik Hemodinamik buruk
A B C
Pada kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak diperlukan. Pada kasus
B, jika hemoglobin kurang dari 8 gr/dL atau hematokrit kurang dari 25%, transfusi sebaiknya
diberikan. Tetapi seandainya akan dilakukan pembedahan untuk menghentikan suatu
perdarahan, transfusi dapat ditunda sebentar sampai sumber perdarahan terkuasai dulu. Pada
kasus C, transfusi harus segera diberikan. Ada tiga kemungkinan penyebab yaitu perdarahan
masih berlangsung terus (continuing loss), syok terlalu berat, hipoksia jaringan terlalu lama
dan anemia terlalu berat, sehingga terjadi hipoksia jaringan.7
18
Pada ½ jam pertama setelah perdarahan, apabila diukur Hb atau Ht, hasil yang
diperoleh mungkin masih ”normal”. Harga Hb yang benar adalah hasil yang diukur setelah
penderita kembali normovolemia dengan pemberian cairan. Penderita dalam keadaan
anestesi, dengan nafas buatan atau dengan hipotermia, dapat mentolerir hematokrit 10 – 15%.
Tetapi pada penderita biasa, sadar, dan dengan nafas sendiri, memerlukan Hb 8 gr/dL atau
lebih agar cadangan kompensasinya tidak terkuras habis.7
2.6 Jumlah Perdarahan Dan Penanganannya
Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang, biasanya digunakan patokan berat
badan. Walau dapat bervariasi, volume darah orang dewasa adalah kira-kira 7% dari berat
badan. Dengan demikian laki-laki yang berat 70 kg, mempunyai volume darah yang beredar
kira-kira 5 liter. Bila penderita gemuk maka volume darahnya diperkirakan berdasarkan
berdasarkan berat badan idealnya, karena bila kalkulasi didasarkan berat badan sebenarnya,
hasilnya mungkin jauh di atas volume sebenarnya. Volume darah anak-anak dihitung 8%
sampai 9% dari berat badan (80-90 ml/kg).8
Lebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume) penderita, 65 – 70 ml/kg berat
badan. Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik. Kehilangan 10% - 30%
EBV memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat. Kehilangan lebih dari 30% - 50%
EBV masih dapat ditunjang untuk sementara dengan cairan saja sampai darah transfusi
tersedia. Total volume cairan yang dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar
antara 2 – 4 x volume yang hilang.7
Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan kriteria Traumatic Status dari
Giesecke. Dalam waktu 30 sampai 60 menit susudah infusi, cairan Ringer Laktat akan
meresap keluar vaskular menuju interstitial. Demikian sampai terjadi keseimbangan baru
antara Volume Plasma/Intravascular Fluid (IVF) dan Interstitial Fluid (ISF). Ekspansi ISF
ini merupakan interstitial edema yang tidak berbahaya. Bahaya edema paru dan edema otak
dapat terjadi jika semula organ-organ tersebut telah terkena trauma. 24 jam kemudian akan
terjadi diuresis spontan. Jika keadaan terpaksa, diuresis dapat dipercepat lebih awal dengan
furosemid setelah transfusi diberikan.7
Pada bayi dan anak yang dengan kadar hemoglobin normal, kehilangan darah
sebanyak 10-15% volume darah, karena tidak memberatkan kompensasi badan, maka cukup
diberi cairan kristaloid atau koloid, sedangkan diatas 15% perlu transfusi darah karena ada
gangguan pengangkutan oksigen. Sedangkan untuk orang dewasa dengan kadar hemoglobin
19
normal angka patokannya ialah 20%. Kehilangan darah sampai 20% ada gangguan faktor
pembekuan. Cairan kristaloid untuk mengisi ruang intravaskular diberikan sebanyak 3 kali
lipat jumlah darah yang hilang, sedangkan koloid diberikan dengan jumlah sama.8,9
Transfusi darah umumnya 50% diberikan pada saat perioperatif dengan tujuan untuk
menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Kalau hanya
menaikkan volume intravaskular saja cukup dengan koloid atau kristaloid. Indikasi transfusi
darah antara lain:
1. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr/dL atau Ht < 30%. Pada orang tua, kelainan paru,
kelainan jantung Hb < 10 gr/dL.
2. Bedah mayor kehilangan darah > 20% volume darah.9
Tabel 5. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan darah (ml) Sampai 750 750 - 1500 1500 - 2000 >2000
Kehilangan darah (% volume
darah)
Sampai 15% 15% - 30% 30% - 40% >40%
Denyut nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi Normal / ↑ ↓ ↓ ↓
Frekuensi pernapasan 14-20 20 -30 30-40 >35
Produksi urin (ml/jam) >30 20-30 5-15 <5
CNS/Status mental Sedikit
Cemas
Agak Cemas Cemas,
Bingung
Bingung,
Lesu
Penggantian cairan
(hukum 3:1)
Kristaloid Kristaloid Kristaloid
dan darah
Kristaloid
dan darah
2.7 Evaluasi Resusitasi Cairan dan Perfusi Organ
Tanda-tanda dan gejala-gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan untuk
diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respons penderita. Pulihnya tekanan
darah ke normal, tekanan nadi dan denyut nadi merupakan tanda positif yang menandakan
20
bahwa perfusi sedang kembali ke normal. Walaupun begitu, pengamatan tersebut tidak
memberikan informasi tentang perfusi organ. Perbaikan pada status sistem saraf sentral dan
peredaran kulit adalah bukti penting mengenai peningkatan perfusi, tetapi kualitasnya sukar
ditentukan.8
Tabel 7. Jenis Respons Penderita terhadap Resusitasi Cairan Awal
RESPONS
CEPAT
RESPONS
SEMENTARA
TANPA
RESPONS
Tanda vital Kembali ke normal Perbaikan sementara,
tensi dan nadi kembali
turun
Tetap abnormal
Dugaan kehilangan
darah
Minimal
(10 - 20%)
Sedang, masih ada
(20 - 40%)
Berat
(> 40%)
Kebutuhan
kristaloid
Sedikit Banyak Banyak
Kebutuhan darah Sedikit Sedang-banyak Segera
Persiapan darah Specific type dan
crossmatch
Specific type Emergensi
Operasi Mungkin Sangat mungkin Hampir pasti
Kehadiran dini ahli
bedah
Perlu Perlu Perlu
Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk perfusi ginjal.
Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal yang cukup, bila
tidak dimodifikasi oleh pemberian obat diuretik. Sebab itu, keluaran urin merupakan salah
satu dari pemantauan utama resusitasi dan respons penderita.8
Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau aliran darah
ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin sekitar 0,5
ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam untuk
bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang, atau makin turunnya produksi urin dengan berat
jenis yang naik, maka ini menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut
ditambahnya penggantian volume dan usaha diagnostik.8
Respons penderita kepada resusitasi cairan awal merupakan kunci untuk menentukan
terapi berikutnya. Setelah membuat diagnosis dan rencana sementara berdasarkan evaluasi
21
awal dari penderita, dokter sekarang dapat mengubah pengelolaannya berdasarkan respons
penderita pada resusitasi cairan awal. Dengan melakukan observasi terhadap respons
penderita pada resusitasi awal dapat diketahui penderita yang kehilangan darahnya lebih
besar dari yang diperkirakan, dan perdarahan yang berlanjut dan memerlukan pengendalian
perdarahan internal melalui operasi. Dengan resusitasi di ruang operasi dapat dilakukan
kontrol langsung terhadap perdarahan oleh ahli bedah dan dilakukan pemulihan volume
intravaskular secara simultan. Resusitasi di ruang operasi juga membatasi kemungkinan
transfusi berlebihan pada orang yang status awalnya tidak seimbang jumlah kehilangan darah.
Adalah penting untuk membedakan penderita dengan hemodinamik stabil dengan
hemodinamik normal. Penderita yang hemodinamik stabil mungkin tetap ada takikardi,
takipneu, dan oliguri, dan jelas masih tetap kurang diresusitasi dan masih syok. Sebaliknya,
penderita yang hemodinamik normal adalah yang tidak menunjukkan tanda perfusi jaringan
yang kurang memadai. Pola respons yang potensial dapat dibahas dalam tiga kelompok:
respons cepat, respons sementara, respons minimum atau tidak ada pada pemberian cairan.8
a. Respons cepat
Penderita kelompok ini cepat memberi respons kepada bolus cairan awal dan tetap
hemodinamik normal setelah bolus cairan awal selesai dan cairan kemudian diperlambat
sampai kecepatan rumatan/maintenance. Penderita seperti ini biasanya kehilangan volume
darah minimum. Untuk kelompok ini tidak ada indikasi bolus cairan tambahan atau
pemberian darah lebih lanjut. Jenis darahnya dan crossmatch nya tetap dikerjakan. Konsultasi
dan evaluasi pembedahan diperlukan selama penilaian dan terapi awal, karena intervensi
operatif mungkin masih diperlukan.8
b. Respons sementara
Kelompok yang kedua adalah penderita yang berespons terhadap pemberian cairan,
namun bila tetesan diperlambat hemodinamik penderita menurun kembali karena kehilangan
darah yang masih berlangsung, atau resusitasi yang tidak cukup. Jumlah kehilangan darah
pada kelompok ini adalah antara 20 - 40% volume darah. Pemberian cairan pada kelompok
ini harus diteruskan, demikian pula pemberian darah. Respons terhadap pemberian darah
menentukan penderita mana yang memerlukan operasi segera.8
c. Respons minimal atau tanpa respons
Walaupun sudah diberikan cairan dan darah cukup, kondisi hemodinamik pasien tetap
buruk dengan respons minimal atau tanpa respons, ini menandakan perlunya operasi segera.
Walaupun sangat jarang, namun harus tetap diwaspadai kemungkinan syok non-hemoragik
22
seperti tamponade jantung atau kontusio miokard. Kemungkinan adanya syok non-hemoragik
harus selalu diingat pada kelompok ini.8
2.8 Jenis Cairan Intravena
Ada 4 pilihan pokok yang selama bertahun – tahun menjadi perbantahan sengit, yaitu:
a. Transfusi darah
Ini adalah pilihan pokok apabila terdapat donor yang cocok. Hemodilusi dengan
cairan tidak bertujuan meniadakan transfusi, tetapi mempertahankan hemodinamik dan
perfusi yang baik sementara darah donor tetap perlu ditransfusikan dalam memberikan
koreksi defisit cairan ekstraselular (ECF). Bila darah golongan yang sesuai tidak tersedia,
dapat digunakan universal donor yaitu golongan O dengan titer anti A rendah (Rh negatif)
atau Packed Red Cell-O. Sebaiknya darah universal ini selalu tersedia di UGD.7
b. Plasma Expander
Cairan koloid ini mempunyai nilai onkotik yang tinggi (dextran, gelatin, hydroxy-
ethyl starch) sehingga mempunyai volume effect lebih baik dan tinggal lebih lama di
intravaskular. Namun, sayangnya defisit ECF tidak dapat dikoreksi oleh plasma expander.
Selain itu, dari segi harga, plasma expander jauh lebih mahal daripada Ringer Laktat (kira-
kira 10x lipat lebih mahal). Reaksi anaphylactoid dapat terjadi, baik karena dextran maupun
gelatin (0,03 - 0,08% pemberian). Reaksi ini dapat terjadi disertai dengan syok, yang
memerlukan adrenalin untuk mengatasinya. Apabila tidak segera ditangani dengan baik dan
tepat, reaksi ini dapat berakhir fatal. Dextran juga menyebabkan gangguan pada crossmatch
darah dan pada dosis lebih dari 10 - 15 ml/kgBB akan menyebabkan gangguan pembekuan
darah.7
c. Albumin
Albumin 5% ataupun Plasma Protein Fraction adalah alternatif yang baik dari segi
volume effect. Tetapi harganya sangat mahal, sekitar 70x lipat dari harga Ringer Laktat untuk
mendapatkan volume effect yang sama.7
d. Ringer Laktat atau NaCl 0,9%
Cairan ini paling mirip komposisinya dengan cairan ECF. Meskipun pemberian infus
IVF diikuti perembesan, namun akhirnya tercapai keseimbangan juga setelah cairan
interstitial/ISF jenuh. Cairan lain seperti Dextrose dan NaCl 0,45% tidak dapat digunakan.7
Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextrosa, tidak
mengandung molekul besar. Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan keluar dari
intravaskular, sehingga volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume
23
darah yang hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskular 20-30 menit. Ekspansi
cairan dari ruang intravaskular ke interstisial berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus
dan akan keluar dalam 24 - 48 jam sebagai urin. Secara umum kristaloid digunakan untuk
meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel.10
Tabel 8. Berbagai Cairan Kristaloid10
Cairan Na+
(mEq/L)
K+
(mEq/L)
Cl-
(mEq/L)
Ca++
(mEq/L)
HCO3
(mEq/L)
Tekanan
Osmotik
(mOsm/L)
Ringer
Laktat
130 4 190 3 28* 273
Ringer
Asetat
130 4 109 3 28# 273
NaCl
0,9%
154 0 0 0 0 308
* sebagai laktat# sebagai asetat
Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan
kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi
dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan
edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.11
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan
hiponatremia, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis
yang paling mirip dengan cairan ekstraselular. RL dapat diberikan dengan aman dalam
jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik,
kombustio dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai
cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.7
Ringer Asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme
laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme
pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan
Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi
24
hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat
membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.6
Jenis cairan berdasarkan tujuan terapi:
1. Cairan rumatan (maintenance).
Bersifat hipotonis: konsentrasi partikel terlarut kurang dari konsentrasi cairan
intraselular/Intracellular Fluid (ICF); menyebabkan air berdifusi ke dalam sel. Tonisitas
< 270 mOsm/kg; misal: Dekstrosa 5%, Dekstrosa 5% dalam Saline ¼ / NaCl 0,22%
2. Cairan pengganti (resusitasi, substitusi)
Bersifat isotonis: konsentrasi partikel terlarut = ICF; tidak ada perpindahan cairan
melalui membran sel semipermeabel. Tonisitas 275 – 295 mOsm/kg; misal : NaCl 0,9%,
Ringer Laktat, koloid
3. Cairan khusus
Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > ICF; menyebabkan air keluar
dari sel, menuju daerah dengan konsentrasi lebih tinggi. Tonisitas > 295 mOsm/kg;
misal: NaCl 3 %, Manitol, Natrium-bikarbonat, Natrium laktat hipertonik.
2.9 Penyulit
Penyulit akibat pemberian cairan dapat terjadi pada jantungnya sendiri, pada proses
metabolisme atau pada paru.7
Dekompensasi jantung
Dekompensasi ditandai oleh kenaikan PCWP (Pulmonary Capillary Wedge
Pressure). Bahaya terjadinya dekompensasi jantung sangat kecil, kecuali pada jantung yang
sudah sakit sebelumnya. Pada pemberian koloid dapat mengalami kenaikan PCWP 50% yang
potensial akan mengalami dekompensasi jantung.7
Edema paru
Adanya edema paru dapat dinilai antara lain dengan meningkatnya rasio Qs/Qt.
Pemberian koloid yang diharapkan tidak merembes keluar IVF ternyata mengalami
kenaikkan Qs/Qt yang sama yaitu 16 + 1%. Akibat pengenceran darah, terjadi transient
hypoalbuminemia 2,5 ± 0,1 mg% dari sebelumnya sebesar 3,5 ± 0,1 mg%. Penurunan
albumin ini diikuti penurunan tekanan onkotik plasma dari 21 + 0,4 menjadi 13 + 1,0.
Penurunan selisih tekanan COP – PCWP tidak selalu menyebabkan edema. Giesecke
memberi batasan bahwa kadar albumin terendah yang masih aman adalah 2,5 mg%. Kalau
25
albumin perlu dinaikkan, pemberian infus albumin 20 – 25% dapat diberikan dengan tetesan
lambat 2 jam/100 ml. Dosis ini akan menaikkan kadar 0,25 -0,50 mg%.7
Jika masih terjadi edema paru, berikan furosemid, 1 - 2mg/kg. Gejala sesak nafas
akan berkurang setelah urin keluar 1000 - 2000 ml. Lakukan digitalisasi atau berikan
dopamin drip 5 – 10 microgram/kgBB/menit. Sebagai terapi simptomatik berikan oksigen,
atau bila diperlukan mendesak lakukan nafas buatan + PEEP. Insiden dari pulmonary
insufficiency post resusitasi cairan adalah 2,1%.7
Asidosis asam laktat
Pemberian Ringer Laktat tidak dapat menambah buruk asidosis asam laktat karena
syok. Asam laktat diubah hepar menjadi bikarbonat yang menetralisir asidosis metabolik
pada syok. Perbaikan sirkulasi akibat pemberian volume justru menurunkan laktat darah
karena perbaikan transpor oksigen ke jaringan, metabolisme aerobik bertambah.7
Gangguan hemostasis
Gangguan karena pengenceran ini mungkin terjadi jika hemodilusi sudah mencapai
1,5 x EBV. Faktor pembekuan yang terganggu adalah trombosit. Pemberian Fresh Frozen
Plasma tidak berguna karena tidak mengandung trombosit, sedangkan faktor V dan VIII
dibutuhkan dalam jumlah sedikit (5 - 30 % normal). Trombosit dapat diberikan sebagai fresh
blood, platelet rich plasma atau thrombocyte concentrate dengan masa simpan kurang dari 6
jam pada suhu 40C. Untuk hemostasis yang baik diperlukan kadar trombosit 100.000 per
mm3. Dextran juga dapat menimbulkan gangguan jika dosis melebihi 10 ml/kgBB.7
B. Anestesi
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias anestesi yang
ideal terdiri dari hipnotik, analgesia, dan relaksasi otot. Anestesi umum adalah bentuk
anestesi yang paling sering digunakan atau dipraktekkan yang dapat disesuaikan dengan
jumlah terbesar pembedahan.1,2
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke jaringan.
Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan pembuluh darah
seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa sakit, dan sebagainya.
Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium anestesi untuk menentukan
stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya kelebihan dosis.3
26
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan utamanya adalah
memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu
keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat
yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak
menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung,
tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik,
kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diingini (Gan, 1987). Obat anestesi umum
yang ideal menurut Norsworhy (1993) mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang
aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mulai
kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat
tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas.5
1. Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus dipersiapkan
dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, dan
pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan
menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk
keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:1,2,3
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan fisik dan
kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA II: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai akibat
kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian terbatas.
Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
ASA V: Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada
harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)
27
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan otak, jantung,
paru, ibu dan anak.
1. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium
pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk
mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi.
Pada kasus ini digunakan obat induksi :
a. Ketamin
Merupakan larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif aman.
Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestetik dan kataleptik dengan kerja singkat. Sifat
analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik tetapi lemah untuk sistem viseral. Ketamin
dapat meningkatkan tekanan darah, frekuensi nadi dan curah jantung sampai 20%.
Untuk induksi ketamin diberikan secara IV dengan dosis 2 mg/kgBB (1-4,5 mg/kgBB)
dalam waktu 60 detik; stadium operasi dicapai dalam 5-10 menit. Untuk mempertahankan
anestesi dapat diberikan dosis ulangan setengah dari semula. Ketamin IM untuk induksi
diberikan 10 mg/kgBB (6,5-13 mg/kgBB), stadium operasi terjadi dalam 12-25 menit.
2. Pemeliharaan
a. N2O-O2
Andrews (1868) menggunakan N2O bersama-sama O2 untuk anestesiologi. N2O dalam
ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali
berat udara. Pemberian anestesia dengan N2O harus disertai dengan O2 minimal 25%.Gas ini
bersifat anestetik lemah, tetapi analgesiknya kuat, sehinga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesia inhalasi jarang digunakan sendirian,
tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestesik lain seperti halotan dan sebagainya.
Pada akhir anestesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,
sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya
hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10 menit
b. Sevoflurane
Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibadingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas,
sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek
terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar.
28
3. Obat Pelumpuh Otot
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga menimbulkan kelumpuhan
pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu
obat penghambat secara depolarisasi resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat
kompetitif atau nondepolarisasi, misal kurarin.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi
dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan
ventilasi kendali.4,5
Obat pelumpuh otot yang digunakan adalah :
Atracurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai struktur
benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice leontopetaltum. Beberapa keunggulan
atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain adalah:
a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu
reaksi kimia unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini
tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal.
b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada umumnya mulai
kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama kerja atracurium dengan
dosis relaksasi 15-35 menit.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja obat berakhir)
atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase. Nampaknya atracurium dapat menjadi obat
terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan penyakit jantung dan ginjal yang berat.1,6
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atracurium besilat.
Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan
terhadap penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv
4. Intubasi Endotrakeal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas bebas
hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan untuk :
29
a. Mempermudah pemberian anestesi.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
5. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang biasanya
dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien
pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan
ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca
operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau
pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu dilakukan
skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa cara skoring yang
biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete score
Tabel 1. Aldrete Scoring System
No. Kriteria Skor
1 Aktivitas
motorik
Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas
atas perintah atau secara sadar.
Mampu menggerakkan 2 ekstremitas
atas perintah atau secara sadar.
Tidak mampu menggerakkan
ekstremitas atas perintah atau secara
sadar.
2
1
0
2 Respirasi Nafas adekuat dan dapat batuk
Nafas kurang
adekuat/distress/hipoventilasi
Apneu/tidak bernafas
2
1
0
3 Sirkulasi Tekanan darah berbeda ± 20% dari
semula
Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari
2
1
0
30
semula
Tekanan darah berbeda >50% dari
semula
4 Kesadaran Sadar penuh
Bangun jika dipanggil
Tidak ada respon atau belum sadar
2
1
0
5 Warna kulit Kemerahan atau seperti semula
Pucat
Sianosis
2
1
0
Aldrete skor ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.
31
BAB III
KESIMPULAN
Syok hemoragik (hipovolemik): disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan
tubuh.
Cairan di tubuh manusia terdiri dari cairan intraselular dan cairan ekstraselular terbagi
dalam:
Cairan intravaskular
Cairan interstisial
Cairan transelular
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran semipermeabel
dari larutan dengan kadar rendah menuju larutan dengan kadar tinggi sampai
kadarnya sama.
Difusi adalah peristiwa bergeraknya molekul melalui pori-pori. Larutan akan bergerak
dari yang berkonsentrasi tinggi menuju konsentrasi rendah.
Perpindahan air dan zat terlarut di bagian tubuh menggunakan mekanisme transpor
pasif dan aktif.
Hipovolemia menyebabkan beberapa perubahan :
Vasokonstriksi organ sekunder (viscera, otot, kulit) untuk menyelamatkan
organ primer (otak, jantung) dengan aliran darah yang tersisa.
Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, terjadi metabolism anaerobik
dengan produk asam laktat yang menyebabkan asidosis asam laktat.
Asidosis asam laktat menyebabkan perubahan-perubahan sekunder pada
organ-organ primer dan organ-organ sekunder sehingga terjadi kerusakan
merata.
Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari intravaskular sampai
10% EBV tidak mengganggu volume sebesar yang hilang. Tetapi kehilangan
yang lebih dari 25% atau bila terjadi syok/hipotensi maka sekaligus
kompartemen interstitial dan intrasel ikut terganggu.
Tabel Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Persentasi
Penderita Semula
32
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan Darah (ml) Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000
Kehilangan Darah (%volume
darah)
Sampai 15% 15%-30% 30%-40% >40%
Denyut nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan Darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan Nadi Normal/↑ ↓ ↓ ↓
Frekuensi pernapasan 14-20 20 -30 30-40 >35
Produksi Urin (ml/jam) >30 20-30 5-15 <5
CNS/Status Mental Sedikit
Cemas
Agak
Cemas
Cemas,
Bingung
Bingung, Lesu
Penggantian Cairan
(Hukum 3:1)
Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan
darah
Kristaloid dan
darah
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Krausz, Michael M; 2006; Initial Resuscitation of Hemorrhagic Shock; Israel : Department of Surgery A, Rambam Medical Center, and the Technion-Israel Institute of Technology, P.O.B 9602, Haifa 31096; Diunduh dari :http://www.wjes.org/content/1/1/14
2. Leksana, Ery; 2010; Terapi Cairan dan Darah; Semarang; SMF/Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, RSUP Dr. Kariadi / Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; Diunduh dari :http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/27_177Terapicairandandarah.pdf/27_177Terapicairandandarah.pdf
3. Heitz U, Horne MM. Fluid; 2005; Electrolyte and Acid Base Balance. 5th ed. Missouri: Elsevier-mosby;.p3-227; Dikutip dari : Hartanto, Widya W; 2007; Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif; Bandung; Bagian Farmakologi Klinik Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; Diunduh dari :http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/Cairan%20dan%20Elektrolit%20Perioperatif2.pdf
4. Guyton AC, Hall JE; 1997; Textbook of Medical Physiology. 9th ed. Pennsylvania: W.B.Saunders company;: 375-393; Dikutip dari : Hartanto, Widya W; 2007; Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif; Bandung; Bagian Farmakologi Klinik Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; Diunduh dari :http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/Cairan%20dan%20Elektrolit%20Perioperatif2.pdf
5. Hartanto, Widya W; 2007; Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif; Bandung; Bagian Farmakologi Klinik Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; Diunduh dari :http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/Cairan%20dan%20Elektrolit%20Perioperatif2.pdf
6. Udeani; John; 2010; Hemorrhagic Shock; New York: Department of Emergency Medicine, Charles Drew University/ UCLA School of Medicine; Diunduh dari : http://www.scribd.com/doc/19834799/ Hemorrhagic-Shock
7. Wirjoatmodjo, Karjadi; 2000; Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk Pendidikan S1 Kedokteran; Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
8. Steven, Parks N; 2004; Advanced Trauma Life Support (ATLS) For Doctors; Jakarta : Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI).
9. Latief, Said A, dkk; 2002; Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua: Dikutip dari: Transfusi Darah pada Pembedahan; Jakarta, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
10. Mulyono, I., Jenis-jenis Cairan, dalam Symposium of Fluid and Nutrition Therapy in Traumatic Patients, Bagian Anestesiologi FK UI/RSCM, Jakarta.
11. Martin, Gregory S, MD, MS. An Update on Intravenous Fluids. 2005. Diunduh dari :h ttp://cme.medscape.com/viewarticle/503138
34
RESUME
Pasien datang dengan perdarahan pada kemaluan ± 2 jam sebelum masuk rumah sakit
banyaknya 2x ganti celana dalam, perut mulas menjalar hingga ke pinggang hilang timbul
semakin lama semakin kuat dan sering (-), riwayat keluar lendir darah (-), riwayat keluar
air-air (-), riwayat trauma (-), riwayat diurut-urut (-), riwayat trauma (-), pasien mengaku
hamil kurang bulan dan gerakan bayi masih bisa dirasakan.
D/ pre op : G2P1A0 hamil 28 minggu dengan HAP e.c susp. PPT JTH preskep
- Rencana operasi : SSTP
- Kesan : Status fisik ASA I E
- Jenis anestesi : Analgesia General
- Tekhnik anestesi : Intubasi endotracheal tube No. 7
- Pemeriksaan fisik di kamar operasi
Pukul 16.00 (sebelum induksi)
Tekanan darah : 100/50 mmHg
Nadi : 100 x/mnt
Respirasi : 20 x/mnt
Suhu : 36,5oC
Pukul 16.15 (setelah induksi)
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 100 x/mnt
Respirasi : 22 x/mnt
Suhu : 36,5oC
- Premedikasi : -
35
- Induksi : Ketamin, propofol, roculax
- Pemeliharaan : O2 3 liter/menit, N2O 3 liter/menit, Sevofluran 2%
- Lama operasi : 2 jam
ANALISA KASUS
Pada pasien ini didiagnosis G1P0A0 setelah dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik di
rumah sakit Abdul Moeloek. Kemudian dilakukan SSTP.
Persiapan Pre-anestesi :
Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 100/50 mmHg, nadi 100 x/menit, respirasi 24
x/menit, suhu 36,5 ºC. Pasien dilakukan anestesi umum dengan menggunakan Ketamin
100mg, Propofol 50 mg, Roculax 30mg.
Pada pasien sebelum tindakan anastesi dilakukan, diberikan cairan infus RL. Teknik anestesi
yang dipilih adalah anestesi umum dengan endotracheal tube no. 7 karena diperkirakan
operasi akan berlangsung lebih dari 60 menit dan agar lebih mudah mengontrol pernapasan,
diberikan muscle relaxant karena obat ini sangat membantu dalam pelaksanaan anestesi
umum dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, pelumpuh otot
jangka menengah berupa Roculax 30 mg IV untuk mencegah napas spontan dan
merelaksasikan otot dalam waktu yang lebih lama.
Pasien ini tidak mendapatkan premedikasi yang disebabkan karena diperlukannya tindakan
induksi yang cepat. Pada pasien ini induksi dilakukan dengan menggunakan Ketamin
dikarenakan pasien mengalami perdarahan dan ditakutkan akan mengalami syok. Ketamin
adalah obat anestesia yang memiliki efek pada kardiovaskular karena bersifat
simpatomimetik, sehingga bisa meningkatkan tekanan darah dan jantung serta bronkodilator.
Peningkatan tekanan darah akibat efek inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah
perifer. Dosis ketamin yaitu 1-2 mg/kgbb, di mana pada pasien ini memiliki 60 kg berat
badan, namun pada kasus ini diberikan 100 mg.
Operasi berlangsung selama 2 jam, setelah operasi selesai sevoflurane dan N2O dihentikan
dan diberikan O2 100% 6-8 liter untuk mencegah hipoksia difusi. Setelah nafas spontan
pasien dibawa kembali ke ruang pulih sadar di ruangan.
36
Terapi Cairan Kebutuhan basal pasien BB = 60 KgEBV = 65 cc x BB = 65 cc x 60 = 3900 ccKebutuhan cairan perjam untuk wanita = menggunakan formula 4 2 1
= (4x10 Kg) + (2x10Kg) + (1x40Kg)= 100 ml/ Jam
Cairan durante maintenance selama operasi = BB X Jenis Operasi= 60 Kg X 6 ml/Kg = 360 ml
Estimasi operasi berlangsung selama 2 jam = 360 ml X 2 jam= 720 ml/Jam
Total perdarahan selama operasi = suction + kassa + duk = 300 cc + (20 x 15 cc) + 200 cc = 1100 cc
Estimasi perdarahan selama operasi 2 jam:1 jam pertama = 600 ml1 jam kedua= 500 mlTotal perdarahan = ± 1100 ml
Terapi cairan Satu jam pertama = (½ maintenance)+ kebutuhan basal + perdarahan yang hilang
= (½ x 360) +100 +600= 880 ml
Satu jam kedua = (1/4 maintenance)+ kebutuhan basal + perdarahan yang hilang= (1/4 x 360) +100 +500= 690
Cairan maintenance yang dibutuhkan selama operasi adalah 780 + 690 = 1550 ml
Maintenance yang digunakan
a. Kristaloid (RL+NaCl) : 2500+50 ml
b. Koloid (WidaHES) : 500 ml
c. Darah : 250 ml
Selisih cairan masuk dan keluar
3300 cc – 1550 cc = 1750 cc (balance +)
d. Kesan : Tatalaksana yang diberikan selama operasi pada pasien ini telah dapat
menggantikan kehilangan darah selama operasi cairan yang diberikan pada pasien ini
sesuai kebutuhan.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Kristanto; Analgesia Regional dalam Anestesiologi, Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI, Jakarta, 1989, hal.123-128
2. Snow, Jhon.C; Spinal Anesthesia in Manual of Anesthesia, Medical Sciences
International Ltd, Japan, 1982, page 125-143.
3. Suntoro, Adji; Terapi Cairan Perioperatif dalam Anestesiologi, Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI, Jakarta, 1989, hal7-92
4. www.ISPUB.com (The internet journal of anesthesiology)
38